Anda di halaman 1dari 21

Referat

Gangguan Kepribadian Ambang

Disusun
Oleh:
Bara
Kerinduan
11.2015.155

Pembimbing:
dr. Desmiarti, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT JIWA DR. SOEHARTO HEERDJAN
PERIODE 28 Maret 2016 30 April 2016
DAFTAR ISI
Daftar Isi.................................................................................................................... 2
Kata Pengantar...........................................................................................................3
1

BAB I

PENDAHULUAN .................................................................................4

BAB II

PEMBAHASAN ....................................................................................5

2.1. Etiologi

2.2. Epidemiologi

2.3. Patofisiologi

2.4. Gambaran Klinis.............................................................................15


2.5. Diagnosis

15

2.6. Diagnosis banding......................................................................................................16


2.7. Prognosis

17

2.8. Terapi..............................................................................................17
BAB III

KESIMPULAN......................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan
karunia-Nya yang memberikan kesehatan, keselamatan, dan membimbing penulis sehingga
dapat menyelesaikan referat ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Desmiarti,
Sp.KJ selaku pembimbing. Tujuan pembuatan referat ini merupakan salah satu syarat dari
kepaniteraan klinik di RSJ dr. Soeharto Heerdjan.
Penulis menyadari bahwa pembuatan referat ini masih banyak kekurangan dan masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis akan sangat terbuka dan dengan senang hati
menerima segala bentuk kritik dan saran yang bersifat membangun, sehingga referat ini bisa
berguna bagi semua pihak. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Jakarta, 7 April 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Kepribadian adalah totalitas dari ciri prilaku dan emosi yang merupakan karakter atau
ciri seseorang dalam kehidupan sehari-hari dalam kondisi yang biasa. Sifatnya stabil dan
dapat diramalkan. Gangguan kepribadian adalah ciri kepribadian yang bersifat tidak fleksibel
dan maladaptif yang menyebabkan disfungsi yang bermakna atau penderitaan subjektif.
Orang dengan gangguan kepribadian menunjukan pola relasi dan persepsi terhadap
lingkungan dan diri sendiri yang bersifat berakar mendalam, tidak fleksibel serta bersifat
maladaptif.1
Menurut Kurt Schneider seorang dengan gangguan kepribadian adalah seorang yang
menyukarkan dan merugikan dirinya sendiri dan masyarakat karena sifat-sifat kepribadian
yang konstitusional itu (tidak diperoleh sesudah individu itu berkembang atau bukan karena
stres yang berarti). Konstitusional artinya akibat interaksi badaniah dan psikologik. Dengan
demikian maka hal-hal yang dapat menyebabkan gangguan kepribadian dalam dicari dalam
dua unsur ini sejak masa kanak-kanak yaitu terutama faktor keturunan, kelainan
perkembangan susunan saraf dan hormonal serta pengaruh lingkungan pada masa kanakkanak.2 Gejala gangguan kepribadian adalah aloplastik (yaitu mampu mengadaptasi dan
mengubah lingkungan eksternal) dan ego-sintonik (yaitu dapat diterima oleh ego), mereka
dengan gangguan kepribadian tidak merasa cemas tentang prilaku maladaptifnya karena
orang tersebut tidak secara rutin merasakan sakit dari apa yang dirasakan oleh masyarakat
sebagai gejalanya,mereka sering kali dianggap sebagai tidak bermotivasi untuk pengobatan
dan tidak mampan terhadap pemulihan.3
Ganggguan kepribadian ambang adalah suatu pola yang menetap dari ketidakstabilan
hubungan interpersonal, gambaran diri dan afek dan impulsivitas yang nyata dimulai pada
masa dewasa awal dan bermanifestasi dalam berbagai konteks. Penyebab yang pasti
gangguan kepribadian ini sendiri masih dipertanyakan. Namun, belakangan ini para peneliti
terutama di bidang neurobiologi dan psikofarmakologi melakukan pendekatan biologis yang
lebih

mendalam

dengan

hipotesis

adanya

keterlibatan

baik

unsur fungsi

otak,

neurotransmiter, genetik, dan neuroendokrin. Salah satu yang paling sering diteliti adalah
hubungan antara sistem serotonergik dan regio otak yang terlibat dalam perilaku impulsif dan
agresif pada pasien gangguan kepribadian ambang.4

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ETIOLOGI
2.1.1

Faktor Genetik
Bukti terbaik bahwa faktor genetik turut berperan di dalam gangguan

kepribadian darang dari penelitian pada 15.000 pasangan kembar di Amerika Serikat.
Antar kembar monozigot, konkordansi untuk gangguan kepribadian beberapa kali
lebih tinggi dibandingkan dengan kembar dizigot. Lebih lanjut, menurut satu studi,
kembar monozigot yang diasuh terpisah ternyata hampir sama dengan kembar
monozigot yang diasuh bersama. Kesamaan ini mencakup berbagai kepribadian dan
tempramen, minat pekerjaan dan pengisian waktu luang, serta sikap sosial.
Depresi lazim ditemuan di dalam latar belakang keluarga penderita gangguan
kepribadian ambang. Pasien ini memiliki lebih banyak kerabat penderita gangguan
mood dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan orang dengan gangguan
kepribadian ambang juga sering memiliki gangguan mood.3
2.1.2

Faktor biologis

Hormon
Orang yang menunjukkan ciri impulsif sering menunjukkan kadar testosteron, 17estradiol, dan estron yang meningkat.

Pada primata bukan manusia, androgen

meningkatkan kemungkinan agresi serta perilaku seksual, tetapi peran testosteron


pada agresi manusia tidak jelas. Hasil DST abnormal pada beberapa pasien dengan
gangguan kepribadian ambang yang juga memiliki gejala depresif.3
Monoamin Oksidase Trombosit
Rendahnya kadar monoamin oksidase (MAO) trombosit dikaitkan dengan aktifitas
dan sosialibilitas pada monyet. Mahasiswa dengan kadar MAO rendah melaporkan
adanya waktu lebih yang dihabiskan untuk aktifitas sosial daripada mahaasiswa
dengan kadar MAO trombosit yang tinggi. Rendahnya kadar trombosit juga telah
diperhatikan pada pasien dengan gangguan skizotipal.3
Gerakan Mata Melirik Halus
Gerakan mata pursuit halus adalah saccadic (yaitu, gelisah) pada orang yang
introvert, yang memiliki rasa rendah diri dan cenderung untuk menarik diri, dan yang
memiliki gangguan kepribadian skizotipal. Temuan ini tidak memiliki aplikasi klinis,
tetapi mereka menunjukkan peran inheritance.3
Neurotransmiter
Endorfin memiliki efek yang sama dengan morfin eksogen, seperti analgesia dan
penekan gairah (arousal). Tingkat endorfin endogen yang tinggi mungkin
5

berhubungan dengan orang-orang yang phlegmatis. Studi sifat kepribadian dan


sistem dopaminergik dan serotonergik mengindikasikan fungsi gairah-mengaktifkan
untuk neurotransmitter. Tingkat 5-hydroxyindoleacetic asam (5-HIAA), suatu
metabolit serotonin, adalah rendah pada orang yang mencoba bunuh diri dan pada
pasien yang impulsif dan agresif. Meningkatkan kadar serotonin dengan agen
serotonergik seperti fluoxetine (Prozac) dapat menghasilkan perubahan dramatis
dalam beberapa karakter kepribadian. Pada banyak orang, serotonin mengurangi
depresi, impulsif, dan dapat menghasilkan rasa kesejahteraan. Peningkatan
konsentrasi dopamin dalam sistem saraf pusat, yang diproduksi oleh psikostimulan
tertentu (misalnya, amfetamin) dapat menyebabkan euforia. Efek neurotransmitter
pada sifat kepribadian telah dihasilkan banyak perhatian dan kontroversi tentang
apakah sifat-sifat kepribadian bawaan atau diperoleh.3
Elektrofisiologi
Perubahan konduktansi listrik pada elektroensefalogram (EEG) terjadi pada beberapa
pasien dengan gangguan kepribadian, paling sering jenis antisosial dan borderline;
perubahan ini muncul sebagai gelombang lambat aktivitas di EEG.3
2.1.3

Faktor psikoanalitik
Sigmund Freud menyatakan bahwa sifat kepribadian adalah berhubungan

dengan fiksasi pada salah satu stadium perkembangan psikoseksual. Sebagai contoh,
suatu karakter oral adalah pasif dan dependen karena terfiksasi pada stadium oral,
dimana ketergantungan pada orang lain untuk asupan makanan adalah menonjol.
Karakter anal keras kepala, kikir, dan sangat teliti karena perjuangan di sekitar latihan
toilet selama periode anal.
Wilhelm Reich menggunakan istilah character armor untuk menggambarkan
gaya defensif karakteristik yang digunakan seseorang untuk melindungi dirinya
sendiri dari impuls internal dan dari kecemasan interpersonal dalam hubungan yang
bermakna.
Jika mekanisme pertahanan berfungsi baik, pasien dengan gangguan
kepribadian adalah mampu mengatasi perasaan kecemasan, depresi, kemarahan, malu,
bersalah, atau afek lainnya. Pasien sering kali memandang perilakunya sebagai
egosistonik, berarti bahwa perilaku tersebut tidak menimbulkan penderitaan pada
pasien sendiri, kendatipun dapat merugikan orang lain. Pasien mungkin juga unggan
untuk melibatkan diri dalam proses terapi karena pertahanan mereka adalah penting

dalam pengendalian afek yang tidak menyenangkan dan mereka tidak berminat dalam
menyerahkan pertahanan tersebut.
Di samping pertahanan yang khas di dalam gangguan kepribadian, ciri sentral
lainnya adalah hubungan objek internal. Selama perkembangan, pola diri tertentu
dalam hubungan dengan orang lain diinternalisasikan. Melalui introyeksi, anak
menginternalisasikan orang tua dan orang lain dengan cara sedemikian rupa sehingga
ciri objek eksternal digabungkan ke dalam diri dan ciri anak itu sendiri. Dengan
demikian, orang dengan gangguan kepribadian juga diidentifikasi dengan pola
keterhubungan interpersonal tertentu yang berasal dari pola hubungan objek internal
ini.3
Mekanisme Defensi: Untuk membantu penderita gangguan kepribadian,psikiater
harus menghargai pertahanan pasien yang mendasari,proses ,mental yang tidak
disadari yang digunakan ego untuk menyelesaikan konflik diantara empat pedoman
kehidupan interna:insting,realitas,orang yang penting dan ketelitian.
Khayalan: banyak orang yang sering dicap skizoid ,mereka eksentrik, kesepian atau
ketakutan , mencari penghiburan dan kepuasan didalam diri mereka dengan
menciptakan kehidupan khayalan , terutama teman khayalan. Mengenali rasa takut
pasien akan kedekatan dan menghargai cara eksentrik mereka, akan bernilai terapeutik
dan bermanfaat.
Disosiasi: Disosiasi atau penyangkalan adalah penggantian mirip-pollyanna terhadap
terhadap afek yang tidak menyenangkan dengan yang menyenangkan.Berempati
terhadap afek yang disangkal tanpa secara langsung mengofrontasi pasien dengan
fakta, memungkinkan mereka memunculkan sediri topik aslinya.
Isolasi: Isolasi adalah ciri khas orang yang terkendali dan teratur,sering dicap sebagai
kepribadian obsesif-kompulsif mengingat kebenaran dengan perincian yang baik
tetapi tanfa afek. Kapanpun memungkinkan, terapis harus mengizinkan pasien seperti
ini untuk mengendalikan mereka sendiri dan tidak terlibat didalam perdebatan.
Proyeksi: Pasien mengaitkan perasaan mereka yang tidak sadari kepada orang lain.
Pencarian kesalahan yang berlebihan oleh pasien serta sensitivitas terhadap kritik
dapat

tampak

pada

terapis

sebagai

penumpahan

yang

tidak

adil

dan

menuduh,sebaiknya tidak dilawan dengan pertahanan dan argument. Bahkan , klinisi


secara terus terang harus mengakui kesalahan ada padanya dirinya meskipun kecil dan
harus mendiskusikan kemungkinan masalah dimasa mendatang.

Pemisahan: Didalam pemisahan ,pasien membagi orang-orang menjadi orang baik


dan orang jahat berdasarkan perasaan pasien yang ambivalen mengenai orang-orang
tersebut .
Agresi Pasif: Orang dengan pertahanan pasif agresif mengarahkan kemarahan
mereka pada diri sendiri. Didalam istilah psikoanalitik,fenomena ini disebut
masokisme dan mencakup, perilaku konyol atau provokatif yang gagal dan
tertunda,perilaku membadut yang merendahkan diri, serta tindakan yang jelas
merusak diri.
Acting Out : Pasien secara langsung mengekpresikan keinginan atau konflik yang
tidak disadari melalui tindakan untuk mencegah kesadaran akan gagasan atau afek
yang menyertainya.
Identifikasi Proyektif : Mekanisme defense identifikasi proyektif terutama tampak
pada gangguan kepribadian ambang dan terdiri atas tiga tahap: aspek diri
diproyeksikan pada orang lain, perilaku proyeksi mencob memaksa orang lain untuk
mengidentifikasi apa yang tela diproyeksikan, dan menerima proyeksi serta pelaku
proyeksi merasa menyatu atau membentuk kesatuan.
Isolasi: Isolasi adalah ciri khas orang yang terkendali dan teratur,sering dicap sebagai
kepribadian obsesif-kompulsif mengingat kebenaran dengan perincian yang baik
tetapi tanfa afek. Kapanpun memungkinkan, terapis harus mengizinkan pasien seperti
ini untuk mengendalikan mereka sendiri dan tidak terlibat didalam perdebatan.
Proyeksi: Pasien mengaitkan perasaan mereka yang tidak sadari kepada orang lain.
Pencarian kesalahan yang berlebihan oleh pasien serta sensitivitas terhadap kritik
dapat

tampak

pada

terapis

sebagai

penumpahan

yang

tidak

adil

dan

menuduh,sebaiknya tidak dilawan dengan pertahanan dan argument. Bahkan , klinisi


secara terus terang harus mengakui kesalahan ada padanya dirinya meskipun kecil dan
harus mendiskusikan kemungkinan masalah dimasa mendatang.
Pemisahan: Didalam pemisahan ,pasien membagi orang-orang menjadi orang baik
dan orang jahat berdasarkan perasaan pasien yang ambivalen mengenai orang-orang
tersebut.
Agresi Pasif: Orang dengan pertahanan pasif agresif mengarahkan kemarahan
mereka pada diri sendiri. Didalam istilah psikoanalitik,fenomena ini disebut
masokisme dan mencakup, perilaku konyol atau provokatif yang gagal dan
tertunda,perilaku membadut yang merendahkan diri, serta tindakan yang jelas
merusak diri.
8

Acting Out : Pasien secara langsung mengekpresikan keinginan atau konflik yang
tidak disadari melalui tindakan untuk mencegah kesadaran akan gagasan atau afek
yang menyertainya.
Identifikasi Proyektif : Mekanisme defense identifikasi proyektif terutama tampak
pada gangguan kepribadian ambang dan terdiri atas tiga tahap: aspek diri
diproyeksikan pada orang lain, perilaku proyeksi mencob memaksa orang lain untuk
mengidentifikasi apa yang tela diproyeksikan, dan menerima proyeksi serta pelaku
proyeksi merasa menyatu atau membentuk kesatuan.3
2.2 EPIDEMIOLOGI
Gangguan kepribadian ambang terjadi antara 2-3% dari populasi umum terutama
ditemukan di pusat kesehatan klinis. Di Amerika sekitar 1% penduduknya mengalami
gangguan kepribadian ambang. Gangguan kepribadian jenis ini lebih sering terjadi pada
perempuan daripada laki-laki: perempuan mempunyai kecenderungan 3 kali lebih rentan
dibandingkan laki-laki. Sampai saat ini belum ada pasti di Indonesia, namun diperkirakan
kejadian gangguan kepribadian ambang cukup tinggi karena biasanya gangguan kepribadian
ini ditandai oleh perilaku agresif dan impulsif, yang biasanya banyak terdapat pada individu
dengan perilaku kekerasan. Hal itu dapat dilihat sehari-hari dari berbagai laporan media. Pada
kebanyakan kasus, gangguan kepribadian ambang pertama kali ditemukan pada usia akhir
remaja; beberapa terjadi pada anak namun jarang terjadi pada dewasa di atas 40 tahun.5
2.3 PATOFISIOLOGI
Regio Otak
Beberapa regio di otak diperkirakan berperan dalam perilaku manusia. Hasil
penelitian menggambarkan bahwa perilaku impulsif, disregulasi, dan kelainan kepribadian
adalah aspek utama gangguan kepribadian ambang. Gangguan kepribadian ini dapat
dipikirkan mempunyai profil neurobiologi yang unik.6 Prefrontal korteks terutama korteks
prefrontal orbital dan korteks ventral media yang bersebelahan berperan dalam pengaturan
perilaku agresif. Aktivitas korteks prefrontal dimodulasi oleh traktus serotonergik yang naik
dari nukleus raphe di otak tengah, di mana badan-badan sel serotonergik terletak dengan
sinaps pada neokorteks, berlaku pada sejumlah reseptor terutama reseptor5-HT2a. Lesi pada
korteks prefrontal, terutama korteks orbito frontal, pada masa kanak awal dapat
bermanifestasi sebagai disinhibisi perilaku antisosial dan perilaku agresif pada masa
kehidupan selanjutnya. Sedangkan pengurangan massa abuabu di prefrontal telah
9

dihubungkan dengan defisit autonomik pada gangguan kepribadian antisosial dengan perilaku
agresif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa korteks orbitofrontal dan media frontal yang
bersebelahan mempunyai pengaruh hambatan/inhibisi agresi untuk mengatur atau mengontrol
pelepasan agresi. Lesi pada korteks frontal telah lama dikenal berhubungan dengan perilaku
impulsif agresif. Kasus pertama dan paling terkenal berasal dari suatu kasus dari tahun 1800an. Seorang pekerja bernama Phineas Gage berperilaku bermusuhan dan agresif secara verbal
setelah mengalami luka tembus di lobus frontal otaknya karena kecelakaan saat bekerja.
Phineas Gage kemudian berubah dari seseorang yang sebelumnya serius, aktif dalam bekerja,
dan energik menjadi seorang yang bermusuhan, kekanakan, tidak bertanggung jawab dan
berperilaku agresif.7
Penelitian modern menyimpulkan bahwa lokasi luka saat itu terdapat pada bagian
anterior dan mesial dari korteks orbitofrontal, juga mengenai girus cinguli anterior dan
korteks frontal anterior dan yang berhubungan di mesial. Banyak laporan lain menyimpulkan
bahwa luka atau pembedahan pengangkatan daerah korteks frontal terutama orbitofrontal
akan menyebabkan perilaku agresif.8 Salah satunya adalah impulsivitas pada pasien gangguan
kepribadian ambang serupa dengan akibat kerusakan pada korteks orbitofrontal. Namun hal
lain yang merupakan karakteristik utama gangguan kepribadian ambang, misalnya tingginya
emosional, tidak terdapat pada pasien dengan kerusakan korteks orbitofrontal. Pasien dengan
gangguan kepribadian ambang juga mempunyai ketidakseimbangan neurokimiawi dan
hiperaktivitas amigdala yang tidak terdapat pada pasien dengan kerusakan korteks
orbitofrontal. Hubungan timbal balik antara korteks orbitofrontal dan amigdala mungkin
berperanan dalam mengatur respons emosional dan perilaku. Disfungsi sirkuit limbikorbitofrontal mungkin terlibat dalam gangguan kepribadian ambang. Terdapat penelitian yang
menyatakan amigdala dan korteks orbitofrontal bertindak sebagai bagian dari sistem neuron
yang terintegrasi, sebagai penunjuk pembuatan keputusan dan seleksi respons adaptif
berdasarkan gabungan penguatan stimulus. Gangguan kepribadian ambang mempunyai
beberapa defisit yang dapat dihubungkan dengan fungsi yang ditunjukkan oleh korteks
orbitofrontal. Kekurangan ini mungkin berhubungan dengan volume korteks orbitofrontal
yang lebih kecil atau terhadap aktivitas yang rendah di korteks orbitofrontal.6
Penelitian lebih lanjut untuk mengetahui regio di otak yang berhubungan dengan
perilaku impulsif agresif dilakukan dengan menggunakan bantuan positron emission
tomography (PET) scan. Dari penelitian itu didapatkan bahwa terdapat pengurangan aktivitas
di daerah korteks prefrontal pada pasien dengan gangguan bipolar, pasien dengan gangguan
10

kepribadian yang dikarakteristikan dengan perilaku impulsif agresif, orang dengan masalah
alkohol yang berperilaku impulsif dan agresif, pembunuh yang impulsif, dan pasien rawat
dengan perilaku kekerasan.
Beberapa penelitian menggunakan fenfluramine sebagai zat serotonergik yang dapat
meningkatkan aktivitas sistem serotonergik dan meningkatkan metabolisme dan atau aliran
darah di korteks orbitofrontal pada subjek yang normal. Fenfluramine meningkatkan
akitivitas serotonergik dengan cara pelepasan langsung serotonin, menghalangi pengambilan
kembali serotonin dari celah sinaps, atau mungkin dengan kerja di reseptor. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa setelah pemberian fenfluramine terdapat aktivitas metabolik yang
rendah pada pasien dengan perilaku impulsif agresif dibandingkan dengan subjek yang
normal. Perbedaan aktivitas metabolisme ini secara nyata terdapat di regio ventral medial
frontal, girus cinguli tengah kanan dan kiri atas, dan lobus parietal kanan atas. Metabolisme
yang meningkat setelah pemberian fenfluramine juga terdapat pada daerah korteks prefrontal,
orbitofrontal kiri, dan daerah lateral hemisfer kanan subjek normal. Hal ini tidak ditemukan
pada subjek dengan perilaku impulsif agresif. Pada penelitian ini didapatkan respons
metabolik yang tumpul terhadap fenfluramin terdapat secara khusus pada bagian orbital dan
regio prefrontal yang berhubungan seperti halnya pada korteks cinguli. Penelitian
sebelumnya mengenai hubungan antara fenfluramine dengan perilaku agresif impulsif
berfokus pada respons prolaktin terhadap fenfluramine. Namun respons prolaktin terhadap
fenfluramine tidak mencerminkan sirkuit otak yang terpengaruh pada modulasi perilaku
agresif. Respons metabolik glukosa terhadap fenfluramine mendasari suatu tes yang lebih
langsung dan sensitif terhadap respons pembentukan serotonin. Mekanisme pasti yang
bertanggungjawab terhadap respons metabolik terhadap fenfluramine belum ditentukan.
Reseptor serotonergik multipel termasuk 5-HT1a, 5-HT1b, 5-HT2a, dan 5-HT2c terdapat di
korteks serebral. Bergantung pada regio otak, dosis, dan spesifisitas reseptor agonis
serotonergik, reseptor-reseptor ini mungkin berperan dalam meningkatkan atau menurunkan
aktivitas metabolisme glukosa serebral. Suatu penelitian terhadap primata memperlihatkan
bahwa perilaku agresif primata berhubungan secara terbalik dengan jumlah reseptor 5-HT2 di
korteks orbitofrontal posterior, korteks frontal media, dan amigdala; hubungan itu tidak
ditemukan di daerah otak yang lain. Sebaliknya jumlah reseptor 5-HT2 di korteks frontal
orbital posterior, postrerior temporal, dan amigdala secara langsung berhubungan dengan
perilaku prososial. Penemuan itu mendukung hipotesis bahwa efek serotonin secara spesifik
terhadap perilaku bergantung pada regio yang dipengaruhinya. Sebagai contoh, kadar

11

serotonin yang tinggi di korteks orbital menyebabkan perilaku yang kooperatif sedangkan
sebaliknya kadar serotonin yang rendah di korteks orbital menyebabkan perilaku agresif.5,6
Neuroendokrin
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa terdapat hubungan antara penurunan
aktivitas sistem serotonergik pusat dengan pasien agresif impulsif yang mengalami gangguan
kepribadian. Terdapat penurunan metabolit serotonin, yaitu 5-hydroxyindoleacetic acid (5HIAA) di cairan serebrospinal pada pasien dengan gangguan kepribadian dengan impulsif
dan agresivitas, juga pada pasien depresi dan pengguna alkohol. Usaha bunuh diri sering
dilihat sebagai subtipe perilaku agresif; kekurangan 5-HIAA juga dihubungkan dengan usaha
atau tindakan bunuh diri pada berbagai populasi. Hubungan antara impulsif agresif dan
sistem serotonergik juga didukung oleh penelitian tentang pemanfaatan respons hormonal
terhadap keterlibatan farmakologis yang meningkatkan aktivitas sistem serotonergik. Respons
yang tumpul terhadap d,l-fenfluramine (suatu zat penginduksi serotonin dan agonis pascasinap) ditemukan pada laki-laki dengan gangguan kepribadian ambang dan gangguan
kepribadian antisosial. Pada penelitian yang lebih besar lagi ditemukan bahwa respons
prolaktin yang tumpul terhadap d-fenfluramine dihubungkan dengan impulsivitas dan
agresivitas. Penemuan ini mendukung adanya hubungan antara tumpulnya respons
serotonergik dengan impulsif dan agresi. Selain ditemukan pada pasien gangguan kepribadian
ambang dan antisosial, respons prolaktin yang tumpul terhadap d-fenfluramine juga
ditemukan pada pasien depresi dengan serangan kemarahan. Pasien depresi dengan iritabilitas
dan kemarahan lebih dekat hubungannya dengan kekurangan aktivitas serotonergik. 8 Selain
perilaku impulsif dan agresif, pasien gangguan kepribadian ambang juga dihubungkan
dengan ketidakstabilan afektif. Penelitian neuroendokrin pada ketidakstabilan afek tidak
sebanyak penelitian tentang perilaku agresif dan impulsif. Dalam salah satu penelitian
dikatakan bahwa sistem kolinergik berhubungan dengan pengaturan afek. Zat agonis
kolinergik dapat menginduksi mood depresif pada pasien normal dan pasien dengan depresi,
namun ternyata zat ini dapat lebih kuat efeknya pada pasien gangguan kepribadian ambang.
Procaine, suatu agonis kolinergik memperlihatkan mampu menyebabkan disforia yang kuat
pada pasien gangguan kepribadian ambang dibandingkan dengan subjek yang normal atau
dengan gangguan afektif. Penelitian lain membuktikan terdapat gangguan aktivitas
noradrenergik pada pasien gangguan kepribadian ambang dengan ketidakstabilan afektif.
Pada pemberian zat katekolaminergik, misalnya dekstroamfetamin, pada subjek yang sehat
dapat terlihat mood yang disforik pada subjek yang berhubungan dengan ketidakstabilan
afektif.8
12

Sistem Serotonergik
Beberapa bukti menyatakan bahwa pasien dengan perilaku menyakiti diri mempunyai
kadar stimulasi serotonin (5-HT) terhadap reseptor 5-HT2 yang rendah. Percobaan pada
hewan menyatakan kekurangan stimulasi serotonin akan menyebabkan peningkatan jumlah
reseptor 5-HT2 di korteks. Beberapa penelitian lain mengatakan peningkatan kadar densitas
reseptor 5-HT2 di daerah Brodmann 9 di korteks prefrontal pada korban yang berperilaku
melukai diri, misalnya bunuh diri. Dikatakan terdapat kadar serotonin(5-HT) yang rendah di
otak pasien depresi dan pasien dengan perilaku melukai diri. Bila melihat hubungan antara 5HT dengan potensial ikatan 5-HT2 , maka dapat dilihat bahwa peningkatan 5-HT
berhubungan terbalik dengan potensial ikatan 5- HT2 yang mengalami penurunan.
Sebaliknya jika terjadi penurunan 5-HT maka ikatan potensial 5-HT2 akan meningkat.
Peningkatan potensial ikatan 5-HT2 ini dapat ditemukan pada pasien dengan perilaku
melukai diri atau pasien depresi berat dengan perilaku bunuh diri.9
Penelitian yang dilakukan Coccaro berbeda hasil dengan banyak penelitian yang
dilakukan oleh peneliti lain. Pada penelitian itu tidak didapatkan adanya hubungan antara
kadar 5-HIAA cairan serebrospinal dengan perilaku agresif. Coccaro hanya menyebutkan
adanya hubungan terbalik antara respons prolaktin terhadap d-fenfluramine pada pasien
dengan perilaku agresif. Namun demikian, agresi, misalnya perilaku bunuh diri, tidak terbatas
pada satu kategori diagnostik saja. Gejala ini juga terdapat pada beberapa diagnostik psikiatri
yang lain. Oleh karena itu, adanya kadar 5-HIAA yang rendah di serebrospinal tidak terbatas
pada diagnosis gangguan kepribadian semata, namun juga termasuk depresi, gangguan
bipolar, dan skizofrenia. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa penanganan gangguan
kepribadian juga dapat melibatkan unsur psikofarmakologi dengan menggunakan preparat
serotonin di luar keterlibatan terapi yang telah biasa dilakukan.10
Perkembangan saat ini tentang fungsi neuroimaging telah memungkinkan peneliti untuk
menganalisis kembali hipotesis 5-HT tentang impulsivitas dengan mengukur secara langsung
neurotransmitter 5-HT di otak mahkluk hidup. Salah satu metodenya menggunakan PET
dengan pelacak - [ 11C]methyl-L-tryptophan (-[11C]MTrp). -[11C] MTrp merupakan
sintetis analog 5-HT precursor L-tryptofan. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa pada
pasien gangguan kepribadian ambang terdapat penurunan ambilan - [11C]MTrp di daerah
kortikostriatal, termasuk girus frontal media, girus cinguli anterior, girus temporal superior,
dan korpus striatum. Telah dilaporkan dalam beberapa penelitian bahwa ambilan -[11C]
methyltryptophan di korteks berkurang pada pasien dengan gangguan kepribadian ambang.5

13

Pasien dengan gangguan kepribadian ambang dikarakteristikkan dengan perilaku


impulsif dan agresif, tindakan melukai diri yang berulang, perilaku bunuh diri, afek yang labil
dan mudah diganggu, dan hubungan yang kacau. Perilaku tersebut telah dihubungkan dengan
rendahnya neurotransmiter serotonin; kadar asam 5-hydroxyindoleacetic acid yang rendah,
respons prolaktin yang tumpul terhadap 5-HT agonis, serta gangguan marker dan platelet di
dalam plasma. Kehilangan triptofan yang tiba-tiba, suatu prosedur yang secara sekilas
mengurangi neurotransmisi dari 5-HT, dilaporkan meningkatkan perilaku impulsif dan agresi.
Penelitian itu mendukung hipotesis bahwa rendahnya serotonin berperan sebagai penyebab
dalam patofisiologi perilaku disinhibisi dan impulsif.7-10
Konsentrasi metabolit serotonin 5-HIAA yang rendah di cairan otak terdapat pada
cairan otak individu dengan perilaku agresif dan tindakan kekerasan. Penemuan tersebut
mendukung adanya perubahan fungsi serotonergik pusat pada perilaku impulsif, agresif dan
kekerasan. Disfungsi serotonergik pusat dihubungkan secara konsisten dengan perilaku
bunuh diri. Lebih dari 20 penelitian melaporkan konsentrasi 5-HIAA yang rendah di cairan
otak orang yang melakukan upaya bunuh diri. Hal itu merupakan penemuan yang
menguatkan bidang psikiatri biologi. Individu yang melakukan bunuh diri juga berhubungan
dengan respons prolaktin yang tumpul terhadap fenfluramin. Sesuai dengan penelitian
antemortem, pada penelitian postmortem terdapat penurunan densitas transporter serotonin di
korteks dan densitas reseptor serotonin yang lebih besar di post sinap korteks korban bunuh
diri. Pada penelitian terdahulu, agresi dan disfungsi serotonergik biasanya ditemukan pada
pasien dengan gangguan kepribadian.7-10
Penemuan rendahnya kadar 5-HIAA dalam cairan serebrospinal pada penelitian
terdahulu juga dikaitkan dengan perilaku bunuh diri pada beberapa pasien. Namun pada
penelitian baru-baru ini, rendahnya kadar 5-HIAA di dalam cairan serebrospinal secara
konsisten berkaitan dengan gangguan kepribadian, perilaku kekerasan impulsif, dan riwayat
pembakaran. Bukti adanya perilaku agresif yang berhubungan dengan disfungsi serotonergik
di luar hubungannnya dengan perilaku bunuh diri, ditambah bukti bahwa agresi dan bunuh
diri terlibat satu sama lain menjadikan suatu pemikiran bahwa dua perilaku ini mungkin
mempunyai dua faktor perilaku yang sama, yaitu impulsivitas.6

2.4 GAMBARAN KLINIS

14

Pasien gangguan kepribadian ambang hampir selalu tampak berada dalam keadaan krisis.
Pergeseran mood sering dijumpai. Pasien dapat bersikap argumentatif pada suatu waktu dan
terdepresi pada waktu selanjutnya dan selanjutnya mengeluh tidak memiliki perasaan pada
waktu yang lainnya. Pasien mungkin memiliki episode psikiatrik singkat (disebut
mikropsikotik), bukannya serangan psikotik yang sepenuhnya dan gejala psikotik pada pasien
ganggguan kepribadian ambang hampir selalu terbatas, cepat atau meragukan. Sifat
menyakitkan dari kehidupan mereka dicerminkan oleh tindakan merusak diri sendiri yang
berulang. Pasien tersebut mungkin mengiris pergelangan tangannya sendiri dan melakukan
tindakan mutilasi diri lainnya untuk mendapatkan bantuan dari orang lain, untuk
mengekspresikan kemarahan atau untuk menumpulkan mereka sendiri dari afek yang
melanda. Karena mereka merasakan ketergantungan dan permusuhan, pasien gangguan
kepribadian ambang memiliki hubungan interpersonal yang rusuh. Secara fungsional, pasien
gangguan kepribadian ambang mengacaukan hubungan mereka sekarang ini dengan
memasukkan setiap orang dalam kategori baik atau jahat.3
2.5 DIAGNOSIS
Dalam mendiagnosis gangguan kepribadian ambang di dalam klinis sehari-hari, diperlukan
suatu pedoman diagnositik yang terdapat antara lain dalam Diagnostic and Statistic Manual
of Mental Disorder V- Text Revised (DSM IV-TR) dan PPDGJ III/ICD 10.11 Berdasarkan DSM
DSM IV-TR, gangguan kepribadian ambang adalah adalah suatu pola yang menetap dari
ketidakstabilan hubungan interpersonal, gambaran diri dan afek dan impulsivitas yang nyata
dimulai pada masa dewasa awal dan bermanifestasi dalam berbagai konteks. Seperti
diindikasikan oleh lima atau lebih dari hal-hal yang tercantum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Gangguan Kepribadian Ambang (DSM IV-TR)3
Kriteria
1. usaha yang tidak beraturan untuk menghindari penolakan yang nyata atau imajiner.
Catatan: tidak termasuk bunuh diri dan perilaku menyakiti diri seperti yang tertuang pada
butir ke-5
2. sebuah pola hubungan interpersonal yang tidak stabil dan terus menerus yang ditandai
dengan pertukaran antara idealisasi dan devaluasi yang ekstrem
3. gangguan identitas: ketidakstabilan gambaran diri atau perasaan diri yang nyata dan
terus menerus
4. impulsivitas pada setidaknya dua area yang mempunyai efek potensial dalam
perusakan diri (contoh: belanja, seks, penyalahgunaan zat, berkendaraan ceroboh, makan
15

dan minum berlebihan). Catatan: tidak termasuk perilaku bunuh diri atau melukai diri
yang terdapat pada kriteria ke-5
5. perilaku, isyarat atau ancaman bunuh diri yang sering atau perilaku melukai diri
6. afek yang tidak stabil yang ditandai mood yang reaktif (contoh: episode disforia yang
sering, iritabel atau kecemasan yang berlangsung beberapa jam dan jarang lebih dari 2
hari)
7. perasaan kosong yang kronis
8. marah yang tidak sesuai, sering atau kesulitan dalam mengendalikan amarah (contoh:
sering menunjukkan perangai, marah yang konstan, sering berkelahi)
9. ide paranoid yang berhubungan dengan stress yang berlangsung sementara atau gejala
disosiatif yang parah
Studi biologis dapat membantu diagnosis; bebrapa pasien dengan gangguan kepribadian
ambang menunjukkan latensi REM yang memendek daan gangguan keberlangsungan tidur,
hasil DST abnormal dan hasil uji thyrophin-releasing hormone (TRH) abnormal, meskipun
demikian, perubahan ini juga terlihat pada beberapa gangguan kasus depresif.3
2.6 DIAGNOSIS BANDING
Gangguan ini dibedakan dengan skizofrenia berdasarkan tidak adanya episode psikotik yang
lama, gangguan pikir, dan tanda skizofrenik klasik lainnya. Pasien dengan gangguan
kepribadian skizotipal menunjukkan keanehan berpikir yang nyata, gagasan asing, serta ide
referensi berulang. Penderita gangguan kepribadian paranoid memiliki ciri kecurigaan yang
ekstrem. Pasien dengan gangguan kepribadian ambang umumnya memiliki rasa kosong yang
kronis serta episode psikotik yang berlangsung singkat, mereka bertindak impulsif dan
menuntut hubungan yang luar biasa, mereka dapat melakukan mutilasi diri mereka sendiri
dan membuat percoban bunuh diri manipulatif.3

2.7 PROGNOSIS
Gangguan ini cukup stabil; pasien sedikit berubah dari waktu ke waktu. Studi longitudinal
menunjukkan tidak adanya peningkatan ke arah skizofrenia, tetapi pasien memiliki insiden
yang tinggi untuk episode gangguan depresi berat. Diagnosis ini biasanya ditegakkan

16

sebelum usia 40 tahun, ketika pasien mencoba membuat pilihan pekerjaan, perkawinan, dan
pilihan lain serta tidak mampu menghadapi tahap normal siklus kehidupan.3
2.8 TERAPI
Pegangan praktis American Psychiatric Association untuk pengobatan gangguan
kepribadian ambang menyarankan kombinasi antara psikoterapi dengan pengobatan
farmakologis untuk hasil yang optimal. Walaupun tidak ada penelitian tentang kombinasi
terapi ini namun pendapat lama mengatakan bahwa terapi obat membantu psikoterapi dan
begitu juga sebaliknya.12
Suatu penelitian dengan metode double blinded dengan menggunakan kontrol dan
plasebo menunjukkan bahwa pasien dengan gangguan kepribadian ambang mempunyai
respons yang baik terhadap obat golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
dengan perbaikan pada kemarahan, perilaku agresif impulsif (terutama agresi verbal), dan
afek yang labil.8,10 Obat ini membantu psikoterapi dengan mengurangi suara-suara afektif
seperti kemarahan yang menetap, kecemasan atau disforia, yang mencegah pasien untuk tidak
merefleksikan hal tersebut ke dunia internal mereka. Juga terdapat bukti bahwa SSRI
menstimulasi neurogenesis, terutama di hippocampus, yang memperbaiki memori deklaratif
verbal. Sebagai tambahan, SSRI dapat mengurangi hiperaktivitas aksis Hipothalamic
Pituitary Adrenal (HPA) dengan mengurangi hipersekresi Corticotropine Releasing Factor
(CRF).12
Psikoterapi dengan menggunakan SSRI dapat membantu menfasilitasi perubahan di
otak. Kemampuan pasien melihat terapis sebagai seseorang yang membantu dan memberi
perhatian, bukan sebagai tokoh yang menuntut dan penuh dengki, akan membantu
membangun jaringan neuron yang baru dan akan melemahkan yang lama. Splitting juga dapat
berkurang karena kecemasan yang lebih ringan mengurangi keperluan membuat pertahanan.
Penelitian

dengan

menggunakan

PET

memperlihatkan

bahwa

psikoterapi

dapat

meningkatkan metabolisme sistem serotonergik pada pasien dengan gangguan kepribadian


ambang.12

1. Farmakoterapi
Farmakoterapi berguna untuk menghadapi ciri kepribadian khusus yang menganggu fungsi
keseluruhan pasien. Antipsikotik telah digunakan untuk mengendalikan kemarahan,
permusuhan dan episode psikotik singkat. Antidepresan memperbaiki mood depresi yang
17

lazim ada pada pasien dengan gangguan kepribadian ambang. Inhibitor MAOI efektif di
dalam mengubah perilaku impulsif pada beberapa pasien. benzodiazepin, terutama
alprazolam (Xanax), membantu ansietas dan depresi, tetapi pasien lain menunjukkan
disinhibisi dengan golongan obat ini. Antikonvulsan seperti carbamazepine (Tegretol) dapat
memperbaiki fungsi global untuk beberapa pasien. agen serotonergik seperti fluoxetine
(Prozac) berguna pada sejumlah kasus.3
2. Psikoterapi
Psikoterapi untuk pasien dengan gangguan kepribadian ambang adalah sedang diteliti secara
intensif dan telah menjadi terapi pilihan. Untuk hasil terbaik, farmakoterapi telah
ditambahkan di dalam regimen terapi.
Psikoterapi sama sulitnya bagi pasien maupun terapis. Pasien mudah mengalami
regresi, mengeluarkan impulsnya, dan menunjukkan transference positif atau negatif
terfiksasi atau labil, yang sulit dianalisis. Identifikasi proyektif juga dapat menyebabkan
masalah countertransference yaitu ketika terapis tidak menyadari bahwa pasien secara tidak
sadar mencoba memaksanya untuk melakukan perilaku tertentu. Pemisahan sebagai
mekanisme defensi membuat pasien berselang-seling mencintai dan membenci terapis serta
orang lain di dalam lingkungan tersebut. Pendekatan berorientasi realitas lebih efektif
daripada interprestasi mendalam mengenai ketidaksadaran.
Terapis menggunakan terapi perilaku untuk mengendalikan impuls dan ledakan
kemarahan pasien serta untuk mengurangi sensitivitas mereka terhadap kritik dan penolakan.
Pelatihan keterampilan sosial, terutama dengan memutar rekaman video kilas balik,
bermanfaat untuk memungkinkan pasien terlihat bagaimana tindakan mereka memengaruhi
orang lain, sehingga memperbaiki perilaku interpersonal mereka.
Pasien dengan gangguan kepribadian ambang sering membaik di dalam lingkungan
rumah sakit tempat mereka mendapatkan psikoterapi intensif baik secara individual maupun
kelompok. Di rumah sakit mereka juga dapat berinteraksi dengan petugas yang telah terlatih
dari berbagai disiplin dan dapat memperoleh terapi pekerjaan, rekreasi, serta kejuruan.
Program seperti ini terutama membantu jika lingkungan rumah mengganggu rehabilitasi
pasien, seperti adanya konflik di dalam keluarga atau stres lain seperti penganiayaann oleh
orang tua. Di dalam lingkungan rumah sakit yang terlindungi, pasien yang sangat impulsif,
merusak diri, atau memutilasi diri dapat diberikan batasan, dan tindakan mereka dapat
diamati. Dalam keadaan ideal, pasien tetap di rumah sakit sampai mereka menunjukkan
perbaikan yang nyata, pada beberapa kasus sampai 1 tahun. Pasien kemudian dapat

18

dipulangkan untuk menjalani sistem dukungan khusus seperti rumah sakit seharian, rumah
sakit malam hari, dan rumah singgah (halfway house).
Suatu bentuk psikoterapi tertentu yang disebut dialectical behavioral therapy (DBT)
telah digunakan untuk pasien ambang, terutama mereka yang memiliki perilaku parasuicide
seperti sering memotong-motong.3

BAB III
KESIMPULAN

19

Ganggguan kepribadian ambang adalah suatu pola yang menetap dari ketidakstabilan
hubungan interpersonal, gambaran diri dan afek dan impulsivitas yang nyata dimulai pada
masa dewasa awal dan bermanifestasi dalam berbagai konteks.
Pasien gangguan kepribadian ambang ditandai dengan kecenderungan yang mencolok
untuk bertindak secara impulsif tanpa mempertimbangkan konsekuensi, bersamaan dengan
ketidakstabilan afek.
Penyebab yang pasti gangguan kepribadian ini sendiri masih dipertanyakan. Namun,
belakangan ini para peneliti terutama di bidang neurobiologi dan psikofarmakologi
melakukan pendekatan biologis yang lebih mendalam dengan hipotesis adanya keterlibatan
baik unsur fungsi otak, neurotransmiter, genetik, dan neuroendokrin.
Pengobatan gangguan kepribadian ambang adalah dengan kombinasi antara
psikoterapi dan pengobatan farmakologis untuk hasil yang optimal. Salah satu ciri gangguan
kepribadian adalah egosintonik dimana penderita tidak merasa cemas tentang prilaku
maladaptifnya meski telah menyebabkan gangguan bagi orang sekitar. Hal ini lah yang
menjadi salah satu penyebab sulitnya psikoterapi pada orang dengan gangguan kepribadian.

DAFTAR PUSTAKA
1. Mangindan L. Gangguan Kepribadian. Dalam : Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar
Psikiatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2004.h. 329-34.
20

2. Maramis WF. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press;
2004.h. 282-7.
3. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. England: Lippincott Williams & Wilkins;
2007
4. Kusumawardhani AA. Neurobiologi Gangguan Kepribadian Ambang: Pendekatan
Biologis Perilaku Impulsif dan Agresif. Jakarta: Departemen Psikiatri

Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.2007.h.124-8.


5. Belgard FE, Davis JE. Personality disorder: Borderline. E-medicine last updated
September 27th, 2005. Diunduh dari http:/ www.emedicine.com
6. Berlin HA, Phil D, Rolls ET, et al. Borderline personality disorder, impulsivity, and
the orbitofrontal cortex. Am J Psychiatry 2005;162:2360-73
7. Carlson NR. Physiology of Behavior. 8th ed. Boston: Pearson Education,Inc;
2004.p.350-3
8. New AS, Siever LJ. Neurobiology and genetic of borderline personality disorder.
Diunduh dari http:/www.imaging_ genetics.co.id
9. Meyer JH, McMain S, Kennedy SH, et al. Dysfunctional attitudes and 5-HT2
receptors during depression and self-harm. Am J Psychiatry 2003;160:90-9
10. Manuck SB, Flory JD, McCaffrey JM, et al. Aggression, impulsivity and central
nervous system serotonergic responsivity in a nonp
11. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistic Manual of Mental
Disorder IV- Text Revised (DSM IV-TR). Washington DC: American Psychiatric
Association; 2000
12. . Gabbard GO. Mind, brain, and personality disorders. Am J Psychiatry 2005;162:64855.

21

Anda mungkin juga menyukai