Anda di halaman 1dari 16

http://2011document.blogspot.co.id/2014/11/perbandingan-metode-istinbathhukum.

html

PERBANDINGAN METODE ISTINBATH


HUKUM MAJELIS TARJIH
MUHAMMADIYAH DENGAN BAHTSUL
MASAIL NAHDLATUL ULAMA DALAM
PENENTUAN HUKUM BAYI TABUNG

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Metodologi Perbandingan Hukum Islam
Dosen Pengampu :

Pradana Boy ZTF


PERBANDINGAN METODE ISTINBATH HUKUM MAJELIS TARJIH
MUHAMMADIYAH DENGAN LAJNAH BAHTSUL MASAIL NAHDLATUL ULAMA
DALAM PENENTUAN HUKUM BAYI TABUNG
Oleh :

Nur Laili Maratus Solikhah


201110020311052
JURUSAN SYARIAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2014
BAB I
PENDAHULAN
1.1 Latar Belakang
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah adalah dua organisasi keislaman besar yang erat
kaitannya dengan corak masyarakat Islam Indonesia, keduanya seolah menjadi anugerah terbesar
yang pernah dimiliki bangsa ini. Dalam konteks masyarakat, muhammadiyah seolah mewakili
masyarakat modernis dan Nahdlatul Ulama pada masyarakat tradisional dan sangat nampak pada
masyarakat Islam pedesaan. Meskipun kedua organisasi ini memiliki berbagai perbedaan
pandangan, toh pada kenyataannya keduanya sama-sama memiliki andil dalam memajukan umat,
baik dalam masalah pendidikan, sosial, budaya dan tidak akan pernah tertinggal dalam masalah
politik, meskipun keduanya tidak memprokalmirkan secara nyata dan terang-terangan, namun
faktanya siapa yang menduduki kursi perpolitikan dia yang berkuasa atas penetapan suatu hukum
dinegeri ini.
Perbedaan pandangan keduanya tentu saja berbeda pada cara/metode lembaga tersebut
beistinbath dalam menyelesaikan suatu perkara dan perbedaan cara/metode berdampak pula pada
hasil istinbath (fiqih). Nahdhatul ulama melalui Lajnah Batshul Masail-nya yang terkenal
dengan corak tradisional memiliki rasionalisasi tersendiri mengapa lembaga tersebut memilih
jalan beristinbathnya, begitupula dengan Muhammadiyah yang memiliki Lajnah Majelis Tarjih
yang terkenal dengan corak modernis-nya, meskipun dalam perjalanannya dan aplikasi putusan
dimasyarakat nahdhatul ulama lebih terlihat modernis dan moderat sedang muhammadiyah
terkesan sangat tradisional dan tertutup. Keduanya tidak perlu saling menyalahkan, tidak perlu
saling bersinggungan, apalagi mengklaim yang paling benar, karena keduanya sama-sama
memiliki dasar yang kuat dalam beristinbath.
Melihat zaman yang lebih maju dan modern seperi teknologi yang semakin maju, ilmu
pengetahuan yang semakin berkembang selain memperkaya kecanggihan dan kemudahan hidup
rupanya banyak pula menimbulkan permasalahan yang muncul dimasyarakat. Permasalahan
semakin berkembang, tidak hanya pada masalah furu dan fikih yang itu-itu melulu, namun
mulai berkembang dalam permasalahan fikih kontemporer seperti dalam bidang kedokteran dan

rekayasa manusia, contohnya Keluarga Berencana (KB), Bayi Tabung, Transplantasi organ dan
lain-lain. Dalam hal ini kedua lembaga keagamaan (Batshul Masail dan Majelis Tarjih) perlu
menyoroti permasalahan ini secara serius, seperti majelis tarjih yang terkenal dengan jalan
Ijtihad jamaI (ijtihad bersama oleh pakar masing-masing masalah dan ditarik dan dikonklusikan
pada konteks hukum syariat) dan bahtsul masail dengan kitab-kitab dan tradisi ber-mazhab-nya.
Dalam penyusunan makalah ini akan dispesifikasikan pembahasan pada satu
permasalahan yakni bayi tabung, seperti yang kita ketahui bahwa praktek bayi tabung telah
banyak dilakukan di Indonesia. Pembahasan dispesifikasikan lagi pada masalah metode
penetapan hukum oleh masing-masing lembaga dan dianalisis mengenai keduanya, sehingga
pada akhir makalah ini akan disampaikan perbedaan perbandingan metodologi keduanya dalam
menangani masalah bayi tabung.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana metodologi istinbath hukum Lajnah Majelis Tarjih dalam perkara bayi tabung?
2. Bagaimana metodologi istinbath hukum Lajnah Batshul Masail dalam perkara bayi tabung?
3. Bagaimana analisis perbandingan metodologi istinbath hukum Lajnah Majelis Tarjih dan Lajnah
Bathsul Masail?
1.3 Tujuan
1. Sebagai bahan diskusi kelas
2. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Perbandingan Hukum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bayi Tabung
1. Pengertian
Istilah Bayi Tabung ( tube baby) dalam bahasa kedokteran dikenal dengan sebutan In
Vitro Fertilization and Embryo Transfer (IVF-ET) atau dalam khazanah hukum Islam dikenal
dengan Thifl al-Anbb atau Athfl al-Anbbah.
Bayi Tabung merupakan teknik pembuahan (fertilisasi) antara sperma suami dan sel telur
isteri yang masing-masing diambil kemudian disatukan di luar kandungan (in vitro) sebagai
lawan di dalam kandungan (in vivo) - . Biasanya medium yang digunakan adalah tabung
khusus. Setelah beberapa hari, hasil pembuahan yang berupa embrio atau zygote itu dipindahkan
ke dalam rahim. Sedangkan teknik Inseminasi Buatan relatif lebih sederhana. Yaitu sperma yang

telah diambil dengan alat tertentu dari seorang suami kemudian disuntikkan ke dalam rahim
isteri sehingga terjadi pembuahan dan kehamilan.
Teknik Bayi Tabung diperuntukkan bagi pasangan suami isteri yang mengalami masalah
infertilitas. Pasien Bayi Tabung umumnya wanita yang menderita kelainan seperti, kerusakan
pada saluran telurnya, lendir rahim isteri yang tidak normal, adanya gangguan kekebalan dimana
terdapat zat anti terhadap sperma di tubuh isteri, tidak hamil juga setelah dilakukan bedah
saluran telur atau seteleh dilakukan pengobatan endometriosis, sindroma LUV (Luteinized
Unruptured Follicle) atau tidak pecahnya gelembung cairan yang berisi sel telur, dan sebab-sebab
lainnya yang belum diketahui. Sedangkan pada suami, teknik ini diperuntukkan bagi mereka
yang pada umumnya memiliki kelainan mutu sperma yang kurang baik, seperti oligospermia
atau jumlah sperma yang sangat sedikit sehingga secara alamiah sulit diharapkan terjadinya
pembuahan.[1]
2. Proses Bayi Tabung
Dalam dunia kedokteran, bayi tabung (in vitro fertilization) diartikan sebagai bayi yang
dalam kejadiannya, proses pembuahannya terjadi diluar tubuh wanita. Berdasarkan penelitian
ahli kedokteran dapat diketahui beberapa kemungkinan terjadinya pembuahan in vitro, yaitu :
a. Pembuahan diluar tubuh, antara semen suami dengan ovum isteri dan diinplantasikan dalam
rahim isteri. Dalam hal ini spermatozoon, ovum dan kehamilan seluruhnya berasal dari suami
b.

isteri yang bersangkutan.


Pembuahan diluar tubuh antara semen donor dengan ovum isteri. Sedang inplantasinya tetap

c.

pada rahim isteri.


Pembuahan yang berasal dari suami-isteri hanyalah unsure spermatozoon dan kehamilan saja,

sedang ovum berasal dari orang lain.


d. Pembuahan yang spermatozoon dan ovum berasal dari suami isteri, tetapi kehamilannya
dititipkan kepada wanita lain.
2.2 Metodologi Lajnah Majelis Tarjih Muhammadiyah
Masalah bayi tabung adalah masalah yang sama sekali baru, belum dibicarakan oleh para
ahli fiqih terdahulu. Lebih dari itu, al-Quran dan Haditspun tidak membahas secara eksplisit
masalah tersebut. Karena itu, dalam membahas dan menyelesaikan masalah bayi tabung ini
diperlukan ijtihad kolektif, yang melibatkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu, terutama ahli
kedokteran, biologi dan ahli agama islam. Dengan kajian multi secara multidisipliner itu
diharapkan dapat ditetapkan hukumnya. Muhammadiyah pada tahun 1980, telah mengupayakan
hal tesebut dalam muktamar ke-XXI di Klaten. Namun organisasi ini belum dapat menetapkan

hukumnya secara tuntas. Dalam hal ini terbagi dalam dua kelompok, yakni kelompok yang
membolehkan dan kelompok yang melarang, putusan diserahkan kepada PP Muhammadiyah
Majelis tarjih namun samapi sekarang masalah bayi tabung belum ada preferensi yang pasti
dengan alasan masalah bayi tabung belum menjadi masalah yang mendesak untuk diputuskan.
a. Kelompok yang Membolehkan
Kelompok pertama dari peserta muktamar tarjih Muhammadiyah XXI di Klaten
berpendapat, bahwa bayi tabung menurut proses dengan sperma dan ovum dari suami-isteri yang
sah hukumnya mubah, dengan syarat sebagai berikut :
a. Teknis pengambilan sperma dengan cara yang tidak bertentangan dengan prinsip ajaran islam;
b. Penetapan zygote sebaiknya dilakukan oleh dokter wanita;
c. Resepien adalah isteri sendiri.
Kelompok ini merujuk kepada beberapa ayat Al-Quran sebagai berikut :
..
Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari
isteri-isteri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu (Qs. Al-Nahl/4 : 72)

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri (Qs. Ar-Radu/13 : 11)
...
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan terhadap apa-apa yang diingini, yaitu
wanita-wanita, anak-anak dan harta yang banyak (Qs.Ali-Imran/3 : 14)

Dan Dia yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu punya keturunan dan
mushaharah (semenda) dan adalah Allah Maha Kuasa.. (Qs.Al-Furqan/25 : 54)

Isteri-isteri adalah (seperti) tanah temoat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik)
untuk dirimu. (Qs.Al-Baqarah/2 : 223)




Maha Suci Tuhan yang telah mencipatkan pasangan-pasangan semuanya, baik apa yang
ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Qs.
Yasin/36 : 36)



Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi ini untuk kamu. (Qs.Al-Baqarah/2:29)

Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar dapat tandatanda bagi kaum yang mau berfikir. (Qs.Al-Rum/30 : 21)
Menurut Faturrahman Djamil dalam bukunya mengemukakan bahwa kelompok pertama
ini tidak menjelaskan secara eksplisit cara pengambilan dalil dari ayat-ayat diatas. Namun
demikian penggunaan ayat-ayat diatas dapat ditelusuri dengan memperhatikan ayat demi ayat
dan menghubungkannya dengan masalah bayi tabung. Dalam beberapa hal dapat dibandingkan
dengan pendapat beberapa ahli tafsir. Dengan memperhatikan ayat 72 surat Al-Nahl dapat
dipahami bahwa manusia secara naluriah menghendaki keturunan atau anak cucu. Bahkan
manusia akan merasa sangat bangga dengan keturunan yang diperolehnya. Hal ini di isyaratkan
oeh ayat 14 Surat Ali-Imran dan ayat 54 Surat Al-Furqan. Sebaliknya, apabila pasangan suami
isteri tidak dapat memperoleh keturunan, maka pasangan itu akan merasa gelisah. Padahal
perkawinan seperti di isyaratkan oleh ayat 21 Surat Ar-rum diatas, diharapkan dapat menjadi
tempat untuk memperoleh ketentraman dan mencurahkan kasih sayang. Karena itu, usaha
pasangan suami-isteri yang tidak atau belum dikaruniai anak perlu digiatkan sampai keturunan
dapat diperolehnya. Usaha tersebut merupakan manifestasi yang giat berusaha, seperti yang di
isyaratkan oleh ayat 11 Surat Al-Rad diatas. Usaha untuk memperoleh anak dengan cara yang

diluar kebiasaan itu dibenarkan, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Ayat 223 Surat Al-Baqarah mengisyaratkan hal tersebut. Bahkan ayat 36 surat Yasin memberikan
kemungkinan sesuatu itu dapat terjadi dengan cara yang belum diketahui oleh manusia.
Beberapa ayat diatas memberi isyarat bahwa manusia yang berdasarkan nalurinya senang
mempunyai keturunan, dianjurkan untuk berusaha mewujudkan nalurinya. Bahkan jika dengan
cara biasa tidak dapat diperoleh keturunan, maka ia harus melakukan usaha lain sampai berhasil,
namun tetap memperhatikan norma-norma ajaran Islam. Ungkapan yang terakhir tersebut
menunjukkan bahwa bagi kelompok ini bayi tabung dapat dibenarkan selama tidak bertentangan
dengan prinsip ajaran islam.
Hadits yang menjadi dalil :










Diriwayatkan dari Aisyah r.a ia berkata bahwa rasulullah saw. Bersabda : Sesungguhnya Allah
telah mewajibkan beberapa kewajiban , maka janganlah kamu sia-siakan. Dan Allah telah
mengharamkan beberapa perkara, maka janganlah kamu langgar dan ia juga telah menetapkan
batas-batas, maka janganlah kamu lampaui. Allah juga telah mendiamkan (tidak melarang)
beberapa hal sebagai rahmat bagi kamu sekalian.
( )
Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata bahwa rasullah bersabda Sesungguhnya sebaik-baiknya
yang kamu makan ialah dari hasil pekerjaanmu. Dan sesungguhnya anak-anak kamu juga
merupakan hasil dari pekerjaanmu. (HR. Al-Tirmizi)


( )

Diriwayatkan dari Ruwaifa ibn Sabit al-Anshari, ia berkata bahwa rasulullah saw. Bersabda :
tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat untuk menyiramkan
airnya kepada tanaman orang lain. (HR. Abu Dawud)
Sebagaimana ayat Al-Quran diatas, hadits-hadits ini tidak dijelaskan wajhu istidlal-nya
oleh kelompok pertama ini. namun demikian hadits-hadits tersebut dapat dipahami, dengan cara
menghubungkannya dengan kasus bayi tabung. Kelihatannya hadits Aisyah diatas dijadikan

dasar bahwa segala sesuatu yang tidak ditetapkan halal atau haramnya oleh Allah dan Rasul-Nya
termasuk perkara yang maskut anhu karena itu pada dasarnya mubah. Bayi tabung termasuk
masalah yang dapat dikelompokkan kepada maskut anhu ini. Hadits yang kedua dijadikan dasar
oleh kelompok ini untuk menyatakan, bahwa usah untuk memperoleh anak termasuk kegiatan
yang dianjurkan. Karenanya, mengusahakannya melalui proses bayi tabung termasuk hal yang
dianjurkan. Namun demikian, jika bayi tabung itu dilakukan dengan proses sperma atas ovum
donor, maka masalahnya tidak termasuk perkara yang maskut anhu lagi, karena tindakan itu telah
dilarang oleh nabi, seperti yang termaktub dalam hadits nabi ketiga diatas.
Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah diatas juga memberikan arahan terhadap kerangka
berpikir para ahli fiqih dalam rangka menggariskan kaidah, bahwa segala sesuatu yang termasuk
al-umur al-dunyawiyyat pada dasarnya boleh dilakukan, selama tidak ada dalil yang
melarangnya .
Untuk menguatkan pendapatnya, mereka mengungkapkan beberapa kaidah fiqiyyah yang
ada hubungnnya dengan kasus bayi tabung, sebagai berikut :





Hukum asal dari segal sesuatu adalah mubah


Sesuatu yang halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya dan sesuatu yang haram
adalah apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya, sedangkan Sesuatu yang oleh Allah maka
sesuatu yang dimaafkan

Kesulitan itu dapat menarik kemudahan





Hukum asal dari senggama adlah haram, kecuali jika ada dalil yang menentangnya
(membolehkannya)
b. Kelompok yang Mengharamkan

Kelompok kedua yang berpendapat bahwa bayi tabung dalam berbagai bentuk dan
sifatnya hukumnya haram. Diantara alasan yang digunakan adalah bahwa pelaksanaan bayi
tabung tidak ada dalam petunjuk Rasul. Alasan ini bertentangan dengan prinsip dan Manhaj
berijtihad yang telah ditetapkan oleh Muhammadiyah sendiri. Menurut prinsip yang ditetapkan
Muhammadiyah, bahwa segala sesuatu yang bukan ibadah mahdoh, tetapi masuk kelompok alumur al-dunyawiyat, harus menggunakan akal yang cerdas dan fitri, dengan tetap merujuk
kapada Al-Quran dan Hadits. Dengan kata lain, bagi Muhammadiyah penalaran yang dijiwai
oleh ajaran Islam dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah muamalah.
Sikap Muhammadiyah untuk dapat menerima pendapat kelompok pertama dapat
dikuatkan oleh adanya prinsip mashlahat yang merupakan tujuan utama disyariatkan hukum
dalam islam,

Hajat itu keperluan yang sangat penting diberlakukan seperti keadaan darurat
Yang juga diterima oleh Muhammadiyah sebagai dasar untuk menganalisis beberapa
persoalan kontemporer, yang secara eksplisit tidak terdapat dalam nash Al-Quran dan hadits.
Salah satu unsure maslahat, yang menempati peringkat dharuriyat, dalam kasus bayi tabung ini
ialah memelihara keturunan (hifzhu nashl). Tujuan utama disyariatkan perkawinan dalam Islam
adalah untuk mendapatkan keturunan. Pasangan suami isteri dianjurkan agar berusaha untuk bisa
mendapatkan keturunan itu. dengan demikian, usaha pasangan suami-isteri untuk memperoleh
keturunan itu, bukan saja mubah hukumnya tetapi juga dianjurkan.
Namun, melihat Muhammadiyah yang hingga sekarang belum memutuskan secara tegas
hukum bayi tabung ini seolah menggambarkan bahwa muhammadiyah belum mampu,
ketidakmampuan organisasi keagamaan yang menyandang predikat tajdid ini untuk menetapkan
hukum masalah yang actual, yakni bayi tabung, menyebabkan sulitnya untuk menetapkan
metode ijtihad apa yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam menyelesaikan kasus bayi
tabung ini. sekiranya kelompok pertama pertama yang dijadikan pendapat resmi oleh
muhammadiyah, maka sudah dapat dilihat bahwa istishab hukmu al-ashl digunakan oleh
Muhammadiyah sebagai metode. Lebih dari itu maslahat juga dijadikan sebagai pendekatan
untuk memahami masalah ini.

Jika diperhatikan lebih seksama, masalah bayi tabung ini lebih banyak berhubungan
dengan masalah teknis atau proses memperoleh keturunan, bukan tentang proses hubungan lakilaki dan perempuan atau pernikahan. Selama proses pernikahan sudah dapat dibenarkan oleh
syariat Islam, maka suami-isteri boleh saja menempuh cara yang tidak lazim untuk
memperoleh keturunan. Masalah ini termasuk masalah yang sama sekali baru. Karena itu
pendekatan maslahat perlu menjadi pertimbangan utama. Salah satu unsur maslahat dalam kasus
ini adalah memperoleh keturunan. Hal ini termasuk kebutuhan yang termasuk peringkat
dharuriyat. Karena itu, sepanjang tidak berbenturan dengan nash yang qathI baik wurud
maupun dhalalat-nya, bayi tabung dengan sperma dan ovum dari suami-isteri yang sah,
hukumnya mubah.[2]
2.3 Metodologi Lajnah Batshul Masail Nahdlatul Ulama
Permasalahan bayi tabung juga telah dibahas dalam organisasi islam Nahdhatul Ulama,
yakni melalui Lajnah Bahtsul Masail yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Tegal Rejo
Prambon Nganjuk pada tanggal 26 hingga 27 agustus 1981, yang mengahsilkan putusan :
Bayi tabung ialah bayi yang dihasilkan bukan dari persetubuhan, tetapi dengan
cara mengambil mani atau sperma laki-laki dan sel telur wanita, lalu dimasukan kedalam suatu
alat dalam waktu beberapa hari lamanya. Setelah hal tersebut dianggap mampu menjadi janin,
maka dimasukkan kedalam rahim ibu. Dalam hal ini Bahtsul Masail dengan jelas
mengungkapkan bahwa hukumnya tafsil dengan berbagai masalah, karena tidak mungkin suatu
hukum yang umum dapat menyalesaikan masalah yang khusus.
1. Apabila sperma yang di tabung dan yang dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata
2.

bukan sperma suami istri, maka hukumnya haram.


Apabila sperma/mani yang ditabung tersebut sperma suami istri, tetapi cara mengeluarkannya

3.

tidak muhtarom, maka hukumnya juga haram.


Apabila sperma yang ditabung itu sperma/mani suami istri dan cara mengeluarkannya
muhtarom, serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri maka hukumnya boleh.
Keterangan :

1.

Mani muhtarom adalah yang keluar atau dikeluarkan dengan cara yang diperbolehkan oleh

syara
2. Tentang anak yang dihasilkan dari sperma, tersebut dapat ilhaq atau tidak kepada pemilik mani
terdapat perbedaan pendapat antara imam ibnu hajar dan imam romli

Menurut imam ibnu hajar tidak bisa ilhaq kepada pemilik mani secara mutlaq ( baik muhtarom
atau tidak ) sedang menurut imam romli anak tersebut dapat ilhaq kepada pemilik mani dengan
syarat keluarnya mani tersebut harus muhtarom.
Dasar pengambilan Dalil:
1. Al-jamiul Shoghir hadis no. 8030
.
8030
Terjemah:
Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik (mensekutukan Allah ) disisi Allah dari pada
maninya seorang laki-laki yang ditaruh pada rahim wanita yang tidak halal baginya. ( HR. ibnu
abiddunya dari hasyim bin malik al-thoi)
2. Hikmatu Tasyriwal Safatuhu, II : 48

Terjemah:
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali menyiram air
(maninya ) pada lahan tanaman (rahim) orang lain.
3. Al-Qolyubi, IV : 32
) (
.

Terjemah:
Apabila seoarang perempuan datang dengan membawa anak, dan diketahui bahwa anak tersebut
bukan dari suaminya, dan dapat mungkin dari suaminya (namun secara yakin tidak dari
suaminya). Maka wajib meniadakan (menolak mengakui), karena bila tidak dilaksanakan
penolakan, dapat dimasukan nasab dari orang yang tidak haram (suaminya).
4. Bujairimi Iqna IV : 36
( (

.
Terjemah:
(kesimpulan) yang dimaksud mani muhtarom (mulya) adalah pada waktu keluarnya saja, seperti
yang dikuatkan imam romli, meskipun tidak muhtarom padawaktu masuk. Contoh : suami

bermimpi keluar mani, dan istrinya mengambilnya ( air mani tersebut) lalu dimasukan kefarjinya
dengan persangkaan, bahwa air mani tersebut milik laki-laki lain (bukan suaminya) maka hal ini
dinamakan mani muhtarom keluarnya, tapi tidak muhtarom waktu masuknya kefarji, dan dia
wajib punya iddah (masa penantian) jika suaminya menceraikan sebelum disetubui. Menurut
yang mutamad, berbeda dengan pendatnya imam ibnu hajar yang mengatakan, kreterianya harus
muhtarom keduanya (waktu masuk dan keluar) seperti ketetapan dari syaikuna ( RofiI Nawawi).
5. Kifayatu Al-akhyar, II : 113

Terjemah:
Jika seorang suami sengaja mengeluarkan air maninya dengan perantara tangan istrinya,
atau tangan perempuan amatnya, maka boleh, karena perempuan tersebut tempat istima (senangsenang) bagi seorang suami.[3]
2.4 Perbandingan Metodologi Lajnah Majelis Tarjih dan Batshul Masail
Sebenarnya pada tatanan metodologi di Lajnah Majelis Tarjih telah dijelaskan secara rinci
oleh Dr. H. Faturrahman Djamil baik dari segi kasusnya maupun langkah Muhammadiyah dalam
menanggapi permasalah ini serta kritik dan koreksi beliau terhadap Metode Ijtihad
Muhammadiyah. Sedangkan Dalam Bahtsul Masail penjelasan mengenai metodologi memang
belum dijelaskan secara rinci, sebab pada hal ini penulis belum menemukan referensi yang
memaparkan metode bahtsul Masail dalam penetapan hukum bayi tabung, karena selama ini
yang penulis ketahui berupa putusan (sesuatu yang telah jadi), dalam hal ini penulis menyadari
akan kurangnya referensi.
Pada dasarnya konklusi yang ditentukan oleh dua oraganisasi keagamaan ini hampir
sama, yakni sama-sama menyatakan kebolehan dengan syarat, dan keharaman dengan
syarat, syarat disini merupakan kehati-hatian mujtahid untuk mencegah adanya penyelewengan
hukum oleh pihak yang berkepentingan (pencari celah/pembenar hukum) sehingga keduanya
(Majelis tarjih dan Bahtsul Masail) tidak dapat memberikan putusan hukum yang mengerucut
pada satu titik, karena hukum yang universal tidak mungkin dapat menyelesaikan perkara yang
khusus, sehingga dalam hal sama dan keadaan berbeda dapat memunculkan hukum yang
berbeda.
Meskipun kedua lembaga ini memberikan konklusi yang hampir sama, namun kedua
lembaga ini memiliki metode istinbath hukum yang berbeda. Ciri khas keduanya, jika
muhammadiyah yang terkenal dengan sebutan gerakan Tajdid-nya maka Nahdlatul Ulama

dengan Ahlu Sunnah Wal Jamaah-nya. Adapun runtutan istinbath yang dicanangkan Majelis
Tarjih, pertama melalui al-Quran dan Sunnah Shahihah, dengan mengabaikan pendapatpendapat para imam fiqih pasca masa sahabat Rasulullah. Hal ini terkait dengan genealogi
intelektualisme Muhammadiyah yang memang kurang begitu memberi apresiasi terhadap
perkembangan fiqih pada periode yang mereka sebut sebagai periode taqlid (sekitar abad 10 M18 M). Rentang ini dianggap sebagai periode dimana Islam bercampur-baur dengan apa yang
disebut takhayul, bidah, dan khurafat.
Oleh karena itu, bila ada persoalan hukum baru yang mengemuka, maka selalu dicarikan
jawabannya dalam al-Quran dan Sunnah. Namun, semua orang tahu bahwa tidak semua
persoalan dapat dicarikan jawabannya secara langsung dalam al-Quran dan Sunnah karena
keterbatasannya. Jika tidak ditemukan jawabannya secara langsung dalam al-Quran dan Sunnah
Majelis Tarjih menggunakan ijtihad dengan istinbath dari nash (teks) yang ada melalui
persamaan illat (alasan hukum). Meskipun qiyas (analogi) tidak diakui secara langsung, namun
dalam prakteknya tetap dikembangkan Muhammadiyah dalam menetapkan hukum. Sedangkan
ijma, Muhammadiyah hanya menerima ijma al-shahabah (kesepakatan sahabat) yang mengikuti
pandangan Ahmad bin Hanbal, yang berarti bahwa ijma tak mungkin terjadi pasca generasi
sahabat Rasulullah (Khulafa ur- Rasyidin).[4]
Namun demikian, metode ijtihad Muhammadiyah ikut berkembang seiring zaman yang
berkembang, masalah yang timbul semakin jauh keberadaannya dalam teks-teks Al-Quran
maupun hadits, sehingga terjadilah pergeseran metode Ijtihad dalam Muhammadiyah. Mari
menyimak penyelesaian bayi tabung diatas, muhammadiyah memilih metode ijtihad jamaI
(bersama-sama mengkaji oleh berbagai ahli dari disiplin Ilmu masing-masing) kemudian
mengkonklusikan pada hukum syariat, dalam pengolahan menjadi hukum ini, muhammadiyah
mulai mengembangkan berbagai metode, bahkan dalam hal ini Maslahah dan keadaan
dharuriyat dijadikan dalam prinsip penetapan hukum, dan saya rasa ini sangat rasional bukan
lagi teks secara normative seperti konsep ijtihad Muhammadiyah pada mulanya, bahkan dalam
penentuan suatu kasus, muhammadiyah mempertimbangkan banyak argument dari berbagai
mahzab, bukan sebagai dasar penetapan, tetapi sebagai dasar pertimbangan dalam penentuan
suatu kasus, sehingga inilah yang membuat muhammadiyah terkenal dengan sebutan gerakan
tajdid.
Memang, pada dasarnya Muhammadiyah tidak pernah memproklamirkan diri untuk
memilih mazhab tertentu (tidak bermazhab), namun dalam praktiknya Muhammadiyah tidak

dapat melepaskan diri dari pemikiran mazhab, meskipun hanya pada tingkat metode atau yang
akrab disebut mazhab manhaji. Namun dengan posisi muhammadiyah yang tidak bermazhab ini
menjadikan muhammadiyah terkesan mencla-mencle dalam kepastian metode ijtihadnya.
Berbeda dengan Muhammadiyah yang sangat berani mengambil dan menetapkan metode
Ijtihad

sendiri,

Nahdhatul

Ulama

dengan

masyarakat

pedesaan

Tradisional

lebih

mengembangkan dan mempertahankan budaya ber-mazhab. Nahdhatul Ulama mengakui alQuran dan Sunnah merupakan sumber utama hukum Islam, namun Istinbath hukum di kalangan
Nahdlatul Ulama tidak lantas dipahami sebagai mengambil hukum secara langsung dari kedua
sumber primer di atas, tetapi penggalian hukum dengan men-tathbiq-kan (menerapkan) nash alfuqaha terutama di lingkungan Mazhab Syafii secara dinamis, dalam konteks permasalahan
hukumnya. Sehingga banyak keputusan hukum Nahdlatul Ulama tidak merujuk langsung pada
Al-quran dan Hadits, tapi merujuk pada kutub al-fiqh al-mutabarah (kitab fiqih yang diakui
Nahdlatul Ulama). Sedangkan ushul al-fiqh dan qawaid al-fiqhiyyah diposisikan sebagai penguat
keputusan hukum yang diambil.
Istinbath seperti ini dilakukan Nahdlatul Ulama lantaran ijtihad muthlaq dianggap
terlampau berat dan sulit. Sebab, ijtihad muthlaq harus dilakukan mujtahid yang telah menguasai
ragam keilmuan agama dan perangkat-perangkatnya. Klaim istinbath tidak begitu populer di
kalangan ulama Nahdlatul Ulama. Konsep mazhab dalam Nahdlatul Ulama lebih pada mazhab
qauli (bermazhab pada pendapat hukumnya).[5] Namun dalam perkembangannya pula, sama
halnya dengan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulamapun mulai menggeser metode Ijtihad pada
mulanya. Pada kasus bayi tabung diatas terlihat bahwa Nahdlatul Ulama mulai menggunakan
ijtihad manhaji, bukan sepenuhnya pada ketentuan madzab namun juga mulai lebih rasional
dengan mempertimbangkan berbagai hal (proses, akibat, maslahat dan mudharat), sehingga
dalam Munas Alim Ulama tahun 1992 hal ini mulai dibahas secara serius mengenai metode
istinbath hukum Nahdlatul Ulama (Bahtsul Masail).
Rumusan sistem pengambilan hukum yang dihasilkan Munas Alim Ulama 1992 :
1.

Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana hanya terdapat satu
qaul/wajh (satu jenis pendapat), maka qaul/wajh yang dipakai seperti yang diterangkan dalam

ibarat tersebut.
2. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana terdapat lebih dari satu
qaul/wajh, maka dilakukan taqrir jamai (ketetapan bersama) untuk memilih satu qaul/wajh.

3.

Dalam kasus tidak ada qaul/wajh sama sekali yang memberi penyelesaian, maka dilakukan

prosedur ilhaq al-masail bi nadhairiha (analogi dari kitab fiqih) oleh para ahlinya.
4. Dalam kasus yang tidak ada qaul/wajh sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka
dilakukan istinbath jamai (penggalian hukum secara kolektif) dengan prosedur bermazhab
secara manhaji oleh para ahlinya. [6]

BAB III
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Lajnah Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
dalam penetapan kasus bayi tabung memiliki metode yang berbeda, Muhammadiyah dengan
tajdidnya (pembaharuan dan pemurnian) menjadikan Al-Quran dan Hadits secara langsung
sebagai dasar hukum, sedang Nahdlatul Ulama lebih pada pendekatan madzhab karena
menganggap pendekatan langsung pada teks Al-Quran dan Hadits hanya dapat dilakukan oleh
orang dengan kapasitas ilmu tertentu, sehingga rujukan utama pengambilan hukum Nahdlatul
Ulama merujuk pada kutub al-fiqh al-mutabarah (kitab fiqih yang diakui Nahdlatul Ulama).
Pada dasarnya kesamaan metode Lajnah Majelis Tarjih dan Nahdlatul Ulama adalah
sama-sama bersifat normative dan sangat teks. Namun keduanya sama-sama melompat dari
metode ijtihad masing-masing ketika dihadapkan pada perkara yang sama-sama tidak terdapat
dalam teks/nash, yakni sangat rasional dengan mendasar dari teks. Tidak hanya teks, keduanya
sama-sama memperhitungkan aspek-aspek diluar area taabudi saja, namun keduanya mulai ikut
menyelami tentang apa yang dirasakan si objek hukum. Banyak pertimbangan dalam melahirkan
suatu hukum seperti kondisi sosial, maslahat, mudharat, dharuriyat, hajat dll. Hal ini sebagai
contoh yang nyata sama seperti penetapan hukum bayi tabung diatas.

DAFTAR PUSTAKA
Djamil,Faturrahman. 1995. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiya. Jakarta : Logos
Publising House.
Keputusan Bahtsul Masail Syuriah NU Wilayah Jawa Timur tahun 1979 hingga 2002.ebook
http://andiselvisulfiani.blogspot.com/2012/12/pandangan-muhammadiyah.html/diakses pada
tgl.04/11/2014 pkl.15:58
http://www.wahidinstitute.org/v1/Programs/Detail/?
id=285/hl=id/Metode_Istinbath_Muhammadiyah_NU_Dan_MUI/diakses pada tgl.28/10/2014
pkl.19:41
http://www.wahidinstitute.org/v1/Programs/Detail/?
id=285/hl=id/Metode_Istinbath_Muhammadiyah_NU_Dan_MUI/diakses pada tgl.28/10/2014
pkl.19:41

http://andiselvisulfiani.blogspot.com/2012/12/pandangan-muhammadiyah.html/diakses pada
tgl.04/11/2014 pkl.15:58
[2] Djamil,Faturrahman, 1995, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiya, Jakarta : Logos
Publising House:102-112
[3] Keputusan Bahtsul Masail Syuriah NU Wilayah Jawa Timur tahun 1979 hingga 2002.ebook
[4]http://www.wahidinstitute.org/v1/Programs/Detail/?
id=285/hl=id/Metode_Istinbath_Muhammadiyah_NU_Dan_MUI/diakses pada tgl.28/10/2014
pkl.19:41
[5]http://www.wahidinstitute.org/v1/Programs/Detail/?
id=285/hl=id/Metode_Istinbath_Muhammadiyah_NU_Dan_MUI/diakses pada tgl.28/10/2014
pkl.19:41
[6] Ibid,
Diposkan 8th November 2014 oleh Noer Laile
[1]

Anda mungkin juga menyukai