Anda di halaman 1dari 8

Nama:Rafly fadillah

Npm:1119054

Tanggal:02, 06,2023

(1.)Fungsi dari Ilmu Kedokteran Forensik adalah sebagai berikut:

1. Penentuan Penyebab Kematian: Kedokteran Forensik berperan dalam menentukan penyebab


kematian seseorang. Hal ini melibatkan pemeriksaan dan analisis berbagai bukti medis, seperti
otopsi, pemeriksaan jaringan, dan laboratorium forensik, guna mengidentifikasi penyebab
kematian, apakah itu akibat kekerasan, penyakit, atau faktor lainnya.

2. Identifikasi Korban: Ilmu Kedokteran Forensik membantu dalam mengidentifikasi korban


kejahatan atau bencana melalui metode forensik seperti sidik jari, rekam gigi, dan DNA.
Identifikasi ini penting untuk proses penyelidikan dan untuk memberikan kepastian kepada
keluarga korban.

3. Penyelidikan Kriminal: Kedokteran Forensik memberikan kontribusi yang penting dalam


penyelidikan kriminal. Melalui pemeriksaan forensik, dokter forensik dapat memberikan bukti
medis yang kuat, seperti jejak fisik, luka, atau pola cedera yang dapat membantu mengungkap
kebenaran di balik kejahatan.

4. Evaluasi Kesehatan Mental: Ilmu Kedokteran Forensik juga terlibat dalam evaluasi kesehatan
mental seseorang yang terlibat dalam proses hukum. Dokter forensik dapat memberikan
penilaian tentang keadaan mental pelaku kejahatan atau saksi, yang dapat berdampak pada
penetapan tanggung jawab hukum mereka.

Ruang lingkup Ilmu Kedokteran Forensik meliputi:

1. Otopsi: Pemeriksaan jasad untuk menentukan penyebab kematian. Otopsi dapat dilakukan
untuk kejahatan, kematian yang tidak wajar, atau dalam kasus-kasus tertentu yang memerlukan
identifikasi korban.

2. Analisis DNA: Penggunaan teknik DNA untuk mengidentifikasi individu melalui contoh darah,
rambut, atau bahan biologis lainnya. DNA forensik digunakan untuk menghubungkan pelaku
kejahatan dengan tempat kejadian dan korban.

3. Pemeriksaan Luka dan Cedera: Dokter forensik melakukan pemeriksaan fisik dan
dokumentasi terhadap luka dan cedera pada korban atau tersangka. Ini melibatkan analisis
jejak fisik, pola luka, dan pelacakan balistik pada proyektil.
4. Analisis Toksikologi: Mengidentifikasi zat-zat kimia atau obat-obatan yang ada dalam tubuh
korban. Ini dapat membantu dalam penent

(2. )Dalam hukum pidana, terdapat banyak tindak pidana yang memerlukan bantuan ilmu
kedokteran forensik. Ilmu kedokteran forensik adalah cabang ilmu kedokteran yang berkaitan
dengan penerapan prinsip-prinsip kedokteran untuk kepentingan hukum. Berikut adalah
beberapa contoh tindak pidana yang memerlukan bantuan ilmu kedokteran forensik:

1. Pembunuhan: Dalam kasus pembunuhan, ilmu kedokteran forensik dapat membantu dalam
menentukan penyebab kematian, jenis senjata yang digunakan, serta memperkirakan waktu
kematian. Pemeriksaan forensik juga dapat mengungkapkan bukti-bukti seperti luka fisik, jejak
darah, atau jejak serangan lainnya yang membantu dalam menentukan keadaan dan kronologi
kejadian.

2. Kekerasan dalam rumah tangga: Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, ilmu
kedokteran forensik dapat memberikan bukti-bukti mengenai luka fisik pada korban dan
mengaitkannya dengan pelaku kekerasan. Pemeriksaan forensik juga dapat membantu dalam
mendokumentasikan cedera fisik, mengidentifikasi bekas-bekas kekerasan, serta
mengumpulkan bukti-bukti lainnya yang dapat digunakan dalam proses hukum.

3. Pemerkosaan: Dalam kasus pemerkosaan, ilmu kedokteran forensik berperan penting dalam
mengumpulkan bukti-bukti fisik yang menunjukkan adanya pemerkosaan, seperti DNA pelaku
yang ditemukan pada korban atau di tempat kejadian perkara. Pemeriksaan forensik juga dapat
memberikan informasi tentang kerusakan fisik atau cedera pada korban yang konsisten dengan
kekerasan seksual.

4. Kasus narkoba: Ilmu kedokteran forensik dapat digunakan untuk menguji dan menganalisis
sampel-sampel biologis seperti darah, urine, atau rambut untuk mendeteksi keberadaan
narkotika atau zat terlarang lainnya. Hasil pengujian ini dapat digunakan sebagai bukti dalam
menentukan apakah seseorang terlibat dalam tindak pidana narkotika.

5. Identifikasi korban: Dalam kasus kriminal di mana korban tidak dapat diidentifikasi dengan
mudah, ilmu kedokteran forensik dapat membantu dalam mengidentifikasi korban melalui
pemeriksaan forensik seperti sidik jari, pencocokan gigi dengan catatan gigi, atau analisis DNA.

6. Kasus kebakaran atau ledakan: Ilmu kedokteran forensik dapat membantu dalam menyelidiki
penyebab kebakaran atau ledakan, termasuk identifikasi zat yang mungkin digunakan untuk
memicu kejadian tersebut. Pemeriksaan forensik juga dapat membantu dalam menentukan
apakah ada kehadiran bahan kimia atau peledak di lokasi kejadian.
(3.) Ada beberapa jenis pemeriksaan mayat yang dilakukan dalam ilmu kedokteran forensik
untuk mengungkap penyebab kematian dan mendapatkan informasi penting terkait kasus yang
sedang diselidiki. Berikut adalah beberapa jenis pemeriksaan mayat yang umum dilakukan:

1. Pemeriksaan luar mayat (eksternal): Pemeriksaan luar mayat dilakukan dengan mengamati
secara visual tubuh korban. Dokter forensik akan memeriksa luka-luka, memeriksa tanda-tanda
kekerasan atau trauma pada kulit, mencatat keadaan fisik korban seperti warna kulit,
memeriksa bercak-bercak atau jejak-jejak tertentu, serta mengumpulkan jejak-jejak yang ada
pada tubuh seperti rambut, serbuk sari, atau serpihan-serpihan lainnya.

2. Pemeriksaan dalam mayat (internal): Pemeriksaan dalam mayat melibatkan inspeksi organ-
organ internal korban. Ini melibatkan diseksi mayat untuk memeriksa organ-organ vital seperti
jantung, paru-paru, hati, ginjal, otak, dan lainnya. Dokter forensik akan mencari tanda-tanda
cedera atau kelainan pada organ-organ ini yang dapat menjadi petunjuk tentang penyebab
kematian.

3. Pemeriksaan toksikologi: Pemeriksaan toksikologi dilakukan untuk mengidentifikasi


keberadaan zat-zat kimia, obat-obatan, atau racun di dalam tubuh korban. Sampel darah, urine,
atau jaringan tubuh lainnya diambil dan dianalisis di laboratorium untuk mendeteksi
keberadaan atau konsentrasi zat-zat yang dapat berperan dalam kematian korban.

4. Pemeriksaan mikroskopis: Pemeriksaan mikroskopis melibatkan penggunaan mikroskop


untuk memeriksa sampel jaringan tubuh korban. Ini dilakukan untuk mengidentifikasi
kerusakan atau kelainan struktural pada tingkat sel yang mungkin merupakan tanda-tanda
kekerasan, infeksi, atau penyakit tertentu.

5. Pemeriksaan balistik: Pemeriksaan balistik dilakukan jika ada dugaan bahwa senjata api
digunakan dalam tindak pidana atau kasus bunuh diri. Pada pemeriksaan ini, dokter forensik
akan memeriksa luka tembak pada mayat, mengumpulkan proyektil atau fragmen peluru, serta
mengidentifikasi arah dan jarak tembakan.

6. Pemeriksaan DNA: Pemeriksaan DNA dilakukan untuk mengidentifikasi korban,


membandingkan DNA dengan tersangka atau pihak terkait lainnya, atau untuk mengkonfirmasi
hubungan keluarga. Sampel jaringan tubuh seperti darah, rambut, atau saliva diambil dan
dianalisis untuk memperoleh profil DNA yang unik bagi individu tersebut.

Pemeriksaan-pemeriksaan ini dilakukan dengan hati-hati dan menggunakan metode ilmiah


guna mendapatkan bukti yang dapat digunakan dalam penyelidikan dan proses peradilan.

(4). Dalam ilmu kedokteran forensik, terdapat beberapa tanda-tanda kematian yang membantu
dalam menentukan waktu atau rentang waktu kematiannya. Tanda-tanda ini muncul sebagai
respons tubuh terhadap berhentinya fungsi vital. Berikut adalah beberapa tanda-tanda
kematian yang umum dikenal:

1. Livor mortis (lividity): Livor mortis adalah perubahan warna kulit yang terjadi setelah
kematian. Setelah peredaran darah berhenti, darah mulai mengalir ke bagian-bagian tubuh
yang lebih rendah akibat gravitasi, menyebabkan kulit yang terkena menjadi berubah warna
menjadi merah keunguan atau kebiruan. Livor mortis mulai terlihat sekitar 1-2 jam setelah
kematian dan mencapai titik puncaknya dalam waktu 8-12 jam.

2. Rigor mortis: Rigor mortis adalah kekakuan otot yang terjadi setelah kematian akibat proses
pembentukan asam laktat dalam sel-sel otot. Biasanya, rigor mortis dimulai sekitar 2-6 jam
setelah kematian, mencapai puncaknya dalam waktu 12-24 jam, dan kemudian menghilang
secara bertahap dalam rentang waktu 1-3 hari. Lamanya rigor mortis dapat memberikan
petunjuk tentang waktu kematian.

3. Algor mortis: Algor mortis adalah penurunan suhu tubuh setelah kematian. Suhu tubuh mulai
menurun sekitar 1-1,5 derajat Celsius per jam sampai mencapai suhu sekitar lingkungan.
Lamanya algor mortis dan suhu akhir tubuh dapat memberikan indikasi tentang waktu
kematian.

4. Perubahan pada mata: Setelah kematian, bola mata cenderung kering dan kekeruhan dapat
terjadi. Selain itu, pembentukan petechiae (titik merah kecil) pada konjungtiva atau kelopak
mata dapat menjadi petunjuk kekerasan atau tekanan pada saat kematian.

5. Pengeringan dan pembusukan: Setelah kematian, tubuh dapat mengalami pengeringan atau
pembusukan tergantung pada kondisi lingkungan. Pengeringan terjadi pada kondisi kering dan
panas, sedangkan pembusukan terjadi pada kondisi lembap dan hangat. Proses ini melibatkan
perubahan fisik dan kimia pada jaringan tubuh yang dapat memberikan petunjuk tentang waktu
kematian.

Penting untuk diingat bahwa tanda-tanda kematian ini bukanlah metode yang akurat untuk
menentukan waktu kematian secara pasti. Mereka hanya memberikan perkiraan atau rentang
waktu yang dapat digunakan sebagai petunjuk dalam penyelidikan kriminal atau investigasi
forensik. Faktor-faktor lain seperti suhu lingkungan, kondisi tubuh, dan individu yang
bersangkutan juga dapat mempengaruhi tanda-tanda kematian ini.

(5). Forensik klinik, juga dikenal sebagai kedokteran forensik klinik atau psikiatri forensik,
merupakan cabang ilmu kedokteran forensik yang berkaitan dengan penerapan prinsip-prinsip
kedokteran dan psikiatri dalam konteks hukum. Forensik klinik berfokus pada penilaian,
evaluasi, dan diagnosis kondisi medis atau kejiwaan individu yang relevan dengan sistem
peradilan pidana. Berikut adalah beberapa aspek penting dalam forensik klinik:
1. Evaluasi psikiatri: Forensik klinik melibatkan evaluasi psikiatri yang mendalam terhadap
individu yang terlibat dalam sistem peradilan pidana. Dokter psikiatri forensik melakukan
penilaian tentang gangguan mental, kecerdasan, stabilitas emosional, dan potensi risiko
kekerasan pada individu tersebut. Evaluasi ini dapat membantu dalam menentukan
kemampuan seseorang untuk menghadapi persidangan, pertanggungjawaban hukum, atau
pengambilan keputusan terkait perlakuan hukum.

2. Kompetensi hukum: Forensik klinik juga melibatkan penilaian terhadap kompetensi hukum
seseorang, yaitu kemampuan individu untuk memahami dan berpartisipasi dalam proses
hukum. Dokter forensik klinik akan mengevaluasi apakah individu tersebut memiliki
pemahaman yang memadai tentang hak-haknya, kemampuan untuk bekerja sama dengan
pengacara, dan kemampuan untuk memberikan kesaksian yang konsisten dan akurat di
persidangan.

3. Pemulihan trauma: Dalam forensik klinik, perhatian juga diberikan pada pemulihan trauma
pada korban kejahatan. Dokter forensik klinik bekerja sama dengan tim medis dan psikologis
untuk memberikan perawatan dan pendampingan kepada korban, mengidentifikasi dampak
psikologis dari kejahatan yang dialami, dan memberikan laporan medis yang relevan dalam
proses hukum.

4. Evaluasi kelainan seksual: Forensik klinik juga melibatkan evaluasi dan diagnosis kelainan
seksual pada individu yang terlibat dalam kasus kejahatan seksual. Dokter forensik klinik
melakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap korban, pelaku, atau individu terkait untuk
mengidentifikasi faktor-faktor psikologis atau medis yang relevan dengan tindakan seksual yang
dilakukan.

5. Perawatan di dalam sistem peradilan pidana: Dokter forensik klinik juga berperan dalam
memberikan perawatan medis atau psikiatrik kepada individu yang berada di dalam sistem
peradilan pidana. Mereka dapat memberikan perawatan yang diperlukan, merawat kondisi
medis atau kejiwaan yang ada, serta memberikan rekomendasi pengawasan atau tindak lanjut
yang sesuai dengan kebutuhan pasien.

Forensik klinik bertujuan untuk memadukan pengetahuan medis dan psikiatri dengan aspek
hukum untuk membantu sistem peradilan dalam memahami kondisi medis atau kejiwaan yang
relevan dalam konteks hukum.

(6). Dalam ilmu kedokteran forensik, terdapat beberapa jenis trauma yang dapat terjadi pada
tubuh manusia sebagai akibat dari tindakan kekerasan atau kejadian traumatis. Penilaian dan
dokumentasi trauma ini penting dalam penyelidikan kriminal dan proses peradilan. Berikut
adalah beberapa jenis trauma yang umum dikenal dalam ilmu kedokteran forensik:
1. Luka sayat (incised wound): Luka sayat adalah luka yang terjadi akibat tekanan tumpul dan
gerakan gesekan yang menyebabkan robekan pada kulit. Luka ini memiliki tepi yang rata dan
lurus. Contoh umum luka sayat adalah luka tusukan atau luka potong.

2. Luka tusukan (stab wound): Luka tusukan adalah luka yang terjadi akibat penetrasi benda
tajam ke dalam jaringan tubuh. Luka ini memiliki kedalaman yang lebih besar daripada lebarnya,
dan tepi luka biasanya tumpul. Luka tusukan dapat menyebabkan kerusakan internal yang
serius tergantung pada organ yang terkena.

3. Luka tembak (gunshot wound): Luka tembak terjadi akibat tembakan dari senjata api. Ada
dua jenis luka tembak, yaitu luka tembak celaka dan luka tembak sengaja. Luka tembak dapat
memiliki berbagai pola dan karakteristik, seperti luka tembak tembus atau luka tembak
terperangkap.

4. Luka contusio (contusion): Luka contusio adalah luka yang terjadi akibat tekanan tumpul atau
benturan pada tubuh. Luka ini umumnya disebut sebagai memar atau lebam. Luka contusio
dapat menunjukkan perubahan warna pada kulit, memar, atau cedera pada jaringan lunak di
bawahnya.

5. Luka jatuh (fall injury): Luka jatuh terjadi akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan yang
melibatkan benturan tubuh dengan permukaan yang keras. Luka ini bisa berupa patah tulang,
cedera kepala, atau luka internal lainnya tergantung pada bagian tubuh yang terkena dan
kekuatan benturan.

6. Luka gigitan (bite mark): Luka gigitan terjadi akibat gigitan manusia atau hewan pada tubuh.
Luka gigitan seringkali memiliki pola karakteristik seperti gigi-gigi yang tercetak pada kulit.
Analisis forensik dapat membantu dalam mengidentifikasi pelaku berdasarkan tanda-tanda
khusus pada luka gigitan.

Selain itu, juga ada luka memar, luka bakar, luka lecet, luka tembus, atau cedera tulang dan
otot lainnya. Penting untuk dicatat bahwa penilaian dan interpretasi luka trauma harus
dilakukan oleh ahli kedokteran forensik yang terlatih, karena dapat memberikan bukti penting
dalam menyelidiki kejahatan dan menentukan faktor-faktor penyebab kematian atau cedera.

(7).Visum et Repertum (VeR) adalah laporan tertulis yang disusun oleh dokter forensik atau ahli
kedokteran forensik setelah melakukan pemeriksaan medis terhadap korban atau tersangka
dalam konteks investigasi kriminal. Laporan ini berisi temuan-temuan medis dan kesimpulan
yang relevan dengan kasus yang sedang diselidiki. Berikut adalah beberapa jenis VeR yang
umum:
1. VeR Identitas: VeR ini berisi informasi mengenai identitas korban atau tersangka, termasuk
nama, usia, jenis kelamin, dan identifikasi fisik lainnya. Ini bertujuan untuk memastikan
kesesuaian antara identitas korban atau tersangka dengan informasi medis yang ditemukan.

2. VeR Luka-luka: VeR ini berisi deskripsi rinci tentang luka-luka yang ditemukan pada korban
atau tersangka. Laporan ini mencakup jenis luka, lokasi luka, ukuran, kedalaman, dan
karakteristik lainnya. Dokter forensik juga dapat mencatat kemungkinan penyebab luka dan
waktu terjadinya luka.

3. VeR Pemeriksaan Sengatan: VeR ini berkaitan dengan pemeriksaan terhadap korban atau
tersangka yang diduga mengalami sengatan, seperti sengatan listrik atau sengatan oleh senjata
api. Laporan ini mencakup temuan medis, seperti luka bakar, bekas jari tangan, atau jejak
sengatan lainnya.

4. VeR Pemeriksaan Seksual: VeR ini melibatkan pemeriksaan terhadap korban kejahatan
seksual. Laporan ini mencakup temuan medis, seperti cedera pada organ reproduksi, jejak
kekerasan, atau tanda-tanda pemerkosaan. Dokter forensik juga dapat mengumpulkan sampel
untuk analisis DNA jika diperlukan.

5. VeR Pemeriksaan Psikiatri: VeR ini melibatkan pemeriksaan terhadap korban atau tersangka
yang diduga memiliki gangguan mental atau kondisi psikiatrik. Laporan ini mencakup evaluasi
psikiatrik, diagnosis, dan penilaian kemampuan individu dalam menghadapi persidangan atau
bertanggung jawab hukum.

6. VeR Pemeriksaan Narkotika/Toksikologi: VeR ini berhubungan dengan pemeriksaan terhadap


korban atau tersangka yang diduga terpengaruh oleh narkotika atau zat-zat berbahaya lainnya.
Laporan ini mencakup hasil analisis toksikologi yang mengidentifikasi zat-zat yang ditemukan
dalam tubuh dan konsentrasinya.

Selain jenis-jenis VeR di atas, masih ada jenis lainnya tergantung pada kasus yang sedang
diselidiki, seperti VeR autopsi, VeR keracunan, atau VeR kekerasan dalam rumah tangga. Setiap
jenis VeR memiliki tujuan spesifik dan berkontribusi pada penyelidikan dan proses peradilan
yang tepat. Laporan VeR harus disusun dengan hati-hati dan akurat untuk memberikan
informasi yang diperlukan dalam proses hukum.

(8). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia, terdapat
beberapa pasal yang mengatur tentang peran dan penggunaan Visum et Repertum (VeR) dalam
kasus tindak pidana yang melibatkan manusia. Berikut adalah beberapa pasal yang terkait:

1. Pasal 184 KUHAP: Pasal ini menyatakan bahwa penyidik dapat melakukan pemeriksaan
terhadap tersangka, saksi, atau ahli. Jika diperlukan, penyidik dapat meminta bantuan dokter
atau ahli lain untuk melakukan pemeriksaan terhadap korban atau tersangka yang diduga
menderita cedera atau gangguan fisik atau mental.

2. Pasal 185 KUHAP: Pasal ini menyebutkan bahwa dokter atau ahli yang diminta untuk
melakukan pemeriksaan harus membuat VeR yang berisi hasil pemeriksaan dan kesimpulan
medis yang relevan. VeR ini kemudian akan menjadi alat bukti yang sah dalam proses peradilan.

3. Pasal 186 KUHAP: Pasal ini mengatur bahwa penyidik atau jaksa penuntut umum dapat
memerintahkan pemeriksaan ulang oleh dokter atau ahli lain jika meragukan hasil pemeriksaan
awal. Jika hasil pemeriksaan ulang menunjukkan perbedaan yang signifikan, maka laporan
pemeriksaan ulang tersebut juga akan menjadi VeR yang digunakan dalam persidangan.

4. Pasal 187 KUHAP: Pasal ini mengatur tentang penggunaan VeR sebagai bukti dalam
persidangan. VeR yang dibuat oleh dokter atau ahli dianggap sebagai bukti yang sah selama
proses peradilan, dan hakim dapat mempertimbangkan laporan tersebut dalam mengambil
keputusan.

5. Pasal 188 KUHAP: Pasal ini menyatakan bahwa apabila hasil VeR menunjukkan adanya
indikasi tindak pidana, maka penyidik atau jaksa penuntut umum wajib melakukan penyidikan
atau penuntutan terhadap tersangka tersebut.

Pada dasarnya, peran VeR dalam KUHAP adalah memberikan informasi medis atau ilmiah yang
relevan kepada penyidik, jaksa, dan hakim dalam proses penyelidikan dan peradilan tindak
pidana. VeR menjadi alat bukti yang penting untuk memperkuat argumen dan keputusan dalam
kasus hukum yang melibatkan manusia, terutama dalam hal pemeriksaan terhadap korban,
tersangka, atau kondisi medis terkait dengan tindak pidana.

Anda mungkin juga menyukai