KERJA PRAKTEK
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang begitu pesat disaat ini,
dengan pertumbuhan yang sangat cepat hingga dalam hitungan waktu yang
amat singkat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut
tentunya diikuti pula oleh dunia industri yang mana sangat membutuhkan
keberadaan bahan baku industri pertambangan. Lalu kemudian hal ini
mengakibatkan persaingan untuk tahun-tahun ke depan semakin ketat.
Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki keahlian dibidang
Pertambangan dengan spesifikasi pertambangan yang profesional di Negara
Republik Indonesia relatif kurang dan prospek serta peluang mengembangkan
pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) sekarang dan kedepan sangat
potensial.
Disiplin
Ilmu
Pertambangan
senantiasa
ditumbuhkan
dan
yang
didapatkan
dikampus
dengan
pengaplikasiannya
pada
2.
3.
: Muhammad Wahyuddin
NIM
Jurusan
Nama
: Ridwan
NIM
Jurusan
: Teknik pertambangan
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Endapan Nikel Laterit
A. Definisi Endapan Nikel Laterit
Laterit berasal dari bahasa latin yaitu later, yang artinya bata
(membentuk bongkahbongkah yang tersusun seperti bata yang berwarna merah
bata) (Guilbert dan Park, 1986). Hal ini dikarenakan tanah laterit tersusun oleh
fragmenfragmen batuan yang mengambang
diantara semen.
Endapan nikel laterit merupakan endapan hasil proses pelapukan lateritik
batuan induk ultramafik (peridotit, dunit dan serpentinit) yang mengandung Ni
dengan kadar tinggi, agen pelapukan tersebut berupa air hujan, suhu, kelembaban,
topografi, dan lain-lain. Umumnya pembentukan endapan nikel laterit terjadi pada
daerah tropis atau sub-tropis (Anonim, 1985).
air tanah berlangsung. Akibat fluktuasi ini air tanah yang kaya CO2 akan kontak
dengan zona saprolit yang masih mengandung batuan asal dan melarutkan mineral
mineral yang tidak stabil seperti olivin / serpentin dan piroksen. Mg, Si dan Ni
akan larut dan terbawa sesuai dengan aliran air tanah dan akan memberikan
mineral mineral baru pada proses pengendapan kembali .Endapan besi yang
bersenyawa dengan oksida akan terakumulasi dekat dengan permukaan tanah,
sedangkan magnesium, nikel dan silika akan tetap tertinggal di dalam larutan dan
bergerak turun selama suplai air yang masuk ke dalam tanah terus berlangsung.
Rangkaian proses ini merupakan proses pelapukan dan pelindihan/leaching.
Pada proses pelapukan lebih lanjut magnesium (Mg), Silika (Si), dan Nikel
(Ni) akan tertinggal di dalam larutan selama air masih bersifat asam . Tetapi jika
dinetralisasi karena adanya reaksi dengan batuan dan tanah, maka zat zat
tersebut akan cenderung mengendap sebagai mineral hidrosilikat (Ni-magnesium
hidrosilicate) yang disebut mineral garnierit [(Ni,Mg)6Si4O10(OH)8] atau mineral
pembawa Ni (Boldt, 1967).
Adanya suplai air dan saluran untuk turunnya air, dalam hal berupa kekar,
maka Ni yang terbawa oleh air turun ke bawah, lambat laun akan terkumpul di
zona air sudah tidak dapat turun lagi dan tidak dapat menembus batuan
dasar(bedrock). Ikatan dari Ni yang berasosiasi dengan Mg, SiO dan H akan
membentuk mineral garnierit dengan rumus kimia (Ni, Mg) Si4O5(OH)4. Apabila
proses ini berlangsung terus menerus, maka yang akan terjadi adalah proses
pengkayaan supergen/supergen enrichment. Zona pengkayaan supergen ini
terbentuk di zona Saprolit. Dalam satu penampang vertikal profil laterit dapat juga
terbentuk zona pengkayaan yang lebih dari satu, hal tersebut dapat terjadi karena
muka air tanah yang selalu berubah-ubah, terutama tergantung dari perubahan
musim.
Di bawah zona pengkayaan supergen terdapat zona mineralisasi primer
yang tidak terpengaruh oleh proses oksidasi maupun pelindihan, yang sering
disebut sebagai zona batuan dasar (bed rock). Biasanya berupa batuan ultramafik
seperti Peridotit atau Dunit.
gibsite,
maghemite.
Limonite
di
daerah
west
block
Penyerapan air hujan (pada slope curam umumnya air hujan akan mengalir
ke daerah yang lebih rendah /run off dan penetrasi ke batuan akan sedikit.
Hal ini menyebabkan pelapukan fisik lebih besar dibanding pelapukan
kimia)
Pada proses pengayaan nikel, air yang membawa nikel terlarut akan sangat
berperan dan pergerakan ini dikontrol oleh topografi. Secara kualitatif pada
lereng dengan derajat tinggi (curam) maka proses pengayaan akan sangat kecil
atau tidak ada sama sekali karena air pembawa Ni akan mengalir. Bila proses
pengayaan kecil maka pembentukan bijih (ore) juga akan kecil (tipis), sedangkan
pada daerah dengan lereng sedang / landai proses pengayaan umumnya berjalan
dengan baik karena run off kecil sehingga ada waktu untuk proses pengayaan,
dan umumnya ore yang terbentuk akan tebal. Akibat lereng yang sangat curam
maka erosi yang terjadi sangat kuat hingga mengakibatkan zona limonit dan
saprolit tererosi. Hal ini dapat terjadi selama proses lateritisasi atau setelah
terbentuknya zona diatas batuan dasar (bedrock).
Berikut ini adalah beberapa contoh bentuk lahan yang mempengaruhi
tinggi rendahnya proses lateritisasi :
Gambar 3.2. Klasifikasi sederhana antara bentuk lahan dan proses lateritisasi
(Waheed,2002)
Core recovery (CR) atau perolehan inti sangat penting, biasanya dinyatakan dalam
persen volume. Jika CR kurang dari 8590% maka inti bor tersebut masih
diragukan nilainya, hal ini berarti terjadi loss selama pemboran dan inti bor
tersebut tidak menunjukkan conto yang sebenarnya.
Logging (pengamatan) inti bor biasanya dilakukan di samping lokasi bor untuk
menentukan apakah pemboran dilanjutkan atau dihentikan. Beberapa organisasi
memiliki prosedur standar dalam logging inti bor dan terminologi standar untuk
mendeskripsikan sifat geologi. Logging awal pada lokasi bor biasanya dilengkapi
dengan hasil analisis inti bor. Dari logging awal ini biasanya diperoleh data
tentang gambaran umum struktur (rekahan dan orientasi) juga litologi (warna,
tekstur, mineralogi, alterasi dan nama batuan) serta core recovery. Deskripsi harus
dilakukan secara sistematis menyangkut kualitas dan kuantitasnya.
Inti bor biasanya disimpan dalam boks kayu, plastik atau logam yang dapat
memudahkan orang memindahkannya. Inti bor dikumpulkan untuk berbagai
tujuan, bukan untuk sekedar deskripsi geologi saja biasanya digunakan juga untuk
analisis metalurgi dan assay. Untuk kedua tujuan tersebut inti bor biasanya dibagi
dalam dua bagian dengan gergaji intan, setengah untuk assay dan investigasi lain,
setengahnya lagi disimpan dalam core box untuk tujuan lain.
Potongan batuan dari sludge dapat dikumpulkan selama pemboran; keduanya
menggambarkan batuan yang dipotong oleh mata bor intan. Pemboran dengan
menggunakan sirkulasi udara pada lubang dangkal biasanya menghasilkan cutting
atau sludge yang sangat cepat ke permukaan. Namun demikian dengan pemboran
inti sirkulasi air untuk lubang yang dalam sering terjadi cutting lambat naik ke
permukaan, hal ini dapat dilihat bahwa untuk kedalaman 1000 m cutting dapat
diambil dalam waktu 2030 menit ke permukaan sehingga biasanya sludge yang
dianalisis dahulu selama pemboran.
Kinerja suatu mesin bor dipengaruhi oleh faktor-faktor sifat batuan yang di
bor, rock drillability, geomeetri pemboran, umur dan kondisi mesin bor, dan
ketrampilan operator.
1.
Sifat Batuan
Tabel 3.2 Skala Kekerasan Mohs dan Kuat Tekanan Batuan (Freidrich, 1812)
Skala Mohs
+7
+ 200
Keras
67
120 200
Kekerasan Sedang
4.5 - 6
60 120
Cukup Lunak
3 - 4.5
30 60
Lunak
2-3
10-30
Sangat Lunak
1-2
-10
Klasifikasi
Sangat Keras
Abrasivitas
Abrasivitas adalah sifat batuan untuk menggores permukaan mineral
lain, ini merupakan suatu parameter yang mempengaruhi keausan (umur)
mata bor dan batang bor. Faktor yang mempengaruhi abrasivitas batuan
adalah:
1.
Kekerasan batuan
2.
Bentuk butir
3.
Ukuran butir
4.
Porositas batuan
5.
d)
Elastisitas
Batuan
Sedimen
Dolomit
Limestone
Sandstone
Shale
Modulus
Elastisitas 104 x (MPa)
1,96 - 8,24
0,98 - 7,85
0,49 - 8,43
0,8 - 3,0
Nisbah
Poisson
0,08 - 0,2
0,1 - 0,2
0,066 - 0,125
0,11 - 0,54
Porositas
0,27 - 4,10
0,27 - 4,10
1,62 - 26,40
20,0 - 50,0
a) Tekstur Batuan
Tekstur suatu batuan menunjukkan hubungan antara mineralmineral penyusun batuan, sehingga dapat di klasifikasikan berdasarkan
dari sifat-sifat porositas ikatan antara butir, bobot isi, dan ukuran butir.
Tekstur juga mampengaruhi kecepatan pemboran.
b) Struktur Geologi
Penyesuaian kelurusan lubang ledak, aktivitas pemboran, dan
kemantapan lubang ledak dipengaruhi oleh struktur geologi seperti
patahan, rekahan, kekar, bidang perlapisan.
c) Karakteristik Pecahan
Karakteristik pecahan dapat digambarkan seperti perilaku batuan
ketika dipukul. Tiap-tiap tipe batuan mempunyai karakteristik pecah yang
berbeda dan ini berhubungan dengan tekstur, komposisi mineral, dan
tekstur.
2. Rock Drillability
Drilabilitas batuan adalah mudah tidaknya mata bor melakukan penetrasi
ke dalam batuan. Drilabilitas batuan merupakan fungsi dari sifat batuan seperti
komposisi mineral, tekstur, ukuran butir dan tingkat pelapukan.
3. Geometri Pemboran
Geometri pemboran ini mencakup diameter, kedalaman, dan kemiringan
lubang tembak. Semakin besar diameter lubang berarti penampang lubang yang
harus ditembus semakin besar sehingga faktor gesekan juga semakin besar. Hal ini
akan sangat mempengaruhi kinerja mesin bor dalam arti kecepatan pemboran
semakin lambat. Semakin dalam lubang bor maka akan terjadi gesekan antara
drilling string dengan dinding lubang yang semakin besar. Di samping itu
kehilangan energi akibat semakin panjangnya drilling string juga akan semakin
besar. Hal ini akan dapat menurunkan kinerja mesin bor. Pada kegiatan pemboran
ada 2 macam arah lubang ledak yaitu arah tegak lurus dan arah miring, arah
lubang
ledak
ini
Anggayana,1999).
berpengaruh
terhadap
aktivitas
pemboran
(Komang
BAB III
PENUTUP
Demikianlah Proposal Magang ini disusun sebagai bahan pertimbangan
bagi Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia PT. Cipta Kridatama.
Semoga tuntutan dunia industri terhadap tenaga-tenaga profesional dalam bidang
Industri Pertambangan diharapkan dapat dipenuhi melalui proses-proses seperti
ini.
Juga merupakan semangat baru dalam rangka membangun kemandirian
menuju tatanan masyarakat industri Pertambangan baru yang madani dan ramah
lingkungan. Atas perhatian dan bantuan Bapak, kami ucapkan banyak terimah
kasih.
Mahasiswa Pemohon,
LAMPIRAN BIODATA