Anda di halaman 1dari 27

Forensik Kasus 1

Mohamad Amirul Azwan B. Mohamed Yusof


102009270
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)
Jalan Arjuna Utara No 6 Jakarta Barat 11470
amirul.yusof@yahoo.co.uk
+6281808235709

Bab 1
1.1 Latar Belakang
Seorang laki-laki ditemukan di sebuah sungai kering yang penuh batu-batuan dalam
keadaan mati tertelungkup. Ia mengenakan kaos dalam (bolong) dan celana panjang yang di
bahagian bawahnya digulung hingga setengah tungkai bawahnya. Lehernya terikat lengan
baju (yang kemudian diketahui sebagai baju miliknya sendiri) dan hujung lengan baju
lainnya terikat ke sebuah dahan pohon perdu setinggi 60cm. Posisi tubuh relatif mendatar,
namun leher memang terjerat oleh baju tersebut. Tubuh mayat tersebut telah membusuk,
namun masih dijumpai adanya satu luka terbuka di daerah ketiak kiri yang memperlihatkan
pembuluh darah ketiak yang putus dan beberapa luka terbuka di daerah tungkai bawah
kanan dan kiri yang memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan akibat kekerasan tajam. Perlu
diketahui bahwa rumah rumah terdekat dari TKP adalah sekitar 2km. TKP adalah suatu
daerah perbukitan yang berhutan cukup berat.
Dalam tugas sehari-hari, selain melakukan pemeriksaan diagnostik, memberikan pengobatan
dan perawatan kepada pasien, dokter juga mempunyai tugas melakukan pemeriksaan medik
untuk tujuan membantu penegakan hukum, baik untuk korban hidup maupun untuk korban
mati. Pemeriksann medik untuk tujuan membantu penegakan hukum antara lain adalah
pembuatan visum et repertum terhadap sseorang yang dikirim oleh polisi (penyidik) karena
diduga sebagai korban suatu tindak pidana, baik dalam peristiwa kecelakaan lalu-lintas,
kecelakaan kerja, penganiayaan, pembunuhan, perkosaan, maupun korban meninggal yang

pada pemeriksaan pertama polisi terdapat kecurigaan akan kemungkinan adanya tindak
pidana.

Bab 2
2.1 Olah Tempat Kejadian Perkara1
Tempat kejadian perkara adalah tempat ditemukannya benda bukti dan/ atau tempat
terjadinya peristiwa kejahatan atau ang diduga kejahatan menurut suatu kesaksian. Meskipun
kelak terbukti bahwadi tempat tersebut tidak pernah terjadi suatu tindak pidana, tempat
tersebut tetap edisebut sebagai TKP. Disini hanya akan dibicarakan TKP yang berhubungan
dnegan manusia sebagai korban, seperti kasus penganiyaan, pembunuhan dan kasus kematian
mendadak (dengan kecurigaan).
Diperlukan atau tidaknya kehadiran dokter di TKP oleh penyidik sangat bergantung
pada kasusnya, yang pertimbangannya dapat dilihat dari sudut korbannya, tempat
kejadiannya, kejadiannya atau tersangka pelakunya. Peranan dokter TKP adalah membantu
penyidik dalam mengungkap kasus dari sudut kedokteran forensic. Pada dasarnya semua
dokter dapat bertindak sebagai pemeriksa di TKP, namun dengan perkembangan spesialisasi
dalam ilmu kedokteran, adalah lebih baik bila dokter ahli forensic atau dokter kepolisian yang
hadir,
Dasar pemeriksaan adalah hexameter, yaitu menjawab 6 pertanyaan; apa yang terjadi,
siapa yang tersangkut, di mana dan kapan terjadi, bagaimana terjadinya dan dengan apa
melakukannya, serta kenapa terjadi peristiwa tersebut?
Pemeriksaan kedokteran forensic di TKP harus mengikuti ketentuan yang berlaku
umum pada penyidikan di TKP, yaitu menjaga agar tidak mengubah keadaan TKP. Semua
benda bukti yang ditemukan agar dikirim ke laboratorium setelah sebelumnya diamankan
sesuai prosedur.
Selanjutnya dokter dapat memberikan pendapatnya dan mendiskusikannya dengan
penyidik untuk memperkirakan terjadinya peristiwa dan merencanakan langkah penyidikan
lebih lanjut. Bila korban masih hidup maka tindakan yang utama dan pertama bagi dokter
adalah menyelamatkan korban dengan tetap menjaga keutuhan TKP.
Bila korban telah mati, tugas dokter adalah menegakkan diagnosis kematian,
memperkirakan saat kematian. Memperkirakan sebab kematian, memperkirakan cara
kematian, menemukan dan mengamankan benda bukti biologis dan medis.
Bila perlu dokter dapat melakukan anamnesa dengan saksi-saksi untuk mendapatkan
gambaran riwayat medis korban. Beberap tindakan dapat mempersulit penyidikan, seperti
memegang setiap benda di TKP tanpa sarung tangan, mengganggu bercak darah, membuat
jejak baru,atau memeriksa sambil merokok. Saat kematian diperkirakan pada saat itu dnegan

memperhatikan prinsip-prinsip perubahan tubuh pasca mati yang dibahas lebih rinci di bab
tanatologi.
Cara kematian memang tidak selalu mudah diperkirakan, sehingga dalam hal ini
penyidik menganut azaz bahwa segala yang diragukan harus dianggap mengarah ke adanya
tindak pidana lebih dahulu sebelum nanti dapat dibuktikan kebenarannya. Pemeriksaan
dimulai dengan membuat foto dan sketsa TKP, termasuk penjelasan mengani letak dan posisi
korban, benda bukti dan interaksi lingkungan. Mayat yang ditemukan dibungkus dengan
plastic atau kantung plastic khusus untuk mayat setelah sebelumna kedua tangganya di
bungkus plastic sebatas pergelangan tangan. Pemeriksaan sidik jari oleh penyidik dapat
dilakukan sebelumnya.
Bercak darah yang ditemukan di lantai atau di dinding diperiksa dan dinilai apakah
berasal dari nadi atau dari vena, jatuh dengan kecepatan (dari tubuh yang bergerak) atau jatuh
bebas, kapan saat perlukaanna, dan dihubungkan dengan perkiraan bagaimana terjadinya
peristiwa.
Benda bukti yang ditemukan dapat berupa pakaian, bercak mani, bercak darah,
rambut, obat, anak peluru, selongsong peluru, benda yang diduga senjata diamankan dengan
memperlakukannya sesuai prosedur, yaitu dipegang dengan hati-hati serta dimasukkan ke
dalam kantong plastic, tanpa meninggalkan jejak sidik jari baru.
Benda bukti yang bersifat cair dimasukkan ke dalam tabung reaksi kering. Bneda bukti yang
berupa bercak kering di atas dasar keras harus dikerok dan dimasukkan ke dalam amplop atau
kantong plastic, bercak pada kain diamnil seluruhnya atau bila bendana besar digunting dan
dimasukkan ke dalam amplop atau kantung plastic. Benda-benda keras diambil seluruhnya
dan dimasukkan ke dalam kantung plastic.
Semua benda bukti di atas harus diberi label dnegan keterangan tentang jenis benda, lokasi
penemuan, saat penemuan, dan keterangan lain yang diperlukan.
Mayat dan benda bukti biologis/medis, termasuk obat atau racun, dikirimkan ke
instalasi Kedokteran Forensik atau ke Rumah Sakit Umum setempat ubtuk pemeriksaan
lanjutan. Apabila tidak tersedia sarana pemeriksaan laboratorium forensic, benda bukti dapat
dikirim ke Laboratorium Kepolisian atau ke Bagian Kedokteran Forensik. Benda bukti bukan
biologis dapat langsung dikirim ke Laboratorium Kriminil/Forensik Kepolisian Daerah
setempat.2
Perlengkapan yang sebaikanya dibawa pada saat pemeriksaan di TKP adalh kamera,
film berwarna dan hitam-putih(untuk ruangan gelap), lampu kilat, lampu senter, lampu
ultraviolet, alat tulis, tempat menyimpan benda bukti berupa amplop atau kantong plastic,
pinset, scalpel, jarum, tang, kaca pembesar, thermometer ruangan, sarung tangan, kapas,
kertas saring serta alat ulis (spidol) untuk memberi label pada benda bukti.3

2.2 Identifikasi Forensik1,,4

Merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik untuk menentukan
identitas seseorang. Identifikasi personal sering merupakan suatu masalah dalam kasus
pidana maupun perdata. Menentukan identitas personal dengan tepat amat penting
dalam penyidikan karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses
peradilan.

Penentuan identitas personal dapat menggunakan metode identifikasi sidik jari, visual,
dokumen, pakaian dan perhiasan, medic, gigi, serologic dan secara ekslusi. Akhir-akhir
ini dikembangkan pula metode identifikasi DNA.
Pemeriksaan Sidik Jari4
Metode ini membandingkan gambaran sidik jari jenasah dengan data sidik jari ante
motem. Sampai saat ini, pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui
paling tinggi ketepatannya untuk menentukan identitas seseorang.
Dengan demikian harus dilakukan penanganan yang sebaik-baiknya terhadap jari
tangan jenazah untuk pemeriksaan sidik jari, misalnya melakukan pembungkusan kedua
tangan jenazah dengan kantung plastic.
Metode Visual4
Metode ini dilakukan dengan cara memperlihatkan jenazah pada orang-oarang yang
merasa kehilangan anggota keluarga atau temannya. Cara ini hanya efektif pada jenazah
yang belum membusuk sehingga masih mungkin dikenali wajah dan bentuk tubuhnya
oleh lebih dari satu orang. Hal ini perlu diperhatikan mengingat adanya kemungkinan
factor emosi yang turut berperan untuk membenarkan atau sebaliknya menyangkal
identitas jenazah tersebut.
Pemeriksaan Dokumen4
Dokumen seperti kartu identifikasi (KTP, SIM, Paspor dsb) yang kebetulan dijumpai
dalam saku pakaian yang dikenakan akan sangat membantu mengenali jenazah tersebut.

Perlu diingat bahwa pada kecelakaan masal, dokumen yang terdapat dalam tas atau
dompet yang dekat dengan jenazah belum tentu adalah milik jenazah yang
bersangkutan.
Pemeriksaan Pakaian dan Perhiasan4
Dari pakaian dan perhiasan yang dikenakan jenazah, mungkin dapat diketahui merek
atau nama pembuat, ukuran, inisial nama pemilik, badge, yang semuanya dapat
membantu identifikasi walaupun telah terjadi pembusukan pada jenazah tersebut.
Khusus anggota ABRI, maslaah identifikasi dipermudah dengan adanya nama serta
NRP yang tertera pada kalung logam yang dipakainya.
Identifikasi Medik4
Metode ini menggunakan data tinggi badan, berat badan, warna rambut, warna mata,
cacat/kelainan khusus, tatu (rajah).
Metode ini mempunyai nilai tinggi karena selain dilakukan oleh seorang ahli dengan
menggunakan berbagai cara/modifikasi (termasuk pemeriksaan dengan sinar-X),
sehingga ketepatannya cukup tinggi. Bahkan pada tengkorak/kerangkapun masih dapat
dilakukan metode identifikasi ini.
Melalui metode ini, diperoleh data tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur dan tinggi
badan, kelainan pada tulang dan sebagainya.
Pemeriksaan Gigi4
Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (odontogram) dan rahang yang dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar-X dan pencetakan gigi serta
rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa
gigi dan sebagainya.
Seperti halnya dengan sidik jari, maka setiap individu memiliki susunan gigi yang khas.
Dengan demikian, dapat dilakukan identifikasi dengan cara membandingkan data
temuan dengan data pembanding mortem
.
Pemeriksaan Serologi4
Pemeriksaan serologic bertujuan untuk menentukan golongan darah jenazah, penentuan
golongan darah pada jenazah yang telah membusuk dapat dilakukan dengan memeriksa
rambut, kuku dan tulang.

2.3 Autopsi1,3
Autopsi berasal dari kata auto= sendiri dan opsis= melihat. Yang dimaksudkan dengan
autopsy adalah pemeriksaan terhadap bagian luar maupun bagian dalam, dengan tujuan
menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuanpenemuan tersebut, menerangkan penyebabnya serta mencari hubungan sebab akibat antara
kelainan-kelainan yang ditemukan beberapa jenis kelainan bersama-sama, maka dilakukasn
penentuan kelainan mana yang merupakan penyebab kematian, serta apakah kelainan yang
lain turut mempunyai andild alam terjadinya kematian tersebut.
Berdasarkan tujuannya, dikenal dua jenis autopsy, yaitu autopsy klinik dan autopsy forensic/
autopsy mediko-legal.
Autopsi klinik dilakukan terhadap mayat seseorang yang menderita penyakit, dirawat di
Rumah Sakit tetapi kemudian meninggal. Tujuan dilakukannya Autopsi klinik adalah untuk:
a. Menentukan sebab kematian yang pasti
b. Menentukan apakah diagnosis klinik yang dibuat selama perawatan sesuai dengan
diagnosis post-mortem
c. Mengetahui korelasi proses penyakit yang ditemukan dengan diagnosis klinis dan
gejala-gejala klinik
d. Menentukan efektivitas pengobatan
e. Mempelajari perjalanan lazim suatu proses penyakit
f. Pendidikan para mahasiswa kedokteran dan para dokter
Untuk autopsy klinik ini mutlak diperlukan izin dari keluarga terdekat mayat yang
bersangkutan.
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, yang terbaik adalah melakukan autopsi klinik yang
lengkap, meliputi pembukaan rongga tengkorak, dada dan perut/panggul, serta melakukan
pemeriksaan terhadap seluruh alat-alat dalam/ organ.
Namun bila pihak keluarga keberatan untuk dilakukannya autopsi klinik lengkap, masih dapat
diusahakan untuk melakukan autopsi klinik parsial, yaitu yang terbatas pada satu atau dua
rongga badan tertentu. Apabila ini masih ditolak, kiranya dapat diusahakan dilakukannya
suatu needle necropsy terhadap organ tubuh tertentu, untuk kemudiasn dilakukan
pemeriksaan histopatologik.
Autopsi forensik atau autopsi mediko-legal dilakukan terhadap mayat seseorang berdasarkan
peraturan undang-undang, dengan tujuan1
a. Membantu dalam hal penentuan identitas mayat
b. Menentukan sebab pasti kematian, memperkirakan cara kematian serta
memperkirakan saat kematian
c. Mengumpulkan serta mengenali benda-benda bukti untuk penentuan identitas benda
penyebab serta identitas perilaku kejahatan
d. Membuat laporan tertulis yang objektif dan berdasarkan fakta dalam bentuk visum et
repertum

e. Melindungi orang yang tidak bersalah dan membantu dalam penentuan terhadap
orang yang bersalah.
Untuk melakukan Autopsi forensic ini, diperlukan suatu surat Surat Permintaan Pemeriksaan/
Pembuatan visum et repertum dari yang berwenang, dalam hal ini pihak penyidik. Izin
keluarga tidak diperlukan, bahkan apabila ada seseoranng yang menghalangi dilakukannya
autopsi forensik, yang bersangkutan dapat dituntut berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Dalam melakukan Autopsi forensik, mutlak diperlukan pemeriksaan yang lengkap, meliputi
pemeriksaan tubuh bagian luar, pembukaan rongga tengkorak, rongga dada dan rongga perut/
panggul. Seringkali perlu pula dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya, antara lain
pemeriksaan toksikologi forensic, histopatologik forensik, serologi forensik dan sebagainya.
Pemeriksaan yang tidak lengkap, yaitu autopsi parsial atau needle necropsy dalam ranghka
pemeriksaan ini tidak dapat dipertanggungjawabkan, karerna tidak akan dapat mencapai
tujuan-tujuan tersebut di atas.
Autopsi forensik harus diloakukan oleh dokter, dan ini tidak dapt diwakilkan kepada mantra
atau perawat.
Baik dalam melakukan autopsi klinik maupun autopsi forensik, ketelitian yang maksimal
harus diusahakan. Kelainan yang betapa kecilpun haru dicatat. Autopsi sendiri harus
dilakukan sedini mungkin , karena dengan lewatnya waktu, pada tubuh mayat dapat terjadi
perubahan yang mungkin akan menimbulkan kesulitan dalam menginterpretasikan kelainan
yang ditemukan.
Persiapan sebelum autopsi3
a. Apakah surat-surat yang berkaitan dengan autopsi yang akan dilakukan telah lengkap.
Dalam hal autopsi forensik, perhatikan apakah Surat Permintaan Pemeriksaan/
Pembuatan Visum et Repertum telah ditandatangani oleh pihak penyidik yang
berwenang untuk autopsi forensik, mutlak dilakukan pemeriksaan lengkap yang
meliputi pembukaan seluruh rongga tubuh dan pemeriksaan seluruh organ
b. Apakah mayat yang akan diautopsi benar-benar adalah mayat yang dimaksudkan
dalam surat yang bersangkutan. Dalam hal autopsi forensik, makla perhatikanlah
apakah yang terhadap mayat yang diperiksa telah dilakukan identifikasi oleh pihak
yang berwenang, berupa penyegelan dengan label Polisi yang diikatkan pada ibnujari
kaki mayat. Hal ini untuk memenuhi ketentuan mengenai penyegelan barang bukti.
Label dari Polisi ini memuat antara lain nama, alamat, tanggal kematian, tempat
kematian dan sebagainya yang harus diteliti apakah sesuai dengan data-data yang
tertera dalam Surat Permintaan Pemeriksaan
c. Kumpulkan keterangan yang berhubungan dengan terjadinya kematian selengkap
mungkin. Pada kasus-kasus autopsi forensik, informasi mengenai kejadian yang
mendahului kematian, keadaan pada Tempat Kejadian Perkara (TKP) dapat member
petunjuk bagi pemeriksaan, serta dapat membantu menentukan jenis pemeriksaan
khusus yang mungkin diperlukan.
d. Kurang atau tidak terdapatnya keterangan-keterangan tersebut di atas dapat
mengakibatkan terlewat atau hilangnya bukti-bukti yang penting, misalnya saja tidak

diambilnya cairan empedu, padahal korban kemudian ternyata adalah seseorang


pecandu narkotika.
e. Periksalah apakah alat-alat yang diperlukan telah tersedia. Untuk melakukan autopsi
yang baik, tidaklah diperlukan alat-alat yang mewah, namun jtersedianya beberapa
alat tambahan kiranya perlu mendapat perhatian yang cukup. Adakah telah tersedia
botol-botol terisi larutan formalin yang diperlukan untuk pengawetan jaringan bagi
tabung-tabung reaksi untuk pengambilan darah, isi lambung atau jaringan untuk
pemeriksaan toksikologi.
Sebab kematian, cara kematian dan mekanisme kematian3
Sebab mati adalah penyakit atau cedera/ luka yang bertanggungjawab atas terjadinya
kematian
Cara kematian adalah macam kejadian yang menimbulkan penyebab kematian. Bila kematian
terjadi sebagai akibat suatu penyakit semata-mata, maka cara kematian adalah wajar (natural
death) bila kematian terjadi sebagai akibat cedera atau luka, atau pada seseorang yang semula
telah mengidap suatu penyakit kematiannya dipercepat oleh adanya cedera atau luka, maka
kematian demikian adalah kematian tidak wajar (unnatural death) kematian tidak wajar ini
dapat terjadi sebagai akibat kecelakaan, bunuih diri atau pembunuhan. Kadangkala pada akhir
suatu penyidikan, penyidik masih belum dapat menentukan cara kematian dan yang
bersangkutan, maka dalam hal ini kematian dinyatakan sebagai kematian dengan cara yang
tidak tertentukan
Mekanisme kematian adalah gangguna fisiologik dan atau biokimiawi yang ditimbulkan oleh
penyebab kematian sedemikian rupa sehingga seseorang tidak dapat terus hidup.

Pemeriksaan luar3
Pada pemeriksaan tubuh mayat sebelah luar, untuk kepentingan forensik, pemeriksaan harus
dilakukan dengan cermat, meliputi segala sesuatu yang telihat, tercium maupun terba, baik
terhadap benda yang menyertai mayat, pakaian, perhiasan, sepatu dan lain-lain juga terhadap
tubuh mayat itu sendiri.
Agar pemeriksaan dapat terlaksana dengan secermat mungkin, pemeriksaan harus mengikuti
suatu sistimatika yang telah ditentukan.
1. Label mayat
Mayat yang dikirimkan untuk pemeriksaan kedokteran forensik seharusnya diberi
label dari pihak kepolisian, biasanya merupakan sehelai karton yang diikatkan pada
ibu jari kaki mayat serta dilakukan penyegelan pada tali pengikat tersebut, untuk
menjamin keaslian dari benda bukti
Label mayat ini harus digunting pada tali pengikatnya, serta disimpan bersama berkas
pemeriksaan. Perlu dicatat warna dan bahan label tersebut. Dicatat pulaapakah
terdapat materai/ segel pada label ini, yang biasanya terbuat dari lak berwarna merah

2.

3.

4.

5.

6.

7.

dengan cap dari kantor kepolisisan yang mengirim mayat. Isi dari label mayat ini juga
dicatat selengkapnya. Adalah kebiasaan yang baik, bila dokter pemeriksa dapat
meminta keluarga terdekat dari mayat untuk sekali lagi melakukan pengenalan/
pemastian identitas.
Tutup mayat
Mayat seringkali dikirimkan pada pemeriksa dalam keadaan ditutupi oleh sesuatu.
Catatlah jenis/ bahan, warna serta corak dari penutup ini. Bila terdapat pengotoran
pada penutup, catat pula letak pengotoran serta jenis/ bahan pengotoran tersebut.
Bungkus mayat
Mayat kadang-kadang dikirimkan pada pemeriksa dalam keadaan terbungkus.
Bungkus mayat ini harus dicatat jenis/ bahannya, warna, corak, serta adanya bahan
yang mengotori. Dicatat pula tali pengikatnya bila ada, baik mengenai jenis/ bahan
tali tersebut, maupun cara pengikatan serta letak ikatan tersebut.
Pakaian
Pakaian mayat dicatat dengan teliti, mulai dari pakaian yang dikenakan pada bagian
tubuh sebelah atas sampai tubuh sebelah bawah, dari lapisan yang terluar sampai
lapisan yanag terdalam.
Pencatatan meliputi: bahan, warna dasar, warna dan corak/ motif dari tekstil,
bentuk/model pakaian, ukuran, merek/ penjahit, cap binatu, monogram/ inisial serta
tambalan atau tisikan yang ada. Bila terdapat pengotoran atau robekan pada pakaian,
maka ini juga harus dicatat dengan teliti dengan mengukur letaknya yang tepat
menggunakan koordinat, serta ukuran dari pengotoran dan atau robekan yang
ditemukan.
Pakaian dari korban yang mati akibat kekerasan atau yang belum dikenal, sebaiknya
disimpan untuk barang bukti.
Bila ditemukan saku pada pakaian, maka saku inio harus diperiksa dan dicatat isinya
dengan teliti pula.
Perhiasan
Perhiasan yang dipakai oleh mayat harus dicatat pula dengan teliti. Pencatatan
meliputi jenis perhiasan, bahan, warna, merek, bentuk serta ukiran nama/inisial pada
benda perhiasan tersebut.
Benda disamping mayat
Bersamaan dengan pengiriman mayat, kadangkala disertakan pengiriman benda
disamping mayat, misalnya bungkusan atau tas. Terhadap benda di samping mayat
inipun dilakukan pencatatan yang teliti dan lengkap
Tanda kematian
Disamping untuk pemastian bahwa korban yang dikirimkan untuk pemeriksaan benarbenar telah mati, pencatatan tanda kematian ini berguna pula untuk penentuan saat
kematian. Agar pencatatan terhadap tanda kematian ini bermanfaat, jangan lupa
mencatat waktu/ saat dilakukannya pemeriksaan terhadap tanda kematian ini
a. Lebam mayat
Terhadap lebam mayat, dilakukan pencatatan/ letak/ distribusi lebam, adanya
bagian tertentu di daerah lebam (karena tertekan pakaian, terbaring di atas benda
keras dan lain-lain). Warna dari lebam mayat serta intensitas lebam mayat (masih

hilang pada penekanan, sedikit menghilang atau sudah tidak menghilang sama
sekali)
b. Kaku mayat
Catat distribusi kaku mayat serta derajat kekakuan pada beberapa sendi (daerah
dagu/ tengkuk, lengan atas, siku, pangkal paha, sendi lutut) dengan menentukan
apakah mudah atau sukar dilawan. Apabila ditemukan adanya spasme kadaverik
(cadaveric spasm) maka ini harus dicatat dengan sebaik-baiknya, karena spasme
kadaverik memberi petunjuk apa yang sedang dilakukan oleh korban sasat terjadi
kematian.
c. Suhu tubuh mayat
Sekalipun perkiraanan saat kematian menggunakan criteria penurunan suhu tidak
dapat memberikan hasil yang memuaskan, namun pencatatan suhu tubuh mayat
kadang masih dapat membantu dalam hal perkiraanan saat kematian.
Pengukuran suhu mayat dilakukan dengan menggunakan thermometer rectal.
Jangan lupa juga melakukan pencatatan suhu ruangan pada saat yang sama
d. Pembusukan
Tanda pembusukan yang pertama tampak berupa kulit perut sebelah kanan bawah
yang berwarna kehijau-hijauan. Kadang-kadang mayat diterima dalam keadaan
pembusukan lebih lanjut, merupakan mayat dengan kulit ari yang telah terkelupas,
terdapat gambaran pembuluh superficial yang melebar berwarna biru-hitam,
ataupun tubuh yang telah mengalami penggembungan akibat pembusukan lanjut.
e. Lain-lain
Catat oerubahan tanatologik lain yang mungkin ditemukan, misalnya
mummkifikasi atau adipocere
8. Identifikasi umum
Catat tanda umum yang menunjukkan identitas mayat, seperti jenis kelamin, bangsa
atau ras, umur, warna kulit, keadaan gizi, tinggi dan berat badan, keadaan zakar yang
disirkumsisi, adanya striae albicantes pada dinding perut
9. Identifikasi khusus
Catat segala sesuatu yang dapat digunakan untuk penentuan identitas secara khusus
a. Rajah/ tattoo
Tentukan letak, bentuk, warna serta tulisan tattoo yang ditemukan. Bila perlu,
buatlah dokumentasi foto
b. Jaringan parut
Catat seteliti mungkin jaringan parut yang ditemukan, baik yang timbul akibat
penyembuhan luka maupun yang terjadi sebagai akibat tindakan bedah.
c. Kapalan (callus)
Dengan mencatat distribusi callus, kadangkala dapat diperoleh keterangan yang
berharga mengenai pekerjaan mayat yang diperiksa semasa hidupnya. Pada
pekerja/ buruh pikul, akan ditemukan kapalan (callus) pada daerah bahu, pada
pekerja kasar lainnya akan ditemukan kapalan pada telapak tangan atau kaki
d. Kelainan pada kulit
Adanya kutil, angioma, bercak hiper atau hipopigmentasi, eksema dan kelainan
lain seringkali dapat membantu dalam penentuan identitas
e. Anomaly dan cacat pada tubuh

Kelainan anatomis berupa anomaly atau deformitas akibat penyakit atau


kekerasan perlu dicatat dengan seksama. Tidak tercatatnya cirri-ciri yang disebut
diatas dapat sangat merugikan karena dapat menyebabkan diragukannya hasil
pemeriksaan terhadap mayat secara keseluruhan.
10. Pemeriksaan rambut
Pemeriksaan iterhadap rambut dimaksudkan untuk membantu identifikasi. Pencatatan
dilakukan terhadap distribusi, warna, keadaan tumbuh serta sifat dari rambut tersebut
baik dalam hal halus kasarnya atau lurus ikalnya. Bila pada tubuh mayat ditemukan
rambut yang mempunyai sifat berlainan dari rambut mayat, rambut-rambut ini harus
diambil, disimpan dan diberi label, untuk pemeriksaan laboratorium lanjutan bila
ternyata diperlukan di kemudian hari.
11. Pemeriksaan mata
Periksa apakah kelopak mata terbuka atau tertutup. Pada kelopak mata, diperhatikan
pula akan adanya tanda-tanda kekerasan serta kelainan lain yang ditimbulkan oleh
penyakit dan sebagainya. Periksa pula keadaan selaput lender kelopak mata,
bagaimana warnanya, adakah pembuluh darah yang melebar, adakah bintik
pendarahan atau bercak pendarahan.
Terhadap bola mata, dilakukan pula pemeriksaan terhadap kemungkinan terdapatnya
tanda kekerasan, kelainan seperti ptysis pbulbi, pemakaian mata palsu dan sebagainya.
Perhatikan pula keadaan selaput lender bola mata akan adanya pelebaran pembuluh
darah, bintik pendarahan atau kelainan lain. Terhadap kornea (selaput bening mata)
ditentukan apakah jernih, adakah kelainan, baik yang fisiologik (arcus senilis)
maupun yang patologik (leucoma).
Iris (tirai mata) dicatat warnanya untuk membantu identifikasi. Catat pula kelainan
yang mungkin ditemukan. Perhatikan pupil (teleng mata) dan catat ukurannya, apakah
sama pada mata kanan dan yang kiri. Bile terdapat kelainan pada lensa mata, ini pun
harus dicatat
12. Pemeriksaan daun telinga dan hidung
Pemeriksaan meliputi pencatatan terhadap bentuk dari daun telinga dan hidung,
terutama pada mayat dengan bentuk yang luar biasa karena hal ini mungkin dapat
membantu dalam identifikasi
Catat pula kelainan serta tanda kekerasan yang ditemukan. Periksa apakah dari lubang
telinga dan hidung keluar cairan/ darah
13. Pemeriksaan terhadap mulut dan rongga mulut
Pemeriksaan meliputi bibir, lidah, rongga mulut serta gigi geligi. Catat kelainan atau
tanda kekerasan yang ditemukan. Periksa dengan teliti keadaan rongga mulut akan
kemungkinan terdapatnya benda asing (pada kasusu penyumbatan misalnya)
Terhadap gigi geligi, pencatatan harus dilakukan sel;engkap-lengkapnya meliputi
jumlah gigi yang terdapat, gigi geligi yang hilang/ patah/ mendapat tambalan/
bungkus logam, gigi palsu, kelainan letak, pewarnaan (staining) dan sebaginya. Data
gigi geligi merupakan alat yang sangat berguna untuk identifikasi bila terdapat data
pembanding. Perlu diingat bahwa gigi geligi adalah bagian tubuh yang paling keras
dan tahan terhadap kerusakan.
14. Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan

Kelainan atau tanda kekerasan yang ditemukan harus mendapat perhatian dan dicatat
selengkapnya. Pada mayat laki-laki, catat apakah alat kelamin mengalami sirkumsisi
Catat kelainan bawaan yang mungkin ditemukan (epispadia, hypospadia phymosis
dan lain-lain), adanya manik-manik yang ditanam dibawah kulit, juga keluarnya
cairan dari lubang kemaluan serta kelainan yang ditimbulkan oleh penyakit atau sebab
lain. Pada dugaan terjadinya suatu persetubuhan beberapa saat sebelumnya, dapat
diambil preparat tekan menggunakan kaca objek yang ditekankan pada daerah glans
atau corona glandis yang kemudian dapat dilakukan pemeriksaan terhadap adanya
sel epitel vagina menggunakan teknik laboratorium tertentu.
Lubang pelepasan perlu pula mendapat perhatian. Pada mayat yang sering mendapat
perlakuan sodomi, muingkin ditemukan anus berbentuk corong yang selaput lendirnya
sebagian berubah menjadi lapisan bertanduk dan hilangnya rugae.
15. Lain-lain3
Perlu diperhatikan akan kemungkinan terdapatnya
a. Tanda perbendungan, ikterus, warna kebiru-biruan pada kuku/ ujung-ujung jari
(pada sianosis) atau adanya edema/ sembab.
b. Bekas pengobatan berupa bekas kerokan, tracheotomi, suntikan, pungsi lumbal
dan lain-lain
c. Terdapatnya bercal lumpur atau pengotoran lain pada tubuh, kepingan atau
serpihan cat, pecahan kaca, lumuran aspal dan lain-lain
16. Pemeriksaan terhadap tanda-tanda kekerasan/ luka3
Pada pemeriksaan terhadap tanda kekerasan/ luka, perlu dilakukan pencatatan yang
teliti dan objektif terhadap
a. Letak luka
Pertama-tama sebutkan region anatomis luka yang ditemukan, dengan juga
mencatat letaknya yang tepat menggunakan korrdinat terhadap garis/ titik
anatomis yang terdekat
b. Jenis luka
Tentukan jenis luka, apakah merupakan luka lecet, luka memar, atau luka terbuka
c. Bentuk luka
Sebutkan bentuk luka yang ditemukan. Pada luka yang terbuka sebutkan pula
bentuk luka setelah luka dirapatkan.
d. Arah luka
Dicatat arah dari luka, apakah melintang, membujur atau miring
e. Tepi luka
Perhatikan tepi luka apakah rata, teratur, atau berbentuk tidak beraturan
f. Sudut luka
Pada luka terbuka, perhatikan apakah sudut luka merupakan sudut runcing,
membulat atau bentuk lain
g. Dasar luka
Perhatikan dasar luka, jaringan bawah kulit atau otot, atau bahkan merupakan
rongga badan
h. Sekitar luka
Perhatikan adanya pengotoran, terdapatnya luka/ tanda kekerasan lain di sekitar
luka
i. Ukuran luka

Luka diukur dengan teliti. Pada luka terbuka, ukuran luka di ukur juga setelah
luka yang bersangkutan dirapatkan.
j. Saluran luka
Penentuan saluran luka dilakukan in situ. Tentukan perjalan luka serta panjang
luka. Penentuan ini baru dapat ditentukan pada saat dilakukan pembedahan mayat
k. Lain-lain
Pada luka lecet jenis serut, pemeriksaan teliti terhadap permukaan luka terhadap
pola penumpukan kulit dan yang terserut dapat mengungkapkan arah kekerasan
yang menyebabkan luka tersebut
17. Pemeriksaan terhadap patah tulang
Tentukan letak patah tulang yang ditemukan serta cacat sifat/ jenis masing-masing
patah tulang yang terdapat.
Autopsi pada kasus kematian akibat kekerasan
Pada kematian akibat kekerasan, pemeriksaan terhadap luka harus dapat
mengungkapkan berbagai hal tersebut di bawah ini:
a. penyebab luka
dengan memperhatikan morfologi luka, kekerasan penyebab luka dapat ditentukan.
Pada kasus tertentu, gambaran luka seringkali dapat memberikan petunjuk mengenai
bentuk benda yang mengenai tubuh misalnya luka yang disebabkan oleh benda
tumpul berbentuk bulat panjang akan meninggalkan negative imprint oleh timbulnya
marginal haemorrhage. Luka lecet jenis tekan memberikan gambaran bentuk benda
penyebab luka.
b. arah kekerasan
pada luka lecet jenis geser dan luka robek, arah kekerasan dapat ditentukan. Hal ini
sangat membantu pihak yang berwajib dalam melakukan rekonstruksi tejadinya
perkara.
c. cara terjadinya luka
yang dimaksudkan dengan cara terjadinya luka adalah apakah luka yang ditemukan
terjadi sebagai akibat kecelakaan, pembunuhan atau bunuh diri.
Luka-luka akibat kecelakaan biasanya terdapat pada bagian tubuh yang terbuka.
Bagian tubuh yang biasanya terlindung jarang mendapat luka pada suatu kecelakaan.
Daerah terlindung ini biasanya daerah ketiak, daerah sisi depan leher, daerah lipat
siku dan sebagainya.
Luka akibat pembunuhan dapat ditemukan tersebar pada seluruh bagian tubuh. Pada
korban pembunuhan yang sempat mengadakan perlawanan, dpat ditemukan luka
tangkis yang biasanya terdapat pada daerah ekstensor lengan bawah atau telapak
tangan.
Pada korban bunuh diri, luka biasanya menunjukkan sifat luka percobaan (tentative
wounds) yang mengelompok dan berjalan kurang sejajar.
d. hubungan antara luka yang ditemukan dengan sebab mati
harus dapat dibuktikan bahwa terjadinya kematian semata-mata disebabkan oleh
kekerasan oleh kekerasan yang menyebabkan luka. Untuk itu pertama-tama dapat
dibuktikan bahwa luka yang ditemukan benar-benar luka yang terjadi semasa korban

masih hidup (luka intravital). Untuk itu, tanda intravitalitas luka dapat bervariasi dan
ditemukan pada resapan darah, terdapatnya proses penyembuhan luka, serbukan sel
radang, pemeriksaan histo-enzimatiksampai pemeriksaan kadar histamin bebas dan
serotonin jaringan.
Sekiranya disamping luka ditemukan pula keadaan patologik lain, misalnya penyakit
tertentu, maka haruslah dapat meyakinkan bahwa kelainan yang lain tidaklah
merupakan penyebab kematian.
Kematian akibat kekerasan benda tajam
Pembunuhan menggunakan kekerasan dapat dilakukan dengan benda tumpul, benda
tajam maupun senjata api. Kadang-kadang dapat juga terjadi pembunuhan dengan api,
sekalipun jarang terjadi.
Pada pembunuhan dengan menggunakan kekerasan tumpul, luka dapat terdiri dari
luka memar, luka lecet maupun luka robek. Perhatikann adanya luka tangkis yang
terdapat pad daerah ekstensor lengan bawah.
Pada pembunuhan dengan menggunakan kekerasan tajam, luka harus dilukiskan
dengan baik, dengan memperhatikan bentuk luka, tepi luka, sudut luka, keadaan
sekitar luka serta lokasi luka. Dalam peristiwa pembunuhan, cari pula kemungkinan
terdapatnya luka tangkis di daerah ekstensor lengan bawah serta telapak tangan.
Luka biasanya terdapat beberapa buah yang didistribusinya tidak teratur, sekalipun
tidak jarang ditemukan kasus pembunuhan hanya terdiri dari satu luka saja tanpa si
korban sempat melakukan perlawanan apapun. Dengan menentukan arah kekerasan
pada luka yang ditemukan, dapat dilakukan rekonstruksi terjadinya peristiwa.
pada orang yang melakukan bunuh diri dengan benda tajam, luka bunuh diri
seringkali merupakan luka yang mengelompok pada tempat tertentu, antara lain
pergelangan tangan, leher atau daerah prekordial. Luka-luka biasanya terdiri dari
beberapa buah yang berjalan kurang lebih sejajar dan dangkal (luka-luka
percobaan/tentative wounds) dengan sebuah luka dalam yang mematikan.
Pada autopsi kasus dengan luka yang menembus ke dalam tubuh, misalnya tembakan
senjata api atau tusukan senjata tajam, perlu ditentukan arah serta jalannya saluran
luka dalam tubuh mayat.
Autopsi kasus kematian akibat asfiksia mekanik.3
Asfiksia mekanik meliputi peristiwa pembekapan, penyumbatan, pencekikan,
penjeratan dan gantung serta penekanan pada dinding dada. Pada pemeriksaan mayat,
umumnya akan ditemukan tanda kematian asfiksia berupa lebam mayat yang gelap
dan luas, pembendungan pada bola mata, busaakibat halus pada lubang hidung, mulut
dan saluran pernafasan, pembendungan pada alat-alat dalam serta bitnik perdarahan
Tardieu.
Tanda-tanda asfiksia tidak akan ditemukan bila kematian terjadi melalui makanisme
non asfiksia. Untuk menentukan peristiwa mana yang terjadi pada korban, perlu
diketahui ciri khas bagi masing-masing peristiwa tersebut.
Mati akibat pencekikan3

Pada korban pencekikan, kulit daerah leher menunjukkan adanya tanda-tanda


kekerasan yang ditimbulkan oleh oleh ujung jari atau kuku berupa luka memar dan
luka lecet jenis tekan. Pada pembedahan akan ditemukan pula tanda kekerasan berupa
resapan darah bawah kulit daerah leher serta otot atau alat leher. Tulang lidah kadangkadang ditemukan patah unilateral.
Mati akibat penjeratan3
Pada kasus penjeratan, kadangkala masih ditemukan jerat pada leher korban. Jerat
harus diperlakukan sebagai barang bukti dan dilepaskan dari leher korban dengan
jalan menggunting secara miring pada jerat, di tempat yang paling jauh dari simpul,
sehingga simpul pada jerat masih utuh. Pada kasus penjeratan, jerat biasanya berjalan
horizontal/mendatar dengan letaknya rendah. Jerat ini menimbulkan jejas jerat berupa
luka lecet jenis tekan yang melingkari leher. Cata keadaan jejas jerat dengan teliti,
dengan menyebutkan arah, lebar serta letak jerat yang tepat. Perhatikan apakah jenis
jerat menunjukkan pola tertentu yang sesuai dengan permukaan jerat yang
bersentuhan dengan kulit leher.
Pada umumnya dikatakan simpul mati ditemukan pada kasus pembunuhan, sedangkan
simpul hidup ditemukan pada kasus bunuh diri. Namun perkecualian selalu terjadi.
Mati tergantung3
Pada kasus gantung, jerat pada leher menahan berat badan korban dan mengakibatkan
tertekannya leher. Jerat pada leher menunjukka ciri khas berupa arah yang tidak
mendatar, tetapi bentuk sudut yang membuka ke arah bawah serta letak jerat yang
tinggi. Bila korban berada cukup lama dalam posis gantung, distribusi lebam mayat
akan menunjukkan pengumpalan darah di ujung tangan dan kaki. Sama halnya dengan
kasus perjeratan, jenis simpul tidak selalu dapat mengungkap cara kematian.
Pada pembedahan akan ditemukan resapan darah bawah kulit serta pada otot dan alat
leher di tempat yang sesuai dengan letak jekas jerat pada kulit.
2.4 Thanatologi
Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati somatis (mati klinis), mati
suri, mati seluler, mati serebral, dan mati otak (mati batang otak)
a. Mati somatis (mati klinis) terjadi akibat terhentinya fungsi ke tiga sistem penunjang
kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular, dan sistem pernapasan,
yang menetap. Secara klinis tidak ditemukan refleks-refleks, EEG mendatar, nadi
tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerak pernapasan, dan suara
nafas tidak terdengar pada auskultasi.1
b. Mati suri: terhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan yang ditentukan dengan alat
kedokteran sederhana. Dengan peralatan kedokteran canggih masih dapat dibuktikan
bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi.1

c. Mati seluler (mati molekuler): kematian organ atau jaringan tubuh beberapa saat
setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan
berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ atau jaringan
tidak bersamaan.1
d. Mati serebral : kerusakan kedua hemisfer otak yang irriversible kecuali batang otak
dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan
kardiovaskuler masih berfungsi dengan alat bantu.1
e. Mati otak (mati batang otak) adalah bila terjadi kerusakan seluruh isi neuronal
intrakranial yang irreversible termasuk batang otak dan serebelum. Dengan
diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka dapat dikatakan seseorang secara
keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan.1
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang berupa tanda
kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan tersebut dapat timbul
dini pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian, misalnya kerja jantung dan
peredaran darah berhenti, pernapasan berhenti, refleks cahaya dan refleks kornea mata hilang,
kulit pucat dan relaksasi otot. Setelah beberapa waktu timbul perubahan pascamati yang jelas
yang memungkinkan diagnosis kematian lebih pasti. Tanda-tanda tersebut dikenal sebagai
tanda pasti kematian berupa lebam mayat (hipostasis atau lividitas pasca-mati), kaku mayat
(rigor mortis), penurunan suhu tubuh, pembusukan, mumifikasi dan adiposera.
Tanda kematian tidak pasti1
a. Pernafasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi, auskultasi).
b. Terhentinya sirkulasi, dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
c. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena mungkin
terjadi spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan.
d. Tonus otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dan otot-otot wajah menyebabkan
kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang menjadi tampak lebih muda.
Kelemasan otot sesaat setelah kematian disebut relaksasi primer. Hal ini
mengakibatkan pendataran daerah-daerah yang tartekan, misalnya daerah belikat dan
bokong pada mayat yang terlentang.
e. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian.
Segmen-segmen tersebut bergerak ke arah tepi retina dan kemudian menetap.
Tanda pasti kematian.
a. Lebam mayat (livor mortis).1

Setelah kematian klinis maka eritrosit akan menempati tempat terbawah akibat gaya
gravitasi, mengisi vena dan venula, membentuk bercak darah berwarna ungu (livide) pada
bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian tubuh yang tertekan alas keras. Darah tetap
cair karena adanya aktivitas fibrinolisin yang berasal dari endotel pembuluih darah.
Lebam mayat biasanya mulai tampak pada 20-30 menit pasca mati, makin lama
intensitasnya bertambah dan menjadi lengkap dan menetap setelah 8- 12 jam. Sebelum
waktu itu, lebam mayat masih hilang (memucat) pada penekanan dan dapat berpindah
jika posisi mayat diubah.
Memucatnya lebam mayat akan lebih cepat dan lebih sempurna apabila penekanan atau
perubahan posisi tubuh tersebut dilakukan dalam 6 jam pertama setelah mati klinis.
Tetapi walaupun setelah 24jam, darah masih tetap cukup cair sehingga sejumlah darah
masih dapat mengalir dan membentuk

lebam mayat di tempat terendah yang baru.

Kadang dijumpai bercak perdarahan berwarna biru kehitaman akibat pecahnya pembuluh
darah. Menetapnya lebam disebabkan oleh bertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah
cukup banyak sehingga sulit berpindah lagi. Selain itu kekauan otot-otot dinding
pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan tersebut.
Lebam mayat dapat digunakan untuk tanda pasti kematian ; memperkirakan sebab
kematian, misalnya lebam berwarna merah terang apda keracunan CO atau CN, warna
kecoklatan pada keracunan anililn, nitrit, nitrat, sulfonal ; mengetahui perubahan posisi
mayat yang dilakukan setelah terjadi lebam mayat yang menetap ; dan memperkirakan
saat kematian. Apabila pada mayat terlentang yang telah timbul lebam mayat belum
menetap dilakukan perubahan posisi menjadi telungkup, maka setelah beberapa saat akan
terbentuk lebam mayat baru di daerah perut dan dada.
Mengingat pada lebam mayat darah terdapat didalam pembuluh darah, maka keadaan ini
digunakan untuk membedakannya dengan resapan darah akibat trauma (ekstravasi). Bila
pada daerah tersebut dilakukan irisan dan kemudian disiram dengan air, maka warna
merah darah akan hilang atau pudar pada lebam mayat, sedangkan resapan darah tidak
menghilang.
b. Kaku mayat (rigor mortis).1
Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme tingkat seluler
masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasikan energi.
Energi ini digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP. Selama masih terdapat ATP
maka serabut aktin dan miosin tetap lentur. Bia cadangan glikogen dalam otot habis,
maka energi tidak terbentuk lagi, aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku.

Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai tampak kirakira 2 jam setelah mati kilnis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot-otot kecil) ke arah
dalam (sentripetal). Teori lama menyebutkan bahwa kaku mayat ini menjalar
kraniokaudal. Setelah mati klinis 12 jam kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan
selama 12 jam dan kemudian menghilang dalam urutan yang sama. Kaku mayat
umumnya tidak disertai pemendekan serabut otot, tetapi jika sebelum terjadi kaku mayat
otot berada dalam posisi teregang, maka saat kaku mayat terbentuk akan terjadi
pemendekan otot.
Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktivtas fisik sebelum
mati, suhu tubuh yang tinggi, bentuk tubuh kurus dengan otot-otot keci dan suhu
lingkungan tinggi. Kaku mayat dapat dipergunakan untuk menunjukkan tanda pasti
kematian dan memperkirakan saat kematian.
c. Penurunan suhu tubuh (algor mortis).1
Penurunan suhu tubuh terjadi karena proses pemindahan panas dari suatu benda ke benda
yang lebih dingin, melalul cara radiasi, konduksi, evaporasi dan konveksi. Grafik penurunan
suhu tubuh ini hampir berbentuk kurva sigmoid atau seperti huruf S. Kecepatan penurunan
suhu dipengaruhi oleh suhu keliling, aliran dan kelembaban udara, bentuk tubuh, posisi
tubuh, pakaian. Selain itu suhu saat mati perlu diketahul untuk perhitungan perkiraan saat
kematian. Penurunan suhu tubuh akan lebih cepat pada suhu keliling yang rendah, lingkungan
berangin dengan kelembaban rendah, tubuh yang kurus, posisi terlentang, tidak berpakaian
atau berpakaian tipis, dan pada umumnya orang tua serta anak kecil.

2.5 Asfiksia
Asfiksia merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang, disertai dengan
peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dan dengan demikian, organ tubuh
menjadikekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) sehingga terjadi kematian.
Asfiksia dapat dibagi kepada:1
1. Asfiksia mekanik
2. Asfiksia kimia (keracunan)
3. Asfiksia alamiah
4. Asfiksia environmental

Asfiksia akibat mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara terhalang memasuki
saluran napas oleh kerkerasan yang bersifat mekanik, misalnya:
1. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas1
a. Pembekapan (smothering)
b. Penyumbatan (Gagging dan choking)
2. Penekanan dinding saluran pernapasan:1
a. Penjeratan (strangulation)
b. Pencekikan (manual strangulation, throttling)
c. Gantung (hanging)

Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan dalam 4 fase,
yaitu:1

1. Fasa dispnea: penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam
plasma akan merangsang pusat pernapasan di medulla oblongata, sehingga amplitude
pernapasan akan menjadi tinggi, nadi cepat, tekanan darah meninggi dan mulai
tampak tanda-tanda sianosis terutama pada muka dan tangan.

2. Fasa konvulsi: Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap
susunan saraf pusat sehingga terjadinya konvulsi, yang mula-mula berupa kejang
klonik tetapi kemudia kejang tonik, dan akhirnya timbul spasme opistotonik.
Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek
ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akibat kekurangan
02.
3. Fasa Apnea. Depresi pusat pernapasan menjadi lebih hebat, pernapasan melemah dan
dapat berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter, dapat terjadi
pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja
4. Fasa akhir. Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti
setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut
beberapa saat setelah pernapasan berhenti.
Masa dari saat asfiksia timbul hingga terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya
berkisar antara 4-5 minit. Fase 1 dan 2berlangsung lebih kurang 3-4 menit, tergantung dari

tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan
tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.
Secara patologi, berikut merupakan perubahan yang dapat terjadi:5
1. Kapiler akan berdilatasi sebagai respons hipoksia dan anoksia. Ini seterusnya akan
menyebabkan stagnasi darah dalam kapiler dan venules sehingga terjadi pembesaran
capillovenous.
2. Cedera pada dinding kapiler akan menyebabkan perdarahan petechie pada jaringan.
3. Sianosis
4. Oedem pada kapiler
5. Darah menjadi encer post mortem
6. Dilatasi cardiac
CIRI KHAS PADA PEMERIKSAAN JENAZAH1
Kelainan yang umum ditemukan pada pembedahan jenazah korban mati akibat akfiksia
adalah:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, kerana fibrinolisin darah yang meningkat
pasca mati.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Perbendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat,
berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang
jantung daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus bawah
pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah
otot temporal, mukosa epiglottis dan daerah subglotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan kekerasan, seperti
fraktur laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian
belakang rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis)

PEMBEKAPAN (SMOTHERING)

Pembekapan merupakan penutupan lubang hidung dan mulut yang menghambat pemasukan
udara ke paru-paru. Pembekapan menimbulkan kematian akibat asfiksia.

GAGGING DAN CHOKING5


Pada keadaan ini, terjadi sumbatan jalan napas oleh benda asing, yang mengkibatkan
hambatan udara untuk masuk ke paru-paru.
Pada gagging, sumbatan terdapat dlm orofaring, sedangkan pada choking sumbatan terdapat
lebih dalam pada laringofaring. Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia
atau reflex vagal akibat rangsangan pada reseptoe nervus vagus di arkus faring, yang
menimbulkan inhibisi kerja jantung dengan akibat cardiac arrest dan kematian.
PENCEKIKAN (MANUAL STRANGULATION)5
Pencekikan adalah penekanan leher dengan tangan, yang menyebabkan dinding saluran napas
bagian aas tertekan dan terjadi penyempitan saluran napas sehingga udara pernapasan tidak
dapat lewat. Mekanisme kematian terbagi kepada 2:
1. Asfiksia
2. Refleks vagal, terjadi akibat rangsangan pada reseptor nervus vagus pada crpus
caroticus (carotid body) di percabangan arteri karotis interna dan eksterna. Reflex
vagal ini jarang sekali terjadi.
PENJERATAN (LIGATURE STRANGULATION)6
Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen, kawat,
kabel dan sebagainya, melingkari atau mengikat leher yang makin lama makin kuat, sehingga
saluran pernapasan tertutup.
Berbeda dengan gantung diri, yang biasanya merupakan suicide maka penjeratan biasanya
adalah pembunuhan, kecuali akibat autoerotic asphyxiation. Mekanisme penjeratan adalah
akibat asfiksia atau reflex vasovagal.
JEJAS JERAT6
Jejas jerat pada leher biasanya mendatar, melingkari leher dan terdapat lebih rendah
daripada jejas jerat pada kasus gantung. Jejas biasanya terletak setinggi atau di bawah rawan
gondok. Keadaan jejas jerat pada leher sangat bervariasi. Bila jerat lunak dan lebar seperti
handuk atau selendang sutera, maka jejas mungkin tidak dapat ditemukan dan pada otot-otot
leher bagian dalam dapat atau tidak ditemukan sedikit resapan darah. Tali yang tipis seperti
kaus kaki nylon akan meninggalkan jejas dengan lebar tidak lebih dari 2-3 mm.
Pola jejas dapat dilihat dengan menempelkan transparent scotch tape pada daerah
jejas di leher, kemudian ditempelkan pada kaca obyek dan dilihat dengan mikroskop atau

dengan sinar ultra violet. Bila jerat kasar seperti tali, maka bila tali bergesekan pada saat
korban melawan akan menyebabkan luka lecet di sekitar jejas serat yang tampak jelas berupa
kulit yang mencekung berwarna coklat dengan perabaan kaku seperti kertas perkamen (luka
lecet tekan). Pada otot-otot leher sebelah dalam tampak banyak resapan darah.
SUICIDAL STRANGULATION6.
Bunuh diri secara strangulasi sangat jarang terjadi. Terdapat beberapa jenis cara yang
dilakukan korban untuk membunuh diri. Yang tersering dilakukan adalah dengan mengikat
tali seperti tourniket pada leher dengan bantuan tuas (lever). Dapat juga berupa strangulasi
dimana korban mengikat tali pada batang leher dan ujung talinya di ikat pada satu titik seperti
pohon sama seperti pada kasus.
Pada strangulasi suicidal ini, dapat dilihat tanda congesti vena diatas dari jejas jerat dan
sangat jelas terlihat pada pangkal lidah (root of tongue). Ini adalah disebabkan oleh kuatnya
jerat melilit leher walaupun setelah mati sehingga meghalang drainase darah sewaktu post
mortem. Cedera juga tidak berat dikarenakan kurang daya (less force) yang digunakan untuk
membunuh diri. Dalam semua kasus suicidal strangulation, jerat harus ditemukan in situ dan
tiada cedera defensive pada korban serta tiada tanda pergelutan pada TKP.
HOMICIDAL STRANGULATION6
Strangulasi adalah penyebab tersering dalam kasus pembunuhan. Dalam kasus strangulasi ini,
dapat dilihat abrasi pada kulit akibat pergerakan jerat pada kulit. Dapat juga dilihat jejas kuku
(fingernail marks) samada dari korban yang mencoba melepaskan jerat atau dari pelaku yang
mencuba menghalang leher dari bergerak atau juga akibat pencekikan. Jejas jerat dapat
meliliti seluruh batang leher atau hanya dapat dilihat pada bagian depan leher sahaja. Ini
merupakan indikasi bahawa jerat tersebut ditarik dari belakang. Jejas juga dapat sloping ke
atas jika jerat ditarik keatas (pelaku lebih tinggi dari leher korban saat penjeratan). Seringkali,
tanda pergelutan dapat dilihat samada pada TKP atau dari baju korban.
Pada strangulasi homicidal, pelaku seing menggunakan daya (force) yang berlebihan
sehinggakan dapat dilihat cedera pada otot leher bagian dalam. Jejas jerat pada strangulasi
yang dilakukan post mortem tidak menimbulkan memar, hanya jejas (grooved impression)
atau abrasi berwarna kuning atau coklat.
GANTUNG (HANGING)6

Kasus gantung hamper sama dengan penjeratan. Perbedaanya terdapat pada asal tenaga yang
dibutuhkan untuk memperkecil lingkaran jerat. Pada penjeratan tenaga tersebut dating dari
luar, sedangkan pada kasus gantung, tenaga tersebut dating dari berat badan korban sendiri,
meskipun tidak perlu seluruh berat badan digunakan.

2.6 Traumatologi Forensik


Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta hubungannya
dengan berbagai kekerasan (rudapaksa), sedangkan yang dimaksudkan dengan luka adalah
suatu keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan. Berdasarkan sifat serta
penyebabnya, kekerasan dapat dibedakan atas kekerasan yang bersifat :
1. Mekanik
a. Kekerasan oleh benda tajam
b. Kekerasan oleh benda tumpul
c. Tembakan senjata api
2. Fisika
a. Suhu (dingin dan panas)
b. Listrik dan petir
c. Perubahan tekanan udara
d. Akustik
e. Radiasi
3. Kimia
a. Asam atau basa kuat
Luka Akibat Kekerasan Benda Tajam
Benda-benda yang dapat mengakibatkan luka dengan sifat luka ini adalah benda yang
memiliki sisi tajam, baik berupa garis mau pun runcing, yang bervariasi dari alat-alat seperti
pisau, golok, dan sebagainya hingga keping kaca, gelas, logam, sembilu, bahkan tepi kertas
atau rumput. Gambaran umum luka yang diakibatkannya adalah tepi dan dinding luka yang
rata, berbentuk garis, tidak terdapat jembatan jaringan dan dasar luka berbentuk garis atau
titik.
Luka akibat kekerasan benda tajam dapat berupa luka iris / sayat, luka tusuk, danluka bacok.

Selain gambaran umum luka tersebut, luka iris atau sayat dan luka bacok memiliki kedua
sudut luka lancip dan dalam luka tidak melebihi panjang luka.Sudut luka yang lancip dapat
terjadi dua kali pada tempat yang bedekatan akibat pergeseran senjata sewaktu ditarik atau
akibat bergeraknya korban. Bila dibarengi gerak memutar, dapat menghasilkan luka yang
tidak selalu berupa garis.
Pada luka tusuk, sudutluka dapat menunjukkan perkiraan benda penyebabnya, apakahberupa
pisau bermata satu atau bermata dua. Bila satu sudut luka lancip dan yang lain tumpul, berarti
benda penyebabnya adalah benda tajam bermata satu. Bila kedua sudut luka lancip, luka
tersebut dapat diakibatkan oleh benda tajam bermata dua. Benda tajam bermata satu dapat
menimbulkan luka tusuk dengan kedua sudut luka lancip apabila hanya bagian ujung benda
saja yang menyentuh kulit, sehingga sudut luka dibentuk oleh ujung dan sisi tajamnya.
Kulit di sekitar luka akibat kekerasan benda tajam biasanya tidak menunjukkan adanya luka
lecet atau luka memar, kecuali bila bagian gagang turut membentuk kulit.
Pada luka tusuk, panjang luka biasanya tidak mencerminkan lebar benda tajam penyebabnya,
demikian pula panjang saluran luka biasanya tidak menunjukkan panjang benda tersebut.Hal
ini disebabkan oleh factor elastisitas jaringan dan gerakan korban.
Umumnya luka akibat kekerasan benda tajam pada kasus pembunuhan, bunuh diri atau
kecelakaan memiliki ciri-ciri berikut :
Pembunuhan

BunuhDiri

Kecelakaan

Lokasiluka

Sembarang

Terpilih

Terpapar

Jumlahluka

Banyak

Banyak

Tunggal/banyak

Pakaian

Terkena

Tidakterkena

Terkena

Luka tangkis

Ada

Tidakada

Tidakada

Luka percobaan

Tidakada

Ada

Tidakada

Cederasekunder

Mungkinada

Tidakada

Mungkinada

Ciri-ciri pembunuhan diatas dapat dijumpai pada kasus penbunuhan yang disertai
perkelahian. Tetapi bila tanpa perkelahian maka lokasi luka biasanya pada daerah fatal dan
dapat tunggal.

Luka tangkis merupakan luka yang terjadi akibat perlawanan korban dan umumnya
ditemukan pada telapak dan punggung tangan, jari-jari tangan, punggung lengan bawah dan
tungkai.
Pemeriksaan pada kain (baju) yang terkena pisau bertujuan untuk melihat interaksi Antara
pisau-kain-tubuh, yaitu melihat letak/lokasi kelainan, bentuk robekan, adanya partikel besi
(reaksibiru berlin dilanjutkan dengan pemeriksaan spektroskopi), serat kain dan pemeriksaan
terhadap bercak darahnya.
Bunuh diri yang menggunakan benda tajam biasanya diarahkan pada tempat yang cepat
mematika nbiasanya leher, dada kiri, pergelangan tangan, perut dan lipat paha. Bunuh diri
dengan senjata tajam tentu akan menghasilkan luka-luka pada tempat yang terjangkau oleh
tangan korban serta biasanya tidak menembus pakaian karena umumnya korban menyingkap
pakaian terlebih dahulu.
Luka percobaan khas ditemukan pada kasus bunuh diri yang menggunakan senjata tajam,
sehubungan dengan kondisi kejiwaan korban. Luka percobaan tersebut dapat berupa luka
sayat atau luka tusuk yang dilakukan berulang dan biasanya sejajar.
Yang dimaksud dengan kecelakaan pada table diatas adalah kekerasan benda tajam yang
terjadi tanpa unsure kesengajaan, misalnya kecelakaan industry kecelakaan pada kegiatan
sehari-hari; sedangkan cedera sekunder adalah cedera yang terjadi bukan akibat benda tajam
penyebab, misalnya luka yang terjadi akibat terjatuh.

2.6 Intepretasi Hasil Penemuan


Menggunakan segala temuan, hasil dan kelaianan yang dijumpai dari pemeriksaan luar dan
dalam, pemeriksaan bahan bukti. Setelah itu, menjelaskan apa yang terjadi setelah penemuan
tersebut.

2.7 Visum et Repertum3


Definisi
Adalah keterangan yang dibaut oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang
mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup ataupun mati, ataupun

bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan dibawah
sumpah, untuk kepentingan peradilan.1
Peranan dan fungsi3
Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184
KUHAP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana
terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang
hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat
dianggap sebagai pengganti benda bukti.1
Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil
pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di bagian kesimpulan.
Dengan demikian, visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran
dengan ilmu hukum, sehingga dengan membaca Visum et Repertum, dapat diketahui dengan
jelas apa yang telah terjadi pada seseorang dan para praktisi hukum dapat menerapkan
norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut ttubuh/jiwa manusia.
Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduknya persoalan di sidang
pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti
yang tercantum dalam KUHAP, yang memberi kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau
penelitain ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa
atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan (ps 180 KUHAP)3
Jenis visum et repertum1
a) Visum et repertum perlukaan (termasuk keracunan)
b) Visum et repertum kejahatan susila
c) Visum et repertum jenazah
d) Visum et repertum psikiatrik

Daftar pustaka:
1. Budiyanto.A, Widiaktama.W, Sudionoa.S, Hertian.S, Sempurna.B, et al. Ilmu
Kedokteran Forensik. Edisi Pertama cetakan kedua. Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:1997, hal 3, 5, 8, 25-35, 44-48
2. Peraturan

perundang-undangan

bidang

kedokteran.

cetakan

kedua.

Bagian

Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 1994, hal


3-7, 11-19, 37, 39, 42.
3. Teknik autopsi forensik. Cetakan keempat. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 2000, hal 12-20, 59-60, 74-81.
4. James J.P., Byard R., Corey T., Henderson C.. Asphyxia. Encyclopedia of Forensic
and Legal Medicine. Vol 1.1st ed. Elsevier Publication. 2004. p151-157
5. Rao.

D.

Asphyxia.

Forensic

Pathology.

Diunduh

dari

http://forensicpathologyonline.com/E-Book/asphyxia. 4 Desember 2013


6. Rao.

D.

Asphyxia.

Forensic

Pathology.

Diunduh

http://forensicpathologyonline.com/e-book/asphyxia/ligature-strangulation.
Desember 2013

dari
4

Anda mungkin juga menyukai