Anda di halaman 1dari 3

Sudah Maksimalkah Pemberantasan KORUPSI

di Indonesia?
Oleh : Ridwan Saputra | 20130420305 | kelas D
Indonesia sebuah negara berkembang yang banyak memiliki kekayaan alam.
Kekayaan alam yang sebenarnya dapat digunakan untuk mensejahterakan
rakyatnya justru dicuri oleh para tikus-tikus pemerintah yang biasa kita sebut
sebagai KORUPTOR. Berbagai berita di media elektronik maupun cetak
menunjukan makin memprihatinkannya tingkat korupsi di Indonesia, sebab
mulai terungkapnya bahwa ada hakim-hakim yang ikut terlibat dalam
skandal korupsi. Dibuatnya undang-undang tentang korupsi pun belum
belum terlihat dampaknya malah terkesan meaning less. Peraturan dari
pemerintah tersebut terkesan meaning less karena tidak dibarengi dengan
pengamalan dari para pembuatan keputusan tersebut. Lalu tindakan apa
yang dapat memberantas korupsi di Indonesia?
Sebelum membahas hal tersebut kita harus tahu dahulu dasar-dasar kenapa
para pelaku melakukan tindakan korupsi. Menurut Robert Klitgaardm dalam
teori

Klitgaard,

korupsi

disebabkan

karena

adanya

monopoli

kekuatan/kekuasaan oleh pemimpin (monopoly of power) ditambah denga


tinggunya kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang (discretion of official) hal
ini diperburuk dengan tanpa adanya pengawasan yang memadai (minus
accountability). Dari teori tersebut sejalan dengan berbagai kejadian korupsi
di Indonesia.
Pemberantasan korupsi di Indonesia kita ini memang masih jauh dari kata
sempurna. Hal tersebut dibuktikan dengan masih banyknya kasus korupsi
yang terbengkalai. Pada tahun 2010-2014 senidiri dari organisasi Indonesia
Corruption Watch (ICW) memaparkan bawa masih ada 552 kasus korupsi
yang terbengkalai. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya system
informasi yang terintegrasi pada aparat penegak hukum.

ICW pun memberikan beberapa masukan untuk pemberantasan korupsi di


Indonesia ini. Pertama, aparat penegak hukum yaitu baik KPK, POLRI, dan
KEJAKSAAN AGUNG harus memiliki system informasi yang terintegrasi. Hal
ini akan berguna untuk memantau perkembangan kasus yang sedang
dijalankan maupun akan dijalankan. Dari penulis juga berpendapat bahwa ini
hal yang akan sangat membantu dalam penyelesaian sebuah kasus. Sebab
dengan adanya system IT para aparat akan dapat mengetahui dari mana
laporan itu datang, kapan masuk dan sudah berpa lama proses dan juga
sejauh mana perkembangannya. System IT ini pun juga bisa menjadi system
pengawas bagi para aparat penegak hukum yang terkait.
Kedua, ICW menyarankan system yang akan dibuat pada poin pertama tadi
berada dibawah Presiden RI guna mencegah ego dari lembaga penegak
hukum dalam pemberantasan korupsi. Penulis berpendapat memang bila
system sudah berjalan dengan semestinya yang akan dibutuhkan ialah
sebuah mekanisme pengawasan yang solid. Saran ketiga, bahwa seharusnya
direktorat Tipikor Polri menjadi badan yang independen dan berada di luar
Bareskrim Polri. Hal ini kan terlihat seperti Badan Narkotika Nasional (BNN)
yang independen.
Saran

ICW

keempat,

mengarahkan

agar

kejaksaan

agung

memiliki

wewenang melakukan supervisi terhadap para penyelidik Polri sejak tahap


penyelidikan. Hal ini jelas berbeda dengan apa yang sedang terjadi
sekarang, saat ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang seharusnya mempunyai
data atau informasi yang lengkap dan kuat guna untuk menjatuhkan
tuntutan malah tidak memiliki data yang memadai. Hal tersebut dapat
berdampak pada tidak sesuainya tuntutan yang akan dijatuhjan kepada
pelaku. Kelima atau terakhir, dari pihak ICW berharap Unit Koordinasi dan
KPK bisa dinaikan levelnya dalam pemerintah menjadi direktorat. Hal ini
sejalan dengan pendapat penulis yaitu kenaikan level ini diharapkan bisa
setara dengan kejaksaan angung dan juga polri, dengan tujuan KPK dan Unit
Koordinasi lebih terdengan suara dan kepusan mereka.

Dari rekomendasi yang diberikan oleh ICW tersebut diharapkan dapat


memperkuat system pemerintahan dari tindakan korupsi. Sehingga dapat
menurunkan tindakan korupsi dalam negara kita ini. Diharapkan juga mulai
bebasnya para pemimpin di pemerintahan dari tindakan korupsi diharapkan
dapat

mengembalikan

kepercayaan

masyarakat.

Namun

gencarnya

penyelidikan dan peraturan yang makin ketat malah memberikan ketakutan


yang berlebih di pemerintahan. Sehingga akan berakibat pada terhambatnya
program pembangunan baik di pusat maupun di daerah.
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa sebaiknya dalam pemberantasan
korupsi sebuah system memang dibutuhkan untuk memastikan semua SOP
berjalan secara benar. System tersebut juga harus didukung dengan system
pengawasan dan pengendalian yang memadai. kemudian semua hal
tersebut harus diberikan batasan yang jelas bagi pihak penyelidik agar tidak
menimbulkan ketakutan yang berlebihan bagi para pemimpin pemerintahan.

Anda mungkin juga menyukai