Segala puji dan syukur saya haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala rahmatNya sehingga tugas makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Secara keseluruhan, saya melaporkan hasil yang saya peroleh dari beberapa
sumber jurnal terkait dengan Penyalahgunaan NAPZA. Dan harapan saya nantinya
tugas ini dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman kami mengenai materi
pada blok neuropsikiatri ini.
Saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan serta dukungan, hingga terselesaikannya tugas ini. Saya menyadari
sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya
sangat mengharapkan kritik serta saran yang membangun, demi penyempurnaan
tugas-tugas saya selanjutnya.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Penggunaan alkohol, rokok dan zat adiktif saat ini merupakan masalah di
banyak negara. Penggunaan alkohol, rokok dan zat adiktif juga merupakan masalah
bagi Indonesia. Penyalahgunaan NAPZA di Indonesia telah mencapai 0,06% dari
jumlah penduduk Indonesia. Jumlah kasus narkoba meningkat dari 3.478 kasus pada
tahun 2000 menjadi 8.401 pada tahun 2004 atau meningkat rata-rata 28,9% per tahun
(Kurniawati et al. 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerja
sama dengan lembaga penelitian dari salah satu perguruan tinggi negeri pada tahun
2006 hingga 2007 menyebutkan, dari 3,2 juta pengguna NAPZA di Indonesia, 1,1 juta
di antaranya adalah mahasiswa. Dari data yang ada diketahui bahwa penyalahgunaan
NAPZA paling banyak berumur antara 1524 tahun (Kurniawati et al. 2010).
Sebagian besar pengguna alkohol, rokok dan zat adiktif adalah remaja, karena
remaja merupakan kelompok rawan yang berisiko terhadap penyalahgunaan alkohol,
rokok dan zat adiktif, karena sifatnya yang energik, dinamis dan ingin mencoba halhal yang baru, menyenangi petualangan, mudah tergoda oleh tekanan dan pengaruh
dari kelompoknya, cepat putus asa sehingga mudah terjerumus ke dalam
penyalahgunaan alkohol, rokok dan zat adiktif. Hal ini di dukung oleh belum
matangnya mental untuk lebih memperhitungkan akibat dari suatu perbuatan
(Kurniawati et al. 2010).
Menurut World Health Organization (WHO) remaja (adolescence) adalah
mereka yang berusia 10-19 tahun, tetapi kemudian WHO membagi lagi remaja
menjadi remaja dini usia 15-19 tahun dan remaja lanjut yang berusia 20-24 tahun.
Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut anak muda (youth) untuk
usia 15-24 tahun, sedangkan pandangan umum di Indonesia tentang remaja adalah
individu yang berusia antara 11-24 tahun. Ini kemudian disatukan dalam terminology
kaum muda (young people) yang mencakup usia 10-24 tahun (Kurniawati et al. 2010).
BAB II
ISI
NARKOTIKA
CODEIN
Kodein, atau O-methylmorphine, adalah alkaloid ditemukan dalam Oppium
poppy , Papaver somniferum var. album. Opium poppy telah dibudidayakan dan
dimanfaatkan sepanjang sejarah manusia untuk berbagai obat analgesik, anti-tussive
dan anti-diare) dan hipnosis properti (terkait dengan keragaman dari komponen aktif,
termasuk morfin, kodein dan papaverin (Nielsen, 2010).
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat opium.
Opium yang bersal dari getah Papaverin Somniferum mengandung sekitar 20 jenis
alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Analgesik opioid terutama
digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga
memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Istilah analgesik narkotik
dahulu seringkali digunakan untuk kelompok obat ini, akan tetapi karena golongan
obat ini dapat menimbulkan analgesia tanpa menyebabkan tidur atau menurunnya
kesadaran maka istilah analgesic narkotik menjadi kurang tepat (Pharmacy Board
Victoria, 2010).
Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, derivate semisintetik
alkaloid opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai morfin. Obat
yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid. Tetapi semua analgesik
opioid menimbulkan adiksi, maka usaha untuk mendapatkan suatu analgesik yang
ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan analgesik yang sama kuat
dengan morfin tanpa bahaya adiksi (Nielsen, 2010).
Yang termasuk golongan obat opioid adalah :
1. obat yang berasal dari opium-morfin
2. senyawa semisintetik morfin
3. senyawa sintetik yang berefek seperti morfin
Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid. Reseptor tempat
terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid.
EPIDEMIOLOGI
Sekitar 23,5 juta orang berusia 12 atau lebih tua memerlukan pengobatan untuk
masalah penggunaan obat-obatan terlarang pada tahun 2009. Dalam laporan
kumpulan data, penyalahgunaan opiat, termasuk kodein, menyumbang persentase
terbesar dari penerimaan terkait Narkotika (sekitar 20 persen). Di Amerika, kecanduan
dan penyalahgunaan kodein sudah sangat umum, dan diperkirakan mencapai 33 juta
pengguna setiap tahun (Robinson, 2010).
ETIOLOGI
Kecanduan kodein dan zat-zat lain yang merupakan kombinasi dari sejumlah faktor
yang bekerja bersama-sama, yaitu (Chew, 2001):
1. Genetik: Individu yang memiliki kerabat - terutama orang tua - yang
kecanduan zat lebih mungkin untuk mengalami masalah kecanduan di
kemudian hari.
2. Otak Kimia: Codeine bekerja dengan berinteraksi dengan neurotransmitter di
otak.
Satu
teori
adalah
seseorang
yang
menyalahgunakan
kodein
endogen dan reseptor untuk zat ini. Dengan ditemukannya obat yang bersifat
campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak meniadakan ketergantunganfisik
akibat morfin maka penggunaan istilah analgesik narkotik untuk pengertian
farmakologik tidak sesuai lagi (Simmons, 2010).
Peptida opioid endogen, Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui
kerjanya didaerah otak yang mengandung peptida yang memiliki sifat farmakologik
menyerupai opioid. Terdapat 3 jenis peptide opioid yakni enkefalin, endorfin, dan
dinorfin. Peptida opioid endogen tersebut diperkirakan berpran pada transmisi saraf,
meskipun mekanisme kerja sebagai analgesik belum jelas diketahui. Tiap jenis berasal
dari prekursor polipeptida yang berbeda secara genetik dan memperlihatkan distribusi
anatomis yang khas. Prekursor ini disebut proenkefalin A, pro-opiomelanokortin
(POMC) dan prodinorfin (proenkefalin B). Masing-masing prekursor mengadung
sejumlah peptida yang aktif secara biologik, baik sebagai opioid maupun nonopioid
yang telah dideteksi dalam darah dan berbagai jaringan (Joyce, 1996; Simmons, 201).
Reseptor opioid majemuk (multiple). Ada 3 jenis uatama reseptor opioid yaitu
mu ( ), delta ( ), kappa ( ). Ketiga jenis reseptor tersebut pada jenis reseptor
yang berpasangan dengan protein G, dan memiliki sub tipe: mu 1, mu2, mu3, delta1,
delta2, delta3, kappa1, kappa2, kappa3. Karena suatu opioid dapat berfungsi dengan
potensi yang berbeda sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau antagonis pada lebih
dari satu jenis reseptor atau subtype reseptor maka senyawa yang tergolong opioid
dapat memiliki efek farmakologi yang beragam (Joiyce, 1996; Pharmacy Board
Victoria, 2010).
Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat yang tergolong
opioid dibagi menjadi :
1. Agonis opioid menyerupai morfin, yaitu yang bekerja sebagai agonis terutama
pada reseptor , dan mungkin pada reseptor k (contoh : morfin)
2. Antagonis opioid, yaitu yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua
resepor (contoh : nalokson)
3. Opioid dengan kerja campur :
a.
1. Mengantuk terus-menerus
2. kelelahan
3. Keluhan kulit gatal
4. Kehilangan selera makan
5. tidur berlebihan
6. Warna kebiru-biruan pada bibir dan kuku
7. Mual dan pusing
8. Otot berkedut tak terkendali
9. Penarikan dari kegiatan sosial, kehilangan minat dalam hobi
10. Berulang kali meminjam atau meminta uang untuk mendukung kecanduan
TATALAKSANA
Obat sakit seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen (Motrin, Advil) dapat
digunakan untuk membantu meringankan rasa sakit saat terjadi efek withdrawal
ringan. Loperamide (Imodium) dapat membantu mengobati diare. Hydroxyzine
(Vistaril, Atarax) dan obat lain dapat membantu dengan mual. (Nielsen, 2010;
Robinson, 2010)
Jika terjadi efek withdrawal yang berat, clonidine (Catapres, Kapvay, dan lain-lain)
sering digunakan untuk mengurangi kecemasan. Hal ini juga dapat meringankan
(Nielsen 2010):
nyeri otot
berkeringat
ingusan
haid
agitasi
Penggunaan lainnya, opiat yang memiliki efek adiktif ringan dapat mengurangi
beberapa gejala penarikan. Buprenophine (Suboxone, Subutex) adalah antagonis
opioid yang dapat digunakan untuk kodein detoksifikasi.
Untuk kecanduan dan ketergantungan yang berat, beralih ke opioid pmeliharaan
seperti metadon mungkin dapat digunakan. Perawatan detoksifikasi cepat di bawah
anestesi dapat mengurangi intensitas beberapa gejala penarikan. Metode ini juga
menggunakan blocker opioid seperti naltrexone. Namun, prosedur ini datang dengan
risiko muntah di bawah anestesi, yang merupakan kejadian yang mengancam jiwa
(Robinson, 2010).
PSIKOTROPIKA
AMFETAMIN
Amfetamin (1-metil-2-phenethylamine) pertama disintesis pada tahun 1887
dan merupakan anggota pertama dari kelompok senyawa yang memiliki struktur
serupa dan sifat biologis dan secara kolektif disebut "amfetamin". Kelompok ini juga
termasuk
methamphetamine,
disintesis
methylenedioxymethamphetamine
enam
(MDMA),
tahun
dipatenkan
kemudian,
pada
dan
tahun
3-4
1914.
bagi amfetamin. Amfetamine memiliki waktu paruh (T) 12-15 jam (Berman et al,
2008; Bramness et al, 2012).
Dari beberapa penelitian pada binatang diketahui pengaruh amfetamine
terhadap ketiga biogenik amin tersebut yaitu (Berman et al, 2008):
Dopamin
Amfetamine menghambat re uptake dan secara langsung melepaskan dopamin
yang baru disintesa. Pada penelitian didapatkan bahwa isomer dekstro dan levo
amfetamine mempunyai potensi yang sama dalam menghambat up take dopaminergik
dari sinaptosom di hipothalamus dan korpus striatum tikus.
Norepinefrin
Amfetamine memblok re uptake norepinefrin dan juga menyebabkan
Serotonin
Secara umum, amfetamine tidak mempunyai efek yang kuat pada sistem
membangkitkan rilis 5-HT, perubahan sekresi hormon, dan perilaku kecemasan yang
terus-menerus juga telah ditafsirkan sebagai bukti neurotoksisitas, meskipun
penafsiran ini tidak konklusif (Berman et al, 2008).
Manifestasi Klinis
Amfetamine dan metamfetamine dapat memperpanjang masa kewaspadaan,
meningkatkan fokus dan peraasaan berenergi serta mengurangi kelelahan.
Amphetamine dan metamfetamine dapat menghasilkan euforia, menginduksi
anoreksia. Efek samping termasuk kecemasan, agresi, paranoid, hiperaktif,
mengurangi nafsu makan, takikardia, peningkatan denyut, dilatasi pupil takipneu,
peningkatan tekanan darah, sakit kepala, insomnia, jantung berdebar, aritmia dan lainlain (Bramness et al, 2012).
Gejala-gejala psikosis yang disebabkan oleh amfetamin sangat mirip dengan
akut psikosis spektrum skizofrenia dan meliputi: kurangnya konsentrasi, delusi,
peningkatan aktivitas motorik, disorganisasi pikiran, insight yang buruk, kecemasan,
kecurigaan dan halusinasi pendengaran (Bramness et al, 2012).
Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk intoksikasi amfetamin menurut DSM-V (Maslim,
2013):
A. Pemakaian amfetamin atau zat yang berhubungan (misalnya methylphenidate)
yang belum lama terjadi.
B. Perilaku maladaptif atau perubahan perilaku yang bermakna secara klinis
(misalnya
euforia
atau
penumpulan
afektif,
perubahan
sosiabilitas,
(2)
dilatasi pupil
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain
Kriteria diagnostik untuk putus amfetamin menurut DSM-IV (Maslim, 2013):
kelelahan
(2)
(3)
(4)
(5)
klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain
Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain
ZAT ADIKTIF
ALKOHOL
Alkohol adalah sekelompok senyawa yang terdiri atas ethyl alcohol, methyl
alcohol,
ethylene
glycol,
isopropyl
alcohol;
dimetabolisme
oleh
alcohol
Epidemiologi
Di indonesia terutama di daerah Indonesia Timur dan beberapa tempat di
daerah Sumatera, terdapat antara 2-3 juta orang yang menggunakan minuman alkohol
dari ringan sampai berat. Laki-laki lebih banyak mengkonsumsi alkohol dari
perempuan tetapi populasi peminum perempuan meningkat dari tahun ke tahun dan
pengguna alkohol usia dewasa lebih stabil menggunakannya secara berkelanjutan
(Kaplan & Sadock. 2007; Husin. 2013).
Etiologi
Ada beberapa teori yang mendasari penyebab dari penyalahgunaan alcohol
antara lain (Kaplan & Sadock. 2007) :
Teori psikologi
Teori perilaku
Teori sosio-kultural
Mekanisme kerja
Berikut beberapa mekanisme kerja dari alcohol ( DSM-IV, 1994) :
a) Absorpsi
Kira-kira 10% alkohol yang dikonsumsi diabsorpsi di lambung, dan
sisanya di usus kecil. Konsentrasi puncak alkohol didalam darah dicapai
dalam waktu 30-90 menit, biasanya dalam 45-60 menit, tergantung apakah
alkohol diminum saat lambung kosong, yang meningkatkan absorbsi atau
diminum bersama makanan yang memperlambat absorbsi.
Waktu untuk mencapai konsentrasi puncak dalam darah juga
merupakan suatu faktor selama alkohol dikonsumsi, waktu yang singkat
menurunkan waktu untuk mencapai konsentrasi puncak. Absorbsi paling cepat
15-30% (kemurnian -30 sampai -60).
Tubuh memiliki alat pelindung terhadap masuknya alkohol. Sebagai
contoh, jika konsentrasi alkohol menjadi terlalu tinggi didalam lambung,
mukus akan disekresikan dan katup pilorik ditutup, hal tersebut akan
memperlambat absorbsi dan menghalangi alkohol masuk ke usus kecil. Jadi,
sejumlah besar alkohol dapat tetap tidak terabsorbsi didalam lambung selama
berjam-jam. Selain itu, pilorospasme sering kali menyebabkan mual dan
muntah.
Jika alkohol telah diabsorbsi ke dalam aliran darah, alkohol
didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Jaringan yang mengandung proporsi
air yang tinggi memiliki konsentrasi alkohol yang tinggi. Efek intoksikasi
menjadi lebih besar jika konsentrasi alkohol didalam darah tinggi.
b) Metabolisme
Kira-kira 90% alkohol yang diabsorbsi dimetabolisme di hati, sisanya
dieksresikan tanpa diubah oleh ginjal dan paru-paru. Kecepatan oksidasi di
hati konstan dan tidak tergantung pada kebutuhan energi tubuh. Tubuh mampu
memetabolisme kira-kira 15 mg/dl setiap jam dengan rentan berkisar antara
10-34 mg/dl per jamnya.
Alkohol dimetabolisme dengan bantuan 2 enzim yaitu alkohol
dehidrogenase (ADH) dan aldehida dehidrogenase. ADH mengkatalisasi
dalam jumlah
yang
sama.
hipertensi.
Gangguan fisik: mulai dari radang hati sampai kanker hati, gastritis, ulkus
peptikum, pneumonia, gangguan vaskuler dan jantung, defisiensi vitamin, fetal
alcohol syndrome.
Gangguan mental: depresi hingga skizofrenia.
Diagnosis
A. Menurut DSM-IV-TR
Kriteria DSM-IV-TR menyatakan, semua gangguan terkait zat menggunakan
kriteria yang hampir sama untuk penyalahgunaan dan ketergantungan. Kebutuhan
mengkonsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak untuk hidup normal, pola
pengambilan yang banyak yang terbatas pada hujung minggu dan memakan waktu
yang lama untuk kembali tenang, adalah antara manifestasi ketergantungan dan
penyalahgunaan alcohol (APA. 2000)
Tabel 1. Kriteria DSM-IV-TR untuk Penyalahgunaan AlkohoL (APA. 2000)
Satu atau lebih daripada kriteria dibawah ini terlihat kapan saja dalam
periode 12 bulan:
A.
B.
C.
D.
E.
C.
Satu (atau lebih) gejala, berkembang setelah, atau pada saat mengkonsumsi
alkohol:
1. Bicara cadel/tidak jelas
2. Kehilangan koordinasi
3. Cara berjalan yang goyah/tidak stabil
4. Nistagmus
5. Penurunan perhatian atau memori
D.
B. Menurut PPDGJ-III
Pedoman diagnostik untuk intoksikasi akut (F10.0):
1. Intoksikasi akut sering dikaitkan dengan: tingkat dosis zat yang digunakan
(dose-dependent),
individu
dengan
kondisi
organik
tertentu
yang
mendasarinya (misalnya insufisiensi ginjal atau hati) yang dalam dosis kecil
dapat menyebabkan efek intoksikasi berat yang tidak proporsional.
2. Disinhibisi yang ada hubungannya dengan konteks sosial
perlu
orang tersebut akan kembali ke kondisi semula, kecuali jika ada jaringan yang
rusak atau terjadi komplikasi lainnya.
Pedoman diagnostik untuk penggunaan yang merugikan (F10.1):
1. Adanya pola penggunaan zat psikoaktif yang merusak kesehatan, yang dapat
berupa fisik (seperti pada kasus hepatitis karena menggunakan obat melalui
suntikan diri sendiri) atau mental (misalnya episode gangguan depresi
sekunder karena konsumsi berat alkohol).
2. Pola penggunaan yang merugikan sering dikecam oleh pihak lain dan
seringkali disertai berbagai konsekuensi sosial yang tidak diinginkan.
3. Tidak ada sindrom ketergantungan (F10.2), gangguan psikotik (F10.5) atau
bentuk spesifik lain dari gangguan yang berkaitan dengan penggunaan obat
atau alkohol.
Penatalaksanaan
Medika Mentosa
A. Detoksifikasi
Benzodiazepin adalah obat pilihan bagi untuk detoksifikasi karena mempunyai
efek samping yang relatif kecil. Benzodiazepin kerja lama seperti chlordiazepoxide
dan diazepam adalah standar untuk detoksifikasi tanpa komplikasi. Bila dosis inisial
cukup tinggi (>60 mg diazepam dalam 24-36 jam) digunakan, obatan ini akan di
tapering sendiri. Benzodiazepin kerja cepat seperti lorazepam direkomendasikan
hanya untuk pasien dengan penyakit hati, gangguan kognitif, masalah medis yang
tidak stabil atau lansia. Obat ini harus di tapered dalam waktu 4 hingga 8 hari, akan
tetapi ia dimetabolisme menjadi bentuk glukoronid dan dengan cepat diekskresi oleh
ginjal, memberikan flexibility dalam mengobati pasien yang tidak stabil (Renner &
Bierer. 1999).
B. Medikasi jangka panjang
Naltrekson adalah sejenis antagonis opiad yang digunakan untuk menurunkan rasa
keinginan dan relaps. Diberikan dengan dosis 50 mg per hari, obat ini sangat baik
untuk pasien yang mengaku mempunyai keinginan yang kuat untuk minum alkohol.
Obat ini dikontraindikasikan untuk pasien pecandu opiat atau dengan penyakit
hati.Disulfiram menghambat metabolisme alkohol, dan menyebabkan peningkatan
kadar asetaldehid. Dosis 250 mg per hari secara oral dapat menyebabkan takikardi,
dipsnea, mual dan muntah jika pasien mengkonsumsi alkohol. Obat ini baik buat
pasien yang mempunyai motivasi tinggi. Disulfiram juga menghambat dopamine
beta-hydroxylase dan akan mengakibatkan gejala psikosis pada pasien skizofrenia
(Renner&Bierer1999).
Non Medika Mentosa
Antara salah satu pengobatan non medika mentosa adalah dengan memberikan
motivasi dan kaunseling kepada pasien. Motivasi diberikan sewaktu proses intervensi
dan juga rehabilitasi. Langkah-langkah ini antara lain (Schuckit, 2000) :
Memberi
edukasi
kepada
pasien
dan
juga
keluarganya
tentang
sendiri.
Memberi motivasi kepada pasien tentang obatan lain yang diberikan
(contohnya disulfiram) dapat membuatkan pasien sukar untuk kembali
mengkonsumsi alkohol dan memudahkan proses rehabilitasi.
Tidak cukup sekedar motivasi, pasien harus menjalani fase aktif berhenti minum
alkohol. Beberapa cara dapat dilakukan antara lain harus fokus dalam terapi
berdasarkan perilaku pasien itu sendiri. Berikan pasien tersebut obatan yang dapat
membuatkannya tenang, dan disamping itu cubalah untuk berhenti daripada bertemu
dengan peminum lainnya. Berikan juga dukungan dan berfikir positif dalam setiap
aspek supaya pasien dapat melalui hari-hari tanpa mengkonsumsi alcohol ( Renner &
Bierer. 1999).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Fenomena penyalahgunaan napza adalah fenomena ice berg (gunung es)
artinya jumlah penderita penyalahgunaan napza yang tampak dipermukaan lebih kecil
dibanding dengan yang tersembunyi (kasus yang tak nampak). Telah banyak usaha
yang dilakukan oleh banyak orang dan para ahli bahkan dari banyak negara tetapi
korban penyalahgunaan napza masih saja terus terjadi. Maraknya korban
penyalahgunaan napza dibanyak tempat itu membuktikan bahwa usaha yang
dilakukan belum mampu mencegah penyalahgunaan napza itu secara optimal. Banyak
hal dan banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penyalahgunaan napza
tersebut, oleh karena itu penyalahgunaan napza selalu bersifat multifaktorial. Dengan
demikian pendekatan yang dilakukan harus pula bersifat multidisipliner, tidak
mungkin hanya dengan pendekatan disiplin tunggal.
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders: DSM-IV-TR. Washington, DC; American Psychiatric Association:
2000.
Berman S, ONeill J, Fears S, et al, 2008. Abuse of Amphetamine and Structural
Abnormalities in Brain. Ann N Y Acad Sci. 1141:195-220 Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2769923/ [Accessed on May 7th
2015
Bramness JG, Gundersen OH, Guterstam J, et al, 2012. Amphetamine-Induced
Psychosis a Separate Diagnostic Entity or Primary Psychosis Triggered in the
Vulnerable. BMC Psychiatry. 12:221
Chew, M., White, J., Somogyi, A., Bochner, F., & , & Irvine, R. (2001). Precipitated
withdrawal following codeine administration is dependent on CYP genotype.
European journal of pharmacology, 425(3), 159 -164.
DSM-IV, Dignostic and Statistical Manual of Mental Disorders, ed 4. Hak cipta
American Psyciatric Association, Washington 1994
Husin BA, Siste K. Gangguan penggunaan zat. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta; FK UI:
ed. 2. 2013.
Joyce, L. dan Evelyne, H. 1996. Farmakologi. Jakarta: EGC
Kaplan, Harold I, MD, Sadock Benjamin J, MD,Sinopsis Psikiatri-ilmu pengetahuan
perilaku psikiatri klinis. Edisi ke-7.
Kurniawati
et
al.
2010.
ALCOHOL,
SMOKING
AND
SUBSTANCE
from
http://www.abc.net.au/news/stories/2010/2005/2001/2887640.htmKee Joyce
Schuckit MA. Drug and Alcohol Abuse, A Clinical Guide to Diagnosis and Treatment,
5th ed. New York; Springer Science Business Media: 2000. h. 311-315.
Wibisono, AS. 2012. Laporan kasus : keracunan alcohol beracun. Akses 08 Mei
2015
available
at
http://perdici.org/wp-content/uploads/mkti/2012-02-
02/mkti2012-0202-109115.pdf