Anda di halaman 1dari 21

A.

Konsep Dasar Kebutuhan Dasar Manusia Gangguan Mobilisasi


1. Definisi Pengertian
Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas,
mudah dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat.
Mobilisasi diperlukan untuk meninngkatkan kesehatan, memperlambat
proses penyakit khususnya penyakit degeneratif dan untuk aktualisasi.

(Mubarak, 2008).
Potter dan Perry (1994) menjelaskan mobilisasi mempunyai banyak tujuan,
seperti mengekspresikan emosi dengan gerakan nonverbal, pertahanan diri,
pemenuhan kebutuhan dasar, aktivitas hidup sehari-hari dan kegiatan
rekreasi. Dalam mempertahankan mobilisasi fisik secara optimal maka
sistem saraf, otot, dan skeletal harus tetap utuh dan berfungsi baik.
Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak dengan
bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
aktivitas guna mempertahankan kesehatannya. Sedangkan gangguan
mobilisasi fisik (imobilisasi) didefinisikan oleh North American Nursing
Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu keadaan ketika individu
mengalami atau berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik (Kim et al,
1995 dalam Fundamental Keperawatan Potter dan Perry, Ed. 4.)
Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem
otot, skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf.

2. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Mobilisasi


Gangguan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam mobilisasi dapat
disebabkan oleh trauma, kondisi patologis, beberapa penyakit yang beresiko
menyebabkan stroke seperti hipertensi, DM, Arterosklerosis, embolis serta
kontak antara sumber panas.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi Mobilisasi : (Aziz Alimul;2006)
a. Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi kemampuan mobilisasi
seseorang karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau kebiasaan
sehari-hari.
b. Proses Penyakit/Cedera

Proses penyakit dapat memengaruhi kemampuan mobilisasi karena dapat


memengaruhi fungsi sistem tubuh. Sebagai contoh, orang yang mengalami
fraktur femur akan mengalami keterbatasan pergerakan dalam ekstremitas
bawah.
c. Kebudayaan
Kemampuan melakukan mobilisasi dapat juga dipengaruhi kebudayaan.
Contohnya orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki
kemampuan mobilisasi yang kuat; sebaliknya ada orang yang mengalami
gangguan mobilisasi (kaki) karena adat dan kebudayaan tertentu dilarang
untuk beraktivitas.
d. Tingkat Energi
Energi adalah sumber untuk melakukan mobilisasi. Agar seseorang dapat
melakukan mobilisasi dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup.
e. Usia dan Status Perkembangan
Terdapat perbedaan kemampuan mobilisasi pada tingkat usia yang berbeda.
Hal ini dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan
dengan perkembangan usia.
Bayi: sistem muskuloskeletal bayi bersifat fleksibel. Ekstremitas
lentur dan persendian memiliki ROM lengkap. Posturnya kaku
karena kepala dan tubuh bagian atas dibawa ke depan dan tidak

seimbang sehingga mudah terjatuh.


Batita: kekakuan postur tampak berkurang, garis pada tulang

belakang servikal dan lumbal lebih nyata


Balita dan anak sekolah: tulang-tulang panjang pada lengan dan
tungkai tumbuh. Otot, ligamen, dan tendon menjadi lebih kuat,
berakibat pada perkembangan postur dan peningkatan kekuatan otot.
Koordinasi yang lebih baik memungkinkan anak melakukan tugas-

tugas yang membutuhkan keterampilan motorik yang baik.


Remaja: remaja putri biasanya tumbuh dan berkembang lebih dulu
dibanding yang laki-laki. Pinggul membesar, lemak disimpan di
lengan atas, paha, dan bokong. Perubahan laki-laki pada bentuk
biasanya

menghasilkan

pertumbuhan

tulang

panjang

dan

meningkatnya massa otot. Tungkai menjadi lebih panjang dan


pinggul menjadi lebih sempit. Perkembangan otot meningkat di

dada, lengan, bahu, dan tungkai atas.


Dewasa: postur dan kesegarisan tubuh lebih baik. Perubahan normal
pada tubuh dan kesegarisan tubuh pada orang dewasa terjadi

terutama pada wanita hamil. Perubahan ini akibat dari respon


adaptif tubuh terhadap penambahan berat dan pertumbuhan fetus.
Pusat gravitasi berpindah ke bagian depan. Wanita hamil bersandar
ke belakang dan agak berpunggung lengkung. Klien biasanya
mengeluh sakit punggung.
Lansia: kehilangan progresif pada massa tulang total terjadi pada

orangtua. (Potter and Perry, 2005)


f. Kondisi patologis
Postur abnormal:
Tortikolis: kepala miring pada satu sisi, di mana adanya kontraktur

pada otot sternoklei domanstoid.


Lordosis: kurva spinal lumbal yang terlalu cembung ke depan/

anterior
Kifosis: peningkatan kurva spinal torakal
Kipolordosis: kombinasi dari kifosis dan lordosis.
Skolioasis: kurva spinal yang miring ke samping, tidak samanya

tinggi hip/ pinggul dan bahu.


Kiposkoliosis: tidak normalnya kurva spinal anteroposterior dan

lateral.
Footdrop: plantar fleksi, ketidakmampuan menekuk kaki karena

kerusakan saraf peroneal.


Gangguan perkembangan otot, seperti distropsi muskular, terjadi
karena gangguan yang disebabkan oleh degenerasi serat otot

skeletal
Kerusakan sistem saraf pusat
g. Trauma langsung pada sistem muskuloskeletal: kontusio, salah urat, dan
fraktur.
h. Ketidakmampuan
Kelemahan fisik dan mental akan menghalangi seseorang untuk
melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Secara umum ketidakmampuan
dibagi menjadi dua yaitu :

Ketidakmampuan primer yaitu disebabkan oleh penyakit atau


trauma (misalnya : paralisis akibat gangguan atau cedera pada
medula spinalis).

Ketidakmampuan sekunder yaitu terjadi akibat dampak dari


ketidakmampuan primer (misalnya : kelemahan otot dan tirah

baring). Penyakit-penyakit tertentu dan kondisi cedera akan


berpengaruh terhadap mobilitas.

3. Patofisiologi
Gangguan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam mobilisasi dapat
disebabkan oleh trauma, kondisi patologis, beberapa penyakit yang beresiko
menyebabkan stroke seperti hipertensi, DM, Arterosklerosis, embolis serta
kontak antara sumber panas. Terjadinya trauma dan kondisi patologis tersebut
dapat menimbulkan fraktur yang menyebabkan pergeseran fragmen tulang
sehingga terjadi perubahan bentuk (deformitas) yang menimbulkan gangguan
fungsi organ dan akhirnya menimbulkan hambatan mobilitas fisik. Beberapa
penyakit seperti hipertensi, DM, Arterosklerosis, embolis dapat menyebabkan
pembekuan darah dan terjadi penyempitan pembuluh darah sehingga aliran
darah ke otak terganggu dan terjadi iskemia sel-sel otak yang menimbulkan
stroke yang menyerang pembuluh darah otak bagian depan mengakibatkan
penurunan kekuatan otot (hemiparesis) hingga hilangnya kekuatan otot
(hemiplegia) yang akhirnya menimbulkan hambatan mobilitas fisik. Penyebab
lain karena kontak langsung yang terjadi antara tubuh dengan sumber panas
ekstrem seperti air panas, api, bahan kimia, listrik yang menyebabkan kombustio
(luka bakar) dan merusak jaringan kulit yang lebih dalam, menimbulkan sensasi
nyeri terutama saat dilakukan pergerakan pada bagian tersebut sehingga terjadi
hambatan mobilitas fisik.

Pathway : Hambatan Mobilitas Fisik

Trauma

Kondisi
Patologis

Hipertensi, DM,
Arterosklerosis,
embolis
(+) plak,
bekuan darah

Kontak antara sumber


panas, (air panas, api,
bahan kimia, listrik)
dengan kulit

Fraktur
Diameter pembuluh
darah menyempit
Pergeseran
Fragmen
Tulang

Merusak jaringan
kulit yang lebih
dalam

Aliran darah ke
otak terganggu

Deformitas
Iskemia sel-sel
otak
Gangguan
fungsi organ

Stroke

Kesakitan saat
bergerak

Menyerang
anterior cerebral
arteri

Hemiparesis,
hemiplegia
Gangguan
mobilitas
Hambatan mobilitas
fisik
Pasien lebih
banyak berbaring

Kesulitan untuk
melakukan
perawatan diri

Penekanan pada
area penonjolan
tulang

Defisit
perawatan diri

Dekubitus
Risiko
kerusakan
integritas kulit

Menimbulkan
sensasi nyeri

4. Klasifikasi Mobilisasi dan Imobilisasi


1. Jenis Mobilisasi
a. Mobilisasi penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan
menjalankan peran sehari-hari. Mobilisasi penuh ini merupakan fungsi
saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area
tubuh seseorang.
b. Mobilisasi sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena
dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada tubuhnya.
Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau patah tulang dengan
pemasangan traksi. Pasien paraplegi dapat mengalami mobilisasi
sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilangan kontrol motorik dan
sensorik. Mobilisasi sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
1. Mobilisasi sebagian temporer, merupakan kemampuan individu
untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Dapat
disebabkan oleh trauma reversible pada sistem musculoskeletal,
contohnya adalah adanya dislokasi sendi dan tulang.
2. Mobilisasi permanen, merupakan kemampuan individu untuk
bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut
disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang ireversible, contohnya
terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegi karena cedera tulang
belakang, poliomyelitis karena terganggunya system saraf motorik
dan sensorik.
2. Jenis Imobilisasi

a. Imobilisasi fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik


dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan,
seperti

pada

pasien

dengan

hemiplegia

yang

tidak

mampu

mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga tidak dapat


mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.
b. Imobilisasi intelektual, merupakan keadaan ketika

seseorang

mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami


kerusakan otak akibat suatu penyakit.
c. Imobilisasi emosional, keadaan ktika seseorang mengalami pembatasan
secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam
menyesuaikan diri. Contohnya keadaan stress berat dapat disebabkan
karena bedah amputasi ketika seseorang mengalami kehilangan bagian
anggota tubuh atau kehilangan sesuatu yang paling dicintai.
d. Imobilisasi sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan dalam
melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya sehingga dapat
memengaruhi perannya dalam kehidupan sosial.
5. Gejala Klinis
Menurut North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) 2012-2014,
batasan karakteristik dari hambatan mobilitas fisik adalah sebagai berikut:
Penurunan waktu reaksi.
Kesulitan membolak balik posisi
Melakukan aktivitas lain sebagai pengganti gerakan (mis. meningkatkan
perhatian pada aktivitas orang lain, mengendalikan prilaku, fokus pada

ketunadayaan/aktivitas sebelum sakit).


Dispnea setelah aktivitas.
Perubahan cara berjalan.
Gerakan gemetar.
Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik halus.
Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar.
Keterbatasan rentang pergerakan sendi
Tremor akibat pergerakan.
Ketidakstabilan postur.
Pergerakan lambat.
Pergerakan tidak terkodinasi

Seseorang yang mengalami gangguan mobilitas fisik akan menunjukan


tanda dan gejala seperti di atas.

6. Pemeriksaan Fisik
1. Mengkaji skelet tubuh
Adanya deformitas dan kesejajaran. Pertumbuhan tulang yang abnormal
akibat tumor tulang. Pemendekan ekstremitas, amputasi dan bagian
tubuh yang tidak dalam kesejajaran anatomis. Angulasi abnormal pada
tulang panjang atau gerakan pada titik selain sendi biasanya menandakan
adanya patah tulang.
2. Mengkaji tulang belakang
Skoliosis (deviasi kurvatura lateral tulang belakang)
Kifosis (kenaikan kurvatura tulang belakang bagian dada)
Lordosis (membebek, kurvatura tulang belakang bagian
pinggang berlebihan)
3. Mengkaji system persendian
Luas gerakan dievaluasi baik aktif maupun pasif, deformitas, stabilitas,
dan adanya benjolan, adanya kekakuan sendi
4. Mengkaji system otot
Kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi, dan ukuran
masing-masing otot. Lingkar ekstremitas untuk mementau adanya edema
atau atropfi, nyeri otot.
5. Mengkaji cara berjalan
Adanya gerakan yang tidak teratur dianggap tidak normal. Bila salah
satu ekstremitas lebih pendek dari yang lain. Berbagai kondisi
neurologist yang berhubungan dengan cara berjalan abnormal (misalnya
cara berjalan spastic hemiparesis - stroke, cara berjalan selangkahselangkah penyakit lower motor neuron, cara berjalan bergetar
penyakit Parkinson).
6. Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer
Palpasi kulit dapat menunjukkan adanya suhu yang lebih panas atau
lebih dingin dari lainnya dan adanya edema. Sirkulasi perifer dievaluasi
dengan mengkaji denyut perifer, warna, suhu dan waktu pengisian
kapiler.
7. Mengkaji fungsional klien
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Sinar X tulang
Menggambarkan kepadatan tulang, tekstur dan perbuatan hubungan
tulang.
b. Radiologis
Dua gambar, anterior posterior (AP) dan lateral

Memuat 2 sendi diroksimal dan distol fraktur


Memuat gambar foto 2 ekstremitas, yaitu ekstremitas yang kena
cidera dan ekstremitas yang tidak terkena cidera (pada anak

dilakukan 2 kali yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan


c. CT scan (Computed Tomography) menunjukkan rincian bidang tertentu
tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak
atau cidera ligament atau tendon. Digunakan untuk mengidentifikasi
lokasi dan panjangnya patah tulang didaerah yang sulit dievaluasi.
d. MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah tehnik pencitraan khusus,
noninvasive, yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan
computer untuk memperlihatkan abnormalitas (mis: tumor atau
penyempitan jalur jaringan lunak melalui tulang Dll.
e. Pemeriksaan Laboratorium:
Darah rutin, faktor pembekuan darah golongan darah crostet dan analisa.
Hb pada trauma, Ca pada imobilisasi lama, Alkali Fospat , kreatinin
dan SGOT pada kerusakan otot.
8. Teraphy/Tindakan Penanganan
1. Kesejajaran Tubuh
Dalam mempertahankan kesejajaran

tubuh

yang

tepat,

perawat

mengangangkat klien dengan benar, menggunakan teknik posisi yang tepat,


dan memindahkan klien dengan posisi yang aman dari tempat tidur ke kursi
atau brankar.
Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas, digunakan
untuk meningkatkan kekuatan, ketahanan otot, dan fleksibilitas sendi.
Posisi-posisi tersebut, yaitu : posisi fowler (setengah duduk), posisi litotomi,
posisi dorsal recumbent, posisi supinasi (terlentang), posisi pronasi
(tengkurap), posisi lateral (miring), posisi sim, posisi trendelenbeg (kepala
lebih rendah dari kaki)
2. Mobilisasi Sendi
Untuk menjamin keadekuatan mobilisasi sendi maka perawat dapat
mengajarkan klien latihan ROM. Apabila klien tidak mempunyai control
motorik volunteer maka perawat melakukan latihan rentang gerak pasif.
Mobilisasi sendi juga ditingkatkan dengan berjalan. Latihan ini baik ROM
aktif maupun pasif merupakan tindakan pelatihan untuk mengurangi
kekakuan pada sendi dan kelemahan otot. Latihan-latihan itu, yaitu : Fleksi
dan ekstensi pergelangan tangan, fleksi dan ekstensi siku, pronasi dan

supinasi lengan bawah, pronasi fleksi bahu, abduksi dan adduksi, rotasi
bahu, fleksi dan ekstensi jari-jari, infersi dan efersi kaki fleksi dan ekstensi
pergelangan kaki, fleksi dan ekstensi lutut, rotasi pangkal paha.
3. Mengurangi Bahaya Mobilisasi
Intervensi keperawatan klien imobilisasi harus berfokus mencegah dan
meminimalkan bahaya imobilisasi. Intervensi harus diarahkan untuk
mempertahankan fungsi optimal pada seluruh sistem tubuh.
9. Perubahan Sistem Tubuh Akibat Imobilisasi (Komplikasi)
Apabila ada perubahan mobilisasi, maka setiap sistem tubuh berisiko terjadi
gangguan. Tingkat keparahan dari gangguan tersebut tergantung dari umur klien,
dan kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat imobilisasi yang
dialami. Misalnya, perkembangan pengaruh imobilisasi lansia berpenyakit
kronik lebih cepat dibandingkan klien yang lebih muda (Perry dan Potter, 1994).
1. Perubahan Metabolisme
Secara umum imobilisasi dapat mengganggu metabolisme secara normal,
mengingat imobilisasi dapat menyebabkan turunnya kecepatan metabolisme
di dalam tubuh. Hal tersebut dapat dijumpai pada menurunnya basal
metabolism rate (BMR) yang menyebabkan berkurangnya energi untuk
perbaikan sel-sel tubuh, sehingga dapat memengaruhi gangguan oksigenasi
sel. Perubahan metabolisme imobilisasi dapat mengakibatkan proses
anabolisme menurun dan katabolisme meningkat. Keadaan ini juga dpat
berisiko meningkatkan gangguan metabolisme.
2. Ketidakseimbangan cairan dan Elektrolit
Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai dampak dari
imobilisasi akan mengakibatkan persediaan protein menurun dan konsentrasi
protein serum berkurang sehingga dapat mengganggu kebutuhan cairan
tubuh. Di samping itu, berkurangnya perpindahan cairan dari intravascular
ke

interstisial

dapat

menyebabkan

edema

sehingga

terjadi

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.Ekskresi kalsium dalam urine


ditingkatkan melalui resorpsi tulang.Imobilisasi menyebabkan pelepasan
kalsium

ke

dalam

sirkulasi.Dalam

keadaan

normal

ginjal

dapat

mengekskresi kelebihan kalsium.Jika ginjal tidak mampu berespon dengan


tepat maka terjadi hiperkalsemia (Holm, 1989 dalam Fundamental
Keperawatan Perry dan Potter Ed.4, Vol.2).
3. Gangguan Fungsi Gastriointestinal

Imobilisasi dapat menyebabkan gangguan fungsi gastrointestinal. Hal ini


disebabkan karena imobilisasi dapat menurunkan hasil makanan yang
dicerna, sehingga

penurunan jumlah

masukan yang cukup

dapat

menyebabkan keluhan, seperti perut kembung, mual, dan nyeri lambung


yang dapat menyebabkan gangguan proses eliminasi. Gangguan fungsi
gastrointestinal bervariasi dan mengakibatkan penurunan motilitas saluran
gastrointestinal. Konstipasi merupakan gejala umum. Diare sering terjadi
akibat impaksi fekal. Perawat harus waspada terhadap temuan penemuan
seperti ini yaitu bukan diare yang normal, tetapi lebih cair feses yang
berjalan melalui area yang terjepit. Jika dibiarkan tidak ditangani, impaksi
fekal dapat mengakibatkan obstruksi usus mekanik sebagian ataupun
keseluruhan yang menyumbat lumen usus, menutup dorongan normal dari
cairan dan udara. Akibat adanya cairan dalam usus menimbulkan distensi
dan peningkatan tekanan intraluminal. Selanjutnya, fungsi usus menjadi
tertekan, terjadi dehidrasi, terhentinya absorbsi, dan gangguan cairan dan
elektrolit semakin memburuk.
4. Perubahan Sistem Pernapasan
Akibat imobilisasi, kadar hemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan
terjadinya lemah otot yang dapat menyebabkan proses metabolisme
terganggu. Terjadinya penurunan kadar hemoglobin dapat menyebabkan
penurunan aliran oksigen dari alveoli ke jaringan, sehingga menyebabkan
anemia.
5. Perubahan Kardiovaskular
Sistem kardiovaskular juga dipengaruhi oleh imobilisasi. Ada tiga perubahan
utama yaitu hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja jantung, dan
pembentukan thrombus. Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan
darah sistolik 25 mmHg dan diastolik 10 mmHg ketika klien bangun dari
posisi berbaring atau duduk ke posisi berdiri. Pada klien imobilisasi, terjadi
penurunan sirkulasi volume cairan, pengumpulan darah pada ekstremitas
bawah, dan penurunan respon otonom. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan
penurunan aliran balik vena, diikuti oleh penurunan curah jantung yang
terlihat pada penurunan tekanan darah (McCance and Huether, 1994 dalam
Fundamental Keperawatan Perry dan Potter Ed. 4, Vol.2). Jika beban kerja
jantung meningkat maka konsumsi oksigen juga meningkat. Oleh karena itu
jantung bekerja lebih keras dan kurang efisien selama masa istirahat yang

lama. Jika imobilisasi meningkat maka curah jantung menurun, penurunan


efisiensi jantung yang lebih lanjut dan peningkatan bebanm kerja. Klien juga
berisiko terjadi pembentukan thrombus. Kelainan aliran darah vena yang
lambat akibat tirah baring dan imobilisasi dapat menyebabkan akumulasi
trombosit, fibrin, faktor-faktor pembekuan darah, dan elemen sel-sel darah
yang menempel pada dinding bagian anterior vena atau arteri, kadangkadang menutup lumen pembuluh darah.
6. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Perubahan yang terjadi dalam sistem musculoskeletal sebagai dampak dari
imobilisasi adalah sebagai berikut :
a. Pengaruh Otot. Menurunnya massa otot sebagai dampak imobilitas
dapat menyebabkan turunnya kekuatan otot secara langsung.
Menurunnya fungsi kapasitas otot ditandai dengan menurunnya
stabilitas. Kondisi berkurangnya massa otot dapat menyebabkan atropi
pada otot. Sebagai contoh, otot betis seseorang yang telah dirawat lebih
dari enam minggu ukurannya akan lebih kecil selain menunjukkan
tanda lemah atau lesu.
b. Pengaruh Skeletal. Imobilisasi menyebabkan dua perubahan terhadap
skelet : gangguan metabolisme kalsium dan kelainan sendi. Karena
imobilisasi berakibat pada resorpsi tulang, sehingga jaringan tulang
menjadi kurang padat, dan terjadi osteoporosis (Holm, 1989 dalam
Fundamental KeperawatanPerry dan Potter Ed.4, Vol.2). Apabila
osteoporosis terjadi maka klien berisiko terjadi fraktur patologis.
Imobilisasi dan aktivitas yang tidak menyangga tubuh meningkatkan
kecepatan resorpsi tulang. Resorpsi tulang juga menyebabkan kalsium
terlepas ke dalam darah, sehingga mengakibatkan terjadi hiperkalsemia.
Imobilisasi dapat mengakibatkan kontraktur sendi dimana terjadi kondisi
abnormal dan biasanya permanen yang ditandai oleh sendi fleksi dan
terfiksasi. Hal ini disebabkan tidak digunakannya, atrofi, dan
pemendekan serat otot. Jika terjadi kontraktur maka sendi tidak dapat
mempertahankan rentang gerak dengan penuh. Sayangnya kontraktur
sering menjadikan sendi pada posisi yang tidak berfungsi (Lehmkuhl et
al, 1990 dalam Fundamental Keperawatan Perry dan Potter Ed. 4, Vol.
2). Satu macam kontraktur umum dan lemah yang terjadi adalah foot

drop, dimana kaki terfiksasi pada posisi plantarfleksi secara permanen.


Ambulasi sulit pada kaki dengan posisi ini.
7. Perubahan Sistem Integumen
Perubahan sistem integument yang terjadi berupa penurunan elastisitas kulit
karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilisasi dan terjadinya iskemia
serta nekrosis jaringan superficial dengan adanya luka decubitus sebagai
akibat tekanan kulit yang kuat dan sirkulasi yang menurun ke jaringan.
8. Perubahan Eliminasi
Eliminasi urine klien berubah oleh adanya imobilisasi. Pada posisi tegak
lurus, urine mengalir keluar dari pelvis ginjal lalu masuk ke dalam ureter dan
kandung kemih akibat gaya gravitasi. Jika klien dalam posisi rekumben atau
datar, ginjal dan ureter membentuk garis datar seperti pesawat. Ginjal yang
membentuk urine harus masuk ke dalam kandung kemih melawan gaya
gravitasi. Akibat kontraksi peristaltik ureter yang tidak cukup kuat melawan
gaya gravitasi, pelvis ginjal menjadi terisi sebelum urine masuk ke dalam
ureter. Kondisi ini disebut statis urine dan meningkatkan risiko infeksi
saluran perkemihan dan batu ginjal.Klien dengan imobilisasi berisiko terjadi
pembentukan batu karena gangguan metabolisme kalsium dan akibat
hiperkalsemia. Sejalan dengan masa imobilisasi yang berlanjut, asupan
cairan yang terbatas, dan penyebab lain seperti demam, akan mengakibatkan
resiko dehidrasi. Akibatnya haluaran urine menurun, umunya urine yang
diproduksi berkonsentrasi tinggi.Urine yang pekat ini meningkatkan risiko
terjadi batu dan infeksi.Perawatan perineal yang buruk setelah defekasi
terutama pada wanita, meningkatkan risiko kontaminasi saluran perkemihan
oleh bakteri Escherechia Coli. Penyebab lain infeksi saluran perkemihan
pada klien imobilisasi adalah pemakaian kateter urine menetap.
9. Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku sebagai akibat imobilisasi, antara lain timbulnya rasa
bermusuhan, bingung, cemas, emosional tinggi, depresi, perubahan siklus
tidur, dan menurunnya koping mekanisme. Terjadinya perubahan perilaku
tersebut merupakan dampak imobilisasi karena selama proses imobilisasi
seseorang akan mengalami perubahan peran, konsep diri, kecemasan, dan
lain-lain
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian (data subjektif dan objektif berdasarkan 11 Pola Funsional


Gordon)
a. Persepsi dan Penanganan Kesehatan
DS : upaya yang dilakukan untuk mengatasi penyakitnya
DO : pengamatan umum
b. Nutrisi-Metabolik
DS : - intake makanan dan minuman per 24 jam
- mual/muntah
DO : - diet yang dianjurkan
- Nutrisi parenteral total
c. Eliminasi
DS : frekuensi BAK (polyuria, nokturia, bisa menjadi oliguria.anuria jika terjadi
hipovalemi), karakteristik BAK dan BAB
DO : jumlah urine, warna, bau, dan berat jenis urine
gangguan eliminasi urine dan fekal
d. Aktivitas-Latihan
Tanyakan pada klien atau keluarga mengenai pola aktivitas/ latihan klien
sebelum sakit dan saat sakit.
Kemampuan perawatan
diri
Makan dan minum
Mandi
Toileting
Berpakaian
Berpindah
Keterangan :

0 = Mandiri

3 = Di bantu orang lain dan alat

1 = Alat bantu

4 = Tergantung total

2 = Di bantu orang lain


e. Tidur-Istirahat
DS : kebiasaan lama tidur
DO :waktu tidur siang, malam, sering menguap
f. Kognitif-Persepsi
DS : ada masalah sensori persepual : pendengaran, pengligatan, sensasi,
penciuman, pengecapan
DO : kemampuan melihat, menengar, mencium dan merasakan
g. Persepsi Diri Konsep Diri
DS : perasaan tidak berdaya dengan sakit yang diderita
DO : ekspresi wajah
h. Peran Hubungan
DS :- pengaruh sakit terhadap pekerjaan

- keefektifan hubungan dengan orang lai


DO :- tingkah laku yang pasif
- interaksi yang terjadi
i. Seksualitas Reproduksi
DS : dampak sakit terhadap seksualitas
DO : pemeriksaan genetalia
j. Koping Toleransi Stres
DS : stressor sebelumnya dan metode koping yang digunakan
DO : interaksi dengan orang lain dan tidak ada kontak mata
k. Nilai Kepercayaan
DS : agama, spiritual maupun kegiatan keagamaan
DO : usaha untuk mencari bantuan spiritual (kunjungan rohaniawan)
2. Kemampuan Fungsi Motorik
Pengkajian motorik antara lain pada tangan kanan dan kiri, kaki kanan dan kiri
untuk menilai ada atau tidaknya kelemahan, kekuatan, atau spastis.
3. Kemampuan Mobilisasi
Pengkajian kemampuan mobilisasi dengan tujuan untuk menilai kemampuan
gerak ke posisi miring, duduk, berdiri, bangun, dan berpindah anpa bantuan.
Kategori tingkat kemampuan aktivitas adalah sebagai berikut :
Tingkat Aktivitas/Mobilisasi
Tingkat 0
Tingkat 1
Tingkat 2

Kategori
Mempu merawat diri secara penuh
Memerlukan penggunaan alat
Memerlukan bantuan atau pengawasan orang

Tingkat 3

lain
Memerlukan bantuan, pengawasan orang

Tingkat 4

lain, dan peralatan


Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan
atau berpartisipasi dalam perawatan

4. Kemampuan Rentang Gerak


Pengkajian rentang gerak (range of motion-ROM) dilakukan pada daerah seperti
bau, siku, lengan, panggul dan kaki.
Tipe gerakan

Derajat rentang
normal

Leher, spinal, servikal


Fleksi : menggerakkan dagu menempel ke dada

45

Ekstensi : mengembalikan kepala ke posisi tegak


45
Hiperekstensi : menekuk kepala ke belakang sejau mungkin 10
Fleksi lateral : memiringkan kepala sejau mungkin ke arah 40-45
setiap bahu
Rotasi : memutar kepala sejau mungkin dalam gerakan 180
sirkuler
Bahu
Fleksi : menaikkan lengan dari posisi di samping tubuh ke 180
depan ke posisi di atas kepala
Ekstensi : mengembalikan lengan ke posisi semula
180
Abduksi : menaikkan lengan ke posisi samping di atas 180
kepala dengan telapak tangan jauh dari kepala
Adduksi : menurunkan lengan ke samping dan menyilang 320
tubu sejau mungkin
Rotasi dalam : dengan siku fleksi, memutar bahu dengan 90
menggerakkan lengan sampai ibu jari menghadap ke dalam
dan ke belakang.
Rotasi luar : dengan siku fleksi, menggerakkan lengan 90
sampai ibu jari ke atas dan samping kepala
Lengan bawa
Supinasi : memutar lengan bawa dan telapak tangan seingga 70-90
telapak tangan menghadap ke atas
Pronasi : memutar lengan bawah sehingga telapak tangan 70-90
menghadap ke bawah
Pergelangan tangan
Fleksi : menggerakkan telapak tangan ke sisi dalam lengan 80-90
bawah
Ekstensi : menggerakkan jari-jari sehingga jari-jari, tangan, 80-90
dan lengan bawa berada pada arah yg sama
Abduksi (fleksi radial) : menekuk pergelangan tangan miring Sampai 30
(medial) ke ibu jari
Adduksi (fleksi luar) : menekuk pergelangan tangan miring 30-50
(medial) ke ibu jari
Jari-jari tangan
Fleksi : membuat pergelangan
90
Ekstensi : meluruskan jari tangan
90
Hiperkstensi : menggerakkan jari-jari tangan ke belakang 30-60
sejau mungkin
Ibu jari
Fleksi : menggerakkan ibu jari menyilang permukaan 90
telapak tangan

Ekstensi : menggerakkan ibu jari lurus menjau dari tangan


90
Pinggul
Fleksi : menggerakkan tungkai ke depan dan atas
90-120
Ekstensi : menggerakkan kembali ke samping tungkai yang 90-12 0
lain
Lutut
Fleksi : menggerakkan tumit ke arah belakang paha
120-130
Ekstensi : mengembalikan tungkai ke lantai
120-130
Mata kaki
Dorsofleksi : menggerakkan sehingga jari-jari kaki menekuk 20-30
ke atas
Plantarfleksi : menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki 45-50
menekuk ke bawah
5. Kekuatan Otot Dan Gangguan Koordinasi
Dalam mengkaji kekuatan otot dapat ditentukan kekuatan secara bilateral atau
tidak. Derajat kekuatan otot ditentukan dengan :
Skala

Presentase

0
1

kekuatan normal
0
Paralisis sempurna
10
Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat dipalpasi

25

atau dilihat
Gerakan otot penuh melawan gravitasi dengan

3
4

50
75

topangan
Gerakan yang normal melawan gravitasi
Gerakan penuh yang normal melawan gravitasi

100

dan melawan tahanan minimal


Kekuatan normal, gerakan penuh ang normal

Karakteristik

melawan gravitasi dan tahanan penuh


6. Pengkajian Fisik

Keadaan umum pasien

Kesadaran

Pemeriksaan TTV

Analisa (pegelompokan data)

No
1

Tgl

Data
Ds :
Klien

Penyebab/interpretasi

Masalah

mengatakan

tidak bisa beraktivitas


secara mandiri
Klien mengeluh nyeri
sehingga sulit untuk
bergerak
Do :
Klien tampak lemah
dan

aktivitasnya

bergantng pada orang


lain

2. Diagnosa keperawatan dan masalah kolaborasi yang mungkin muncul


berdasarkan NANDA
No Tgl Muncul

Dx Keperawatan

Tgl Teratasi

Ttd

Dx
1. Hambatan

mobilitas

fisik
2. Defisit perawatan diri
3. Risiko kerusakan
integritas kulit

3. Rencana Asuhan Keperawatan dan Evaluasi menggunakan SOAP


N

Diagnosa

Tujuan

dan Intervensi

o
1

Keperawatan
Hambatan

Kriteria Hasil
Setelah
dilakukan NIC

Label

Rasional
:

Mobilitas Fisik asuhan

Exercise Therapy:

berhubungan

keperawatan

Joint Mobility

dengan

...x24jam diharapkan

gangguan

pasien dapat tetap Kaji

muskuloskeleta

mempertahankan

S :
Klien mengatakan
kekakuan

keterbatasan

gerak sendi

Evaluasi

Menentukan
batas
yang

sendinya

mulai

gerakan berkurang
O :
akan Klien
tampak

ditandai pergerakannya,

Kaji motivasi klien

dengan

dengan criteria:

untuk

keterbatasan

NOC Label : Body

mempertahankan

kemampuan

Mechanics

melakukan

Performance

keterampilan

motorik
dan
kasar

halus
motorik

pasien

pergerakan sendi
Jelaskan

Menggunakan

alasan/rasional

posisi

pemberian latihan

duduk

yang benar
Mempertahankan

kekuatan otot
Mempertahankan

fleksibilitas sendi
Gerakan
yang
terkoordinir

kepada

pasien/

keluarga
Monitor

dilakukan
berusaha
dan
Motivasi yang mulai bisa untuk
tinggi
dari menggerakkan

lokasi

dpt tubuhnya
A :
melancarkan
Intervensi
latihan
Agar
pasien tercapai
sebagaian
beserta
keluarga dapat intervensi
memahami dan tercapai

ketidaknyamanan

mengetahui

atau nyeri selama

alasanpemberi

aktivitas
Lindungi pasien dari
cedera

selama

latihan
Bantu klien ke posisi

an latihan
dilanjutkan
Agar
dapat
memberikan
intervensi

yang optimal untuk

secara tepat
Cedera
yg

latihan

timbul

rentang

untuk
latihan

dapat

memperburuk

gerak
Anjurkan

klien

kondisi klien

melakukan
range

of
motion secara aktif

Memaksimalka
n latihan

jika
memungkinkan

Anjurkan
untuk
melakukan

range

of

pasif

motion

jika diindikasikan
Beri reinforcement
positif

setiap

kemajuan klien

seluruhnya
P :
Intervensi

ROM

dapat

mempertahank
an pergerakan
sendi
ROM

pasif

dilakukan jika
klien

tidak

dapat
melakukan
secara mandiri

atau
dapat

Meningkatkan
harga diri klien

DAFTAR PUSTAKA
Mubarak,Wahit Iqbal.(2008).Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia Teori Dan Aplikasi
Dalam Praktik.Jakarta:EGC
Bulechec M.Gloria, Butcher K. Howard, Dochterman Joanne McCloskey. 2004.
Nursing Interventions Classification (NIC). Edisi 5. Amerika: Mosby
Moorhead, Sue. 2004. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth Edition. USA:
Mosby Elseviyer.
limul H., A. Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia-Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan. Buku 1. Jakarta : Salemba Medika

Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik,Ed.4. Vol.2. Jakarta : EGC
T. Heather Herdman. 2011. NANDA Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi
20012-2014, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai