Anda di halaman 1dari 24

Gangguan Tidur pada Usia Lanjut

Mariella Valerie Bolang


102013433 / F1
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)
Jalan Terusan Arjuna No.6, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510
E-mail: mariella.2013fk433@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya jumlah dan ukuran sel tubuh makhluk hidup.
Dalam pertumbuhan banyak hal yang mempengaruhi misalnya, intake makanan, aktifitas
seharihari dan tidak lupa hormon. Hormon dihasilkan dikelenjar hipofisis. Dimana sekresi
hormon dipengaruhi hipotalamus dan hipofisis. Kelenjar hipofisis terbagi atas dua, yaitu:
hipofisis anterior atau adenohipofisis dan hipofisis posterior atau neurohipofisis. Peranan GH
selain untuk pertumbuhan memiliki peranan terhadap metabolisme karbohidrat, lemak dan
penyimpanan protein. Tetapi apabila kelenjar hipofisis tersebut mengalami gangguan seperti
adanya tumor maka sekresi hormon tersebut akan terjadi gangguan.
Kata kunci: adenohipofisis, neurohipofisis, growth hormone
Abstract
Growth is a process of increasing the number and size of the living body cells . In many ways
that affect the growth, for example, food intake, daily activities and hormones. The hormones
produced by the pituitary where secretion of hypothalamic and pituitary hormones affected.
The pituitary gland is divided into two, namely: anterior pituitary and pituitary anterior or
posterior pituitary or neurohypophysis. The role of GH in addition to growth has a role on
the metabolism of carbohydrates, fat and protein storage. But when the pituitary gland
having disorder such as a tumor, the secretion of these hormones will be interference.

Key words: adenohypophysis, neurohypophysis, growth hormone

Pendahuluan
Hampir sepertiga umur kita dihabiskan untuk tidur. Tidur yang lelap tanpa gangguan dan
nyenyak menjadi kebutuhan manusia yang esensial, sama pentingnya dengan kebutuhan
makan, minum, tempat tinggal dan lain-lain. Gangguan tidur pada malam hari (insomnia)
akan menyebabkan rasa mengantuk sepanjang hari. Mengantuk merupakan faktor resiko
untuk terjadinya kecelakaan, jatuh, penurunan stamina dan secara ekonomi mengurangi
produktivitas seseorang.1 Pada usia lanjut gangguan tidur di malam hari akan mengakibatkan
banyak hal selain seperti yang disebut. Hal-hal lain yang dapat terjadi adalah
ketidakbahagiaan, dicekam kesepian, dan yang terpenting menyebabkan penyakit-penyakit
degeneratif yang dideritanya mengalami eksaserbasi akut, perburukan dan menjadi tidak
terkontrol.2 Selain itu, juga dapat menimbulkan problem sosial lain dalam lingkungannya,
terutama terhadap keluarganya. Seorang kakek atau nenek yang tidak dapat tidur dapat
membuat seluruh keluarga tidak dapat tidur karena perilaku sang kakek atau nenek
membangunkan seluruh anggota keluarga. Bila kejadian ini berlangsung terus menerus, maka
setiap anggota keluarga dapat kehilangan produktivitasnya karena mengantuk. Karena rasa
hormat atau budaya timur yang harus menghargai dan membalas jasa kakek/nenek, mereka
tetap menerima beliau tinggal bersama, tetapi sikap mereka jadi membenci atau marah, atau
memilih tidak tinggal di sana lagi (terutama cucu yang remaja), dan ini menimbulkan
masalah sosial baru bagi keluarga.
Secara luas gangguan tidur pada lansia dapat dibagi menjadi: kesulitan masuk tidur (sleep
onset problems), kesulitan mempertahankan tidur nyenyak (deep maintanance problem),
bangun terlalu pagi (early morning awakening/EMA. Gejala dan tanda yang muncul sering
merupakan kombinasi ketiganya. Munculnya ada yang sementara dan ada yang kronik.
Sebagian besar lansia mengeluhkan kesulitan masuk tidur dan mempertahankan tidur
nyenyak yang berlangsung kronik.4

Anamnesis
Anamnesis dilakukan kepada penderita dan keluarganya terutama teman tidurnya, meliputi:
kebiasaan tidur, kebiasaan mengorok waktu tidur, menyaksikan henti napas saat tidur,
2

kepuasan tidur, mengantuk siang hari, perubahan perilaku, perubahan emosi, perubahan sikap
saat berhubungan dengan orang lain, kemampuan seksual (impotensi), penyakit-penyakit lain
yang diderita terutama penyakit kardiovaskular, kebiasaan kencing malam hari (nokturia),
obat-obatan yang sedang dan sering diminum baik dengan resep dokter atau beli sendiri,
pemakaian alkohol dan merokok..
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi:

Karakteristik umum: Identifikasi adanya obesitas dan dismorfologi kepala, wajah dan
gigi, micrognathia, retrognathia, hipoplasia maxilaris, bibir/palatum sumbing, lidah
besar, oklusi gigi, kesejajaran mandibula. Obesitas diidentifikasi dengan mengukur
antropometri seperti berat badan, tinggi badan dan atau panjang rentang tangan dan

indeks massa tubuh IMT (body mass index). IMT > 28 sangat beresiko mengalami OSA.
Status mental: Dilakukan untuk mencari depresi (dengan skor depresi), kecemasan

(ansietas) dan penyakit psikiatrik lain (dikonsultasikan pada spesialis jiwa).


Tekanan darah: Hipertensi muncul pada > 50% kasus GTGP. Karena itu penderita

hipertensi dianjurkan agar diperiksa adanya kejadian GTGP.


Ukuran leher: Lingkar leher dapat digunakan untuk memprediksi ukuran membran
krikotiroid. Pada laki-laki dengan lingkar leher > 17 inci, prevalens OSA sebesar 30%.

Pada wanita dengan lingkar leher > 15 inci risiko OSA juga meningkat.
Pemeriksaan hidung. Pemeriksaan hidung penting untuk mengidentifikasi adanya
kelainan penyebab obstruksi jalan napas, antara lain: deviasi, septum hipertrofi adenoid,
polip atau masa tumor di hidung maupun nasofaring, pembengkakan mukosa hidung dan

nasofaring. Pemeriksaan ini biasanya menggunakan nasofaringoskop.


Orofaring. Periksa adanya kelainan anatomi yang menyebabkan penurunan luas
orofaring seperti hipertropi tonsil, palatum malle terlalu panjang, uvula yang besar, flap
faringeal, stenosis, tumor dan jaringan parut di faring posterior. Untuk mendeteksi tingkat
kesulitan intubasi dan luasnya orofaring perlu dilakukan pemeriksaan dengan skor

Mallampati yang dibagi menjadi 4 kelas.


Leher. Deposit lemak yang cukup banyak di sekitar leher dapat melemahkan tonus otot
pernapasan terutama selama tidur fase REM. Tumor, termasuk limfadenopati yang nyata

yang harus diperiksa.


Pemeriksaan fisis lain (sistem organ). Untuk mengidentifikasi adanya penyakit
kardiovaskular, dan penyakit paru obstruktif.

Pemeriksaan fungsi kognitif dan memori. Terutama penurunan konsentrasi, intelektual


dan daya ingat.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan:
Laboratorium klinik. Pemeriksaan yang dibutuhkan berdasarkan indikasi individual untuk
menunjang diagnosis. Pemeriksaan analisis gas darah dibutuhkan jika terdapat tanda-tanda
hipoksia yang jelas, terutama pada penderita dengan penyakit paru obstruksi kronik.

Pemeriksaan di Laboratorium Tidur. Pemeriksaan yang dilakukan selama tidur dengan


alat polisomnogram dapat memberikan informasi yang akurat pola tidur pasien sehingga
dapat menginformasikan apakah penderita menderita OSA atau CSA. Pemeriksaan di
laboratorium tidur ini juga diperlukan untuk menghitung apneu-hipopneu index (AHI),
yaitu menghitung jumlah total episode apneu dan hipopneu dibagi lama tidur. Jika AHI >
5 kali episode perjam maka diagnosis OSA bisa ditegakkan. Pemeriksaan lain yang
dilakukan adalah multiple step latency test (MSLT). MSLT dilakukan untuk penderita
yang mengeluh mengantuk terus sepanjang hari dengan riwayat GTGP tidak jelas.
Pemeriksaan dilakukan berulang kali pada siang hari sesuai jadwal yang ditentukan.
Pemeriksaan ini juga mencatat munculnya stase REM. Bila terdapat 2 atau lebih status
REM muncul saat test, maka hal tersebut menunjukkan pasien dalam kondisi narkolepsi.
Narkolepsi adalah gangguan tidur yang ditandai dengan 4 gejala, yaitu serangan
mendadak tidur, katapleksi, paralisi temporer dan halusinasi. 5(6) MSLT dapat membantu
diagnosis hipersomnia primer.5(6)
Pemeriksaan mirip MSLT yang disebut repeated test of sustained wakefulness (RTSW)
juga mengukur periode laten tetapi dengan perintah agar pasien mempertahankan tetap
bangun selama test, pasien ditempatkan di ruang tenang dengan lampu temaram.

Pemeriksaan Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan: Pemeriksaan ini hanya dilakukan dalam penelitian atau untuk
persiapan terapi pembedahan. Permeriksaan ini meliputi: refleks akustik yang digunakan
untuk melihat dinamika jalan napas atas, somnofluoroskopi digunakan untuk melihat
4

kolapsnya faring dan penyempitan maksimal jalan napas saat tidur, pemeriksaan radiologis
sefalometri untuk melihat defisiensi skeletor kraniofasial, CT-scan jalan napas atas
diperlukan bila ada tanda-tanda tumor di nasofaring / orofaring posterior, magnetic
resonance imaging pemeriksaan yang menghasilkan resolusi bagus dari jalan napas, jaringan
lunak, dan deposit lemak di leher.

Diagnosis
Working Diagnosis
Gangguan tidur pada malam hari (Insomnia)
Secara luas gangguan tidur pada usia lanjut dapat dibagi menjadi: kesulitan masuk tidur,
kesulitan mempertahankan tidur nyenyak, dan bangun terlalu pagi. Gejala dan tanda yang
muncul sering kombinasi ketiganya, munculnya ada yang sementara atau kronik. Secara
internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik, yaitu: ICD (International Code of
Diagnostic) 10, DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) (DSM) dan
ICSD (International Classification of sleep disorders).3,4
Epidemiologi
Insomnia lebih sering diderita wanita daripada pria. Prevalensi insomnia pada populasi umum
telah diperkirakan hingga 35%, dengan 10% sampai 15% dianggap dedang sampai parah.
Perbedaan dalam prevalensi bervariasi, tergantung pada bagaimana insomnia didefinisikan,
tingkat keparahan dan frekuensi keluhan serta usia dan jenis kelamin pasien. Bila
menggunakkan DSM-4kriteria, prevalensi diperkirakan 22%, dibandingkan dengan perkiraan
prevalensi sebesar 3,9% bila menggunakan ICSD-2kriteria. Untuk insomnia kronis, rata-rata
tinggi dialami wanita dan meningkat sesuai usia. Spekulasi tentang factor yang berkontribusi
terhadap relasi gender mulai muncul (Miller 2004). Bahkan diantara pasien dengan keluhan
kantuk di siang hari , 9%-15% mungkin menderita insomnia (Young 2004). Penelitian mulai
mengumpulkan beberapa data pada biaya sosial, dengan perkiraan biaya langsung
1.390.000.000 $ per tahun (Walsh 2004).
5

Etiologi
Model perilaku insomnia diatur dalam kerangka teoritis untuk penyebab insomnia. Model
diathesis-stress ini mengusulkan bahwa 3 faktor yang berkontribusi untuk pengembangan dan
pemeliharaan insomnia. Pertama, faktor predisposisi adalah karakteristik yang meningkatkan
resiko untuk mengembangkan insomnia dan mencakup sifat-sifat seperti hyperarousal kronis
dan wilayah rawan bencana. Kedua, faktor pemicu kejadian atau stress akut yang berinteraksi
dengan factor predisposisi menyebabkan gejala insomnia akut. Ketiga, factor yang
menjalankan adalah perilaku penyesuaian yang salah yang diadopsi dalam upaya untuk
meredakan gejala insomnia sementara tapi akhirnya berfungsi untuk mempertahankan
insomnia. Sebagai contoh, banyak orang yang akan mencoba untuk menebus kehilangan tidur
dengan menghabiskan lebih banyak waktu di tempat tidur. Perilaku ini meningkatkan
kesempatan tidur tapi dapat menyebabkan orang menghabiskan sejumlah waktu yang
berkepanjangan terjaga selama periode tidur diperpanjang.
Klasifikasi
Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu organik dan non-organik. Untuk non-organik
dibagi lagi menjadi 2 kategori yaitu dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu
tidur) dan parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpi
buruk, berjalan sambil tidur, dll). Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau
sekunder akibat penyakit/kondisi abnormal lain. Insomnia disini adalah insomnia kronik yang
sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.
Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 6 tipe, yaitu:
1. Gangguan tidur yang berkolerasi dengan gangguan mental lain
2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum

3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan/ keadaan tertentu


4. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan kondisi
mental, fisik/penyakit, ataupun obat-obatan.
Gangguan tidur primer pengertiannya mirip dengan insomnia non organic pada ICD 10 yaitu
gangguan tidur menetap dan diderita minimal 1 bulan.3
Dalam ICSD klasifikasi ganguan tidur dibuat lebih lengkap dan rinci, dibagi dalam 12 sub
tipe dan lebih dari 50 tipe sindrom insomnia. Untuk mendiagnosisnya sering memerlukan
berbagai pemeriksaan penunjang laboratorium tidur, klinik, dan radiologi seperti CT scan,
PET, serta EEG.3
Gangguan tidur karena gangguan irama sirkadian
Irama sirkadian diatur oleh proses endogen berupa pengaturan temperature badan dan
pengeluaran hormone-hormon kortisol, hormone pertumbuan, dan melatonin yang dipicu
oleh NSC; dan proses eksogen berupa perubahan terang dan gelap. Pada usia lanjut terdapat
gangguan tidur akibat gangguan irama sirkadian ini. Prevalensi gangguan tidur tipe ini tidak
jelas. Hal ini karena banyak orang usia lanjut yang menderita namun merasa tidak
membutuhkan bantuan terapi karena menganggap perubahan ini biasa.

Different Diagnosis
Depresi
Depresi merupakan penyakit mental yang paling sering pada pasien berusia di atas 60 tahun
dan merupakan contoh penyakit yang palin gumum dengan tmapilan gejala yang tidak
7

spesifik/tidak khas pada populasi geriatrik. Terdapat beberapa faktor biologis, fisik,
psikologis dan sosial yang membuat seorang berusia lanjut rentan terhadap depresi.
Perubahan pada system saraf pusat seperti meningkatnya aktivitas monoamine oksidase dan
berkurangnya konsentrasi neurotransmitter dapat berperan dalam terjadinya depresi pada usia
lanjut gejala-gejala depresi terdiri dari:
Gejala utama:

Perasaan depresif
Hilangnya minat dan semangat
Mudah lelah dan tenaga hilang

Gejala lain adalah :

Konsentrasi menurun
Harga diri menurun
Perasaan bersalah
Pesimis terhadap masa depan
Gangguan tidur
Gangguan nafsu makan
Menurunnya libido

Gejala klinis
Pasien GTGP adalah pada saat tidur terdapat mengorok sangat keras, tersedak dan batukbatuk, henti napas beberapa detik, dan terdapat gerakan-gerakan seperti orang kehabisan
napas.6,7 Gambaran tersebut biasanya dilaporkan oleh teman tidurnya. Hal yang dirasakan
oleh pasien adalah sering terbangun tanpa sebab, nokturia, dan merasa tidak tidur semalaman.
Pada pagi hari sering muncul keluhan nyeri kepala, kepala terasa ringan, dan mengantuk
terus. Bila berlangsung terus akan muncul gangguan kognitif, penurunan intelektual,
perubahan perilaku dan kepribadian, depresi dan penurunan gairah seksual.1,6,7,8
8

Penatalaksaan
Untuk gangguan irama sirkadian perlu dijelaskan pada pasien bahwa gangguan tidur ini
bukan penyakit, tidak membutuhkan obat khusus, hanya perlu pengaturan waktu masuk
tidurnya, jangan terlalu dini dengan melakukan kegiatan/kesibukan pada petang hari dan baru
masuk tidur pada jam yang sama dengan keluarga lain. Kalau tetap tidak dapat mengatasi,
diberikan terapi lampu terang pada saat seharusnya pasien masih bangun di pagi hari dan
petang hari, lampu dipadamkan / gelap pada saat harus tidur.
Penatalaksaan menyeluruh gangguan tidur pada usia lanjut
Karena banyaknya penyebab gangguan tidur pada usia lanjut, maka penatalaksanaan
gangguan tidur pada usia lanjut harus dilakukan secara individual, dengan meneliti dan
menilai gejala dan tanda yang ada pada tiap pasien. Beberapa hal dapat diterapkan secara
umum pada semua jenis gangguan tidur pada usia lanjut, yaitu: edukasi tidur, mengubah gaya
hidup, psikoterapi, dan medikamentosa.
Edukasi tidur diberikan baik kepada pasien maupun keluarga atau care-giver. Edukasi
tersebut meliputi:

Tunggu sampai terasa sangat mengantuk sebelum naik ke tempat tidur


Bila dalam 20 menit berbaring belum bisa tidur maka lebih baik bangun lagi, lakukan
kegiatan lagi dengan tenang dan lakukan relaksasi. Bila mengantuk baru kembali ke

tempat tidur.
Hidarkan penggunan kamar tidur untuk bekerja, membaca atau menonton televisi
Bangun tidur pagi pada jam yang sama, tidak peduli sudah berapa lama ia tidur
Hindarkan minum kopi atau merokok
Lakukan olarhaga ringan setiap pagi setelah bangun tidur
Kurangi tidur siang, lakukan kegiatan/ hobi yang menyenangkan
Kurangi jumlah minum setelah makan malam, hindari minum alkohol
Pelajari teknik relaksasi atau lakukan meditasi
9

Hindarkan gerakan badan berlebihan saat di tempat tidur

Psikoterapi perlu diberikan pada pasien gangguan tidur yang disebabkan oleh ansietas dan
depresi. Disamping psikoterapi dari seorang psikolog, psikoterapi berupa dorongan dan
penghiburan sebaiknya dilakukan oleh anak atau cucu pasien.
Terapi medikamenotsa diberikan sesuai dengan penyebab yang mendasari terjadinya
gangguan tidur dan jenis gangguan tidur yang terjadi. Obat-obatan transkuiliser minor seperti
golongan benzodiazepine dapat diberikan pada insomnia akut, diberikan dosis kecil dan
dalam waktu yang tidak lama. Terapi terhadap penyakit penyerta yang diderita usia lanjut
harus dilakukan dengan menghindarkan sebisa mungkin obat-obatan yang marak dipakai
sebagai obat tidur, sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan dalam
mengatasi gangguan tidur pada usia lanjut. Farmakoterapi untuk insomnia pada orang tua
mungkin rumit dikarenakan oleh perubahan fisiologis tubuh yang disebabkan oleh usia
sehingga mempengaruhi farmakodinamik dan farmakokinetik. Dengan penuaan, total lemak
tubuh meningkat dan obat yang larut lemak juga meningkat misalnya benzodiazepine, seperti
diazepam dan flurazepam akibatnya memiliki peningkatan volume distribusi dan penurunan
angka bersihan. Metabolisme obat pada pasien geriatric dapat terganggu oleh karena proses
reduksi,hidroksilasi, dan ekskresi obat yang menurun yang disebabkan oleh penurunan aliran
darah dan filtrasi d glomerulus yang disebabkan factor usia.
Perubahan farmakodinamik yang berhubungan dengan usia terlihat dalam peningkatan
kepekaan terhadap efek depresan system saraf pusat, beberapa obat tidur terutama yang
bertindak lebih lama, memiliki beberapa efek samping pada pasien geriatrik. Toleransi
merupakan masalah besar ketika pil obat tidur dikonsumsi berlebihan, yang menyebabkan
insomnia yang berulang-ulang dan memerlukan dosis yang tinggi untuk mendapatkan efek
klinik yang sama. Karena itu ketika menggunakan hipnotik pada pasien geriatrik, harus
10

diberikan dosis serendah mungkin untuk jangka waktu yang singkat. Hipnotik short-acting
terbaru terlihat lebih aman pada pasien yang lebih tua. Contohnya zalepon (selektif untuk
benzodiazepine-1 reseptor) dan zolpidem (selektif GABAA-benzodiazepine). Dalam sebuah
penelitian terhadap pasien usia lanjut, 66 tahun atau lebih, pemberian zalepon dengan dosis
10 mg terbukti efektif untuk mengurangi latensi tidur tanpa efek sampik yang tidak
diinginkan. Dalam percobaan baru-baru ini uji coba terapi jangka panjang , zalepon dengan
dosis 6 mg dan 10 mg terbukti aman dan efektif untuk terapi insomnia pada pasien geriatric.
Prognosis
Prognosis untuk pemulihan insomnia tergantung pada identifikasi pilihan pengobatan yang
efektif, dan ini secara langsung terkait dengan menyelesaikan evaluasi yang menekankan
pentingnya mengetahui dan mengamati pedoman klinis untuk evaluasi insomnia. Misalnya,
pengobatan sejumlah masalah seperti sleep apnea, pertama tergantung dari secara langsung
kemampuan untuk membuat diagnosis yang tepat dari masalah yang mendasarinya.
Preventif
Insomnia akut adalah pengalaman umum yang sering dan kedepannya akan menjadi peristiwa
yang sesekali atau jarang yang disebabkan oleh kegiatan sehari-hari yang menyebabkan
stress. Evolusi insomnia menjadi insomnia sekunder atau insomnia kronis yang dapat dicegah
dengan terapi sedini mungkin. Banyak yang menganggap bahwa berbagai jenis insomnia
sekunder seperti insomnia psychophysiologikal atau waktu tidur yang buruk dapat dicegah
dengan evaluasi yang lebih baik dan sebelum pola sekunder terjadi.
Komplikasi

11

Efek fisiologis. Karena kebanyakan insomnia diakibatkan oleh stress,terdapat


peningkatan noradrenalin serum, peningkatan ACTH dan kortisol, jugapenurunan
produksi melatonin.

Efek psikologis. Dapat berupa gangguan memori, gangguan berkonsentrasi, irritable,


kehilangan motivasi, depresi, dan sebagainya.

Efek fisik/somatik. Dapat berupa kelelahan, nyeri otot, hipertensi, dan sebagainya.

Efek sosial. Dapat berupa kualitas hidup yang terganggu, seperti susah mendapat promosi
pada lingkungan kerjanya, kurang bisa menikmati hubungan sosial dan keluarga.

Faktor yang sangat berpengaruh terhadap psikologi lansia


Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati
hari tua mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang
sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:
1. Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang
bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, energi
menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum
kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara
12

berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik,
psikologik

maupun

sosial,

yang

selanjutnya

dapat

menyebabkan

suatu

keadaan

ketergantungan kepada orang lain.


Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu
menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial,
sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir
fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan,
tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.
2. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan
berbagai gangguan fisik seperti: Gangguan jantung, gangguan metabolisme, misal diabetes
millitus, vaginitis, baru selesai operasi: misalnya prostatektomi, kekurangan gizi, karena
pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang, penggunaan obat-obat
tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer.6
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain:

Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia

Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan
budaya.

Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.

Pasangan hidup telah meninggal.

13

Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya
misalnya cemas, depresi, pikun dsb.

3. Perubahan Aspek Psikososial


Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif
dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian,
perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin
lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan
dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia
menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek
psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut
dapat dibedakan berdasarkan 6 tipe kepribadian lansia sebagai berikut:
1. Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini
tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
2. Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada
kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia
tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya.
3. Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya
sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu
harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup
meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi
jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.

14

4. Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah


memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak
keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga
menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
5. Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini
umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain
atau cenderung membuat susah dirinya.
4. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan
ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan
hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena
pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan,
peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa
pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah
diuraikan pada point tiga di atas.
Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah
lansia? Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam
menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut
kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga
yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing sikap
tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik positif
maupun negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak
negatif akan mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih

15

berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar


diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya diberi
waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh.
Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi
masing-masing orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment
untuk menentukan arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan
positif. Untuk merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa
lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya
masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri
yang sangat banyak jenis dan macamnya.
Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya
sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan
yang selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan
dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa
setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan
berkurang dan sebagainya.
5. Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan
sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada
lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang,
penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan.
Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas,
selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau

16

diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk


berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku
regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barangbarang tak berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang
lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang
memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat
beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara
bahkan kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh
kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga
atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup
namun tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup
dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi terlantar.
1. Promosi & preventif

Untuk mencapai usia lanjut sehat, tua berguna, bahagia dan sejahtera ialah
dengan mengaktifkan fisik, mental dan sosial ditujukan pada usia 66-69 tahun.
Banyak hal yang harus dilakukan baik dari lansia itu sendiri atau dari petugas
kesehatan maupun dari pihak keluarga lansia.
Pelayanan dari petugas kesehatan sendiri terbagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Promosi
Peran petugas kesehatan sebagai penyuluh bagi individu yang berada pada usia
pertengahan (middle adult) antara lain dengan melakukan hal-hal sebagai
berikut :

17

o Mendapatkan data-data yang berkaitan dengan keadaan saal itu, minimal


diketahui berat dan tinggi badan, denyut nadi, tekanan darah, keluhan fisik dan
penyakit yang diderita.
o Mendapatkan data mengenai pola dan cara hidup mereka, Mendapatkan datadata kondisi psikologis, yang mungkin tertampil dalam keluhan fisik yang
diungkapkan.
Berdasarkan data-data tersebut petugas kesehatan memberikan informasi dan
penyuluhan pada keluarga dan masyarakat tentang hal-hal yang perlu diketahui
tentang usia lanjut. Bila ada masalah fisik dan psikologis yang memerlukan
penanganan lebih lanjut, petugas kesehatan perlu memberikan rujukan pada
ahli sesuai dengan kondisi dan keperluan usia lanjut. Petugas kesehatan dapat
melakukan tindakan-tindakan promotif yang bersifat preventif sebagai berikut :
Mensosialisasikan tentang persiapan sebelum memasuki usia lanjut
sebagai berikut :
o Menjadi tua diterima dengan ikhlas dan realistis.
o Menjadi tua dihadapi dengan sikap mental yang positif dan optimistik.
o Berperilaku hidup sehat, mencegah penyakit dan tetap memelihara
kebugaran.
o Membangun, membina, dan memelihaia hubungan sosial.
o Meningkatkan terus ilmu dan keterampilan sebagai bekal menjalani hidup
yang bermanfaat sosial ataupun ekonomi.
o Apa yang telah terjadi diterima sebagai takdir.
o Tetap aktif, jasmani dan rohani, sebab kehidupan yang "pasif' akan
mempercepat proses penuaan.
o Berusaha menjadi subyek selama mungkin dalam kehidupan.

18

o Meningkatkan kehidupan spiritual dengan mendekatkan diri kepada yang


Maha Kuasa.
Untuk membantu mengatasi, mengurangi perasaan yang negatif, maka
petugas kesehatan sebaiknya berperilaku sebagai berikut :
o Bersikap ramah, lembut dan sabar mengahadapi usai lanjut.
o Mau mendenganr keluhan.
o Mau membantu dan melayani keperluannya.
o Mau meberikan informasi yang membuatnya merasa tenang.
o Mau memberikan dorongan, bujukan, petunjuk dan saran yang membesarkan
hatinya.
o Mau memahami dan dapat menghayati perasaannya serta bersikap menerima
apa adanya.
2. Preventif
a. Meningkatkan Pengertian dan Perhatian Petugas Kesehatan
Diharapkan

agar

petugas

kesehatan

dalam

melaksanakan

kegiatan

pelayanannya pada usia lanjut tidak hanya memperhatikan keluhan-keluhan


yang dikemukakan oleh meraka tapi juga mempertimbangkan adanya faktorfaktor- lain yang mendasari keluhan tersebut seperti masalah psikologis, sosial,
budaya atau kemungkinan adanya masalah mental emosional. Tersedianya loket
khusus dan sarana lainnya di fasilitas pelayanan kesehatan bagi usia lanjut
merupakan hal yang perlu diperhatikan terutama bagi usia lanjut dengan alat
bantu seperti kursi roda. Penanganan secara holisitik dengan sikap yang ramah,
sopan dan hormat merupakan pelayanan yang diidamkan oleh usia lanjut.
b. Mensosialisasikan Usia Lanjut Sejahtera

19

Yang dimaksud dengan sejahtera adalah terpenuhinya kebutuhan lahir dan


batin. Kebutuhan batin disebut juga "basic needs" bersifat immaterial dan
universal, kebutuhan lahir disebut juga "instrumental need" bersifat material
dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi dan
sebagainya. Menurut Abraham H. Maslow kebutuhan manusia, dari jenjang
yang paling rendah hingga jenjang yang paling tinggi adalah kebutuhan
fisiologis, keamanan, sosial penghargaan dan aktualisasi diri. Kesejahteraan
usia lanjut, pada dasamya menjadi "concern" para pralanjut usia atau usia lanjut
sendiri, keluarga/masyarakat,organis asiorganisasi masyarakat dan pemerintah.
Oleh karena masalahnya menyangkut banyak pihak, perlu ada landasan
berpijak yang disepakati bersama.
c. Paradigma Usia Lanjut Sejahtera, terdiri dari lima butir sebagai berikut:
1. Positif, Menanamkan pengertian dan membangkitkan kesadaran bahwa :
o Menjadi tua tidak perlu diikuti oleh sakit-sakitan, tapi dapat terjadi secara
normal.
o Tua tidak identik dengan "pensiunan" puma segalanya dan tidak berguna,
tetapi tetap dapat menjadi anggota masyarakat yang dapat memberikan
sumbangan kepada kehidupan dan pembangunan.
2. Proaktif, Menjemput persoalan dan mengambil langkah antisipasi supaya
masalah yang tidak dikehendaki tidak menjadi kenyataan :
o Berperilaku sehat, meningkatkan kebugaran, mencegah penyakit dan
kecacatan.
o Kebiasaan menabung untuk hari tua.
o Sistem pensiunan dan jaminan hari tua.
o Meningkatkan ilmu dan keterampilan.

20

o Menjalin dan membina jaripgan sosial.


o Meningkatkan kehidupan spiritual dan mendekatkan diri kepada Yang Maha
Pencipta.
3. Non Diskriminasi, Tidak mengucilkan atau mengotakkan usia lanjut hanya
karena usianya, tetapi tetap menganggap sebagai bagian integral dari satu
masyarakat yang hak dan kewajibannya dinilai atas dasar kemampuan dan
kondisi serta keterbatasannya.
6. Akomodatif/Kondusif, Tetap memberikan peluang dan kesempatan untuk
bekerja mencari nafkah atau melakukan kegiatan-kegiatan secara sukarela,
serta berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, sesuai keinginan dan
kemampuannya. Memberikan peluang, dorongan dan kesempatan untuk
menambah ilmu serta keterampilan untuk meningkatkan perannya, baik secara
ekonomi maupun sosial. Memberi suasana dan semangat untuk menjalani
hidup yang bermanfaat.
6. Supportif, Memberikan dukungan, bantuan maupun pelayanan untuk
meningkatkan

kesejahteraannya,

serta

memberikan

santunan

maupun

perawatan bagi mereka yang sakit dan tidak berdaya.


d. Mencapai Usia Lanjut Sehat, Tua Berguna, Bahagia dan Sejahtera
Merupakan kendala yang cukup besar karena usia lanjut mempunyai ciri khas
tersendiri dan akibat proses penuaan usia lanjut sulit untuk menerima
perubahan-perubahan yang cepat. Di lain pihak pelayanan kesehatan, masalah
gizi dan kesehatan lingkungan berjalan lebih baik, yang memungkinkan usia
penduduk cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Untuk itu perlu
diterapkan suatu program terpadu yang dilaksanakan sedini mungkin untuk
mengantisipasi

kemungkinan-kemungkinan

21

yang

dapat

menimbulkan

permasalahan pada usia lanjut agar dapat mencapai usia lajut yang sehat, tua
berguna, bahagia dan sejahtera.

Beberapa masalah di bidang psikogeriatris


1. Kesepian
Kesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seorang lanjut usia pada saat
meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri
saat itu juga mengalami penurunan status kesehatan,misalnya menderita
berbagai penyakit fisik berat,gangguan mobilitas atau gangguan sensorik,
terutama gangguan pendengaran.
Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri.Banyak diantara lansia
yang hidup sendiri tidak mengalami kesepian,karena aktivitas sosial yang
masih tinggi, tetapi dilain pihak terhadap lansia yang walaupun hidup
dilingkungan yang beranggotakan cukup banyak , mengalami kesepian.Pada
penderita kesepian ini peran dari organisasi sosial sangat berarti, karena bisa
bertindak menghibur, memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan peran
enderita, disamping memberikan bantuan pengerjaan pekerjaan dirumah bila
bila memang terdapat disabilitas penderita dalam hal-hal tersebut.
2. Gangguan cemas
Gangguan cemas dibagi dalam beberapa golongan, yaitu fobia, gangguan
panik, gangguan cemas umum, gangguan stres pasca trauma dan gangguan
obsesif-kompulsif. Puncak Insidensi antara usi 20-60 tahun dan prevalensi
pada lansia lebih kecil dibandingkan pada dewasa muda. Pada usia lanjut
22

seringkali gangguan cemas ini merupakan kelanjutan dari dewasa muda.


Awitan yang terjadi pada usia lanjut biasanya berhubungan/sekunder akibat
depresi, penyakit medis, efek samping obat atau gejala penghentian mendadak
dari suatu obat. Gejala dan pengobatan pada usia lanjut hampir serupa dengan
pada usia dewasa muda, oleh karenanya tidak akan disinggung lebih
mendalam.
I.

Kesimpulan
Hipotesis diterima. Pasien pada scenario mengalami Insomnia , diketahui dengan
cara mencocokkan gejala-gejala klinis yang dideskripsikan pada scenario yang
umum terjadi pada pasien dengan gangguan tidur, dan dapat dilakukan terapi
sesuai dengan tingkat keberatan kasus insomnia tersebut.
Daftar Pustaka
1. Soeparman, Waspadji S. Ilmu penyakit dalam. Jilid ke-2. Jakarta:Balai
Penerbit FKUI;2007.h.672.
2. Sudoyo A W. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jilid ke-1. Jakarta:
Interna Publishing, 2009; h. 867.
3.

Dewanto G. Panduan Praktis Diagnosis dan tata Laksana


Penyakit Saraf. Jakarta: EGC;2009.h.189-190.

4. Avidan. Epidemiology, Assessment, and Treatment of Insomnia


in Elderly: Treatment of Insomnia in the Geriatric Patient.
Medscape 2006 Juni. Diunduh dari:
http://www.medscape.org/viewarticle/616282_6 13 Desember
2013.

23

5. Haryanto. Faktor-faktor psikologi lansia [article online] 11 Desember 2009.


Diunduh dari: http://belajarpsikologi.com/psikologi-lansia/ 13 Desember
2013.
6. Shary. Pedoman Kesehatan jiwa [article online] Agustus 2009. Diunduh dari :
www.pedomankesehatanjiwalansia.com 13 Desember 2013.
7. Gunadi H. Problematik usia lanjut ditinjau dari sudut kesehatan jiwa . Jakarta:
EGC, 2006;h.89-97.

24

Anda mungkin juga menyukai