Anda di halaman 1dari 316

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini membawa

kesejahteraan bagi umat manusia di segala bidang kehidupan tetapi juga

menimbulkan akibat yang tidak diharapkan. Salah satu akibat yang tidak

diharapkan tersebut adalah meningkatnya kuantitas maupun kualitas mengenai

cara atau teknik pelaksanaan tindak pidana, khusunya yang berkaitan dengan

upaya pelaku tindak pidana dalam usaha meniadakan sarana bukti, sehingga tidak

jarang dijumpai kesulitan bagi para petugas hukum untuk mengetahui identitas

korban.

Dalam proses penyidikan suatu tindak pidana, mengetahui identitas

korban merupakan hal yang sangat penting. Dengan mengetahui identitas korban

merupakan sebagai langkah awal penyidikan sehingga dapat dilakukan langkah-

langkah selanjutnya. Apabila identitas korban tidak dapat diketahui, maka

sebenarnya penyidikan menjadi tidak mungkin dilakukan. Selanjutnya apabila

penyidikan tidak sampai menemukan identitasnya identitas korban, maka dapat

dihindari adanya kekeliruan dalam proses peradilan yang dapat berakibat fatal.

Selain itu mengetaui identitas korban untuk berbagai kehidupan sosial misalnya

asuransi, pembagian dan penentuan ahli waris, akte kelahiran, pernikahan dan

sebagainya keterangan identitas mempunyai arti penting pula, yaitu untuk

1
mengetahui bahwa keterangan itu benar-benar keterangan yang dimaksud untuk

memperoleh yang menjadi haknya maupun untuk memenuhi kewajibannya.2,3

Bencana adalah suatu peristiwa yang terjadi secara mendadak dan

tidak terencana atau secara perlahan tetapi berlanjut yang menimbulkan dampak

terhadap pola kehidupan normal atau kerusakan ekosistem sehingga diperlukan

tindakan darurat dan menyelamatkan korban yaitu manusia beserta

lingkungannya. Bencana yang terjadi secara akut atau mendadak dapat berupa

rusaknya rumah serta bangunan, rusaknya saluran air, terputusnya aliran listrik,

jalan raya, bencana akibat tindakan manusia, dan lain sebagainya. Sedangkan

bencana yang terjadi secara perlahan-lahan atau slow onset disaster, misalnya

perubahan kehidupan masyarakat akibat menurunnya kemampuan memperoleh

kebutuhan pokok, atau akibat dari kekeringan yang berkepanjangan, kebakaran

hutan dengan akibat asap atau haze yang menimbulkan masalah kesehatan.—

Dalam ilmu kedokteran forensik dikenal pemeriksaan identifikasi

yang merupakan bagian tugas yang mempunyai arti cukup penting. Identifikasi

adalah suatu usaha untuk mengetahui identitas seseorang melalui sejumlah ciri

yang ada pada orang tak dikenal, sedemikian rupa sehingga dapat ditentukan

bahwa orang itu apakah sama dengan orang yang hilang yang diperkirakan

sebelumnya juga dikenal dengan ciri-ciri itu. Disitulah semua, identifikasi

mempunyai arti penting baik ditinjau dari segi untuk kepentingan forensik

maupun non-forensik.

2
Makalah ini bertujuan membahas berbagai hal mengenai identifikasi

forensik ataupun identifkasi secara umum meliputi: pengertian, arti penting,

macam-macam pemeriksaan dan cara atau metode serta sistem identifikasi. Hal-

hal demikian diperlukan untuk memperoleh pemahaman pemahaman dalam

penanganan dan pemeriksaan identifikasi yang komprehensif.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan maka dalam

penulisan referat ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah pengertian dari identifikasi forensik?

2. Apa saja dasar - dasar dari pemeriksaan pada identifikasi forensik?

3. Metode apa yang dipakai dalam identifikasi forensik?

4. Ada berapa jenis pemeriksaan identifikasi foresik?

5. Menyadari betapa pentingnya peran dokter dalam proses identifikasi

forensik?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ialah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengertian dari identifikasi forensik.

2. Untuk mengetahui pemeriksaan apa saja yang dilakukan pada identifikasi

forensik.

3. Mampu memahami berbagai jenis pemeriksaan identifikasi.

3
4. Sebagai persyaratan ujian pada kepaniteraan klinik ilmu kedokteran

forensik dan medikolegal.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi Mahasiswa

 Sebagai bekal dalam menjalani profesi sebagai dokter muda.

2. Bagi Institusi Pendidikan

 Mengerti maksud dan tujuan dalam melakukan identifikasi forensik.

 Sebagai media pengabdian masyarakat terutama kasus-kasus yang

berkembang di masyarakat khususnya dalam bidang Kedokteran

Forensik dan Medikolegal.

3. Bagi Pengadilan

 Pentingnya identifikasi forensik bagi penyelesaian perkara pidana.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

4
A. Definisi Identifikasi

Identifikasi adalah penentuan atau pemastian identitas orang yang

hidup maupun mati, berdasarkan ciri khas yang terdapat pada orang tersebut.

Identifikasi juga diartikan sebagai suatu usaha untuk mengetahui identitas

seseorang melalui sejumlah ciri yang ada pada orang tak dikenal, sedemikian rupa

sehingga dapat ditentukan bahwa orang itu apakah sama dengan orang yang

hilang yang diperkirakan sebelumnya juga dikenal dengan ciri-ciri itu. Identifikasi

forensik merupakan usaha untuk mengetahui identitas seseorang yang ditujukan

untuk kepentingan forensik, yaitu kepentingan proses peradilan.1,2

Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada

jenazah tidak dikenal, jenazah yang rusak, membusuk, hangus terbakar dan

kecelakaan masal, bencana alam, huru hara yang mengakibatkan banyak korban

meninggal, serta potongan tubuh manusia atau kerangka.Selain itu identifikasi

forensik juga berperan dalam berbagai kasus lain seperti penculikan anak, bayi

tertukar, atau diragukan orangtua nya.Identitas seseorang yang dipastikan bila

paling sedikit dua metode yang digunakan memberikan hasil positif.1

Dengan diketahuinya jati diri korban, penyidik akan lebih mudah

membuat satu daftar dari orang-orang yang patut dicurigai. Daftar tersebut akan

lebih diperkecil lagi bila diketahui saat kematian korban serta alat yang dipakai

oleh tersangka pelaku kejahatan.3

B. Metode Identifikasi

5
Dalam pelayanan identifikasi forensik berbagai macam pemeriksaan

dapat digunakan sebagai sarana identifikasi. Berdasarkan penyelenggaraan

penanganan pemeriksaannya, maka sarana-sarana identifikasi dapat

dikelompokkan: 1,2,3

1. Sarana identifikasi konvensional, yaitu berbagai macam pemeriksaan

identifikasi yang biasanya sudah dapat diselenggarakan penanganannya oleh

pihak polisi penyidik antara lain:

a. Metode visual, dengan memperhatikan dengan cermat atas korban, terutama

wajahnya oleh pihak keluarga atau rekan dekatnya,maka jati diri korban

dapat diketahui. Walaupun metoda ini sederhana, untuk mendapat hasil

yang diharapkan perlu diketahui bahwa metode ini baru dapat dilakukan bila

keadaan tubuh dan terutama wajah korban masih dalam keadaan baik dan

belum terjadi pembusukan yang lanjut. Selain itu perlu diperhatikan faktor

psikologis, emosi serta latar belakang pendidikan; oleh karena faktor-faktor

tersebut dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan. Juga perlu diingat bahwa

manusia itu mudah terpengaruh oleh sugesti, khususnya dari pihak penyidik.

b. Perhiasan, anting-antign, kalung, gelang serta cincin yang ada pada tubuh

korba, khususnya bila pada perhisan itu terdapat initial nama seseorang yang

biasanya terdapat pada bagian dalam dari gelang atau cincin; akan

membantu dokter atau pihak penyidik didalam menentukan identitas korban.

Mengingat kepentingan tersebut maka penyimpanan dari perhisan haruslah

dilakukan dengan baik.

6
c. Dokumen, kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, paspor, kartu

golongan darah, tanda pembayaran dan lain sebagainya yang ditemukan

dalam dompet atau tas korban dapat menunjukkan jati diri korban. Khusus

pada kecelakaan masal, perlu diingat akan kebiasaan seseorang di dalam

menaruh dompet atau tasnya. Pada pria dompet biasanya terdapat dalam

saku baju atau celana, sedangkan pada wanita tas biasanya dipegang;

sehingga pada kecelakaan masal tas seseorang dapat terlempar dan sampai

pada orang lain yang bukan pemiliknya, jika hal ini tidak diperhatikan

kekeliruan identitas dapat terjadi, khususnya bila kondisi korban sudah

busuk atau rusak.

d. Jari, dapat dikatakan bahwa tidak ada dua orang yang mempunyai sidik jari

yang sama,walaupun kedua orang tersebut kembar satu telur. Atas dasar ini,

sidik jari merupakan sarana yang terpenting khususnya bagi kepolisian

didalam mengetahui jati diri seseorang, oleh karena selain kekhususannya,

juga mudah dilakukan secara masal dan murah pembiayaanya. Walaupun

pemeriksaan sidik jari tidak dilakukan dokter, dokter masih mempunyai

kewajiban, yaitu untuk menganbilkan (mencetak) sidik jari, khususnya sidik

jari pada korban yang tewas dan keadaan mayatnya telah membusuk.

Teknik pengembangan sidik jari pada jari telah mengelupas dan

memasangnya pada jari yang sesuai pada jari pemeriksa, baru kemudian

dilakukan pengambilan sidik jari, merupakan prosedur yang harus dikatahui

dokter.

7
2. Sarana identifikasi medis, yaitu berbagai macam pemeriksaan identifikasi yang

diselenggarakan penanganannya oleh pihak medis, yaitu apabila pihak polisi

penyidik tidak dapat menggunakan sarana identidikasi konvensional atau

kurang memperoleh hasil identifikasi yang meyakinkan, antara lain:

a. Pemeriksaan ciri-ciri tubuh yang spesifik maupun yang non-spesifik secara

medis melalui pemeriksaan luar dan dalam pada waktu otopsi. Beberapa ciri

yang spesifik, misalnya cacat bibir sumbing atau celah palatum, bekas luka

ata operasi luar (sikatrik atau keloid), hiperpigmentasi daerah kulit tertentu,

tahi lalat, tato, bekas fraktur atau adanya pin pada bekas operasi tulang atau

juga hilangnya bagian tubuh tertentu dan lain-lain. Beberapa contoh ciri

non-spesifik antara lain misalnya tinggi badan, jenis kelamin, warna kulit,

warna serta bentuk rambut dan mata, bentuk-bentuk hidung, bibir dan

sebagainya.

b. Pemeriksaan ciri-ciri gigi melalui pemeriksaan odontologis.

c. Pemeriksaan ciri-ciri badan atau rangka melalui pemeriksaan antropologis,

antroposkopi dan antropometri.

d. Pemeriksaan golongan darah berbagai sistem: ABO, Rhesus, MN, Keel,

Duffy, HLA dan sebagainya.

e. Pemeriksaan ciri-ciri biologi molekuler sidik DNA dan lain-lain

Dikenal ada dua metode melakukan identifikasi yaitu secara

komparatif (membandingkan) dan secara rekonstruksi. Yang dimaksud dengan

identifikasi membandingkan data adalah identifikasi yang dilakukan dengan cara

membandingkan antara data ciri hasil pemeriksaan hasil orang tak dikenal dengan

8
data ciri orang yang hilang yang diperkirakan yang pernah dibuat sebelumnya.

Pada penerapan penanganan identifikasi kasus korban jenasah tidak dikenal, maka

kedua data ciri yang dibandingkan tersebut adalah data post mortem dan data ante

mortem. Data ante mortem yang baik adalah berupa medical record dan dental

record.1,4,5

Identifikasi dengan cara membandingkan data ini berpeluang

menentukan identitas sampai pada tingkat individual, yaitu dapat menunjukan

siapa jenasah yang tidak dikenal tersebut. Hal ini karena pada identifikasi dengan

cara membandingkan data, hasilnya hanya ada dua alternatif: identifikasi positif

atau negatif. Identifikasi positif, yaitu apabila kedua data yang dibandingkan

adalah sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa jenasah yang tidak dikenali itu

adalah sama dengan orang yang hilang yang diperkirakan. Identifikasi negatif

yaitu apabila data yang dibandingkan tidak sama, sehingga dengan demikian

belum dapat ditentukan siapa jenasah tak dienal tersebut. Untuk itu masih harus

dicarikan data pembanding antemortem dari orang hilang lain yang diperkirakan

lagi. Untuk dapat melakukan identifikasi dengan cara membandingkan data,

diperlukan syarat yang tidak mudah, yaitu harus tersedianya data ante mortem

berupa medical atau dental record yang lengkap dan akurat serta up-to-date,

memenuhi kriteria untuk dapat dibandingkan dengan data post mortemnya.

Apabila tidak dapat dipenuhi syarat tersebut, maka identifikasi dengan cara

membandingkan tidak dapat diterapkan.1,4,5

Apabila identifikasi dengan cara membandingkan data tidak dapat

diterapkan, bukan berarti kita tidak dapat mengidentifikasi. Apabila demikian

9
halnya, kita masih dapat mencoba mengidentifikasi dengan cara merekonstruksi

data hasil pemeriksaan post-mortem ke dalam perkiraan-perkiraan mengenai jenis

kelamin, umur, ras, tinggi dan bentuk serta ciri-ciri spesifik badan. Sebagai

contoh: 4,6,7

a. Dengan mengamati lebar-sempitnya tulang panggul terhadap kriteria dan

ukuran laki-laki dan perempuan, dapat diperkirakan jenis kelaminnya.

b. Dengan mengamai interdigitasi dutura-sutura tengkorak dan pola waktu erupsi

gigi, dapat diperkirakan umurnya. Pada kasus infantisid dengan mengukur

tinggi badan (kepala-tumit atau kepala-tulang ekor) dapat diperkirakan umur

bayi dalam bulan.

c. Dengan formula matematis, dapat diperhitungkan perkiraan tinggi badan

individu dari ukuran barang bukti tulang-tulang panjangnya.

d. Dengan perhitungan indeks-indeks dan modulus kefalometri atau kraniometri,

dapat diperhitungkan perkiraan ras dan bentuk muka individu.

e. Dengan ciri-ciri yang spesifik, dapat menuntun kepada siapa individu yang

memilikinya.

Meskipun identifikasi cara rekonstruksi ini tidak sampai menghasilkan

dapat menentukan identitas sampai pada tingkat individual, namun demikian

perkiraan-perkiraan identitas yang dihasilkan dapat mempersempit dan

memberikan arah penyidikan. Terhadap pola permasalahan kasusnya, dikenal ada

tiga macam sistem identifikasi, yaitu : 1

1. Identifikasi sistem terbuka adalah identifikasi pada kasus yang terbuka kepada

siapapun dimaksudkan sebagai si korban tidak dikenal. Pola permasalahan

10
kasusnya biasanya : kriminal, korban tunggal, sulit diperoleh data ante-

mortem, identifikasinya biasanya dilakukan dengan cara rekonstruksi, contoh:

identifikasi korban pembunuhan tidak dikenal.

2. Identifikasi sistem tertutup adalah identifikasi pada kasus yang jumlah dan

daftar korban tak dikenalnya sudah diketahui. Pola permasalahan kasus

biasanya: non-kriminal, korban massal, dimungkinkan diperoleh data ante

mortem, identifikasi dapat dilakukan dengan cara membandingkan data,

contoh: identifikasi korban kecelakaan pesawat terbang menabrak gunung.

3. Identifikasi sistem semi terbuka atau semi tertutup adalah identifikasi pada

suatu kasus yang sebagian korban tidak dikenalnya sudah diketahui dan

sebagian lainnya belum diketahui sama sekali atau belum diektahui tetapi

sudah tertentu, contoh: identifikasi korban kecelakaan pesawat terbang di

Malioboro (semi terbuka) atau di suatu perumahan (semi tertutup).

C. Dasar-Dasar Identifikasi Forensik

Dasar hukum dan undang-undang bidang kesehatan yang mengatur

identifikasi jenasah adalah : 3

a) Berkaitan dengan kewajiban dokter dalam membantu peradilan diatur dalam

KUHAP pasal 133 :

1. Dalam hal penyidik untuk membantu kepentingan peradilan menangani

seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang di duga karena

peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan

11
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter

dan atau ahli lainnya.

2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas

untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan

bedah mayat.

3. Mayat yang dikirimkan kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter

pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh

penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuatkan

identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang diilekatkan pada ibu

jari kaki atau bagian lain badan mayat.

b) Undang-Undang Kesehatan Pasal 79

1. Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia juga kepada

pejabat pegawai negeri sipil tertentu di Departemen Kesehatan diberi

wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU No

8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan

tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

2. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :

a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan.

b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan.

c. Meminta keteragan dan bahan bukti dari orang atau badan usaha.

d. Melakukan pemeriksaan atas surat atau dokumen lain.

e. Melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti.

12
f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan.

g. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti

sehubungan dengan tindak pidana di bidang kesehatan.

3. Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan

menurut UU No 8 tahun 1981 tentang HAP.

D. Jenis-Jenis Pemeriksaan Identifikasi Forensik

Menentukan identitas atau jati diri atas seorang korban tindak pidana

yang berakibat fatal,relatif lebih mudah bila dibandingkan dengan penentuan jati

diri tersangka pelaku kejahatan. Hal tersebut oleh karena pada penentuan jati diri

tersangka pelaku kejahatan semata-mata didasarkan pada penentuan secara visuil,

yang sudah tentu banyak faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga hasil

yang dicapai tidak memenuhi harapan.3

Dari sembilan metoda identifikasi yang dikenal, hanya metoda

penentuan jati diri dengan sidik jari (daktiloskopi) yang tidak lazim dikerjakan

oleh dokter, melainkan dilakukan oleh pihak kepolisian. Delapan metoda yang

lain, yaitu: metode visual, pakaian, perhiasan, dokumen, medis, gigi, serologi dan

metode eksklusi. Dengan diketahuinya jati diri korban, pihak penyidik dapat

melakukan penyidikan untuk mengungkap kasus menjadi lebih terarah; oleh

karena secara kriminologis pada umumnya ada hubungan antara pelaku dengan

korbannya. Daftar tersebut akan lebih diperkecil lagi bila diketahui saat kematian

korban serta alat yang dipakai oleh tersangka pelaku kejahatan.3

13
Gambar 1. Jenis-Jenis Sidik Jari

Walaupun ada sembilan metoda identifikasi yang kita kenal, maka di

dalam prakteknya untuk menentukan jati diri tidak semua metode dikerjakan;

melainkan cukup minimal dua metoda saja: identifikasi primer dari pakaian;

identifikasi konfirmatif dari gigi.3

E. Objek Identifikasi

Seperti yang sudah diseutkan di muka bahwa objek identifikasi dapat

berupa orang yang masih hidup atau yang sudah meninggal dunia. Identifikasi

terhadap orang tak dikenal yang masih hidup meliputi: 8

14
1. Penampilan umum (general appearance), yaitu tinggi badan, berat badan,

jenis kelamin, umur, warna kulit, rambut dan mata. Melalui metode ini

diperoleh data tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur dan tingi badan,

kelainan pada tulang dan sebagainya.

Tabel 1. Perbedaan Umur Jenis Kelamin Pria Dan Wanita

Pria Wanita

Panggul Lebih kecil dari bahu Lebih lebar dari bahu

Posture Besar Kecil

Payudara Jarang berkembang Berkembang

Jakun Menonjol Tidak menonjol

Striae Tidak ada Ada, payudara dan bokong

Tebal, tumbuh melebar -


Rambut pubis Lurus, hanya di mons veneris
pusar

Rambut Ada di wajah, dada Tidak ada

Testis, prostate, vesikula


Kelamin dalam Ovarium,tuba fallopi, vagina
seminalis

Lebih besar, berat dan


Tengkorak Lebih kecil, ringan dan tipis
tebal

Proporsi perut Lebih kecil Lebih besar

Paha Bentuk silinder Bentuk kerucut

2. Pakaian

3. Sidik jari

15
4. Jaringan parut

5. Tato

6. Kondisi mental

7. Antropometri

Tugas melakukan identifikasi pada orang hidup tersebut menjadi tugas

pihak kepolisian. Dalam hal-hal tertentu dapat dimintakan bantuan dokter,

misalnya pada kasus pemalsuan identitas di bidang keimigrasian atau kasus

penyamaran oleh pelaku kejahatan.8

Sedangkan identifikasi terhadap orang yang sudah meninggal dunia

dapat dilakukan terhadap:8

1. Jenazah yang masih baru dan utuh

2. Jenazah yang sudah membusuk dan utuh

3. Bagian-bagian dari tubuh jenazah

Cara melakukan identifikasi pada jenazah yang masih baru dan utuh

oleh pihak kepolisian seperti yang dilakukan terhadap orang hidup. Adapun hal-

hal yang ditemukan di dalam otopsi oleh dokter (misalnya penyakit, cacat tubuh,

bekas operasi atau bekas trauma) dapat digabungkan dengan hasil pemeriksaan

pihak kepolisian.8

Pada jenazah utuh yang sudah membusuk mungkin dapat diketahui

jenis kelamin, tinggi badan dan umurnya. Tetapi jika tingkat pembusukannya

sudah sangat lanjut mungkin sisa pakaian, perhiasan, jaringan parut, tatto atau

kecacatan fisik akan bermanfaat bagi kepentingan identifikasi. Sedangkan

16
identifikasi yang lebih akurat dapat dilakukan dengan memanfaatkan gigi

geliginya. Sebagaimana diketahui bahwa gigi merupakan bagian tubuh manusia

yang paling tahan terhadap pembusukan, kebakaran dan reaksi kimia.8

Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki

keunggulan sebagai berikut : 5,8

1. Gigi merupakan jaringan keras yang resisten terhadap pembusukan dan

pengaruh lingkungan yang ekstrim.

2. Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan restorasi

gigi menyebabkan identifikasi dengan ketepatan yang tinggi.

3. Kemungkinan tersedianya data antemortem gigi dalam bentuk catatan medis

gigi (dental record) dan data radiologis.

4. Gigi geligi merupakan lengkungan anatomis, antropologis, dan morfologis,

yang mempunyai letak yang terlindung dari otot-otot bibir dan pipi, sehingga

apabila terjadi trauma akan mengenai otot-otot tersebut terlebih dahulu.

5. Bentuk gigi geligi di dunia ini tidak sama, karena berdasarkan penelitian bahwa

gigi manusia kemungkinan sama satu banding dua miliar.

6. Gigi geligi tahan panas sampai suhu kira-kira 400ºC.

7. Gigi geligi tahan terhadap asam keras, terbukti pada peristiwa Haigh yang

terbunuh dan direndam dalam asam pekat, jaringan ikatnya hancur, sedangkan

giginya masih utuh.

17
Gambar 2 : Identifikasi Gigi pada Jenazah

Pada gambar diatas menunjukkan bahwa gigi tetap dalam keadaan

utuh pada suhu yang tinggi, walaupun tubuh telah rusak, tetapi gigi masih dapat

diidentifikasi. Batasan dari forensik odontologi terdiri dari identifikasi dari mayat

yang tidak dikenal melalui gigi, rahang dan kraniofasial. 5,8

1. Penentuan umur dari gigi.

2. Pemeriksaan jejas gigit (bite-mark).

3. Penentuan ras dari gigi.

4. Analisis dari trauma oro-fasial yang berhubungan dengan tindakan kekerasan.

5. Dental jurisprudence berupa keterangan saksi ahli.

6. Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal.

Jika yang ditemukan bukan jenazah yang utuh, melainkan sisa-sisa

tubuh manusia maka pertama-tama yang perlu dilakukan adalah menentukan

apakah sisa-sisa itu benar-benar berasal dari tubuh manusia. Jika benar maka

tindakan selanjutnya adalah menentukan jenis kelamin, umur, tinggi badan dan

sebagainya. Seringkali bagian-bagian dari tubuh manusia ditemukan di berbagai

tempat yang terpisah sehingga timbul pertanyaan apakah bagian-bagian itu berasal

18
dari individu yang sama. Guna memastikannya diperlukan pemeriksaan DNA atau

precipitin test.8

F. Bantuan Dokter Pada Proses Identifikasi

Bantuan yang dapat diberikan oleh dokter pada proses identifikasi

meliputi:8

1. Menentukan manusia atau bukan

Jika ditemukan tulang-tulang maka kadang-kadang tulang dari beberapa

binatang tertentu mirip tulang manusia. Cakar dari beruang misalnya, hampir

mirip bentuknya dengan tangan manusia. Dengan pemeriksaan yang teliti akan

dapat dibedakan apakah tulang yang ditemukan berasal dari manusia atau

binatang.

Yang agak sulit adalah jka ditemukan itu berupa tulang yang tak khas

(undentifiable bones) atau jaringan lunak. Dalam hal ini pemeriksaan yang

diperlukan untuk dapat menentukan manusia atau binatang adalah pemeriksaan

imunologik (precipitin test).

2. Menentukan jenis kelamin

Pada korban atau pada mayat yang sudah membusuk dimana penentuan

jenis kelamin tidak mungkin dilakukan dengan pemeriksaan luar maka penentuan

jenis kelamin dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan pada:

a. Jaringan lunak tertentu:

19
Uterus dan prostat merupakan jaringan lunak yang lebih tahan terhadap

pembusukan dan dapat digunaan untuk menentukan jenis kelamin. Dari jaringan

lunak juga dapat dilakukan pemeriksaan sex chromatin untuk menetukan jenis

kelamin, terutama jaringan kulit dan tulang rawan. Metode ini juga berguna bagi

penentuan jenis kelamin pada mayat yang terpotong-potong.

b. Tulang-tulang tertentu

Pada orang dewasa, beberapa tulang tertentu bentuknya berbeda antara laki-

laki dan wanita. Tulang-tulang itu antara lain tengkorak, pelvis, tulang panjang,

rahang dan gigi.

Tabel 2 Perbandingan Tengkorak laki-laki dan wanita

Tengkorak Laki-laki Wanita

Dahi Rendah Tinggi

Tepi orbita Lebih menonjol Kurang menonjol

Orbital Persegi empat Bulat

Tonjolan mastoid Besar Kecil

Rigi (muscle-ridges) Kasar(nyata) Halus

Tabel 3 Perbandingan Pelvis Laki-laki dan Wanita

Pelvis Laki-laki Wanita

Bentuk Sempit dan panjang Lebar dan pendek

Arcus pubis < 90 derajat >90 derajat

20
Foramen ischiadica Oval Segitiga

Incisura ischiadica Lebih dalam Lebih dangkal

Os sacrum Kurang lebar Lebih lebar

Tulang panjang pada laki-laki lebih masive (terutama disekitar sendi) dan

rigi perlekatan otot lebih nyata. Bentuk rahang dan gigi antara laki-laki dan wanita

juga berbeda sehingga dapat dimanfaatan untuk kepentingan identifikasi jenis

kelamin. Rahang pada laki-laki umumnya seperti huruf V sdangkan pada wanita

seperti huruf U. Gigi dan akar gigi permanen pada laki-laki lebih besar dari pada

wanita.

3. Menentukan umur

Tulang manusia dan gigi juga dapat memberikan informasi penting bagi

perkiraan umur manusia. Namun signifikan dari pemeriksaan tulang bergantung

pada besarnya penyebaran kelompok umur sehingga perlu dikelompokan secra

terpisah menjadi kelompok fetus, neonatus, anak-anak, adolescen dan dewasa.

Pada fetus dan neonatus, perkiran didasarkan pada inti penulangan yang

dapat dilihat melalui pemeriksaan ronsenologik atau otopsi. Oleh para ahli telah

disusun tabel pembentuan inti penulangan dari berbagai tulang, mulai dari

kehidupan intrauterin sampai pada kehidupan di luar kandungan. Pada anak-anak

dan adolesen sampai umur 20 tahun, yang paling berguna bagi penentuan umur

adalah penutupan epifise. Seperti diketahui bahwa penutupan epifise juga

mengikuti uruta kronologi. Memang tingkat ketelitiannya rendah sehingga perlu

dikombinasi dengan pemeriksaan lain.

21
Pada kelompok dewasa (yaitu sesudah berumur 20 tahun), perkiraan umur

dengan menggunakan tulang menjadi lebih sulit. Beberapa petunjuk yang dapat

dipakai antara lain, penutupan sutura, perubahan sudut rahang dan adanya proses

penyakit.

Penentuan umur dengan menganalisis jaringan yang akan tumbuh menjadi

gigi pada bayi di dalam kandungan mempunyai derajat kecermatan yang tinggi.

Sesudah dilahirkan penentuan umur dapat dilakukan dengan mendasarkan pad

mineralisasi, pembentukan mahkota gigi, erupsi gigi dan resobsi apicalis. Dengan

menggunakan formula matematik, Gustafson telah menyusun rumus yang dapat

digunakan untuk membantu menentukan umur melalui pemeriksaan gigi.

4. Menentukan tinggi badan

Salah satu informasi penting yang dapat digunakan untuk melacak identitas

seseorang adalah informasi tentang tinggi badan. Oleh sebab itu pada pemeriksaan

jenazah yang tak diketahui identitasnya perlu diperiksa tinggi badannya. Memang

tidak mudah mendapatkan tinggi badan yang tepat dari pemeriksaan yang

dilakukan sesudah mati, meskipun yang diperiksa itu jenazah yang utuh. Perlu

diketahui bahwa ukuran orang yang sudah mati biasanya sedikit lebih panjang

(sekitar 2,5 cm) dari pada tinggi badan waktu hidup.

Jika yang diperiksa jenazah yang tidak utuh maka penentuan tinggi badan

dapat dilakukan dengan menggunakan tulng-tulang panjang. Hanya dengan

sepotong tulang panjang yang utuh umur pemiliknya dapat diperkirakan, tetapi

hasil yang lebih akurat dapat diperoleh jika tersedia beberapa jenis dari tulang

22
panjang. Untuk kepentingan perhitungan tersebut ada banyak rumus yang dapat

dipakai dan salah satunya adalah rumus Karl Pearson.

G. Identitas Personal

Jika identifikasi terhadap jenazah tak dikenal dilakukan dengan

menggunakan data pembanding maka identitas personalnya akan dapat dikenali.

Data pembanding tersebut ialah contoh sidik jari, medical record gigi geligi serta

contoh DNA. Kehandalan sidik jari (fingerprint) sebagai sarana identifikasi

personal disebabkan karena hampir tak pernah ditemukan dua orang dengan sidik

jari yang sama, bahkan pada orang kembar sekalipun. Secara teoritis,

kemungkinan terjadinya dua orang dengan sidik jari sama adalah sebesar

sepersepuluh ribu bilyun. Selain itu sidik jari tak mengalami perubahan karena

umur. Oleh sebab itu sidik jari yang diambil beberapa tahun sebelumnya masih

dapat dipakai sebagai pembanding.3,8

Jika kulit jari sudah keriput maka pengambilan sidik jari dapat

dilkukan sesudah jaringan dibwah kulit disuntik lebih dahulu dengan cairan

parafin, formalin atau air. Sedang pada mayat yang epidermisnya sudah

mengelupas, pengambilan sidik jari dapat dilakukan dengan hati-hati dan

berulang-ulang mengingat gambaran sidik jari pada dermis tidak sejelas gambaran

sidik jari pada epidermis.3,8

Dalam hal sidik jari tidak mungkin lagi diambil maka pemeriksaan

gigi-geligi menjadi penting. Pada peristiwa kecelakaan pesawat terbang misalnya,

23
dimana daftar manifes penumpang diketahui, identifikasi positif akan mudah

dilakukan dengan membandingkan hasil pemeriksaan itu dengan file dari semua

penumpang.3,8

BAB III

PENUTUP

Identifikasi adalah penentuan atau pemastian identitas orang yang

hidup maupun mati, berdasarkan ciri khas yang terdapat pada orang tersebut.

Identifikasi juga diartikan sebagai suatu usaha untuk mengetahui identitas

seseorang melalui sejumlah ciri yang ada pada orang tak dikenal, sedemikian rupa

sehingga dapat ditentukan bahwa orang itu apakah sama dengan orang yang

hilang yang diperkirakan sebelumnya juga dikenal dengan ciri-ciri itu. Identifikasi

forensik merupakan usaha untuk mengetahui identitas seseorang yang ditujukan

untuk kepentingan forensik, yaitu kepentingan proses peradilan.

Dikenal ada tiga macam sistem identifikasi, yaitu identifikasi sistem

terbuka, identifikasi sistem tertutup dan identifikasi sistem semi terbuka atau semi

tertutup. Dari sembilan metoda identifikasi yang dikenal, hanya metoda penentuan

jati diri dengan sidik jari (daktiloskopi) yang tidak lazim dikerjakan oleh dokter,

melainkan dilakukan oleh pihak kepolisian. Delapan metoda yang lain, yaitu:

metode visual, pakaian, perhiasan, dokumen, medis, gigi, serologi dan metode

eksklusi.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonymous. Identifikasi dalam Mind’s Forensic 1th Edition. Bagian Forensik


Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat,Banjarmasin 2012

2. Gani, M.Husni, dr. DSF. Ilmu Kedokteran Forensik. Fakultas Kedokteran


Universitas Andalas, Padang, Indonesia 2002

3. Idries, Abdul Mun’im. Identifikasi dalam Ilmu Kedokteran Forensik.


Binarupa Aksara, Jakarta. 1997.

4. Kusuma, Soekry Erfan. Identifikasi Medikolegal dalam Buku Ajar Ilmu


Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,Surabaya 2007

5. Launtz, LL. Handbook For Dental Identification. JB Lippincott Company,


Philadelphia and Toronto 1973.

6. Reichs, KJ. Forensic Osteology Advances In The Identification of Human


Remain Charles C Thomas Publisher, Springfield Illinois USA 1986.

7. Krogman WM and Iscan MY. The Human Skeleton In Forensic


Medicine.Charles C Thomas Publisher, Springfield Illinois, USA 1985.

8. Dahlan,Sofwan. Identifikasi dalam Ilmu Kedokteran Forensik. Badan


Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang 2000

25
BALISTIK

26
BAB I

PENDAHULUAN

Di dalam menghadapi kasus kriminal, pemakaian senjata api sebagai alat

yang dimaksudkan untuk melukai atau mematikan seseorang, maka dokter sebagai

orang yang melakukan pemeriksaan, khususnya atas diri korban, perlu secara hati-

hati, cermat dan teliti dalam menafsirkan hasil yang didapatnya.1

Di dalam dunia kriminal, senjata api yang biasa dipergunakan adalah senjata

genggam beralur, sedangkan senjata api dengan laras panjang dan senjata yang

biasa dipakai untuk olahraga berburu yang larasnya tidak beralur jarang dipakai

untuk maksud kriminal.2 Senjata genggam yang banyak dipergunakan untuk

maksud kriminal dapat dibagi dalam dua kelompok, dimana dasar pembagian

berikut adalah arah perputaran alur yang terdapat dalam laras senjata yaitu senjata

api dengan alur ke kiri yang dikenal dengan senjata api tipe COLT dan senjata api

dengan alur ke kanan yang dikenal dengan senjata api tipe Smith & Wesson (tipe

SW).1,3 Jenis senjata api yang digunakan dapat diketahui dari anak peluru yang

terdapat pada tubuh korban, yaitu adanya goresan dan alur yang memutar kearah

kanan atau kiri bila dilihat dari bagian basis anak peluru.1

Luka tembak merupakan penyebab kematian akibat kejahatan yang paling

umum di Amerika Serikat. Luka tembak paling umum dijumpai sebagai penyebab

kematian adalah akibat pembunuhan dan di beberapa daerah bagiannya adalah

akibat bunuh diri. Di Amerika Serikat pertahunnya diperkirakan terdapat sekitar

70.000 jiwa korban luka tembak dengan kasus kematian sekitar 30.000 jiwa.

27
Biaya medis, legal, dan emosional akibat kejahatan tersebut menjadi suatu beban

berat bagi rumah sakit, sistem peradilan, keluarga, dan masyarakat pada

umumnya. Evaluasi mengenai luka tersebut memerlukan latihan khusus dan

keahlian baik oleh seorang dokter yang menangani bagian kegawatdaruratan

korban luka tembak maupun para ahli patologi dan forensik.1,3,4

Untuk dapat menjalankan tugas dan fungsi sebagai pemeriksa, maka

dokter harus menjelaskan berbagai hal, diantaranya apakah luka tersebut memang

luka tembak, yang mana luka tembak masuk dan yang mana yang keluar, jenis

senjata yang dipakai, jarak tembak, arah tembakan, perkiraan posisi korban

sewaktu ditembak, berapa kali korban ditembak, dan luka tembak mana yang

menyebabkan kematian.1

Dalam memberikan pendapat atau kesimpulan dalam visum et repertum,

tidak dibenarkan menggunakan istilah pistol atau revolver karena perkataan pistol

mengandung pengertian bahwa senjatanya termasuk otomatis atau semi otomatis,

sedangkan revolver berarti anak peluru berada dalam silinder yang akan memutar

jika tembakan dilepaskan. Oleh karena dokter tidak melihat peristiwa

penembakannya, maka yang akan disampaikan adalah; senjata api kaliber 0,38

dengan alur ke kiri dan sebagainya.1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Arti Klinis Luka Tembak

28
Dalam praktek banyak terdapat hal tentang luka tembak masuk pada tubuh

manusia. Seperti kita ketahui kulit terdiri dari lapisan epidermis, dermis dan

subkutis. Jika dilihat dari elastisitasnya, epidermis kurang elastis bila

dibandingkan dengan dermis. Bila sebutir peluru menembus tubuh, maka cacat

pada epidermis lebih luas dari pada dermis. Diameter luka pada epidermis kurang

lebih sama dengan diameter anak peluru, sedangkan diameter luka pada dermis

lebih kecil. Keadaan tersebut dikenal sebagai kelim memar (contusio ring).2,4

II.2. Klasifikasi Senjata Api

Senjata api adalah suatu senjata yang menggunakan tenaga hasil peledakan

mesiu, dapat melontarkan proyektil (anak peluru) yang berkecepatan tinggi

melalui larasnya.1 Proyektil yang dilepaskan dari suatu tembakan dapat tunggal,

dapat pula tunggal berurutan secara otomatis maupun dalam jumlah tertentu

bersama – sama.1Senjataapi dapat dikelompokan menjadi:

A. Berdasarkan Panjang Laras:

1. Laras pendek.3

 Revolver, Mempunyai metal drum (tempat penyimpanan 6 peluru) yang

berputar (revolve) setiap kali trigger ditarik dan menempatkan peluru baru

pada posisi siap untuk di tembakkan.

 Pistol, peluru disimpan dalam sebuah silinder yang diputar dengan menarik

picunya.

29
Gambar 2.1. Senjata api laras pendek

2. Laras panjang3

Senjata ini berkekuatan tinggi dengandaya tembak sampai 3000 m,

mempergunakan peluru yang lebihpanjang. Dibagi menjadi dua yaitu:

 Senapan tabur : Senapan tabur dirancang untuk dapat memuntahkan butir-

butir tabur ganda lewat larasnya, sedangkan senapan dirancang untuk

memuntahkan peluru tunggal lewat larasnya, moncong senapan halus dan

tidak terdapat rifling.

 Senapan untuk menyerang: Senapan ini mengisi pelurunya sendiri,

mampu melakukan tembakan otomatis sepenuhnya, mempunyai kapasitas

magasin yang besar dan dilengkapi ruang ledak untuk peluru senapan

dengan kekuatan sedang (peluru dengan kekuatan sedang antara peluru

senapan standard dan peluru pistol).4

30
Gambar 2.2. Senjata api laras panjang

B. Berdasarkan Alur Laras

1. Laras beralur (Rifled bore)

Agar anak peluru dapat berjalan stabil dalam lintasannya, permukaan

dalam laras dibuat beralur spiral dengan diameter yang sedikit lebih kecil dari

diameter anak peluru, sehingga anak peluru yang didorong oleh ledakan mesiu,

saat melalui laras, dipaksa bergerak maju sambil berputar sesuai porosnya, dan

ini akan memperoleh gaya sentripetal sehingga anak peluru tetap dalam posisi

ujung depannya di depan dalam lintasannya setelah lepas laras menuju sasaran.

Alur laras ini dibagi menjadi dua yaitu, arah putaran ke kiri (COLT) dan arah

putaran ke kanan (Smith and Wesson).3,4

Gambar 2.3. Senjata api beralur

2. Laras tak beralur atau laras licin (Smooth bore)

31
Senjata api jenis ini dapat melontarkan anak peluru dalam jumlah banyak pada

satu kali tembakan. Contohnya adalah shot gun.4,5

II.3. Mekanisme Luka Tembak

Pada luka tembak terjadi efek perlambatan yang disebabkan pada trauma

mekanik seperti pukulan, tusukan, atau tendangan, hal ini terjadi akibat adanya

transfer energi dari luar menuju jaringan. Kerusakan yang terjadi pada jaringan

tergantung pada absorpsi energi kinetiknya, yang juga akan menghamburkan

panas, suara serta gangguan mekanik yang lainya.2,4 Energi kinetik ini akan

mengakibatkan daya dorong peluru ke suatu jaringan sehingga terjadi laserasi,

kerusakan sekunder terjadi bila terdapat ruptur pembuluh darah atau struktur

lainnya dan terjadi luka yang sedikit lebih besar dari diameter peluru.

Jika kecepatan melebihi kecepatan udara, lintasan dari peluru yang

menembus jaringan akan terjadi gelombang tekanan yang mengkompresi jika

terjadi pada jaringan seperti otak, hati ataupun otot akan mengakibatkan

kerusakan dengan adanya zona-zona disekitar luka.4 Dengan adanya lesatan

peluru dengan kecepatan tinggi akan membentuk rongga disebabkan gerakan

sentrifugal pada peluru sampai keluar dari jaringan dan diameter rongga ini lebih

besar dari diameter peluru, dan rongga ini akan mengecil sesaat setelah peluru

berhenti, dengan ukuran luka tetap sama. Organ dengan konsistensi yang padat

tingkat kerusakan lebih tinggi daripada organ berongga. Efek luka juga

berhubungan dengan gaya gravitasi. Pada pemeriksaan harus dipikirkan adanya

kerusakan sekunder seperti infark atau infeksi.4,6

32
Gambar 2.4. Mekanisme luka tembak

II.4. Klasifikasi Luka Tembak

Pada klasifikasi luka tembak yang diperlukan adalah jarak tembak atau jarak

antara moncong senjata dengan targetnya yaitu tubuh korban. Berdasarkan ciri-

ciri yang khas pada setiap tembakan yang dilepaskan dari berbagai jarak, maka

perkiraan jarak tembak dapat diketahui, dengan demikian dapat dibuat

klasifikasinya. Klasifikasi yang dimaksud antara lain :1,3

A. Luka Tembak Masuk

1. Luka tembak masuk tempel (contact wounds)

a. Terjadi bila moncong senjata ditekan pada tubuh korban dan ditembakkan.

Bila tekanan pada tubuh erat disebut “hard contact”, sedangkan yang tidak

erat disebut “soft contact”.

b. Umumnya luka berbentuk bundar yang dikelilingi kelim lecet yang sama

lebarnya pada setiap bagian.

33
c. Di sekeliling luka tampak daerah yang bewarna merah atau merah coklat,

yang menggambarkan bentuk dari moncong senjata, ini disebut jejas laras.

d. Rambut dan kulit di sekitar luka dapat hangus terbakar.

e. Saluran luka akan bewarna hitam yang disebabkan oleh butir-butir mesiu,

jelaga dan minyak pelumas.

f. Tepi luka dapat bewarna merah, oleh karena terbentuknya COHb.

g. Bentuk luka tembak tempel sangat dipengaruhi oleh keadaan / densitas

jaringan yang berada di bawahnya, dengan demikian dapat dibedakan :

 Luka tembak tempel di daerah dahi

 Luka tembak tempel di daerah pelipis

 Luka tembak tempel di daerah perut

h. Luka tembak tempel di daerah dahi mempunyai ciri :

 Luka berbentuk bintang: Bentuk bintang tersebut disebabkan oleh tenaga

tembakan yang diteruskan ke segala arah, fragmen-fragmen tulang yang

terbentuk turut terdorong keluar dan menimbulkan robekan-robekan baru

yang dimulai dari pinggir luka dan menyebar secara radier.

 Terdapat jejak laras

i. Luka tembak tempel di daerah pelipis mempunyai ciri :

 Luka berbentuk bundar

 Terdapat jejas laras

j. Luka tembak tempel di daerah perut mempunyai ciri :

 Luka berbentuk bundar

 Kemungkinan besar tidak terdapat jejas laras

34
Gambar 2.5. Luka tembak tempel ,3

2. Luka tembak masuk jarak dekat (close range wounds)

Pengertian jarak dekat bila jarak antara moncong senjata dengan tubuh korban

sekitar 50 cm (24 inci) sampai 15 cm. Ciri dari luka tembak ini adalah:3,4

a. Luka berbentuk bundar atau oval tergantung sudut masuknya peluru, dengan

di sekitarnya terdapat bintik-bintik hitam (kelim tato) dan atau jelaga (kelim

jelaga).

b. Di sekitar luka dapat ditemukan daerah yang bewarna merah atau hangus

terbakar.

c. Bila terdapat kelim tato, berarti jarak antara moncong senjata dengan korban

sekitar 60 cm (50-60 cm), yaitu untuk senjata genggam.

d. Bila terdapat pula kelim jelaga, jaraknya sekitar 30 cm (25-30 cm).

e. Bila terdapat juga kelim api, maka jarak antara moncong senjata dengan

korban sekitar 15 cm.

35
Gambar 2.6. Luka Tembak Jarak Dekat

3. Luka tembak masuk jarak jauh (long range wound)1, 2,3

Luka tembak jarak jauh adalah luka tembak dimana jarak antara moncong

senjata dengan korban diatas 50 cm, atau diluar jarak tempuh atau jangkauan

butir-butir mesiu.

a. Terjadi bila jarak antara moncong senjata dengan tubuh korban di luar

jangkauan atau jarak tempuh butir-butir mesiu yang tidak terbakar atau

terbakar sebagian.

b. Luka berbentuk bundar atau oval dengan disertai adanya kelim lecet.

c. Bila senjata sering dirawat (diberi minyak) maka pada kelim lecet dapat

dilihat pengotoran bewarna hitam berminyak, jadi ada kelim kesat atau

kelim lemak.

36
Gambar 2.7. Luka Tembak Jarak Jauh

B. Luka Tembak Keluar

Jika peluru yang ditembakan dari senjata api mengenai tubuh korban dan

kekuatannya masih cukup untuk menembus dan keluar pada bagian tubuh lainnya,

maka luka tembak dimana peluru meninggalkan tubuh itu disebut luka tembak

keluar. Bilamana peluru yang masuk ke dalam tubuh korban tidak terbentur pada

tulang, maka saluran luka yang terbentuk yang menghubungkan luka tembak

masuk dan luka tembak keluar dapat menunjukkan arah datangnya peluru yang

dapat disesuaikan dengan arah tembakan.1

Luka tembak keluar mempunyai ciri khusus yang sekaligus sebagai

perbedaan pokok dengan luka tembak masuk. Ciri tersebut adalah tidak adanya

kelim lecet pada luka tembak keluar, dengan tidak adanya kelim lecet, kelim-

kelim lainnya juga tentu tidak ditemukan.1,3

Ciri lain dari luka tembak keluar yang dapat dikatakan agak khas, oleh

karena hampir semua luka tembak keluar memiliki ciri ini, adalah luka tembak

keluar pada umumnya lebih besar dari luka tembak masuk.1,3

37
Gambar 2.8. Luka tembak keluar

Adapun faktor –faktor yang menyebabkan luka tembak keluar lebih besar dari

luka tembak masuk adalah :1

 Perubahan luas peluru, oleh karena terjadi deformitas sewaktu peluru berada

dalam tubuh dan membentur tulang.

 Peluru sewaktu berada dalam tubuh mengalami perubahan gerak, misalnya

karena terbentur bagian tubuh yang keras, peluru bergerak berputar dari ujung

ke ujung (end to end), keadaan ini disebut “tumbling”.

 Pergerakan peluru yang lurus menjadi tidak beraturan, disebut “yawing”.

 Peluru pecah menjadi beberapa fragmen. Fragmen-fragmen ini menyebabkan

luka tembak keluar menjadi lebih besar.

 Bila peluru mengenai tulang dan fragmen tulang tersebut turut terbawa keluar,

maka fragmen tulang tersebut akan membuat robekan tambahan sehingga akan

memperbesar luka tembak keluarnya.

 Pada beberapa keadaan luka tembak keluar lebih kecil dari luka tembak masuk,

hal ini disebabkan :1

38
 Kecepatan atau velocity peluru sewaktu akan menembus keluar berkurang,

sehingga kerusakannya (lubang luka tembak keluar) akan lebih kecil, perlu

diketahui bahwa kemampuan peluru untuk dapat menimbulkan kerusakan

berhubungan langsung dengan ukuran peluru dan velocity.

 Adanya benda menahan atau menekan kulit pada daerah dimana peluru akan

keluar yang berarti menghambat kecepatan peluru, luka tembak keluar akan

lebih kecil bila dibandingkan dengan luka tembak masuk.

Beberapa variasi luka tembak keluar 1

 Luka tembak keluar sebagian (partial exit wound), hal ini dimungkinkan oleh

karena tenaga peluru tersebut hampir habis atau ada penghalang yang menekan

pada tempat dimana peluru akan keluar, dengan demikian luka dapat hanya

berbentuk celah dan tidak jarang peluru tampak menonjol sedikit pada celah

tersebut.

 Jumlah luka tembak keluar lebih banyak dari jumlah peluru yang ditembakkan,

ini dimungkinkan karena :

o Peluru pecah dan masing-masing pecahan membuat sendiri luka tembak

keluar.

o Peluru menyebabkan ada tulang yang patah dan tulang tersebut terdorong

keluar pada tempat yang berbeda dengan tempat keluarnya peluru.

o Dua peluru masuk ke dalam tubuh melalui satu luka tembak masuk

(“tandem bullet injury”), dan di dalam tubuh ke dua peluru tersebut berpisah

dan keluar melalui tempat yang berbeda.

II.5. Efek Luka Tembak

39
Pada saat seseorang melepaskan tembakan dan kebetulan mengenai sasaran

yaitu tubuh korban, maka pada tubuh korban tersebut akan didapatkan perubahan

yang diakibatkan oleh berbagai unsur atau komponen yang keluar dari laras

senjata api tersebut.1,3 Adapun komponen atau unsur-unsur yang keluar pada

setiap penembakan adalah:1,4

 anak peluru

 butir-butir mesiu yang tidak terbakar atau sebagian terbakar

 asap atau jelaga

 api

 partikel logam

Bila senjata yang dipergunakan sering diberi minyak pelumas, maka minyak

yang melekat pada anak peluru dapat terbawa dan melekat pada luka. Bila

penembakan dilakukan dengan posisi moncong senjata menempel dengan erat

pada tubuh korban, maka akan terdapat jejas laras. Selain itu bila senjata yang

dipakai termasuk senjata yang tidak beralur (smooth bore), maka komponen yang

keluar adalah anak peluru dalam satu kesatuan atau tersebar dalam bentuk pellet,

tutup dari peluru itu sendiri juga dapat menimbulkan kelainan dalam bentuk

luka.1,4 Komponen atau unsur-unsur yang keluar pada setiap peristiwa

penembakan akan menimbulkan kelainan pada tubuh korban sebagai berikut:1,3,4

1) Akibat anak peluru (bullet effect): luka terbuka.

Luka terbuka yang terjadi dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu:

 Kecepatan

 Posisi peluru pada saat masuk ke dalam tubuh

40
 Bentuk dan ukuran peluru

 Densitas jaringan tubuh di mana peluru masuk

Peluru yang mempunyai kecepatan tinggi (high velocity), akan

menimbulkan luka yang relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan peluru

yang kecepatannya lebih rendah (low velocity). Kerusakan jaringan tubuh akan

lebih berat bila peluru mengenai bagian tubuh yang densitasnya lebih besar.

Pada organ tubuh yang berongga seperti jantung dan kandung kencing, bila

terkena tembakan dan kedua organ tersebut sedang terisi penuh (jantung dalam

fase diastole), maka kerusakan yang terjadi akan lebih hebat bila dibandingkan

dengan jantung dalam fase sistole dan kandung kencing yang kosong; hal

tersebut disebabkan karena adanya penyebaran tekanan hidrostatik ke seluruh

bagian.

Mekanisme terbentuknya luka dan kelim lecet akibat anak peluru:

a. Pada saat peluru mengenai kulit, kulit akan teregang

b. Bila kekuatan anak peluru lebih besar dari kulit maka akan terjadi robekan

c. Oleh karena terjadi gerakan rotasi dari peluru (pada senjata yang beralur

atau rifle bore), terjadi gesekan antara badan peluru dengan tepi robekan

sehingga terjadi kelim lecet (abrasion ring)

d. Oleh karena tenaga penetrasi peluru dan gerakan rotasi akan diteruskan ke

segala arah, maka sewaktu anak peluru berada dan melintas dalam tubuh

akan terbentuk lubang yang lebih besar dari diameter peluru

41
e. Bila peluru telah meninggalkan tubuh atau keluar, lubang atau robekan yang

terjadi akan mengecil kembali, hal ini dimungkinkan oleh adanya elastisitas

dari jaringan

f. Bila peluru masuk ke dalam tubuh secara tegak lurus maka kelim lecet yang

terbentuk akan sama lebarnya pada setiap arah

g. Peluru yang masuk secara membentuk sudut atau serong akan dapat

diketahui dari bentuk kelim lecet

h. Kelim lecet paling lebar merupakan petunjuk bahwa peluru masuk dari arah

tersebut

i. Pada senjata yang dirawat baik, maka pada klim lecet akan dijumpai

pewarnaan kehitaman akibat minyak pelumas, hal ini disebut kelim kesat

atau kelim lemak (grease ring/ grease mark)

j. Bila peluru masuk pada daerah di mana densitasnya rendah, maka bentuk

luka yang terjadi adalah bentuk bundar, bila jaringan di bawahnya

mempunyai densitas besar seperti tulang, maka sebagian tenaga dari peluru

disertai pula dengan gas yang terbentuk akan memantul dan mengangkat

kulit di atasnya, sehingga robekan yang tejadi menjadi tidak beraturan atau

berbentuk bintang

k. Perkiraan diameter anak peluru merupakan penjumlahan antara diameter

lubang luka ditambah dengan lebar kelim lecet yang tegak lurus dengan arah

masuknya peluru

l. Peluru yang hanya menyerempet tubuh korban akan menimbulkan robekan

dangkal, disebut bullet slap atau bullet graze

42
m. Bila peluru menyebabkan luka terbuka dimana luka tembak masuk bersatu

dengan luka tembak keluar, luka yang terbentuk disebut gutter wound

2) Akibat butir-butir mesiu (gunpowder effect): tattoo, stipling

a. Butir – butir mesiu yang tidak terbakar atau sebagian terbakar akan masuk

ke dalam kulit

b. Daerah di mana butir-butir mesiu tersebut masuk akan tampak berbintik-

bintik hitam dan bercampur dengan perdarahan

c. Oleh karena penetrasi butir mesiu tadi cukup dalam, maka bintik-bintik

hitam tersebut tidak dapat dihapus dengan kain dari luar

d. Jangkauan butir-butir mesiu untuk senjata genggam berkisar sekitar 60 cm

e. Black powder adalah butir mesiu yang komposisinya terdiri dari nitrit,

tiosianat, tiosulfat, kalium karbonat, kalium sulfat, kalium sulfida,

sedangkan smoke less powder terdiri dari nitrit dan selulosa nitrat yang

dicampur dengan karbon dan gravid

3) Akibat asap (smoke effect): jelaga

a. Oleh karena setiap proses pembakaran itu tidak sempurna, maka terbentuk

asap atau jelaga

b. Jelaga yang berasal dari black powder komposisinya CO2 (50%) nitrogen

35%, CO 10%, hydrogen sulfide 3%, hydrogen 2 % serta sedikit oksigen

dan methane

c. Smoke less powder akan menghasilkan asap yang jauh lebih sedikit

d. Jangkauan jelaga untuk senjata genggam berkisar sekitar 30 cm

43
e. Oleh karena jelaga itu ringan, jelaga hanya menempel pada permukaan

kulit, sehingga bila dihapus akan menghilang.

4) Akibat api (flame effect): luka bakar

a. Terbakarnya butir-butir mesiu akan menghasilkan api serta gas panas yang

akan mengakibatkan kulit akan tampak hangus terbakar (scorching,

charring)

b. Jika tembakan terjadi pada daerah yang berambut, maka rambut akan

terbakar

c. Jarak tempuh api serta gas panas untuk senjata genggam sekitar 15 cm,

sedangkan untuk senjata yang kalibernya lebih kecil, jaraknya sekitar 7,5

cm

5) Akibat partikel logam (metal effect): fouling

a. Oleh karena diameter peluru lebih besar dari diameter laras, maka sewaktu

peluru bergulir pada laras yang beralur akan terjadi pelepasan partikel

logam sebagai akibat pergesekan tersebut

b. Partikel atau fragmen logam tersebut akan menimbulkan luka lecet atau luka

terbuka dangkal yang kecil-kecil pada tubuh korban

c. Partikel tersebut dapat masuk ke dalam kulit atau tertahan pada pakaian

korban.

6) Akibat moncong senjata (muzzle effect): jejas laras

44
a. Jejas laras dapat terjadi pada luka tembak tempel, baik luka tembak tempel

yang erat (hard contact) maupun yang hanya sebagian menempel (soft

contact)

b. Jejas laras dapat terjadi bila moncong senjata ditempelkan pada bagian

tubuh, dimana di bawahnya ada bagian yang keras (tulang)

c. Jejas laras terjadi oleh karena adanya tenaga yang terpantul oleh tulang dan

mengangkat kulit sehingga terjadi benturan yang cukup kuat antara kulit dan

moncong senjata

d. Jejas laras dapat pula terjadi jika si penembak memukulkan moncong

senjatanya dengan cukup keras pada tubuh korban, akan tetapi hal ini jarang

terjadi

e. Pada hard contact, jejas laras tampak jelas mengelilingi lubang luka,

sedangkan pada soft contact, jejas laras sebetulnya luka lecet tekan tersebut

akan tampak sebagian sebagai garis lengkung

f. Bila pada hard contact tidak akan dijumpai kelim jelaga atau kelim tato,

oleh karena tertutup rapat oleh laras senjata, maka pada soft contact jelaga

dan butir mesiu ada yang keluar melalui celah antara moncong senjata dan

kulit, sehingga terdapat adanya kelim jelaga dan kelim tato.

7) Pengaruh pakaian pada luka tembak masuk 1,5

Jika tembakan mengenai tubuh korban yang ditutup pakaian, dan pakaiannya

cukup tebal, maka dapat terjadi:

 Asap, butir-butir mesiu dan api dapat tertahan pakaian

 Fragmen atau partikel logam dapat tertahan oleh pakaian

45
 Serat-serat pakaian dapat terbawa oleh peluru dan masuk ke dalam lubang

luka tembak

II.6. Deskripsi Luka Tembak

Kepentingan medikolegal deskripsi yang adekuat dari luka senjata api

bergantung pada besarnya potensi seorang korban meninggal. Jika korban masih

hidup, deskripsi singkat dan tidak terlalu detail. Dokter mempunyai tanggung

jawab yang utama untuk memberikan penatalaksanaan gawat darurat.

Membersihkan luka, membuka dan mengeksplorasi, debridement dan

menutupnya, kemudian membalut adalah bagian penting dari merawat pasien bagi

dokter. Penggambaran luka secara detail akan dilakukan nanti, setelah semua

kondisi gawat darurat dapat disingkirkan. Oleh karena singkatnya waktu yang

dimiliki untuk mempelajari medikolegal, seringkali dokter merasa tidak

mempunyai kewajiban untuk mendeskripskan luka secara detail. Deskripsi luka

yang minimal untuk pasien hidup terdiri dari : Lokasi luka, ukuran dan bentuk

defek, lingkaran abrasi, lipatan kulit yang utuh dan robek, bubuk hitam sisa

tembakan (jika ada), tato (jika ada), dan bagian yang ditembus/dilewati.1,2,4

Penatalaksanaan luka, termasuk debridement, penjahitan, pengguntingan rambut,

pembalutan, drainase, dan operasi perluasan luka.

Pada korban mati, tidak ada tuntutan dalam mengatasi gawat darurat.

Meskipun demikian, tubuhnya dapat saja sudah mengalami perubahan akibat

penanganan gawat darurat dari pihak lain. Sebagai tambahan, tubuh bisa berubah

akibat perlakuan orang-orang yang mempersiapkan tubuhnya untuk dikirimkan

46
kepada pihak yang bertanggung jawab untuk menerimanya. Di lain pihak, tubuh

mungkin sudah dibersihkan, bahkan sudah disiapkan untuk penguburan, luka

sudah ditutup dengan lilin atau material lain. Penting untuk mengetahui siapa dan

apa yang telah dikerjakannya terhadap tubuh korban, untuk mengetahui gambaran

luka.

a. Jarak Tembakan

Efek gas, bubuk mesiu, dan anak peluru terhadap target dapat digunakan dalam

keilmuan forensik untuk memperkirakan jarak target dari tembakan dilepaskan.

Perkiraan tersebut memiliki kepentingan sebagai berikut : untuk membuktikan

atau menyangkal tuntutan; untuk menyatakan atau menyingkirkan

kemungkinan bunuh diri; membantu menilai ciri alami luka akibat kecelakaan.

Meski kisaran jarak tembak tidak dapat dinilai dengan ketajaman absolut, luka

tembak dapat diklasifikasikan sebagai luka tembak jarak dekat, sedang, dan

jauh. 1,2,4

b. Arah Tembakan

Luka tembak yang tepat akan membentuk lubang yang sirkuler serta perubahan

warna pada kulit, jika sudut penembakan olique akan mengakibatkan luka

tembak berbentuk ellips, panjang luka dihubungkan dengan pengurangan sudut

tembak. Senapan akan memproduksi lebih sedikit kotoran, kecuali jika jarak

dekat. Petunjuk ini berguna untuk pembanding dengan shotgun. Luka tembak

yang disebabkan shotgun dengan sudut olique akan membentuk luka seperti

anak tangga. Jaringan juga berperan serta dalam perubahan gambaran luka

karena adanya kontraksi otot.

47
II.7. Cara Pengukuran Jarak Tembak Dalam Visum Et Repertum

Bila pada korban terdapat luka tembak masuk dan tampak jelas adanya jejas

laras, kelim api, kelim jelaga atau kelim tato, maka perkiraan penentuan jarak

tembak tidak sulit. Kesulitan timbul bila tidak ada kelim-kelim tersebut selain

kelim lecet.1 Bila terdapat kelim jelaga, berarti korban ditembak dari jarak dekat,

maksimal 30 cm, kelim tato berarti korban ditembak dari jarak dekat, maksimal

60 cm dan seterusnya. Sedangkan kelim api menunjukan bahwa korban ditembak

dari jarak yang sangat dekat sekali, yaitu maksimal 15 cm.

II.8. Pemeriksaan Khusus Pada Luka Tembak Masuk

Pada beberapa keadaan, pemeriksaan terhadap luka tembak masuk, sering

dipersulit oleh adanya pengotoran oleh darah, sehingga pemeriksaan tidak dapat

dilakukan dengan baik.1 Untuk menghadapi penyulit pada pemeriksaan tersebut

dapat dilakukan prosedur sebagai berikut:1

 Luka tembak dibersihkan dengan hydrogen-peroxide 3%

 Setelah 2-3 menit luka tersebut dicuci dengan air, untuk membersihkan busa

yang terjadi dan membersihkan darah.

 Dengan pemberian hydrogen-peroxide tadi, luka tembak akan bersih dan

tampak jelas, sehingga deskripsi luka dapat dilakukan dengan akurat.

 Selain secara makroskopik, dapat juga dengan pemeriksaan khusus:

pemeriksaan mikroskopik, pemeriksaan kimiawi, dan pemeriksaan radiologik.1

a) Pemeriksaan Mikroskopik 1,6

48
Perubahan yang tampak diakibatkan oleh dua faktor, yaitu: trauma mekanik

dan termis, pada luka tembak tempel dan luka tembak jarak dekat perubahan

mikroskopis yang terjadi adalah:

 Kompresi epitel, disekitar luka tampak epitel yang normal dan yang

mengalami kompresi, elongasi, dan menjadi pipihnya sel-sel epidermal serta

elongasi dari inti sel

 Distorsi dari sel epidermis di tepi luka yang dapat bercampur dengan butir-

butir mesiu

 Epitel mengalami nekrosis koagulatif, epitel sembab, vakuolisasi sel-sel

basal

 Akibat panas, jaringan kolagen menyatu dengan pewarnaan HE, akan lebih

banyak mengambil warna biru (basophilic staining)

 Tampak perdarahan yang masih baru dalam epidermis (kelainan ini paling

dominan, dan adanya butir-butir mesiu)

 Sel-sel pada dermis intinya mengerut, vakuolisasi dan piknotik

 Butir-butir mesiu tampak sebagai benda tidak beraturan, berwarna hitam

atau hitam kecoklatan

 Pada luka tembak tempel “hard contact”, permukaan kulit sekitar luka tidak

terdapat butir-butir mesiu atau hanya sedikit sekali; butir-butir mesiu akan

tampak banyak pada lapisan bawahnya, khususnys di sepanjang tepi saluran

luka

 Pada luka tembak tempel “soft contact”, butir-butir mesiu terdapat pada

kulit dan jaringan di bawah kulit

49
 Pada luka tembak jarak dekat, butir-butir mesiu terutama terdapat pada

permukaan kulit, hanya sedikit yang ada pada lapisan-lapisan kulit.

b) Pemeriksaan Kimiawi 1

 Pada “black gun powder” dapat ditemukan kalium, karbon, nitrit, nitrat,

sulfas, sulfat, karbonat, tiosianat dan tiosulfat

 Pada “smokeless gun powder” dapat ditemukan nitrit, dan selulosa-nitrat

 Pada senjata api yang modern, ditemukan timah, barium, antimony, dan

merkuri

 Unsur-unsur kimia yang berasal dari laras senjata dan dari peluru sendiri

dapat ditemukan timah, antimon, nikel, tembaga, bismuth, perak, dan

thalium

 Pemeriksaan atas unsur-unsur tersebut dapat dilakukan terhadap pakaian, di

dalam atau di sekitar luka

 Pada pelaku penembakan, unsur-unsur tersebut dapat dideteksi pada tangan

yang menggenggam senjata

c) Pemeriksaan dengan Sinar-X 1

Pemeriksaan radiologik ini umumnya untuk memudahkan dalam mengetahui

letak peluru dalam tubuh korban.

 Pada “tandem bullet injury” dapat ditemukan dua peluru walaupun luka

tembak masuknya hanya satu.

 Bila pada tubuh korban tampak banyak pellet tersebar, maka dapat

dipastikan bahwa korban ditembak dengan senjata jenis “shotgun”, yang

tidak beralur, dimana dalam satu peluru terdiri dari berpuluh pellet.

50
 Bila pada tubuh korban tampak satu peluru, maka korban ditembak oleh

senjata api jenis “rifled”.

 Pada keadaan dimana tubuh korban telah membusuk lanjut atau telah rusak,

sehingga pemeriksaan sulit, maka dengan pemeriksaan radiologik ini akan

dengan mudah menentukan kasusnya, yaitu dengan ditemukannya anak

peluru pada foto rontgen

d) Pemeriksaan baju pada korban luka tembak1,2

Pemeriksaan korban luka tembak tidak lengkap tanpa pemeriksaan defek baju

yang dibuat oleh peluru.

Pada tempat yang sesuai dengan luka tembak masuk1,5

 Serat-serat pakaian akan terdorong ke dalam.

 Bila ditembakan dari jarak dekat atau jarak sangat dekat, dapat terlihat

pengotoran bewarna hitam yang disebabkan oleh butir-butir mesiu yang

tidak terbakar dan akibat jelaga yang menempel pada pakaian.

 Bila senjata dirawat dengan baik maka di tepi dan di bagian pakaian yang

robek terdapat pengotoran oleh minyak pelumas yang berwarna kehitaman.

Pada tempat yang sesuai dengan luka tembak keluar1,5

 Serat-serat pakaian akan terdorong keluar.

 Di pinggir atau di sekitar robekan mungkin didapatkan pengotoran oleh

darah, atau jaringan tubuh korban yang hancur dan terbawa keluar. Seperti

otak atau serpihan tulang.

 Tepi lubang pada pakaian tampak terangkat, hal ini menunjukkan bahwa

peluru keluar melalui lubang tersebut.

51
BAB III

KESIMPULAN

Luka tembak merupakan suatu cedera pada tubuh yang diakibatkan oleh

senjata api. Senjata api adalah suatu senjata yang menggunakan tenaga hasil

peledakan mesiu, dapat melontarkan proyektil (anak peluru) yang berkecepatan

tinggi melalui larasnya. Berdasarkan panjang larasnya, senjata api ini

dikelompokan menjadi senjata api laras pendak dan senjata api laras panjang,

sedangkan berdasarkan alur pada laras, senjata api dikelompokan menjadi senjata

api baralur dan senjata api tanpa alur.

Pada luka tembak terjadi robekan dan kerusakan jaringan yang diakibatkan

daya dorong peluru dalam menembus jaringan. Luka tembak dikelompokan

menjadi luka tembak masuk dan luka tembak keluar, namun pada klasifikasi ini

yang tidak kalah penting adalah jarak tembakan yaitu luka tembus masuk

tempel,luka tembus masuk jarak dekat maupun luka tembus masuk jarak jauh.

Penentuan jarak ini juga dapat menentukan efek dari tembakan. Efek dari

tembakan ini diakibatkan oleh komponen peluru yang mengenai tubuh yaitu anak

peluru, mesiu, asap jelaga, api dan partikel logam

Pendeskripsian luka tembak dilakukan demi kepentingan medikolegal.

Deskripsi luka ini mencakup lokasi luka, ukuran dan bentuk luka, lingkaran

abrasi, lipatan kulit yang utuh dan robek, bubuk hitam sisa tembakan (jika ada),

52
dan bagian tubuh yang ditembus. Selain dekripsi luka, kita juga harus menentukan

jarak tembakan dan arah tembakan. Penentuan jarak tembakan ini dapat dilihat

dari adanya jejas laras, kelim api, kelim jelaga, atau kelim tato. Pemeriksaan

khusus pada luka tembak masuk seperti pemeriksaa nmikroskopik, kimiawi,sinar

x mungkin diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

53
1. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Jakarta: Binarupa
Aksara, 1997; p.131-168.
2. Hueske E. Firearms and Tool Mark The Forensic Laboratory Handbooks,
Practice and Resource. 2006.
3. Abdussalam. Forensik. Jakarta: Restu Agung, 2006; p. 41-43.
4. Hueske E. Firearms and Tool Mark The Forensic Laboratory Handbooks,
Practice and Resource. 2006.
5. Indah PS, Lely, Irene, Elena, Luh S. Gunshot wound[online]. [cited 2011
Februari 20]. http://www.freewebs.com/gunshot_wound/luka tembak pada
tulang.htm.
6. Anonim. Forensic Pathology, Second Edition. USA: Oxford University Press,
1996; p.243-273.

54
TRAUMATOLOGI

BAB 1

PENDAHULUAN

55
Seorang dokter dalam kesehariannya tidak lepas dari adanya kasus yang

berhubungan dengan tindak kekerasan, sehingga dokter sebagai orang yang

melakukan pemeriksaan, khususnya atas diri korban, perlu secara hati-hati, cermat

dan teliti dalam menafsirkan hasil yang didapatnya.

Data di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa jumlah kasus perlukaan

dan keracunan pada unit gawat darurat mencapai 50-70%. Dibandingkan dengan

kasus pembunuhan dan perkosaan, kasus penganiayaan yang mengakibatkan luka

merupakan jenis yang paling sering terjadi, dan oleh karenanya penyidik perlu

meminta Visum et Repertum kepada dokter sebagai alat bukti di depan pengadilan.
1

Selain melakukan pengobatan terhadap korban dokter juga perlu untuk

membantu penyidik untuk mengungkap pelaku tindak kekerasan tersebut.

Makalah ini dibuat untuk membahas mengenai traumatologi didalam bidang

forensik sehingga diharapkan dapar membantu pembaca mengenai traumatologi di

dalam bidang forensik.

56
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Definisi

Di dalam ilmu kedokteran forensik traumatologi adalah ilmu yang

mempelajari tentang luka dan cedera dalam hubungannya dengan berbagai

kekerasan (rudapaksa), sedangkan pengertian luka adalah suatu keadaan

ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan. 2,3

Pengertian medis menyatakan trauma atau perlukaan adalah gangguan

kontinuitas dari jaringan tubuh seperti kulit, membran mukosa, kornea, dan

sebagainya. Dalam pengertian medikolegal trauma adalah pengetahuan tentang

alat atau benda yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan seseorang. Artinya

orang yang sehat, tiba-tiba terganggu kesehatannya akibat efek dari alat atau

benda yang dapat menimbulkan kecederaan. 2,3,4

B. Klasifikasi ,2,3,4,5

O Berdasarkan sifat dan penyebabnya, trauma dapat dibedakan atas

kekerasan yang bersifat :

1. Mekanik

a. Benda tumpul

b. Benda tajam

c. Tembakan senjata api

2. Fisika

57
a. Suhu

b. Listrik dan petir

c. Perubahan tekanan udara

d. Akustik

e. Radiasi

3. Kimia

a. Asam kuat

b. Basa kuat

O Berdasarkan etiologi luka dapat dikelompokkan:

1. Luka mekanik.

2. Luka termis.

3. Luka kimiawi.

4. Luka listrik.

O Berdasarkan derajat kualifikasi luka dapat dikelompokkan:

1. Luka ringan.

2. Luka sedang.

3. Luka berat.

O Berdasarkan bentuknya luka dapat dikelompokkan:

1. Teratur

1.a Luka bulat

1.b Luka lonjong

1.c Luka segitiga, dan lain-lain

2. Tidak teratur

58
2.a Luka robek

2.b Luka lecet

2.c Luka memar, dan lain-lain

O Luka mekanik juga dapat dikelompokkan:

1. Luka memar (kontusio).

2. Luka lecet (abrasio).

3. Luka sayat (vulnus scissum).

4. Luka robek (vulnus laceratum).

5. Luka tusuk (vulnus punctum).

6. Luka tembak (vulnus sclopetorum).

7. Luka-luka yang mengenai struktur organ dalam tanpa kerusakan pada

Permukaan kulit/ tubuh

8. Luka bakar (combustio) dan luka akibat air mendidih ataupun uap panas.

9. Luka-luka yang disebabkan oleh aliran listrik (kilat).

O Berdasarkan waktu kematian terjadinya luka dapat dikelompokkan:

1. Ante-mortem

2. Post- mortem

O Berdasarkan aspek medikolegal luka dapat dikelompokkan:

1. Perbuatan sendiri (bunuh diri).

2. Perbuatan orang lain (pembunuhan).

3. Kecelakaan.

4. Luka tangkis.

5.Dibuat (fabricated)

59
C. Trauma Benda Tumpul

Trauma atau luka mekanik terjadi karena alat atau senjata dalam berbagai

bentuk, baik secara alami atau dibuat manusia. Senjata atau alat yang dibuat

manusia seperti kampak, pisau, panah, martil dan lain-lain. Bila ditelusuri, benda-

benda ini telah ada sejak zaman pra sejarah dalam usaha manusia

mempertahankan hidup sampai dengan pembuatan senjata-senjata masa kini

seperti senjata api, bom dan senjata penghancur lainnya. Akibat pada tubuh dapat

dibedakan dari penyebabnya.

Benda tumpul yang sering mengakibatkan luka antara lain adalah batu, besi,

sepatu, tinju, lantai, jalan dan lain-lain. Adapun definisi dari benda tumpul itu

sendiri adalah :

 Tidak bermata tajam

 Konsistensi keras / kenyal

 Permukaan halus / kasar

Kekerasan tumpul dapat terjadi karena 2 sebab yaitu alat atau senjata yang

mengenai atau melukai orang yang relatif tidak bergerak dan yang lain orang

bergerak ke arah objek atau alat yang tidak bergerak.

Luka karena kererasan tumpul dapat berbentuk salah satu atau kombinasi

dari luka memar, luka lecet, luka robek, patah tulang atau luka tekan.

1. Luka Akibat Trauma Tumpul2,6,7

Variasi mekanisme terjadinya trauma tumpul adalah:

1. Benda tumpul yang bergerak pada korban yang diam.

2. Korban yang bergerak pada benda tumpul yang diam.

60
Sekilas nampak sama dalam hasil lukanya namun jika diperhatikan lebih

lanjut terdapat perbedaan hasil pada kedua mekanisme itu. Organ atau jaringan

pada tubuh mempunyai beberapa cara menahan kerusakan yang disebabkan objek

atau alat, daya tahan tersebut menimbulkan berbagai tipe luka yakni:

a. Abrasi

b. Laserasi

c. Kontusio

d. Fraktur

e. Kompresi

a. Abrasi (Luka Lecet)

Abrasi per definisi adalah pengelupasan kulit. Dapat terjadi superfisial jika

hanya epidermis saja yang terkena, lebih dalam ke lapisan bawah kulit

(dermis)atau lebih dalam lagi sampai ke jaringan lunak bawah kulit. Jika abrasi

terjadi lebih dalam dari lapisan epidermis pembuluh darah dapat terkena sehingga

terjadi perdarahan. Arah dari pengelupasan dapat ditentukan dengan pemeriksaan

luka. Dua tanda yang dapat digunakan. Tanda yang pertama adalah arah dimana

epidermis bergulung, tanda yang kedua adalah hubungan kedalaman pada luka

yang menandakan ketidakteraturan benda yang mengenainya. Efek lanjut dari

abrasi sangat jarang terjadi. Infeksi dapat terjadi pada abrasi yang luas.

b. Kontusio Superfisial (Luka Memear).

Kata lazim yang digunakan adalah memar, terjadi karena tekanan yang

besar dalam waktu yang singkat. Penekanan ini menyebabkan kerusakan pada

pembuluh darah kecil dan dapat menimbulkan perdarahan pada jaringan bawah

61
kulit atau organ dibawahnya. Pada orang dengan kulit berwarna memar sulit

dilihat sehingga lebih mudah terlihat dari nyeri tekan yang ditimbulkannya.

Perubahan warna pada memar berhubungan dengan waktu lamanya luka,

namun waktu tersebut bervariasi tergantung jenis luka dan individu yang terkena.

Tidak ada standart pasti untuk menentukan lamanya luka dari warna yang terlihat

secara pemeriksaan fisik.

Efek samping yang terjadi pada luka memar antara lain terjadinya

penurunan darah dalam sirkulasi yang disebabkan memar yang luas dan masif

sehingga dapat menyebabkan syok, penurunan kesadaran, bahkan kematian. Yang

kedua adalah terjadinya agregasi darah di bawah kulit yang akan mengganggu

aliran balik vena pada organ yang terkena sehingga dapat menyebabkan ganggren

dan kematian jaringan. Yang ketiga, memar dapat menjadi tempat media

berkembang biak kuman. Kematian jaringan dengan kekurangan atau ketiadaaan

aliran darah sirkulasi menyebabkan saturasi oksigen menjadi rendah sehingga

kuman anaerob dapat hidup, kuman tersering adalah golongan clostridium yang

dapat memproduksi gas gangren.

c. Kontusio pada organ dan jaringan dalam.

Semua organ dapat terjadi kontusio. Kontusio pada tiap organ memiliki

karakteristik yang berbeda. Pada organ vital seperti jantung dan otak jika terjadi

kontusio dapat menyebabkan kelainan fungsi dan bahkan kematian.

d. Laserasi (Luka Robek).

62
Suatu pukulan yang mengenai bagian kecil area kulit dapat menyebabkan

kontusio dari jaringan subkutan, seperti pinggiran balok kayu, ujung dari pipa,

permukaan benda tersebut cukup lancip untuk menyebabkan sobekan pada kulit

yang menyebabkan laserasi. Laserasi disebabkan oleh benda yang permukaannya

runcing tetapi tidak begitu tajam sehingga merobek kulit dan jaringan bawah kulit

dan menyebabkan kerusakan jaringan kulit dan bawah kulit. Tepi dari laserasi

ireguler dan kasar, disekitarnya terdapat luka lecet yang diakibatkan oleh bagian

yang lebih rata dari benda tersebut yang mengalami indentasi.

Gambar 2.3.1.1. Luka Robek

Laserasi dapat menyebabkan perdarahan hebat. Sebuah laserasi kecil tanpa

adanya robekan arteri dapat menyebabkan akibat yang fatal bila perdarahan terjadi

terus menerus. Laserasi yang multipel yang mengenai jaringan kutis dan sub kutis

dapat menyebabkan perdarahan yang hebat sehingga menyebabkan sampai

dengan kematian. Adanya diskontinuitas kulit atau membran mukosa dapat

menyebabkan kuman yang berasal dari permukaan luka maupun dari sekitar kulit

yang luka masuk ke dalam jaringan. Port de entree tersebut tetap ada sampai

dengan terjadinya penyembuhan luka yang sempurna.

63
Bila luka terjadi dekat persendian maka akan terasa nyeri, khususnya pada

saat sendi tersebut di gerakkan ke arah laserasi tersebut sehingga dapat

menyebabkan disfungsi dari sendi tersebut. Benturan yang terjadi pada jaringan

bawah kulit yang memiliki jaringan lemak dapat menyebabkan emboli lemak pada

paru atau sirkulasi sistemik. Laserasi juga dapat terjadi pada organ akibat dari

tekanan yang kuat dari suatu pukulan seperi pada organ jantung, aorta, hati dan

limpa.

Hal yang harus diwaspadai dari laserasi organ yaitu robekan yang komplit

yang dapat terjadi dalam jangka waktu lama setelah trauma yang dapat

menyebabkan perdarahan hebat.

e. Kombinasi dari luka lecet, memar dan laserasi.

Luka leceet, memar dan laserasi dapat terjadi bersamaan. Benda yang

sama dapat menyebabkan memar pada pukulan pertama, laserasi pada pukulan

selanjutnya dan lecet pada pukulan selanjutnya. Tetapi ketiga jenis luka tersebut

dapat terjadi bersamaan pada satu pukulan.

f. Fraktur

Fraktur adalah suatu diskontinuitas tulang. Istilah fraktur pada bedah

hanya memiliki sedikit makna pada ilmu forensik. Pada bedah, fraktur dibagi

menjadi fraktur sederhana dan komplit atau terbuka.Terjadinya fraktur selain

disebabkan suatu trauma juga dipengaruhi beberapa faktor seperti komposisi

tulang tersebut.

Perdarahan merupakan salah satu komplikasi dari fraktur. Bila perdarahan

sub periosteum terjadi dapat menyebabkan nyeri yang hebat dan disfungsi organ

64
tersebut. Apabila terjadi robekan pembuluh darah kecil dapat menyebabkan darah

terbendung disekitar jaringan lunak yang menyebabkan pembengkakan dan aliran

darah balik dapat berkurang. Apabila terjadi robekan pada arteri yang besar terjadi

kehilangan darah yang banyak dan dapat menyebabkan pasien shok sampai

meninggal. Shok yang terjadi pada pasien fraktur tidaklah selalu sebanding

dengan fraktur yang dialaminya.

Selain itu juga dapat terjadi emboli lemak pada paru dan jaringan lain.

Gejala pada emboli lemak di sereberal dapat terjadi 2-4 hari setelah terjadinya

fraktur dan dapat menyebabkan kematian. Gejala pada emboli lemak di paru

berupa distres pernafasan dapat terjadi 14-16 jam setelah terjadinya fraktur yang

juga dapat menyebabkan kematian. Emboli sumsum tulan atau lemak merupakan

tanda antemortem dari sebuah fraktur.

Fraktur linier yang terjadi pada tulang tengkorak tanpa adanya fraktur

depresi tidaklah begitu berat kecuali terdapat robekan pembuluh darah yang dapat

membuat hematom ekstra dural, sehingga diperlukan depresi tulang secepatnya.

Apabila ujung tulang mengenai otak dapat merusak otak tersebut, sehingga dapat

terjadi penurunan kesadaran, kejang, koma hingga kematian.

g. Kompresi

Kompresi yang terjadi dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan efek

lokal maupun sistemik yaitu asfiksia traumatik sehingga dapat terjadi kematiaan

akibat tidak terjadi pertukaran udara.

h. Perdarahan

65
Perdarahan dapat muncul setelah terjadi kontusio, laserasi, fraktur, dan

kompresi. Kehilangan 1/10 volume darah tidak menyebabkan gangguan yang

bermakna. Kehilangan ¼ volume darah dapat menyebabkan pingsan meskipun

dalam kondisi berbaring. Kehilangan ½ volume darah dan mendadak dapat

menyebabkan syok yang berakhir pada kematian. Kecepatan perdarahan yang

terjadi tergantung pada ukuran dari pembuluh darah yang terpotong dan jenis

perlukaan yang mengakibatkan terjadinya perdarahan. Pada arteri besar yang

terpotong, akan terjadi perdarahan banyak yang sulit dikontrol oleh tubuh

sendiri.Apabila luka pada arteri besar berupa sayatan, seperti luka yang

disebabkan oleh pisau, perdarahan akan berlangsung lambat dan mungkin

intermiten.

Luka pada arteri besar yang disebabkan oleh tembakan akan

mengakibatkan luka yang sulit untuk dihentikan oleh mekanisme penghentian

darah dari dinding pembuluh darah sendiri. Hal ini sesuai dengan prinsip yang

telah diketahui, yaitu perdarahan yang berasal dari arteri lebih berisiko

dibandingkan perdarahan yang berasal dari vena.

Hipertensi dapat menyebabkan perdarahan yang banyak dan cepat apabila

terjadi perlukaan pada arteri.

Adanya gangguan pembekuan darah juga dapat menyebabkan perdarahan

yang lama. Kondisi ini terdapat pada orang-orang dengan penyakit hemofili dan

gangguan pembekuan darah, serta orang-orang yang mendapat terapi

antikoagulan. Pecandu alcohol biasanya tidak memiliki mekanisme pembekuan

darah yang normal, sehingga cenderung memiliki perdarahan yang berisiko.

66
Investigasi terhadap kematian yang diakibatkan oleh perdarahan memerlukan

pemeriksaan lengkap seluruh tubuh untuk mencari penyakit atau kondisi lain yang

turut berperan dalam menciptakan atau memperberat situasi perdarahan.

Klasifikasi luka akibat benda tumpul menurut jaringan atau organ yang

terkena adalah sebagai berikut :

1. Kulit

1. Luka Lecet

2. Luka Memar

3. Luka Robek

Gambar 2.3.1.2. Luka Memar

2. Kepala

1. Tengkorak

2. Jaringan Otak

3. Leher dan Tulang Belakang

67
4. Dada

1. Tulang

2. Organ dalam dada

5. Perut

1. Organ Parenchym

2. Organ berongga

6. Anggota Gerak

2. Kekerasan benda tumpul pada kulit dan jaringan bawah kulit

a. Luka Lecet (Abrasion)

Adalah luka akibat kekerasan benda yang memiliki permukaan yang kasar

sehingga sebagian atau seluruh lapisan epidermis hilang..

Contohnya :

 Benda kasar : terseret di jalan aspal

 Tali tampar : gantung diri

 Benda runcing : duri, kuku

 Meninggalkan bekas : ban mobil

Ciri luka lecet :

1. Sebagian/seluruh epitel hilang

2. Permukaan tertutup exudasi yang akan mengering (krusta)

3. Timbul reaksi radang (Sel PMN)

4. Biasanya pada penyembuhan tidak meninggalkan jaringan parut

Memperkirakan umur luka lecet:

 Hari ke 1 – 3 : warna coklat kemerahan

68
 Hari ke 4 – 6 : warna pelan-pelan menjadi gelap dan lebih suram

 Hari ke 7 – 14 : pembentukan epidermis baru

 Beberapa minggu : terjadi penyembuhan lengkap

Perbedaan luka lecet ante motem dan post mortem

ANTE MORTEM POST MORTEM

1. Coklat kemerahan 1. Kekuningan

2. Terdapat sisa sisa-sisa epitel 2. Epidermis terpisah sempurna dari

1. Tanda intravital (+) dermis

2. Sembarang tempat 3. Tanda intravital (-)

4. Pada daerah yang ada penonjolan

tulang

b. Luka Memar (Contusion)

Adalah kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah

sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak perlu rusak, menjadi

bengkak, berwarna merah kebiruan.

Memperkirakan umur luka memar :

 Hari ke 1 : terjadi pembengkakan warna merah kebiruan

 Hari ke 2 – 3 : warna biru kehitaman

 Hari ke 4 – 6 : biru kehijauan–coklat

 > 1 minggu-4 minggu : menghilang / sembuh

69
Perbedaan Luka Memar dan Lebam mayat

Luka Memar Lebam mayat

1. Di sembarang tempat 1. Bagian tubuh yang terendah

2. Pembengkakan (+) 2. Pembengkakan (-)

3. Tanda Intravital (+) 3. Tanda Intravital (-)

4. Ditekan tidak menghilang 4. Ditekan Menghilang

5. Diiris : tidak menghilang 5. Diiris : dibersihkan dengan kapas

menjadi bersih

c. Luka Robek, Retak, Koyak (Laceration)

Adalah kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit yang mudah terjadi

pada kulit yang ada tulang di bawahnya dan biasanya pada penyembuhan

meninggalkan jaringan parut

Kekerasan Benda Tumpul Pada Kepala

1. Kulit

 Luka Lecet

 Luka Memar

 Luka Robek

2. Tengkorak

 Fraktur Basis Cranii

 Fraktur Calvaria

3. Otak

 Contusio Cerebri

70
 Laceratio Cerebri

 Oedema Cerebri

 Commotio Cerebri

4. Selaput Otak

 Epidural Haemorrhage

 Sub dural Haemorrhage

 Sub arachnoid Haemorrhage

Kekerasan Benda Tumpul Pada Leher

Berakibat :

 Patah tulang leher

 Robek pembuluh darah, otot, oesophagus, trachea/larynx

 Kerusakan syaraf

Kekerasan Benda Tumpul Pada Dada

Berakibat :

 Patah os costae, sternum, scapula, clavicula

 Robek organ jantung, paru, pericardium

Kekerasan Benda Tumpul Pada Perut

Berakibat :

 Patah os pubis, os sacrum, symphysiolysis, Luxatio sendi sacro iliaca

 Robek organ hepar, lien, ginjal. Pankreas, adrenal, lambung, usus,

kandung seni

Kekerasan Benda Tumpul Pada Vertebra

Dapat berakibat :

71
 Fraktura, dislokasi os vertebrae

Dapat karena :

1. Trauma langsung

2. Tidak langsung karena tarikan / tekukan

Kekerasan benda Tumpul Pada Anggota Gerak

Berakibat :

 Patah tulang, dislokasi sendi

 Robek otot, P.darah, kerusakan saraf

D. Trauma Benda Tajam

Disebabkan oleh benda-benda tajam :

- Bisa untuk mengiris

- Berujung runcing

- Bisa untuk menusuk

Luka akibat persentuhan dengan benda tajam , yaitu:

Putusnya atau rusaknya continuitas jaringan karena trauma akibat alat/senjata

yang bermata tajam dan atau berujung runcing.

Ciri Luka Akibat Benda Tajam:

o Tepi luka rata

o Sudut luka tajam

o Rambut ikut terpotong

o Jembatan jaringan ( - )

o Memar/lecet di sekitarnya ( - )

72
Cara melukis luka hendaknya ditentukan :

1. Lokalisasi : a. ordinat b. aksis

2. Ukuran

3. Jumlah luka

4. Bentuk luka

5. Benda asing

6. Terjadinya intravital/post mortal

7. Luka tersebut menyebabkan kematian/tidak

8. Cara kejadian luka:kecelakaan/bunuh diri/pembunuhan

Sebab Kematian Luka Akibat Benda Tajam :

1. Sebab langsung:

- Perdarahan

- Kerusakan organ vital

- Emboli udara

- Aspirasi darah

2. Sepsis / infeksi

3 Macam Luka Akibat Benda Tajam:

o Luka Iris (Incisied Wound)

o Luka Tusuk (Stab Wound)

o Luka Bacok (Chop Wound)

73
1. Luka Iris

Luka karena alat yang tepinya tajam dan timbulnya luka oleh karena alat

ditekan pada kulit dengan kekuatan relativ ringan kemudian digeserkan sepanjang

kulit.

Gambar 2.3.2.1. Luka Iris pada Leher

Ciri luka iris :

o Pinggir luka rata

o Sudut luka tajam

o Rambut ikut terpotong

o Jembatan jaringan ( - )

o Biasanya mengenai kulit, otot, pembuluh darah, tidak sampai tulang

Cara Kematian :

o Bunuh diri ( tersering )

o Pembunuhan

o Kecelakaan

Luka Iris harus dibedakan dengan “luka retak”

Luka retak , yaitu :

74
Luka yang terjadi pada daerah tubuh yang ada tulang di bawah kulitnya (misalnya

: kepala/dahi) dan luka ini terjadi akibat kekerasan dengan benda tumpul yang

mempunyai pinggiran (misalnya: tepi meja)

Luka Iris pada bunuh diri:

- Lokalisasi luka pada daerah tubuh yang dapat dicapai korban sendiri.

o leher

o pergelangan tangan

o lekuk siku, lekuk lutut

o pelipatan paha

- Ditemukan “Luka Iris Percobaan”

- Tidak ditemukan “Luka Tangkisan”

- Pakaian disingkirkan dahulu/tidak ikut robek

Luka Iris pada pembunuhan :

- Sebenarnya sukar membunuh seseorang dengan irisan, kecuali kalau fisik

korban jauh lebih lemah dari pelaku atau korban dalam keadaan/dibuat

tidak berdaya

- Luka di sembarang tempat, juga pada daerah tubuh yang tidak mungkin

dicapai tangan korban sendiri

- Ditemukan luka tangkisan/tanda perlawanan

- Pakaian ikut koyak akibat senjata tajam tsb

75
2. Luka Tusuk

Batasan :

Luka akibat alat yang berujung runcing dan bermata tajam atau tumpul yang

terjadi dengan suatu tekanan tegak lurus atau serong pada permukaan tubuh.

Contoh:

- Belati, bayonet, keris

Gambar 2.3.2.2a. Luka Tusuk Gambar 2.3.2.2b. Pisau

yang digunakan

Ciri Luka Tusuk (misalnya senjata pisau / bayonet) :

 Tepi luka rata

 Dalam luka lebih besar dari panjang luka

 Sudut luka tajam

 Sisi tumpul pisau menyebabkan sudut luka kurang tajam

 Sering ada memar / echymosis di sekitarnya

76
3. Luka Bacok

Luka akibat benda atau alat yang berat dengan mata tajam atau agak

tumpul yang terjadi dengan suatu ayunan disertai tenaga yang cukup besar.

Contoh : pedang, clurit, kapak, baling-baling kapal.

Ciri-ciri luka bacok:

 Luka biasanya besar

 Pinggir luka rata

 Sudut luka tajam

 Hampir selalu menimbulkan kerusakan pada tulang, dapat memutuskan

bagian tubuh yang terkena bacokan

 Kadang-kadang pada tepi luka terdapat

 memar, abrasi

E. Pemeriksaan Forensik terhadap Luka

Dalam hal pemeriksaan terhadap luka-luka pada korban kita harus hati-hati

sekali berhubungan karena keterangan yang jelas akan dapat membantu kalangan

penyidik dan penegak hukum lainnya untuk mengungkapkan keadaan sebenarnya.

Oleh karena itu di dalam pemeriksaan korban kita harus memperhatikan hal-

hal sebagai berikut:

1. Jumlah luka

2. Lokalisasi luka

3. Arah luka

4. Ukuran luka (panjang, lebar, dalamnya).

77
5. Bersih dan kotornya luka

6. Luka baru atau luka lama

7. Luka antemortem atau post mortem

8. Sifat luka dan bentuknya

9. Letak dan posisi senjata

10. Adanya darah atau benda asing pada senjata

11. Letak dan sifat darah pada korban dan pada pakaian serta situasi tempat

sekitar kejadian

12. Tanda perlawanan yang dapat dilihat dari pakaian ataupun tubuh dan

situasi tempat kejadian

Mengenai lokalisasi harus disebut sehubungan dengan daerah-daerah

yang berdekatan misalnya terhadap garis tengah tubuh, pusat, papila mamae, dan

lain-lain. Pemeriksaan lebih dalam harus dilakukan untuk mengetahui apakah

organ-organ dalam ikut tertusuk atau tidak dan harus dicatat jumlah darah yang

terdapat di dalam rongga-rongga tubuh. Ukuran yang tepat (dalam sentimeter)

harus ditentukan dan tidak boleh ukuran kira-kira saja.

78
BAB 3

KESIMPULAN

Traumatologi forensik adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan

cedera hubungannya dengan berbagai kekerasan (rudapaksa), sedangkan

pengertian luka adalah suatu keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat

kekerasan.

Trauma dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat dan penyebab kecederaan

(trauma), etiologi luka, derajat kualifikasi luka, bentuk luka, waktu kematian

terjadinya luka, dan aspek medikolegal luka.

Dalam hal pemeriksaan terhadap luka-luka pada korban kita harus hati-

hati sekali berhubungan karena keterangan yang jelas akan dapat membantu

kalangan penyidik dan penegak hukum lainnya untuk mengungkapkan keadaan

sebenarnya. Oleh karena itu di dalam pemeriksaan korban kita harus

memperhatikan hal-hal seperti jumlah luka, lokalisasi luka, arah luka, ukuran luka

(panjang, lebar, dalamnya), bersih dan kotornya luka, luka baru atau luka lama,

luka antemortem atau post mortem, sifat luka dan bentuknya, letak dan posisi

senjata, adanya darah atau benda asing pada senjata, letak dan sifat darah pada

korban dan pada pakaian serta situasi tempat sekitar kejadian, Tanda perlawanan

yang dapat dilihat dari pakaian ataupun tubuh dan situasi tempat kejadian.

79
DAFTAR PUSTAKA

1. Afandi D. Visum et Repertum perlukaan : aspek medikolegal dan penentuan


derajat luka. Maj Kedokt Indon 2010; 60( 4) : 188-95
2. Idries AM. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Jakarta:
Binarupa Aksara.
3. Amir, Amri. 2010. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua.
Medan: Ramadhan.
4. Budiyanto, A. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua. Jakarta:Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
5. James, Jason Payne at all.2005. Encylopedia of Forensic and Legal Medicine.
First Edition. London: Elsevier.
6. Satyo, Alfed C. 2004. Traumatologi, edisi II (revisi) cetakan III. Medan: UPT
Penerbitan dan percetkan Universitas Sumatera Utara.
7. Anonim. 2002. Romans Forensic. Edisi 20. Diterjemahkan oleh Syaulia
Andirezeki. Pdf .
8. Satyo, Alfed C. 2006. Aspek Medikolgal Luka. Jakarta: Majalah Kedokteran
Nusantara.
9. Chadha, P. Vijay.1995. Ilmu Forensik dan Toksikologi. Edisi kelima. Jakarta:
Widya Medika.
10. Wully, W. Traumatologi Forensik diunduh dari: www.google.com. diakses 1
Juni 2011.

80
ASFIKSIA

81
BAB I

PENDAHULUAN

Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan

dalam pertukaran udara pernafasan yang normal. Gangguan tersebut dapat

disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernafasan dan gangguan yang

diakibatkan karena terhentinya sirkulasi. Gangguan ini akan menimbulkan suatu

keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan

kadar karbondioksida. Keadaan ini jika terus dibiarkan dapat menyebabkan

terjadinya kematian.1,2

Asfiksia merupakan mekanisme kematian terbanyak yang ditemukan

dalam kasus kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya

obstruksi pada saluran pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah

yang paling sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh

dan nyawa manusia. Mengetahui gambaran asfiksia, khususnya pada postmortem

serta keadaan apa saja yang dapat menyebabkan asfiksia, khususnya asfiksia

mekanik mempunyai arti penting terutama dikaitkan dengan proses penyidikan.1

Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban

yang diduga karena peristiwa tindak pidana, seorang penyidik berwenang

mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau

dokter dan atau ahli lainnya. Seorang dokter sebagaimana pasal 179 KUHAP

82
wajib memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut

pengetahuan di bidang keahliannya demi keadilan. Untuk itu, sudah selayaknya

seorang dokter perlu mengetahui dengan seksama perihal ilmu forensik, salah

satunya asfiksia.1

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian asfiksia, jenis-jenis

asfiksia serta pemeriksaan tanda-tanda asfiksia pada keadaan postmortem.

83
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

H. Definisi Asfiksia

Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar

oksigen (O2) dan berlebihnya kadar karbon dioksida (CO2) secara bersamaan

dalam darah dan jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen

(udara) dalam alveoli paru-paru dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paru-

paru. Kekurangan oksigen disebut hipoksia dan kelebihan karbon dioksida disebut

hiperkapnia.1

Asfiksia merupakan istilah yang sering digunakan untuk menyatakan

berhentinya respirasi yang efektif (cessation of effective respiration) atau

ketiadaan kembang kempis (absence of pulsation). Namun pengertian asfiksia dan

anoksia (atau lebih tepatnya hipoksia) sering dicampuradukkan. Oleh sebab itu,

sebelum dipahami lebih dulu tentang anoksia.3

Anoksia adalah suatu keadaan di mana tubuh sangat kekurangan oksigen,

yang berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 4 golongan, yaitu:1,2

1. Anoksia anoksik (anoxic anoxia), yaitu keadaan anoksia yang disebabkan

karena oksigen tidak dapat mencapai darah sebagai akibat kurangnya oksigen

yang masuk paru-paru.

84
2. Anoksia anemik (anaemic anoxia), yaitu keadaan anoksia yang disebabkan

karena darah tidak dapat menyerap oksigen, seperti pada keracunan karbon

monoksida.

3. Anoksia stagnan (stagnant anoxia), yaitu keadaan anoksia yang disebabkan

karena darah tidak mampu membawa oksigen ke jaringan, seperti pada heart

failure atau embolism.

4. Anoksia histotoksik (histotoxic anoxia), yaitu keadaan anoksia yang

disebabkan karena jaringan tidak mampu menyerap oksigen, seperti pada

keracunan sianida.

Ketiga jenis anoksia yang terakhir (yaitu anoksia anemik, stagnan dan

histotoksik) disebabkan oleh penyakit atau keracunan, sedang anoksia yang

pertama (yaitu anoksia anoksik) disebabkan kekurangan oksigen atau obstruksi

mekanik pada jalan nafas. Yang disebut asfiksia sebenarnya adalah anoksia

anoksik, atau sering juga disebut asfiksia mekanik (mechanical asphyxia).1

Hipoksia dapat diberi batasan sebagai suatu keadaan dimana sel gagal

untuk dapat melangsungkan metabolisme secara efisien. Dahulu untuk keadaan ini

disebut anoksia, yang setelah dipelajari ternyata pemakaian istilah anoksia

tersebut tidak tepat.2

Dalam kenyataan sehari-hari hipoksia ternyata merupakan gabungan dari

empat kelompok, dimana masing-masing kelompok tersebut memang mempunyai

ciri tersendiri, walaupun ciri atau mekanisme yang terjadi pada masing-masing

kelompok akan menghasilkan keadaan atau akibat yang sama bagi tubuh.

Kelompok tersebut adalah: 2

85
1. Hipoksik-hipoksia; dalam keadaan ini oksigen gagal untuk masuk ke dalam

sirkulasi darah.

2. Anemik-hipoksia; dimana darah yang tersedia tidak dapat membawa oksigen

yang cukup untuk metabolisme dalam jaringan.

3. Stagnan-hipoksia; dimana oleh karena sesuatu keadaan terjadi kegagalan

sirkulasi.

4. Histotoksik-hipoksia; suatu keadaan dimana oksigen yang terdapat dalam,

oleh karena sesuatu hal, oksigen tersebut tidak dapat dipergunakan oleh

jaringan. Dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu:

a. Histotoksik-hipoksia ekstra-seluler; enzim pernafasan jaringan menderita

keracunan misalnya pada keracunan sianida dan pada keracunan CO.

b. Histotoksik-hipoksia periseluler; oksigen tidak dapat masuk ke dalam sel

oleh karena terjadi penurunan permeabilitas membran sel, misalnya pada

keracunan eter atau keracunan kloroform.

c. Substrate histotoxic-hypoxia; dalam keadaan ini bahan makanan untuk

metabolisme yang efisien tidak cukup tersedia.

d. Metabolite histotoxic-hypoxia; dalam keadaan ini hasil akhir (end product)

dari pernafasan seluler tidak dapat dieliminer, sehingga metabolisme

berikutnya tidak dapat berlangsung, misalnya pada keadaan uremia dan

keracunan gas CO2.

I. Etiologi Asfiksia

Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:3

86
1. Penyebab Alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernafasan

seperti laryngitis difteri, tumor laring, asma bronkiale, atau menimbulkan

gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru, pneumonia, COPD.

2. Trauma mekanik, yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang

mengakibatkan emboli, pneumotoraks bilateral, sumbatan atau halangan pada

saluran napas dan sebagainya. Emboli terbagi atas 2 macam, yaitu emboli

lemak dan emboli udara. Emboli lemak disebabkan oleh fraktur tulang

panjang. Emboli udara disebabkan oleh terbukanya vena jugularis akibat luka.

3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan, misalnya

barbiturate, narkotika.

J. Stadium Asfiksia

Asfiksia terbagi atas beberapa stadium, yaitu antara lain:4

1. Stadium Dispneu

Defisiensi oksigen pada sel-sel darah merah dan akumulasi karbondioksida

dalam plasma akan merangsang pusat pernafasan di medulla. Hal ini akan

mengakibatkan gerak pernafasan yang cepat dan kuat, peningkatan denyut

nadi dan sianosis terutama dapat diamati pada wajah dan tangan. Pada fase

dispneu asfiksia ini berlangsung kira-kira 4 menit.

2. Stadium Konvulsi

Pertama adalah kejang klonik, setelah itu kejang tonik, terakhir terjadi spasme

opistotonik. Kesadaran mulai hilang, pupil menjadi lebar dan denyut jantung

87
menjadi lambat serta tekanan darah turun. Hal ini terjadi dimungkinkan karena

meningkatnya kerusakan dari nukleus-nukleus pada otak karena defisensi

oksigen. Fase konvulsi asfiksia terjadi kira-kira 2 menit.

3. Stadium Apneu

Depresi pusat pernafasan semakin dalam sehingga pernafasan menjadi

semakin lemah dan dapat berhenti. Timbullah keadaan tidak sadar dan

keluarnya cairan sperma secara tidak disadari (involunter). Dapat juga terjadi

keluarnya urine dan faeces secara tidak disadari walaupun jarang. Hal ini

terjadi karena terjadi relaksasi sfingter. Fase apneu asfiksia berlangsung kira-

kira 1 menit.

4. Stadium final

Pada stadium ini terjadi kelumpuhan pernafasan secara lengkap. Setelah

beberapa kontraksi otomatis dari otot-otot aksesoris pernafasan dileher,

kemudian pernafasan berhenti. Jantung mungkin masih berdenyut setelah

beberapa waktu setelah respirasi berhenti.

K. Tanda-tanda Asfiksia

Pada jenazah yang meninggal dunia akibat asfiksia akan dapat ditemukan

tanda-tanda umum sebagai berikut:1,2

1. Sianosis

Kurangnya oksigen akan menyebabkan darah menjadi lebih encer dan lebih

gelap. Warna kulit dan mukosa terlihat lebih gelap, demikian juga lebam

mayat. Perlu diketahui bahwa pada setiap proses kematian pada akhirnya akan

88
terjadi juga keadaan anoksia jaringan. Oleh sebab itu, keadaan sianosis dalam

berbagai tingkat dapat juga terjadi pada kematian yang tidak disebabkan

karena asfiksia. Dengan kata lain keadaan sianosis bukan merupakan tanda

yang khas pada asfiksia.

2. Kongesti vena (venous congestion)

Kongesti yang terjadi di paru-paru pada kematian karena asfiksia bukan

merupakan tanda yang khas. Kongesti yang khas yaitu kongesti sistemik yang

terjadi di kulit dan organ selain paru-paru. Sebagai akibat dari kongesti vena

ini akan terlihat adanya bintik-bintik perdarahan (petechial haemorrhages atau

sering juga disebut Tardieu Spot). Bintik-bintik perdarahan ini lebih mudah

terjadi pada jaringan longgar, seperti misalnya jaringan bawah kelopak mata.

Penekanan pada vena di leher (misalnya akibat strangulasi) akan

menyebabkan timbulnya bintik-bintik perdarahan pada mata dan muka.

Bintik-bintik perdarahan ini lebih mudah dilihat pada organ yang memiliki

membran transparan; seperti misalnya pleura, perikardium atau kelenjar timus.

Pada asfiksia yang hebat bintik-bintik perdarahan dapat terlihat pada faring

atau laring.

3. Edema

Kekurangan oksigen yang berlangsung lama akan mengakibatkan kerusakan

pada pembuluh darah kapiler sehingga permeabilitasnya meningkat. Keadaan

ini akan menyebabkan timbulnya edema, terutama edema paru-paru. Pada

strangulasi juga dapat terlihat adanya edema pada muka, lidah, dan faring.

89
Karena asfiksia merupakan mekanisme kematian, maka secara menyeluruh

untuk semua kasus akan ditemukan tanda-tanda umum yang hampir sama,

yaitu:1,2

Pada pemeriksaan luar:

 Muka dan ujung-ujung ekstremitas sianotik (warna biru keunguan) yang

disebabkan tubuh mayat lebih membutuhkan HbCO2 daripada HbO2.

Gambar 2.1. Ujung-ujung jari yang sianotik pada kasus asfiksia

 Tardieu's spot pada konjungtiva bulbi dan palpebra. Tardieu's spot merupakan

bintik-bintik perdarahan (petekie) akibat pelebaran kapiler darah setempat.

Gambar 2.2. Tardieu’s spot pada konjungtiva palpebrae

90
 Lebam mayat cepat timbul, luas, dan lebih gelap karena terhambatnya

pembekuan darah dan meningkatnya fragilitas/ permeabilitas kapiler. Hal ini

akibat meningkatnya kadar CO2 sehingga darah dalam keadaan lebih cair.

Lebam mayat lebih gelap karena meningkatnya kadar HbCO2.

Gambar 2.3. Lebam mayat pada asfiksia

 Busa halus keluar dari hidung dan mulut. Busa halus ini disebabkan adanya

fenomena kocokan pada pernapasan kuat.

Pada pemeriksaan dalam:

1. Organ dalam tubuh lebih gelap & lebih berat akibat kongesti / bendungan alat

tubuh dan sianotik.

2. Darah termasuk dalam jantung berwarna gelap dan lebih cair.

3. Tardieu's spot pada pielum ginjal, pleura, perikard, galea apponeurotika,

laring, kelenjar timus dan kelenjar tiroid.

4. Busa halus di saluran pernapasan.

5. Edema paru.

91
6. Kelainan lain yang berhubungan dengan kekerasan seperti fraktur laring,

fraktur tulang lidah dan resapan darah pada luka.

L. Asfiksia Mekanik

Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernafasan

terhalang memasuki saluran pernafasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat

mekanik), misalnya:1,2

1. Penutupan lubang saluran pernafasan bagian atas:

 Pembekapan (smothering)

 Penyumbatan (gagging dan choking)

2. Penekanan dinding saluran pernafasan:

 Penjeratan (strangulation)

 Pencekikan (manual strangulation)

 Gantung (hanging)

3. External pressure of the chest yaitu penekanan dinding dada dari luar.

4. Drowning (tenggelam) yaitu saluran napas terisi air.

5. Inhalation of suffocating gases.

Karena mekanisme kematian pada kasus tenggelam bukan murni

disebabkan oleh asfiksia, mraka ada sementara ahli yang tidak lagi memasukkan

tenggelam ke dalam kelompok asfiksia mekanik, tetapi dibicarakan sendiri.

Berikut akan dibahas beberapa kasus asfiksia mekanik.

92
1. Penggantungan (Hanging/ Strangulation by suspension)

Penggantungan merupakan suatu strangulasi berupa tekanan pada leher

akibat adanya jeratan yang menjadi erat oleh berat badan korban. Dengan

demikian berarti alat penjerat sifatnya pasif, sedangkan berat badan sifatnya

aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher. Kasus gantung hampir sama

dengan penjeratan. Perbedaannya terdapat pada asal tenaga yang dibutuhkan

untuk memperkecil lingkararan jerat. Kematian karena penggantungan pada

umumnya bunuh diri.1,2

Penggantungan dibagi menjadi:1,2

 Accidental Hanging; penggantungan yang tidak disengaja ini dapat dibagi

dalam dua kelompok yaitu yang terjadi sewaktu bermain atau bekerja dan

sewaktu melampiaskan nafsu seksual yang menyimpang (auto-erotic

hanging)

 Homicidial Hanging; pembunuhan dengan metode menggantung

korbannya relatif jarang dijumpai, cara ini baru dapat dilakukan bila

korbannya anak-anak atau orang dewasa yang kondisinya lemah, baik

lemah oleh karena menderita penyakit, di bawah pengaruh obat bius,

alkohol atau korban yang sedang tidur. Pembunuhan dengan cara

penggantungan sulit untuk dilakukan oleh seorang pelaku.

93
Gambar 2.4. Gambaran penggantungan

Mekanisme pada penggantungan yaitu saluran udara tertutup karena

pangkal lidah terdorong ke atas belakang, kearah dinding posterior pharynk.

Pallatum molle dan uvula terdorong ke atas, menekan epiglotis sehingga

menutup lubang larynk. Bintik-bintik perdarahan pada konjungtiva korban

penggantungan terjadi akibat pecahnya vena dan meningkatnya permeabilitas

pembuluh darah karena asfiksia. Lidah korban penggantungan bisa terjulur,

bisa juga tidak terjulur. Lidah terjulur apabila letak jeratan gantungan tepat

berada pada kartilago tiroidea. Lidah tidak terjulur apabila letaknya berada

diatas kartilago tiroidea.1

Alat penggantung yang dapat digunakan pada kasus penggantungan yaitu:1

 Alat penggantung dengan permukaan yang luas (misalnya sarung) dapat

menyebabkan tekanan hanya pada permukaan saja, sehingga yang terjepit

hanya vena (vena jugularis) sehingga muka bengkak dan kebiruan,

kongesti vena, mata menonjol karena bendungan.

94
 Alat penggantung dengan permukaan yang kecil (misalnya tali jemuran)

menyebabkan tekanan besar ke dalam, selain vena, arteri juga terjepit

sehingga wajah pucat , mata tidak menonjol.

Alur jeratan pada leher korban penggantungan (hanging) berbentuk

lingkaran (V shape). Alur jeratan yang simetris/ tipikal pada leher korban

penggantungan menunjukkan letak simpul jeratan berada dibelakang leher

korban. Alur jeratan yang asimetris/ atipikal menunjukkan letak simpul di

samping leher. Alur jerat berupa luka lecet atau luka memar dengan ciri-ciri

sebagai berikut:1

 Alur jeratan pucat.

 Tepi alur jerat coklat kemerahan.

 Kulit sekitar alur jerat terdapat bendungan.

Ada 8 hal yang perlu kita lakukan pada pemeriksaan tempat kejadian,

yaitu:1,2

 Memastikan korban apakah masih hidup atau telah mati.

 Mencari bukti yang menunjukkan cara kematian.

 Memperhatikan jenis simpul tali gantungan.

 Mengukur jarak antara ujung kaki korban dengan lantai.

 Memperhatikan letak korban di tempat kejadian.

 Cara menurunkan korban.

 Mengamankan bekas serabut tali.

 Memperhatikan bahan penggantung.

95
Ada 3 bukti yang bisa menunjukkan kepada kita tentang cara kematian

korban, yaitu:1

 Ada tidaknya alat penumpu korban, misalnya bangku dan sebagainya.

 Arah serabut tali penggantung.

 Distribusi lebam mayat.

Deskripsi leher korban penggantungan yang penting kita berikan antara

lain:1

 Lokasi luka

Lokasi luka pada leher korban penggantungan dapat berada di depan,

samping dan belakang leher. Luka yang berada di depan leher kita ukur

dari dagu atau manubrium sterni korban. Luka yang berada di samping

leher kita ukur dari garis batas rambut korban. Luka yang berada di

belakang leher kita ukur dari daun telinga atau bahu korban.

 Jenis luka

Jenis luka korban penggantungan terdiri atas luka lecet, luka tekan dan

luka memar. Penting juga kita mendeskripsikan mengenai warna, lebar,

perabaan dan keadaan sekitar luka. Anggota gerak korban penggantungan

dapat kita temukan adanya lebam mayat pada ujung bawah lengan dan

tungkai.

 Lokasi simpul jeratan (belakang dan samping leher).

 Jenis simpul jeratan (simpul hidup dan simpul mati).

96
Penting juga kita ketahui ada tidaknya luka lecet pada anggota gerak

tersebut. Dubur korban penggantungan (hanging) dapat mengeluarkan feses.

Alat kelamin korban dapat mengeluarkan mani, urin, dan darah (sisa haid).

Pengeluaran urin pada korban penggantungan disebabkan kontraksi otot polos

pada stadium konvulsi atau puncak asfiksia. Lebam mayat dapat kita temukan

pada genitalia eksterna korban.1

Penyebab kematian paling sering dari penggantungan adalah obstruksi

aliran darah servikal. Berat kepala manusia itu sendiri sekitar 4,5 kg, berat ini

sendiri mengalokasi dari tekanan konstriksi itu sendiri. Hal penting lainnya

dari penyebab kematian mungkin dari stimulasi nervus vagus dan lebih khusus

lagi, bertanggung jawab pada refleks dari nervus karotis. Tekanan pada nervus

vagus telah digunakan untuk tujuan terapeutik pada akhir abad ini. Pada kasus

disritmia kardi, refleks henti jantung atau takikardi bisa di stimulasi oleh

tekanan jari atau pemijatan pada sinus karotid dari satu atau dua sisi secara

umum, kontraksi jantung mulai lagi tapi pada beberapa kasus yang komplit,

hasilnya henti jantung tetap terjadi.1

Hubungan antara nervus laringeal superior dan nervus vagus dapat

menimbulkan stimulasi yang intens pada awalnya, kemudian menjadi

stimulasi yang simultan pada akhirnya, hasilnya menyebabkan perlambatan

yang fatal pada refleks jantung. Hal ini juga bertahan khususnya pada kasus-

kasus trauma laringeal. Fraktur pada tulang rusuk dan pada dasar tengkorak

biasanya jarang terobservasi pada kasus kematian dengan menggantung diri

97
dan jikapun ada, umumnya hanya kasus jatuh dari ketinggian tertentu sebagai

penggantungan yudisial.1

2. Penjeratan (Strangulation by ligature)

Jerat adalah suatu strangulasi berupa tekanan pada leher korban akibat

suatu jeratan dan menjadi erat karena kekuatan lain bukan karena berat badan

korban.1,2

Mekanisme jeratan yaitu tertutupnya jalan nafas akibat larynk yang

tertekan ke belakang ke arah dinding pharynk sehingga lumen tertutup oleh

karena mendapat tekanan dari samping dan dari depan. Tekanan dari depan

akan menutup jalan nafas, sedangkan dari samping akan menutup pembuluh

darah di samping leher, biasanya hanya vena yang tertutup. Karena tekanan

tidak sekeras penggantungan sehingga muka tidak sianotik. Tekanan pada

vena jugularis dan tekanan tidak komplit pada arteri carotis menyebabkan

perdarah kecil-kecil pada wajah, konjungtiva, scalp, dan fascia m.temporalis.

kemungkinan dapat terjadi pula vagal refleks.1,2

Alat yang biasanya dipakai dapat berupa sapu tangan, handuk, tali, kaos

kaki, dasi, stagen, selendang, ikat pinggang, kabel listrik dan lain-lain.1

Ciri-ciri dari suatu kasus penjeratan antara lain:1

 Kekuatan jerat pada ujung tali jerat, sedangkan pada gantungan kekuatan

karena berat badan

 Jejas penjeratan bersifat horisontal bersilangan di atas dan di bawah

 Adanya tanda asfiksia

98
 Kausa mati menyerupai gantung diri

 Pemeriksaan lokal menyerupai gantung diri hanya bedanya pada

penjeratan, jejeas bersifat horizontal

Pembunuhan pada kasus jeratan dapat kita jumpai pada kejadian

infanticide dengan menggunakan tali pusat, psikopat yang saling menjerat,

dan hukuman mati (zaman dahulu).1

Kecelakaan pada kasus jeratan dapat juga kita temukan pada bayi yang

terjerat oleh tali pakaian, orang yang bersenda gurau dan pemabuk. Vagal

reflex menjadi penyebab kematian pada orang yang bersenda gurau.1

Bunuh diri pada kasus jeratan dilakukan dengan cara melilitkan tali secara

berulang dimana satu ujung difiksasi dan ujung lainnya ditarik. Antara jeratan

dan leher mereka masukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat tersebut.1

Pemeriksaan tempat kejadian pada kasus jeratan kita lakukan secara rutin

sebagaimana pada kasus yang lain. Kita hendaknya memperhatikan jeratan

pada leher korban dan cara melepaskan jeratan dari leher korban. Ada 5 hal

yang penting kita perhatikan pada kasus jeratan, antara lain:1

 Arah jerat mendatar/ horisontal.

 Lokasi jeratan lebih rendah daripada kasus penggantungan.

 Jenis simpul penjerat.

 Bahan penjerat misalnya tali, kaus kaki, dasi, serbet, serbet, dan lain-lain.

 Pada kasus pembunuhan biasanya kita tidak menemukan alat yang

digunakan untuk menjerat.

99
Pemeriksaan autopsi pada kasus jeratan mirip kasus penggantungan

kecuali pada:1

 Distribusi lebam mayat yang berbeda.

 Alur jeratan mendatar/ horisontal.

 Lokasi jeratan lebih rendah.

3. Pencekikan (Manual Strangulation/ Throttling)

Pencekikan (manual strangulasi) adalah suatu strangulasi berupa tekanan

pada leher korban yang dilakukan dengan menggunakan tangan atau lengan

bawah.1

Mekanisme pencekikan yaitu tertutupnya jalan nafas dengan satu atau dua

tangan menekan leher sehingga menekan sisi-sisi larynx dan menutup glotis.

Bila tangan ditekan pada bagian depan larynx akan menutup lumen dengan

menyempitkan diameter anteropostrior. Bisa juga pangkal lidah terdorong ke

belakang atas (seperti pada hanging) dan glotis tertutup. Pada pemeriksaan

rekonstruksi sukar dilakukan karena tekanan pada leher sebentar dan juga

karena elastisitas jaringan leher.1

Ada 3 cara melakukan pencekikan, yaitu:1

 Menggunakan 1 tangan dan pelaku berdiri di depan korban.

 Menggunakan 2 tangan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang

korban.

100
 Menggunakan 1 lengan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang

korban. Apabila pelaku berdiri di belakang korban dan menarik korban ke

arah pelaku maka ini disebut mugging.

Ada 3 hal yang penting kita perhatikan pada pemeriksaan luar dari autopsi

kasus pencekikan, antara lain:1

 Tanda asfiksia.

 Tanda kekerasan pada leher (penting).

 Tanda kekerasan pada tempat lain.

Ada 2 tanda kekerasan pada leher yang penting kita cari, yaitu:1

 Bekas kuku.

 Bantalan jari.

Bekas kuku dapat kita kenali dari adanya crescent mark, yaitu luka lecet

yang berbentuk semilunar/ bulan sabit. Kadang-kadang kita dapat menemukan

sidik jari pelaku. Perhatikan pula tangan yang digunakan pelaku, apakah

tangan kanan (right handed) ataukah tangan kiri (left handed). Arah

pencekikan dan jumlah bekas kuku (susunan bekas kuku) juga tak luput dari

perhatian kita. Tanda kekerasan pada tempat lain dapat kita temukan di bibir,

lidah, hidung, dan lain-lain. Tanda ini dapat menjadi petunjuk bagi kita bahwa

korban melakukan perlawanan.1,2

101
Gambar 2.5. Bekas kuku pada kasus pencekikan

Ada 4 hal yang penting kita cari pada pemeriksaan dalam autopsi bagian

leher korban pada kasus pencekikan, yaitu:1

 Perdarahan atau resapan darah.

 Fraktur.

 Memar atau robekan membran hipotiroidea.

 Luksasi artikulasio krikotiroidea dan robekan ligamentum pada mugging.

Perdarahan atau resapan darah dapat kita cari pada otot, kelenjar tiroid,

kelenjar ludah, dan mukosa & submukosa pharing atau laring. Fraktur

yang paling sering kita temukan pada os hyoid. Fraktur lain pada kartilago

tiroidea, kartilago krikoidea, dan trakea.

102
4. Asfiksia Traumatik

Asfiksia traumatik (external pressure of the chest) adalah terhalangnya

udara untuk masuk dan keluar dari paru-paru akibat terhentinya gerak napas

yang disebabkan adanya suatu tekanan dari luar pada dada korban, yaitu:1

 penekanan rongga dada, rongga perut, diafragma

 penekanan dari luar

 misalnya desak-desakan  O2 kurang  asfiksia

Ada 3 macam kecelakaan yang dapat menimbulkan kematian pada korban

kasus asfiksia traumatik, yaitu:1

 Terjepit antara lantai dengan elevator, antara 2 kendaraan, atau antara

dinding dengan kendaraan yang mundur.

 Tertimbun runtuhan benda atau bangunan, pasir, atau batubara.

 Berdesakan di pintu sempit akibat panik.

Ada 2 hal yang penting kita lakukan pada pemeriksaan autopsi korban

kasus asfiksia traumatik, yaitu:1

 Mencari tanda kekerasan di dada.

 Menemukan tanda asfiksia.

5. Suffocation

Obstruksi jalan nafas sehingga menghalangi masuknya udara kedalam

paru-paru yang mengakibatkan terjadinya asfiksia. Terbagi atas pembekapan

(smothering), chocking, dan gagging.

103
 Pembekapan (smothering)

Pembekapan adalah suatu suffocation dimana lubang luar jalan napas yaitu

hidung dan mulut tertutup secara mekanis oleh benda padat atau partikel-

partikel kecil.1,2

Ada 3 cara kematian pada kasus pembekapan, yaitu:1

o Kecelakaan (paling sering)

o Pembunuhan

o Bunuh diri

Ada 3 cara kecelakaan pada kematian kasus pembekapan, yaitu:1

o Tertimbun tanah longsor atau salju.

o Alkoholisme.

o Bayi tertutup selimut atau payudara ibu.

Ada 3 cara pembunuhan pada kasus pembekapan, yaitu: 1

o Hidung dan mulut diplester.

o Bantal ditekan ke wajah.

o Serbet atau dasi dimasukkan ke dalam mulut.

Ada 3 cara bunuh diri pada kasus pembekapan, yaitu: 1

o Menggunakan plester atau kantong plastik.

o Bantal yang diikatkan ke kepala.

o Menggunakan dasi atau serbet.

Ada 3 hal yang penting kita lakukan pada pemeriksaan autopsi kasus

pembekapan, yaitu: 1

104
o Mencari penyebab kematian.

o Menemukan tanda-tanda asfiksia.

o Menemukan edema paru, hiperaerasi dan sianosis pada kematian yang

lambat.

Ada 3 hal penting yang kita cari untuk menemukan penyebab kematian

pada kasus pembekapan, yaitu: 1

o Jika kita menemukan bantal, cari apakah ada tanda-tanda kekerasan.

o Cari ada tidaknya trauma tumpul di sekitar hidung dan mulut.

o Mencari ada tidaknya kain, handuk, dasi, serbet, atau pasir dalam

rongga mulut.

Burking merupakan kombinasi antara pembekapan (smothering) dengan

external pressure on the chest/ traumatic asphyxia. Pelaku melakukan

burking dengan cara terlebih dahulu melumpuhkan korban lalu

menelentangkan korban dan pelaku duduk di atas dada korban (traumatic

asphyxia). Satu tangan pelaku menutup hidung atau mulut korban

(smothering) sedangkan tangan yang lain menekan rahang ke atas.1

 Tersedak (chocking)

Tersedak adalah suatu suffocation dimana ada benda padat yang masuk

dan menyumbat lumen jalan udara, yang memiliki ciri yaitu:1

o Oleh karena benda asing

o tanda asfiksia jelas

o awalnya batuk keras  asfiksia  mati

105
Ada 2 cara kematian pada kasus tersedak, yaitu: 1

o Kecelakaan (paling sering)

o Pembunuhan (kasus infanticide)

Ada 3 macam kecelakaan yang dapat menimbulkan kematian pada kasus

tersedak, yaitu: 1

o Gangguan refleks batuk pada alkoholisme.

o Pada bayi atau anak kecil yang gemar memasukkan benda asing ke

dalam mulutnya.

o Tonsilektomi, aspirasi, dan kain kasa yang tertinggal pada anestesi

eter.

Gambar 2.6. Gambaran tersedak (chocking)

106
Ada 4 hal yang penting kita lakukan pada pemeriksaan autopsi kasus

tersedak, yaitu:1

o Mencari bahan penyebab dalam saluran pernapasan. Juga kadang-

kadang ada tanda kekerasan di mulut korban.

o Menemukan tanda asfiksia.

o Mencari tanda-tanda edema paru, hiperaerasi dan atelektasis pada

kematian lambat.

o Tersedak dapat terjadi sebagai komplikasi dari bronkopneumonia dan

abses.

 Gagging

Pada perampokan ada kalanya korban setelah diikat agar tidak mudah

berteriak mulut disumbat dengan kain yang diikat dari mulut ke belakang

kepala (gagging). Dalam hal ini palatum molle tertekan pada pharynk.1

6. Tenggelam (Drowning)

Tenggelam adalah suatu suffocation dimana jalan napas terhalang oleh air/

cairan sehingga terhisap masuk ke jalan napas sampai alveoli paru-paru.

Tenggelam merupakan kematian karena asfiksia akibat masuknya air atau

cairan lainnya. Beberapa kematian karena tenggelam kadang tidak hanya

disebabkan oleh asfiksia tetapi juga karena hipotermia. Paparan seseorang

terhadap suhu air dibawah 20oC (68oF) akan menghasilkan kematian dari

hipotermia setelah terpapar beberapa jam. Paparan terhadap suhu air yang

mendekati 0oC (32oF) akan menghasilkan kematian dalam beberapa menit.1,5

107
Ada 2 jenis mati tenggelam berdasarkan posisi mayat, yaitu:1

 Submerse drowning; mati tenggelam dengan posisi sebagian tubuh mayat

masuk ke dalam air, seperti bagian kepala mayat.

 Immerse drowning; mati tenggelam dengan posisi seluruh tubuh mayat

masuk ke dalam air.

Ada 2 jenis mati tenggelam berdasarkan penyebabnya, yaitu:1,2

 Dry drowning; mati tenggelam dengan inhalasi sedikit air. Ada 2

penyebab kematian pada kasus dry drowning, yaitu spasme laring

(menimbulkan asfiksia) dan vagal reflex/ cardiac arrest/ kolaps sirkulasi.

 Wet drowning; mati tenggelam dengan inhalasi banyak air. Ada 3

penyebab kematian pada kasus wet drowning, yaitu asfiksia, fibrilasi

ventrikel pada kasus tenggelam dalam air tawar dan edema paru pada

kasus tenggelam dalam air asin (laut).

Mekanisme kematian pada tenggelam pada umumnya adalah asfiksia,

mekanisme kematian yang dapat juga terjadi pada tenggelam adalah karena

inhibisi vagal, dan spasme larynx. Adanya mekanisme kematian yang

berbeda-beda pada tenggelam, akan memberi warna pada pemeriksaan mayat

dan pemeriksaan laboratorium, dengan kata lain kelainan yang didapatkan

pada kasus tenggelam tergantung dari mekanisme kematiannya.1,2

Terendam dalam medium cair mengakibatkan kematian dengan berbagai

mekanisme. Kebanyakan kematian individual terjadi akibat dari terhirupnya

cairan (wet drowning), menghasilkan gangguan pernapasan dan selanjutnya

hipoksia serebri. Sebagian, diperkirakan sekitar 15-20%, tidak menghirup

108
cairan (dry drowning). Kemungkinan lain, kematian dapat tertunda setelah

episode near drowning. Kematian biasanya terjadi akibat ensefalopati

hipoksia atau perubahan-perubahan sekunder dalam paru-paru. Pada beberapa

kasus, khususnya dimana keadaan terapung dipertahankan secara buatan,

kematian terjadi akibat hipotermia.1,2

Sekitar 15-20% kematian akibat tenggelam merupakan dry drowning

dimana tidak terdapat inhalasi cairan yang banyak. Salah satu usulan adalah

bahwa masuknya air secara tiba-tiba kedalam mulut dan tenggorok

menghasilkan laringospasme yang hebat dengan akibat asfiksia. Kemungkinan

lain, provokasi serupa dapat merangsang jalur saraf sensoris simpatis ke

derajat tertentu dimana terdapat inhibisi reflex vagal pada jantung dan

asystolic cardiac arrest. Cara kematian lain menyebutkan dimana terdapat

suatu sistem yang menghubungkan spasme arteri koronaria dengan

pendinginan tiba-tiba pada kulit.1,2

Seorang perenang yang mahir sekalipun dapat menjadi lemah secara

bertahap sebagai hasil dari hipotermia dan tenggelam. Tubuh yang terendam

menghangatkan cairan yang bersentuhan dengannya, dan dengan segera yang

berdekatan dengan permukaan tubuh. Air menyerap panas sekitar 25 kali lebih

cepat daripada udara. Terdapat tiga fase klinis dari hipotermia yang dimulai

dengan fase eksitatorik dimana menggigil berhubungan dengan kebingungan

mental, fase adinamik dimana terdapat kekakuan otot dan sedikit penurunan

kesadaran, dan fase paralitik yang dicirikan oleh keadaan tidak sadar yang

menuntun kepada aritmia jantung dan kematian. Fase-fase ini memiliki

109
hubungan penting terhadap resusitasi pada korban near drowning, sebagian

besar karena fase paralitik dapat menirukan keadaan mati.1

Mekanisme tenggelam ada 3 macam, yaitu:1,5

 Beberapa korban sesaat bersentuhan dengan air yang dingin terutama leher

atau jatuh secara horizontal ia mengalami vagal refleks.

 Korban saat menghirup air, air masuk ke laring menyebabkan laringeal

spasme. Mekanisme kematian karena asfiksia. Pada korban ditemukan

tanda-tanda asfiksia tetapi tanda-tanda tenggelam pada organ dalam tidak

ada karena air tidak masuk.

 Korban saat masuk ke dalam air ia akan berusaha untuk mencapai

permukaan sehingga menjadi panik dan terhirup air, batuk dan berusaha

untuk ekspirasi. Karena kebutuhan oksigen maka ia akan lebih banyak

menghirup air. Lama-lama korban akan sianotik dan tidak sadar. Selama

tidak sadar, korban akan terus bernafas dan akhirnya paru tidak dapat

berfungsi sehingga pernafasan berhenti. Proses ini berlangsung 3-5 menit,

kadang-kadang 10 menit.

Pada orang tenggelam, tubuh korban dapat beberapa kali berubah posisi,

umumnya korban akan tiga kali tenggelam, ini dapat dijelaskan sebagai

berikut:1,2

 Pada waktu pertama kali orang ”terjun” ke air oleh karena gravitasi ia akan

terbenam untuk pertama kalinya.

110
 Oleh karena berat jenis tubuh lebih kecil dari berat jenis air, korban akan

timbul, dan berusaha untuk bernafas mengambil udara, akan tetapi oleh

karena tidak bisa berenang, air akan masuk tertelan dan terinhalasi,

sehingga berat jenis badan sekarang menjadi lebih besar dari berat jenis

air, dengan demikian ia akan tenggelam untuk kedua kalinya.

 Sewaktu berada pada dasar sungai, laut atau danau, proses pembusukan

akan berlangsung dan terbentuk gas pembusukan.

 Waktu yang dibutuhkan agar pembentukan gas pembusukan dapat

mengapungkan tubuh korban adalah sekitar 7-14 hari.

 Pada waktu tubuh mengapung oleh karena terbentuknya gas pembusukan,

tubuh dapat pecah terkena benda-benda disekitarnya, digigit binatang atau

oleh karena pembusukan itu sendiri, dengan demikian gas pembusukan

akan keluar, tubuh korban terbenam untuk ketiga kalinya dan yang

terakhir

Penyebab mati tenggelam yang termasuk undeterminated yaitu sulit kita

ketahui cara kematian korban karena mayatnya sudah membusuk dalam air.

Ada 2 tanda penting yang perlu kita ketahui dari kejadian pembunuhan pada

kasus mati tenggelam, yaitu:1

 Biasanya tangan korban diikat yang tidak mungkin dilakukan oleh korban.

 Kadang-kadang dapat kita temukan tanda-tanda kekerasan sebelum korban

ditenggelamkan.

Ada 4 tanda penting yang perlu kita ketahui dari kejadian bunuh diri pada

kasus mati tenggelam, yaitu:1

111
 Biasanya korban meninggalkan perlengkapannya.

 Kita dapat temukan suicide note.

 Kedua tangan/ kaki korban diikat yang mungkin dilakukan sendiri oleh

korban.

 Kadang-kadang tubuh korban diikatkan bahan pemberat.

112
Tabel 2.1 Perbedaan tenggelam pada air tawar dengan air asin

Perbedaan Tempat

Air laut Air Tawar


Paru paru besar dan berat Paru-paru besar dan ringan
Basah Relatif ringan
Bentuk besar kadang overlapping Bentuk biasa
Ungu biru dan permukaan licin Merah pucat dan emfisematous
Krepitasi tidak ada Krepitasi ada
Busa sedikit dan banyak cairan Busa banyak
Dikeluarkan dari torak akan mendatad Dikeluarkan dari toraks tapi kempes
dan ditekan akan menjadi cekung
Mati dalam 5-10 menit, 20 ml/kgBB Mati dalam 5 menit, 40 ml.kgBB
Darah: Darah:
1. BJ 1,0595 -1,0600 1. BJ 1,055
2. Hipertonik 2. hipotonik
3. hemokonsentrasi dan edema 3. hemodilusi/hemolisis
paru 4. hiperkalemia
4. hipokalemia 5. hiponatremia
5. hipernatremia 6. hipoklorida
6. hiperklorida
Resusitasi lebih mudah Resusitasi aktif
Tranfusi dengan plasma Tranfusi dengan PRC

Ada 7 tanda intravitalitas mati tenggelam, yaitu:1

 Cadaveric spasme.

 Perdarahan pada liang telinga tengah mayat.

113
 Benda air (rumput, lumpur, dan sebagainya) dapat kita temukan dalam

saluran pencernaan dan saluran pernapasan mayat.

 Ada bercak Paltauf di permukaan paru-paru mayat.

 Berat jenis darah pada jantung kanan berbeda dengan jantung kiri.

 Ada diatome pada paru-paru atau sumsum tulang mayat.

 Tanda asfiksia tidak jelas, mungkin ada Tardieu's spot di pleura mayat.

Pada kasus mati tenggelam (drowning), dapat kita temukan tanda-tanda

adanya kekerasan berupa luka lecet pada belakang kepala, siku, lutut, jari-jari

tangan, atau ujung kaki mayat.1

Ada 4 macam pemeriksaan khusus pada kasus mati tenggelam, yaitu:1,2

 Percobaan getah paru (lonset proef).

 Pemeriksaan diatome (destruction test).

 Penentuan berat jenis (BD) plasma.

 Pemeriksaan kimia darah (gettler test).

Adanya cadaveric spasme dan tes getah paru (lonset proef) positif

menunjukkan bahwa korban masih hidup saat berada dalam air.1

Kegunaan melakukan percobaan paru yaitu mencari benda asing (pasir,

lumpur, tumbuhan, telur cacing) dalam getah paru-paru mayat. Syarat

melakukannya adalah paru-paru mayat harus segar/ belum membusuk.1

Cara melakukan percobaan getah paru yaitu permukaan paru-paru dikerok

(2-3 kali) dengan menggunakan pisau bersih lalu dicuci dan iris permukaan

paru-paru. Kemudian teteskan diatas objek gelas. Syarat sediaan harus sedikit

114
mengandung eritrosit. Evaluasi sediaan yaitu pasir berbentuk kristal, persegi

dan lebih besar dari eritrosit. Lumpur amorph lebih besar daripada pasir,

tanaman air dan telur cacing. Ada 3 kemungkinan dari hasil percobaan getah

paru, yaitu:1

 Hasilnya positif dan tidak ada sebab kematian lain.

 Hasilnya positif dan ada sebab kematian lain.

 Hasilnya negatif.

Jika hasilnya positif dan tidak ada sebab kematian lain maka dapat kita

interpretasikan bahwa korban mati karena tenggelam. Jika hasilnya positif dan

ada sebab kematian lain maka ada 2 kemungkinan penyebab kematian korban,

yaitu korban mati karena tenggelam atau korban mati karena sebab lain. Jika

hasilnya negatif maka ada 3 kemungkinan penyebab kematian korban, yaitu:1

 Korban mati dahulu sebelum tenggelam.

 Korban tenggelam dalam air jernih.

 Korban mati karena vagal reflex / spasme larynx.

Jika hasilnya negatif dan tidak ada sebab kematian lain maka dapat kita

simpulkan bahwa tidak ada hal hal yang menyangkal bahwa korban mati

karena tenggelam. Jika hasilnya negatif dan ada sebab kematian lain maka

kemungkinan korban telah mati sebelum korban dimasukkan ke dalam air.1

Kegunaan melakukan pemeriksaan diatome adalah mencari ada tidaknya

diatome dalam paru-paru mayat. Diatome merupakan ganggang bersel satu

dengan dinding dari silikat. Syaratnya paru-paru harus masih dalam keadaan

115
segar, yang diperiksa bagian kanan perifer paru-paru, dan jenis diatome harus

sama dengan diatome di perairan tersebut.1,2

Cara melakukan pemeriksaan diatome yaitu ambil jaringan paru-paru

bagian perifer (100 gr) lalu masukkan ke dalam gelas ukur dan tambahkan

H2SO4. Biarkan selama 12 jam kemudian panaskan sampai hancur membubur

& berwarna hitam. Teteskan HNO3 sampai warna putih lalu sentrifus hingga

terdapat endapan hitam. Endapan kemudian diambil menggunakan pipet lalu

teteskan diatas objek gelas. Interpretasi pemeriksaan diatome yaitu bentuk

atau besarnya bervariasi dengan dinding sel bersel 2 dan ada struktur bergaris

di tengah sel.1

Positif palsu pada pencari pasir dan pada orang dengan batuk kronis.

Untuk hepar atau lien, tidak akurat karena dapat positif palsu akibat

hematogen dari penyerapan abnnormal gastrointestinal.1

Penentuan Berat Jenis (BD) Plasma Penentuan berat jenis (BD) plasma

bertujuan untuk mengetahui adanya hemodilusi pada air tawar atau adanya

hemokonsentrasi pada air laut dengan menggunakan CuSO4. Normal 1,059

(1,0595-1,0600); air tawar 1,055; air laut 1,065. Interpretasinya ditemukan

darah pada larutan CuSO4 yang telah diketahui berat jenisnya.1

Pemeriksaan kimia darah (gettler test) bertujuan untuk memeriksa kadar

NaCl dan Kalium. Interpretasinya adalah korban yang mati tenggelam dalam

air tawar, mengandung Cl lebih rendah pada jantung kiri daripada jantung

kanan. Kadar Na menurun dan kadar K meningkat dalam plasma. Korban

116
yang mati tenggelam dalam air laut, mengandung Cl lebih tinggi pada jantung

kiri daripada jantung kanan. Kadar Na meningkat dan kadar K sedikit

meningkat dalam plasma.1

Pada pemeriksaan histopatologi dapat kita temukan adanya bintik

perdarahan di sekitar bronkioli yang disebut Partoff spot.1

7. Inhalation of Suffocating Gasses

Inhalation of suffocating gasses adalah suatu keadaan dimana korban

menghisap gas tertentu dalam jumlah berlebihan sehingga kebutuhan O2 tidak

terpenuhi. Ciri-cirinya yaitu:1

 kekurangan O2 di suatu tempat/ daerah sekitarnya (daerah tambang)

 tanda asfiksia

 tanda intoksikasi CO2

 tanda trauma seperti kejatuhan batu

Ada 3 cara kematian pada korban kasus inhalation of suffocating gasses,

yaitu menghisap gas CO, CO2, H2S. Gas CO banyak pada kebakaran hebat.

Gas CO2 banyak pada sumur tua dan gudang bawah tanah. Gas H2S pada

tempat penyamakan kulit.1

117
BAB III

PENUTUP

Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan

dalam pertukaran udara pernafasan yang normal. Asfiksia merupakan istilah yang

sering digunakan untuk menyatakan berhentinya respirasi yang efektif (cessation

of effective respiration) atau ketiadaan kembang kempis (absence of pulsation).

Asfiksia merupakan mekanisme kematian terbanyak yang ditemukan

dalam kasus kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya

obstruksi pada saluran pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah

yang paling sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh

dan nyawa manusia. Jenis asfiksia mekanik antara lain yaitu:

a. Penutupan lubang saluran pernafasan bagian atas:

 Pembekapan (smothering)

 Penyumbatan (gagging dan choking)

b. Penekanan dinding saluran pernafasan:

 Penjeratan (strangulation)

 Pencekikan (manual strangulation)

 Gantung (hanging)

c. External pressure of the chest yaitu penekanan dinding dada dari luar.

d. Drawning (tenggelam) yaitu saluran napas terisi air.

e. Inhalation of suffocating gases.

118
DAFTAR PUSTAKA

1. Hasymi MA, Ayunazhari I, Dina NF, Sari DO, Suminarti. Pocket Book of
Medical Forensic: Mind’s Forensic First Edition. Banjarmasin: Laboratorium
Forensik RSUD Ulin Banjarmasin, 2012.

2. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta Barat: Binarupa


Aksara, 1997.

3. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman bagi Dokter dan Penegak


Hukum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2008.

4. Apuranto H, Hoediyanto. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan


Medikolegal Edisi Ketiga. Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal FK Universitas Airlangga, 2007.

5. James SH, Nordby JJ. Forensic Science: An Introduction to Scientific and


Investigative Techniques Second Edition. United States: CRC Press, 2005.

119
TANATOLOGI

120
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari segala macam aspek yang

berkaitan dengan mati; meliputi pengertian (definisi), cara-cara melakukan

diagnosis, perubahan-perubahan yang terjadi sesudah mati serta kegunaannya.1

Dalam ilmu tanatologi akan dipelajari mengenai penentuan kematian,

perubahan-perubahan sesudah mati, saat kematian, dan kegunaan tanatologi.

Penentuan kematian dilakukan berdasarkan konsep mati otak dan mati batang

otak, yang ditandai dengan tidak berespon terhadap semua rangsangan, tidak

sadarnya pasien, hilangnya reflex pupil, hilangnya reflex kornea, tidak ada reflex

menelan, tidak ada reflex vestibulokoklearis dan tidak adanya pernafasan

spontan.1

Ada beberapa perubahan yang terjadi pada saat manusia mengalami

kematian, yaitu perubahan pada kulit muka, relaksasi otot, perubahan pada mata,

penurunan suhu tubuh, lebam jenazah, dan kaku jenazah. Perubahan yang terjadi

pada muka yaitu berubahnya warna wajah menjadi lebih pucat, akan tetapi pada

jenazah yang mengalami kematian karena keracunan gas CO (karbon

monooksida), perubahan warna kulit muka menjadi pucat terjadi lebih lambat.

Pada saat mati sampai beberapa saat sesudahnya, otot-otot polos akan mengalami

relaksasi sebagai akibat dari hilangnya tonus. Pada orang yang sudah mati

pandangan matanya terlihat kosong, reflek cahaya dan reflek kornea menjadi

121
negative. Vena-vena pada retina akan mengalami kerusakan dalam waktu 10 detik

sesudah mati. Jika sesudah kematiannya keadaan mata tetap terbuka maka lapisan

kornea yang paling luar akan mengalami kekeringan. Sesudah mati, metabolisme

yang menghasilkan panas akan terhenti sehingga suhu tubuh akan turun menuju

suhu udara atau medium sekitarnya. Penurunan ini disebabkan oleh adanya proses

radiasi, konduksi, dan pancaran panas.1

Untuk menentukan saat kematian dapat dilihat dari perubahan pada mata,

lambung, kuku, rambut, cairan serebrospinal, dan adanya reaksi supravital. Pada

mata kita dapat melihat perubahan warna menjadi lebih keruh, pada lambung kita

bisa melihat waktu pengosongan lambung meski tidak memberikan banyak arti,

pada rambut kita dapat mengukur saat kematian dilihat dari pertambahan panjang

rambut, begitu pula yang dapat kita liat pada kuku. Pada cairan serebrospinal saat

kematian dapat dilihat dari kadar nitrogen yang menurun setelah 10 jam kematian,

sedangkan reaksi supravital yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis

yang masih sama seperti reaksi jaringan tubuh pada seseorang yang hidup.1,2,3

2. Tujuan

Kegunaan ilmu tanatologi yaitu untuk menentukan cara kematian, sebab

kematian, saat kematian, dan diagnosis kematian. Oleh sebab itu dibuatlah

makalah tentang tanatologi.

122
3. Manfaat

Manfaat dari tinjauan kepustakaan ini yaitu untuk memberikan informasi

mengenai thanatologi, definisi kematian, perubahan yang terjadi setelah kematian

dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut dan menerapkan

tanatologi pada pemecahan kasus.

123
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Tanatologi berasal dari dua buah kata, yaitu “thanatos” yang berarti mati

dan “logos” yang berarti ilmu. Jadi arti sesungguhnya dari tanatologi adalah ilmu

yang mempelajari segala macam aspek yang berkaitan dengan mati; meliputi

pengertian (definisi), cara-cara melakukan diagnosis, perubahan-perubahan yang

terjadi sesudah mati serta kegunaannya.1,2

Sebelum membahas definisi mati perlu dipahami lebih dahulu bahwa

manusia menurut ilmu kedokteran memiliki dua dimensi, yaitu sebagai individu

dan sebagai kumpulan dari berbagai macam sel. Oleh sebab itu kematian manusia

juga dapat dilihat dari kedua dimensi tadi, dengan catatan bahwa kematian sel

(cellular death) akibat ketiadaan oksigen baru akan terjadi setelah kematian

manusia sebagai individu (somatic death).1,3,4

Mati individu itu sendiri sebetulnya dapat didefinisikan secara sederhana

sebagai berhentinya kehidupan secara permanen (permanent cessation of life).

Hanya saja, untuk dapat memahami definisi tersebut perlu dipahami lebih dahulu

tentang hidup. Mengenai hal ini nampaknya para ahli sependapat jika hidup

didefinisikan sebagai berfungsinya berbagai organ vital (paru-paru, jantung, dan

otak) sebagai satu kesatuan yang utuh, yang ditandai oleh adanya konsumsi

oksigen. Dengan definisi hidup seperti itu maka definisi mati dapat diperjelas lagi

menjadi berhentinya secara permanen fungsi berbagai organ-organ vital (paru-

124
paru, jantung, dan otak) sebagai satu kesatuan yang utuh, yang ditandai oleh

berhentinya konsumsi oksigen.1,3

Akibat berhentinya konsumsi oksigen ke seluruh jaringan tubuh maka satu

demi satu sel yang merupakan elemen hidup terkecil pembentuk manusia akan

mengalami kematian pula. Dimulai dari sel-sel yang paling rendah daya tahannya

terhadap ketiadaan oksigen.1,2,3

Selain kematian individu dan kematian sel, ada satu lagi istilah yang perlu

dipahami yaitu mati suri (appearent death). Pengertian yang sebenarnya dari mati

suri adalah suatu keadaan dimana proses vital turun ke tingkat yang paling

minimal untuk mempertahankan kehidupan, sehingga tanda-tanda klinisnya

tampak seperti sudah mati. Dengan perlatan yang sederhana maka tanda-tanda

kehidupan tidak dapat dideteksi, walaupun sebenarnya yang bersangkutan masih

dalam keadaan hidup. Keadaan ini sering ditemukan pada orang yang mengalami

acute heart failure, tenggelam, kedinginan, anestesi yang terlalu dalam, sengatan

listrik, atau sambaran petir.1,2,3

Dengan pertolongan yang cepat dan tepat atau kadang-kadang secara

spontan kondisinya dapat pulih kembali seperti sebelumnya.

Oleh orang awam, kembalinya ke kondisi normal secara spontan ini sering

disalahartikan sebagai hidup kembali. Namun harus diyakini bahwa tidak ada

seorangpun di dunia ini yang dapat hidup kembali sesudah mati.1,2

B. Penentuan Kematian

Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu (somatic

death), diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik

125
yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Kriteria diagnostik yang benar

berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Kriteria diagnostik pertama yang disusun oleh para ahli di bidang kedokteran

adalah yang dirumuskan berdasarkan konsep “permanent cessation of heart and

respiration death”. Namun dengan ditemukannya respirator (alat napas buatan)

yang dapat mempertahankan fungsi paru-paru dan jantung maka criteria

tradisional tidak dapat dilakukan terhadap pasien-pasien yang menggunakan alat

itu. Karena itulah disusun Kriteria diagnostik baru yang berdasarkan pada konsep

“brain death is death”. Terakhir konsep diagnostik ini diperbaiki lagi menjadi

“brain stem death is death”.1,3,4

Perbaikan ini berangkat dari pemikiran bahwa:1

1. Mustahil dapat mendiagnosis brain death dengan memeriksa seluruh

fungsi otak dalam keadaan koma, mengingat fungsi tertentu otak (melihat,

mencium, mendengar, fungsi serebeler dann beberapa fungsi kortek)

hanya dapat diperiksa dalam keadaan komposmentis.

2. Proses brain death tidak terjadi secara serentak, tetapi bertahap mengingat

resistensi yang berbeda-beda dari berbagai bagian otak terhadap ketiadaan

oksigen. Dalam hal ini brain stem (batang otak) merupakan bagian yang

paling tahan dibandingan kortek dan thalamus.

3. Brain stem merupakan bagian dari otak yang mengatur fungsi vital,

terutama pernafasan.

126
Berdasarkan konsep tersebut, tidak kurang dari 30 buah set kriteria

diagnostik telah disusun, namun kriteria yang paling banyak digunakan para

dokter adalah kriteria diagnostik seperti dibawah ini, yaitu:1

1. Hilangnya semua respon terhadap sekitarnya (respon terhadap

komando/perintah, taktil, dan sebagainya).

2. Tidak ada gerakan otot serta postur, dengan catatan pasien tidak sedang

berada dibawah pengaruh obat-obatan curare.

3. Tidak ada reflex pupil

4. Tidak ada reflex kornea

5. Tidak ada respon motorik dari saraf cranial terhadap rangsangan.

6. Tidak ada reflex menelan atau batuk ketika tuba endotrakeal didorong

kedalam.

7. Tidak ada reflex vestibulookularis terhadap rangsangan air es yang

dimasukkan ke dalam lubang telinga.

8. Tidak ada nafas spontan ketika respirator dilepas untuk waktu yang cukup

lama walaupun pCO2 sudah melampaui nilai ambang rangsangan nafas (50

torr).

Tes klinik tersebut diatas baru boleh dilakukan paling cepat 6 jam setelah

onset koma serta apneu dan harus diulangi lagi paling cepat sesudah 2 jam dari tes

yang pertama. Sedangkan tes konfirmasi dengan EEG atau angiografi hanya

dilakukan kalau tes klinik memberikan hasil yang meragukan atau jika ada

kekhawatiran akan adanya tuntutan dikemudian hari.1,3

127
Dengan adanya kriteria baru itu tidak berarti kriteria tradisional diagnostik

tidak berlaku lagi. Kriteria tradisional tetap diperlukan bagi penentuan kematian

pada kasus-kasus biasa, sedang kriteria baru hanya berlaku bagi kasus-kasus luar

biasa (misalnya keracunan, sengatan listrik, gangguan metabolism, hipotermi, atau

pasien-pasien yang dipersiapkan menjadi donor cadaver).1,3

Kriteria tradisional itu sendiri sebetulnya didasarkan pada konsep

“permanent cessation of heart beating and respiration death. Dikatakan berhenti

secara permanen (permanent cessation) jika fungsi jantung dan paru-paru terhenti

sekitar 10menit. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sel-sel otak akan

mengalami kerusakan irreversible jika tidak mendapatkan suplai oksigen selama

10 menit. Di daerah yang suhunya dingin ketahanannya dapat mencapai 1 jam

atau lebih.1,3

Secara terotiris, diagnosis kematian sudah dapat ditegakkan jika jantung

dan paru-paru sudah berhenti selama 10 menit, namun dalam prakteknya sering

kali terjadi kesalahan diagnosis sehingga diperlukan konfirmasi dengan cara

mengamati selama waktu tertentu. Kebiasaan yang berlaku di Indonesia adalah

mengamati selama 2 jam. Jika waktu tersebut telah terlewati, sedang tanda-tanda

kehidupan tidak juga muncul barulah yang bersangkutan dapat dinyatakan mati

berdasarkan kriteria diagnostik tradisional.1,3,5

Untuk menentukan apakah paru-paru sudah berhenti bernafas perlu

dilakukan pemeriksaan:1,3

1. Auskultasi

128
Tes ini perlu dilakukan secara hati-hari dan lama. Kalau perlu dilakukan

juga auskultasi pada daerah laring.

2. Tes winslow

Yaitu dengan meletakkan gelas berisi air di atas perut atau dadanya. Bila

permukaan air bergoyang berarti masih ada gerakan nafas.

3. Tes cermin

Yaitu dengan meletakkan kaca cermin di depan mulut dan hidung. Bila

basah berarti masih bernafas

4. Tes bulu burung

Yaitu dengan meletakkan bulu burung di depan hidung. Bila bergetar

berarti masih bernafas.

Untuk menentukan jantung masih berfungsi perlu dilakukan pemeriksaan

sebagai berikut:1,3

1. Auskultasi

Auskultasi dilakukan di daerah prekordial selama 10 menit terus menerus

2. Tes magnus

Yaitu dengan mengikat jari tangan sedemikian rupa sehingga hanya aliran

darah vena saja yang terhenti. Bila bendungan berwarna sianotik berarti

masih ada sirkulasi.

3. Tes icard

Yaitu dengan cara menyuntikkan larutan dari campuran 1 gram zat

fluorescein dan 1 gram natrium bicarbonas didalam 8 ml air secara

129
subkutan. Bila terjadi perubahan warna kuning kehijauan berarti masih ada

sirkulasi darah.

4. Icisi arteria radialis

Bila terpaksa dapat dilakukan pengirisan pada arteria radialis. Bila keluar

darah secara pulsasif berarti masih ada sirkulasi darah.

C. Perubahan-Perubahan Sesudah Mati

Jika seseorang meninggal dunia maka pada tubuhnya akan mengalami

berbagai perubahan, antara lain:1,3

1. Perubahan kulit muka

Akibat berhentinya sirkulasi darah maka darah yang berada pada

kapiler dan venula dibawah kulit muka akan mengalir ke bagian yang

lebih rendah sehingga warna raut muka Nampak menjadi lebih pucat.

Pada mayat dari orang yang mati akibat kekurangan oksigen atau

keracunan zat-zat tertentu (misalnya karbon monoksida), warna semula

dari raut muka akan bertahan lama dan tidak cepat menjadi pucat.

2. Relaksasi otot

Pada saat mati sampai beberapa saat sesudahnya, otot-otot polos

akan mengalami relaksasi sebagai akibat dari hilangnya tonus.

Relaksasi pada stadium itu disebut relaksasi primer. Akibatnya rahang

bawah akan melorot menyebabkan mulut terbuka, dada kolap dan bila

tidak ada yang menyangga anggota tubuh akan jatuh kebawah.

Relaksasi yang terjadi pada otot-otot muka akan mengesankan lebih

muda dari umur yang sebenarnya, sedang relaksasi otot polos akan

130
mengakibatkan iris dan sfingter ani dilatasi. Oleh sebab itu jika

ditemukan dilatasi pada anus, harus hati-hati untuk menyimpulkan

sebagai akibat hubungan seks per ani.1

Sesudah relaksasi primer akan terjadi kaku mayat dan selanjutnya

akan terjadi relaksasi lagi. Relaksasi terakhir ini disebut relaksasi

sekunder.1

3. Perubahan pada mata

Pada orang yang sudah mati pandangan matanya terlihat kosong,

reflek cahaya dan reflek kornea menjadi negative. Vena-vena pada

retina akan mengalami kerusakan dalam waktu 10 detik sesudah mati.

Jika sesudah kematiannya keadaan mata tetap terbuka maka lapisan

kornea yang paling luar akan mengalami kekeringan. Dalam waktu 10

sampai 12 jam sesudah mati kelopak mata, baik terbuka atau tertutup,

akan berubah menjadi putih dan keruh. Perubahan lain yang terjadi

ialah penurunan tekanan bola mata dan naikknya kadar potassium pada

cairan mata.3

4. Penurunan suhu tubuh

Sesudah mati, metabolisme yang menghasilkan panas akan terhenti

sehingga suhu tubuh akan turun menuju suhu udara atau medium

sekitarnya. Penurunan ini disebabkan oleh adanya proses radiasi,

konduksi, dan pancaran panas.3

Pada jam-jam pertama penurunannya sangat lambat karena masih

adanya produksi panas dari proses glikogenolisis, tetapi sesudah itu

131
penurunan menjadi lebih cepat dan pada akhirnya menjadi lebih

lambat kembali. Kalau proses penurunan tersebut digambarkan dalam

bentuk grafik maka gambarannya akan seperti sigmoid atau huruf S

terbalik. Jika rata-rata maka penurunan suhu tersebut antara 0,9 sampai

1 derajat Celsius atau sekitar 1,5 Farenheit setiap jam, dengan catatan

penurunan suhu dimulai dari 37 derajat celcius atau 98,4 derajat

Farenheit. Pengukuran dilakukan per rectal dengan menggunakan

thermometer kiimia yang panjang (long chemical thermomether).1,3

Penurunan suhu tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor

antara lain:1

a. Suhu tubuh pada saat mati

Suhu tubuh yang tinggi pada saat mati, seperti misalnya pada

penderita infeksi atau perdarahan otak, akan mengakibatkan

tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat. Sedangkan

penderita dengan hipotermia tingkat penurunannya akan

menjadi sebaliknya.

b. Suhu medium

Semakin rendah suhu medium tempat tubuh mayat berada akan

semakin cepat tingkat penurunannya. Dengan kata lain semakin

besar perbedaan suhu medium dengan suhu tubuh mayat,

semakin besar tingkat penurunannya.

c. Keadaan udara disekitarnya

132
Pada udara yang lembab, tingkat penurunannya suhu menjadi

lebih besar. Hal ini disebabkan karena udara yang lembab

merupakan konduktor yang baik. Pada udara yang terus

berhembus (angin), tingkat penurunannya juga semakin cepat.

d. Jenis medium

Pada medium air, tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat

sebab air merupakan konduktor yang baik.

e. Keadaan tubuh mayat

Pada mayat bayi, tingkat penurunan suhu lebih cepat dibanding

mayat orang dewasa. Hal ini disebabkan karena pada bayi, luas

permukaan tubuhnya relatip lebih besar.

Pada mayat yang tubuhnya kurus, tingkat penurunannnya juga

lebih cepat dibandingkan mayat yang tubuhnya gemuk.

f. Pakaian mayat

Semakin tipis pakaian yang dipakai, semakin cepat tingkat

penurunannya. Perlu diketahui bahwa estimasi saat kematian

dengan memanfaatkan penurunan suhu mayat hanya bisa

dilakukan pada kematian kurang dari 12 jam.

Berbagai rumus kecepatan penurunan suhu tubuh pasca mati

ditemukan sebagai hasil dari penelitian di negara barat, namun ternyata

sukar dipakai dalam praktek karena faktor-faktor yang berpengaruh

berbeda pada setiap kasus, lokasi, cuaca dan iklim.1

133
Meskipun demikian dapat dikemukakan di sini formula Marshal dan

Hoare (1962) yang dibuat dari hasil penelitian terhadpa mayat telenjang

dengan suhu lingkungan 15,5 derajat Celcius, yaitu penurunan suhu

dengan kecepatan 0,55 derajat Celsius tiap jam pada 3 jam pertama paska

mati, 1,1 derajat Celsius tiap jam pada 6 jam berikutnya, dan kira-kira 0,8

derajat Celsius tiap jam pada periode selanjutnya. Kecepatan penurunan

suhu ini menurun hingga 60% bila mayat berpakaian. Penggunaan formula

ini harus dilakukan dengan hati-hati mengingat suhu lingkungan di

Indonesia biasanya lebih tinggi. Penelitian akhir-akhir ini cenderung untuk

memperkirakan saat mati melalui pengukuran suhu tubuh pada lingkungan

yang menetap di tempat kejadian perkara (TKP). Caranya adalah dengan

melakukan 4-5 kali penentuan suhu rektal dengan interval waktu yang

sama (minimal 15 menit). Suhu lingkungan diukur dan di anggap konstan

karena faktor-faktor lingkungan dibuat menetap, sedangkan suhu saat mati

dianggap 37 derajat Celsius bila tidak ada penyakit demam. Penelitian

membuktikan bahwa perubahan suhu lingkungan kurang dari 2 derajat

Celsius tidak mengakibatkan perubahan yang bermakna. Dari angka-angka

di atas, dengan menggunakan rumus atau grafik dapat ditentukan waktu

antara saat mati dan saat pemeriksaan. Saat ini, telah tersedia program

komputer guna perhitungan saat mati dengan cara ini.1,3

5. Lebam mayat

134
Nama lain dari lebam mayat ialah livor mortis, post mortum

lividity, post mortum suggilation, post mortum hypostasis atau

vibices.1,3

Terjadinya karena adanya gaya gravitasi yang menyebabkan darah

mengumpul pada bagian-bagian tubuh terendah. Mula-mula darah

mengumpul pada vena-vena besar dan kemudian pada cabang-

cabangnya sehingga mengakibatkan perubahan warna kulit menjadi

merah kebiruan. Pada awalnya warna tersebut hanya berupa bercak

setempat-setempat yang kemudian berubah menjadi lebih lebar dan

merata pada bagian tubuh terendah. Kadang-kadang cabang dari vena

pecah sehingga terlihat bintik-bintik perdarahan yang disebut Tardiu’s

spot.1,3

Timbulnya lebam mayat antara 1 sampai 2 jam setelah mati. Pada

orang yang menderita anemia atau perdarahan timbulnya lebam mayat

menjadi lebih lama, sedang pada orang yang mati akibat sakit lama

timbulnya lebam mayat menjadi lebih cepat.1,3,5

Lokalisasinya pada bagian yang terendah dari tubuh mayat, kecuali

pada daerah-daerah yang tertekan. Pada posisi terlentang, lebam mayat

135
akan dapat ditemukan pada leher bagian belakang, punggung, bokong,

dan fleksor dari anggota bawah. Kadang-kadang ditemukan juga lebam

mayat paradoksal yang terletak pada leher bagian depan, bahu dan

dada sebelah atas. Pada posisi tengkurap lebam mayat dapat ditemukan

pada dahi, pipi, dagu, dada, perut, dan bagian ekstensor dari anggota

bawah. Kadang-kadang ditemukan darah keluar dari hidungnya,

disebabkan pecahnya pembuluh darah hidung akibat stagnansi hebat

pada daerah tersebut. Pada posisi menggantung lebam mayat

ditemukan pada ujung-ujung dari anggota badan dan alat kelamin laki-

laki.1,3

Lebam mayat juga dapat ditemukan pada organ-organ dalam,

sehingga perlu dibedakan pada proses patologik. Lebam mayat pada

paru-paru misalnya, perlu dibedakan dengan proses perdarahan atau

pneumonia.1

Setelah 4 jam, kapiler-kapiler akan mengalami kerusakan dan

butir-butir darah merah juga akan rusak. Pigmen-pigmen dari pecahan

darah merah akan keluar dari kapiler yang rusak dan mewarnai

jaringan di sekitarnya sehingga menyebabkan warna lebam mayam

pada daerah tersebut akan menetap serta tidak hilang jika ditekan

dengan ujung jari atau jika posisi mayat dibalik. Jika pembalikan

posisi dilakukan sesudah 12 jam dari kematiannya maka lebam mayat

baru tidak akan timbul pada posisi terendah karena darah sudah

mengalami koagulasi.1

136
Warna lebam mayat biasanya merah kebiruan. Pada keracunan

karbon monoksida (CO) lebam mayat berwarna merah cerah (cherry

red), pada keracunan potassium chlorate berwatna coklat dan pada

kematian karena asfiksia berwarna lebih gelap.1

6. Kaku mayat

Kaku mayat yang sering disebut rigor mortis atau post mortum

rigidity terjadi akibat proses biokimiawi, yaitu pemecahan ATP

menjadi ADP. Selama masih ada P berenersi tinggi dari pemecahan

glikogen otot maka ADP masih dapat diresintese menjadi ATP

kembali. Jika persediaan glikogen oto habis maka resintese tidak

terjadi sehingga terjadi penumpukan ADP yang akan menyebabkan

otot menjadi kaku.1

Berdasarkan teori tersebut maka kaku mayat akan terjadi lebih

awal pada otot-otot kecil, karena pada otot-otot yang kecil persendian

glikogen sedikit. Otot-otot yang kecil itu antara lain otot-otot yang

terdapat pada muka; misalnya otot palpebra, otot rahang dan

sebagainya. Sesudah itu kaku mayat terjadi pada leher, anggota atas,

dada, perut dan terakhir anggota bawah.1

137
Lebih kurang 6 jam sesudah mati, kaku mayat akan mulai terlihat

dan lebih kurang 6 jam kemudian seluruh tubuh akan menjadi kaku.

Kekakuan tersebut akan berlangsung selama 36 sampai 48 jam.

Sesudah itu, tubuh mayat akan mengalami relaksasi kembali sebagai

akibat dari proses degenerasi dan pembusukan. Relaksasi yang terjadi

sesudah mayat mengalami kaku mayat disebut relaksasi sekunder.1

Urutan terjadinya relaksasi sekunder seperti urutan terjadinya kaku

mayat; yaitu dimulai dari otot-otot pada daerah muka, leher, anggota

atas, dada, perut dan terakhir anggota bawah.1

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kaku mayat

antara lain:1,3

a. Persediaan glikogen

Pada mayat dari orang yang sebelum meninggalnya banyak makan

makanan yang mengandung karbohidrat maka kaku mayat akan timbul

lebih lambat. Pada mayat dengan gizi jelek, kaku mayat akan timbul

lebih cepat.

b. Kegiatan otot

Pada orang yang melakukan aktifitas yang berlebihan sebelum

kematiannya, kaku mayatnya akan menjadi lebih cepat.

c. Suhu udara sekitarnya

Pada udara yang suhunya tinggi kaku mayat terjadi lebih cepat dan

berlangsung lebih singkat, sedang pada suhu rendah terjad lebih lambat

dan berlangsung lebih lama. Pada suhu 10 derajat Celcius di bawah nol

138
kaku mayat tidak terjadi, sedang kekakuan yang terlihat disebabkan

karena adanya freezing atau cold stiffening.

d. Umur

Pada anak-anak timbulnya kaku mayat lebih cepat daripada orang

dewasa.

Kekakuan pada tubuh jenazah akibat rigor mortis perlu dibedakan

dengan kekakuan akibat proses lainnya, seperti misalnya:

a. Cadaveric spasme atau instantaneous rigor

Kekakuan yang terjadi di sini disebabkan oleh kekakuan

serombongan otot akibat ketegangan jiwa atau ketakutan sebelum

kematiannya. Keadaan seperti ini sering ditemukan pada orang yang

melakukan bunuh diri, orang-orang yang mengalami kecelakaan atau

yang megalami ketakutan yang sangat ketika akan dibunuh. Dalam

perang Vietnam ditemukan mayat tentara Amerika dengan cadaveric

spasme.

Cadaveric spasme ini sebetulnya merupakan proses intravital, tidak

dapat direkayasa dan akan hilang berkenaan dengan terjadinya proses

pembusukan.

139
b. Heat stiffening

Pada mayat yang terbakar, akan mengalami kekakuan otot yang

disebabkan karena proses koagulasi protein. Untuk membedakannya

dengan kekakuan akibat rigor mortis tidaklah sulit, sebab pada heat

stiffening pengaruh panas pada daerah kulit akan terlihat jelas.

c. Freezing

Kekakuan yang terjadi di sini disebabkan oleh pembekuan cairan di

sendi atau di dalam sel-sel otot atau jaringan interstisiil. Pada perabaan

terasa dingin dan bila digerakkan terasa adanya krepitasi. Freezing

yang terjadi di dalam tengkorak dapat menyebabkan sutura pada tulang

tengkorak lepas karena adanya desakan es dari dalam. Jika mayat

diletakkan pada suhu tinggi akan terjadi pelemasan otot.

7. Pembusukan atau Modifikasinya

Pembusukan yang terjadi pada tubuh mayat disebabkan oleh proses

otolisa dan aktifitas mikroorganisme.1

Proses otolisa terjadi sebagai akibat dari pengaruh enzim yang

dilepaskan oleh sel-sel yang sudah mati. Mula-mula yang terkena ialah

nukleoprotein yang terdapat pada kromatin dan sesudah itu sitoplasmanya.

Seterusnya dinding sel akan mengalami kehancuran dan akibatnya

jaringan akan menjadi lunak atau mencair.1

140
Proses otolisa ini tidak dipengaruhi oleh mikroorganisme dan oleh

sebab itu pada mayat yang bebas hama, misalnya mayat bayi dalam

kandungan, proses otolisa tetap berlangsung.1

Pada mayat yang dibekukan pelepasan enzim akan terhambat dan

dengan sendirinya akan memperlambat otolisa, sedang pada suhu yang

panas proses otolisa juga akan mengalami hambatan disebabkan rusaknya

enzim oleh panas tersebut.1,3

Mengenai mikroorganisme penyebab pembusukan, yang paling

utama adalah oleh kuman Clostridium Welchii yang biasanya ada pada

usus besar. Karena pada orang yang sudah mati semua sistem pertahanan

tubuh hilang maka kuman-kuman pembusuk tersebut dapat leluasa

memasuki pembuluh darah dan menggunakan darah sebagai media untuk

berkembang biak. Kuman itu akan menyebabkan hemolisa, pencairan

bekuan-bekuan darah yang terjadi sebelum atau sesudah mati, pencairan

trombus atau emboli, perusakan jaringan-jaringan dan pembentukan gas-

gas pembusukan. Proses tersebut mulai tampak lebih kurang 48 jam

sesudah mati.1

141
Tanda-tanda yang dapat dilihat pada mayat yang mengalami

pembusukan ialah:1

a. Warna kehijauan pada dinding perut sebelah kanan bawah. Perubahan

warna ini disebabkan adanya reaksi antara H2S (dari gas pembusukan

yang terjadi di usus besar) dengan Hb menjadi Sulf-Met-Hb. Perubahan

ini merupakan tanda pembusukan yang paling dini.

b. Pelebaran pembuluh darah vena superfisial. Pelebaran pembuluh darah

ini disebabkan oleh desakan gas pembusukan yang ada di dalamnya

sehingga pembuluh darah tersebut serta cabang-cabangnya nampak

lebih jelas, seperti pohon gundul (arborescent pattern atau arborescent

mark)

c. Muka membengkak

d. Perut mengembung akibat timbunan gas pembusukan

e. Skrotum laki-laki atau vulva membengkak

f. Kulit terlihat gelembung atau melepuh

g. Cairan darah keluar dari lubang hidung dan mulut

h. Bola mata menjadi lunak

i. Lidah dan bola mata menonjol akibat desakan gas pembusukan

j. Dinding perut atau dada pecah akibat tekanan gas

k. Kuku dan rambut lepas

l. Organ-organ dalam membusuk dan kemudian hancur. Organ dalam

yang paling cepat membusuk ialah otak, hati, lambung, usus halus,

limpa, rahim wanita hamil atau nifas. Organ yang lambat membusuk

142
ialah esofagus, jantung, paru-paru, diafragma, ginjal dan kandung

kencing. Organ yang paling lambat mengalami pembusukan ialah

kelenjar prostat pada laki-laki dan rahim wanita yang tidak sedang

hamil atau nifas. Jika kedua organ tersebut masih dapat dikenali pada

pemeriksaan mayat tak dikenal yang sudah dalam keadaan membusuk

maka hal ini akan sangat berguna bagi kepentingan identifikasi.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses pembusukan antara

lain:1

a. Faktor luar, yaitu:

1. Mikroorganisme

Pada mayat bayi yang baru dilahirkan atau mayat yang tidak

berpakaian proses pembusukkannya akan terhambat. Proses

pembusukan yang lambat juga akan dialami oleh mayat yang

dikuburkan di dalam tanah yang sangat padat.

2. Suhu disekitar mayat

Proses pembusukan yang paling optimal terjadi pada suhu 70-100

derajat Fahrenheit. Pada suhu di bawah 50 derajat Fahrenheit atau di

atas 100 derajat Fahrenheit, proses pembusukan menjadi lebih lambat

akibat terhambatnya pertumbuhan mikroorganisme.

3. Kelembaban udara

Seperti diketahui bahwa proses pembusukan diperlukan kelembababn

udara. Oleh karena itu semakin tinggi kelembaban semakin cepat

pembusukannya.

143
4. Medium dimana mayat berada

Pembusukan pada medium udara terjadi lebih cepat dibandingkan pada

medium air lebih cepat dibandingkan pada medium tanah.

b. Faktor dalam, yaitu:1

1. Umur

Pada mayat dari orang-orang tua, proses pembusukannya lebih lambat

disebabkan lemak tubuhnya relatif lebih sedikit. Pembusukan yang

lambat juga terjadi pada mayat bayi yang baru lahir dan belum pernah

diberi makan, sebab pada mayat tersebut belum kemasukkan kuman-

kuman pembusuk.

2. Sebab kematian

Mayat dari orang yang mati mendadak lebih lambat proses

pembusukkannya daripada yang mati karena penyakit kronis.

Demikian juga mayat dari orang yang mati karena keracuna khronis

dari zat asam karbol, arsen, antimo dan zink klorida.

3. Keadaan mayat

Proses pembusukan yang cepat terjadi pada tubuh mayat yang gemuk,

edematus, luka-luka atau mayat wanita yang mati sesudah melahirkan.

Sedang proses pembusukan yang lambat terjadi pada mayat yang

ketika hidupnya mengalami dehidradsi.

Pada keadaan tertentu, tanda-tanda pembusukan seperti yang

disebutkan di atas tidak dijumpai. Yang ditemukan adalah modifikasinya,

yaitu mumifikasi atau saponifikasi (adipocere).1

144
Mumifikasi dapat terjadi kalau keadaan disekitar mayat kering,

kelembabannya rendah, suhunya tinggi dan tidak ada kontaminasi dengan

bakteri.1

Terjadinya beberapa bulan setelah mati, dengan tanda-tanda

sebagai berikut:1

- Mayat menjadi kecil

- Kering

- Mengkerut atau melisut

- Warna coklat kehitaman

- Kulit merekat erat dengan tulang di bawahnya

- Tidak berbau

- Keadaan anatominya masih utuh

Saponifikasi dapat terjadi pada mayat yang berada di dalam

suasana hangat, lembab, dan basah. Terjadi karena proses hidrolisis dari

lemak menjadi asam lemak. Selanjutnya asam lemak jenuh dan kemudian

bereaksi dengan alkali menjadi sabun yang tak larut.1,3

Terjadinya saponifikasi memerlukan waktu beberapa bulan dan

dapat terjadi pada setiap jaringan tubuh yang berlemak, dengan tanda-

tanda sebagai berikut:1

- Warna keputihan

- Bau tengik seperti bau minyak kelapa

145
Jika pada mayat terjadi proses saponifikasi atau mumifikasi maka

hal itu dapat dimanfaatkan guna kepentingan identifikasi ataupun

pemeriksaan luka-luka, meskipun terjadinya kematian sudah lama.

8. Perubahan-Perubahan pada Darah

Sesudah mati akan terjadi penurunan pH darah sebagai akibat dari

penumpukan CO2 saat-saat akhir kehidupannya, glikogenolisis dan

glikolisis. Penurunan pH juga dapat disebabkan oleh penumpukan asam

laktat, pemecahan asam amino dan pemecahan asam lemak.

Setelah 24 jam dari saat kematiannya, keadaan darah mulai

berubah menjadi basa sebagai akibat dari pemecahan protein secara

enzimatik. Pemecahan ini juga akan menyebabkan kenaikan non protein

nitrogen. Proses proteolisis juga akan menyebabkan kenaikan ureum.

Mengenai kadar gula darah, akan mengalami penurunan yang cepat

sesudah mati. Tetapi kadar dekstrose darah pada vena cava inferior akan

mengalami kenaikan sebagai akibat pemecahan glikogen di dalam hati.

Kenaikan kadar dekstrose ini akan merembes sampai ke jantung sebelah

kanan. Kadar dekstrose darah di tempat lain tidak mengalami kenaikan

mengingat paru-paru merupakan barikade yang cukup baik terhadap

perembesan.

9. Kematian Sel (cellulare Death/Moleculare Death)

Jika seseorang sebagai individu telah meninggal dunia maka sel-sel

yang membentuk tubuhnya akan tetap hidup secara sendiri-sendiri,

meskipun sel-sel itu tidak mendapatkan supply oksigen.

146
Ketahanan hidup sel tanpa oksigen ini berbeda-beda, seperti

tersebut di bawah ini:

- Sel-sel usus mampu hidup sampai 2 jam sesudah mati. Dalam periode

ini peristaltik usus sering dijumpai.

- Sel-sel otot tertentu mampu hidup 3 jam sesudah mati. Dalam periode

tersebut otot yang bersangkutan masih dapat mengalami kontraksi jika

dirangsang dengan listrik.

- Sel-sel jantung tidak segera mati dan masih dapat berdenyut secara

lemah dn tidak sempurna.

- Otot pupil masih dapat melebar jika diberi obat atropin.

- Spermatozoa mampu hidup selama beberapa jam sesudah mati.

D. Perkiraan Saat Kematian

Selain perubahan pada mayat tersebut di atas, beberapa perubahan lain dapat

digunakan untuk memperkirakan saat mati.1

1. Perubahan pada mata. Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering, sklera

di kiri-kanan kornea akan berwarna kecoklatan dalam beberpa jam

berbentuk segitiga dengan dasar di tepi kornea (taches noires scletiques).

Kekeruhan kornea terjadi lapis demi lapis. Kekeruhan yang terjadi pada

lapis terluar dapat dihilangkan dengan meneteskan air, tetapi kekeruhan

yang telah mencapai lapisan lebih dalam tidak dapat dihilangkan dengan

147
tetesan air. Kekeruhan yang menetap ini terjadi sejak kira-kira 6 jam paska

mati.

Baik dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka, kornea menjadi keruh

kira-kira 10-12 jam paska mati dan dalam beberapa jam saja fundus tidak

tampak jelas.

Setelah kematian tekanan bola mata menurun, memungkinkan distorsi

pupil pada penekanan bola mata. Tidak ada hubungan antara diameter

pupil dengan lamanya mati. Perubahan pada retina dapat menunjukkan

saat kematian hingga 15 jam pasca mati. Hingga 30 menit pasca mati

tampak kekeruhan makula dan mulai memucatnya diskus optikus.

Kemudian hingga 1 jam pasca mati, makula lebih pucat dan tepinya tidak

tajam lagi.

Selama 2 jam pertama pasca mati, retina pucat dan daerah skitar diskus

menjadi kuning. Warna kuning juga tampak disekitar makula yang

menjadi lebih gelap. Pada saat itu pola vaskuler koroid yang tampak

sebagai bercak-bercak dengan latar belakang merah dengan pola

segmentasi yang jelas, tetapi pada kira-kira 3 jam pasca mati menjadi

kabur dan setelah 5 jam menjadi homogen dan lebih pucat.

Pada kira-kira 6 jam pasca mati, batas diskus kabur dan hanya pembuluh-

pembuluh besar yang mengalami segmentasi yang dapat ilihat dengan latar

belakang kuning kelabu.

Dalam waktu 7-10 jam pasca mati akan mencapai tepi retina dan batas

diskus akan sangat kabur, pada 12 jam pasca mati diskus hanya dapat

148
dikenali dengan adanya konvergensi beberapa segmen pembuluh darah

yang tersisa. Pada 15 jam pasca mati tidak ditemukan lagi gambaran

pembuluh darah retina dan diskus, hanya makula saja yang tampak

berwarna coklat gelap.

2. Perubahan dalam lambung

Kecepatan pengosongan lambung sangat berfariasi, sehingga tidak dapat

digunakan untuk memberikan petunjuk pasti waktu antara makan terakhir

dan saat mati. Namun, keadaan lambung dan isinya dapat membantu

dalam membuat keputusan. Ditemukannya makanan tertentu (pisang, kulit

tomat, biji-bijian) menandakan bahwa korban setelah meninggal telah

makan makanan tersebut.

3. Perubahan rambut. Dengan mengingat bahwa kecepatan tumbuh rambut

rata-rata 0,4 mm per hari, panjang rambut kumis dan jenggot dapat

dipergunakan untuk memperkirakan saat kematian. Cara ini hanya dapat

dipergunakan bagi pria yang mempunyai kebiasaan mencukur kumis atau

jenggotnya dan diketahui saat terakhir dia mencukur.

4. Pertumbuhan kuku. Sejalan dengan hal rambut tersebut di atas

pertumbuhan kuku yang diperkirakan sekitar 0,1 mm per hari dapat

dipergunakan untuk memperkirkan saat kematian bila dapat diketahui saat

terakhir yang bersangkutan memotong kuku.

5. Perubahan dalam cairan serebro spinal. Kadar nitrogen asam amino kurang

dari 14 mg% menunjukkan kematian belum lewat 10 jam, kadar nitrogen

non protein kurang dari 80 mg% menunjukkan kematian belum 24 jam,

149
kadar kreatin kurang dari 5 mg% dan 10 mg% masing-masing

menunjukkan kematian belum mencapai 10 jam dan 30 jam.

6. Dalam cairan vitreus. Terjadi peningkatan kadar kalium yang cukup akurat

untuk memperkirakan saat kematian antara 24 hingga 100 jam pasca mati.

7. Kadar semua komponen darah berubah setelah kematian, sehingga analisis

darah pasca mati tidak memebrikan gambaran konsentrasi zat-zat tersebut

semasa hidupnya. Perubahan tersebut diakibatkan oleh aktivitas enzim dan

bakteri, serta ganggun permeabilitas dari sel yang telah mati.

Selain itu gangguan fungsi tubuh selama proses kematian dapat

menimbulkan perubahan dalam darah bahkan sebelum kematian itu

terjadi. Hingga saat ini belum ditemukan perubahan dalam darah yang

dapat digunakan untuk memperkirakan saat mati dengan lebih tepat.

8. Reaksi supravital. Yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis

yang masih sama seperti reaksi jaringan tubuh pada seseorang yang hidup.

Beberapa uji dapat dilakukan terhadap mayat yang masih segar, misalnya

rangsang listrik masih dapat menimbulkan kontraksi otot mayat hingga 90-

120 menit pasca mati dan mengakibatkan sekresi kelenjar keringat sampai

60-90 menit pasca mati, sedangkan trauma masih dapat menimbulkan

perdarahan bawah kulit sampai 1 jam pasca mati.

E. Kegunaan Tanatologi

Kegunaan tanatologi dalam bidang forensik adalah sebagai berikut:1,3

1. Untuk Diagnosis Kematian

150
Sebetulnya menentukan kematian seseorang tidaklah sulit sehingga orang

awam (termasuk penegak hukum) dapat melakukannya, tetapi juga tidak selalu

gampang sehingga kadang-kadang dokter pun dapat melakukan kesalahan. Oleh

karena itu ilmu ini perlu dipahami sungguh-sungguh agar tidak terjadi kesalahan

dalam menegakkan diagnosis kematian.1

Tanatologi juga perlu dipelajari oleh penegak hukum sebab dalam

pemeriksaan tempat kejadian perkara (TKP) tidak tertutup kemungkinan

menemukan korban yang ada kemungkinan masih dalam keadaan hidup meskipun

terlihat tidak bergerak seperti mati.1

Dalam situasi seperti ini penentuan kematian dapat dilakukan dengan

menggunakan tanda-tanda pasti kematian, antara lain:1

- Lebam mayat

- Kaku mayat

- Pembusukan

Jika tanda-tanda pasti kematian tidak ditemukan maka korban harus

dianggap masih dalam keadaan hidup sehingga perlu mendapat pertolongan

(misalnya dengan melakukan pernafasan bantuan) sampai menunjukkan tanda-

tanda kehidupan atau sampai munculnya tanda pasti kematian yang paling awal,

yaitu lebam mayat.1,3

2. Untuk Penentuan Saat Kematian

Sehubungan dengan alibi seseorang, pemeriksaan forensik untuk

menentukan saat kematian korban menjadi sangat penting sebab dapat tidaknya

seseorang diperhitungkan sebagai pelaku pembunuhan tergantung dari

151
keberadaannya ketika tindak pidana itu terjadi. Tidaklah logis seseorang dituduh

membunuh jika pada saat dilakukannya tindak pidana berada di tempat yang

sangat jauh.1,3

Perubahan eksternal maupun internal yang terjadi pada tubuh seseorang

yang sudah meninggal dunia dapat digunakan sebagai bahan kajian untuk

memperkirakan saat terjadinya kematian meskipun sebetulnya range dari variasi

terjadinya perubahan-perubahan itu sangat luas.1,3

Perubahan-perubahan yang dapat dijadikan bahan kajian tersebut terdiri

atas:

a. Perubahan eksternal, antara lain:1

- Penurunan suhu

- Lebam mayat

- Kaku mayat

- Pembusukan

- Timbulnya larva

b. Perubahan internal, antara lain:1

- Kenaikan potasium pada cairan bola mata

- Kenaikan non protein nitrogen dalam darah

- Kenaikan ureum darah

- Penurunan kadar gula darah

- Kenaikan kadar dekstrose pada vena cava inferior

152
3. Untuk Perkiraan Sebab Kematian (Cause of Death)

Perubahan tak lazim yang ditemukan pada tubuh mayat sering dapat

memberi petunjuk tentang sebab kematiannya.1

a. Perubahan warna lebam mayat menjadi:1

- Merah cerah (cherry-red) memberi petunjuk keracunan carbon monoksida

(CO)

- Coklat memberi petunjuk keracunan Potasium Chlorate

- Lebih gelap, memberi petunjuk kekurangan oksigen

b. Keluarnya urine, faeces atau vomitus memebri petunjuk ada relaksasi

sphincter akibat kerusakan otak, anoksia atau kejang-kejang.

4. Untuk Perkiraan Cara Kematian (Manner of Death)

Perubahan yang terjadi pada tubuh mayat juga dapat memberi petunjuk

cara kematiannya. Distribusi lebam mayat misalnya, dapat memberi petunjuk

apakah yang bersangkutan mati karena bunuh diri atau pembunuhan.1

Pada mayat dari orang yang mati akibat gantung diri (bunuh diri dengan

cara menggantung) biasanya didapati lebam mayat pada ujung kaki, ujung tangan

atau alat kelamin laki-laki. Jika disamping itu juga ditemukan lebam mayat di

tempat lain maka hal itu dapat dipakai sebagai petunjuk cara kematiannya karena

akibat pembunuhan.1

153
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Tanatologi berasal dari dua buah kata, yaitu “thanatos” yang berarti mati

dan “logos” yang berarti ilmu. Jadi arti sesungguhnya dari tanatologi adalah ilmu

yang mempelajari segala macam aspek yang berkaitan dengan mati; meliputi

pengertian (definisi), cara-cara melakukan diagnosis, perubahan-perubahan yang

terjadi sesudah mati serta kegunaannya.

Ilmu tanatologi mempelajari mengenai penentuan kematian, perubahan-

perubahan sesudah mati, saat kematian, dan kegunaan tanatologi. Penentuan

kematian dilakukan berdasarkan konsep mati otak dan mati batang otak, yang

ditandai dengan tidak berespon terhadap semua rangsangan, tidak sadarnya

pasien, hilangnya reflex pupil, hilangnya reflex kornea, tidak ada reflex menelan,

tidak ada reflex vestibulokoklearis dan tidak adanya pernafasan spontan.

2. Saran

Thanatologi merupakan hal yang penting bagi kedokteran forensik karena

untuk membantu menentukan cara kematian, sebab kematian, saat kematian, dan

diagnosis kematian. Oleh sebab itu perlu pelajaran lebih dalam lagi tentang ilmu

ini dan saling melengkapi terhadap ilmu-ilmu yang telah ada.

154
DAFTAR PUSTAKA

1. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Jakarta: Binarupa

Aksara, 1997; p.131-168.

2. Hueske E. Firearms and Tool Mark The Forensic Laboratory Handbooks,

Practice and Resource. 2006.

3. Abdussalam. Forensik. Jakarta: Restu Agung, 2006; p. 41-43.

4. Hueske E. Firearms and Tool Mark The Forensic Laboratory Handbooks,

Practice and Resource. 2006.

5. Anonim. Forensic Pathology, Second Edition. USA: Oxford University Press,

1996; p.243-273.

155
KEMATIAN

MENDADAK

BAB I

PENDAHULUAN

156
Banyak kematian dari kasus yang wajar terjadinya tak dapat diramalkan

sebelumnya, mendadak atau merupakan kematian tak ada yang melihat. Kematian

mendadak sering terjadi dan didapatkan pada orang yang sebelumnya tampak

dalam keadaan yang sehat.1 Kematian Mendadak yang disebabkan oleh penyakit,

seringkali mendatangkan kecurigaan baik bagi penyidik maupun masyarakat

umum, khususnya bila kematian tersebut menimpa orang yang cukup dikenal oleh

masyarakat, kematian di hotel, cottage, atau motel.2

Definisi WHO untuk kematian mendadak adalah kematian yang terjadi

pada 24 jam sejak gejala-gejala timbul, namun pada kasus-kasus forensik,

sebagian besar kematian terjadi dalam hitungan menit atau bahkan detik sejak

gejala pertama timbul. Kematian mendadak tidak selalu tidak diduga, dankemtian

yang tak diduga tidak selalu terjadi mendadak, namun amat sering keduanya ada

bersamaan pada suatu kasus.3,4

Hasil otopsi yang pernah dilaporkan selama lebih dari lima setengah tahun

(1973-1943), pada Office Chief Medical Examiner, New York, didapatkan 2030

kasus kematian mendadak karena sebab yang wajar, yang dianalisis oleh Helpern

dan Rapson. Dari hasil tersebut nama penyakit system kardiovaskuler merupakan

penyebab kematian mendadak yang menduduki peringkat pertama sebesar 44,9%,

lalu sistim pernapasan sebesar 23,1%, sistim saraf (otak dan selaput otak) sebesar

17,9%, sistim pencernaan dan urogenital sebesar 9,7%, dan sebab-sebab lainnya

sebesar 4,4%.1,2 Makalah ini dibuat untuk membahas mengenai kematian

mendadak didalam bidang forensik sehingga diharapkan dapar membantu

pembaca mengenai kematian mendadak di dalam bidang forensik.

157
158
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN KEMATIAN MENDADAK

Kematian mendadak dapat berupa:1

1. Kematian seketika (Instantaneous death)

Contoh: Seorang yang dalam keadaan sehat bertamu ke rumah temannya,

baru duduk beberapa menit kemudian orang tersebut langsung

meninggal.

2. Kematian tak terduga (Unexpected death)

Contoh: Seorang yang hanya mengeluh sakit perut dikira gastritis biasa,

sehingga ia bekerja seperti biasa, kemudian orang tersebut

langsung meninggal di tempat kerja.

3. Kematian tanpa saksi atau sebab kematian yang tidak jelas (Unwitness

death)

Contoh: Seorang yang hidup sendiri tanpa teman di sebuah rumah,

kemudian orang tersebut ditemukan sudah dalam keadaan meninggal

dengan sebab kematian tidak diketahui dengan jelas.

Pada kasus kematian mendadak, korban biasanya tidak meninggal seketika

atau segera, tetapi sering korban meninggal dalam beberapa menit sampai lebih

dari 24 jam setelah menderita sakit. Pada kasus kematian medadak harus

dipikirkan kemungkinan penyakit, kekerasan, keracunan, yang kadang-kadang

sulit dibedakan. Contohnya:1

159
1. Orang yang meninggal karena varices esophagus yang pecah, oleh karena

sirosis hepatis, etiologinya dapat : wajar oleh karena hepatitis infection,

chronic alkoholisme, racun.

2. Orang yang meninggal oleh karena apoflexi cerebri ternyata juga

ditemukan trauma kepala. Orang tersebut dapat mengalami apoflexi

cerebri kemudian jatuh sehingga mengalami trauma kepala atau orang

tersebut mengalami trauma kepala lebih dulu kemudian tekanan darah

naik dan mengalami apoplexia cerebri.

Contoh-contoh lain kasus kematian mendadak antara lain:1

1. Seorang pria, 28 tahun ditemukan meninggal dalam mobilnya. Pada otopsi

ditemukan adanya perdarahan cerebral yang luas. Juga ditemukian gross

emfisema bersamaan bronchiectasis bilateral dan cor pulmonale.

Perbesaran arteri dan cabang-cabangnya menunjukkan adanya perubahan

degenerasi dan obstruksi parsial oleh thrombus. Tidak ditemukan adanya

bukti baik secara klinik maupun patologi adanya hipertensi kronik.

2. Seorang pria, 85 tahun ditemukan meninggal di kamar hotel. Pada otopsi

telah ditemukan adanya intrapericardial hemorrhage yang ditimbulkan

karena rupture pada aorta tepat di atas katub. Pada kepala ditemukan

perdarahan intracerebral massif, hal ini menandakan adanya perdarahan

pada dua tempat secara bersamaan. Terdapat bukti adanya kardiomiopati

hipertensif derajat sedang, Pada pemeriksaan histologist bukti adanya

menunjukkan perubahan pembuluh darah, hipertensi ringan dan tidak ada

tanda-tanda hipertensi maligna.

160
3. Seorang Indian mengeluh nyeri abdomen dan dokter bedah memutuskan

untuk melakukan laparotomi. Kemudian 15 menit sebelum dianestesi,

pasien memuntahkan seekor cacing dan tiba-tiba meninggal di meja

operasi. Pada otopsi ditemukan adanya investasi massif strongyloides

stercoralis pada usus halus, dan juga pada paru. Ada sedikit keraguan

tentang nyeri abdomen menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing tadi

dan larva pada paru yang menyebabkan edema paru. Anestesi inhalsi

nampaknya dapat bereaksi sebagai iritan pada nematode. Seharusnya apda

pasien yang menderita infeksi oleh nematode harus diterapi dahulu

sebelum dilakukan prosedur anestesi.

4. Kematian mendadak pernah dilaporkan pada seorang wanita, 68 tahun

yang mati mendadak di rumah dalam posisi terduduk. Dari hasil otopsi

ditemukan kista larynx pada kelenjar bsekretorik di atas pita suara, yang

menyebabkan sumbatan glottis dan menyebabkan asfiksia.

5. Kasus yang lain antara lain:1

- Atlit yang sehat, tiba-tiba dalam pertandingannya jatuh dan meninggal

- Bayi digendong ibunya lalu tiba-tiba meninggal

- Seorang sedang bermain tenis, tiba-tiba meninggal di lapangan

- Laki-laki umur 53 tahun, meninggal dipelukan wanita 18 tahun

- Seorang sopir ditemukan meninggal di dalam mobilnya

- Seorang pejabat ditemukan meninggal di dalam ruang kerjanya

- Seorang pembantu RT, sedang melihat TV tiba-tiba jatuh dan

meninggal dunia.

161
Cara menangani kematian mendadak:1

1. Keterangan dari korban dikumpulkan baik dari keluarga, teman-teman,

polisi dan saksi-saksi yang meliputi :

a. Usia

b. Penyakit yang pernah diderita

c. Kesehatan akhir-akhir ini, apa telah berobat dan dimana serta

bagaimana hasil laboratoriumnya.

d. Tingkah laku yang aneh.

2. Hal ikhwal sekitar kematian, apakah ada hal-hal yang mencurigakan,

misalnya:

a. Makan soto kemudian meninggal

b. Habis bertengkar dengan seseorang kemudian meninggal

c. Apakah pernah kedatangan tamu

3. Keadaan sekitar korban bagaimana.

a. Teratur atau berantakan

b. Kamar terkunci dari dalam atau tidak

c. Apakah ditemukan barang-barang yang mencurigakan

4. Apakah korban tersebut diasuransikan.

5. Pada pemeriksaan luar, apakah ditemukan tanda-tanda kekerasan atau

hal-hal lain yang mencurigakan.

Dari hasil pemeriksaan korban tersebut, maka kemungkinannya adalah:1

162
1. Korban meninggal secara wajar, dan sebab kematian jelas misalnya;

coronary heart disease, maka selanjutnya diberi surat kematian untuk

dimakamkan.

2. Sebab kematian tidak jelas, maka keluarga atau dokter lapor ke polisi

kemudian polisi meminta visum et repertum. Setelah SPVR datang

maka korban diotopsi untuk menenrukan sebab kematian.

3. Korban meninggal secara tidak wajar, misalnya ditemukan adanya tnda-

tanda kekerasan, maka keluarga atau dokter lapor ke polisi.

4. Korban diduga meninggal secara wajar, misalnya CVA tetapi juga

ditemukan tanda-tanda kekerasan, maka keluarga atau dokter lapor

polisi.

B. PREVALENSI KEMATIAN MENDADAK

Kematian mendadak terjadi empat kali lebih sering pada laki-laki

dibandingkan pada perempuan. Penyakit pada jantung dan pembuluh darah

menduduki urutan pertama dalam penyebab kematian mendadak, dan sesuai

dengan kecenderungan kematian kematian mendadak pada laki-laki yang lebih

besar, penyakit jantung dan pembuluh darah juga memiliki kecenderungan

serupa. Penyakit jantung dan pembuluh darah secara umum menyerang laki-

laki lebih sering dibanding perempuan dengan perbandingan 7 :1 sebelum

menopause, dan menjadi 1 : 1 setelah perempuan menopause. Di

Indonesia,seperti yang dilaporkan Badan Litbang Departemen Kesehatan RI,

163
persentase kematian akibat penyakit ini meningkat dari 5,9% (1975) menjadi

9,1% (1981), 16,0% (1986) dan 19,0% (1995).5,6

Tahun 1997 -2003 di Jepang dilakukan penelitian pada 1446 kematian

pada kecelakaan lalu lintasdan dari autopsi pada korban kecelakaan lalu lintas

di Dokkyo University dikonfirmasikan bahwa 130kasus dari 1446 kasus tadi

penyebab kematiannya digolongkan dalam kematian mendadak, bukankarena

trauma akibat kecelakaan lalu lintas.7

C. PENYEBAB KEMATIAN MENDADAK

1. SISTEM KARDIOVASKULER

Kematian mendadak yang terkait sistim kardiovaskuler merupakan

kasus terbanyak (44,0% dari 2030 kasus otopsi kematian mendadak).

Kematian mendadak yang berkaitan dengan sistim kardiovaskuler yaitu :

penyakit oklusi arteri koroner, lesi pada miokard, katub jantung,

endokardium dan pericardium, penyakit jantung congenital, lesi pada

aorta.1,2

1.a. Kelompok penyakit oklusi arteri koroner terdiri dari:1

a. Arterioskelorosis koroner yang progresif, di mana terjadi

penyempitanj atau penyumbatan dari lumen , berhubungan atau

tidak dengan kerusakan miokard seperti fibrosis atau infark

lama/baru.

b. Arteriosklerosis koroner yang diakibatkaan oleh thrombosis arteri

koroner baik baru maupun lama. Infark miokard, fibrosis miokard,

164
aneurisma ventrikuler, rupture dari miokard atau aneurisma yang

mengakibatkan kematian perdarahan intraperikard dan tamponade

jantung.

c. Emboli arteri koroner (jarang), yang berasal dari thrombus atau

plaque ateroma, atau pada katub aorta, yang dapat menyebabkan

kematian mendadak.

d. Stenosis ostium arteri koroner yang berhubungan dengan aortitis

sifilis kronis.

e. Arteriosklerosis koroner dengan perdarahan pada plaque ateroma

yang melintasi lumen dan dapat menyebabkan thrombosis,

rupture plaque ateroma lunak yang dapat menyebabkan terjadinya

thrombosis.

f. Ruptur aneurisma dissecting secara spontan dengan penekanan

lumen arteri koroner.

g. Anomali arteri koroner (jarang).

1.b. Lesi pada miokard, katub jantung, endokardium dan

pericardium:1

a. Miokarditis toksik akut atau subakut yang menyertai difteri, infeksi

dan trichimosis. Manifestasi klinis dari miokarditis akut dapat

menyebabkan kegagalan jantung kongestif sampai terjadi kematian

mendadak. Secara gross penampakan jantung bisa normal, pucat

dan dilatasi ruang jantung.

b. Tuberkulosis atau sifilis miokard (jarang)

165
c. Fibrosis miokard yang menyertai miokarditis

d. Infark miokard dengan atau tanpa fibrosis atau aneurisma, oklusi

arteri koroner, rupture muskulus papillare yang infark

e. Ruptur spontan dari infark miokard atau aneurisme dengan

hemoperikardium

f. Ruptur spontan dari fatty heart

g. Hipertrofi ventrikel kiri akibat hipertensi arterial karena penyakit

ginjal

h. Hipertrofi ventrikel kiri yang berhubungan dengan penyakit katub

aorta, khususnya stenosis aorta.

i. Kor pulmonal : hipertrofi ventrikel kanan yang berhubungan

dengan penyakit paru menahun seperti pneumoconiosis atau

emfisema

j. Hipertrofi jantuing yang berhubungan dengan hipertiroid

k. Endokarditis bacterial akut atau subakut

l. Stenosis katub mitral, post rheumatic

m. Stenois aorta, post rheumatic atau aortitis sifilis

n. Insufisiensi aorta, post rheumatic atau aortitis sifilis

o. Trombosis mural pada aurikula atau ventrikel dengan emboli,

seperti ball valve thrombus di aurikula kiri yang menutup orifisium

atau menyebabkan stenosis katub mitral, atau thrombus pada

ventrikel kiri yang berhubungan dengan infark miokard atau

fibrosis yang mengakibatkan emboli arteri cerebral.

166
p. Perikarditis : sepsis, rheumatic atau tuberculosis.

1.c. Lesi pada aorta, terdiri dari:1

a. Ruptur spontan pada ascending aorta (non sifilis) dengan

perdarahan intrapericard dan tamponade jantung, rupture yang lengkap

atau tidak lengkap dengan pembentukan aneurisma dissecting dan

menyusul rupture aorta ke dalam perikard, tapi biasanya ke dalam

ruang pleura, rupture spontan aorta yang biasanya berhubungan

dengan coartation aorta sering disertai dengan hipertensi.

b. Aortitis sifilis yang mengakibatkan stenoisi ostium arteri koroner,

insufisiensi aorta dengan hipertrofi ventrikel kiri, aneurisma aorta,

single atau multiple, dengan rupture spontan dan perdarahan ruang

perikard, ruang pleura, bronkus, esophagus, keluar melewati

dinding dada, secara subkutan ke leher menyebabkan asfiksis

dengan penekanan pada trakea.

c. Aneurisma aorta abdominalis akibat aterosklerosis, rupture dan

perdarahan ke dalam jaringan retroperitoneal.

d. Trombosis oklusi aorta abdominalis akibat aterosklerosis.

e. Trombosis mural pada plaque ateromatus dengan emboli dan infark

mesenterika.

2. SISTEM PERNAFASAN

Menurut Gonzales et al, laporan tahun 1973 menyatakan kematian

tak terduga yang diakibatkan kelainan system pernapasan mencapai 23,1%

167
dari seluruh kasus kematian tak terduga. Dari sekian banyak tersebut,

dapat dikelompokkan menjadi 4 garis besar yaitu:1,2

a. Asfiksia :1

- Asma bronchial

- Emboli paru

- Laringitis difteri

- Oedema laryngeal akut pada infeksi atau neoplasma faring/laring.

b. Perdarahan saluran saluran napas :1

- Tuberkulosis paru dengan kavitas

- Neoplasma bronkus

- Bronkiektasis

- Abses paru

- Pneumothorax :

 Ruptur spontan pada tuberculosis kaverne

 Ruptur pada bulla emfisematus

c. Infeksi paru :1

- Lobar pneumoni

- Tuberkulosis

- Bronkiektasis

- Abses paru

- Kiste parasitic

- Schistostomiasis

168
3. SISTEM SARAF PUSAT

Kematian dari sistem organ ini (otak dan selaput otak) menmcapai

17,9% dari kematian mendadak yang ditemukan pada otopsi. Adapun

penyakit-penyakit dari organ ini yang menimbulkan kematian mendadak

antara lain :1,2

a. Perdarahan serebral spontan

Perdarahan ini mnyebabkan kematian tak terduga tertinggi

mencapai 9,4% dari kasus otopsi. Perdarahan terjadi biasanya di daerah

basal ganglia karena pecahnya arteri lentikulostriata dan biasanya penyakit

yang mendasari adalah aterosklerosis cerebral atau hiperetensi. Kematian

biasanya tidak terjadi seketika tapi biasanya diawali pada keadaan koma

sampai diagnosis dapat ditegakkan. Perdarahan ini lebih sering menyerang

umur pertengahan atau lebih tua. Secara klinis perdarahan intrasererbral

spontan sering dikelirukan dengan perdarahan intracranial berhubungan

dengan trauma atau tanda-tanda kekerasan.1

b. Perdarahan spontan pons dan serebellum

Perdarahan ini terjadi biasanya akibat pecahnya aneurisma pada

arteri sereberal tapi hal ini sering tak dapat dibuktikan. Beberapa

perdarahan pontin menghasilkan hiperpireksis atau peningkatan suhu

tubuh, pupil menjadi miosis dan kondis seperti ini sering dikelirukan

dengan keracunan akibat morfin.1

169
Dari hasil otopsi perdarahan pons ini tidak dapat terlihat karena

pons tidak dapat dibuka. Perdarahan ini dapat menyebabkan kematian

yang cepat karena terjadi penekanan pada batang otak.1

c. Perdarahan subaraknoid

Perdarahan ini biasanya penting sebagai penyebab kematian

mendadak dan tak terduga. Perdarahan ini mencapai 4,7% dari total kasus

yang diotopsi dan merupakan 29% dari kelompok kasus penyakit otak dan

selaput otak.1

Penyebab kematian dari kasus bini adalah pecahnya aneurisma

pada arteri serbral, lebih sering terjadi pada cabang-cabang sirkulus

willisi.1

d. Perdarahan serebral multiple

Perdarahan serebral yang berakibat fatal, kadang-kadang

merupakan perdarahan yang multiple. Perdarahan seperti ini sering didapat

pada seseorang yang menderita leukemia kronis.1

e. Perdarahan pachy-meningitis interna

Perdarahan ini berkembang cepat dan prograsif sehingga penyebab

kematian adalah akibat penekanan serebral.

f. Trombosis dan emboli serebral

Walau thrombosis tidak begitu umum mengakibatkan kematian

mendadak, namun thrombosis ini sering terjadi pada seseorang yang

menderita aterosklerosis serebral, dan komplikasi penyakit yang lain yang

dapat menyebabkan kematian mendadak.. Kasus ini terjadi biasanya

170
bertahap dan penderita biasanya mengetahui akibat dari penyakitnya.

Trombosis serebral biasanya mengenai serebral media, basiler atau arteri

vertebral. Trombosis serebral spontan dan infark serebral tidak sulit

ditemukan pada otopsi. Selama otopsi berlangsung harus hati-hati agar

thrombus dalam aurikula atau ventrikel jantung atau dalam aorta

ascending dan cabang-cabangnya dapat ditemukan. Trombus juga bisa

menyumbat arteri di otak, yang berasal dari thrombosis di ventrikel kiri.1

g. Kista koloid dan parasit

Penekanan serebral yang lama dan tersembunyi dapat diakibatkan

karena infeksi yang lama, seperti cyscercus cellulose yang membendung

cairan serebro spinal (CSF) pada ventrikel IV, di mana akibat yang timbul

mirip dengan penekanan akibat terjadinya pembuntuan foramen munro.1

h. Intrakranial neoplasma

Tumor pada kepala, pembesarannya terjadi secara perlahan-lahan

sehingga menimbulkan gejala yang tidak khas, tiba-tiba berakibat fatal

akibat penekanan serebral. Jenis yang tersering adalah glioma primer,

meningioma pada duramater yang menyebabkan penekanan penekanan

pada permukaan otak.1

Kadang-kadang proses metastase pada otak menyebabkan

kematian tak terduga, di mana tumor primernya berada jauh seperti tumor

bronkus atau chorio-epitelioma. Pada otopsi sering ditemukan glioma pada

kedua lobus frontal yang menyebabkan penekanan yang fatal.1

171
i. Abses otak, polioensefalitis dan meningitis

Abses otak yang sering akibat komplikasi dari otitis media kronik

dan mastoiditis dapat berkembang menjadi lebih parah dan dapat

menyebabkan kematian dengan cepat akibat penekanan pada serebral.

Polioensefalitis akut dan ensefalitis juga sering menyebabkan kematian

mendadak. Kasus-kasus lain yang menyebabkan kematian tak terduga

adalah leptomeningitis supurativa dan sepsis meningokokus fulminan.1

j. Infeksi sifilis

Sifilis leptomeningitis kronik ditandai dengan infiltrasi sel radang

dalam selaput piaaraknoid yang terlihat jelas di bawah permukaan pons

dan sekitar sirkulus wilisi.1

4. SISTEM PENCERNAAN

Menurut Gonzales, 1954 dilaporkan sistem pencernaan merupakan

9,7% dari kasus kematian yang tidak terduga. Yang menyebabkan

kematian mendadak yaitu:1

a. Perdarahan gastro intestinal tract:1

- Karsinoma lidah

- Karsinoma esophagus

b. Perdarahan intra abdominal:1

- Rupture spontan dari carcinoma liver

- Ruptur pada kehamilan ectopic

- Ruptur spontan dari pembesaran lien (malaria, thypoid fever)

172
- Varices esophagus

c. Shock:1

- Obstruksi dari usus : volvulus, intususception, hernia incarserata

- Acut pancreatitis

- Batu dalam saluran empedu

- Kista ovarium atau fibromyoma uteri yang terpuntir

d. Peritonitis:1

- Ruptur intestine

- Perforasi peptic ulcer dari stomach atau duodenum

- Perforasi carcinoma intestine

5. SISTEM UROGENITAL

Kelainan pada urogenital jarang menyebabkan kematian

mendadak. Dari sebuah laporan di New York, disebutkan sekitar 1,9%

akibat kelainan saluran kencing dan 1,3% akibat kelainan genital.

Kematian mendadak karena sistim ini lebih sering terjadi pada wanita

disbanding laki-laki. Kelainan UG tract yang bisa menyebabkan kematian

mendadak antara lain:1,2

a. Kehamilan ekstra uterin yang mengalami rupture sehingga

menyebabkan perdarahan intraperitoneal yang massif.

b. Ruptur uterus, miofibroma subserosa, solution plasenta, abortus

yang menyebabkan perdarahan massif.

173
c. Miofibroma yang besar yang menyebabkan emboli paru karena

statis thrombosis vena pelvis.

d. Karsinoma vulva yang mengenai pembuluh darah femoralis yang

menyebabkan perdarahan massif.

e. Toksemia gravidarum (eclamtic toxemia) yang terjadi dengan

cepat dan tanpa gejala pada akhir kehamilan, terutama bila disertai

konvulsi yang hebat.

f. Ruptur spontan kandung kencing yang bisa terjadi pada striktur

uretra, hipertrofi prostat yang menyebabkan obstruksi, kelemahan

dinding kandung kencing karena kanker. Kematian mendadak pada

kelainan ini pada umumnya karena peritonitis atau syok.

g. Kelainan-kelainan yang terjadi pada ginjal seperti nefritis,

nefrolitiasis, TBC ginjal, kanker ginjal, hidronefrosis biasanya

karena terjadinya uremia.

6. SEBAB-SEBAB LAIN

Kematian –kematian mendadak dapat juga diakibatkan karena

sebab lain yaitu sekitar 4,4% beberapa keadaan atau kelainan tersebut

antara lain:1

a. Addison’s disease, yang disebabkan karena kerusakan kelenjar

adrenal, gejal seperti keracunan makanana atau bahan kimia.

b. Kelainan darah, seperti leukemia, hemophilia bisa

menyebabkan kematian mendadak karena komplikasi yang

174
ditimbulkan, misalnya perdarahan pada otak, edem paru,

hipertrofi jantung yang menyebabkan gagal jantung.

c. Kelainan metabolic, misalnya diabetes mellitus yang

mengalami koma asidosis, hiperinsulinisme karena tumor

Langerhan’s, hemokromatosis yang menyebabkan fibrosis pada

otak, jantung yang bisa menyebabkan gagal jantung.

d. Status limfatikus, mekanisme terjadinya belum jelas, menurut

sjemer: disebabkan oleh reaksi anafilaksis karena sensitisasi

pusat neurotic germinal dari kelenjar yang mengalami

hiperplasi dan pelepasan nucleoprotein yang bisa terjadi

spontan amupun karena faktor-faktor dari luar seperti

antitoksin, tenggelam dalam air dingin.

7. ANAK-ANAK1

a. Congenital anomalies

b. Infectious disease

c. Convultion dengan asphyxia

d. Deficiency disease : Rickets

e. Crib death syndrome (cot death)

D. CORONARY ARTERY DISEASE

175
Arteriosclerosis arteri coronaria merupakan sebaba kematian

terbanyak dari penyekit cardio vascular system (67%). Arteri coronaria atau

cabangnya dapat buntu total atau buntu sebagian sehingga jumlah darah yang

menuju myocardium tidak cukup sehingga korban dapat meninggal

mendadak. Berapa % pembuntuan arteri coronaria untuk dapat menyebabkan

kematian belum ada data yang pasti. Umur lebih kurang 40 tahun, kadang-

kadang cepat, juga pada dewasa muda.1

Arteriosclerosis arteri coronaria ada 2 macam :1

1. Tanpa thrombus : 75%

Yang menyebabkan darah pada myocardium tidak cukup ialah

penyempitan lumen atau penutupan total dari salah satu atau kedua

cabang arteri coronaria. Pada otopsi ditemukan :1

a. Myocardial fibrosis : 50%

b. Fibrosis tidak ditemukan : 45%

c. Myocardial infarction : 4%

2. Dengan thrombus : 25%

Kadang-kadang pada sclerosis yang sudah lanjut ditemukan

thrombus yang lama dan subintimal hemorrhage. Pada otopsi ditemukan :

a. Myocardial infarction : 75% yang dapat disertai fibrosis (50%) atau

tanpa disertai fibrosis (50%)

b. Tidak ditemukan kelainan.

Kadang-kadang pada kasus arteriosclerosis yang berat ditemukan

gejala-gejala angina pectoris tanpa ditemukan kelainan-kelaian pada otot-

176
otot jantung, tetapi kadang-kadang myocardium mengalami infarct dan

denyut jantung berhenti. Keadaan-keadaan yang mempengaruhi

terjadinya myocardial infarction :

a. Kegiatan fisik

b. Rangsangan emosi

Keadaan-keadaan tersebut menyebabkan terjadinya beban

myocardium bertambah, sedangkan arteri coronaria sendiri karena sudah

menyempit, maka tidak dapat menambah permintaan tersebut.

E. SPONTANEOUS CEREBRAL HEMORRHAGE (CEREBRAL

APOLEXY)

Umur lebih kurang 40 tahun. Cerebral apoplexy biasanya didahului

oleh cerebral arteriosclerosis dan arterial hypertension yang kemudian

diikuti pecahnya lenticulostriate artery. Lokalisasi perdarahan paling

sering basal ganglia, jarang pada pons dan cerebellum. Korban biasanya

tidak meninggal dengan tiba-tiba tetapi didahului koma sebelum

meninggal.1

Perdarahan intra cerebral, harus dibedakan antara spontan dan traumatik :1

No. Pembeda Spontaneous Traumatic hemorrhage


hemorrhage
1. Lokalisasi Basal ganglia Di semua tempat
2. Trauma kepala Tidak ada Ada
3. Hypertensi Ada Tidak ada

177
Perlu diperhatikan adanya trauma pada kepala dapat menyebabkan

korban yang menderita hypertensi, tekanan darah tambah meningkat

sehingga dapat menimbulkan spontaneous cerebral hemorrhage. Harus

dibedakan: adanya trauma menyebabkan tensi naik yang menyebabkan

cerebral apoplexy atau karena korban tensinya naik sehingga jatuh karena

cerebral apoplexy.1

F. SPONTANEOUS SUBARACHNOID HEMORRHAGE

Umur paling muda yang terkena spontaneous subarachnoid

hemorrhage disebabkan oleh karena rupture aneurysma cerebral artery

sebenarnya congenital, memang dinding artery sudah lemah, dan dengan

bertambahnya umur maka aneurysma makin berkembang.Spontaneous

subarachnoid hemorrhage harus dibedakan dengan traumatic subarachnoid

hemorrhage yaitu :1

No. Pembeda Spontaneous Traumatic


hemorrhage hemorrhage
1. Trauma kepala Tidak ada Ada
2. Ruptur Aneurysma Ada Tidak ada
3. Perdarahan Diffuse Tergantung trauma

Oleh karena perdarahan diffuse, maka akumulasi darah yang cepat di

bawah permukaan otak dan meluas sepanjang fissure of Sylvius dank e dalam

cistern magna dan ventrikel IV. Korban meninggal dengan cepat oleh karena

pusat-pusat vital di medulla tertekan.

178
G. SPONTANEOUS SUBDURAL HEMORRHAGE

Keadaan ini terjadi secara :1

1. Spontan subarachnoid hemorrhage menjadi besar dan merobek arachnoid

hingga subdural terisi darah, kadang-kadang sulit dibedakan dengan

traumatic subdural hemorrhage.

2. Rupture dari aneurysma arteri carotis interna, menimbulkan subdural

hemorrhage tanpa subarachnoid hemorrhage.

Adapun perbedaan antara spontan hemmorage dan traumatic adalah

sebagai berikut :1

No. Pembeda Spontaneous hemorrage Traumatic


hemorrhage
1. Trauma kepala Tidak ada Ada
2. Aneurysma Ada Tidak ada
3. Rupture sinuses Aneurysma a. carotis interna Perforating
veins, venous
sinuses

H. STATUS LYMPHATICUS

Ada 2 pendapat :1

1. Pada otopsi korban dewasa muda dan anak-anak yang meninggal

mendadak tidak ditemukan kelainan-kalainan anatomi yang

menyebabkan kematian, kecuali adanya kelenjar limfa yang

membesar. Maka menurut pendapat pertama tersebut, sebab kematian

korban adalah Status lymfatikus.

2. Status lymfatikus merupakan variasi morfologis yang normal, bukan

merupakan kelainan pathologis yang menyebabkan kematian, tetapi

179
sarjana yang mempunyai pendapat kedua tersebut meskipun sudah

melakukan penyelidikan yang intensif juga tidak ditemukan sebab

kematian yang lain.

Kesimpulan : Status Lymfatikus masih dianggap sebagai salah

sebab kematian. Mekanisme terjadinya kematian mendadak pada status

lymfatikus belum jelas. Menurut sjmmers, dapat sebagian hasil

anaphylaction reaction oleh karena :1

- Sensitisasi oleh necrotic germinal centers dari kelenjar yang

hyperplastic.

- Pelepasan nucleoprotein.

Kejadian tersebut dapat terjadi spontan atau karena faktor-faktor

dari luar antara lain: injeksi antitoxin, tusuk jarum, menyelam ke dalam air

dingin.

Pemeriksaan luar:1

a. Perkembangan individu normal

b. Pertumbuhan badan normal

c. Thorax ramping

d. Otot-otot kaki bulat

e. Kulit bersih dan licin

f. Pada laki-laki : kumis, janggut, rambut ketiak dan rambut pubis

sedikit (seperti pada wanita)

Pemeriksaan dalam:1

180
a. Thymus membesar dan hyperplasia yang semestinya umur 30

tahun sudah hilang

b. Kelenjar lymfa dari spleen, GI tract, tonsil, lidah dan lymfonodes

dari mesenterium hyperplasia

c. Cardiovascular system hypoplasia : jantung kecil, aorta mengecil

dan lumennya menyempit, arteri terutama di otak dindingnya

menipis dan menyempit

d. Adrenal glands tipis dan hypoplastic

e. Alat kelamin perkembangannya terlambat

I. CRIB DEATH SYNDROME (COT DEATH) = SUDDEN DEATH

SYNDROME

Crib death syndrome ialah kematian mendadak pada bayi yang

khas di dahului sakit ringan antara lain : pilek, batuk, gangguan saluran

pencernaan makanan ringan, kemudian tiba-tiba jatuh ke dalam keadaan

cukup berat dan diakhiri dengan kematian.1

Etiologi : 6 bulan pertama (2-4 bulan)

Kelamin : laki-laki lebih sering daripada wanita

Sering didapatkan pada golongan social ekonomi rendah, dapat oleh

karena bayi kurang terawatt, bayi premature, orang tua muda, family besar,

kehamilan kembar, dll.1

Faktor-faktor yang mempengaruhi :1

1. Suffocation dengan pakaian tidur, bantal

181
2. Status thymolymfaticus

3. Bacterial infection

4. Hypogamma globulinemia

5. Metabolic disorders

6. Anaphylactic shock

Gejala-gejala yang mendahului antara lain :1

- 40% tanpa gejala yang mendahului

- 40% didahului gejala infeksi saluran pernapasan

- 20% didahului gejala gangguan saluran pencernaan.

Kelainan pathologis :1

1. Paru-paru : lebih berat, warna permukaan berbintik-bintik atau

berwarna agak ungu, konsistensi agak keras pada daerah yang tidak

berwarna, kongesti dan edema ringan dari jaringan paru

2. Bintik-bintik perdarahan pada permukaan paru, jantung, kelnjar

thymus

3. Pada bokong didapatkan rash

4. Mikroskopik : paru-paru kongestif, patchy edema,alveoli kolaps,

dinding alveoli menebal dengan infiltrasi limfosit, netrofil dan

monosit. Alveolar kadang-kadang terisi makrofag

5. Kultur darah : (-), lung tissue culture : (-) atau ada kuma pathogen.

J. TINDAKAN PADA KASUS KEMATIAN MENDADAK

182
Setiap kematian mendadak harus diperlakukan sebagai kematian

yang tidak wajar, sebelum dapat dibuktikan bahwa tidak ada bukti-bukti

yang mendukungnya. Dengan demikian dalam penyelidikan kedokteran

forensik pada kematian mendadak atau terlihat seperti wajar, alasan yang

sangat penting dalam otopsi adalah menentukan apakah terdapat tindak

kejahatan. Dari sudut kedokteran forensik, tujuan utama pemeriksaan

kasus kematian mendadak adalah menentukan cara kematian korban.1

Pemeriksaan kasus kematian mendadak perlu beberapa alasan anatara lain

:1

1. Menentukan adakah peran tindak kejahatan pada kasus tersebut

2. Kalim pada asuransi

3. Menentukan apakah kematian tersebut karena penyakit akibat industry

atau merupakan kecelakaan belaka, terutama pada pekerja industry.

4. Adakah faktor keracunan yang berperan

5. Mendeteksi epidemiologi penyakit untuk pelayanan kesehatan

masyarakat.

Pada kasus kematian yang terjadi seketika atau tidak terduga,

khususnya bila tak ada tanda-tanda penyakit sebelumnya dan kemungkinan

sangat kecil, untuk menetukan penyebabnya hanya ada satu cara yaitu

dilakukannya pemeriksaan otopsi pada jenazah, bila perlu dilengkapi

dengan pemeriksaan tambahan lain seperti pemeriksaan toksikologi. Hal

ini sangat penting untuk menentukan apakah termasuk kematian mendadak

yang wajar. Adapun kepentingan otopsi antara lain :1

183
1. Untuk keluarga korban, dapat menjelaskan sebab kematian

2. Untuk kepentingan umum, melindungi yang lain agar dapat terhindar

dari penyebab kematian yang sama.

Penentuan kasus kematian adalah berdasarkan proses interpretasi yang

meliputi :1

1. Perubahan patologi anatomi, bakteriologi dan kimia

2. Pemilihan lesi yang fatal pada korban.

Pada kasus kematian mendadak yang sering kita hadapi, tindakan yang

mampu dilakukan pada kematian mendadak adalah :1

1. Semua keterangan almarhum dikumpulkan baik dari keluarga, teman,

polisis, atau saksi-saksi, yang meliputi : usia, penyakit yang pernah

diderita, pernah berobat di mana, hasil pemeriksaan laboratorium,

tingkah laku yang aneh, dll

2. Keadaan korban dan sekitar korban saat ditemukan, pakaian yang

ditemukan, tanda-tanda kekerasan atau luka, posisi tubuh,

temperature, lebam mayat, situasi TKP rapi atau berantakan, adanya

barang-barang mencurigakan

3. Keadaan sebelum korban meninggal

4. Bila sebab kematian tidak pasti, sarankan kepada keluarga untuk

melapor kepada polisi, jika polisi tidak meminta visum et repertum

dapat diberi surat kematian

5. Dalam mengisi formulir B, pada sebab kematian bila tidak diketahui

sebab kematiannya ditulis tidak diketahui atau mati mendadak

184
6. Bila dilakukan pemeriksaan dalam, buat preparat histopatologi bagian

organ-organ tertentu diperiksa dan pemeriksaan toksikologi

7. Sebaiknya jangan menandatangani surat kematian tanpa memeriksa

korban, jangan menyentuh apapun terutama yang dipakai sebagai

barang bukti.

Dari hasil pemeriksaan kemungkinan :1

1. Korban meninggal secara wajr dan sebab kematian jelas, misalnya

coronay heart disease, maka diberi surat kematian dan dikuburkan

2. Sebab kematian tidak jelas, keluarga/dokter lapor ke polisi, kemudian

polisi minta visum et repertum, setelah SPVR dating maka korban

diotopsi untuk menetukan sebab kem,kmatian korban

3. Korban meninggal secara tidak wajar, misalnya ditemukan adanya

tanda-tanda kekerasan, maka keluarga atau dokter lapor ke polisi

4. Korban diduga meninggal secara wajar, misalnya CVA tetapi juga

ditemukan tanda-tanda kekerasan, maka keluarga atau dokter lapor ke

polisi

185
BAB III

PENUTUP

Kematian mendadak meliputi kematian seketika, kematian tak terduga dan

kematian tanpa saksi atau sebab kematian yang tidak jelas. Penyebab kematian

mendadak dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok menurut sistem

dalam tubuh, di mana kelompok penyakit sistem kardiovaskuler, sistem

pernapasan, sistem saraf, sistem pencernaan, sistem saluran kencing, sistem

genital dan sebab lain.

Kematian mendadak dalam aspek forensik selalu dianggap tidak wajar

sampai dibuktikan merupakan kematian wajar. Untuk menetukan sebab

kematian, perlu dilakukan otopsi dan dilengkapi dengan pemeriksaan penunjang

lainnya. Dengan demikian dalam penyelidikan kedokteran forensik pada

kematian mendadak, alasan yang sangat penting dilaksanakannya otopsi adalah

menentukan apakah terdapat tindak kejahatan. Dari sudut kedokteran forensik,

tujuan utama pemeriksaan kasus kematian mendadak adalah menentukan cara

kematian korban.

186
DAFTAR PUSTAKA

1. Mutahal, Hariadi A. 2007. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.


Edisi Ketiga. Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

2. Idries AM. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama.


Jakarta: Binarupa Aksara.

3. Knight B. 1997. Simpson’s Forensic Medicine. Eleventh Edition. New


York: Arnold.

4. Di Maio DJ, Di Maio VJM. 2000. Forensic Pathology. Florida: CRC


Press.

5. Gonzales TA, Vance M, Helpern M, Umberger CJ. 1954. Legal Medicine.


Pathology and toxicology. 2nd edition.New York: Appleton century croft.

6. Kusmana D. 2003. Kasiat teh dan kesehatan jantung. Jakarta : FKUI.

7. Motozawa Y, Yokoyama T, Hitosugi M, et all. Analysis of sudden natural


deaths while driving withforensic autopsy findings. Available from : http:
www-nrd.nhtsa.dot.gov/pdf/nrd-01/esv/esv19/05-0112-W.pdf.

187
AUTOPSI

BAB I

188
PENDAHULUAN

E. Latar Belakang

Ilmu kedokteran forensik adalah salah satu cabang spesialistik ilmu

kedokteran yang memanfaatkan ilmu kedokteran untuk membantu penegakan

hukum dan pemecahan masalah-masalah di bidang hukum. Ruang lingkup ilmu

kedokteran forensik berkembang dari waktu ke waktu. Dari semula hanya pada

kematian korban kejahatan, kematian tak diharapkan dan tak diduga, mayat tak

dikenal, hingga para korban kejahatan yang masih hidup, atau bahkan kerangka,

jaringan dan bahan biologis yang diduga berasal dari manusia. Jenis perkaranya

pun meluas dari pembunuhan, penganiayaan, kejahatan seksual, kekerasan dalam

rumah tangga, child abuse and neglect, perselisihan pada perceraian, fraud dan

abuse pada perasuransian, hingga ke pelanggaran hak asasi manusia.1

Seorang dokter umum atau dokter forensik yang diminta untuk melakukan

autopsi demi kepentingan peradilan sudah seyogiyanya dapat membuat diagnosis

yang tepat.2 Autopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, meliputi

pemeriksaan terhadap bagian luar maupun bagian dalam, dengan tujuan

menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas

penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebabnya serta mencari

hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan

penyebab kematian.3

189
Pemeriksaan autopsi forensik harus dilakukan untuk memperoleh sebab

kematian yang pasti, yang kemudian dapat membawa ke kesimpulan tentang cara

kematiannya – apakah terdapat unsur kesengajaan. Pemeriksaan forensik juga

dapat digunakan untuk memastikan identitas korban apabila identitas korban

memang menjadi isu utama. Pemeriksaan autopsi dan identifikasi seringkali masih

dapat dilakukan dan memberikan hasil meskipun peristiwa telah lama terjadi atau

korban telah dimakamkan. Pemeriksaan forensik terhadap tempat kejadian

perkara juga dapat membantu mengungkap peristiwa yang melatar-belakangi

kematian seseorang.1

F. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan maka dalam

penulisan referat ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

6. Apakah pengertian dari autopsi?

7. Ada berapa jenis autopsi?

8. Apa saja persiapan sebelum otopsi?

9. Teknik apa yang dipakai dalam autopsi?

10. Bagaimana tata laksana autopsi?

11. Apa saja peralatan yang digunakan dalam autopsi?

12. Ada berapa cara autopsi?

13. Bagaimana perawatan mayat setelah autopsi?

G. Tujuan Penulisan

190
5. Mengetahui pengertian dari autopsi.

6. Mengetahui jenis-jenis autopsi.

7. Mengetahui dan memahami persiapan sebelum autopsi.

8. Mengetahui dan memahami teknik autopsi.

9. Mengetahui dan memahami tata laksana autopsi.

10. Mengetahui peralatan yang digunakan dalam autopsi.

11. Mengetahui dan memahami cara autopsi.

12. Mengetahui perawatan jenazahyat setelah autopsi.

13. Sebagai persyaratan ujian pada kepaniteraan klinik ilmu kedokteran

forensik dan medikolegal.

H. Manfaat Penulisan

6. Bagi Mahasiswa

 Sebagai bekal dalam menjalani profesi sebagai dokter muda.

7. Bagi Institusi Pendidikan

 Mengerti maksud dan tujuan dalam autopsi.

 Sebagai media pengabdian masyarakat terutama kasus-kasus yang

berkembang di masyarakat khususnya dalam bidang Kedokteran

Forensik dan Medikolegal.

8. Bagi Pengadilan

 Pentingnya autopsi bagi penyelesaian perkara pidana.

191
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

M. Definisi Autopsi

Autopsi berasal dari kata Auto = sendiri dan Opsis = melihat. Yang

dimaksudkan dengan autopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, meliputi

192
pemeriksaan terhadap bagian luar maupun bagian dalam, dengan tujuan

menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas

penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebabnya serta mencari

hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan

penyebab kematian. Jika pada pemeriksaan ditemukan beberapa jenis kelainan

bersama-sama, maka dilakukan penentuan kelainan mana yang turut mempunyai

andil dalam terjadinya kematian tersebut.3

N. Jenis-jenis Autopsi

Berdasarkan tujuannya dikenal tiga jenis Autopsi, yaitu Autopsi Anatomi,

Autopsi Klinik dan Autopsi Forensik/Autopsi Mediko-Legal.3,4

Otopsi anatomik adalah otopsi yang dilakukan untuk kepentingan

pendidikkan, yaitu untuk mempelajari susunan tubuh manusia, yang normal.

Pelaksanaan otopsi jenis ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 18 Th.1981

tentang bedah jenazah.4,5

Otopsi klinik adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara

pembedahan terhadap mayat untuk mengetahui dengan pasti penyakit atau

kelainan yang menjadi sebab kematian dan untuk penilaian hasil usaha pemulihan

kesehatan.4 Untuk Autopsi klinik ini mutlak diperlukan izin dari keluarga

terdekat mayat yang bersangkutan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal,

yang terbaik adalah melakukan Autopsi klinik lengkap, meliputi pembukaan

rongga tengkorak, dada dan perut/panggul, serta melakukan pemeriksaan terhadap

seluruh alat-alat dalam/rongga.3

193
Namun bila pihak keluarga berkeberataan untuk dilakukannya Autopsi klinik

lengkap, masih dapat diusahakan untuk melakukan Autopsi klinik parsial, yaitu

yang terbatas pada satu atau dua rongga badan tertentu. Apabila ini masih ditolak,

kiranya dapat diusahakan suatu needle necropsy terhadap organ tubuh tertentu,
3
untuk kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologik. Pelaksanaan otopsi ini

di atur dalam Peraturan Pemerintah No.18 Th. 1981, yang pada prinsipnya baru

boleh dilakukan sesudah ada izin dari kelurga terdekat atau jika sesudah 2 hari

tidak ada keluarga yang mengurusnya.5

Autopsi forensik atau Autopsi mediko-legal dilakukan terhadap mayat

seseorang berdasarkan peraturan undang-undang, dengan tujuan:3

a. Membantu dalam hal penentuan identitas mayat.

b. Menentukan sebab pasti kematian, memperkirakan cara kematian serta

memperkirakan saat kematian.

c. Mengumpulkan serta mengenali benda-benda bukti untuk penentuan

identitas benda penyebab serta identitas pelaku kejahatan.

d. Membuat laporan tertulis yang obyektif dan berdasarkan fakta dalam

bentuk visum et repertum.

e. Melindungi orang yang tidak bersalah dan membantu dalam penentuan

identitas serta penentuan terhadap orang yang bersalah.

Untuk melakukan Autopsi forensik ini, diperlukan suatu Surat Permintaan

Pemeriksaan/Pembuatan visum et repertum dari yang berwenang, dalam hal ini

pihak penyidik. Izin keluarga tidak diperlukan, bahkan apabila ada seseorang yang

194
menghalang-halangi dilakukannya autopsy forensik, yang bersangkutan dapat

dituntut berdasarkan undang-undang yang berlaku.3

Dalam melakukan Autopsi forensik, mutlak diperlukan pemeriksaan yang

lengkap, meliputi pemeriksaan tubuh bagian luar, pembukaan rongga tengkorak,

rongga dada dan rongga perut/panggul. Seringkali perlu pula dilakukan

pemeriksaan penunjang lainnya, antara lain pemeriksaan toksikologi forensik,

histopatologi forensik, serologi forensik dan sebagainya. Pemeriksaan yang tidak

lengkap, yaitu autopsi parsial atau needle necropsy dalam rangka pemeriskaan ini

tidak dapat dipertanggunga jawabkan, karena tidak akan dapat mencapai tujuan-

tujuan tersebut di atas.3

Autopsi forensik harus dilakukan oleh dokter, dan ini tidak dapat

diwakilkan kepada mantri atau perawat.3

Baik dalam melakukan Autopsi klinik maupun Autopsi forensik, ketelitian

yang maksimal harus diusahakan. Kelainan yang betapa kecil pun harus dicatat,

Autopsi sendiri harus dilakukan sidini mungkin, karena dengan lewatnya waktu,

pada tubuh mayat dapat terjadi perubahan yang mungkin akan menimbulkan

kesulitan dalam menginterpretasikan kelainan yang ditemukan.3

O. Persiapan sebelum Autopsi

Sebelum Autopsi dimulai, beberapa hal perlu mendapat perhatian: 3

a. Apakah surat-surat yang berkaitan dengan Autopsi yang akan dilakukan telah

lengkap.

195
Dalam hal Autopsi klinik, perhatian apakah surat izin Autopsi klinik telah

ditandatangani oleh keluarga terdekat dan yang bersangkutan. Perhatikan pula

jenis Autopsi yang diizinkan oleh pihak keluarga tersebut.

Dalam hal autopsi forensik, perhatikan apakah Surat Permintaan

Pemeriksaan/pembuatan Visum et Repertum telah ditandatangani oleh pihak

penyidik yang berwenang. Untuk Autopsi forensik, mutlak dilakukan

pemeriksaan lengkap yang meliputi pembukaan seluruh rongga tubuh dan

pemeriksaan seluruh organ.

b. Apakah mayat yang akan di-autopsi benar-benar adalah mayat yang

dimaksudkan dalam surat yang bersangkutan.

Dalam hal Autopsi forensik, maka perhatikanlah apakah terhadap mayat yang

akan diperiksa telah dilakukan identifikasi oleh pihak yang berwenang, berupa

penyegelan dengan label Polisi ini memuat antara lain nama, alamat, tanggal

kematian, tempat kematian dan sebagainya yang harus diteliti apakah sesuai

dengan data-data yang tertera dalam Surat Permintaan Pemeriksaan.

c. Kumpulkan keterangan yang berhubungan dengan terjadinya kematian

selengkap mungkin.

Pada kasus-kasus Autopsi klinik status riwayat penyakit dan pengobatan dapat

member petunjuk arah pemeriksaan yang akan dilakukan.

Pada kasus-kasus Autopsi forensik, informasi mengenai kejadian yang

mendahului kematian, keadaan pada Tempat Kejadian Perkara (TKP) dapat

memberi petunjuk bagi pemeriksaan, serta dapat membantu menentukan jenis

pemeriksaan khusus yang mungkin diperlukan.

196
Kurang atau tidak terdapatnya keterangan-keterangan tersebut di atas dapat

mengakibatkan terlewat atau hilangnya bukti-bukti yang penting, misalnya

saja tidak diambilnya cairan empedu, padahal korban kemudian ternyata

adalah seorang pecandu narkotika.

d. Periksalah apakah alat-alat yang diperlukan telah tersedia.

Untuk melakukan autopsi yang baik, tidaklah diperlukan alat-alat yang

“mewah”, namun tersedianya beberapa alat tambahan kiranya perlu mendapat

perhatian yang cukup. Adakah telah tersedia botol-botol terisi larutan

formalin yang diperlukan untuk pengawetan jaringan bagi pemeriksaan

histopatologik? Adakah botol-botol atau tabung-tabung reaksi untuk

pengambilan darah, isi lambung atau jaringan untuk pemeriksaan

toksikologik?.3

P. Teknik Autopsi

Hampir setiap Bagian Ilmu Kedokteran Forensik atau Bagian Patologi

Anatomi mempunyai teknik autopsi sendiri-sendiri, namun pada umumnya teknik

autopsi masing-masing hanya berbeda sedikit/ merupakan modifikasi dari 4 teknik

autopsi dasar. Perbedaan terutama dalam hal pengangkatan keluar organ baik

dalam hal urutan pengangkatan maupun jumlah/ kelompok organ yang

dikeluarkan pada satu saat, serta bidang pengirisan pada organ yang diperiksa.6

Teknik Virchow

Teknik ini mungkin merupakan teknik autposi yang tertua. Setelah

dilakukan pembukaan rongga tubuh, organ-organ dikeluarkan satu persatu dan

langsung diperiksa. Dengan demikian kelainan-kelainan yang terdapat pada

197
masing-masing organ dapat segera dilihat, namun hubungan anatomik antar

beberapa organ yang tergolong dalam satu sistem menjadi hilang. Dengan

demikian, teknik ini kurang baik bila digunakan pada autopsi forensik, terutama

pada kasus penembakan dengan senjata pai dan penusukan dengan senjata tajam,

yang perlu dilakukan penentuan saluran luka, arah, serta dalamnya penetrasi yang

terjadi.6

Teknik Rokitansky

Setelah rongga tubuh dibuka, organ dilihat dan diperiksa dengan

melakukan beberapa irisian in situ, baru kemudian seluruh organ-organ tersebut

dikeluarkan dalam kumpulan-kumpulan organ (en-bloc). Teknik ini jarang dipakai

karena tidak menunjukkan keunggulan yang nyata atas teknik lainnya. Teknik ini

pun tidak baik digunakan untuk autopsi forensik.6

Teknik Letulle

Setelah rongga dibuka, organ leher, dada, diafragma, dan perut

dikeluarkan sekaligus (en mase). Kepala diletakkan di atas meja dengan

permukaan posterior menghadap meja ke atas. Pleksus coeliacus dan kelenjar para

aorta diperiksa. Aorta dibuka sampai arkus aorta dan Aa. Renales kanan dan kiri

dibuka serta diperiksa.6

Aorta diputus di atas muara A. renalis. Rektum dipisahkan dari sigmoid.

Organ urogenital dipisahkan dari organ lain. Bagian proksimal jejunum diikat

pada dua tempat dan kemudian diputsu antara dua ikatan tersebut dan usus dapat

dilepaskan. Esophagus dilepaskan dari trakea, tetapi hubungannya dengan

198
lambung dipertahankan. Vena cava inferior serta aorta diputus di atas diafragma

dan demikian organ leher dan dada dapat dilepas dari organ perut.6

Dengan pengangkatan organ-organ di tubuh secara en mase ini, hubungan

antar organ tetap dipertahankan setelah seluruh organ dikeluarkan dari tubuh.

Kerugian teknik ini adalah sukar dilakukan tanpa pembantu, serta agak sukar

dalam penanganan karena “panjang”nya kumpulan organ-organ yang dikeluarkan

sekaligus.6

Teknik Ghon

Setelah rongga tubuh dibuka, organ leher dan dada, organ pencernaan

bersama hati dan limpa, organ urogenital diangkat keluar sebagai 3 kumpulan

organ (bloc).6

Bagian Ilmu Kedokteran Forensik FKUI menggunakan teknik autopsi

yang merupakan modifikasi dari teknik Letulle. Organ tersebut dikeluarkan en

masse tetapi dalam 2 kumpulan. Organ leher dan dada sebagai satu kumpulan

organ perut dan urogenital mulai dari perbatasan duodenojejunal sampai

perbatasan rektosigmoid.3

Dahulu sebelum menggunakan teknik modifikasi tersebut di atas, di

Bagian IKF FKUI digunakan teknik Ghon, namun ternyata para calon dokter

mengalami kesukaran dalam menemukan kelenjar suprarenal. Dengan teknik yang

digunakan dewasa ini kesulitan tersebut dapat diatasi.3

Dokter yang melakukan autopsi hendaknya menggunakan teknik yang paling

dikuasainya. Bagi mereka yang jarang melakukan autopsi, hendaknya lebih erat

199
berpegang/berpedoman pada teknik autopsi yang dipelajari semasa pendidikannya

di fakultas kedokteran.3

Q. Tata laksana Autopsi

Pelaksanaan autopsi forensik diatur didalam KUHAP, yang pada

prinsipnya autopsi baru boleh dilakukan jika ada surat permintaan tertulis dari

penyidik dan setelah kelurga diberi tahu serta telah memahaminya atau setelah 2

hari dalam hal keluarga tidak menyetujui autopsi atau keluarga tidak ditemukan.5

Sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 134 KUHAP bahwa penyidik

yang meminta autopsi mempunyai kewajiban untuk member tahukan

keinginannya kepada keluarga. Dalam hal keluarga merasa keberatan maka

penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujun

autopsi. Apabila dalam waktu 2 hari tidak ada tanggapan apapun (perubahan

sikap) dari keluarga atau keluarga tidak ditemukan maka autopsi segera

dilaksanakan.5

Dari pasal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa untuk keperluan

autopsi forensik tidak diperlukan izin keluarga seperti pada autopsi klinik atau

anatomik. Keluarga hanya punya untuk diberitahu dan tanggung jawab

memberitahu itu berada di pundak penyidik. Demi praktisnya, tugas memberitahu

itu sering diambil alih oleh dokter karena kebanyakan langsung datang ke rumah

sakit.Dalam menjelaskan kepada keluarga perlu diingatkan adanya sanksi pidana

bagi siapa saja yang menghalang-halangi pelaksanaan autopsi, yaitu dihukum

berdasarkan Pasal 222 KUHP.5

R. Peralatan Autopsi

200
Untuk melakukan suatu autopsi yang baik.sebenarnya tidak diperlukan alat

yang mewah, cukup dengan alat yang sederhana saja. Berikut ini alat yang

dipergunakan tersebut.3

1. Kamar autopsi

Guna kamar autopsi adalah agar dokter yang melakukan pemeriksaan

jenazah dapat melakukan tugasnya dengan tenang, tidak terganggu

oleh orang yang tidak berkepentingan atau yang ingin sekedar

menonton saja. Untuk keperluan ini tidak diperlukan suatu kamar

khusus bila keadaan setempat tidak memungkinkan. Cukup digunakan

salah satu sudut kamar jenazah misalnya, asal terdapat penerangan

yang cukup. Bahkan “bedeng darurat” yang didirikan di lapangan

dekat dengan penggalian kubur pun dapat digunakan.

2. Meja autopsi

Untuk meja autopsi pun, bila keadaan tidak memungkinkan, tidak

perlu menggunakan meja autopsi khusus yang stainless steel. Bila

perlu dapat digunakan kereta dorong mayat, atau meja darurat yang

terbuat dari beberapa helai papan saja. Yang perlu dipikirkan dalam

hal meja autopsi adalah adanya tempat penampungan darah yang

keluar waktu dilakukannya autopsi serta adanya air yang diperlukan

untuk melakukan pencucian bila perlu.

3. Peralatan autopsi

Yang diperlukan adalah pisau yang dapat digunakan untuk memotong

kulit serta organ dalam dan otak, gunting serta pinset bergigi untuk

201
melaksanakan pemeriksaan alat dalam tubuh. Disamping itu

diperlukan juga sebuah gergaji yang dapat digunakan untuk

menggergaji tulang tengkorak.

Untuk keperluan perawatan mayat setelah selesai autopsi. Sediakan

sebuah jarum jahit serta benang kasar untuk merapikan kembali mayat

yang telah diautopsi. Peralatan tambahan yang diperlukan adalah gelas

ukur untuk mengukur volume cairan/ darah yang ditemukan pada

autopsi serta semprit berikut jarum untk pengambilan darah.

4. Peralatan untuk pemeriksaan tambahan

Perlu disediakan beberapa buah botol kecil yang terisi formalin 10%

atau alcohol 70-80% untuk keperluan pengambilan jaringan guna

pemeriksaan histopatologik, serta beberapa botol yang lebih besar

untuk pengambilan bahan guna pemeriksaan toksikologi, yang berisi

bahan pemgawet yang sesuai.

5. Peralatan tulis dan tofografi

Sediakan kertas atau formulir-formulir isian yang dipergunakan untuk

mencatat segala hasil pemeriksaan. Bila mungkin, sediakan pula

peralatan memotret yang dapat digunakan untuk pemotretan kelainan-

kelainan untuk keperluan dokumntasi atau identifikasi.

202
Gambar 1. peralatan autopsi.3

S. Cara Autopsi

Pada pemeriksaan tubuh mayat sebelah luar, untuk kepentingan forensik,

pemeriksaan kepentingan forensik, pemeriksaan harus dilakukan dengan cermat,

meliputi segala sesuatu yang terlihat, tercium, maupun teraba, baik terhadap

benda yang menyertai mayat, pakaian, perhiasan, sepatu dan lain-lain, juga

terhadap tubuh mayat itu sendiri.3

Agar pemeriksaan dapat terlaksana secermat mungkin, pemeriksaan harus

mengikuti suatu sistematika yang telah ditentukan.

Dibagian IKF FKUI, sistematika pemeriksaan adalah:3

1. Label mayat

Mayat yang dikirim untuk pemeriksaan kedokteran forensik seharusnya

diberi label dari pihak kepolisian, biasanya merupakan sehelai karton yang

203
diikatkan pada ibu jari mayat serta dilakukan penyegelan pada tali

pengikat label tersebut, untuk menjamin keaslian dari benda bukti.

Label mayat ini harus digunting pada tali pengikatnya, serta disimpan

bersama berkas pemeriksaan.

Perlu dicatat warna dan bahan label tersebut. Dicatat pula apakah ada

materai atau segel pada label ini, yang biasanya terbuat dari lak berwarna

merah dengan cap dari kantor kepolisian yang mengirim mayat. Isi dari

label mayat ini juga dicatat selengkapnya. Adalah kebiasaan baik, bila

dokter pemeriksa dapat meminta keluarga terdekat dari mayat untuk sekali

lagi melakukan pengenalan/pemastian identitas.

Disamping label mayat dari kepolisian, pada mayat dapat pula ditemukan

label identifikasi dari Instalasi Kamar Jenazah Rumah Sakit. Label ini

adalah untuk kepentingan identifikasi di Kamar Jenazah agar mayat tidak

tertukar saat diambil oleh keluarga. Label dari Rumah Sakit ini harus

tetap ada pada tubuh mayat.

2. Tutup mayat

Mayat sering kali dikirim pada pemeriksaan dalam keadaan ditutupi oleh

sesuatu. Catatlah warna/bahan , warna serta corok dari penutup ini. Bila

terdapat pengotoran pada penutup, catat pula letak pengotoran serta

jenis/bahan pengotoran tersebut.

3. Bungkus mayat

Mayat kadang-kadang dikirimkan pada pemeriksa dalam keadaan

terbugkus. Bungkus mayat ini harus dicatat jenis/bahannya, warna, corak

204
serta adanya bahan yang mengotori. Dicatat pula tali pengikatnya bila ada,

baik mengenai jenis/bahan tali tersebut, maupun cara pengikatan serta

letak ikatan tersebut.

4. Pakaian

Pakaian mayat dicatat dengan teliti, mulai dari pakaian dikenakan pada

bagian tubuh sebelah atas sampai tubuh sebelah bawah, dari lapisan yang

terluar sampai dengan lapisan yang terdalam.

Pencatatan meliputi: bahan, warna dasar, warna dan corak/motif dari

tekstil, bentuk/model pakaian, ukuran, merk/penjahit, cap binatu,

monogram/inisial serta tambalan atau tisikan bila ada. Biila terdapat

pengotoran atau robekan pada pakaian, maka ini juga harus dicatat dengan

teliti,\ dengan mengukur letaknya dengan tepat menggunakan koordinat,

serta ukuran dari pengotoran dan atau robekan yang ditemukan.

Pakaian dari korban yang mati akibat kekerasan atau yang belum dikenal,

sebaiknya disimpan untuk barang bukti.

Bila ditemukan saku pada pakaian, maka saku ini harus diperiksa dan

dicatat isinya dengan teliti pula.

5. Perhiasan

Perhiasan yang dipakai mayat harus dicatat pula dengan teliti. Pencatatan

meliputin jenis perhiasan, bahan, warna, merk, bentuk serta ukuran

nama/inisial pada benda perhiasan tersebut.

6. Benda disamping mayat

205
Bersamaan dengan pengiriman mayat, kadangkala disetakan pula

pengiriman benda di samping mayat, misalnya bungkusan atau tas.

Terhadap benda di samping mayat inipun dilakukan pencatatan yang teliti

dan lengkap.

7. Tanda Kematian

Di samping untuk pemastian bahwa korban yang dikirimkan untuk

pemeriksaan benar-benar telah mati, pencatatan tanda kematian ini

berguna pula untuk penentuan saat kematian. Agar pencatatan terhadap

tanda kematian ini bermanfaat, jangan lupa mencatat waktu/saat

dilakukannya pemeriksaan terhadap kematian ini:

a. Lebam mayat

Terhadap lebam mayat, dilakukan pencatatan letak/distribusi lebam,

adanya bagian tertentu di daerah lebam mayat yang justru tidak

menunjukkan lebam (karena tertekan pakaian, terbaring di atas benda

keras dan lain-lain). Warna dari lebam mayat serta intensitas lebam

mayat (masih hilang pada penekanan, sedikit menghilang atau sudah

tidak menghilang sama sekali.

b. Kaku mayat

Catat distribusi kaku mayat serta distribusi kekakuan pada beberapa

sendi (daerah dagu/tengkuk, lengan atas, siku, pangkal paha, sendi

lutut) dengan menentukan apakah mudah atau sukar dilawan.

206
Apabila ditemukan adanya kadaverik (cadaveric spasm) maka ini

harus dicatat sebaik-baiknya, karena spasme kadaverik petunjuk apa

yang sedang dilakukan oleh korban saat terjadi kematian.

c. Suhu tubuh mayat

Sekalipun perkiraan saat kematian menggunakan criteria penurunan

suhu tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan, namun

pencatatan suhu tubuh mayat kadang dapat masih membantu dalam hal

perkiraan saat kematian.

Pengukuran suhu mayat dilakukan dengan menggunakan thermometer

rectal. Jangan lupa juga melakukan pencatatan suhu ruangan pada sat

yang sama.

d. Pembusukan

Tanda pembusukan yang pertama tampak berupa kulit perrut sebelah

kanan bawah yang berwarna kehijau-hijauan. Kadang-kadang mayat

diterima dalam keadaan pembusukan yang lebih lanjut, merupakan

mayat dengan kulit ari yang terelupas, terdapat gambaran pembuluh

darah superficial yang melebar berwarna biru-hitam, ataupun tubuh

yang telah mengalami penggembungan akibat pembusukan lanjut.

e. Lain-lain

Cara perubuhan tanatologik lain yang mungkin ditemukan, misalnya

mummifikasi atau adipocere.

8. Identifikasi umum

207
Catat tanda umum yang menunjukkan identitas mayat, seperti: jenis

kelamin, bangsa atau ras, umur, warna kulit, keadaan gizi, tinggi dan berat

badan, keadaan zakar yang disirkumsisi, adanya striae albicantes pada

dinding perut.

9. Identifikasi khusus

Catat segala sesuatu yang dapat digunakan untuk penentuan identitas

secara khusus.

a. Rajah/tattoo

Tentukan letak, bentuk, warna, serta tulisan tattoo yang ditemukan.

Bila perlu buatlah dokumentasi foto.

b. Jaringan parut

Catat seteliti mungkin jaringan parut yang ditemukan, baik yang

timbul akibat penyembuhan luka maupun yang terjadi sebagai akibat

tindakan bedah.

c. Kapalan (callus)

Dengan mencatat distribusi callus, kadangkala dapat diperoleh

keterangan yang berharga mengenai pekerjaan mayat yang diperiksa

semasa hidupnya. Pada pekerja/buruh pikul, akan ditemukan kapalan

(callus) pada daerah bahu, pada pekerja kasar lainnya akan ditemukan

kapalan pada telapak tangan atau kaki.

d. Kelainan pada kulit

Adanya kutil, angioma, bercak hiper atau hipopigmentasi, eksema dan

kelainan lain sering kali dapat membantu dalam penentuan identitas.

208
e. Anomali dan cacat pada tubuh

Kelainan anatomis berupa anomali atau deformitas akibat penyakit

atau kekerasan perlu dicatat dengan seksama. Tidak tercatatnya ciri-

ciri yang disebut diatas dapat sangat merugikan karena dapat

menyebabkan diragukannya hasil pemeriksaan terhadap mayat secara

keseluruhan. (bagaimana dapat mempercayai hasil pemeriksaan secara

keseluruhan, sedangkan adanya jari lebih pada ibu jari tangan kanan

korban saja tidak dilihat/dicatat oleh si pemeriksa).

10. Pemeriksaan rambut.

Pemeriksaan terhadap rambut dimaksudkan untuk membantu identifikasi.

Pencatatan dilakukan terhadap distribusi, warna keadaan tumbuh serta

sifat dari rambut tersebut baik dalam hal halus atau lurus ikalnya.

Bila pada tubuh mayat ditemukan rambut yang mempunyai sifat yang

berlainan dari rambut mayat, rambut-rambut ini haris diambil. Disimpan

dan diberi label, untuk pemeriksaan laboratorium lanjutan bila ternyata

diperlukan di kemudian hari.

11. Pemeriksaan mata

Periksa apakah kelopak mata terbuka atau tertutup. Pada kelopak mata,

diperhatikan pula akan adanya tanda-tanda kekerasan serta kelainan lain

yang ditimbulkan oleh penyakit dan sebagainya. Periksa pula keadaan

selaput lendir kelopak mata, bagaimana warnanya, adakah pembuluh darah

yang melebar, adakah bintik perdarahan atau bercak perdarahan.

209
Terhadap bola mata, dilakukan pula pemeriksaan terhadapa kemungkinan

terdapatnya tanda kekerasan, kelainan seperti ptysis bulbi, pemakaian mata

palsu dan sebagainya.

Perhatikan pula keadaan selaput lendir bola mata akan adanya pelebaran

pembuluh darah, bintik perdarahan atau kelainan lain terhadap kornea

(selaput bening mata) ditentukan apakah jernih, adakah kelainan, baik

fisiologik (arcus senelis) maupun patologik (leucoma).

Iris (tirai mata) dicatat warnanya untuk membantu identifikasi. Catat pula

kelainan yang mungkin ditemukan. Perhatikan pupil (teleng mata) dan

catat ukurannya. Apakah sama pada mata yang kanan dan yang kiri. Bila

terdapat kelainan pada lensa mata, ini pun harus dicatat.

12. Pemeriksaan daun telinga dan hidung.

Pemeriksaan meliputi pencatatan terhadap bentuk dari daun telinga dan

hidung, terutama pada mayat dengan bentuk yang luar biasa karena hal ini

mungkin dapat membantudalam identifikasi.

Catat pula kelainan serta tanda kekerasan yang ditemukan. Periksa apakah

dari lubang telinga dan hidung keluar cairan/darah.

13. Pemeriksaan terhadap mulut dan rongga mulut

Pemeriksaan meliputi bibir, lidah, rongga mulut serta gigi geligi. Catat

kelainan atau tanda kekerasan yang ditemukan. Periksa dengan teliti

keadaan rongga mulut akan kemungkinan terdapatnya benda asing (pada

kasus penyumbatan misalnya).

210
Terhadap gigi geligi, pencatatan harus dilakukan selengkap-lengkapnya

meliputi jumlah gigi yang terdapat, gigi geligi yang hilang/patah/mendapat

tambalan/bungkus logam, gigi palsu, kelainan letak, perwarnaan (staining)

dan sebagainya. Data gigi geligi merupakan alat yang sangat berguna

untuk identifikasi bila terdapat data pembanding. Perlu diingat bahwa gigi

geligi adalah bagian tubuh yang paling keras dan tahan terhadap

kekerasan.

14. Pemeriksaaan alat kelamin dan lubang pelepasan

Kelainan atau tanda kekerasan yang ditemukan harus mendapat perhatian

dan dicatat selengkapnya. Pada mayat laki-laki, catat apakah alat kelamin

mengalami sirkumsisi.

Cara kelainan bawaan yang mungkin ditemukan (epispadia, hypospadia

phymosis dan lain-lain), adanya manik-manik yang ditanam dibawah kulit,

juga keluarnya cairan dari lubang kemaluan serta kelainan yang

ditimbulkan oleh penyakit atau sebab lain. Pada dugaan telah terjadinya

suatu persetubuhan beberapa saat sebelumnya, dapat diambil preparat

tekan menggunakan kaca obyek yang ditekankan pada daerah glans atau

corona glandis yang kemudian dapat dilakukan pemeriksaan terhadap

adanya sel epitel vagina menggunakan teknik laboratorium tertentu.padan

mayat wanita, periksa pada keadaan selaput dara dan komisura posterior

akan kemungkinan adanya tanda kekerasan. Pada kasus dengan

persangkaan telah melakukan persetubuhan beberapa saat sebelumnya,

211
jangan lupa dilakukan pemeriksaan laboratoriumn terhadap cairan/sekret

liang senggama.

Lubang pelepasan perlu pula mendapat perhatiaan. Pada mayat yang

sering mendapat perlakuan sodomi, mungkin ditemukan anus berbentuk

corong yang selaput lendirnya sebagian berubah menjadi lapisan

bertanduk dan hilangnya rugae.

15. Lain-lain

Perlu diperhatikan akan kemungkinan terdapatnya

a. Tanda perbendungan, ikterus, warna kebiruan pada kuku, ujung-ujung

jari (pada sianosis) atau adanya edema(sembab).

b. Bekas pengobatan berupa bekas kerokan, tracheotomi, suntikan, pungsi

lumbal, dan lain-lain.

c. Terdapatnya bercak lumpur atau pengotoran lain pada tubuh, kepingan

atau serpihan cat, pecahan kaca, lumuran aspal dan lain-lain.

16. Pemeriksaan terhadap tanda-tanda kekerasan/luka

Pada pemeriksaan terhadap tanda kekerasan/luka yang ditemukan, perlu

dilakukan pencatatan yang teliti dan obyektif terhadap

a. Letak luka

Pertama tama sebutkan regio anatomis luka yang ditemukan, dengan juga

mencatat letaknya yang tepat menggunakan koordinat terhadap garis/titik

anatomis terdekat.

b. Jenis luka

212
Tentukan jenis luka, apakah merupakan luka lecet, luka memar, atau luka

terbuka

c. Bentuk luka

Sebutkan bentuk luka yang ditemukan. Pada luka yang terbuka sebutkan

pula bentuk luka setelah luka dirapatkan.

d. Arah luka

Dicatat arah luka, apakah melintang, membujur atau miring

e. Tepi luka

Perhatikan tepi luka apakah rata, teratur, atau berbentuk tidak beraturan.

f. Sudut luka

Pada luka terbuka, perhatikan apakah sudut luka merupakan sudut

runcing, membulat atau bentuk lain

g. Dasar luka

Perhatikan dasar luka, jaringan bawah kulit atau otot, atau bahkan

merupakan rongga badan.

h. Sekitar luka

Perhatikan adanya pengototran, terdapatnya luka/tanda kekerasan lain di

sekitar luka.

i. Ukuran luka

Luka diukur dengan teliti. Pada luka terbuka, ukuran luka diukur juga

setelah luka yang bersangkutan dirapatkan.

j. Saluran luka

213
Penentuan saluran luka dilakuakn in situ. Tentukan perjalanan luka serta

panjang luka. Penentuan ini baru dapat ditentukan pada saat dilakukan

pembedahan mayat.

k. Lain-lain

Pada luka lecet jenis serut, pemeriksaan teliti terhadap permukaan luka

terhadap pola penumpukan kulit ari yang terserut dapat mengungkapkan

arah kekerasan yang menyebabkan luka tersebut.

17. Pemeriksaan terhadap patah tulang

Tentukan letak patah tulang yang ditemukan serta catat sifat/jenis masing-

masing patah tulang yang terdapat.

PEMBEDAHAN MAYAT

Pengeluaran Alat Tubuh

Mayat yang akan dibedah diletakkan terlentang dengan bagian bahu

ditinggikan (diganjal) dengan sepotong balok kecil. Dengan demikian, kepala

akan berada dalam keadaan flexi maksimal dan daerah leher tampak jelas.3

Insisi kulit dilakukan mengikuti garis pertengahan badan mulai bawah

dagu, diteruskan ke arah umbilikus dan melingkari umbilikus di sisi kiri dan

seterusnya kembali mengikuti garis pertengahan badan samapai di daerah simfisis

pubis. 3

Pada daerah leher, insisi hanya mencapai kedalaman setebal kulit saja.

Pada daerah dada, insisi kulit sampai kedalaman mencapai permukaan depan

214
tulang dada (sternum) sedangkan mulai daerah epigastrium, sampai menembus ke

dalam rongga perut. 3

Insisi bentuk huruf I di atas merupakan insisi yang paling ideal untuk suatu

pemeriksaan bedah mayat forensik. Pada keadaan tertentu, bila tidak mengganggu

kepentingan pemeriksaan, atas indikasi kosmetik dapat dipertimbangkan insisi

kulit berbentuk huruf Y, yang dimulai pada kedua puncak bahu. Insisi pada daerah

dada sebelah kanan dan kiri dipertemukan di garis pertengahan kira-kira setinggi

incisura jugularis. Dengan inisis berbentuk huruf Y, maka pengeluaran alat-alat

leher menjadi lebih sukar. 3

Insisi pada dinding perut biasanya dimulai pada daerah epigastrium

dengan membuat irisan pendek yang menembus sampai peritoneum. Dengan jari

telunjuk dan jari tengah tangan kiri yang dimasukkan kedalam lubang insisi ini,

maka dinding perut dapat ditarik/diangkat ke atas. Pisau diselipkan diantara dua

jari tersebut dan insisi dapat diteruskan sampai simfisis pubis. Di samping

berfungsi sebagai pengangkat dinding perut, kedua jari tangan kiri tersebut

berfungsi juga sebagai pemandu (guide) untuk pisau, serta melindungi alat-alat

dalam rongga perut dari kemungkinan teriris pisau. 3

215
Gambar 2. Jenis insisi pada autopsi

Dengan memegang dinding perut bagian atas dan memuntir dinding perut

tersebut ke arah luar (dilakukan ibu jari di sebelah dalam/sisi peritoneum dan 4

jari lainnya di sebelah luar/sisi kulit), dinding dada dilepaskan dengan memulai

irisan pada otot-otot sepanjang arcus costae. Pelepasan dinding dada dilakukan

terus ke arah dada bagian atas sampai daerah tulang selangka dan ke samping

garis ketiak depan. Pengirisan terhadap otot dilakukan dengan bagian perut pisau

dan bidang pisau (blade) yang tegak lurus terhadap otot. Dengan demikian,

216
dinding dada telah dibebaskan dari otot-otot pectorales, dan kelainan yang

ditemukan dapat dicatat dengan teliti. 3

Kelaianan pada dinding dada dapat merupakan resapan darah, patah tulang

maupun luka terbuka. Kulit daerah leher yang berada dibawahnya. Perhatikan

akan adanya tanda kekerasan maupun kelainan-kelainan lainnya. 3

Pada dinding perut, diperhatikan keadaan lemak bawah kulit serta otot-otot

dinding perut, catat tebal masing-masing serta luka-luka bila terdapat. 3

Rongga perut diperiksa dengan mula-mula memperhatikan keadaan alat-

alat perut secara umum. Bagaimana penyebaran itrai usus (omentum), apakah

menutupi seluruh usus-usus kecil, ataukan mengumpul pada satu tempat akibat

adanya kelainan setempat. Periksalah keadaan usus-usus, adakah kelainan

volvulus, intususepsi, infark, tanda-tanda kekerasan lainnya. Bila mayat telah

mengalami operasi sebelumnya, perhatikan pula bagian/alat-alat perut yang

mengalami penjahitan, reseksi, atau tindakan lainnya. Perhatikan adakah cairan

dalam rongga perut, dan bila terdapat cairan, catat sifat dari cairan tersebut serous,

purulen, darah atau cairan keruh. Dinding perut sebelah dalam diperhatikan

keadaan selaput lendirnya. Pada selaput lendir yang normal, tampak licin dan

halus berwarna kelabu mengkilat. Pada kelainan peritonitis, akan tampak selaput

lendir yang tidak rata, keruh dengan fibrin yang melekat. 3

Tentukan pula sekat rongga badan (diafragma), dengan membandingkan

tinggi diafragma terhadap iga di garis pertengahan selangka (midclavicular line).

217
Gambar 3. Autopsi pada rongga dada

Rongga dada dibuka dengan jalan mengiris rawan-rawan iga pada tempat

setengah sampai datu sentimeter medial dari batas rawan tulang masing-masing

iga. Dengan bagian perut pisau dan bidang pisau (knife blade) yang diletakkan

tegak lurus, rawan iga dipotong mulai dari iga ke 2 terus ke arah kaudal.

Pemotongan ini dapat dilakukan dengan mudah pada mayat yang masih muda

karena bagian rawan belum mengalami penulangan. Dengan tangan kanan

memegang pisau dan telapak tangan kiri menekan punggung pisau, pisau

218
digerakkan memotong rawan iga-iga tersebut mulai dari iga kedua sampai daerah

arcus costae. Lakukan hal yang sama pada sisi tubuh yang lain. 3

Iga pertama dipotong dengan meneruskan irisan pada iga kedua ke arah

kraniolateral, dengan demikian, irisan dihindarkan dari mengenai manubrium

sterni yang keras. Setelah rawan iga pertama terpotong, pisau dapat diteruskan ke

arah medial menyusuri tepi bawah tulang selangka untuk mencapai sendi antara

tulang selangka dan tulang dada (articulatio sternoclavicularis) dan

memotongnya. Bila ini telah dilakukan pada kedua sisi, maka bagian depan

dinding dada telah dapat dilepaskan. 3

Perhatikan pertama-tama letak paru terhadap kedua jantung. Biasanya

dengan mencatat bagian kandung jantung yang nampak antara kedua tepi paru-

paru. Kandung jantung yang tampak hanya 1 jari di antara paru-paru

menunjukkan keadaan pengembangan paru yang berlebih (pada edema paru atau

emfisema paru). 3

Dengan tangan, paru dapat ditarik ke arah medial dan rongga dada dapat

diperiksa, apakah terdapat cairan, darah, atau lainnya. 3

Kandung jantung dibuka dengan melakukan pengguntingan pada dinding

depan mengikuti bentuk huruf Y terbalik. Perhatikan apakah rongga kandung

jantung terisi oleh cairan atau darah. Periksa pulaakan adanya luka baik pada

kandung jantung maupun pada permukaan depan jantung sendiri. 3

219
Gambar 4. Autopsi pada daerah dada

Pada dugaan adanya thrombosis a.pulmonalis, permukaan depan bilik

jantung kanan diiris memanjang dengan septum jantung kurang lebih 1 cm lateral

dari septum. Irisan ini kemudian diperpanjang dengan gunting kearah

a.pulmonalis. Periksa pula akan adanya kelenjar kacangan (thymus) yang terletak

disebelah atas dinding depan kandung jantung. 3

Untuk pemeriksaan lebih lanjut, alat-alat leher akan dikeluarkan bersama-

sama dengan alat rongga dada, sedangkan usus halus mulai dari jejunum sampai

220
rektum dilepaskan tersendiri dan kemudian alat rongga perut dikeluarkan bersama

alat dalam rongga panggul. 3

Pengeluaran alat leher dimulai dengan melakukan pengirisan insersi otot-

otot dasar mulut pada tulang rahang bawah. Irisan dimulai tepat dibawah dagu,

menembus rongga mulut dari bawah. Insisi diperlebar kearah kanan maupun

kearah kiri. Lidah ditarik kearah bawah sehingga dapat dikeluarkan melalui

tempat bekas irisan. Perhatikan keadaan rongga mulut dan catat kelainan yang

mungkin terdapat, antara lain adanya benda asing dalam rongga mulut, palatum

mole, untuk mencatat kelainan yang ditemukan Pallatum mole kemudian diiris

sepanjang perlekatan dengan pallatum durum yang kemudian diteruskan kearah

lateral kanan dan kiri, sampai ke permukaan depan dari tulang belakang dan

sedikit menarik alat-alat leher kearah depan bawah. Seluruh alat leher dapat

dilepaskan dari perlekatannya. 3

Lakukan pemotongan terhadap pembuluh serta saraf yang berjalan di

belakang tulang selangka dengan terlebih dahulu menggenggam pembuluh-

pembuluh dan saraf tersebut. Lepaskan perlekatan antara paru-paru dengan

dinding rongga dada, bila perlu secara tajam. Dengan tangan kanan memegang

lidah dan dua jari tangan kiri yang diletakkan pada sisi kanan dan kiri hilus paru,

alat rongga dada diarah kaudal sampai keluar dan rongga paru. 3

Lepaskan esophagus bagian kaudal dari jaringan ikat sekitarnya dan

buatlah dua ikatan di atas diafragma. 3

221
Esophagus digunting di antara kedua ikatan tersebut di atas. Tangan kiri

kini digunakan untuk menggenggam bagian bawah alat rongga dada tepat di atas

diafragma dan lakukan pengirisan terhadap genggaman tersebut. Dengan

demikian, alat leher bersama alat rongga dada dapat dikeluarkan seluruhnya. 3

Usus-usus dilepaskan dengan pertama-tama melakukan dua ikatan pada

awal jejunum, dekat dengan tempat menembusnya duodenum dari arah

retroperitoneal. Secara topografis, bagian duodenum ini terletak kaudal terhadap

colon transversum, kira-kira di garis pertengahan selangka. Pengguntingan

dilakukan diantara dua ikatan yang dibuat, agar isi duodenum tidak tercecer.

Dengan tangan kiri memegang pada ujung distal dan mengangkatnya maka

mesenterium yang melekatkan usus halus dengan dinding rongga perut dapat

diiris dekat pada usus. Pengirisan dilakukan dengan pisau organ yang bidang

pisaunya (knife blade) diletakkan tegak lurus pada usus dan digerakkan maju

mundur seperti gerakan menggergaji. Pengirisan seperti itu dilakukan sepanjang

usus halus sampai daerah ileum terminalis. Pada daerah coecum pengirisan

dilakukan terhadap mesokolon, dengan meotong mesokolon pada bagian lateral

dan kolon ascenden pada daerah ini. Pemotongan harus dilakukan dengan hati-

hati, lapis demi lapis agar tidak teriris ginjal kanan serta duodenum pars

retroperitonealis. 3

Pada daerah kolon transversum, lepaskan perlekatan antara kolon dengan

lambung. Mesokolon kembali diiris di sebelah lateral dari kolon descenden

dengan memisahkannya juga dari limpa dan ginjal kiri. Kolon sigmoid dapat

222
dilepaskan dari dinding rongga perut dengan memotong mesokolon di bagian

belakangnya. 3

Rektum dipegang dengan tangan kanan, mulai dari bagian distal dan

mengurutnya kearah proksimal, agar isi rektum dipindahkan kearah kolon sigmoid

dan rektum dapat diikat dengan dua ikatan, kemudian diputuskan di antara dua

ikatan tersebut. Setelah dilakukan pelepasan usus halus dan usus besar, dapat

dilakukan pemeriksaan sepanjang usus tersebut untuk melakukan kelainan, baik

yang diakibatkan oleh kekerasan berupa luka, akibat penyakit dalam bentuk ulkus

atau kelainan lainnya.

Untuk melepaskan rongga perut dan panggul, pengirisan dimulai dengan

memotong diafragma dekat pada insersinya pada dinding rongga badan.

Pengirisan diteruskan kearah bawah, sebelah kanan dan kiri, lateral dari masing-

masing ginjal sampai memotong arteri iliaca communis. 3

Alat rongga panggul dilepas dengan terlebih dahulu melpas peritoneum di

daeerah simfisis (alat rongga panggul terletak retroperitoneal). Kandung kencing

serta alat lain dapat dipegang dalam tangan kiri sampai kearah belakang bersama-

sama rektum. Pemotong melintang dilakukan dengan patokan setinggi kelenjar

prostat pada mayat laki-laki dan setinggi sepertiga proksimal vagina pada mayat

perempuan. Alat rongga panggul ini kemudian dilepaskan seluruhnya dari

perlekatan dengan sekitarnya dan dapat diangkat bersama-sama dengan alat

rongga perut yang telah dilepaskan terlebih dahulu. 3

223
Pemeriksaan pada kepala dimulai dengan membuat irisan pada kulit

kepala, dimulai dari prosessus mastiodeus, melingkari kepala kearah puncak

kepala (vertex) dan berakhir pada prosessus mastoideus sisi lain. Pada mayat yang

lebat rambut kepalanya, sebaiknya sebelum dilakukan pengirisan pada kulit

kepala, dilakukan terlebih dahulu penyisiran pada rambut sehingga terjadi garis

belahan rambut sepanjang kulit kepala yang akan diiris tersebut. Pengirisan dibuat

sampai pisau mencapai periosteum. Kulit kepala kemudian dilepas, kearah depan

sampai kurang lebih 1-2 sentimeter sampai sejauh protuberentia occipitalis

externa. Perhatikan dan catat kelainan yang terdapat, baik pada permukaan dalam

kulit kepala maupun permukaan luar tulang tengkorak. Kelainan yang biasa

ditemukan adalah tanda kekerasan, baik merupakan resapan darah maupun garis

retak/patah tulang. Untuk membuka rongga tengkorak, melingkar di daerah

frontal sejarak kurang lebih 2 sentimeter di atas daun telinga. Pada daeerah

temporal ini, penggergajian dilakukan melingkar kearah belakang, k.1.2

sentimeter sebelah atass protuberentia occipitalis externa, dengan penggergajian

yang membentuk sudut k.1 120 derajat dari garis penggergajian terdahulu. Hal ini

dilakukan agar setelah selesai pemeriksaan, atap tengkorak dapat terpasang

kembali tanpa tergelincir/tergeser. Agar penggergajian tidak merusak jaringan

otak, penggergajian harus dilakukan hati-hati dan dihentikan setelah terasa tebal

tulang tengkorak telah terlampaui. Atap tengkorak selanjutnya dilepas dengan

menggunakan pahat berbentuk T (T-chise) dengan jalan mendongkel pada garis

penggergajian. 3

224
Gambar 5. Autopsi pada kepala

Setelah atap tengkorak dilepaskan, pertama-tama lakukan penciuman

terhadap bau yang keluar sebab pada beberapa jenis keracunan dapat tercium bau

yang khas. 3

Kemudian perhatikan adanya kelainan baik pada permukaan dalam atap

tengkorak maupun pada durameter yang kini tampak. Kelainan dapat berupa luka

pada durameter, perdarahan epidural atau kelainan lain. Durameter kemudian

digunting mengikuti garis penggergajia, dan daerah subdural dapat diperiksa akan

adanya perdarahan, penggumpalan nanah dan sebagainya. 3

Otak dikeluarkan dengan pertama-tama memasukkan dua jari tangan kiri

di garis pertengahan daerah frontal, antara bagian otak dan tulang tengkorak.

Dengan sedikit menekan bagian frontal akan tampak falk cerebri yang dapat

dipotong atau digunting sampai dasar tengkorak. Kedua jari tangan kiri tersebut

kemudian dapat sedikit mengangkat bagian frontal dan memperlihatkan

225
nn.olfactorius, nn.opticus, yang kemudian dipotong sedekat mungkin pada dasar

tengkorak. Pemotongan lebih lanjut dapat dilakukan pada aa. Carotis interna yang

memasuki otak, serta saraf-saraf otak yang keluar pada dasar otak. Dengan

memiringkan kepala mayat kesalah satu sisi, serta jari-jari tangan kiri sedikit

menarik/mengangkat bagian pelipis (temporal) sisi yang lain, tentorium cerebella

akan jelas tampak dan mudah dipotong dimulai dari foramen magnum ke arah

lateral menyusuri tepi belakang tulang karang otak (os petrosum). Potong pula

saraf-saraf otak yang keluar pada dasar otak. Dengan cara yang sama, tentorium

cerebella sisi lainnnya juga dipotong. Perlu diperhatikan bahwa bila tentorium

cerebelli ini tidak dipotong, otak kecil niscaya akan tertinggal dalam rongga

tengkorak. 3

Dengan tangan kiri menyanggah daerah bagian occipital. Dua jari tangan

kanan dapat ditempatkan di sisi kanan dan kiri batang otak yang telah terpotong

untuk kemudian menarik bagian bawah otak ini dengan gerakkan

memutar/meluksir sehingga keluar dari rongga tengkorak. 3

Pemeriksaan Organ/Alat Dalam

Pemeriksaan organ/alat tubuh biasanya dimulai dari lidah, esophagus,

trachea dan seterusnya sampai meliputi seluruh alat tubuh. Otak biasanya

diperiksa terakhir. 3

1. Lidah

Pada lidah, perhatikan permukaan lidah, adakah kelainan bekas gigitan,

baik yang baru maupun yang lama. Pengirisan lidah sebaiknya tidak

226
sampai teriris utuh, agar setelah selesai autopsy, mayat masih tampak

berlidah utuh.

2. Tonsil

Perhatikan penampang tonsil, adakah selaput, gambaran infeksi, nanah dan

sebagainya

3. Kelenjar gondok

Untuk melihat kelenjar gondok dengan baik, otot-otot terlebih dahulu

dilepaskan dariperlekatannya di sebelah belakang. Setelah otot leher ini

terangkat, maka kelenjar gondok akan terlihat jelas dan dapat dilepaskan

dari perlekatannya pada rawan gondok dan trachea.

4. Kerongkongan (oesophagus)

Oesophagus dibuka dengan jalan menggunting sepanjanng dinding

belakang. Perhatikan adanya benda-benda asing, keadaan selaput lendir

serta kelainan yang mungkin ditemukan (misalnya striktura, varices).

5. Batang tenggorok (trachea)

Pemeriksaan dimulai pada mulut atas batang tenggorokan, dimulai dari

epiglotis. Perhatikan adanya edema, benda asing, perdarahan dan kelainan

lainnya. Perhatikan pula pita suara dan kotak suara.

Pembukaan trachea dilakukan dengan melakukan pengguntingan dinding

belakang (bagian jaringan ikat pada cincin trachea) sampai mencapai

cabang broncus kanan dan kiri. Perhatikan adanya benda asing, busa,

darah, serta selaput lendirnya.

227
6. Tulang lidah (os hyoid), rawan gondok (cartilage thyroidea), dan rawan

cincin (cartilago cricoidea)

Tulang lidah kadang-kadang ditemukan patah unilateral pada kasus

pencekikan. Perhatikan adanya patang tulang, resapan darah. Rawan

gondok dan rawan cincin seringkali juga menunjukkan resapan darah pada

kasus kekerasan pada daerah leher (pencekikan, penjeratan, gantung).

7. Arteria carotis interna

Arteri carotis comunis interna biasanya tertinggal melekat pada permukaan

depan ruas tulang leher. Bila kekerasan pada leher mengenai arteri ini,

kadang-kadang ditemukan kerusakan pada intima disamping terdapatnya

resapan darah.

8. Kelenjar kacangan (Thynus)

Kelenjar kacangan terdapat melekat di sebelah atas kandung jantung. Pada

permukaannya perhatikan akan adanya perdarahan berbintik serta

kemungkinanan adanya kelainan lain.

9. Paru-paru

Kedua paru masing-masing diperiksa tersendiri. Tentukan permukaan

paru-paru. Pada paru yang mengalami emphysema, dapat ditemukan

cekungan bekas penekanan iga. Perhatikan warnanya. Serta bintik

perdarahan, bercak perdarahan akibat aspirasi darah ke dalam alveoli

(tampak pada permukaan paru sebagai bercak berwarna merah-hitam

dengan batas tegas), resapan darah, luka, bulla, dan sebagainya.

228
Perabaan paru yang normal terasa seperti meraba spon/karet busa. Pada

paru dengan proses peradangan, perabaan dapat menjadi padat atau keras.

Pada penampang paru ditentukan warnanya serta dicatat kelainan yang

mungkin ditemukan.

10. Jantung

Perhatikan besarnya jantung, bandingkan dengan kepalan tinju kanan

mayat. Perhatikan akan adanya resapan darah, luka atau bintik-bintik

perdarahan. Pada autopsi jantung, ikuti sitematika pemotongan dinding

jantung yang dilakukan dengan mengikuti aliran darah di dalam jantung.

Gambar 6. Autopsi jantung3

Pertama-tama jantung diletakkan dengan permukaan ventral

menghadap ke atas. Posisi in dipertahankan terus sampai autopsi jantung

229
selesai. Vena cava superior dan inferior dibuka dengan jalan menggunting

dinding belakang vena-vena tersebut. Dengan gunting buka pula aurikel

kanan. Perhatikan akan adanya kelainan baik pada aurikel akanan maupun

atrium kanan.

Dengan pisau panjang, masuki bilik jantung kanan sampai ujung

pisau menembus apeks di sisi kanan septum dengan mata pisau mengarah

ke lateral. Tebal dinding bilik kanan diukur dengan terlebih dahulu

membuat irisan tegak lurus pada dinding belakang bilik kanan ini, 1

sentimeter di bawah katup.

Irisan pada dinding bilik depan kanan dilakukan menggunakan

gunting. Mulai dari apex. Menyusuri septum pada jarak setengah

sentimeter, ke arah atas menggunting dinding depan arteria pulmonalis dan

memotong katup semilunaris pulmonal. Katup diukur lingkarannya dan

keadaan katup semilunaris pulmonal. Katup diukur lingkarannya dan

keadaan daun katupnya dinilai.

Pembukaan serambi dan bilik kiri dimulai dengan pengguntingan

dinding belakang vv.pulmonales, yang disusul dengan pembukaan aurikel

kiri. Dengan pisau panjang, apeks jantung sebelah kiri dari septum ditusuk.

Lalu diiris ke arah lateral sehingga biliki kiri terbuka. Lakukan pengukuran

lingkaran katup mitral serta penilaian terhadap keadaan katup. Tebal otot

jantung sebelah kiri diukur pada irisan tegak yang dibuat 1 sentimeter di

sebelah bawah katup pada dinding belakang. Dengan gunting dinding

230
depan bilik kiri dipotong menyusuri septum pada jarak ½ sentimeter, terus

ke arah atas. Membuka juga dinding depan aorta dan memotong katup

semilunaris, aorta. Lingkaran katup diukur dan daun katup dinilai.

Pada daerah katup semilunaris aorta dapat ditemukan dua muara

aa.Coronaria, kiri dan kanan. Untuk memeriksa keadaan a.koronaria sama

sekali tidak boleh menggunakan sonde. Karena ini akan dapat mendorong

thrombus yang mungkin terdapat.

Pemeriksaan nadi jantung ini dilakukan dengan membuat irisan

melintang sepanjang jalannya pembuluh darah A. Coronaria kiri berjalan

di sisi depan septum dan a. Coronaria kanan keluar dari dinding pangkal

aorta ke arah belakang. Pada penampang irisan diperhatikan tebal dinding

arteri. Kedaan lumen serta kemungkinan terdapatnya thrombus. 3

Septum jantung dibelah untuk melihat kelainan otot, baik

merupakan kelainan yang bersifat degeneratif maupun kelainan bawaan.

Nilai pengukuran pada jantung normal orang dewasa adalah

sebagai berikut; ukuran jantung sebesar kepalan tangan kanan mayat. Berat

sekitar 300 gram. Ukuran lingkaran katup serambi bilik kanan sekitar 11

sentimeter, yang kiri sekitar 9,5 sentimeter. Lingkaran katup pulmonal

sekitar 7 sentimeter dan aorta sekitar 6,5 sentimeter. Tebal otot bilik kanan

3 sampai 5 milimeter sedangkan kiri sekitar 14 milimeter. 3

11. Aorta thoracalis

231
Pengguntingan pada dinding belakang aorta thoracalis dapat

memperlihatkan permukaan dalam aorta. Perhatikan kemungkinan

terdapatnya deposit kapur, ateroma atau pembentukan aneurisma. Kadang-

kadang pada aorta dapat ditemukan tanda-tanda kekerasan merupakan

resapan darah atau luka. Pada kasus kematian bunuh diri dengan jalan

menjatuhkan diri dari tempat tinggi. Bila korban mendarat dengan kedua

kaki terlebih dahulu. Seringkali ditemukan robekan melintang pada aorta

thoracalis.

12. Aorta abdominalis

Bloc organ perut dan panggul diletakkan diatas meja potong dengan

permukaan belakang menghadap ke atas. Aorta abdominalis digunting

dinding belakangnya mulai dari tempat pemotongan aa.iliaca comunis

kanan dan kiri. Perhatikan dinding aorta terhadap adanya penimbunan,

pekapuran, atau atheroma. Perhatikan pula muara dari pembuluh nadi yang

keluar dari aorta abdominalis ini, terutama muara aa.renalis kanan dan kiri

dibuka sampai memasuki ginjal. Perhatikan apakah terdapat kelainan pada

dinding pembuluh darah yang mungkin merupakan dasar dideritanya

hipertensi renal bagi yang bersangkutan.

13. Anak ginjal (glandula suprarenalis)

Anak ginjal kanan terletak dibagian mediokranial dari kutub atas ginjal

kanan, tertutup oleh jaringan lemak, berada antara permukaan belakang

hati dan permukaan bawah diafragma. Anak ginjal kemudian dibebaskan

232
dari jaringn sekitarnya dan diperiksa terhadap kemungkinan adanya

kelainan ukuran, resapan darah dan sebagainya.

Anak ginjal kiri terletak dibagian medio-kranial kiri kutub atas ginjal kiri,

juga tertutup dalam jaringan lemak, terletak antara ekor kelenjar liur perut

(pankreas) dan diafragma.

Pada anak ginjal yang normal, pengguntingan anak ginjal akan

memberikan penampang dengan bagian korteks dan medula yang tampak

jelas.

14. Ginjal, ureter, dan kandung kencing

Adanya trauma yang mengenai daerah ginjal seringkali menyebabkan

resapan darah pada capsula. Dengan melakukan pengirisan di bagian

lateral kapsula, ginjal dapat dilepaskan.

Pada ginjal yang mengalami peradangan, simpai ginjal mungkin akan

melekat erat dan sulit dilepaskan. Setelah simpai ginjal dilepaskan,

lakukan terlebih dahulu pemeriksaan terhadap permukaan ginjal. Adakah

kelainan berupa resapan darah, luka-luka ataupun kista-kista retensi.

Pada penampang ginjal, perhatikan gambaran korteks dan medula spinalis.

Juga perhatikan pelvis renis akan kemungkinan terdapatnya batu ginjal,

tanda peradangan, nanah dan sebagainya.

Ureter dibuka dengan meneruskan pembukaan pada pelvis renalis, terus

mencapai vesika urinaria. Perhatikan kemungkinan terdapatnya batu,

ukuran penampang, isi saluran serta keadaan mukosa.

233
Kandung kencing dibuka dengan jalan menggunting dinding depannya

mengikuti bentuk huruf T. Perhatikan isi serta selaput lendirnya.

15. Hati dan kandung empedu

Pemeriksaan dilakukan terhadap permukaan hati, yang pada keadaan biasa

menunjukkan permukaan yang rata dan licin, berwarna merah-coklat.

Kadangkala pada permukaan hati dapat ditemukan kelainan berupa

jaringan ikat, kista kecil, permukaan yan berbenjol-benjol, bahkan abses.

Pada perabaan, hati normal memberikan perabaan yang kenyal. Tepi hati

biasanya tajam. Hati yang normal menunjukkan penampang yang jelas

gambaran hatinya. Pada hati yang telah lama mengalami perbendungan

dapat ditemukan gambaran hati pula.

Kandung empedu diperiksa ukurannya serta diraba akan kemungkinan

terdapatnya batu empedu. Untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan pada

saluran empedu, untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan pada saluran

empedu, dapat dilakukan pemeriksaan dengan jalan menekan kandung

empedu ini sambil memperhatikan muaranya pada duodenum (papilla

vateri). Bila tampak cairan coklat-hijau keluar dari muara tersebut, ini

menandakan saluran empedu tidak tersumbat.

Limpa dan kelenjar getah bening

Limpa dilepaskan dari sekitarnya. Limpa yang normal menunjukkan

permukaan yan berkeriput, berwarna ungu dengan perabaan lunak kenyal.

Buatlah irisan penampang limpa, limpa normal mempunyai gambaran

limpa yang jelas, berwarna coklat-merah dan bila dikikis dengan

234
punggung pisau, akan ikut jaringan penampang limpa. Jangan lupa

mencatat ukuran dan berat limpa.

Catat pula bila ditemukan kelenjar getah bening regional yang membesar.

16. Lambung, usus halus dan usus besar

Lambung dibuka dengan gunting curvatura mayor. Perhatikan isi lambung

dan simpan dalam botol atau kantong plastik bersih bila isi lambung ingin

diperlukan untuk pemeriksaan toksikologik atau pemeriksaan laboratorik

lainnya. Selaput lendir lambung diperiksa terhadap kemungkinan adanya

erosi, ulserasi, perdarahan/resapan darah.

Usus diperiksa akan kemungkinan terdapat darah dalam lumen serta

kemungkinan terdapat darah dalam lumen serta kemungkinan terdapatnya

kelainan bersifat ulseratif, polip dan lain-lain.

17. Kelenjar liur perut (pancreas)

Pertama-tama lepaskan lebih dahulu kelenjar liur perut ini dari sekitarnya.

Kelenjar liur perut yang normal menunjukkan waran kelabu agak

kekuningan, dengan permukaan yang berbelah-belah dan perabaan yang

kenyal. Perhatikan ukuran dan beratnya. Cata bila ada kelainan.

18. Otak besar, otak kecil, dan batang otak.

Perhatikan permukaan luar dari otak dan cacat kelainan yang ditemukan.

Adakah perdarahan subdural, perdarahan subarakhnoid, kontusio jaringan

otak atau kadangkala bahkan sampai terjadi laserasi.

235
Gambar 7. Irisan otak besar

Pada oedema cerebri, girus otak akan tampak mendasar dan sulkus tampak

menyempit. Perhatikan pula klemungkinan terdapatnya tanda penekanan

yang menyebabkan sebagian permukaan otak menjadi datar. Pada daerah

ventrak otak, perhatikan keadaan sirkulus Willisi. Nilai keadaan pembuluh

darah pada sirkulus, adakah penebalan dinding akibat kelainan ateroma,

adakah penipisan dinding akibat aneurysma, adakah perdarahan. Bila

terdapat perdarahan hebat, usahakn agar dapat ditemukan sumber

perdarahan tersebut. Perhatikan pula bentuk serebelum. Pada keadaan

peningkatan tekanan intrakranial akibat edema serebri misalnya, dapat

terjadi herniasi serebllum ke arah foramen magnum, sehingga bagian

bawah serebellum tampak menonjol.

Pisahkan otak kecil dan otak besar dengan melakukan pemotongan pada

pedunculus serebri kanan dan kiri. Otak kecil ini kemudian dipisahkan

236
juga dari batang otak dengan melakukan pemotongan pada pedunculus

serebelli.

Otak besar diletakkan dengan bagian ventral menghadap pemeriksa.

Lakukan pemotongan otak besar secara koronal/melintang, perhatikan

penampang irisan. Tempa pemotongan haruslah sedemikian rupa sehingga

struktur penting dalam otak besar dapat diperiksa dengan teliti. Kelainan

yang dapat ditemukan pada penampang otak besar antara lain adalah :

perdarahan pada korteks akibat contusio cerebri, perdarahan berbintik pad

substansi putih akibat emboli, keracunan barbiturat serta keadaan lain yang

menimbulkan hipoksia jaringan otak. Infark jaringan otak, baik yang

bilateral maupun yang unilateral akibat gangguan perdarahan oleh arteri,

abses otak, perdarahn intracerebral akibat pecahnya a.lenticulostriata dan

sebagainya.

Otak kecil diperiksa penampangnya dengan membuat sautu irisan

melintang, catatlah kelainan perdarahan, perlunakan dan sebagainya yang

mungkin ditemukan.

Batang otak diiris melintang mulai daerah pons, medulla oblongata sampai

ke bagian proksimal medulla spinalis. Perhatikan kemungkinan adanya

perdarahan. Adanya perdarahan di daerah batang otak biasanya

mematikan.

19. Alat kelamin dalam (genitalia interna)

Pada mayat laki-laki, testis dapat dikeluarkan dari scrotum melalui rongga

perut. Jadi tidak dibuat irisan baru pada scrotum. Perhatikan ukuran,

237
konsistensinya serta kemungkinan ada resapan darah. perhatikan pula

bentuk dan ukuran epididimis. Kelenjar prostat diperhatikan ukuran dan

konsistensinya.

Pada mayat wanita, perhatikan bentuk serta ukuran kedua indung telur,

saluran telur dan uterus sendiri. Pada uterus diperhatikan kemungkinan

terdapatnya perdarahan, resapan darah ataupun lukan akibat tindakan

abortus provokatus.

Uterus dibuka dengan membuat irisan berbentuk huruf T pada dinding

depan melalui saluran serviks serta muara kedua saluran telus pada fundus

uteri. Perhatikan keadaan selaput lendir uterus, tebal dinding, isi rongga

rahim serta kemungkinan terdapatnya kelainan lain.

20. Timbang dan catatlah berat masing-masing alat/organ

Sebelum mengembalikan organ-organ (yang telah diperiksa secara

makroskopis) kembali ke dalam tubuh mayat, pertimbangkan terlebih

dahulu kemungkinanan diperlukannya organ guna pemeriksaan

histopatologik.

Potongan jaringan untuk pemeriksaan histopatologik diambil dengan

dengan tebal maksimal 5 mm. Usahakan mengambil bagian organ di

daerah perbatasan antara bagian yang normal dan yang mengalami

kelainan.

Potongan ini kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi cairan

fiksasi yang dapat merupakan larutan formalin 10% (=larutan

238
formaldehida 4%) atau alkohol 90-96%, dengan jumlah cairan fiksasi

sekitar 20-30 kali volume potongan jaringan yanng diambil.

Jumlah organ yang perlu diambil untuk pemeriksaan toksikologi

disesuaikan dengan kasus yang dihadapi serta ketentuan laboratorium

pemeriksa. Sedapat mungkin setiap jenis organ ditaruh dalam botol

tersendiri. Bila diperlukan pengawetan, agar digunakan alkohol 90%. Pada

pengiriman bahan untuk pemeriksaan toksikologik, contoh bahan

pengawet agar juga turut dikirimkan di samping keterangan klinik dan

hasil sementera autopsi atas kasus tersebut.

T. Perawatan jenazah setelah Autopsi

Setelah autopsi selesai, semua organ tubuh dimasukkan kembali ke dalam

organ tubuh. Lidah dikembalikan ke dalamrongga mulut sedangkan jaringan otak

dikembalikan ke dalam rongga tengkorak.Jahitkan kembali tulang dada dan iga

yang dilepaskan pada saat membuka rongga dada.3

Jahitlah kulit dengan rapi menggunakan benang yang kuat, mulai dari

bawah sampai ke daerah simfisis.Atap tengkorak diletakkan kembali pada

tempatnya dan difiksasi dengan menjahit otot temporalis, baru kemudian kulit

kepala dijahit dengan rapi.Bersihkanlah tubuh mayat dari darah sebelum mayat

diserahkan kembali kepada pihak keluarga.3

239
BAB III

KESIMPULAN

Dari makalah ini dapat ditarik beberapa kesimpulan:

1. Autopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, meliputi pemeriksaan

terhadap bagian luar maupun bagian dalam, dengan tujuan menemukan

proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas

penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebabnya serta mencari

hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan

penyebab kematian

2. Berdasarkan tujuannya dikenal tiga jenis Autopsi, yaitu Autopsi Anatomi,

Autopsi Klinik dan Autopsi Forensik/Autopsi Mediko-Legal.

3. Terdapat empat teknik dala autopsi yaitu teknik Virchow, teknik

Rokitansky, teknik Letulle, teknik Ghon.

4. autopsi forensik tidak diperlukan izin keluarga seperti pada autopsi klinik

atau anatomik. Bagi siapa saja yang menghalang-halangi pelaksanaan

autopsi, yaitu dihukum berdasarkan Pasal 222 KUHP.

240
DAFTAR PUSTAKA

1. Sampurna B. Peran Ilmu Forensik dalam kasus-kasus Asuransi. 2008.


Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences. 2008; 1 (1):17-20

2. Budiyanto, Arif. Dkk. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Bagian


Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 1997.
Hal:1-8

3. Staf Kedokteran forensik FK UI. Teknik autopsi forensik. cetakan ke 3.


Jakarta: Bagian kedokteran forensik fakultas kedokteran UI. 1996. Hal:1-54

4. Apuranto A, Hoeiyanto. Buku ajar ilmu kedokteran forensik & medikolegal


edisi ketiga. Surabaya. Bagian ilmu kedokteran forensik &medikolegal
fakultas kedokteran universitas airlangga. 2007. Hal: 208-252

5. Dahlan S. Ilmu kedokteran forensik pedoman bagi dokter dan penegak


hukum. cetakan ke 6. badan penerbit universitas diponegoro semarang.
2008. Hal 177-183

6. Hasymi MA, Ayunazhari I, Nanda FD, Sari DO, Suminarti. Mind’s


Forensic 1th edition. Banjarmasin: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Lambungmangkurat. 2012. Hal: 146-147

241
TOKSIKOLOGI
FORENSIK

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan, dapat dibagi dalam dua

kelompok, yang pertama bertujuan untuk mencari penyebab kematian, misalnya

kematian akibat keracunan morfin, sianida, karbon monoksida, keracunan

insektisida, dan lain sebagainya, dan kelompok yang kedua – dimana sebenarnya

242
yang terbanyak kasusnya, akan tetapi belum banyak disadari – adalah untuk

mengetahui mengapa suatu peristiwa, misalnya peristiwa pembunuhan,

kecelakaan lalu lintas, kecelakaan pesawat udara dan perkosaan dapat terjadi.

Dengan demikian, tujuan yang kedua bermaksud untuk membuat suatu rekaan

rekonstruksi atas peristiwa yang terjadi.

Bila pada tujuan pertama dari pemeriksaan atas diri korban diharapkan

dapat ditemukan reaksi atau obat dalam dosis yang mematikan, maka tidaklah

demikian pada yang kedua, dimana disini yang perlu dibuktikan atau dicari

korelasinya adalah sampai sejauh mana reaksi obat tersebut berperan dalam

memungkinkan terjadinya berbagai peristiwa tadi.

Dalam ilmu kedokteran kehakiman, keracunan dikenal sebagai salah satu

penyebab kematian yang cukup banyak sehingga keberadaannya tidak dapat

diabaikan. Jumlah maupun jenis reaksi pun semakin bertambah, apalagi dengan

makin banyaknya macam-macam zat pembasmi hama. Selain karena faktor murni

kecelakaan, racun yang semakin banyak jumlah dan jenisnya ini dapat

disalahgunakan untuk tindakan-tindakan kriminal. Walaupun tindakan meracuni

seseorang itu dapat dikenakan hukuman, tapi baik di dalam kitab Undang-

Undang Hukum Pidana maupun di dalam Hukum Acara Pidana (RIB) tidak

dijelaskan batasan dari keracunan tersebut, sehingga banyak dipakai batasan-

batasan racun menurut beberapa ahli, untuk tindakan kriminal ini, adanya racun

harus dibuktikan demi tegaknya hukum.

Arsenic, As, banyak digunakan sebagai bahan campuran obat pembasmi

tikus (rodentisida). Arsen juga banyak digunakan dalam masyarakat sebagai hasil

243
industri, misalnya sebagai bahan pengawet, bahan cat, insektisida, herbisida,

campuran dalam pupuk, maupun mencemari lingkungan masyarakat karena

dampak dari industri. Arsen juga digunakan dalam bidang pengobatan. Dalam hal

ini digunakan arsen jenis tertentu dan dalam dosis tertentu pula, seperti

neosalveran untuk pengobatan penyakit sifilis, frambusia (sampar / patek),

sebagai salah satu campuran dalam tonikum, dan obat-obat lainnya seperti

solarson, optarson, arsentriferrol, liquor arsenicallis, dan lain-lain. Senyawaan

arsen lainnya ialah Arsine, AsH3 (arsenicum lekas uap), Arsen Trioxide (As2O3),

Arsen putih, As2S2, As2S3.

Karena sifat beracunnya, mudahnya didapat serta mudahnya digunakan

oleh masyarakat, maka wajarlah jika ada yang menyalahgunakannya untuk hal-hal

yang bertentangan dengan hukum, misalnya pada kasus pembunuhan, yang bisa

dilakukan secara langsung maupun perlahan-lahan dengan gejala yang tidak jelas.

Dalam menghadapi kasus yang demikian, maka peranan kedokteran

kehakiman sangatlah penting dalam menentukan apakah korban benar-benar

meninggal karena arsen, atau sebab lain. Selain dengan pemeriksaan otopsi,

dokter juga bekerja sama dengan bagian toksikologi dalam menentukan adanya

arsen dan jumlahnya yang ada pada korban. Pada orang-orang sehat, juga bisa

ditemukan arsen, misalnya pada orang yang minum tonikum yang mengandung

arsen. Oleh karena itu dalam menentukan sebab kematian karena arsen, selain

ditemukannya arsen dalam jaringan atau organ, juga harus dapat ditentukan

kuantitas dari arsen yang ada dalam jaringan atau organ tersebut. Dan yang tak

kalah pentingnya, walaupun mungkin tidak begitu banyak terjadi, keracunan arsen

244
dapat berupa kontaminasi lingkungan dari zat-zat atau benda hasilan atau yang

mengandung arsen.

Makalah ini bertujuan membahas berbagai hal mengenai toksikologi

forensik ataupun toksikologi secara umum meliputi: pengertian, arti penting,

macam-macam pemeriksaan racun dan analisa toksikologi. Hal-hal demikian

diperlukan untuk memperoleh pemahaman pemahaman dalam penanganan dan

pemeriksaan toksikologi yang komprehensif.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Racun

Pengertian racun

Menurut Taylor, racun adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil

(bukan minimal), yang jika masuk atau mengenai tubuh seseorang akan

menyebabkan timbulnya reaksi kimiawi (efek kimia) yang besar yang dapat

menyebabkan sakit, bahkan kematian.

Menurut Gradwohl racun adalah substansi yang tanpa kekuatan mekanis,

yang bila mengenai tubuh seorang (atau masuk), akan menyebabkan gangguan

fungsi tubuh, kerugian, bahkan kematian.

245
Sehingga jika dua definisi di atas digabungkan, racun adalah substansi

kimia, yang dalam jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau

mengenai tubuh, tanpa kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya

kimianya, akan menimbulkan efek yang besar, yang dapat menyebabkan sakit,

bahkan kematian.

Jalan masuk

Racun dapat masuk ke dalam tubuh seseorang melalui beberapa cara:

1. Melalui mulut (peroral / ingesti).

2. Melalui saluran pernafasan (inhalasi)

3. Melalui suntikan (parenteral, injeksi)

4. Melalui kulit yang sehat / intak atau kulit yang sakit.

5. Melalui dubur atau vagina (perektal atau pervaginal) (Idris, 1985)

Klasifikasi racun

Racun dapat digolongkan sebagai berikut:

I. Pestisida

A. Insektisida

1. Organoklorin

a. Derivat Chlorinethane: DDT

b. Derivat Cyclodiene : Thiodane, Endrim, Dieldrine, Chlordan,

Aldrin, Heptachlor, toxapene.

c. Derivat Hexachlorcyclohexan : Lindan, myrex.

246
2. Organofosfat: DFP, TEPP, Parathion, Diazinon, Fenthoin, Malathion.

3. Carbamat: Carbaryl, Aldicarb, Propaxur, Mobam.

B. Herbisida

1. Chloropheoxy

2. Ikatan Dinitrophenal

3. Ikatan Karbonat: Prepham, Barbave

4. Ikatan Urea

5. Ikatan Triasine: Atrazine

6. Amide: Propanil

7. Bipyridye

C. Fungisida

1. Caplan

2. Felpet

3. Pentachlorphenal

4. Hexachlorphenal

D. Rodentisida

1. Warfarin

2. Red Squill

3. Norbomide

4. Sodium Fluoroacetate dan Fluoroacetamide

5. Aepha Naphthyl Thiourea

6. Strychnine

7. Pyriminil

247
8. Anorganik:

- Zinc Phosfat

- Thallium Sulfat

- Phosfor

- Barium Carbamat

- Al. Phosfat

- Arsen Trioxyde

II. Bahan Industri

III. Bahan untuk rumah tangga

IV. Bahan obat-obatan

V. Racun (tanaman dan hewan)

Berdasarkan sumber dan tempat dimana racun-racun tersebut mudah

didapat, maka racun dapat dibagi menjadi lima golongan, yaitu:

1. Racun-racun yang banyak terdapat dalam rumah tangga.

Misalnya: desinfektan, deterjen, insektisida, dan sebagainya.

2. Racun-racun yang banyak digunakan dalam lapangan pertanian, perkebunan.

Misalnya: pestisida, herbisida.

3. Racun-racun yang banyak dipakai dalam dunia kedokteran / pengobatan.

Misalnya: sedatif hipnotis, analgetika, obat penenang, anti depresan, dsb.

4. Racun-racun yang banyak dipakai dalam industri / laboratorium.

Misalnya: asam dan basa kuat, logam berat, dsb.

5. Racun-racun yang terdapat di alam bebas.

248
Misalnya: opium ganja, racun singkong, racun jamur serta binatang.

Mekanisme kerja racun

1. Racun yang bekerja secara setempat (lokal)

Misalnya:

- Racun bersifat korosif: lisol, asam dan basa kuat.

- Racun bersifat iritan: arsen, HgCl2.

- Racun bersifat anastetik: kokain, asam karbol.

Racun-racun yang bekerja secara setempat ini, biasanya akan menimbulkan

sensasi nyeri yang hebat, disertai dengan peradangan, bahkan kematian yang

dapat disebabkan oleh syok akibat nyerinya tersebut atau karena peradangan

sebagai kelanjutan dari perforasi yang terjadi pada saluran pencernaan.

2. Racun yang bekerja secara umum (sistemik)

Walaupun kerjanya secara sistemik, racun-racun dalam golongan ini biasanya

memiliki akibat / afinitas pada salah satu sistem atau organ tubuh yang lebih

besar bila dibandingkan dengan sistem atau organ tubuh lainnya.

Misalnya:

- Narkotik, barbiturate, dan alkohol terutama berpengaruh pada susunan

syaraf pusat.

- Digitalis, asam oksalat terutama berpengaruh terhadap jantung.

- Strychine terutama berpengaruh terhadap sumsum tulang belakang.

249
- CO, dan HCN terutama berpengaruh terhadap darah dan enzim pernafasan.

- Cantharides dan HgCl2 terutama berpengaruh terhadap ginjal.

- Insektisida golongan hidrokarbon yang di-chlor-kan dan phosphorus

terutama berpengaruh terhadap hati.

3. Racun yang bekerja secara setempat dan secara umum

Misalnya:

- Asam oksalat

- Asam karbol

Selain menimbulkan rasa nyeri (efek lokal) juga akan menimbulkan

depresi pada susunan syaraf pusat (efek sistemik). Hal ini dimungkinkan

karena sebagian dari asam karbol tersebut akan diserap dan berpengaruh

terhadap otak (Nawawi, 1989).

- Arsen

- Garam Pb

Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja racun

1. Cara pemberian

Setiap racun baru akan menimbulkan efek yang maksimal pada tubuh jika

cara pemberiannya tepat. Misalnya jika racun-racun yang berbentuk gas tentu

akan memberikan efek maksimal bila masuknya ke dalam tubuh secara inhalasi.

Jika racun tersebut masuk ke dalam tubuh secara ingesti tentu tidak akan

menimbulkan akibat yang sama hebatnya walaupun dosis yang masuk ke dalam

tubuh sama besarnya.

250
Berdasarkan cara pemberian, maka umumnya racun akan paling cepat

bekerja pada tubuh jika masuk secara inhalasi, kemudian secara injeksi (i.v, i.m,

dan s.c), ingesti, absorbsi melalui mukosa, dan yang paling lambat jika racun

tersebut masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang sehat.

2. Keadaan tubuh

a. Umur

Pada umumnya anak-anak dan orang tua lebih sensitif terhadap racun bila

dibandingkan dengan orang dewasa. Tetapi pada beberapa jenis racun seperti

barbiturate dan belladonna, justru anak-anak akan lebih tahan.

b. Kesehatan

Pada orang-orang yang menderita penyakit hati atau penyakit ginjal, biasanya

akan lebih mudah keracunan bila dibandingkan dengan orang sehat, walaupun

racun yang masuk ke dalam tubuhnya belum mencapai dosis toksis. Hal ini dapat

dimengerti karena pada orang-orang tersebut, proses detoksikasi tidak berjalan

dengan baik, demikian pula halnya dengan ekskresinya. Pada mereka yang

menderita penyakit yang disertai dengan peningkatan suhu atau penyakit pada

saluran pencernaan, maka penyerapan racun pada umumnya jelek, sehingga jika

pada penderita tersebut terjadi kematian, kita tidak boleh terburu-buru mengambil

kesimpulan bahwa kematian penderita disebabkan oleh racun. Dan sebaliknya

pula kita tidak boleh tergesa-gesa menentukan sebab kematian seseorang karena

penyakit tanpa melakukan penelitian yang teliti, misalnya pada kasus keracunan

arsen (tipe gastrointestinal) dimana disini gejala keracunannya mirip dengan

gejala gastroenteritis yang lumrah dijumpai.

251
c. Kebiasaan

Faktor ini berpengaruh dalam hal besarnya dosis racun yang dapat

menimbulkan gejala-gejala keracunan atau kematian, yaitu karena terjadinya

toleransi. Tetapi perlu diingat bahwa toleransi itu tidak selamanya menetap.

Menurunnya toleransi sering terjadi misalnya pada pencandu narkotik, yang

dalam beberapa waktu tidak menggunakan narkotik lagi. Menurunnya toleransi

inilah yang dapat menerangkan mengapa pada para pencandu tersebut bisa terjadi

kematian, walaupun dosis yang digunakan sama besarnya.

d. Hipersensitif (alergi – idiosinkrasi)

Banyak preparat seperti vitamin B1, penisilin, streptomisin dan preparat-

preparat yang mengandung yodium menyebabkan kematian, karena sikorban

sangat rentan terhadap preparat-preparat tersebut. Dari segi ilmu kehakiman,

keadaan tersebut tidak boleh dilupakan, kita harus menentukan apakah kematian

korban memang benar disebabkan oleh karena hipersensitif dan harus ditentukan

pula apakah pemberian preparat-preparat mempunyai indikasi. Ada tidaknya

indikasi pemberi preparat tersebut dapat mempengaruhi berat-ringannya hukuman

yang akan dikenakan pada pemberi preparat tersebut.

3. Racunnya sendiri

a. Dosis

Besar-kecilnya dosis racun akan menentukan berat-ringannya akibat yang

ditimbulkan. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan akan adanya faktor toleransi,

252
dan intoleransi individual. Pada intoleransi, gejala keracunan akan tampak

walaupun racun yang masuk ke dalam tubuh belum mencapai level toksik.

Keadaan intoleransi tersebut dapat bersifat bawaan / kongenital atau intoleransi

yang didapat setelah seseorang menderita penyakit yang mengakibatkan gangguan

pada organ yang berfungsi melakukan detoksifikasi dan ekskresi.

b. Konsentrasi

Untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara lokal misalnya zat-zat

korosif, konsentrasi lebih penting bila dibandingkan dengan dosis total. Keadaan

tersebut berbeda dengan racun yang bekerja secara sistemik, dimana dalam hal ini

dosislah yang berperan dalam menentukan berat-ringannya akibat yang

ditimbulkan oleh racun tersebut.

c. Bentuk dan kombinasi fisik

Racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat menimbulkan efek bila

dibandingkan dengan yang berbentuk padat. Seseorang yang menelan racun dalam

keadaan lambung kosong, tentu akan lebih cepat keracunan bila dibandingkan

dengan orang yang menelan racun dalam keadaan lambungnya berisi makanan.

d. Adiksi dan sinergisme

Barbiturate, misalnya jika diberikan bersama-sama dengan alkohol, morfin,

atau CO, dapat menyebabkan kematian, walaupun dosis barbiturate yang

diberikan jauh di bawah dosis letal. Dari segi hukum kedokteran kehakiman,

kemungkinan-kemungkinan terjadinya hal seperti itu tidak boleh dilupakan,

terutama jika menghadapi kasus dimana kadar racun yang ditemukan rendah

sekali, dan dalam hal demikian harus dicari kemungkinan adanya racun lain yang

253
mempunyai sifat aditif (sinergitik dengan racun yang ditemukan), sebelum kita

tiba pada kesimpulan bahwa kematian korban disebabkan karena reaksi anafilaksi

yang fatal atau karena adanya intoleransi.

e. Susunan kimia

Ada beberapa zat yang jika diberikan dalam susunan kimia tertentu tidak akan

menimbulkan gejala keracunan, tetapi bila diberikan secara tersendiri terjadi hal

yang sebaliknya.

f. Antagonisme

Kadang-kadang dijumpai kasus dimana seseorang memakan lebih dari satu

macam racun, tetapi tidak mengakibatkan apa-apa, oleh karena reaksi-reaksi

tersebut saling menetralisir satu sama lain. Dalam klinik adanya sifat antagonis ini

dimanfaatkan untuk pengobatan, misalnya nalorfin dan kaloxone yang dipakai

untuk mengatasi depresi pernafasan dan oedema paru-paru yang terjadi pada

keracunan akut obat-obatan golongan narkotik. (Idris, 1985)

Kriteria diagnosis kasus keracunan

1. Anamnesa yang menyatakan bahwa korban benar-benar kontak dengan

racun (secara injeksi, inhalasi, ingesti, absorbsi, melalui kulit atau

mukosa).

Pada umumnya anamnesa tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya

sebagai kriteria diagnostik, misalnya pada kasus bunuh diri – keluarga

korban tentunya tidak akan memberikan keterangan yang benar, bahkan

254
malah cenderung untuk menyembunyikannya, karena kejadian tersebut

merupakan aib bagi pihak keluarga korban.

2. Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda / gejala keracunan zat

yang diduga.

Adanya tanda / gejala klinis biasanya hanya terdapat pada kasus yang

bersifat darurat dan pada prakteknya lebih sering kita terima kasus-kasus

tanpa disertai dengan data-data klinis tentang kemungkinan kematian

karena kematian sehingga harus dipikirkan terutama pada kasus yang mati

mendadak, non traumatik yang sebelumnya dalam keadaan sehat.

3. Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa makanan

/ obat / zat yang masuk ke dalam tubuh korban.

Kita selamanya tidak boleh percaya bahwa sisa sewaktu zat yang

digunakan korban itu adalah racun (walaupun ada etiketnya) sebelum

dapat dibuktikan secara analisa kimia, kemungkinan-kemungkinan seperti

tertukar atau disembunyikannya barang bukti, atau si korban menelan

semua racun – kriteria ini tentunya tidak dapat dipakai.

4. Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh korban, baik secara

makroskopik atau mikroskopik yang sesuai dengan kelainan yang

diakibatkan oleh racun yang bersangkutan.

Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada setiap kasus keracunan,

selain untuk menentukan jenis-jenis racun penyebab kematian, juga

penting untuk menyingkirkan kemungkinan lain sebagai penyebab

kematian. Otopsi menjadi lebih penting pada kasus yang telah mendapat

255
perawatan sebelumnya, dimana pada kasus-kasus seperti ini kita tidak

akan menemukan racun atau metabolitnya, tetapi yang dapat ditemukan

adalah kelainan-kelainan pada organ yang bersangkutan.

5. Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di

dalam tubuh / jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik.

Pemeriksaan toksikologi (analisa kimia) mutlak harus dilakukan. Tanpa

pemeriksaan tersebut, visum et repertum yang dibuat dapat dikatakan tidak

memiliki arti dalam hal penentuan sebab kematian. Sehubungan dengan

pemeriksaan toksikologis ini, kita tidak boleh terpaku pada dosis letal

sesuatu zat, mengingat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja

racun. Penentuan ada tidaknya racun harus dibuktikan secara sistematik,

diagnosa kematian karena racun tidak dapat ditegakkan misalnya hanya

berdasar pada ditemukannya racun dalam lambung korban.

Dari kelima kriteria diagnostik dalam menentukan sebab kematian pada

kasus-kasus keracunan seperti tersebut di atas, maka kriteria keempat dan kelima

merupakan kriteria yang terpenting dan tidak boleh dilupakan.

Analitikal Toksikologi

Analitikal toksikologi merupakan pemeriksaan laboratorium yang

berfungsi untuk:

1. Analisa tentang adanya racun.

2. Analisa tentang adanya logam berat yang berbahaya.

3. Analisa tentang adanya asam sianida, fosfor dan arsen.

256
4. Analisa tentang adanya pestisida baik golongan organochlorin maupun

organophospat.

5. Analisa tentang adanya obat-obatan misalnya: transquilizer, barbiturate,

narkotika, ganja, dan lain sebagainya.

Analitikal toksikologi meliputi isolasi, deteksi, dan penentuan jumlah zat

yang bukan merupakan komponen normal dalam material biologis yang

didapatkan dalam otopsi. Guna toksikologi adalah menolong menentukan sebab

kematian.

Kadang-kadang material didapatkan dari pasien yang masih hidup,

misalnya darah, rambut, potongan kuku atau jaringan hasil biopsi. Hasil

toksikologi disini membantu dalam menentukan kasus-kasus yang diduga

keracunan.

Pada pengiriman material untuk analitikal toksikologi, diharapkan dokter

mengirimkan material sebanyak mungkin, dengan demikian akan memudahkan

pemeriksaan dan hasilnya akan lebih sempurna.

Jaringan tubuh masing-masing memiliki afinitas yang berbeda terhadap

racun-racun tertentu, misalnya:

 Jaringan otak adalah material yang paling baik untuk pemeriksaan racun-

racun organis, baik yang mudah menguap maupun yang tidak mudah

menguap.

 Hepar dan ginjal adalah material yang paling baik untuk menentukan

keracunan logam berat yang akut.

257
 Darah dan urin adalah material yang paling baik untuk analisa zat organik

non volatile, misalnya obat sulfa, barbiturate, salisilat dan morfin.

 Darah, tulang, kuku, dan rambut merupakan material yang baik untuk

pemeriksaan keracunan logam yang bersifat kronis.

Untuk racun yang efeknya sistemik, harus dapat ditemukan dalam darah

atau organ parenkim ataupun urin. Bila hanya ditemukan dalam lambung saja

maka belum cukup untuk menentukan keracunan zat tersebut. Penemuan racun-

racun yang efeknya sistemik dalam lambung hanyalah merupakan penuntun bagi

seorang analis toksikologi untuk memeriksa darah, organ, dan urin ke arah racun

yang dijumpai dalam lambung tadi. Untuk racun-racun yang efeknya lokal, maka

penentuan dalam lambung sudah cukup untuk dapat dibuat diagnosa.

B. Arsen

Sejarah

Sebenarnya arsen sudah dikenal sejak dulu dari sulfide-sulfidenya, dan

ahli kimia dari Yunani mendapatkan arsen putih dengan membakar salah satu

diantaranya.

Pada abad ke XVI, buruh-buruh tambang dariSaxony menjadi

kebingungan dan tak menentu ketika mereka mencium bau smaltite, Co As2,

karena zat tersebut mengeluarkan asap arsen yang beracun, dan zat tersebut tak

menghasilkan perak walaupun zat tersebut nampak seperti perak putih metalik.

258
Para petambang tadi mengira bahwa terdapatkobold atau goblin dalam biji

tambang tersebut, yang menyebabkan kebingungan yang tak layak. Dan hal ini

merupakan asal kata Cobalt.

Pengertian tentang senyawa arsen sudah dimulai sejak tahun 1733, ketika

Brandt memperlihatkan bahwa arsen putih merupakan oksidasi dari elemen arsen.

Pada tahun 1956, dalam “De Re Metallica”, Agricolas menggambarkan efek dari

arsenical-cobalt, yang saat itu disebut Cadmia. Dimana dikatakan zat tersebut

dapat merusak kulit tangan pekerja, dan dia kemudian mengharuskan pemakaian

sarung tangan panjang pada pekerja-pekerja yang menanganinya.

Warangan, yang merupakan salah satu bentuk arsen in organik yang

merupakan bentuk logam berat yang sangat beracun yang banyak digunakan oleh

masyarakat, terutama bagi mereka yang memiliki “wesi aji”. Sebagai salah satu

tradisi, setiap kali mereka “menyucikan” wesi aji, mereka mengoleskan warangan

padanya. Senyawa arsen in organik yang melebihi golongan racun lainnya, telah

digunakan untuk tujuan-tujuan pembunuhan. Pelaku pembunuhan memberi racun

pada korban dalam suatu dosis fatal.

Pada sejarah pembunuhan dengan menggunakan arsen sering terjadi pada

pembunuhan masal, dimana sejumlah orang diracuni oleh seorang individu. Pada

masa lalu, karena arsen ini (yaitu arsen trioxide) memiliki aroma yang kurang

mencolok, maka akan memudahkannya untuk disembunyikan ke dalam makanan

atau minuman dengan tujuan untuk melakukan sesuatu tindak kejahatan yang

tersembunyi.

259
Dalam beberapa perihal pembunuhan, preparat yang mengandung senyawa

arsen ada yang dimasukkan ke dalam anus, uretra, ataupun vagina. Kadang terjadi

dimana preparat arsen dimasukkan ke dalam vagina dengan maksud pengguguran,

tetapi malah berakibat kematian.

Dalam “Office of The Chief Medical Examiner” (Kantor Pemeriksaan

Obat), pembunuhan dengan senyawa arsen termasuk jarang terjadi. Diantara tahun

1918-1951 tercatat 13 kali kejadian.

Peracunan yang dilakukan dengan tujuan bunuh diri, terjadi lebih sering,

dan biasanya akibat dari racun tikus atau Paris-Green. Dia antara tahun 1918-

1951, kematian karena bunuh diri dengan senyawa arsen inorganic tercatat

sejumlah 145 orang.

Masalah peracunan yang tak disengaja dan hanya secara kebetulan akibat

dari arsen inorganik agak umum terjadi. Di New York pada interval antara tahun

1918-1951 ada 114 kasus fatal dari tipe ini.

Namun sekarang cara pembunuhan dengan arsen seperti itu sudah tidak

begitu terkenal. Beberapa pengadilan di Amerika Serikat bahkan memakai

apoteker / ahli obat untuk mencatat semua penjualan yang mengandung senyawa

arsen.

Kegunaan

Pada suatu saat logam-logam berat menempati tempat-tempat yang

menonjol dalam pengobatan. Disamping juga merupakan penyebab-penyebab

keracunan yang penting. Kecuali emas, pemakaian pengobatan dari logam-logam

260
telah dikemukan dimana-dimana. Arsen sudah diketahui sebagai bahan untuk

pengobatan oleh orang-orang Yunani dan Roma zaman dulu. Diantaranya

digunakan sebagai parasitisida untuk protozoa, misalnya trypanosomiasis,

spirochaeta, yaros, demam kambuhan, amoubiasis, vaginitis trichomonal; dan

arsen terutama digunakan untuk mengobati filariasis pada anjing.

Memang dasar-dasar dari banyak konsep-konsep modern tentang

kemoterapi berasal dari kerja awal Ehrlich dengan arsen-arsen organic. Derivate-

derivat arsen yang terkenal ialah salversan neoarsphenanime (mapharsan,

arsenoxide).

Bagaimanapun sekarang medical interest terhadap logam-logam berat

telah menurun tajam, oleh karena penggantian dengan obat-obat antimikrobial

alam dan sintetik yang mujarab dan aman, serta untuk ukuran kesehatan

masyarakat dan higiene pencegahan dapat mengatasi masalah keracunan dari

pemakaian industri-industri mereka. Namun perhatian lingkungan, telah turut

membantu untuk suatu kejutan dari penelitian yang aktif dan berkelanjutan, dan

sebagai literatur dalam toksikologi logam berat.

Ditemukannya penisilin menyisihkan arsen sebagai obat anti lues, dan juga

obat-obat baru lain yang hampir sama halnya dalam menurunkan penggunaan

senyawaan arsen organik yang lain.

Pada pengobatan manusia sekarang, arsen-arsen yang masih dipakai hanya

untuk pengobatan beberapa penyakit tropis. Terutama masih dipakai pada

penyakit-penyakit hewan.

261
Untuk masa-masa mendatang, di Amerika Serikat dan juga di negara-

negara lain, imbas dari arsen pada kesehatan, akan lebih banyak yang berasal dari

industri dan lingkungan daripada yang berasal dari pemakaian obat-obatan.

Tinjauan yang menarik dari segi biologis toksikologi dan lingkungan

tentang arsen telah ditulis antara lain:

- Valce dan Dialoni 1960

- Buchanan 1962

- Schraeder 1966

- Frost 1967

- Lisella & Co. Workers 1972

Salah satu campuran yang paling penting adalah arsen triokside atau

arsenious okside, As2O3, dengan kata lain arsen putih yang banyak digunakan

sebagai bahan utama racun tikus – dan kadang-kadang dikelirukan dengan asam

arsenium. Ini terjadi dalam bentuk bubuk putih atau kristal oktahedral yang tidak

mempunyai rasa. Arsenic trioxide beracun dan ditemukan pada beberapa

pemberantasan tikus. Beberapa obat yang sering digunakan seperti cairan acidi

arsenasi dan Fowler’s solution mengandung arsen trioxide.

Dosis letal (yang mematikan) dari keracunan arsenic tergantung pada

senyawaannya. Keracunan fatal oleh arsen trioxide adalah 0,2 – 0,3 gram bagi

orang dewasa.

Campuran arsen yang beracun dalam bentuk lain yaitu trichloride,

triyodide, sodium arsenate, pada Pearson’s solution, Scheele’s green atau Copper

arsenite, Paris green, Realgar, atau arsenic sulfide, Donovan’s solution, (masing-

262
masing 1 % merkuri yodide dan arsenic yodide), Clemen’s solution (potassium

arsenat pada bromidi) dan pigmen-pigmen yang serupa Brunwick green, Vienna

merah dan mineral biru dimana terdapat sejumlah arsen dalam bentuk lain. Arsen

dalam beberapa campuran arsen organic lain juga toksis.

Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa penggunaan arsen dalam

pengobatan sudah sangat jarang, hanya terbatas pada hewan. Di Indonesia,

terutama pada masa pembangunan ini arsen banyak digunakan untuk / pada

pabrik-pabrik, alat-alat kesenian, pertanian, pertanian dan perkebunan yang

kadang-kadang menyebabkan keracunan, misalnya:

1. Arsenicus acid / white arsenic

 Bentuk kristal putih transparan, ada yang afogne seperti enamel,

rasa sedikit pahit.

 Banyak dipakai untuk: pada peternakan untuk membersihkan bulu-

bulu domba (campuran bentuk sulfur atau cairan ter), racun tikus.

2. Persenyawaan Na dan K, liquor arsenicals (Fowler’s sol)

 Fly water merupakan campuran dari 1 bagian larutan arsenic

sodium dengan 2 bagian gula dalam 20 bagian air. Kertas yang

diberi larutan ini disebut “Fly Paper” atau “Kertas lalat”.

 Banyak dipakai untuk: membersihkan semak-semak, pengawetan

kayu (membunuh serangga / preservatives).

3. Perseny arsenic / arsenic pigment dengan tembaga

 Antara lain copper arsenic, scheele green, emerald green (aceto

arsenite of copper)

263
 Banyak dipakai untuk: membuat pigmen-pigmen hijau pada kertas

hiasan (dekorasi), bahan-bahan cat.

4. Asam arsenic dan persenyewaan arsenic K dan Na

 Banyak dipakai untuk: pada pabrik untuk membuat magenta, rasa

nilin, warna-warna aniline, jenis-jenis tinta cetak.

5. Sulfida dari arsenic

 Antara lain jenis realgar, orpiment (yellow arsenic sulfide).

 Banyak dipakai untuk: Orpiment digunakan untuk membuat

lukisan-lukisan, cat kertas, warna pada mainan anak-anak, bahan

perontok rambut; Orpiment ini bila dicampur dengan linae (jeruk)

dapat digunakan untuk penyamakan kulit (menghilangkan wol dari

kulit)

6. Arsenic Chloride

 Larutan arsenic dalam asam hidroklorida mengandung 1 %

arsenioz acid yang sangat beracun.

7. Arsin (AsH3, Arsen uretted hydrogen)

 Berbentuk gas yang sangat beracun, menyebabkan hemolisa

kematian yang dapat bersifat mendadak, gas tidak berwarna berbau

bawang. Banyak terbentuk dalam proses produksi hydrogen,

karena proses produksi persenyawaan gas arsenic dengan bantuan

Hn.

8. Arsen dengan Pb

 Banyak dipakai untuk: membuat peluru / mimis.

264
Klasifikasi Arsen

Sifat-sifat kimia dan fisika arsen

As

Simbol 3 216 (Publikasi Lexicon)

265
Nomor atom 74,91 (Publikasi Hervey B. Elkins PhD)

Berat Atom 5,7 g/cc

3,5

814

Berat jenis (bentuk kristal hitam)

Valensi C / 149 F

61

Titik lebur C / 113 C (Publikasi Lexicon)

Titik sublimasi 615 C (Publikasi Hervey B. Elkins PhD)

Senyawa-senyawa berbahaya AsH3; As2O3; AsCl3, arsenites; arsenates

Senyawa-senyawa tak berbahaya Arsenic; As2S3

Efek berbahaya (kronik) Ulserasi kulit, kerusakan bagian hidung

Derajat Serius

M.A.C. 0,25 mg/m3 udara (untuk As3O3 1 mg / 1

266
liter urin.

Penilaian 1. Analisa urin

2. Analisa udara

3. Analisa rambut dan kuku

Sumber-sumber alam Tanah; air; bir; tembakau

Arsen sendiri sebagai unsur tidak digunakan. Elemen arsen adalah metal,

berwarna hitam, sering digunakan bersama timah yang digunakan dalam pabrik,

kadang-kadang ditemukan dalam bentuk metal murni, dimana bentuk alamiahnya

tersebut tidak toksik. Campuran tersebut tersebut bagaimanapun juga dapat

beracun dan sebagian darinya terkontaminasi dengan bahan tambang, arang dan

batu bara.

Jejak arsen didapat pada minyak, air dan tumbuh-tumbuhan. Sebagian

kecil terdapat sebagai campuran kimia yang digunakan sebagai industri, misalnya

mineral arsen, mineral alkali dan metal seperti besi, seng dan timah.

Arsenik merupakan salah satu unsur yang ada di dalam tanah, sehingga

perlu diketahui jika menghadapi kasus dimana korban telah dikubur. Contohnya

tanah disekitar tubuh korban; yaitu di atas, bawah, dan di sekitar tubuh korban

harus diambil guna dilakukan pemeriksaan toksikologis. Tindakan tersebut

selayaknya diambil untuk mencegah timbulnya interpretasi yang keliru.

267
Air dapat mengandung arsenic sebagai akibat kontaminasi dari sisa-sisa

pembuangan pabrik / industri. Dalam proses pembuatan bir, arsenic dapat

terbentuk, yaitu sewaktu membuat glukosa untuk dijadikan bir.

Arsenic juga ditemukan dalam jumlah yang cukup tinggi di dalam kerang,

oleh sebab itu orang-orang yang mempunyai kebiasaan makan kerang, ekskresi

arsenic dalam urin cukup tinggi, sama halnya dengan mereka yang keracunan

arsenic kronis.

Arsen dalam tabel periodik tidak termasuk golongan logam, tetapi karena

mempunyai sifat mirip logam, maka dimasukkan ke dalam golongan “metalloid”.

Yang dimaksud logam berat ialah:

1. Logam yang mempunyai sifat membentuk garam dengan asam.

2. Logam yang mempunyai berat molekul antara 59-232.

3. Logam yang dapat bereaksi dengan ligond (pengikat berupa gugus atom,

ion, atau molekul yang memiliki kesanggupan untuk menjadi donor

pasangan dalam satu atau lebih ikatan koordinat [coordinate bound]).

Arsen digolongkan ke dalam persenyawaan organic dan in organic;

pembagian ini sebagian untuk memudahkan penggolongan kimia. Arsen in

organik berbeda dengan arsen organik dalam beberapa hal yang penting dalam

farmakologi.

Hampir semua arsen in organik dapat dianggap sebagai garam asam meta

arsenit (HAsO2). Arsen yang sering digunakan untuk insektisida, racun tikus, dan

herbisida adalah karbason (4-ureidobenzen-asam arsenat), glikobiarsol, drokarbil,

dan oksofenarsin. Arsen trioksida (AsO3) sering disebut Arsenous acid yang

268
merupakan anhidrid dari asam meta arsenous (HAsO2). Hampir semua trivalent

arsen in organik dapat dianggap sebagai garam-garam dari asam meta arsenous.

Potassium arsenat adalah salah satu pemakaian untuk segala macam

pengobatan. Sodium arsenites calcium arsenite copper acete Cupie aceto arsenite

dipakai terutama sebagai insektisida, rodentisida, fungisida, dan herbasida. Arsen

trichlorid sekali-sekali dipakai sebagai pengganti potassium arsenat.

Senyawa-senyawa arsen dari Pb, calcium, dan sodium; masih dipakai

dalam formula lama insektisida, yang terkadang merupakan kepentingan dalam

hal toksikologinya. Misalnya yang berasal dari arsen pentoxide, dipakai sebagai

herbisida dan defoliant.

Cocodyl dan sodium sodium cocodilate Na; digolongkan sebagai asam in

organik, karena bentuk aktifnya adalah asam arsenikus, dimana kebanyakan

cocodyl yang masuk dalam badan dikonversikan.

Arsine adalah gas beracun yang menyebabkan keracunan-keracunan

industri yang sering terjadi. Dimethyl arsine, dimethyl arsenic acid, dan methyl

arsenic acid, sebagaimana garam-garam sodium dan amoniumnya, muncul

sebagai bentuk biotik kontaminan lingkungan; dan juga dipakai sebagai herbisida.

Arsen organic yang terbanyak / terpenting adalah derivat dari benzene

arsenic acid. Ada tiga derivate pentavalen yang digunakan dalam pengobatan;

carbosone (4-urcide benzene arsenic acid), tryparsonide (sodium N-Carbomyl

methyl – p-amine benzene arsenat) dan glicobiarsol.

Benzene arsenic adalah golongan ikatan arsenic karbon dan invivo yang

betul-betul tidak dirubah menjadi asam in organik.

269
Ada atau tidak adanya berbagai substituent pada cincin benzene tidak

hanya menandai kelarutan dari obat, tetapi juga kemampuan penetrasinya pada

membran sel, baik pada organisme parasit maupun pada inang.

Pemilihannya dapat dicapai dengan penggantian grup-grup yang tepat.

Arsen-arsen organik tanpa grup polar tinggi larut dalam lemak dan siap

menembus kulit; beberapa senyawa biasanya mempunyai aksi nesicant.

Tanpa memperhatikan apakah suatu arsen mengenai tubuh sebagai arsen

trivalent atau pentavalen; semua keracunan berat dan aksi mikrobial dapat

dihubungkan dengan bentuk trivalent. Beberapa arsen pentavalen, dikurangi

sebagai in vivo, diubah menjadi bentuk aktif trivalent, yaitu suatu arsen ozide.

Bagaimanapun redok aqnilibia; penguapan oksidasi in vivo, dan arsen

trivalent dioksidasi pelan-pelan dalam tubuh menjadi pentavalen arsenic.

Toksisitas yang rendah dan pengembalian yang tinggi dari arsen

pentavalen di dalam urin dan ekskreta menandakan bahwa sangat kecil reduksi

yang berlangsung. Arsen-arsen organik pentavalen semuanya menunjukkan sifat

anion dalam cairan tubuh. Dan dalam hal menembus sel-sel inang / pejamu

tidaklah sesiap jika dibandingkan dengan sel-sel dari parasit yang rentan / peka.

Dan ini menunjukkan efek terapi yang lebih tinggi dari bentuk trivalent.

Arsen, seperti telah disebut di muka adalah racun klasik dari pembunuhan

dan bunuh diri, tapi tak kurang pentingnya untuk toksikologi industri.

Efek kronis dari arsen trioxide dan dapat diduga debu-debu arsen lain,

terutama terdiri dari luka pada membran mukosa dan kulit. Menurut Harsen, ulkus

270
dan perforasi septum hidung tak jarang dapat dijumpai pada pekerja-pekerja

arsen.

Pentingnya arsen sebagai penyebab kanker masih diragukan. Tapi kejadian

abnormal dari kanker eksterna dan saluran pernafasan pada kelompok pekerja-

pekerja yang terkena debu arsenic oxide telah dilaporkan.

Banyak senyawa-senyawa arsen organic yang sangat toksik. Lewisite Ch

Cl = Ch – As Cl2 merupakan satu diantara gas-gas yang digunakan dalam kimia

yang merupakan suatu vesicant yang kuat dan dephenyl chloro arsino,

dipenylamine chloro arsine, serta dipenyl cyano arsine merupakan jenis senyawa

yang sangat iritan. Konsentrasi kecil dapat mengakibatkan muntah-muntah.

Cairan arsen triklorid juga vesicant dan sangat toksik bila menyentuh kulit.

Arsine: As H3.-

* Berat molekul : 77,9

* Titik didih : -35 C

* Efek berbahaya : Perubahan-perubahan darah, kerusakan hepar.

* Derajat : Serius, fatal.

* M.A.C. : 0,05 p.p.m.

0,5 mg As / liter urin.

* Penilaian : - Analisis udara

- Analisis urin

271
Arsine merupakan gas tidak berwarna, berbau bawang, dan sangat

beracun. Arsine telah diperagakan terjadi dari campuran Ca hydride dan metal

oxida yang ada dimana penderita bekerja, pada konsentrasi rata-rata 0,5 ppm.

Besarnya bahaya arsine terletak terutama pada penguapan selektifnya

daripada toksisitasnya, lain dari pada itu mungkin saja. Demikian suatu debu dari

senyawa incet terdiri dari 0,1 % arsen tidak akan menyebabkan keracunan yang

sama. Tapi bila zat tersebut menyebabkan proses reduksi kimia atau elektrolit,

arsen mungkin menguap hampir seluruhnya seperti arsine, dan suatu konsentrasi

yang berbahaya bisa dihasilkan dari material yang relatif kecil.

1. Arsen In Organik

Bentuk arsen in organik ini sifatnya sangat beracun dan paling sering

digunakan karena sifatnya tersebut. Campuran ini, lebih banyak digunakan untuk

pembunuhan dimana racun diberikan dalam dosis besar atau pemberian dosis

kecil tetapi berulang-ulang, supaya dapat menimbulkan gejala-gejala seperti sakit

biasa.

Dahulu pembunuhan pada sejumlah manusia dengan racun tunggal, paling

banyak menggunakan jenis arsen ini. Cara pemberiannya dengan cara dicampur

pada makanan atau minuman. Tetapi cara pembunuhan seperti ini sudah jarang

dilakukan lagi, karena racun ini mudah diketahui dan dicurigai secara langsung

sebagai tindakan kriminal. Pada sebagian kecil kasus pembunuhan dengan

preparat yang mengandung arsen dimasukkan lewat rektum, vagina, dan uretra

272
serta kematiannya serupa dengan yang diakibatkan oleh obat secara injeksi.

Secara pervaginam dapat untuk menginduksi abortus.

Kasus-kasus bunuh diri menggunakan racun lebih sering dan biasanya

menggunakan racun tikus atau Paris Green. Kecelakaan akibat racun in organik

sering terjadi. Sebagian kasus yang diperiksa tersebut ditenggarai menggunakan

jenis racun tikus, atau semprotan untuk tanaman (makan buah-buahan, sayuran

dimana berasal dari daerah yang disemprot), untuk pengawet kertas atau untuk

kain, kertas dinding (karena mengandung arsen yang kemudian menjadi partikel

debu dalam rumah) dan untuk campuran warna. Campuran arsen juga ditemukan

pada minuman, air, bir, kopi, obat-obatan, mineral, gas, dan produk batu bara.

Penggunaan obat dalam bentuk campuran arsen harus diperhatikan karena

bahayanya; apakah itu diberikan secara internal ataupun secara topikal

seperti lotion, salf, atau bedak untuk luka, tumor, atau kerusakan pada kulit yang

lain. Gejala keracunan kadang disebabkan oleh absorbsi obat. Pada beberapa

contoh kasus, arsenic trioxide sering dikelirukan dengan bubuk putih yang lain.

Senyawa in organik, hanya mempunyai kemampuan kecil untuk

mematikan jaringan tubuh, tapi tetap meracuni protoplasma sel tubuh, yang

selama berada dalam sirkulasi darah dan jika terjadi kontak dengan sel hidup

dapat menyebabkan perubahan-perubahan degeneratif.

Pada umumnya aksi dari iritasi lokal tidak diketahui, tidak begitu jelas,

tapi setelah diabsorbsi, akan terus ke aliran darah menuju bagian-bagian organ

tubuh hingga timbul efek-efek pada kapiler.

273
Intensitas dari toksemia tergantung dari jumlah obat dan kecepatan

absorbsi obat yang diberikan. Jika racun dalam bentuk cairan akan cepat

diabsorbsi, tetapi jika diberikan dalam bentuk yang padat akan diabsorbsi lebih

lambat.

Racun ini akan diabsorbsi dan ditimbun dalam jaringan hepar dan organ

lain untuk beberapa hari, dan akan dieliminasi melalui ginjal dan traktus

gastrointestinal.

2. Arsen Organik

Preparat arsen organik banyak dibuat, sebagian besar diantaranya

merupakan senyawa sintetis.

Senyawaan organik, termasuk diantaranya merupakan golongan alifatik

dan aromatik, yang mengandung baik trivalent maupun pentavalen arsenic.

Bersifat kurang toksis apabila dibandingkan dengan bentuk in organik, mungkin

disebabkan karena absorbsinya yang lebih lambat. Bila masuk ke dalam tubuh,

akan terurai secara perlahan-lahan dan biasanya tidak menyebabkan kerusakan /

kesulitan-kesulitan yang serius, namun kadang-kadang bila karena sesuatu hal,

dapat mempercepat absorbsinya sehingga dapat menimbulkan efek toksis yang

lebih berat.

Beberapa bentuk dari trivalen digunakan pada pengobatan tripanosomiasis

dan spirochaeta misalnya pada demam kambuhan sifilis. Bentuk arsen ini

ditimbun dalam berbagai organ, khususnya pada hati dan arsen jenis ini

274
menghilang secara bertahap. Hal ini menyebabkan efeknya terhadap parasit

(durasinya) arsen menjadi panjang.

Arsen pentavalen organik tidak seefisien arsen trivalent, dan jika

digunakan untuk obat bisa berbahaya. Arsen trivalent organik yang paling penting

adalah derivat dari Arsphenamine (Salvarsan atau 606, formula

HCL.NH2.C6H3As=AsC6H3.OH. NH2HCL.2H2O) diantaranya silver

arsphenamine, sulfarshphenamine, bismarsen (bismuth arsphenamine sulfonate)

dan neoarsphenamine (mapharsen, arseoxide, dasar dari kelompok arsphenamine).

Bentuk di atas semuanya efisien dalam pengobatan spirochaeta dan penyakit

protoza.

Diberikan secara intra vena dalam larutan sekali dengan dosis 0,3-0,6

gram, kecuali silver arsphenamine diberikan dengan dosis lebih kecil. Sekitar

tahun 1954, pengobatan berkembang dengan pemberian dosis yang lebih besar,

dengan berbagai cara, misalnya intra vena perdrop lambat, intravena perdrip

cepat, dan pemberian dengan spuit injeksi. Pemberian marphasen yang

dikombinasi dengan bismuth atau vaksin typoid, dengan hasil pengobatan yang

lebih baik. Pemberian arsen trivalent sebagai pencegahan tidak menimbulkan

kerugian, tapi dalam kasus yang jarang dapat menimbulkan kematian.

Kadang-kadang pasien mati dengan gejala kolaps seluruh tubuh sesudah

pemberian dosis tunggal dengan injeksi.

Pada otopsi, sedikit memperlihatkan gejala khas, hal ini mungkin

disebabkan karena reaksi hipersensitivitas.

275
Pada kasus lain, kematian terjadi akibat keracunan kronik oleh pemecahan

/ disosiasi arsen organik dari preparat arsphenamine dalam tubuh, dan efek ini

memerlukan waktu beberapa hari sampai beberapa minggu untuk berkembang.

Satu gejala yang paling mencolok adalah dermatitis exfoliativa pada

seluruh tubuh, khas dengan adanya skuama epidermis dan infiltrasi leukosit di

sekelilingnya dan pada korium.

Pada kasus yang lain, terjadi asphenamine enchephaloragi dan pasien

meninggal setelah koma, dan dari otopsi memperlihatkan petichae dan perdarahan

yang difus dan dapat juga terjadi perdarahan pada pons.

Diatesa hemorrhagi juga terjadi pada jaringan subserosa khususnya pada

mesenterium, intestinum tenue, dan otot jantung.

Kadang granulositopenia atau anemia aplastik, atau berkembang menjadi

trombosis umum dapat terjadi. Efek berikutnya berlangsung proses degenerasi

berat yang terjadi pada parenkim organ dan hati yang bisa saja terlibat, akhirnya

terjadi kematian mendadak (akut) atau subakutyellow atrofi dengan sakit kuning.

Pada kasus dimana korban dapat diselamatkan, dapat terlihat bercak

fibrosis pada parenkim hepar dan hepatitis kronik akibat proses degeneratif yang

lama. Jika pemberian tidak hati-hati, dan keluar dari vena, dapat menyebabkan

tormbosis.

Pemberian BAL pada komplikasi akibat arsen organik grup salvarsan

misalnya dermatosis, dermatitis exfoliativa, perdarahan otak, sakit kuning, akan

memberikan hasil yang baik.

276
Arsen organik pentavalen termasuk sodium cacodilate, (CH3)2AsO.ONa,

arrhenal, arsacetin, acetarsone tryparsamide dan lainnya, pada dosis toksis akan

menimbulkan efek subakut atau kronik. Tryparsamide punya efek lain yang dapat

menyebabkan amblyopia.

FARMAKOKINETIKA

Absorbsi

Senyawa-senyawa arsen yang larut dalam air diabsorbsi dari semua

selaput lendir dan secara pemberian parenteral. Absorbsi senyawa arsen yang

sukar larut dalam air misalnya As2O3 yang sangat tergantung pada kehalusan dari

bagian-bagiannya (fineness of subdivision).

Dalam obat pembasmian tanaman pengganggu (herbicides), terutama

As2O3 terbagi dengan agak kasar. Walaupun senyawa arsen yang pentavalen lebih

banyak mengalami imitasi daripada senyawa yang trivalent, namun senyawa arsen

in organik yang pentavalen diabsorbsi lebih baik daripada yang trivalent, namun

karena mereka kurang bereaksi dengan isi usus dan mukosa senyawa arsen

organik yang trivalent adalah juga sedikit diarbsorpsi dari saluran gastro

intestinal, kecuali melarsopral.

Bagaimanapun juga zat-zat tersebut dihancurkan di dalam usus dan

darinya dihasilkan senyawa arsen in organik yang siap diabsorbsi – senyawa arsen

yang pentavalen diabsorbsi dengan variasi yang luas – carbarsone dan melarsopral

277
absorbsinya cukup pada pemberian peroral dalam pengobatan penyakit infeksi

yang sesuai.

Carbarsone cukup banyak yang tidak diabsorbsi sehingga efektif untuk

melawan parasit dalam usus. Triparsamide sedikit diabsorbsi dari saluran

pencernaan. Absorbsi melalui kulit merupakan fungsi dari pelarut lipid. Secara

umum senyawa arsen trivalent diabsorbsi lebih baik dari pada yang pentavalen.

Di Amerika Serikat, masukan harian untuk senyawa arsen sangat

bervariasi, tapi rata-ratanya 1 mg perhari dan beban untuk tubuh orang dewasa

normal biasanya 14-21 mg (II-927). Pembicaraan di atas kiranya akan menjadi

lengkap bila dikaitkan dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Absorbsi melalui saluran pencernaan biasanya terjadi pada usaha bunuh diri.

Pembunuhan dan keracunan anak-anak dapat terjadi karena mereka tertarik akan

warna atau rasa enak suatu obat, sehingga menyebabkan keracunan karena

overdosis. Saluran pencernaan masih merupakan lingkungan luar (milious

externa), sehingga adanya zat-zat beracun di dalam saluran pencernaan tidak akan

mengakibatkan keracunan – hanya racun-racun yang bersifat kanotik atau korosif

yang dapat merusak selaput lendir usus, yang selanjutnya bisa terjadi perforasi,

peritonitis, yang akhirnya dapat menyebabkan kematian.

Pada umumnya zat beracun lebih mudah menyebabkan keracunan jika

diberikan pada perut kosong karena lebih cepat diabsorbsi. Juga pada umumnya

bentuk non ion akan lebih mudah diabsorbsi daripada bentuk ion, serta ph dapat

mempengaruhi difusi zat beracun melalui membran epitel usus. Selain ph,

278
konstante dinosiasi (p Ka) berpengaruh atas bentuk non ion dan bentuk ion,

menurut persamaan Handecson Hasselbach:

- Untuk asam: P Ka – ph = log (bentuk non ion)

bentuk ion

- Untuk basa : P Ka – ph = log (bentuk ion)

(bentuk non ion)

2. Absorbsi melalui kulit dipengaruhi oleh beberapa hal:

- Stratum corneum merupakan “therato limiting basic” sehingga bila lapisan

ini rusak atau jika integritas kulit terganggu, maka absorbsi akan dipermudah.

- Spesies pada hewan.

- Beberapa zat kimia dapat merubah kulit sehingga lebih permeabel

terhadap zat kimia lain.

- Sifat-sifat psikokimia.

- Zat-zat yang larut dalam lipid kurang mudah diabsorbsi kulit jika

dibandingkan dengan zat-zat yang larut dalam air.

- Zat-zat kimia yang berbentuk non ion lebih mudah diabsorbsi daripada

yang berbentuk ion.

- Ph, ukuran molekul, temperatur dan vaskularisasi juga ikut menentukan.

3. Sebagian dari zat-zat beracun yang masuk melalui pernafasan terabsorbsi

melalui selaput lendir di bagian tracheo-bronchial, non pharynx dan oropharynx

serta sebagian dari zat-zat tadi tertelan dan masuk ke dalam alat pencernaan.

Partikel-partikel sebesar 5 mikrometer atau lebih tetap berada di dalam

nasopharynx (bernafas melalui mulut), dan yang berukuran 2-5 mikron bisa

279
sampai ke dalam bagian tracheo-bronchial, yang kemudian oleh lendir dan silia

dapat dibersihkan dengan atau tanpa perantaraan batuk. Partikel-partikel sebesar

1 mikrometer atau kurang dapat masuk ke alveoli dimana partikel-partikel itu

dapat diabsorbsi masuk ke dalam darah.

Distribusi

Setelah zat beracun memasuki plasma darah, baik dengan perantaraan

absorbsi maupun langsung melalui intravena, maka zat tersebut dapat terdistribusi

ke seluruh bagian tubuh. Kecepatan distribusi ditentukan oleh banyaknya

vaskularisasi, mudahnya zat itu memasuki pembuluh kapiler dan menembus

membran sel jaringan, serta adanya afinitas jaringan terhadap zat tersebut.

Konsentrasi zat beracun ini di dalam darah setelah beberapa waktu tertentu

maka dari sini tergantung pada volume distribusinya (Vd); makin besar Vd-nya,

makin kecil konsentrasi zat beracun tersebut berada di dalam darah (X).

Penimbunan senyawa arsen terutama di dalam hepar, ren, dinding saluran

pencernaan, limpa dan paru-paru. Dalam jumlah kecil terdapat pada otot dan

jaringan syaraf. Dan selain itu juga terdapat dalam rambut dan kuku, dimana

disini mulai terdapat 2 minggu sesudah pemberian dan dapat tinggal sampai 1

tahun. Pada keratin banyak terdapat gugus salf hydril, demikian juga pada

jaringan tulang yang dapat menetap untuk selama-lamanya (II).

Biotransformasi (II)

280
Biotransformasi dari senyawa arsen hanya sedikit sekali diketahui. Dari

studi pada hewan percobaan nampak kemungkinan senyawa arsen yang trivalent

sedikit demi sedikit diubah kearah bentuk pentavalen, dan keduanya sebagian-

sebagian diubah ke arah methyl arsenator.

Ekskresi

Sebagian dari suatu dosis senyawa arsen trivalent yang diabsorbsi akan

diekskresikan secara lambat melalui urin setelah pemberian secara parenteral yang

dimulai dalam waku 2-8 jam. Namun hal ini dapat bertahan sampai 10 hari untuk

eliminasi dari arsen secara komplit setelah pemberian dosis tunggal dan dapat

sampai 20 hari pada pemberian berulang.

Ekskresi yang lambat ini merupakan dasar untuk terjadinya keracunan

arsen yang kumulatif. Arsenate dan bentuk pentavalen yang lain pada tubuh

manusia sangat cepat diekskresi, dan oleh sebab itu maka sangat kecil

kemungkinannya untuk menjadi keracunan yang bersifat kumulatif, kecuali

pemberian dengan dosis yang sangat tinggi dalam periode waktu tertentu.

Lisella dkk. (1972), telah mengkalkulasi bahwa pada pemberian arsen

pentavalen secara terus-menerus pada dosis maksimal yang diperkenankan di

dalam makanan, udara, dan air, maka akan memerlukan waktu 30 tahun untuk

terjadinya penimbunan beban toksis bagi badan.

Sejalan dengan kenyataan bahwa senyawa arsen trivalent adalah mungkin

untuk diekskresikan di dalam jaringan dan bentuk pentavalen cepat diekskresi,

281
maka arsenate diabsorbsi pada bagian proksimal dari tubulus kontortus renir dan

diekskresikan sebagai arsenite (Ginsbing, 1965). (II)

Senyawa arsenite dapat menembus placental barcick dan telah ditemukan

pada janin yang meninggal (sugoctal, 1969). Kira-kira 45 % dari senyawa arsen

yang dihisap ketika merokok diekskresikan melalui urin dan kurang lebih 2,5 %

melalui feses (Holland et all, 1959). Pada pemberian BAL (dimecarpol), maka

ekskresi melalui urin sangat jelas menanjak tanpa adanya kerusakan pada alat

ekskresi. Bila pemberian BAL tepat, maka akan dapat menekan sebagian besar

tanda dan gejala keracunan akut (Woody and Kometani, 1948).

Mekanisme keracunan

Mekanisme kerja toksik yang utama dari senyawa arsen ialah dengan

menghambat kerja enzim sulfihidril. Senyawa arsen organik yang trivalent

misalnya phenyl arsen oxide lebih poten dalam hal menghambat kerja enzim

sulfihidril daripada arsenites in organik. Arsenoxide sebagai senyawa antara yang

aktif (active intermurate) tidak dapat bereaksi dengan kelompok-kelompok kimia

yang lain, kecuali sulfihidril. Consparasid arsen arsen misalnya aesphenamine dan

senyawa arsen yang pentavalen harus dikonversi menjadi arsenoxide atau arsenit

terlebih dahulu sebelum dapat bereaksi, kecuali dikloroarsen yang dapat bereaksi

langsung.

Formulasi yang umum dan komplit dari reaksi arsenoxide (arsenite)

dengan gugus sulfihidril dari protein adalah sebagai berikut:

S-PR

282
R – As = O + 2 Hs – PR R + As + H-

O-H

S-PR

Dimana R adalah gugus kimia, dan PR adalah protein. Inertivasi dari

enymen sulfihifdril yang esensial mungkin merupakan langkah pertama ke arah

kerusakan sel. Di antara senyawa arsen, klorvinilkloroarsen (lewisite) mempunyai

daya inhibisi yang terkuat. Ion arsenat dapat bekerja sebagai uncouplers pada

fosforilasi oksidatif, karena itu pembentukan ATP terganggu.

Sistem oksidasi piruvat dan sejumlah besar enzim lain adalah rawan

terhadap senyawa arsen. Peranan dari interaksi antara senyawa arsen dengan

thiocic (x liporc) acid, suatu bagian esensial dari reaksi dekarboksilasi piruvat

menjadi perhatian utama, lebih dari reaksi dengan sulfihidril dari dua molekul

yang berbeda seperti dilukiskan pada formula di atas senyawa arsen yang dapat

bereaksi dengan kedua gugus sulfihidril dari thiocic acid untuk membentuk cincin

bersegi enam, yaitu suatu cincin yang lebih stabil daripada monocyclic thio

arsenites.

Pembentukan cincin menunjukkan kemanjuran dimercaprol dalam

pengobatan keracunan arsen. Arsine (AsH3) bergabung dengan hemoglobin dan

dioksidasi menjadi campuran (compound) hemolitik dan tidak menunjukkan aksi

dengan menghambat enzim sulfihidril.

Efek lokal

283
Senyawa arsen baik organik maupun in organik dapat menembus epitel

dan menyebabkan nekrosis dan pengelupasan. Campuran yang larut dalam air,

daya toksis lokalnya sangat lemah; triparsamide dan senyawa organik pentavalen

yang pada umumnya diberikan secara intramuskular tidak menyebabkan iritasi

lokal. Zat ini larut dalam air dan cepat diabsorbsi.

Dermatitis kontak dan konjungtivitis yang non alergika sering terjadi di

antara para perkerja yang terpapar terhadap debu yang mengandung senyawa

arsen. Menghisap udara yang mengandung arsen secara terus-menerus dapat

menyebabkan perforasi septum nasi.

Efek sistemik

Efek pada peredaran darah

Senyawa arsen dosis kecil in organik menyebabkan vasodilatasi ringan.

Dosis besar menimbulkan efek pada sistem sirkulasi. Perlukaan dapat terjadi pada

semua anyaman kapiler, tapi yang sering terjadi di daerah splanchnicus. Sebagai

hasilnya adalah transudasi dari plasma dan penurunan darah yang tajam,

selanjutnya terjadi kerusakan arteri dan myocard serta tekanan darah turun sampai

terjadi syok.

Gambaran EKG yang abnormal tetap terjadi sampai satu bulan sesudah

penyembuhan dari intoksikasi akuta. Senyawa arsen organ trivalent terutama

mengenai kapiler, tekanan pembuluh darah (resistant vessels), dan tentang

jantung, pengaruhnya sama dengan arsen in organik.

284
Pada dosis terapeutik obat, efek pada sirkulasi bervariasi dengan jarang

terjadi reaksi seperti syok angioneurotik yang segera mengikuti pemberian

tryparsamide. Hal ini terjadi mengikuti pemberian senyawa arsenic sejenis dengan

sifat simpatomimetik yang secara efektif meninggikan tekanan darah selama suatu

krisis; dimana hal tersebut tidak terjadi selama syok oleh karena senyawa arsen in

organik. Krisis ini terjadi disebabkan oleh karena flocylasi plasma protein.

Arteriosclerosis perifer (clackfoot disease0 dapat disebabkan oleh

pemasukan senyawa arsen in organic secara kronis (Heydoen, 1970).

Tractus gastrointestinal

Dosis kecil senyawa arsen in organik terutama yang trivalent

menyebabkan splanchnic hyperemia. Transudasi plasma pada kapiler sebagai

akibat pada dosis besar membentuk vesikula di bawah mukosa gastrointestinal.

Vesikula tadi akhirnya pecah, fragmen epitel terlepas, lalu plasma tercurah ke

dalam lumen, yang kemudian akan membeku.

Jaringan yang rusak dan aksi cathartic dari meningkatnya cairan dalam

lumen menyebabkan naiknya peristaltik dan keluarnya tinja yang karateristiknya

seperti air beras. Protiforens epitel yang normal ditekan, yang menyebabkan

kerusakan lebih lanjut. Segera sesudah itu feses menjadi berdarah, muntah

seringkali terjadi, dan muntahan mungkin mengandung darah. Stomatitis mungkin

juga terjadi, serangan gastrointestinal mungkin terjadi dengan sedikit demi sedikit

sehingga kemungkinan cara cuman arsenic mungkin diabaikan.

Sindrom nausea, vomiting, diare, sakit kepala dan malaise merupakan tipe

reaksi yang sering terjadi sebagai akibat pemberian injeksi senyawa arsen organik.

285
Reaksi ini tidak segera terjadi, tetapi terjadi dalam waktu 4-12 jam sesudah injeksi

dan berlangsung selama beberapa jam sampai hitungan hari. Hal ini disebabkan

oleh intoksikasi oleh bagian senyawa arsenic yang aktif dari obat tersebut.

Insidensi tertinggi terjadi setelah pemberian senyawa arsen trivalent dan

paling rendah setelah pemberian senyawa arsen pentavalen; misalnya

tryparsamide. Over dosis yang sangat besar dari senyawa arsen organik efeknya

sama dengan pemberian senyawa arsen in organik.

Tractus urinarius

Aksi dari senyawa arsen pada kapiler ginjal, tubuler dan glomeruli dapat

menyebabkan kerusakan ren yang hebat. Efek pertama pada glomeruli, pembuluh

darah mengalami dilatasi sehingga memungkinkan hilangnya protein dan

kemudian terjadi pembengkakan untuk mengisi glomerulair. Variasi tingkatan

dari nekrosis tubuler dan degenerasi terjadi, urin berkurang dan berisi protein,

eritrosis dan carts.

Sejumlah carts, albuminuria ringan dan darah pada urin sedikit meninggi,

sering terjadi setelah pemberian senyawa arsen organik dengan dosis terapeutik –

namun efek ini hanya bersifat sementara.

Kerusakan ginjal akut yang jarang terjadi akibat arsen organik adalah

idiosyncrasi.

Kulit

Pemberian senyawa arsen in organik dengan dosis rendah dan secara

kronis akan menyebabkan vasodilatasi kulit dan “milk and corce” complexion.

Penggunaan senyawa arsenic yang berkepanjangan juga menyebabkan

286
hiperkeratosis dan hiperpigmentasi, yag akhirnya aksi ini menuju ke arah atrofi

dan degenerasi serta mungkin juga ke arah kanker. Erupsi pada kulit umumnya

terjadi setelah pengobatan dengan senyawa arsen in organik.

Senyawa arsen trivalent yang sistemik mengganggu dengan respon

peradangan pada kulit dan dapat menyebabkan terjadinya pyoderma. Hal tersebut

juga mengganggu penyembuhan luka pada kulit dan jaringan lain.

Insidensi dermatitis pada penggunaan senyawa arsen organik pentavalen

adalah rendah dan reaksinya biasanya ringan. Luka bisa lokal atau menyeluruh

dalam distribusinya.

Sistem syaraf pusat (SSP)

Pada penggunaan secara kronis atau terpapar dengan senyawa arsen in

organik (namun jarang pada senyawa arsen organik) dapat menyebabkan neuritis

periferal. Pada kasus yang berat, sumsum tulang belakang bisa terkena juga. Pada

pemberian senyawa arsen in organik dengan dosis toksis secara akuta, hampir 5 %

akan menunjukkan depresi sentral tanpa gejala-gejala gastrointestinal.

Dari arsen yang masih digunakan oleh manusia, tryparsamide – tapi bukan

carborsone atau glico biarzol – menyebabkan insidensi yang tinggi dalah hal efek

pada SSP, bila digunakan dengan dosis terapeutik. Efek ini biasanya visual.

Ensefalopati dapat ditimbulkan pada penggunaan:

- Senyawa arsen organik trivalent misalnya: melarsoprol (paling umum sebagai

rekasi toksik).

- Senyawa arsen organik pentavalen, glico biorsal pada dosis klinis (tapi jarang).

287
- Overdosis carbarsone.

Gejalanya termasuk sakit kepala yang berat, konvulsi dan koma. Gejala-

gejala sebelumnya terlihat pada cairan serebro spinal jumlah sel dan protein

bertambah. Kerusakan pada otak terutama yang berasal dari vasculair dan terjadi

pada massa putih dan abu-abu, gejalanya berupa perdarahan nekrosis dengan

focus yang multipel dan simetris.

Perlu ditambahkan pada pemberian dimecaprol ialah pengobatan sedatif,

anti konvulsan dan tindakan untuk mengurangi oedem otak, yang mana antara lain

dapat dengan memberi mannitol hipertonik atau larutan ureum.

Darah

Senyawa arsen in organik mengganggu sum-sum tulang dan mengubah

komposisi sel-sel darah. Vaskularisasi pada sumsum tulang bertambah. Pada dosis

sedang menyebabkan pengurangan eritrosit dan pada dosis besar menyebabkan

perubahan morfologis sel-sel darah dengan tampak adanya megalocytes dan

microscytes. Senyawa arsen in organik juga menekan produksi leukosit. Beberapa

efek kronis pada adarah dapat disebabkan oleh karena terganggunya absorbsi

asam folat.

Arsenite juga mengganggu syntore parpyrine (Van Togeran et all, 1965).

Gangguan pada darah dan sumsum tulang yang ditimbulkan oleh senyawa arsen

in organic merupakan masalah yang benar-benar serius, tapi untungnya jarang

terjadi. Sejumlah kasus agranulasitosis disebabkan oleh glico biornd yang mana

telah dilaporkan pernah terjadi.

288
Hati

Senyawa arsen in organik dan sejumlah yang organik, terutama toksis

terhadap lever dan menimbulkan infiltrasi lemak, nekrosis sentralis dan chirossis

triparsamide yang dapat merusak kapur pada dosis terapeutik. Kerusakan bisa

sedang atau berat; menyebabkan acute yellow athrophybahkan kematian.

Kerusakan pada umumnya mengenai parenkim hepar, tetapi pada beberapa

kasus memberikan gambaran klinis yang menyerupai aclusi saluran empedu

secara umum yang disebabkan oleh pericholangitis dan thrombus empron pada

cabang saluran empedu yang paling halus.

Metabolisme

Aksi toksis yang mula-mula dari senyawa arsen organik menimbulkan

oedema tersembunyi disebabkan oleh kerusakan kapiler. Pada kerusakan arsen

eliminasi nitrogen bertambah oleh karena degenerasi jaringan yang terjadi pada

banyak organ.

Percobaan untuk mendemonstrasikan aksi tonik dari senyawa arsen pada

hewan percobaan menunjukkan bahwa elemen ini tidak berguna pada

pertumbuhan dan perkembangan.

Simptomatologi

Keracunan akut:

289
1. Gejala biasanya timbul ½ - 1 jam sesudah masuknya obat, tapi mungkin

terlambat sampai beberapa jam, terutama bila arsen masuk bersama

makanan.

2. Rasa manis metalik, bau bawang putih pada nafas dan feses.

3. Penyempitan pada tenggorokan dan kesukaran menelan. Rasa seperti

terbakar dan sakit kolik pada aerophagus ventriculus dan usus.

4. Muntah dan diare dan ekskretanya air beras seperti pada kolera dan

kemudian feses berdarah.

5. Dehidrasi dengan rasa haus yang sangat dan kram otot.

6. Sianosis, pols lemah, dan anggota badan menjadi dingin.

7. Vertigo, sakit kepala bagian depan.

Pada beberapa kasus (tipe serebral) vertigo stupor, delirium dan mania

dapat terjadi tanpa gejala gastro intestinal yang menonjol.

8. Syncope, koma, kadang-kadang konvulsi, paralisis umum dan kematian.

9. Bila fase akut bisa sembuh, maka neuritis perifer yang termasuk syaraf

sensoris dan motoris tidak jarang terserang.

10. Berbagai erupsi pada kulit, lebih sering terjadi pada keracunan kronis.

11. Pada saat penyembuhan, kelemahan dan diare akan tetap ada sampai

beberapa minggu dan kadang-kadang sindrom sukar dibedakan dengan

keracunan kronis.

Keracunan kronis

290
Terdapat manifestasi sebagai berikut, mulai dari anoreksia, gangguan

pencernaan yang ringan, sedikit demam, pucat, lemah, peradangan catarrhal pada

hidung, tenggorokan, konjungtiva dan laring seperti pada infeksi coryza;

stomatitis dan salivasi juga sering terjadi.

Gangguan kulit dapat berupa eritrema, eczema, pigmentasi (arsenic

melanosis), keratosis (terutama pada telapak tangan dan kaki), bersisik dan

desquamasi, kuku rapuh, rambut dan kuku rontok dan oedema subkutan yang

lokal.

Gejala kerusakan ginjal timbul, pembesaran hepar dengan ikterus dan

kadang-kadang dengan pruritus dan dapat menjadi sirosis dan asites.

Komplikasi jantung (fibrilasi ventrikular dan kardiak akut) pernah

dilaporkan walau jarang. Kadang-kadang ada reaksi kehilangan protein pada

diskrasia darah enteropathy yang hebat, akibat dari deposit semua elemen seluler

dari sum-sum tulang. Kejadian ini mungkin berhubungan dengan metabolisme

folic acid. Pada keracunan yang lanjut, maka gejala syaraf menonjol yaitu

encephalopaties dan neuritis perifer lebih umum terjadi. Mula-mula yang terkena

syaraf sensorius hingga timbul parestesia, hipertesia dan sakit, namun kemudian

muncul paralisa, atrofi otot, biasanya pada kaki. Kemungkinan akan menonjol

distribusi kehilangan perasaan yang disebut “Glove and Stocking”.

Dalam hal simptomatologi ini, lebih khas pada keracunan arsen in organik,

yaitu ada empat tipe dan gejala keracunan yang terjadi:

1. Bentuk paralisis akut

291
Akibat pemberian arsen in organik dalam jumlah besar dan cepat

masuk ke dalam sirkulasi.

Manifestasi dari bentuk ini ialah kolaps sirkulatori dengan tekanan

darah rendah, nadi yang cepat dan lemah, pernafasan sukar dan dangkal,

sesak nafas, semicommatore atau stupor dan kadang-kadang konvulsi.

Pasien tidak menunjukkan gejala gastrointestinal (kalaupun ada berupa

muntah-berak, nyeri perut).

Gejalanya timbul mendadak. Penderita dapat meninggal sebelum 24

jam. Gejala di atas disebabkan oleh penekanan syaraf pusat oleh senyawa

arsen dosis tinggi terutama pada medulla oblongata.

2. Tipe gastro intestinal

Tipe ini lebih umum terjadi dan gejala-gejala yang khas ditimbulkan

oleh karena perlukaan / lesi pada ventrikulus, usus, dan organ-organ yang

parenkimateous. Segera setelah masuknya senyawa arsen, terjadi muntah

yang berlangsung selama 1 atau 2 jam kemudian diikuti dengan diare.

Perbedaan gejala-gejala klinik yang menonjol, bervariasi pada tiap-

tiap kasus. Pada beberapa kasus diare berat adalah gejala yang paling

menonjol, sedangkan pada pasien lain adalah mual, muntah, rasa panas

dan terbakar, sakit dan kram pada abdomen yang menjadi keluhan utama.

Pada pasien yang lain lagi dapat menderita gatal / serak pada tenggorokan,

sensasi haus yang sangat, mulut terasa kering. Kombinasi dari gejala-

gejala tersebut bisa terjadi.

292
Muntah bisa terjadi terus-menerus dan muntahannya nampak seperti

air beras dan terkadang berisi lendir darah dan cairan empedu. Diare

mungkin hebat dan feses mungkin berdarah atau seperti air beras sama

dengan feses pada cholera asiatica. Pada kasus yang lebih jelas terdapat

muka yang livid, sianosis, merasa gelisah, kulit dingin lembab, kram pada

lengan, betis, delirium, albuminuri, urin yang berkurang dan dehidrasi oleh

karena muntah yang terus-menerus dan diare.

Hal ini bermakna pada kasus muntah dapat terjadi setelah makan

arsen bebas, dan ini menimbulkan keragu-raguan berhubung dengan

adanya arsen sesudah diabsorbsi yang telah dikeluarkan kembali ke dalam

lambung. Kematian terjadi dalam beberapa jam atau hitungan hari. Bila

pasien dapat bertahan terhadap serangan maka akan terjadi pemulihan.

Penanganan pada keracunan akut adalah dengan mengeluarkan

lambung dengan tube dan mencuci dengan air hangat dan susu. Emetic

mustart 1 bagian dan garam 6 bagian, pada air dengan jumlah banyak lebih

berarti.

Antidotum spesifik ½ - 1 ons tincture dari ferri chloride dengan air

dan ditambahkan magnesium Castor oil dapat diberikan untuk

membersihkan usus. Kantor farmasi dan kimia di Asosiasi Kesehatan

Amerika (American Medical Ascociation) menganjurkan pemberian BAL

(British Anti Lewisite 2,3 dimercaptopropanol) secepatnya. Ini akan

mengambil arsen dari jaringan dan menyebabkannya cepat diekskresi.

293
BAL diberikan intramuskuler pada 10 % larut minyak tiap 4 jam dengan

dosis 5 mg/kg BB sampai gejala keracunan hilang.

Hasil Otopsi

Lesi yang berupa nekrosa mempunyai tingkatan yang sangat

bervariasi. Pada kematian yang terjadi dalam beberapa jam karena

kolapsnya sirkulasi, membran mukosa lambung dan usus dapat tidak

memperlihatkan perubahan yang bermakna. Lambung dapat kosong atau

berisi lendir, atau sejumlah cairan kemerahan. Kadang-kadang pada

lipatan membran mukosa lambung terdapat kristal oktahedral dari As

trioxide atau bercak Paris Green, atau deposit kekuningan dari As sulfide

yang terbentuk oleh kombinasi kimiawi antara arsen dengan hydrogen

sulfat dalam lambung.

Pada kasus lain, mukosa lambung merah kongesti dan edema,

sementara itu tampak garis gelap karena korosi pada lipatan, berbentuk

karet atau bentuk pemanggang besi pada tempat korosi oleh racun.

Lambung dapat berisi lendir warna gelap yang bercampur darah. Pada

tahap awal usus tidak menunjukkan perubahan yang berarti, meskipun

arsen diperkirakan sudah sampai jaringan.

Selanjutnya pada tahapan menyerang tubuh lebih lanjut, lesi meluas.

Dinding lambung dan usus dapat bengkak dan kelihatan edema dan

kongesti pada lapisan sub-mukosa, dan biasanya berwarna merah

kecoklatan dengan perdarahan bagian dalam sub-mukosa dengan berbagai

ukuran di sana-sini. Pada suatu kasus, terdapat pseudomembran warna

294
abu-abu kekuningan pada jejunum bagian atas. Pada beberapa bagian usus

dapat berwarna kuning akibat penimbunan arsenic sulfide. Usus dapat

berisi sejumlah besar cairan mirip cucian beras, atau dapat kosong dan

berisi lender darah. Perluasan lesi sangat bervariasi., kadang lamban, dan

sebagian usus mengalami inflamasi, bahkan kadang seluruh

gastrointestinal terlibat.

Mulut, faring dan esophagus kadang memperlihatkan proses yang

sama, hanya intensitasnya lebih rendah. Pada kulit kadang terbentuk bulla

pada bagian yang terkena racun, edema pada muka dan sekitar mata

pernah dilaporkan bahkan sampai terjadi perdarahan atau purulen.

Inflamasi lambung dan usus sebagian besar akibat ekskresi As melalui

membran mukosa dan efek lambung secara langsung mengenai pembuluh

darah sub-mukosa, dan yang lebih jarang korosif langsung pada dinding

usus.

Pada beberapa kasus, pemberian arsen in organik pada ulkus kulit

atau pada kulit yang utuh, akan diikuti dengan gejala gastrointestinal,

meskipun pemberian tidak melalui mulut.

Pemeriksaan mikroskopik pada lesi yang meliputi mulut dan usus

pada keracunan arsen, memperlihatkan perdarahan pembuluh darah kecil

sub-mukosa yang berisi sel darah merah dan sel leukosit plimorfonuklear,

disertai bengkak dan membesarnya endothelium, jaringan ekstravaskuler

(pada sub-mukosa) edema dan juga mengandung sel darah merah dan

leukosit polimorfonuklear.

295
Pada korban yang mampu bertahan hidup selama beberapa hari,

terjadi perubahan pada parenkim dan degenerasi lemak pada jantung,

hepar, dan ginjal dengan warna suram, abu-abu kemerahan, abu-abu

kekuningan. Obat akan ditimbun dalam hepar, parenkim sel akan menjadi

bengkak dan ikterik, dan jaringan tubuh akan memperlihatkan berbagai

tingkatan dari ikterik hepatogenous.

Sesudah racun menjadi subakut atau kronik, akan terjadi komplikasi

atrofi kuning akut. Perdarahan atau purpura dengan ukuran yang berbeda-

beda dapat terjadi pada jaringan subserosa atau pada jaringan longgar

seperti mesenterium, jaringan retroperitoneal, epikardium, preaortae, dan

lain-lain.

Jaringan subendokardial, khususnya pada permukaan septum

ventrikel kiri dapat terlihat bercak kecil menyala seperti perdarahan atau

perdarahan yang luas. Lesi ini dapat berubah menjadi perlemakan atau

terjadi perubahan degenerasi lain pada endothelium kapiler dan dengan

mikroskopik dapat terlihat infiltrasi polimorfonuklear yang jelas pada

daerah perdarahan. Pada suatu kasus keracunan arsen akut, pemeriksaan

kelenjar adrenal pada bagian korteks mengalami nekrosis disertai dengan

infiltrasi leukosit.

Jika arsen diberikan dalam bentuk padat dan kematian terjadi pada

stadium awal, sebagian besar arsen diketemukan dalam lambung. Jika

perjalanan penyakitnya lebih panjang, jumlah arsen dalam lambung

berkurang. Seseudah diserap, racun disebar ke organ-organ dan terbanyak

296
ditimbun di hepar, lien, ren, dan jaringan lain dalam beberapa minggu,

secara bertahap dikeluarkan lewat urin dan feses. Hepar biasanya

mengandung lebih banyak ketimbang organ lainnya, akan tetapi

jumlahnya sangat bervariasi sehingga sukar untuk menentukan jumlah

minimal dalam jaringan yang menyebabkan kematian.

Adanya sejumlah besar arsen dalam organ akan memungkinkan

lambatnya pembusukan mayat. Bukti yang nyata perihal jumlah arsen

dalam organ akan tergantung pada jenis kasusnya. Meskipun demikian,

riwayat penyakit dan penemuan pada otopsi sangat mengarahkan

keracunan karena obat ini, memperhitungkan jumlah tiap menitnya harus

hati-hati, banyak jumlah arsen yang ada dalam tubuh merupakan akibat

pengobatan. Jika analisa kimia hanya terbatas pada luar tubuh atau hanya

ada arsen dalam lambung, usus, tetapi organ lain seperti hati, ginjal, dan

otak tidak, maka kesimpulan sebab kematian tidak bisa dibuat.

Pada penanganan lain jika terasa sejumlah arsen ditemukan pada

jaringan-jaringan dan organ lain dalam tubuh, khususnya pada

hubungannya dengan bentuk tanda klinis dan lesi patologis, hasilnya akan

signifikan adanya aksi absorbsi dan toksis antemortem.

Pada kasus akut organ, yang paling baik untuk pemeriksaan adalah

lambung dan isinya, hati, ginjal, dan otak. Pada beberapa kasus ini, isi

usus dan urin dapat berharga.

297
Pada otopsi bongkar jenazah, tanah di sekitarnya, cairan di sekitar peti

dan sebagian dari peti seharusnya diambil untuk di tes adanya arsen untuk

membatasi kontaminasi yang mungkin terjadi.

3. Tipe subakut

Tipe ini terjadi pada pemberian senyawa arsen dalam dosis kecil,

berulang-ulang, dan dalam interval tertentu. Atau pada pemberian dosis

tunggal yang besar yang tidak menyebabkan kematian dalam waktu cepat

namun tinggal di dalam tubuh dan menyebabkan kerusakan selama waktu

ekskresinya yang lambat.

Korban tetap hidup selama beberapa minggu atau sampai beberapa

bulan. Beberapa dapat berkembang menjadi keracunan hepar yang

degeneratif, yang melanjut menjadi acute / subacute yellow atrophy dan

diikuti oleh icterus toxic yang berat.

Perdarahan multipel dapat terjadi pada lapisan subserosa atau pada

jaringan longgar di daerah areola. Tractus intro intestinal mungkin

mengalami radang kronis dengan diare yang terus-menerus, kram dan

dehidrasi.

Ginjal dapat menunjukkan inflamasi, nefrosis dengan albuminuria dan

urin berdarah. Erupsi pada kulit, daerah yang eczematous dan keratosis

timbul di beberapa tempat.

Pasien kehilangan berat badan, menjadi kurus dan lemah, sakit yang

serius, dan akhirnya meninggal.

4. Tipe kronis

298
Dapat terjadi akibat perkembangan pada sejumlah kasus, sesudah

gejala akut menghilang dan ini dapat menunjukkan sejumlah manifestasi

yang berbeda-beda.

Pada suatu tipe neuritis kronis dapat timbul dengan degenerasi serabut

syaraf yang dimulai dari daerah perifer berlanjut ke arah pusat. Lesi ini

ditandai dengan paralise otot tangan dan kaki, anastesia gangguan

pertumbuhan seperti atrofi otot, rambut dan kuku rontok. Pada beberapa

kasus gastritis kronis dapat diamati dengan anoreksia, nausea dan diare.

Kelemahan yang progresif, coryza, keratosis pada telapak tangan dan kaki,

kelopak mata yang oedematous, mata yang menonjol, kehilangan berat

badan, anemia, pucat, penurunan daya tahan tubuh secara umum dan sakit-

sakitan dapat terjadi.

Sindrom ini dapat ditimbulkan intoksikasi dari senyawa volatil yang

dihasilkan oleh jamur padawall papers yang mengandung senyawa arsen

atau dengan paparan terhadap asap industri, atau dengan menelan secara

terus-menerus dalam jumlah kecil di dalam makanan, atau absorbsi oleh

kulit secara terus-menerus dari cat / pewarnaan baju.

Bentuk keracunan akut dapat tidak didahului gejala akut. Tipe kronis

dari keracunan ini tidak didahului oleh gejala akut dan nampak kronis.

Di India, Sirian dan Austria biasa diberikan sebagai obat-obatan, ½ -

2 gram arsenic trioxide tiap minggu. Dan ada beberapa kasus dengan

pemberian dosis besar tidak menimbulkan efek toksis. Hal ini dapat

diterangkan dengan teori peningkatan eliminasi atau penurunan absorbsi.

299
Sedang laporan lain melaporkan terjadinya efek toksis pada pemberian

arsen.

Pemeriksaan toksikologi pada kasus subakut atau kronik dapat

diperlihatkan hanya sedikit jumlah arsen yang di dapat dalam tubuh.

Meskipun jarang, pemeriksaan toksikologi postmortem didapatkan hasil

negatif. Misalnya pada keracunan kronis dengan komplikasi jaundice berat

– dan beberapa lesi perdarahan dengan pemeriksaan toksikologi ketika

masih hidup pada urin dapat ditemukan adanya arsen, tapi pada saat otopsi

tak bisa dideteksi pada organ-organ yang rusak. Pada kasus yang berlanjut,

keracunan logam dapat ditimbun pada tulang, kulit, dan rambut yang

terjadi lambat, dan sebagian dari rambut, kulit dan tulang tadi dapat

dipergunakan untuk pemeriksaaan kimiawi sebaik organ yang dimaksud.

Arsine (Hidrogen Arsine, arsiniuretted hydrogen AsH3), merupakan

gas tak berwarna, yang berbau sangat busuk. Contoh ekstrim keracunan

tersebut jika hidrogen bersenyawa dengan arsen trivalent pada tes Marsh.

Kasus keracunan bisa terjadi di laboratorium kimia, industri pabrik,

dimana logam mencair dan terbentuk asam dan hidrogen dalam jumlah

besar. Sejumlah logam dan bahan kimia yang mengandung As dari proses

tersebut menghasilkan arseniuretted hydrogen. Beberapa penulis

menyebutkan timbulnya gas ini dalam kapal selam yang berasal dari

lapisan baterai.

Gejala keracunan dapat terjadi sangat cepat sesudah menghisap gas,

atau dapat timbul setelah beberapa jam berlalu. Korban menjadi sakit atau

300
tak berdaya dan mengeluh lemas, pusing, sakit kepala, sakit perut, mual,

dan muntah. Arsen dapat menyerang syaraf pusat dan mengakibatkan

nekrose dan kelumpuhan.

Akibat penting dari gas ini adalah menyebabkan hemolise darah

merah, hemoglobinuria, dan jaundice. Umumnya muncul kurang lebih 4

jam sesudah menghisap gas. Kerusakan eritrosit dapat menginduksi

anemia berat. Kematian terjadi pada 36 % kasus karena kolaps jantung

yang diperberat edema paru atau seperti typoid disertai delirium.

Keracunan arsine kronis terjadi karena menghirup secara berulang-

ulang. Gejalanya terutama multipel neuritis. Penanganan awal dengan

memindahkan korban dari daerah beracun dan pemberian O2. Transfusi

dapat diberikan untuk menangani anemianya. Istirahat merupakan

pengobatan simptomatis.

Hasil otopsi:

Pada otopsi ditemukan semua jaringan kekuningan, perubahan

degeneratif pada hati yang meluas ke lien, dengan deposit pada parenkim,

toksik pada ginjal dan pada paru.

Pemeriksaan toksikologi dari arsine pada tubuh sama dengan

campuran arsenic trioxide yang teroksidasi dalam jaringan. Pada

keracunan akut, paru dan otak sangat baik untuk bahan analisa.

301
Laboratorium

Prosedur pemeriksaan toksikologi

a. Reinsch Test

Reinsch tes merupakan suatu cara untuk memancing logam-logam dari

campuran dengan mempergunakan:

- Logam Cu untuk memancing logam As dan Hg.

- Logam Fe untuk memancing logam Cu.

Cara Kerja:

- Mempersiapkan logam Cu yang akan dipakai.

Logam Cu sebelum dipakai dibersihkan terlebih dahulu dengan jalan membakar

logam Cu tersebut dengan api benzene sampai membara, kemudian dimasukkan

dalam HNO3 pekat lebih kurang 10 menit, lalu dimasukkan ke dalam HCl 10 %

lebih kurang 10 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir lalu dikeringkan

dengan kertas saring, masukkan ke dalam alkohol selama 10 menit kemudian

dimasukkan ke dalam eter untuk membebaskannya dari lemak-lemak, dan logam

Cu siap dipakai.

- Memancing logam dari sampel

Dengan mempergunakan logam Cu yang telah kita persiapkan. Sampel sebanyak

10 gram dikeringkan dengan waterbath, lalu dihaluskan. Masukkan bubuk

sampel tadi ke dalam tabung Erlenmeyer 125 cc, kemudian tambahkan 5 cc HCl

pekat lalu ditambah aquadest sebanyak 10 cc. Langkah selanjutnya, masukkan

logam Cu (ikat dulu dengan benang supaya nanti mengambilnya mudah, tapi

302
benangnya jangan ikut tercelup) lalu dipanaskan selama 1 jam. Sesudah itu

logam diambil dan dicuci dengan air mengalir, kemudian keringkan.

Periksa pada logam CU tersebut apakah terdapat noda-noda atau perubahan

warna yang menunjukkan adanya logam yang berhasil dipancing, yaitu As atau

Hg.

Berikut ini cara kerja yang lebih sistematis:

1. Membuat spiral kawat tembaga dengan diameter 0,88 mm (BWG 20),

dengan melingkarkan pada sebatang pensil sebanyak 14 kali, dengan

menyisakan bagian yang lurus sepanjang 10 cm, sebagai pegangan.

2. Organ dengan berat 10 gram, misalnya isi lambung, masukkan ke dalam

water bath, sampai kering, gerus sampai lumat.

3. Tepung BB dimasukkan dalam labu ehrlenmeyer 125 cc, tambahkan 5 cc

HCl pekat, lalu tambahkan aquadest 10 cc.

4. Spiral Cu tadi dicuci dengan asam nitrat pekat, lalu bersihkan dengan air

yang mengalir, kemudian dengan alkohol, lalu dengan eter.

5. Masukkan kawat spiral tadi ke dalam campuran.

6. Panasi labu erlenmeyer tadi dengan waterbath selama 1 jam.

7. Spiral diangkat; bersihkan dengan air mengalir untuk menghilangkan

material BB yang melekat. Telitilah kalau masih ada sisa material BB

yang melekat pada spiral tersebut. Dengan warna abu-abu dari Cu5As2,

selain arsen; maka Sb, Bi, Ag, Hg, Se, Te, dan sulfiden akan membentuk

deposit (kerak) pada spiral Cu tersebut.

303
8. Spiral Cu tadi dimasukkan dalam tabung sublimasi, dipanasi, kemudian

arsennya akan bereaksi dengan udara membentuk As2O3 dan membentuk

kristal oktahedral dan tetrahedral pada bagian yang dingin. Dapat

ditambahkan bahwa pada waktu disublimasikan, yang menguap ada 3

macam logam, yaitu: As, Sb dan Hg.

9. Sensitivitas: 250 mikrogram As dalam 50 cc cairan.

10. Reaksi ini dapat diteruskan dengan reaksi lain, seperti tersebut di bawah

ini.

b. Marsh Test

Sifat: Spesifik untuk arsen. Harus dilakukan di almari asam.

Dasar: Senyawa arsen diredusir oleh H naccent senyawa

AsH3  dipanaskan dipanaskan  As + gas hidrogen.

Reaksinya:

- As2O3 + 12 Zn + 12 H2SO4 4 AsH3 + 12 ZnSO4+ 4 H2O

H3AsO4 + 4 Zn + 4 H2SO4 AsH3 + 4 ZnSO4 + H2O

- AsH3 -------------------------- As4 + 6 H2

Cara kerja:

- Alat Marsh disiapkan, lengkap dengan butir-butir Zn dan H2SO4 yang

bebas dari As. Ujung tabung pemanas yang bebas disambung dengan pipa karet,

304
sedangkan ujung yang lain dimasukkan ke dalam larutan AgNO3 3 %. Gunanya

untuk:

1. Menghilangkan udara dalam labu Erlenmeyer agar tidak terjadi letusan.

2. Mengetahui bahwa alat Marsh itu termasuknya reagennya bebas As. Bila

ada As, akan terjadi endapan hitam pada larutan AgNO3:

6 AgNO3 + 3 H2O + AsH3 H3AsO3 + 6 HNO2 (reaksi Hofmann)

- Biarkan alat ini selama ½ jam, kalaupun terjadi endapan pada larutan

AgNO3, harus diulangi lagi dengan alat-alat yang lebih bersih.

- Jika larutan AgNO3 tetap jernih, setelah ½ jam, pipa karet dilepas, zat yang

akan diperiksa dimasukkan dalam alat Marsh, lewat corong pengisi dan pada

bagian pipa yang menjepit dari pipa Marsh, dibalut dengan kasa tembaga. Dan

dipanasi dengan Bunsen brander sampai memijar.

- Jika zat yang diperiksa mengandung As, akan terjadi cermin pada bagian

pipa setelah pemanasan.

Kepekaan: 1/50 mg. Bila untuk membuat hidrogen digunakan elektrolise, dengan

kepekaan 1/200 mg (4 gamma). Kepekaan yang lebih kecil lagi tidak perlu, sebab

As pada jumlah yang kecil tidak toksis.

Membedakan As dan Sb:

Sb, bila diperiksa dengan alat Marsh, juga akan membentuk cermin, yang mudah

dibedakan dengan As.

1. Cermin As terjadi di pipa Marsh sesudah pemanasan. Cermin Sb terjadi

sesudah dan sebelum pemanasan (lihat gambar).

305
2. Bila tabung Marsh diambil dan dialiri udara sambil dipanasi sedikit, maka

cermin As akan menjadi As2O3 yang menguap dan dibawa aliran udara dan

menyublim di bagian ujung sepit dari pipa Marsh, kemudian membentuk kristal

yang tetra atau oktahedrat, sedang Sb membentuk sublimasi yang amorph dan

dapat dilihat dengan mikroskop.

3. Bila cermin tadi adalah As, maka dapat larut dalam NaClO, sedang Sb

tidak larut. Reaksinya: 2 As + NaClO + 3 H2O 1 H3AsO3 + NaCl.

4. Bila dalam tabung Marsh dialirkan gas H2S, maka baik As maupun Sb-nya

akan membentuk sulfidenya. Sulfide arsen yang berwarna kuning mudah

menguap, dan akan menyublim di tabung yang dingin, sedangkan sulfide Sb-nya

pada pemanasan tidak menguap, namun tetap tinggal di tempatnya dan berwarna

kemerahan.

5. Bila dialiri gas HCl, sulfide Asnya tetap saja, sedang sulfide Sb akan

berubah menjadi chloride yang larut dalam air.

c. Metoda Gutzeit

Indikator: AgNO3 kristal

Larutan AgNO3 1 %

Prinsip : Senyawa As direduksi oleh H2 (hasil reaksi Zn dengan H2SO4 4N)

menjadi AsH3 yang berbentuk gas.

Kegunaan Pb asetat untuk mengikat gas H2S yang

terjadi. Sedangkan AgNO3 berfungsi sebagai indikator, bila ada As maka akan

306
terjadi senyawa AsH3 yang bila bereaksi dengan AgNO3 akan berwarna kuning

dalam keadaan panas dan berwarna hitam dalam keadaan dingin.

Reaksi:

 Zn + H2SO4 ------- ZnSO4 + H2

As + H2 ------- AsH3

 AsH3 + 6 AgNO3 ------- AsAg3.3 AgNO3 + 3 HNO3

(berwarna kuning bila panas)

Dalam keadaan dingin akan berubah menjadi hitam karena dalam

udara ada H2O

AsAg3.3 AgNO3 + 3 H2O ------- H3AsO + 6 Ag (hitam) + 3 HNO3

c. Sanger Black Test (modifikasi Gutzeit)

Prinsip: As diubah dahulu menjadi AsH3, seperti pada percobaan Marsh.

Indikator: inilah letak perbedaan reaksi Gutzeit dengan Sanger Black, dimana

disini dipakai HgCl2 atau HgBr2.

Percobaan ini dapat dipakai untuk menentukan As secara semikuantitatif.

Percobaan ini kurang spesifik, namun cukup mudah dilakukan dan

ketidakspesifikannya mudah diatasi.

Cara kerja:

- Gunakan alat Sanger Black atau alat Gutzeit yang dimodifikasi.

- Sampel yang akan diperiksa mula-mula harus ditimbang atau diukur

volumenya (ini untuk kuantitatif).

- Untuk mengetes kemurnian reagens dan kebersihan alatnya, dilakukan

testing dahulu, jadi dilakukan percobaan tanpa sampel.

307
- Dalam labu Erlenmeyer, masukkan butiran Zn yang telah direndam dalam

larutan CuSO4 5% selama 5 menit. Lalu tambahkan H2SO4 4 N sebanyak 20 cc

atau lebih.

- Pasanglah prop (gabus penutup) yang terbuat dari karet yang sudah

dipasangi cerobongnya yang berisi kertas saring / kapas yang telah diinfiltrir

dengan Pb asetat, yang gunanya untuk menangkap H2S yang timbul yang dapat

mengganggu jalannya pemeriksaan.

- Pada ujung cerobong dipasangi pipa kaca yang diisi dengan kertas saring

ukuran lebar 1 mm dan telah diinfiltrir dengan sublimate.

- Biarkan alat ini demikian selama 30 menit.

- Jika kertas sublimate tetap putih, berarti reagensia dan alatnya bebas dari

As, maka sediaan sampel tadi dapat dimasukkan.

- Ditunggu sampai terjadi perubahan warna pada kertas sublimate dan

lamanya menunggu sampai perubahan warna tadi konstan (tidak bertambah

panjang lagi).

- Bila warna yang terjadi sudah tidak bertambah panjang lagi, berarti As

dalam labu sudah habis.

- Penentuan jumlah As yang ada ialah dengan cara dibandingkan dengan

panjangnya bagian yang berubah warnanya itu dengan standart yang telah dibuat

terlebih dahulu dengan berbagai macam kadar. Cara membuat standard sama

saja, hanya jumlah As-nya sudah diketahui lebih dahulu. Inilah sebabnya disebut

semikuantitatif karena hanya membandingkan dengan standart.

Reaksi yang terjadi (pada kertas sublimate):

308
AsH3 + 3 HgCl2 ------- 3 HCl + As(HgCl)3 ----- kuning

2 As(HgCl)3 + AsH3 ------- 3AsH(HgCl)2 ----- oranye

AsH(HgCl)2 + AsH3 ------- 6 HCl + As2Hg3 ----- coklat

Warna-warna yang terjadi:

Kertas sublimate yang mula-mula putih bila terkena gas AsH3 akan berubah

menjadi kuning terlebih dahulu, lalu di bawahnya timbul warna oranye, coklat,

dan akhirnya hitam. Jadi bagian yang paling banyak terkena gas AsH3akan

berwarna hitam, yang paling sedikit akan berwarna kuning.

Bahan-bahan untuk pemeriksaan:

- Kertas sublimate; adalah kertas saring yang telah direndam dalam larutan

sublimate 5 % dalam alkohol selama 5 menit, dan dikeringkan pada temperatur

kamar, setelah itu tepinya dibuang lalu dipotong dengan ukuran 1 x 80 mm.

- Kertas / kapas Pb asetat; adalah kertas saring atau kapas yang telah

direndam dalam larutan Pb asetat 5 % selama 5 menit, lalu dikeringkan pada

temperatur kamar.

- Jika dalam sampel, As-nya terlalu banyak, kertas sublimate yang

panjangnya 8 cm tersebut seluruhnya akan berubah warna menjadi hitam, maka

percobaan ini harus diulangi lagi dengan sampel yang baru dengan cara

mengencerkan sampelnya menjadi separuhnya, misalnya dengan hanya

memasukkan separuh dari sampel yang ada.

Yang menganggu pemeriksaan: Sb dan P.

309
Jika sampelnya diperkirakan tercampur dengan Sb atau fosfor, maka sebelum

dilakukan percobaan modifikasi Gutzeit, terlebih dahulu dilakukan percobaan

Reinch, lalu kawat tembaga yang telah dipakai tadi diperiksa secara modifikasi

Gutzeit. Yang ikut terpancing pada kawat Cu adalah As dan Sb, sedang P-nya

tidak ikut terpancing. Dan setelah percobaan modifikasi gutzeit ini selesai, maka

kertas sublimate diuji dengan HCl, sehingga bila ada Sb-nya, warna hitam yang

ditimbulkan oleh adanya Sb tadi akan hilang oleh uap HCl.

Material untuk keperluan analisisl:

1. Isi lambung. Air bekas pembilas lambung (gastric lavage), ~ 100 ml/cc.

2. Urin, ~ 100 ml/cc.

3. Rambut, dibagi menjadi 3: ujung, tengah, pangkal; yang dipisahkan dalam

3 botol dan masing-masing diberi label

4. Kuku

5. Tulang

6. Kulit

7. Hepar, liver functietest untuk mengetahui kerusakan hepar.

8. Darah, untuk keperluan pemeriksaan albumin, pemeriksaan hematuri, dan

analisis kadar arsen, juga Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis (differential count),

terutama perubahan eosinofil.

Jumlah sampel adalah sebanyak mungkin yang dapat diambil, sebab lebih baik

bersisa dan dapat dikembalikan daripada kurang. Pemeriksaan toksikologi untuk

arsen harus dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif; pemeriksaan kualitatif saja

tidak berarti sebab dapat pula ditemukan arsen dalam jaringan pada orang yang

310
suka minum tonikum yang mengandung As (misalnya Arseen triferol) dan orang

tersebut malah sehat.

Hasil pemeriksaan:

1. Pada keracunan akut

- Air seni : terdapat darah dan protein.

- Darah : terutama pada kasus-kasus yang fatal; konsentrasi arsen 0,1 – 1,5

mg/100 gr.

2. Pada keracunan kronis

- Rambut, kuku, air seni, dan feses: terdapat zat arsen

- Darah : anemia dengan neutrophilic leucophenia.

Pengobatan

1. Bilas lambung / gastric lavage dengan 2 – 3 liter air dan diikuti dengan

pemberian 1 gelas susu atau colodial ferric hydroxide (persediaan yang masih

baru) atau berikan 1% larutan sodium thiosulfat atau larutan B.A.L.

(dimercaprol).

2. Salino cathartic (obat pencahar) dengan 15-30 gram sodium sulfat

dilarutkan dalam air.

3. Pemberian BAL (dimercaprol) dalam bentuk larutan 10 % dosis menurut

kebutuhan yang diperlukan, intermuskuler sedini mungkin. Pada keracunan berat

dapat diberikan dosis tunggal 5 mg/kg berat badan dengan interval 4 jam selama

24 jam. Sesudah itu dosis dapat diturunkan dan intervalnya diperpanjang. Karena

311
pengobatan dengan dimercoprol relatif tidak berbahaya (meski begitu tetap harus

diperhatikan gejala-gejala keracunan oleh B.A.L.), maka pengobatan jangka

pendek (6 dosis: 2,5 mg/kg BB dengan interval 4 jam) dapat diberikan pada

penderita yang dicurigai keracunan arsen.

4. Untuk menghilangkan dehidrasi, berikan cairan intravenous (suntikan /

infuse) untuk menjaga keseimbangan cairan-cairan elektrolit dalam darah.

5. Hcl morfin mungkin diperlukan untuk mengontrol rasa sakit pada perut.

6. Pada keadaan syok yang serius, selain memberikan cairan elektrolit,

transfuse darah dan pemberian oksigen diperlukan.

Pertolongan / pengobatan dengan pembilasan lambung, salin cathartic (pencahar)

hanya dilakukan terhadap keracunan akut yang pada umumnya keracunan

melalui saluran pencernaan.

Pada keracunan kronik, baik oleh karena senyawa arsen yang organik maupun

yang in organik, pemberian dimercoprol pada umumnya efektif. Perbaikan gejala

kronis terjadi 1-3 hari dan masa pemulihan antara 1-3 minggu tergantung dari

organ atau sistem yang mengalami kerusakan.

Bagaimanapun juga bila kerusakan darah sudah bersifat ireversibel seperti

anemia aplastik, ensefalopati yang lanjut dan kebanyakan kasus dengan ikterus,

maka penyingkiran arsen dari sistem ini adalah sedikit dapat membantu.

Keracunan kronis harus diobati dengan dimercoprol jangka panjang. Eksaserbasi

yang timbul sesudah terapi kenalan diperlukan pengobatan ulangan.

Glukokortikoid diperlukan bila timbul dermatitis ataupun konjungtivitis.

312
Pencegahan

1. Menghilangkan sumber bahaya yaitu dengan mensubstitusi dengan bahan-

bahan lain yang tidak beracun bila memungkinkan.

2. Mengasingkan sumber bahaya, yaitu dengan melokalisasi pekerjaan-

pekerjaan yang menggunakan bahan arsen.

3. Hindarkan pengisapan debu yang mengandung senyawaan arsen, uap

AsH3, atau dengan mengurangi kadarnya, misalnya dengan menekan jumlah

debu arsen di udara sehingga menjadi 0,2 mg permeter kutub udara atau di

atasnya.

4. Hindarkan dari makanan yang terkontaminasi oleh debu-debu senyawaan

arsenic.

5. Hindarkan kontak dengan bahan-bahan As dengan jalan mengusahakan

alat bantu perlindungan personal, misalnya masker, sarung tangan dan

sebagainya.

6. menjaga kebersihan pribadi, mandi setelah jam kerja di tempat yang

berhubungan dengan bahan-bahan As, mencuci tangan sebelum makan.

7. Pencegahan selanjutnya ditujukan kepada keadaan lingkungan kerja

(persyaratan keselematan dan kesehatan kerja yang diwajibkan) misalnya dengan

jalan memberi pendidikan / penyuluhan kesehatan dengan tujuan agar karyawan /

ti mengerti akan bahaya keracunan arsen dan tahu cara pencegahannya serta

sadar untuk menjalankannya.

313
BAB III

PENUTUP

Toksikologi adalah subyek bahasan yang luas, yang kebanyakan

berhubungan dengan alam, kejadian, gejala, biokimia, tindakan dan terapi

terhadap berbagai jenis racun. Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan,

dapat dibagi dalam dua kelompok, yang pertama bertujuan untuk mencari

penyebab kematian, misalnya kematian akibat keracunan morfin, sianida, karbon

monoksida, keracunan insektisida, dan lain sebagainya, dan kelompok yang kedua

– dimana sebenarnya yang terbanyak kasusnya, akan tetapi belum banyak disadari

– adalah untuk mengetahui mengapa suatu peristiwa, misalnya peristiwa

pembunuhan, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan pesawat udara dan perkosaan

dapat terjadi. Dengan demikian, tujuan yang kedua bermaksud untuk membuat

suatu rekaan rekonstruksi atas peristiwa yang terjadi. Dalam ilmu kedokteran

kehakiman, keracunan dikenal sebagai salah satu penyebab kematian yang cukup

banyak sehingga keberadaannya tidak dapat diabaikan. Pada orang-orang sehat,

juga bisa ditemukan arsen, misalnya pada orang yang minum tonikum yang

mengandung arsen. Oleh karena itu dalam menentukan sebab kematian karena

arsen, selain ditemukannya arsen dalam jaringan atau organ, juga harus dapat

ditentukan kuantitas dari arsen yang ada dalam jaringan atau organ tersebut.

314
DAFTAR PUSTAKA

1. Adiwisastra, A. Keracunan, Sumber, Bahaya serta Penanggulangannya.

2. Andarwendah, Sumardi, 1982, Keracunan Arsen, Program Pendidikan

Pasca Sarjana Hyperkes, FK-UGM.

3. Bagian Farmakologi FKUI, 1980, Farmakologi dan Terapi, PT

Intermasa, Jakarta

4. Elkins, Hervey B. Ph.D., The Chemistry of Industrial Toxicology, 1960,

John Wiley B. Sous Inc., New York, Chapenan & Hall, Lanbon, USA.

5. Gonzales, Vance, Helper, 1979, Legal Medicine Pathology and

Toxicology,

6. Hadikusumo, Nawawi, dr. , 1997, DSPF, Ilmu Kedokteran Forensik, IKF

III, FK UGM – UMY.

7. Idries, A.M., et all, 1985, Ilmu Kedokteran Kehakiman, PT. Gunung

Agung, Jakarta.

8. Nawawi, R. HSC Gen’83, Peranan Pemeriksaan Kimia / Toksikologi

dalam Pengadaan Visum et Repertum.

9. Kamdari, Siti HSC Gen’83, Analytical Toxicology.

10. Robert & Gasselin. M.D. Ph.D, et all, 1979, Clinical Toxicology of

Commercial Products Acute Poisoning, The Williams & Wilkins Co.,

Baltimore.

11. Sutrisno, Bram, dr, Hand Out Toxicology Industry, 1982,Yogyakarta.

315
12. Tedeschy, Cokert, Tedeschi. Forensic Medicine, A Study in Trauma and

Enviromental hazards, Volume II.

13. Thienes, Clinton H. M.D. Ph.D, Thomas Y. Haley Ph.D, 1972, Clinical

Toxicology, Heurg kimpton Publishers – London, Great Britain.

316

Anda mungkin juga menyukai