Anda di halaman 1dari 14

Kelainan Imun Lupus Eritematosus Sistemik Anemia Hemolitik Monica Sandra 102011329 moonyoung20@gmail.co.id Fakultas Kedokteran UKRIDA Jl.

Arjuna Utara no.6 Jakarta 11510 ================================================================= Pendahuluan

Lupus erimatosus sistemik (SLE), merupakan prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. SLE terutama menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi dengan ratio wanita dan laki-laki 5:1. Etiologinya tidak jelas, diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks histokompatibilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3. Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar tahun 1800-an, dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk kupu-kupu, melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan serigala (lupus adalah kata dalam bahasa Latin yang berarti serigala). Lupus diskoid adalah nama yang sekarang diberikan pada penyakit ini apabila kelainannya hanya terbatas pada gangguan kulit. SLE dapat bervariasi dari suatu gangguan ringan sampai suatu gangguan yang bersifat fulminan dan mematikan. Namun demikian, keadaan yang paling sering ditemukan adalah keadaan eksaserbasi atau hampir remisi yang berlangsung untuk waktu yang lama. Identifikasi dan penatalaksanaan dini SLE biasanya dapat memberikan prognosis yang lebih baik.

Pembahasan

Skenario

Seorang wanita 30 tahun datang dengan keluhan sering lemas 2 minggu terakhir. Pasien mengatakan sudah cukup beristirahat namun tetap saja lemas. Pasien juga tidak tahan berada di bawah terik matahari dan setiap kali di bawah terik timbul kemerahan pada kedua pipi. 1 bulan terakhir pasien juga mengalami kerontokan rambut dan badan sering hilang timbul terasa hangat. Pasien juga mengeluhkan terdapatnya nyeri pada jari-jari tangan sejak 2 minggu terakhir. PF: ku: tampak sakit sedang, TD 100/90mmHg, N 88x/mnt, RR 16x/mnt, T 37,1C, konjungtiva anemis, status lokalis: mnus dextra: tidak hiperemi, suhu raba normal, nyeri tekan dan gerak pada PIP II-IV, DIP II-IV, manus sinistra: tidak hiperemi, suhu raba normal,

nyeri tekan dan gerak pada PIP II-IV, DIP II-IV. Lab: Hb 9 g/dL, L: 7000/uL, T 140000/ uL, Ht 27%, ANA (+) speckled.

Anamnesis

Anamnesis merupakan faktor terpenting yang menentukan keberhasilan suatu diagnosa. Pada pasien didapat keluhan sering lemas dan nyeri pada jari-jari tangan sejak dua minggu terakhir. Setiap dibawah terik matahari timbul kemerahan pada pipi. Pasien juga mengalami kerontokan rambut dan badan seringhilang timbul terasa hangat sejak satu bulan terakhir.

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik umum yang dilakukan adalah: 1. Pemeriksaan keadaan umum pasien (kesadaran, kondisi fisik pasien) 2. Tanda-tanda vital (tekanan darah, suhu, denyut nadi, frekuensi nafas) Berdasarkan pemeriksaan fisik umum didapatkan: Keadaan umum: tampak nyeri sakit ringan, kesadaran kompos mentis. Tanda-tanda vital: Tekanan darah Denyut nadi Frekuensi nafas Suhu : 100/90 mmHg : 88x/menit : 16x/menit : 37,1C

Konjungtiva anemis. Pemeriksaan fisik khusus Pemeriksaan fisik pada pasien muskuloskeletal biasanya yang dilihat adalah kelainan berikut: deformitas, nyeri tekan, pembengkakan, panas, dan disfunctio laesa. Untuk mengetahui kelainan tersebut pemeriksaan yang dilakukan adalah:1 1. Inspeksi (look) Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan dengan melihat secara umum dan khusus. Melihat secara keseluruhan dan postur jalan pasien. Kemudian melihat lebih teliti pada bagian lokal yang dikeluhkan oleh pasien. Dilihat apakah ada deformitas dan pembengkakan atau kulit memerah. 2. Palpasi (feel) Pada pemeriksaan ini dilakukan dengan cara memegang dan menekan bagian-bagian tertentu. Dirasakan apakah ada nyeri tekan, pembengkakan, panas, dan deformitas. 3. Gerak (move)

Pada pemeriksaan gerak, kita melihat gerakan-gerakan pada pasien baik gerak yang secara aktif maupun pasif. Kita melihat apakah adanya kelainan gerak dan mengganggu pada saat pasien melakukan gerakan tersebut. Pemeriksaan fisik khusus dilakukan untuk melihat/menilai bagian tubuh pasien yang sakit (contoh: apakah ada bengkak, nyeri tekan, dll). Berdasarkan pemeriksaan khusus didapatkan: Manus dextra: phalanx proksimal digiti II IV dan phalanx distal digiti II -IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan (+), oedem (-), kalor (-). Manus sinistra: phalanx proksimal digiti II IV dan phalanx distal digiti II -IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan (+), oedem (-), kalor (-).

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan darah lengkap Eritosit: Pada 50% penderita SLE, ditemuan adanya anemia. Anemia merupakan kadar hemoglobin yang berkurang.2 Leukosit Leukopenia : leukosit < 4500/mm3. Keadaan ini ditemukan pada 50% penderita.2 Neutropenia : jumlah netrofil batang dan segmen < 2000/mm3. Neutropenia bisa disebabkan karena obat-obatan dan proses imun.3 Limfopenia : penurunan jumlah limfosit dibawah 1500/mm3. Ditemukan pada 20-75% penderita.3 Trombosit
-

Trombositopenia <100.000/mm3 karena terjadi destruksi dari trombosit.2

2. Tes ANA Tes ini juga yang dikenal sebagai tes ANA, berdasarkan adanya ragam antibody terhadap komponen INTI yang didapat pada banyak jenis penyakit autoimun. Tes ini sering dipergunakan sebagai penyaring terhadap penyakit autoimun. Tes didasarkan pada inkubasi antihuman globulin yang diselubungi dengan zat fluoresen dengan sediaan jaringan dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop fluoresen.4 3. Antibody dsDNA Merupakan uji spesifik untuk SLE. Gangguan reumatologi juga menyebabkan tes ANA positif namun tes anti-DNA jarang ditemukan kecuali pada penderita SLE. 5 4. LED LED pada penyakit SLE biasanya meningkat. Ini merupakan uji non-spesifik hanya untuk mengukur peradangan.2 5. Uji Faktor LE

Sel LE dibentuk dengan merusak beberapa leukosit pasien sehingga sel-sel tersebut merusak beberapa leukosit pasien sehingga sel-sel tersebut mengeluarkan nuklearproteinnya. Protein ini bereaksi dengan IgG dan kompleks ini difagositosis oleh leukosit normal yang masih ada. Sel LE mudah dikenali, namun sel LE dapat ditemukan pada penyakit golongan reumatik yang diperantai oleh imunitas. 5 Bekuan darah pasien digerus melalui saringan agar membebaskan nucleoprotein DNA dan kemudian diinkubasi. Bila ada antibody terhadap DNA, terjadi fagositosis inti neutrofil oleh sel neutrofil lain (hanya tampak in vitro).4 6. Tes CRP (chain reactive protein) Pemeriksaan kadar C-reactive protein (CRP) sangat membantu untuk membedakan lupus aktif dengan infeksi. Pada lupus aktif, kadar CRP normal atau peningkatan tidak bermakna, sedangkan pada infeksi terdapat peningkatan CRP yang sangat tinggi.6 7. Rontgen Ditemukan pleuritis dan perikarditis.2 8. Urin Terdapat hematuria dan proteinuria.2 9. Faktor rematoid Merupakan immunoglobulin dari kelas IgM dalam sirkulasi yang merupakan antibody terhadap IgG pasien sendiri. Factor rematoid positif pada: 50-70% pasien rawat jalan yang menderita penyakit artritis rematoid; 15% pada pasien artritis rematoid juvenile; 4% pada populasi umum, meningkat sejalan bertambah usia. Factor rematoid negatif pada spondylitis, ankilosa, sindrom Reiter, artropati psoriatic, dan artropati kolitis.7

Differential diagnosis

Reumatoid Atritis Atritis reumatoid (RA) adalah suatu penyakit inflamasi kronis yang menyebabkan degenerasi jaringan penyambung. Jaringan penyambung yang biasanya mengalami kerusakan pertama kali adalah membran sinovial, yang melapisi sendi. Pada RA, inflamasi tidak berkurang dan menyebar ke struktur sendi di sekitarnya, termasuk kartilago artikular dan kapsul sendi fibrosa. Akhirnya, ligamen dan tendon mengalami inflamasi. Inflamasi ditandai oleh akumulasi sel darah putih, aktivasi komplemen, fagositosis ekstensif, dan pembentukan jaringan parut. Pada inflamasi kronis, membran sinovial mengalami hipertrofi dan menebal sehingga menyumbat aliran darah dan lebih lanjut menstimulasi nekrosis sel dan respons inflamasi. Sinovium yang menebal menjadi ditutup oleh jaringan granular inflamasi yang disebut panus. Panus dapat menyebar ke seluruh sendi sehingga menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan parut lebih lanjut. Proses ini secara lambat merusak tulang dan menimbulkan nyeri hebat serta deformitas.8

Awitan RA ditandai oleh gejala umum inflamasi, berupa demam, keletihan, nyeri tubuh, dan pembengkakan sendi. Nyeri tekan sendi dan kekakuan sendi terjadi, mula-mula karena inflamasi akut dan kemudian akibat pembentukan jaringan parut. Sendi metakarpofalangeal dan pergelangan tangan biasanya adalah sendi yang pertama kali terkena. Kekakuan terjadi lebih parah pada pagi hari dan mengenai sendi secara bilateral. Dapat terjadi penurunan rentang gerak, deformitas sendi, dan kontraksi otot. Nodulus reumatoid ekstrasinovial terbentuk pada sekitar 20% individu yang mengalami RA. Pembengkakan ini terdiri atas sel darah putih dan debris sel yang terdapat di daerah trauma atau peningkatan tekanan. Nodulus biasanya terbentuk di jaringan subkutan di atas siku dan jari tangan.8 Anemia defisiensi besi Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritopoesis, karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.9 Gejala anemia defisiensi besi Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 besar gejala umum anemia, gejala khas anemia defisiensi besi, gejala penyakit dasar. Gejala umum anemia yaitu: badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Anemia bersifat simtomatik jika hemoglobin telah turun dibawah 7g/dL. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan dibawah kuku.9 Gejala khas anemia defisiensi besi yaitu: 9 Koilonychias: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok. Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang. Stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan. Disfagia:nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia. Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti: tanah liat, es, lem, dll. Gejala penyakit dasar Misalnya pada anemia akibat penyakit cacing tambang dijumpai dyspepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami.9

Working diagnosis Systemic Lupus Erythematosus (SLE) SLE merupakan penyakit rematik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.

Secara klinis, SLE merupakan suatu penyakit kambuhan, dan sulit diperkirakan dengan awal manifestasi yang akut atau tersamar, penyakit ini terutama menyerang kulit, ginjal, membrane serosa, sendi dan jantung.2 Anemia hemolitik autoimun Anemia hemolitik imun (autoimmune hemolytic anemia= AIHA/AHA) merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibody terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek.9 Anemia ini bervariasi dari yang ringan sampai berat (mengancam jiwa). Pasien mengeluh fatig dan keluhan ini dapat terlihat berrsama dengan angina atau gagal jantung kongestif. Pada pemeriksaan fisik, biasanya dapat ditemukan icterus dan splenomegaly. Apabila pasien mempunyai penyakit dasar seperti LES atau leukemia limfpsitik kronik, gambaran klinis penyakit tersebut dapat terlihat.10

Pemeriksaan laboratorium dapat menemukan kadar Hb yang bervariasi dari yang ringan sampai yang berat (HT<10%). Retikulositosis dan sferositosis biasanya dapat terlihat pada pemeriksaan apusan darah tepi.10

Terapi inisial dengan menggunakan prednisone 1-2 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi. Apabila prednisone tidak efektif dalam menanggulangi kelainan ini, atau penyakit mengalami kekambuhan dalam periode taperingoff dari prednisone, maka dianjurkan untuk dilakukan splenektomi. Apabila keduanya tidak menolong, maka dilakukan terapi dengan memnggunakan berbagai jenis obat imunosupresif. Immunoglobulin dosis tinggi intravena (500mg/kgBB/ hari selama 1-4 hari) mungkin mempunyai efektivitas tinggi dalam mengontrol hemolisis.10

Gejala Klinis

Lupus eritematosus memiliki gambaran klinis yang mula-mula terbatas di satu sistem organ, dan sistem organ lain kemudian terkenea seiring dengan perkembangan; dan penyakit sejak semula melibat banyak sistem organ. Penyebab awal penyakit sistemik lupus eritematosus tidak diketahui, walaupun penyakit ini sering terjadi pada orang-orang dengan kecenderungan mengidap penyakit autoimun. Lupus eritematosus sistemik dapat dicetuskan oleh stress, sering berkaitan dengan kehamilan atau menyusui. Dilain sisi radiasi ultraviolet yang berlebihan dapat mencetuskan penyakit ini. Gejala-gejala klinis yang sering dialami penderita lupus eritematosus sistemik yaitu : Poliartralgia/nyeri pada lebih dari satu sendi dan adanya peradangan sendi/artritis. Demam akibat peradangan kronik.

Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) di pipi dan hidung. Kata lupus berarti serigala dan mengacu pada penampakan topeng seperti serigala. Lesi dan kebiruan di ujung jari akibat buruknya aliran darah hipoksia kronik. Sklerosis (pengencangan atau pengerasan) kulit jari dan tangan. Luka di selaput lendir mulut atau faring (sariawan). Lesi berskuama dikepala, leher, dan punggung. Edema mata dan kaki mungkin mencerminkan keterlibatan ginjal hipertensi. Anemia, kelelahan kronik, infeksi berulang, dan pendarahan sering terjadi karena serangan terhadap sel darah merah dan putih serta trombosit.

Penatalaksanaan

Jenis dan Dosis Obat Imunosupresan dan Sitotoksik yang Dapat Diapaki pada LES Jenis Obat Dosis Jenis Toksisitas Evaluasi Awal Klinis Azatioprin 50-150 mg/hari, Mielosupresif, Darah lengkap, kreatinin, AST/ALT tepi Gejala mielosupresif Pemantauan Laboratorik Darah tepi lengkap tiap 1-2 minggu dan selanjutnya 1-3 bulan interval. AST tiap

dosis terbagi 1-3, hepatotoksik, tergantung berat gangguan badan limfoproliferatif

tahun dan pap smear secara teratur. Siklofosfamid Per oral : 50-150 Mielosupresif, mg/hari. gangguan Darah lengkap, tepi Gejala mielosupresif, jenis hematuria Darah tepi lengkap dan urin lengkap tiap dan bulan, sitologi urin dan pap smear tiap tahun seumur hidup.

IV : 500 mg/M2 limfoproliferatif, hitung dalam 250 dextrose keganasan, ml, infus imunosupresif, sistitis hemoragik. Metotreksat 7,5 20 mg/mgg, Mielosupresif, Darah

leukosit, urin infertilitas lengkap

selama 1 jam

tepi Gejala

Darah tepi lengkap terutama hitung tiap AST tiap 4-8 dan 4-8

dosis tunggal atau hepatik fibrosis, lengkap, foto mielosupresif, terbagi 3. Dapat sirosis, infiltrat toraks, diberikan pula pulmonal fibrosis.

sesak nafas, mual trombosit mggu, albumin mggu.

dan serologi B dan dan muntah. C pada pasien resiko tinggi.

melaui injeksi.

Siklosporin 2,5 5 mg/kgBB, Pembengkakan, Darah

tepi Gejala

Kreatinin, tes fungsi

atau sekitar 100- nyeri 400 dalam 2

gusi, lengkap,

hipersensitifitas

hati,

darah

tepi

mg/hari peningkatan

kreatinin, urin terhadap caster oil, lengkap. tes tekanan fungsi ginjal hati darah, dan

dosis tekanan darah, lengkap, berat peningkatan pertumbuhan rambut fungsi hati

tergantung badan

Mofetil

2000 mg/hari mg Mual,

diare, Darah lengkap, lengkap

tepi Gejala fase gastrointestinal seperti muntah

Darah

tepi

lengkap

mikofenolat dalam 2 dosis

leukopenia

terutama leukosit dan

mual, hitung jenisnya.

Terapi nonfarmakologi Beberapa tindakan non farmakologis dapat digunakan untuk mengelola gejala dan

membantu menjaga pemulihan keadaan. Kelelahan adalah gejala umum pada pasien dengan lupus. Istirahat dan olahraga secara rutin dan seimbang, sangat berguna untuk mencegah kelelahan. Merokok sebisa mungkin dihindari karena hydrazines dalam asap rokok bisa menjadi pemicu dari lingkungan untuk terjadinya lupus. Merokok juga telah dikaitkan dengan peningkatan aktivitas penyakit lupus. Mengenai makanan tidak ada hal khusus yang diketahui dengan jelas dapat mempengaruhi program klinis lupus. Namun, minyak ikan bisa mencegah keguguran derivatif pada wanita hamil dengan antibodi antifosfolipid, namun kecambah alfalfa harus dihindari karena mengandung asam amino L-canavanine, yang telah dikaitkan dengan perkembangan gejala lupus seperti dalam laporan berbagai kasus. Umumnya pasien dengan SLE harus membatasi paparan sinar matahari dan menggunakan tabir surya untuk memblokir kemungkinan memperburuk efek sinar ultraviolet terhadap keadaan lupus pasien, dimana jumlah batasan paparan sinar matahari harus diatur secara individual tergantung kondisi pasien.11

Epidemiologi

Lupus Eritematosus sistemik merupakan penyakit yang jarang terjadi.Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupuseritematosus. Penyakit lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapiwanita lebih banyak dibanding pria yaitu 9:1, umumnya pada usia 18-65tahun tetapi paling sering antara usia 25-45 tahun, walaupun dapat jugadijumpai pada anak usia 10 tahun.12 Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi danetnis. Tingkat prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan, dengan penurunan prevalensi putih dibandingkan dengan penduduk asli Amerika, Asia, Latin,dan Amerika. Walaupun awal awitan sebelum usia 8 tahun tidak biasa, lupustelah di diagnosis selama 1 tahun kehidupan. Dominasi perempuan bervariasidari kurang dari 4:1 sebelum pubertas ke 8:1 sesudahnya.13

Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan,sekitar 15-17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun danmenjelang remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding lakilaki, danrasio tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit LES di kalangan penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggidibandingkan dengan penduduk berkulit putih.14 SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika, Asia, Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah penelitian epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasiayaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan rasAfrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanitaketurunan ras Afrika-Amerika. Menelusuri epidemiologi SLE merupakan halyang sulit karena diagnosis dapat sukar dipahami.12

Etiologi

Penyebab ketidaknormalan produksi auto antibodi dan perkembangan SLE masih belum diketahui. Faktor genetik, lingkungan, dan hormonal mungkin memiliki peran dalam hilangnya "toleransi diri" dan ekspresi penyakit. Sebuah teori populer menyatakan bahwa penyakit autoimun seperti SLE berkembang pada individu dengan genetik yang rentan setelah paparan terhadap suatuagen tertentu dari lingkungan yang dapat memicu timbulnya SLE. Agen tertentu dari lingkunganyang dapat memicu atau mengaktifkan lupus antara lain sinar matahari (sinar ultraviolet), obat-obatan, bahan kimia seperti hidrazin (ditemukan di tembakau) dan amina aromatik (ditemukan di pewarna rambut), makanan, estrogen pada lingkungan, dan infeksi oleh virus atau bakteri (Mok and Lau, 2003). Selain itu, androgen dapat menghambat dan estrogen dapat meningkatkan ekspresi auto imunitas, dan peingkatan kadar prolaktin dalam darah memiliki hubungan tertentu dengan lupus pada laki-laki dan perempuan.11

Patogenesis Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon. 1. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungandengan HLA (HumanLeucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksiautoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensikomponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin(IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleksdan interaktif. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasikompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear,

sehingga membantuterjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagalmembersihkan sel apoptosis, sehingga komponen nuklear akanmenimbulkan respon imun.3,4

2. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, obatobatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilang toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasikulit. Pengaruh obat memberikan gambaran bervariasi pada penderitalupus, yaitu meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainyaitu peranan agen infeksius terutama virus rubella, sitomegalovirus,dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.3,4

3. Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel limfosit B menjadi dasar dari pathogenesis lupus eritematosus sistemik. Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan dalam membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan.3,4 Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenisautoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenisautoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalahantibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.4 Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk,yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi selmakrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinismekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pulaautoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombin,sehingga dapat terjadi trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.4 Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesisataupun bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodiantinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalamdarah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.4 Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LESdidasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yangterkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) danaktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkanhipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasikomplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi danterdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yangsering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA).

Komponen C1q dapat terikat langsung pada ds-DNA dan menyebabkanaktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.2\

4. Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menarsdan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.2,4 Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatanhormon estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat. Pada perempuandengan LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron danestriol. Frekuensi LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.2,4

Komplikasi Komplikasi yang terjadi pada penyakit SLE bisa terjadi akibat penyakitnya sendiri atau komplikasi dari pengobatannya. Komplikasi akibat penyakit SLE sendiri yang paling seringterjadi adalah infeksi sekunder karena system immune penderita yang immunocompromised.Selain itu, sering juga terjadi komplikasi penyakit aterosklerosis akibat peningkatanan tiphospholidip antibody. Komplikasi akibat pengobatan SLE adalah infeksi oportunistik akibat terapi imunosupresan jangka panjang, osteonekrosis, dan penyakit aterosklerosis dan infark miokard prematur.1,9

Faktor Resiko Penyakit SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan, serangan pertama kali SLE jarang terjadi pada usia prepubertas dan setelah menopause. Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara (5,5-9) : 1. Pada lupus eritematosus yang disebabkan obat (drug induced LE), rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2. Hal ini disebabkan oleh faktor hormonal yang ada didalam tubuh.2

Pencegahan Pencegahan terhadap penyakit SLE secara spesifik tidak ada, hanya saja kita dapat menghindari faktor-faktor yang mungkin dapat menginduksi terjadinya SLE, seperti:2 Hindari paparan berlebihan dari sinar matahari (sinar UV) Hindari pemakaian estrogen berlebihan Meminimalisasi konsumsi obat-obatan tanpa resep dan pemantauan dari dokter. Hindari stress fisik maupun mental yang berlebihan. Makan makanan yang bersih dan sehat.

Prognosis Prognosis jangka panjang pada pasien penyakit ini adalah baik. Splenektomi sering kali dapat mengontrol penyakit ini atau paling tidak memperbaikinya.12

Penutup Berdasarkan skenario yang telah dibahas dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut menderita penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan juga anemia hemolitik autoimun, dimana kedua penyakit tersebut merupakan jenis penyakit autoimun, dengan gejala klinis yang telah dibahas.

Daftar Pustaka

1. Gleade J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta : Erlangga. 2007. h.40-41 2. Kasjmir YI, Isbagio H, Setyohadi B, Suarjana N. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Lupus eritematosus sistemik. Edisi V. Jilid III. Jakarta Pusat: InternaPublishing; 2010.h.2565-77 3. Gottlieb BS, Ilowite NT. Systemic lupus erythematosus in children and adolescents. Pediatrics in Review 2006; 27:323-9 4. Kosasih EN, Kosasih ES. Tafsiran hasi pemeriksaan laboratorium klinik. Tangerang: Karisma publishing group, 2008.h. 58-62, 200-12. 5. Anderson SP, McCarty LW. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta : EGC. 2006. h. 13920-6 6. Yuliasih, Soeroso J. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Sistemik lupus eritomatosus. Editor, Tjokroprawiro dkk. Surabaya: Airlangga University Press; 2007.h.235-41.

7. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture notes: kedokteran klinis. Jakarta: Erlangga; 2007.h.141-2. 8. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC; 2009. h. 167-9, 347-8. 9. Sudoyono AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. jilid II. Jakarta: InternalPublishing; 2009. h. 1127-35; 1152-3. 10. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. Edisi 7. Volume 1. Jakarta: EGC; 2004.h.144-5. 11. Bayle JR, Johson CA, Mason NA, Pieter BL. Medfact : Pocket Guide of Drug Interaction. USA; 2004. 12. Martin J. British National Formulary 56. September 2008. London : BMJ Publishing Group Ltd; 2008.. p.325 330 13. Delafuente J.C, Cappuzzo K.A. Systemic Lupus Erythematosus. New York : McGraw Hill Companies; 2008. p. 1431 - 1445. 14. Lacy CF, Armstrong LL, Goldman MP, Lance LL. Drug Information Handbook. 18th ed. United States: Lexi-Comp;2009.

Anda mungkin juga menyukai