Obat Anestesi
Obat Anestesi
OLEH :
CHARLES ROBERTATS (10310083)
BAGIAN ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RSAL. DR.. MIDIYANTO SURATANI TANJUNG PINANG
2014
2011
DAFTAR ISI
B. Lidokain 33
C. Mepivakain ... 35
D. Prilokain 36
E. Bupivakain 37
F. Naropin . 38
G. Duranest (etidokain ). 41
II. 4 Analgetik .. 42
A. Morfin .. 44
B. Meperidin . 49
C. Fentanyl 50
D. Tramadol .. 54
II. 5 Relaksan ... 54
A. Suksinilkolin.. 57
B. Pankuronium bromide .. 58
C. Vecuronium .. 58
D. Atracurium 59
BAB III. KESIMPULAN 60
Daftar Pustaka...................................................................................................55
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama
kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846 yang artinya tidak ada rasa
sakit.1
Anestesi menurut arti kata adalah hilangnya kesadaran rasa sakit, namun obat
anestasi umum tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga menghilangkan
kesadaran. Pada operasi-operasi daerah tertentu seperti operasi pada bagian perut,
maka selain hilangnya rasa sakit dan kesadaran, dibutuhkan juga relaksasi otot yang
optimal agar operasi dapat berjalan dengan lancar.2
Obat anestesi yang baik harus memenuhi trias anestesi yaitu, efek hipnotik, efek
analgesia dan efek relaksasi otot. Akan tetapi, dari berbagai obat anestesi hanya eter
yang memiliki trias anestesia. Oleh karena itu anestesi modern saat ini menggunakan
obat-obat selain eter, maka anestesi diperoleh dengan menggabungkan berbagai
macam obat.2
Obat anestesi dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu anestesi lokal yang
merupakan penghilang rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran dan anestesi umum
sebagai penghilang rasa sakit yang disertai hilangnya kesadaran. Semua zat anestesi
umum menghambat susunan saraf secara bertahap, mula-mula fungsi yang kompleks
akan dihambat dan yang paling akhir adalah medula oblongata yang mengandung
pusat vasomotor dan pusat pernafasan yang vital. Guedel (1920) membagi anestesi
umum dengan eter menjadi 4 stadium, yaitu stadium analgesia, stadium delirium,
stadium pembedahan dan stadium paralisis medulla.1
Obat anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila
dikenakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Obat ini bekerja pada
setiap bagian saraf. Pemberian anestetik lokal pada kulit akan menghambat transmisi
impuls sensorik, sebaliknya pemberian anestetik lokal pada batang saraf
menyebabkan paralisis sensorik dan motorik di daerah yang dipersarafinya.
4
Mekanisme kerja anestetik lokal adalah mencegah konduksi dan timbulnya impuls
saraf. Tempat kerjanya terutama di membran sel.1
Prinsip dasar farmakologi obat anestetik, meliputi transfer membran, absorbsi,
metabolisme, distribusi dan eliminasi obat. Pada anestetik lokal, peristiwa
farmakologik ini lebih sederhana tanpa mempengaruhi pusat kesadaran di SSP.1
Kepentingan utama farmakologi anestetik secara klinis adalah dalam
menentukan dosis yang optimal untuk suatu obat, dimana dalam selang dosis tersebut
obat akan mempunyai efek terapi tanpa menimbulkan efek toksik. Seberapa besar
jumlah yang diperlukan ditentukan dengan menentukan tingkat konsentrasi minimal
yang dapat menimbulkan efek separuh dari efek terapi yang diharapkan, dan tingkat
konsentrasi maksimal yang umumnya ditentukan pada jumlah konsentrasi obat.3
.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Anestesi Inhalasi
Obat anestesia inhalasi adalah obat anestesia yang berupa gas atau cairan
mudah menguap, yang diberikan melalui pernafasan pasien. Campuran gas atau uap
obat anestesia dan oksigen masuk mengikuti udara inspirasi, mengisi seluruh rongga
paru, selanjutnya mengalami difusi dari alveoli ke kapiler sesuai dengan sifat fisik
masing-masing gas.2
Anestesi inhalasi adalah obat yang paling sering digunakan pada anestesia
umum. Penambahan sekurang-kurangnya 1% anestetik volatil pada oksigen inspirasi
dapat menyebabkan keadaan tidak sadar dan amnesia, yang merupakan hal yang
5
penting dari anestesia umum. Bila ditambahkan obat intravena seperti opioid atau
benzodiazepin, serta menggunakan teknik yang baik, akan menghasilkan keadaan
sedasi/hipnosis dan analgesi yang lebih dalam. Kemudahan dalam pemberian (dengan
inhalasi sebagai contoh) dan efek yang dapat dimonitor membuat anestesi inhalasi
disukai dalam praktek anestesia umum. Tidak seperti anestetik intravena, kita dapat
menilai konsentrasi anestesi inhalasi pada jaringan dengan melihat nilai konsentrasi
tidal akhir pada obat-obat ini. Sebagai tambahan, penggunaan gas volatil anestesi
lebih murah penggunaanya untuk anestesia umum. Hal yang harus sangat
diperhatikan dari anestesi inhalasi adalah sempitnya batas dosis terapi dan dosis yang
mematikan. Sebenarnya hal ini mudah diatasi,dengan memantau konsentrasi jaringan
dan dengan mentitrasi tanda-tanda klinis dari pasien. 2
Obat anestesi inhalasi biasanya dipakai untuk pemeliharaan pada anestesi
umum, akan tetapi juga dapat dipakai sebagai induksi, terutama pada pasien anakanak. Gas anestesi inhalasi yang banyak dipakai adalah isofluran dan dua gas baru
lainnya yaitu sevofluran dan desfluran. sedangkan pada anak-anak, halotan dan
sevofluran paling sering dipakai. Walaupun dari obat-obat ini memiliki efek yang
sama (sebagai contoh : penurunan tekanan darah tergantung dosis), namun setiap gas
ini memiliki efek yang unik, yang menjadi pertimbangan bagi para klinisi untuk
memilih obat mana yang akan dipakai. Perbedaan ini harus disesuaikan dengan
kesehatan pasien dan efek yang direncanakan sesuai dengan prosedur bedah. 2
A. Eter
Eter merupakan obat anestesi inhalasi yang orisinal dibuat oleh Valerius
Cardus pada tahun 1540, dengan memanaskan etil alkohol dengan asam sulfur
dibawah suhu 130 oC. Eter tidak berwarna , mudah menguap, dan berbau khas. Eter
tidak bereaksi dengan soda lime, mudah terbakar atau meledak, dan dapat terurai oleh
cahaya, panas, atau udara.4
Secara farmakologi klinis, eter mempengaruhi sejumlah fungsi sistem organ
tubuh. Eter mampu meningkatkan denyut nadi, merangsang simpatis, dan mendepresi
vagal. Aritmia jarang terjadi. Frekuensi napas bertambah pada permulaan anestesi,
dan kemudian melambat. Sekresi saluran napas meningkat. Tekanan intrakranial juga
meningkat akibat dilatasi pembuluh darah otak.5
6
terutama bila suhu terlalu tinggi atau sodalime telah rusak. Senyawa A dapat
menyebabkan nekrosis renal pada tikus, sedangkan pada manusia, derajat kerusakan
jaringan ginjal masih sedang dalam penelitian. Dengan memperhatikan hal ini,
sevofluran dianjurkan diberikan dengan minimum aliran gas 2 liter/menit, karena
aliran yang rendah akan memicu peningkatan temperatur sodalime.2
G. Metoksifluran
Methoxyfluran merupakan obat anestesi yang pada tahun 1960 dan 1970an
kontra indikasi terhadap pasien dengan penyakit ginjal karena biotransformasinya
menjadi nephrotoksik, florida inorganik, dan asam oksalik. Enfluran juga mengalami
biotransformasi menjadi florida inorganik tetapi kadar setelah 2-4 jam anastesi hanya
19 mM pada pasien dengan penyakit ginjal ringan sampai dengan sedang, secara
signifikan nilainya lebih rendah dari ambang nephrotoksis yaitu 50 mM, sehingga
dengan kadar ini florida tidak menyebabkan gangguan ginjal lebih lanjut. Kadar
fluorida dari isofluran adalah 3-5 mM dan hanya 1 sampai 2 mM setelah halotan,
sehingga obat-obat tersebut tidak potensial nephrotoksik.1
H. Nitrous Oksida
Nitrous oksida merupakan gas inhalan yang digunakan sebagai agen
pemelihara anestesi umum. Penggunaan nitrous oksida bersama dengan oksigen atau
udara. Efek anestesi nitrous oksida menurun bila digunakan secara tunggal, sehingga
perlu pula penambahan agen anstetik lainnya dengan dosis rendah. Nitrous oksida
memiliki efek analgetik yang baik. Penggunaan campuran nitrous oksida dengan
oksigen 50:50 v/v disebut entonox, yang digunakan sebagai analgesi daripada
anestesi.2
N2O diserap dengan cepat dalam tubuh, yaitu 1 liter/menit dalam menit
pertama. Terdapat 3 fase pengambilan N2O berdasarkan saturasi arteri, yaitu pertama,
dalam 5 menit mencapai 50% saturasi; kedua, dalam 30-90 menit mencapai 90%
saturasi; dan dalam 5 jam mencapai saturasi penuh. Dalam 100 mL darah dapat
terlarut 47mL N2O, dan hampir seluruhnya dikeluarkan kembali melalui paru.5
N2O nerupakan zat anestesi lemah, menimbulkan efek analgesia dan hipnotik
lemah. Efek kardiovaskular minimal, sehingga perubahan pada frekuensi jantung,
10
irama dan curah jantung maupun EKG juga minimal. Pernapasan tidak banyak
dipengaruhi. Depresi napas terjadi pada pemakaian N 2O tanpa oksigen. Sensitivitas
laring dan trakea terhadap manipulasi menurun.3
Pada sistem lain, seperti gastrointestinal, sistem urologi, dan reproduksi tidak
banyak dipengaruhi. Tidak terjadi relaksasi otot atau perubahan terhadap fungsi
endokrin dan metabolik.3
I. Xenon
Meskipun jarang digunakan dan kurang popular, xenon merupakan unsur gas
mulia yang stabil dan dapat digunakan sebagai agen anestesi umum. Terdapat dua
mekanisme yang diduga menyebabkan unsur ini memiliki sifat anestesi. Pertama,
adanya penghambatan pompa kalsium ATP-ase, yang menyebabkan hilangnya
kalsium sel, termasuk membran sel sinaptik. Pendapat kedua mengatakan bahwa
xenon memiliki interaksi nonspesifik dengan lipid membran.3
Xenon memiliki nilai MAC 71 vol%, menyebabkan unsur ini lebih poten 50%
dibanding N2O. Penggunaan bersama oksigen akan meminimalisir risiko hipoksia.
Tidak seperti N2O, xenon tidak termasuk gas rumah kaca, sehingga lebih aman untuk
lingkungan.3
II. 2. Anestetik Intravena
Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur
intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot.
Setelah berada didalam pembuluh darah vena, obat-obat ini akan diedarkan ke
seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target organ
masing-masing dan akhirnya diekskresikan sesuai dengan farmakodinamiknya
masing-masing.6
Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan
kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu batas
keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat minimal.
Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek samping yang sangat minimal.
Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek yang diharapkan tanpa efek
samping, bila diberikan secara tunggal.7
A. Propofol
11
mengatur
reseptor
gamma
aminobutyric acid (GABA) dan tampaknya tidak mengatur ligand-gate ion channel
lainnya. Propofol dianggap memiliki efek sedatif hipnotik melalui interaksinya
dengan reseptor GABA. GABA adalah salah satu neurotransmiter penghambat di
SSP. Ketika reseptor GABA diaktivasi, penghantar klorida transmembran meningkat
dan menimbulkan hiperpolarisasi di membran sel post sinaps dan menghambat fungsi
neuron post sinaps. Interaksi propofol (termasuk barbiturat dan etomidate) dengan
reseptor
komponen
spesifik
reseptor
GABA menurunkan
neurotransmitter
penting sensitive half time dari propofol yang digunakan melalui infus selama 8 jam
adalah kurang dari
minimal dari durasi infus karena metabolisme propofol yang cepat ketika infus
dihentikan sehingga obat kembali dari
Propofol mirip seperti aldentanil dan thiofentanil yang memiliki efek singkat di otak
setelah pemberian melalui intravena. 8
Propofol menjadi pilihan obat induksi terutama karena cepat dan efek
mengembalikan kesadaran yang komplit. Infus intravena propofol dengan atau tanpa
obat anestesia lain menjadi metode yang sering digunakan sebagai sedasi atau sebagai
bagian penyeimbang atau anestesi total iv. Penggunaan propofol melalui infus secara
terus menerus sering digunakan di ruang ICU. 1
a. Induksi Anestesia
Dosis induksi propofol pada pasien dewasa adalah 1,5-2,5 mg/kgBB intravena
dengan kadar obat 2-6 g/ml menimbulkan turunnya kesadaran yang bergantung pada
usia pasien. Mirip seperti barbiturat, anak-anak membutuhkan dosis induksi yang
lebih besar tiap kilogram berat badannya yang mungkin disebabkan volum distribusi
yang besar dan kecepatan bersihan yang lebih. Pasien lansia membutuhkan dosis
induksi yang lebih kecil (25% - 50%) sebagai akibat penurunan volume distribusi dan
penurunan bersihan plasma.
sebesar 1,0 1,5 g/ml. Kesadaran yang komplit tanpa gejala sisa SSP merupakan
karakter dari propofol dan telah menjadi alasan menggantikan thiopental sebagai
induksi anestesi pada banyak situasi klinis.
b. Sedasi Intravena
Sensitive half time dari propofol walau diberikan melalui infus yang terus
menerus, kombinasi efek singkat setara memberikan efek sedasi. Pengembalian
kesadaran yang cepat tanpa gejala sisa serta insidens rasa mual dan muntah yang
rendah membuat propofol diterima sebagai metode sadasi. Dosis sedasinya adalah 25100g/kgBB/menit secara intravena dapat menimbulkan efek analgesik dan amnestik.
Pada beberapa pasien, midazolam atau opioid dapat dikombinasikan dengan propofol
melalui infus. Sehingga intensitas nyeri dan rasa tidak nyaman menurun.
13
yang
menginduksi
bronkokonstriksi
dan
metabisulfit
sendiri
dapat
14
tidak
semuanya
melalui
GABA
sebagai
mediator.
Barbiturat
memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi transmisi
sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja
benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat bersifat sebagai agonis
GABA-nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi SSP
yang berat.10
Pada susunan saraf perifer, barbiturat secara selektif menekan transmisi
ganglion otonom dan mereduksi eksitasi nikotinik oleh esterkolin. Efek ini terlihat
dengan turunya tekanan darah setelah pemberian oksibarbital IV dan pada intoksikasi
berat.10
Pada pernafasan, barbiturat menyebabkan depresi nafas yang sebanding
dengan besarnya dosis. Pemberian barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh
terhadap pernafasan, sedangkan dosis hipnotik menyebabkan pengurangan frekuensi
nafas. Pernafasan dapat terganggu karena : (1) pengaruh langsung barbiturat terhadap
pusat nafas; (2) hiperefleksi N.vagus, yang bisa menyebabkan batuk, bersin, cegukan,
dan laringospasme pada anastesi IV. Pada intoksikasi barbiturat, kepekaan sel
17
pengatur nafas pada medulla oblongata terhadap CO2 berkurang sehingga ventilasi
paru berkurang. Keadaan ini menyebabkan pengeluaran CO2 dan pemasukan O2
berkurang, sehingga terjadilah hipoksia.10
Pada sistem kardiovaskular, barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek
yang nyata. Frekuensi nadi dan tekanan darah sedikit menurun akibat sedasi yang
ditimbulkan oleh berbiturat. Pemberian barbiturat dosis terapi secara IV dengan cepat
dapat menyebabkan tekanan darah turun secara mendadak. Efek kardiovaskular pada
intoksikasi barbiturat sebagian besar disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat
depresi nafas. Selain itu pada dosis tinggi dapat menyebabkan depresi pusat
vasomotor diikuti vasodilatasi perifer sehingga terjadi hipotensi.6,7
Pada saluran cerna, Oksibarbiturat cenderung menurunkan tonus otot usus dan
kontraksinya. Pusat kerjanya sebagian diperifer dan sebagian dipusat bergantung pada
dosis. Dosis hipnotik tidak memperpanjang waktu pengosongan lambung dan gejala
muntah, diare dapat dihilangkan oleh dosis sedasi barbiturat.6,7
Pada hepar, barbiturat menaikan kadar enzim, protein dan lemak pada
retikuloendoplasmik hati. Induksi enzim ini menaikan kecepatan metabolism
beberapa obat dan zat endogen termasuk hormone stroid, garam empedu, vitamin K
dan D.10
Pada ginjal, barbiturat tidak berefek buruk pada ginjal yang sehat. Oliguri dan
anuria dapat terjadi pada keracunan akut barbiturat terutama akibat hipotensi yang
nyata.10
Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus
halus kedalam darah. Secara IV barbiturat digunakan untuk mengatasi status epilepsi
dan menginduksi serta mempertahankan anastesi umum. Barbiturat didistribusi secara
luas dan dapat melewati plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan
kelarutan dalam lemak; tiopental yang terbesar.10
Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan
metoheksital, setelah pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot.
Hal ini akan menyebabkan kadarnya dalam plasma dan otak turun dengan cepat.
Barbiturat
yang
kurang
lipofilik,
misalnya
aprobarbital
dan
fenobarbital,
18
Fenobarbital diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak berubah sampai jumlah
tertentu (20-30 %) pada manusia.1
Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata
karena efek terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh
golongan benzodiazepine. Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan
barbiturat yang digunakan, umumnya tiopental dan fenobarbital.10
Tiopental :
Di gunakan untuk induksi pada anestesi umum.
Operasi yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahit luka).
Sedasi pada analgesik regional
Mengatasi kejang-kejang pada eklamsia, epilepsi, dan tetanus
Fenobarbital :
Untuk menghilangkan ansietas
Sebagai antikonvulsi (pada epilepsi)
Untuk sedatif dan hipnotik
Barbiturat tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturat, penyakit hati
atau ginjal, hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturat juga tidak boleh diberikan pada
penderita psikoneurotik tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari
yang terjadi pada penderita usia lanjut.2
Efek samping penggunaan barbiturat, antara lain:
Hangover, yaitu residu depresi SSP setelah efek hipnotik berakhir. Dapat terjadi
beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan. Efek residu mungkin berupa
vertigo, mual, atau diare. Kadang kadang timbul kelainan emosional dan fobia.
Eksitasi paradoksal, Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturat
(terutama fenoberbital dan N-desmetil barbiturat) lebih menimbulkan eksitasi
dari pada depresi. idiosinkrasi ini relatif umum terjadi diantara penderita usia
lanjut dan lemah.
Rasa nyeri, Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, neuralgia, artalgia,
terutama pada penderita psikoneurotik yang menderita insomnia. Bila diberikan
dalam keadaan nyeri, dapat menyebabkan gelisah, eksitasi, dan bahkan
delirium.
Alergi, Reaksi alergi terutama terjadi pada individu alergik. Segala bentuk
hipersensitivitas dapat timbul, terutama dermatosis. Jarang terjadi dermatosis
eksfoliativa yang berakhir fatal pada penggunaan fenobarbital, kadang-kadang
disertai demam, delirium dan kerusakan degeneratif hati.
19
Reaksi obat, Kombinasi barbiturat dengan depresan SSP lain misal etanol akan
meningkatkan efek depresinya; Antihistamin, isoniasid, metilfenidat, dan
penghambat MAO juga dapat menaikkan efek depresi barbiturat.
Intoksikasi barbiturat dapat terjadi karena percobaan bunuh diri, kelalaian,
kecelakaan pada anak-anak atau penyalahgunaan obat. Dosis letal barbiturat
sangat bervariasi. Keracunan berat umumnya terjadi bila lebih dari 10 kali dosis
hipnotik dimakan sekaligus. Dosis fatal fenobarbital adalah 6-10 g, sedangkan
amobarbital, sekobarbital, dan pentobarbital adalah 2-3 g. kadar plasma letal
terendah yang dikemukakan adalah 60 mcg/ml bagi fenobarbital, dan 10
mcg/ml bagi barbiturat dengan efek singkat.2
D. Benzodiazepin
Benzodiazepin adalah obat yang memiliki lima efek farmakologi sekaligus,
yaitu anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi otot melalui medula spinalis, dan
amnesia retrograde. Benzodiazepine banyak digunakan dalam praktik klinik.
Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi obat,
potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang lebar, rendahnya
toleransi obat dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati. Benzodiazepin telah
banyak
digunakan
sebagai
pengganti
barbiturat
sebagai
premedikasi
dan
menimbulkan sedasi pada pasien dalam monitorng anestesi. Dalam masa perioperatif,
midazolam telah menggantikan penggunaan diazepam. Selain itu, benzodiazepine
memiliki antagonis khusus yaitu flumazenil.11
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah
Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan
lorazepam tidak larut dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol.
Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls atau Dizac), yang tidak
menyebakan nyeri atau tromboplebitis tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya
yang rendah, midazolam merupakan benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam
larutan dengan PH 3,5.2
Efek farmakologi
benzodiazepine
merupakan
akibat
aksi
gamma-
20
thiopental. Hanya 50% dari obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik
karena metabolisme porta hepatik yang tinggi. Sebagian besar midazolam yang
masuk plasma akan berikatan dengan protein. Waktu durasi yang pendek dikarenakan
kelarutan lemak yang tinggi mempercepat distribusi dari otak ke jaringan yang tidak
aktif begitu juga dengan klirens hepar yang cepat.
Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4 jam, lebih pendek daripada waktu
paruh diazepam. Waktu paruh ini dapat meningkat pada pasien tua dan gangguan
fungsi hati. Pada pasien dengan obesitas, klirens midazolam akan lebih lambat karena
obat banyak berikatan dengan sel lemak. Akibat eliminasi yang cepat dari midazolam,
maka efek pada CNS akan lebih pendek dibanding diazepam.
Midazolam dimetabolisme dengan cepat oleh hepar dan enzim cytochrome P450 usus halus menjadi metabolit yang aktif dan tidak aktif. Metabolit utama yaitu 1hidroksimidazolam yang memiliki separuh efek obat induk. Metabolit ini dengan
cepat dikonjugasi dengan asam glukoronat menjadi 1-hidroksimidazolam glukoronat
yang dieskresikan melalui ginjal. Metabolit lainnya yaitu 4-hidroksimidazolam tidak
terdapat dalam plasma pada pemberian IV.
Midazolam menurunkan kebutuhan metabolik oksigen otak dan aliran darah
ke otak seperti barbiturat dan propofol. Namun terdapat batasan besarnya penurunan
kebutuhan metabolik oksigen otak dengan penambahan dosis midazolam. Midazolam
22
juga memiliki efek yang kuat sebagai antikonvulsan untuk menangani status
epilepticus.
Penurunan pernapasan dengan midazolam sebesar 0,15 mg/kg IV setara
dengan diazepam 0,3 mg/kg IV. Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis
memiliki resiko lebih besar terjadinya depresi pernapasan walaupun pada orang
normal depresi pernapasan tidak terjadi sama sekali. Pemberian dosis besar (>0,15
mg/kg) dalam waktu cepat akan menyebabkan apneu sementara terutama bila
diberikan bersamaan dengan opioid. Benzodiazepine juga menekan refleks menelan
dan penuruna aktivitas saluran napas bagian atas.
Midazolam 0,2 mg/kg IV sebagai induksi anestesi akan menurunkan tekanan
darah dan meningkatkan denyut jantung lebih besar daripada diazepam 0,5 mg/kg IV
dan setara dengan thiopental 3-4 mg/kg IV. Penurunan tekanan darah disebabkan oleh
penurunan resistensi perifer dan bukan karena gangguan cardiac output. Efek
midazolam pada tekanan darah secara langsung berhubungan dengan konsentrasi
plasma benzodiazepine.
Midazolam sering digunakan sebagai premedikasi pada pasien pediatrik
sebagai sedasi dan induksi anestesia. Midazolam juga memiliki efek antikonvulsan
sehingga dapat digunakan untuk mengatasi kejang grand mal.
Sebagai premedikasi midazolam 0,25 mg/kg diberikan secara oral berupa
sirup (2 mg/ml) kepada anak-anak untuk memberiksan efek sedasi dan anxiolisis
dengan efek pernapasan yang sangat minimal. Pemberian 0,5 mg/kg IV 10 menit
sebelum operasi dipercaya akan memberikan keadaan amnesia retrograd yang cukup.
Midazolam dosis 1-2,5 mg IV (onset 30-60 detik, waktu puncak 3-5 menit,
durasi 15-80 menit) efektif sebagai sedasi selama regional anestesi. Dibanding
dengan diazepam, midazolam memiliki onset yang lebih cepat, amnesia yang lebih
baik dan sedasi post operasi yang lebih rendah namun waktu pulih sempurna tetap
sama. Efek samping yang ditakutkan dari midazolam adalah adanya depresi napas
apalagi bila diberikan bersama obat penekan CNS lainnya.
Induksi anestesi dapat diberikan midazolam 0,1-0,2 mg/kg IV selama 30-60
detik. Walaupun thiopental memberikan waktu induksi lebih cepat 50-100%
dibanding midazolam. Dosis yang digunakan akan semakin kecil apabila sebelumnya
23
diberikan obat penekan CNS lain seperti golongan opioid. Pasien tua juga
membutuhkan lebih sedikit dosis dibanding pasien muda.
Midazolam dapat diberikan sebagai tambahan opioid, propofol dan anestesi
inhalasi selama rumatan anestesi. Pemberian midazolam dapat menurunkan dosis
anestesi inhalasi yang dibutuhkan. Sadar dari post operasi dengan induksi midazolam
akan lebih lama 1-2,5 kali dibanding penggunaan thiopental sebagai induksi.
Pemberian jangka panjang midazolam secara intravena (dosis awal 0,5-4 mg
IV dan dosis rumatan 1-7 mg/jam IV) akan mengakibatkan klirens midazolam dari
sirkulasi sistemik lebih bergantung pada metabolisme hepatik. Efek farmakologis dari
metabolit akan terakumulasi dan berlangsung lebih lama setelah pemberian intravena
dihentikan sehingga waktu bangun pasien menjadi lebih lama. Penggunaan opioid
dapat mengurangi dosis midazolam yang dibutuhkan sehingga waktu pulih lebih
cepat. Waktu pulih akan lebih lama pada pasien tua, obese dan gangguan fungsi hati
berat.
Gerakan pita suara paradoks adalah penyebab nonorganik obstruksi saluran
napas atas dan stridor sebagai manifestasi post operasi. Midazolam 0,5-1 mg IV
mungkin efektif untuk mengatasinya.
b. Diazepam12
Diazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut lemak dan memiliki durasi
kerja yang lebih panjang dibanding midazolam. Diazepam dilarutkan dengan pelarut
organik (propilen glikol, sodium benzoate) karena tidak larut dalam air. Larutannya
pekat dengan pH 6,6-6,9.Injeksi secara IV atau IM akan menyebabkan nyeri.
Diazepam cepat diserap melalui saluran cerna dan mencapai puncaknya dalam
1 jam (15-30 menit pada anak-anak). Kelarutan lemaknya yang tinggi menyebabkan
Vd diazepam besar dan cepat mencapai otak dan jaringan terutama lemak. Diazepam
juga dapat melewati plasenta dan terdapat dalam sirkulasi fetus.
Ikatan protein benzodiazepine berhubungan dengan tingginya kelarutan
lemak. Diazepam dengan kelarutan lemak yang tinggi memiliki ikatan dengan protein
plasma yang kuat. Sehingga pada pasien dengan konsentrasi protein plasma yang
rendah, seperti pada cirrhosis hepatis, akan meningkatkan efek samping dari
diazepam.
24
25
c. Lorazepam11
Lorazepam memiliki struktur yang sama dengan oxazepam, hanya berbeda
pada adanya klorida ekstra pada posisi orto 5-phenyl moiety. Lorazepam lebih kuat
dalam sedasi dan amnesia dibanding midazolam dan diazepam sedangkan efek
sampingnya sama.
Lorazepam dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hati menjadi bentuk
inaktif yang diekskresikan di ginjal. Waktu paruhnya lebih lama yaitu 10-20 jam
dengan ekskresi urin > 80% dari dosis yang diberikan. Karena metabolismenya tidak
dipengaruhi oleh enzim mikrosom di hati, maka metabolismenya tidak dipengaruhi
oleh umur, fungsi hepar dan obat penghambat enzim P-450 seperti simetidin. Namun
onset kerja lorazepam lebih lambat dibanding midazolam dan diazepam karena
kelarutan lemaknya lebih rendah.
Lorazepam diserap baik bila diberikan secara oral dan IM dan mencapai
konsentrasi puncak dalam 2-4 jam dan terus bertahan efeknya selama 24-48 jam.
Sebagai premedikasi, digunakan dosis oral 50g/kg (maks 4 mg) yang akan
menimbulkan sedasi yang cukup dan amnesia selama 6 jam. Penambahan dosis
akan meningkatkan sedasi tanpa penambahan efek amnesia. Lorazepam tidak
bermanfaat pada operasi singkat karena durasi kerja yang lama.
Onset kerja lambat lorazepam merupakan kekurangan lorazepam bila
digunakan sebagai induksi anestesi, sedasi selama regional anestesi dan sebagai anti
kejang. Lorazepam akan bermanfaat bila digunakan sebagai sedasi pada pasien yang
diintubasi.
d. Oxazepam11
Oxazepam merupakan metabolit aktif dari diazepam. Durasi kerjanya lebih
pendek dibanding diazepam karena di sirkulasi akan dikonjugasi dengan asam
glukoronat menjadi metabolit inaktif. Waktu paruhnya 5-15 jam dan tidak
dipengaruhi oleh fungsi hepar atau pemberian simetidin. Absorbsi oral oxazepam
sangat lambat sehingga tidak bermanfaat pada pengobatan insomnia dengan kesulitan
26
tidur. Namun bermanfaat pada insomnia memiliki periode tidur yang pendek atau
sering terbangun di malam hari.
e. Alprazolam11
Alprazolam memiliki efek mengurangi kecemasan pada pasien dengan
kecemasan atau serangan panik. Alprazolam merupakan alternatif untuk premedikasi
pengganti midazolam.
E. Ketamin
Ketamin adalah suatu rapid acting non barbiturat general anesthethic
termasuk golongan fenyl cyclohexylamine dengan rumus kimia 2-(0-chlorophenil) 2
(methylamino) cyclohexanone hydrochloride. Pertama kali diperkenalkan oleh
Domino dan Carsen pada tahun 1965. Ketamin mempuyai efek analgesi yang kuat
sekali akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) yang disertai penerimaan
keadaan lingkungan yang salah (anestesi disosiasi).13
Ketamin merupakan zat anestesi dengan aksi satu arah yang berarti efek
analgesinya akan hilang bila obat itu telah didetoksikasi/dieksresi, dengan demikian
pemakaian lama harus dihindarkan. Anestetik ini adalah suatu derivat dari
pencyclidin suatu obat anti psikosa. Induksi ketamin pada prinsipnya sama dengan
tiopental. Namun penampakan pasien pada saat tidak sadar berbeda dengan bila
menggunakan barbiturat. Pasien tidak tampak tidur. Mata mungkin tetap terbuka
tetapi tidak menjawab bila diajak bicara dan tidak ada respon terhadap rangsangan
nyeri. Tonus otot rahang biasanya baik setelah pemberian ketamin. Demikian juga
reflek batuk. Untuk prosedur yang singkat ketamin dapat diberikan secara iv/im
setiap beberapa menit untuk mencegah rasa sakit.13
Ketamin bersifat non-kompetitif phenycyclidine di reseptor N-Methyl D
Aspartat (NMDA). Ketamin juga memiliki efek pada resetor lain termasuk reseptor
opioid, reseptor muskarinik, reseptor monoaminergik, kanal kalsium tipe L dan
natrium sensitif voltase. Tidak seperti propofol dan etomidate, katamin memiliki efek
lemah pada reseptor GABA. Mediasi inflamasi juga dihasilkan lokal melalui
penekanan pada ujung saraf yang dapat mengaktifasi netrofil dan mempengaruhi
aliran darah. Ketamin mensupresi produksi netrofil sebagai mediator radang dan
27
28
ketamin ke jaringan lain yang memiliki konsetrasi ketamin yang lebih rendah.
Ketamin memiliki hepatic clearance yang tinggi (1 liter per menit), dan Vd yang
besar (3 liter/kgBB) sehingga waktu paruhnya sekitar 2-3 jam. Rasio ekstraksi yang
tinggi di hati disebabkan perubahan aliran darah ke hati. 12
Ketamin dimetabolisme secara ekstensif oleh enzim microsomal hati. Bagian
terpenting dari metabolisme ini adalah demetilasi ketamin oleh sitokrom p-450
sehingga terbentuk norketamin. Pada hewan, norketamin lebih kuat 1/5 1/3 daripada
ketamin. Metabolit aktif ini lah yang juga menambah efek panjang ketamin, terutama
pada dosis yang diulang atau administrasi lewat infus. Norketamin sering
terhidroxilasi kemudian berkonjugasi sehingga lebih larut dalam air dan metabolisme
dengan glukoronidase diekskresikan di ginjal. Penggunaan infus ketamin <4%
memungkinkan ketamin diekskresikan di urin sebagai bentuk yang tak diubah.
Ekskresi lewat feses ditemukan <5%. Penggunaan yang sering menstimulasi enzim
yang memetabolismenya sehingga sering terjadi toleransi terhadap efek analgesia
ketamin.
Selain
terjadi
peningkatan
toleransi
ketamin
terjadi
pula
efek
ketergantungan ketamin. 12
Ketamin adalah obat yang memiliki efek analgesia pada pemberian dengan
dosis subanestesia dan menimbulkan induksi pada pemberian intravena dan dosis
yang lebih besar. Ketamin juga memiliki efek menurunkan refleks batuk,
laringospasm yang disebabkan ketamine induced salivary secretions. Glycopyrrolatr
lebih disukai daripada atropin dan scopolamin karena dapat melewati sawar darah
otak dan meningkatkan insiden delirium emergensi. 12
Intensitas analgesia pada dosis subanestesia yakni 0,2 0,5 mg/kgBB secara
intravena. Konsentrasi plasma ketamin memiliki efek analgesia lebih rendah dari
pada pemakaian secara oral daripada intramuskular yang dinilai dari konsentrasi
norketamin akibat metabolisme awal di hati yang terjadi pada pemakaian secara oral.
Efek analgesia ini lebih nyata pada nyeri somatik dibandingkan nyeri viseral. Efek
ketamin ini disebabkan aktifitasnya pada talamus dan sistem limbik yang
bertanggung jawab terhadap interpretasi nyeri. Dosis yang lebih rendah dapat juga
digunakan sebagai tambahan analgesia opioid.
29
32
A. Dibukain2
Devirat kuinon ini, merupakan anestetik lokal yang paling kuat, paling toksik
dan mempunyai masa kerja panjang. Dibandingkan dengan prokain, dibukain kirakira 15 kali lebih kuat dan toksik dengan masa kerja 3 kali lebih panjang. Dibukain
HCl digunakan untuk anesthesia suntikan pada kadar 0,05-0,1%; untuk anesthesia
topical telinga 0,5-2%; dan untuk kulit berupa salep 0.5-1%. Dosis total dibukain
pada anesthesia spinal ialah 7,5-10mg.
B. Lidokain2
Lidokain (Xilokain) adalah anestetik lokal yang kuat yang digunakan secara
luas dengan pemberian topical dan suntikan. Anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat,
lebih lama dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain. Lidokain
33
merupakan aminoetilamid. Pada larutan 0,5% toksisitasnya sama, tetapi pada larutan
2% lebih toksik daripada prokain. Larutan lidokain 0,5% digunakan untuk anesthesia
infiltrasi, sedangkan larutan 1,0-2% untuk anesthesia blok dan topical. Anesthesia ini
efektif bila digunakan tanpa vasokonstriktor, tetapi kecepatan absorbs dan
toksisitasnya bertambah dan masa kerjanya lebih pendek. Lidokain merupakan obat
terpilih bagi mereka yang hipersensitif terhadap prokain dan juga epinefrin. Lidokain
dapat menimbulkan kantuk sediaan berupa larutan 0,5%-5% dengan atau tanpa
epinefrin. (1:50.000 sampai 1: 200.000).
Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan, dan dapat melewati sawar darah
otak. Kadarnya dalam plasma fetus dapat mencapai 60% kadar dalam darah ibu. Di
dalam hati, lidokain mengalami deakilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda (MixedFunction Oxidases ) membentuk monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid. Kedua
metabolit monoetilglisin xilidid maupun glisin xilidid ternyata masih memiliki efek
anestetik lokal. Pada manusia 75% dari xilidid akan disekresi bersama urin dalam
membentuk metabolit akhir, 4 hidroksi-2-6 dimetil-anilin.
Efek samping lidokain biasanya berkaitan dengan efeknya terhadap SSP,
misalnya mengantuk, pusing, parestesia, gangguan mental, koma, dan seizures.
Mungkin sekali metabolit lidokain yaitu monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid ikut
berperan dalam timbulnya efek samping ini.
Lidokain dosis berlebihan dapat menyebabkan kematian akibat fibrilasi
ventrikel, atau oleh henti jantung Lidokain sering digunakan secara suntikan untuk
anesthesia infiltrasi, blockade saraf, anesthesia epidural ataupun anesthesia selaput
lender. Pada anesthesia infitrasi biasanya digunakan larutan 0,25% - 0,50% dengan
atau tanpa adrenalin. Tanpa adrenalin dosis total tidak boleh melebihi 200mg dalam
waktu 24 jam, dan dengan adrenalin tidak boleh melebihi 500 mg untuk jangka waktu
yang sama. Dalam bidang kedokteran gigi, biasanya digunakan larutan 1 2 %
dengan adrenalin; untuk anesthesia infiltrasi dengan mula kerja 5 menit dan masa
kerja kira-kira satu jam dibutuhkan dosis 0,5 1,0 ml. untuk blockade saraf
digunakan 1 2 ml.
Lidokain dapat pula digunakan untuk anesthesia permukaan. Untuk anesthesia
rongga mulut, kerongkongan dan saluran cerna bagian atas digunakan larutan 1-4%
dengan dosis maksimal 1 gram sehari dibagi dalam beberapa dosis. Pruritus di daerah
34
anogenital atau rasa sakit yang menyertai wasir dapat dihilangkan dengan supositoria
atau bentuk salep dan krem 5 %. Untuk anesthesia sebelum dilakukan tindakan
sistoskopi atau kateterisasi uretra digunakan lidokain gel 2 % dan selum dilakukan
bronkoskopi atau pemasangan pipa endotrakeal biasanya digunakan semprotan
dengan kadar 2-4%. Lidokain juga dapat menurunkan iritabilitas jantung, karena itu
juga digunakan sebagai aritmia.
C. Mepivakain HCl2
Devirat amida dari xylidide ini cukup populer sejak diperkenalkan untuk
tujuan klinis pada akhir 1950-an. Anestetik lokal golongan amida ini sifat
farmakologiknya mirip lidokain. Mepivekain digunakan untuk anesthesia infiltrasi,
blockade saraf regional dan anesthesia spinal. sediaan untuk suntikan merupakan
larutan 1,0; 1,5 dan 2%.
Kecepatan timbulnya efek, durasi aksi, potensi, dan toksisitasnya mirip
dengan lidokain. Mepivakain tidak mempunyai sifat alergenik terhadap agen anestesi
lokal tipe ester. Agen ini dipasarkan sebagai garam hidroklorida dan dapat digunakan
untuk anestesi infiltrasi atau regional namun kurang efektif bila digunakan untuk
anestesi topikal. Mepivakain dapat menimbulkan vasokonstriksi lebih ringan daripada
lignokain tetapi biasanya mepivacain digunakan dalam bentuk larutan dengan
penambahan adrenalin 1: 80.000. maksimal 5 mg/kg berat tubuh. Satu buah cartridge
biasanya sudah cukup untuk anestesi infiltrasi atau regional.
Mepivakain kadang-kadang dipasarkan dalam bentuk larutan 3 % tanpa
penambahan vasokonstriktor, untuk medapat kedalaman dan durasi anestesi pada
pasien tertentu di mana pemakaian vasokonstriktor merupakan kontradiksi. Larutan
seperti ini dapat menimbulkan anestesi pulpa yang berlangsung antara 20-40 menit
dan anestesi jaringan lunak berdurasi 2-4 jam.
Obat ini jangan digunakan pada pasien yang alergi terhadap anestesi lokal tipe
amida, atau pasien yang menderita penyakit hati yang parah. Mepivakain lebih toksik
terhadap neonatus, dan karenanya tidak digunakan untuk anestesia obstetrik.
Mungkin ini ada hubungannya dengan pH darah neonates yang lebih rendah, yang
35
adalah
ortotoluidin
yang
dapat
menimbulkan
metahaemoglobin.
Metahaemoglobin yang cukup besar hanya dapat terjadi bila dosis obat yang
dipergunakan lebih dari 400 mg. metahaemoglobin 1 % terjadi pada penggunaan
dosis 400 mg, dan biasanya diperlukan tingkatan metahaemoglobin lebih dari 20 %
36
agar terjadi simtom seperti sianosis bibir dan membrane mukosa atau kadang-kadang
depresi respirasi. Karena pemakainan satu cartridge saja sudah cukup untuk mendapat
efek anestesi infiltrasi atau regional yang diinginkan, dan karena setiap cartridge
hanya mengandung 80 mg prilokain hidroklorida, maka resiko terjadinya
metahaemoglobin pada penggunaan prilokain untuk praktek klinis tentunya sangat
kecil.
Walaupun demikian, agen ini jangan digunakan untuk bayi, penderita
metaharmoglobinemia, penderita penyakit hati, hipoksia, anemia, penyakit ginjal atau
gagal jantung, atau penderita kelainan lain di mana masalah oksigenasi berdampak
fatal, seperti pada wanita hamil. Prilokain juga jangan dipergunakan pada pasien
yangmempunyai riwayat alergi terhadap agen anetesi tipe amida atau alergi
paraben.Penambahan felypressin (octapressin) dengan konsistensi 0,03 i.u/ml
(=1:200.000) sebagai agen vasokonstriktor akan dapat meningkatakan baik kedalam
maupun durasi anestesi. Larutan nestesi yang mengandung felypressin akan sangat
bermanfaat bagi pasien yang menderita penyakit kardio-vaskular.
E. Bupivakain (Markain)2
Struktur mirip dengan lidokain, kecuali gugus yang mengandung amin dan
butyl piperidin. Merupakan anestetik lokal yang mempunyai masa kerja yang
panjang, dengan efek blockade terhadap sensorik lebih besar daripada motorik.
Karena efek ini bupivakain lebih popular digunakan untuk memperpanjang analgesia
selama persalinan dan masa pascapembedahan. Suatu penelitian menunjukan bahwa
bupivakain dapat mengurangi dosis penggunaan morfin dalam mengontrol nyeri pada
pascapembedahan Caesar. Pada dosis efektif yang sebanding, bupivakain lebih
kardiotoksik daripada lidokain.
Lidokain dan bupivakain, keduanya menghambat saluran Na+ jantung
(cardiac Na+ channels) selama sistolik. Namun bupivakain terdisosiasi jauh lebih
lambat daripada lidokain selama diastolic, sehingga ada fraksi yang cukup besar tetap
terhambat pada akhir diastolik. Manifestasi klinik berupa aritma ventrikuler yang
berat dan depresi miokard. Keadaan ini dapat terjadi pada pemberian bupivakain
dosis besar. Toksisitas jantung yang disebabkan oleh bupivakain sulit diatasi dan
bertambah berat dengan adanya asidosis, hiperkarbia, dan hipoksemia. Ropivakain
37
juga merupakan anestetik lokal yang mempunyai masa kerja panjang, dengan
toksisitas terhadap jantung lebih rendah daripada bupivakain pada dosis efektif yang
sebanding, namun sedikit kurang kuat dalam menimbulkan anestesia dibandingkan
bupivakain.Larutan bupivakain hidroklorida tersedia dalam konsentrasi 0,25% untuk
anestesia infiltrasi dan 0,5% untuk suntikan paravertebral. Tanpa epinefrin, dosis
maksimum untuk anesthesia infiltrasi adalah sekitar 2 mg/KgBB.
F. Naropin (Ropivakain HCl)2
Naropin injeksi mengandung ropivakain HCl, yaitu obat anestetik lokal
golongan amida. Naropin injeksi adalah larutan isotonik yang steril, mengandung
bahan campuran obat (etantiomer) yang murni yaitu Natrium Klorida (NaCl) agar
menjadi larutan isotonik dan aqua untuk injeksi. Natrium Hidroksida (NaOH) dan/
atau asam Hidroklorida (HCl) dapat ditambahkan untuk meyesuaikan pHnya
(keasamannya).
Naropin injeksi diberikan secara parentral. Nama kimia ropivakain HCl
adalah molekul S-(-)-1-propil-2,6-pipekoloksilida hidroklorida monohidrat. Zat bat
berupa bubuk kristal berwarn putih dengan rumus molekul C17H26N2O-R-HCl-H2O
dan berat molekulnya 328,89. Struktur molekulnya adalah sebagai berikut: Pada suhu
250C, kelarutan ropivakain HCl dalam air adalah 53,8 mmg/mL dengan rasio
distribusi antara n-oktanol dan fosfat bufer pada pH 7,4 adalah 14:1 dan pKanya 8,07
dalam larutan KCl 1 M. pKa ropivakain hampir sama dengan bupivakain (8,1) dan
mendekati pKa mepivakain (7,7), akan tetapi kelarutan ropivakain dalam lemak
(lipid) berada diantar kelarutan bupivakain dan mepivakain.Naropin injeksi tidak
mengandung bahan pengawet dan tersedia dalam bentuk sediaan dosis tunggal
dengan konsentrasi masing-masing 2,0 mg/mL (o,2%), 5,0 mg/mL (0,5%), 7,5
mg/mL (0,75%), dan 10 mg/mL (1,0%). Gravitas (berat) larutan Naropin injeksi
berkisar antara 1,002 sampai 1,005 pada suhu 24oC.
Efek samping ropivakain mirip dengan efek samping anastetik lokal
kelompok amida lainnya. Reaksi efek samping anastetik lokal kelompok amida
terutama berkaitan dengan kadarnyan dalam plasma yang berlebihan, yang dapat
terjadi apabila melebihi dosis, jarum suntik masuk ke dalam pembuluh darah tanpa
sengaja atau jika metabolisme obat tersebut dalam tubuh lambat. Kejadian tentang
38
efek sampingnya telah dilaporkan berdasarkan penelitian klinik yang telah dilakukan
di amerika serikat dan negara-negara lainnya. Obat yang dijadikan acuan biasanya
adalah bupivakain. Penelitian tersebut meggunakan bermacam-macam obat
premedikasi, sedasi dan prosedur pembedahan. Sebanyak 3988 pasien diberikan
naropin dengan konsentrasi sampai 1 % dalam percobaan klinik. Setiap pasien
dihitung sekali untuk setiap jenis reaksi efek samping yang dialaminya.
Efek samping akut yang Paling sering dijumpai dan memerlukan penanganan
yang cepat adalah efek sampingnya pada sistem saraf pusat (SSP) dan system
kardiovaskuler. Reaksi efek samping ini pada umumnya tergantung pada dosis dan
disebabkan oleh kadar obat dalam plasma yang tinggi yang bisa terjadi karena over
dosis, absorbsi (penyerapan) obat terlalu cepat dari tempat suntikan, rendahnya
toleransi pasien terhadap obat, atau apabila jarum suntik anastesi lokal masuk ke
dalam pembuluh darah.
Di samping toksisitas sistemiknya yang tergantung pada dosis, masuknya obat
ke dalam subaraknoid secara tidak sengaja ketika melakukan blok epidural melalui
lumbal (tulang punggung), atau ketika melakukan blok saraf di dekat kolumna
vertebra (khususnya di bagian kepala dan dibagian leher), dapat mengakibatkan
depresi pernafasan dan apnea (sesak nafas) total atau apnea sesuai tingkat saraf spinal
yang mengontrol pernafasan. Juga dapat terjadi hipotensi karena berkurangnya tonus
(kekuatan) saraf simpati atau para lisis respirasi (kelumpuhan otot-otot pernafasan)
serta hipoventilasi karena obat anastetik mencapai tingkatan saraf motorik di kepala.
Keadaan ini dapat memicu henti jantung apabila tidak ditangani dengan segera.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ikatan obat dengan protein plasma misanya
asidosis, penyakit sistemik yang dapat mengubah produksi protein dalam tubuh, atau
kompetensi dengan obat-obat lainnya untuk berikatan dengan protein, dapat
menurunkan toleransi (daya terima terhadap obat) seorang pasien. Pemberian naropin
secara epidural pada beberapa kasus seperti halnya pemberian obat-obat anastesi
lainnya dapat meningkatkan suhu tubuh secara mendadak diatas 38,5oC. ini paling
sering terjadi apabila dosis naropin diatas 16mg/jam.
Efek samping ini ditandai dengan kegelisahan dan depresi. Ketegangan,
kecemasan, pusing, telinga berdengung (tinitus), penglihatan kabur
atau tremor
(bergetar) dapat terjadi dan bahkan dapat menimbulkan komvulsi (kejang otot). Akan
39
tetapi, kegelisahan dapat terjadi mendadak atau bisajuga tidak terjadi, dimana reaksi
efek samping hanya berupa depresi. Depresi ini bisa berlanjut menjadi rasa kantuk
dan akhirnya kesadaran pasien hilang dan terjadi henti nafas. Efek samping lainnya
pada sistem saraf pusat adalah nausea (mual), muntah menggigil, dan konstriksi pupil
(pupil mata menyempit). Dosis tinggi atau masuknya jarum suntik kedalam
pembukuh darah dapat menyebabkan kadar obat dalam plasma meningkat sehingga
mengakibatkan depresi otot jantung (jantung menjadi lemah), darah yang dipompa
jantung berkurang, hambatan konduksi saraf pada jantung, hipotensi, bradikardi
(denyut nadi kurang 60 kali/menit), aritmia ventrikular (denyut jantung tidak
berirama), yaitu takikardi ventrikel (denyut jantung diatas 100 kali/ menit) dan
vibrilasi atrium (jantung berdebar) dan bahkan henti jantung (oleh karena itu, perlu
diperhatikan catatan peringatan, pencegahan, dan overdosis pada label obat). Pada
penggunaan naropin injeksi, jarang terjadi reaksi alergi tetapi bisa saja terjadi jika
pasien terlalu sensitif terhadap obat anestesi lokal (perhatikan peringatan pada label
obat). Reaksi efek samping alergi ditandai dengan gejala-gejala berupa urtikaria (kulit
bengkak merah), pruritus (gatal-gatal), eritema (kulit merah-merah), udem
angioneurotik (misalnya udem laring), takikardi, bersin-bersin, mual, muntah, pusing,
sinkop (pingsan), keringatan, badan panas dan bahkan reaksi anafilaksis (termaksuk
hipotensi berat). Sensistifitas silang antar obat anestesi lokal kelompok amida pernah
terjadi. Bupivacain Injeksi bupivacain HCl merupkan solusi isotonic steril yang
mengandung agen anastetik lokal dengan atau tanpa epinefrin 1:2000 dan
diinjeksikan secara parenteral. Bupivacain PKA memiliki kemiripan dengan lidocain
dan memiliki derajat slubilitas lipid yang lebih besar. Bupivacain dihubungkan secara
kimia dan farmakologis dengan aastetik lokal amino acyl. Bupivacain merupakan
homolog dari mepivacain dan secara kimiawi dihubungkan dengan lidocain. Ketiga
anastetik ini mengandung rantai amida dan amino. Berbeda dengan anastetik lokal
tipe procain yang memiliki ikatan ester. Setiap 1 ml larutan isotonik steril
mengandung bupivacain hidroklorida dan 0.005 mg epinefrin, dengan 0.5 mg sodium
metabisulfite sebagai anti oksidan dan 0.2 mg asam sitrat sebagai stabilisasi.
G. Duranest ( Etidokain)2
40
41
mediator-mediator
43
substansia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan
polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan
reseptor morfin dan menghasilkan efek. Reseptor Opioid diidentifikasikan menjadi 5
golongan, yaitu : 14
Reseptor (mu) : -1, analgesia supraspinal, sedasi. Reseptor -2, analgesia spinal,
depresi nafas, euphoria, ketergantungan fisik, kekakuan otot.
Reseptor (delta) : analgesia spinal, epileptogen.
Reseptor (kappa): -1 analegsia spinal. Reseptor -2 tak diketahui. Reseptor -3
analgesia supraspinal.
Reseptor (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung.
Reseptor (epsilon) : respons hormonal.
A. Morfin14
Morfin adalah bentuk pertama agonis opioid dan pembanding bagi opioid
lainnya. Pada manusia, morfin menghasilkan analgesi, euforia, sedasi, dan
mengurangi kemampuan untuk berkonsentrasi, nausea, rasa hangat pada tubuh, rasa
berat pada ekstremitas, mulut kering, dan pruritus, terutama di wilayah kulit sekitar
hidung. Morfin tidak menghilangkan penyebab nyeri, tetapi meningkatkan ambang
nyeri dan mengubah persepsi berbahaya yang dialami tidak sebagai nyeri. Efek
analgesia akan optimal apabila morfin diberikan sebelum stimulus nyeri timbul.
Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian IM, dengan onset antara 15
-30 menit dan efek tertinggi antara 45-90 menit serta durasinya sekitar 4 jam. Morfin
tidak diserap secara baik melalui pemberian oral. Morfin biasa diberikan secara IV
selama masa operasi. Efek puncak setelah pemberian morfin IV lebih lambat
dibandingkan dengan opioid lain seperti fentanyl, yaitu sekitar 15-30 menit.
Pemberian cepat IV tidak memiliki pengaruh farmakologis karena lambatnya
obat menembus sawar darah otak. Konsentrasi CSF puncak morfin antara 15-30
menit setelah pemberian IV dan menurun lebih lambat dibandingkan konsentrasi
plasma. Analgesia cukup mungkin membutuhkan rumatan konsentrasi plasma morfin
paling tidak 0,05g/ml. Pada pasien yang dipindahkan biasanya membutuhkan
analgesia post operatif yang cukup, dengan dosis morfin total antara 1,3-2,7 mg/jam.
Hanya sebagian kecil pemberian morfin dapat mencapai CNS. Diperkirakan <0,1%
morfin yang diberikan IV memasuki CNS pada waktu puncak konsentrasi plasma.
44
Morfin dimetabolisme melalui dua jalur, yaitu hepatik dan ekstra hepatik.
Morfin dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hepatik sedangkan jalur ekstra
hepatik lebih banyak terjadi di ginjal. Sekitar 75-85% dari morfin yang diberikan
akan menjadi morfin 3 glukoronat dan 5-10% menjadi morfin 6 glukoronat (rasio
9:1). Sekitar 5% morfin akan mengalami demetilasi menjadi normomorfin dan
sebagian kecil diproses menjadi kodein. Metabolit morfin akan dieliminasi melalui
urin, sekitar 7-10% diekskresikan melalui empedu. Morfin 3 glukoronat dapat
dideteksi dalam urin setelah 72 jam pemberian. Sejumlah kecil morfin (1-2%)
ditemukan dalam urine tanpa perubahan.
Metabolisme ginjal memegang peranan utama dalam metabolisme morfin. Hal
ini menjelaskan mengapa tidak terjadi penurunan klirens morfin plasma pada pasien
sirosis hepatis atau pada fase anhepatik pasien transplantasi hati. Hal ini
dimungkinkan karena terjadinya peningkatan metabolisme morfin di ginjal pada
pasien dengan gangguan hati.
Sebaliknya pada pasien gagal ginjal, ekskresi morfin glukoronat akan
terganggu dan menyebabkan akumulasi metabolit morfin dan depresi napas yang tak
terduga pada dosis opioid kecil. Ikatan morfin glukoronat juga dapat dirusak oleh
monoamin oksidase inhibitor yang akan menyebabkan efek morfin yang berlebihan
bila kedua obat diberikan bersamaan.
Efek samping morfin juga terdapat pada agonis opioid lain, walaupun insiden
dan besarnya tidak sama. Efek samping morfin dijelaskan berdasarkan sistem dan
gejala yang ditimbulkannya.
a. Sistem kardiovaskuler
Efek samping pada sistem kardiovaskuler dapat disebabkan oleh beberapa
mekanisme berbeda. Kelainan pada penggunaan morfin dapat terjadi karena respon
dari sistem simpatik. Morfin akan menurunkan pengaruh sistem simpatik pada
jaringan perifer sehingga terjadi penurunan venous return, cardiac output dan tekanan
darah. Morfin juga dapat menyebabkan bradikardi akibat peningkatan aktivitas vagal
sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Morfin menimbulkan efek depresi
langsung pada SA node dan memperlambat konduksi impuls jantung melalui AV
node. Penggunaan opioid (morfin) sebagai premedikasi dan sebelum induksi
45
47
yang sama tonus spingter vesika meningkat sehingga terjadi kesulitan pengosongan
urin. Efek morfin dapat diatasi dengan pemberian anti kolinergik.
j. Perubahan kulit
Morfin menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit. Kulit wajah, leher dan
dada biasanya menjadi merah dan panas. Hal ini disebabkan oleh pelepasan histamin.
k. Plasenta
Morfin dapat melewati plasenta dan masuk ke dalam aliran darah neonatus.
Karenanya depresi pada neonatus dapat terjadi pada pemberian opioid selama
persalinan. Pemberian morfin memiliki efek yang lebih besar daripada pemberian
meperidine. Pada pemberian yang lama dapat terjadi adiksi intrauterin pada bayi.
B. Meperidin (phetydin)14
Meperidine adalah agonis opioid sintetik pada reseptor mu dan kappa yang
diturunkan dari fenilpiperidine. Ada beberapa analog dari meperidine termasuk
fentanyl, sufentanyl, alfentanyl dan remifentanyl. Secara struktur, meperidine mirip
dengan atropin dan memiliki efek anti spasmodik yang ringan. Namun, secara
farmakalogi efek meperidine sama dengan morfin.
Potensi meperidine sekitar sepersepuluh dari morfin, dimana dosis 80-100 mg
IM meperidine sama dengan 10 mg morfin. Durasi kerja meperidine sekitar 2-4 jam,
lebih pendek daripada morfin. Pada dosis analgesik yang sama, meperidine memiliki
efek samping yang sama dengan morfin. Meperidin diserap lebih baik melalui saluran
cerna dibandingkan morfin, walaupun hanya setengahnya yang efektif dibandingkan
dengan pemberian IM.
Metabolisme di hati memegang peranan besar, 90% obat akan mengalami
demetilasi menjadi normeperidine dan dihidrolisis menjadi asam meperidinic.
Ekskresi melalui urin tergantung pada pH, pada pH yang asam meperidine akan lebih
banyak diekskresikan secara utuh.
Normeperidine memiliki waktu paruh 15 jam (35 jam pada gagal ginjal) dan
dapat dideteksi pada urin hingga 3 hari setelah pemberian. Metabolit ini memiliki
efek analgesia separuh daripada meperidine namun menimbulkan stimulasi pada
CNS. Toksisitas normeperidine berupa myoklonus dan kejang timbul pada pasien
dengan pemberian lama obat dan pada pasien gagal ginjal.
Meperidine digunakan sebagai analgesik selama proses persalinan dan post
operasi. Meperidine akan bekerja secara baik apabila diberikan secara intra tekal.
48
N-Phenyl-N-(1-2-phenylethyl-4-piperidyl)
propanamide.
Pertama
kali
disintesa di Belgia pada akhir tahun 1950. Fentanil memiliki besar potensi analgesik
80 kali lebih baik daripada Morfin, dikenalkan pada praktek kedokteran pada tahun
1960-an sebagai anestesi intravena dengan nama merek dagang Sublimaze.
Kemudian dikenalkan juga analog dari Fentanil yaitu alfentanil (Alfenta) dan
Sufentanil (Sufenta) di mana Sufentanil memiliki potensi lebih baik daripada
49
Fentanil yakni sebesar 5 sampai 10 kali, dan Sufentanil ini biasanya digunakan di
dalam operasi jantung.15
Saat ini, Fentanil digunakan untuk anestesi dan analgesik. Sebagai contoh,
Duragesic adalah Fentanil transdermal dalam bentuk koyo yang digunakan untuk
terapi nyeri yang kronis, dan Actiq adalah Fentanil yang larut perlahanlahan di
dalam mulut, di mana obat ini efektif untuk terapi nyeri pada pasien yang menderita
kanker. Carfentanil (Wildnil) adalah analog dari Fentanil dengan potensi analgesik
10.000 kali lebih besar dibandingkan dengan Morfin, dan obat ini digunakan dalam
praktik dokter hewan untuk melumpuhkan hewan-hewan yang berukuran besar.15
Fentanil terutama bekerja sebagai agonis reseptor . Seperti Morfin, Fentanil
menimbulkan analgesia, sedasi, euphoria, depresi nafas dan efek sental lain. Efek
analgesia Fentanil serupa dengan efek analgesik Morfin. Efek analgesic Fentanil
mulai timbul 15 menit setelah pemberian per oral dan mencapai puncak dalam 2 jam.
Efek analgesik timbul lebih cepat setelah pemberian subkutan atau intramuskulus
yaitu dalam 10 menit, mencapai puncak dalam waktu 1 jam dan masa kerjanya 3-5
jam. Efektivitas Fentanil 75-100 g parenteral kurang lebih sama dengan Morfin 10
mg. Karena bioavaibilitas oral 40-60 % maka efektifitas sebagai analgesik bila
diberikan peroral setengahnya dari bila diberikan parenteral.15
Fentanil dalam dosis ekuianalgesik menimbulkan depresi napas sama kuat
dengan Morfin dan mencapai puncaknya dalam 1 jam setelah suntikan IM. Kedua
obat ini menurunkan kepekaan pusat nafas terhadap CO2 dan mempengaruhi pusat
napas yang mengatur irama napas dalam pons. Berbeda dengan Morfin, Fentanil
terutama menurunkan tidal volume, sehingga efek depresi nafas oleh Fentanil tidak
disadari. Depresi napas oleh Fentanil dapat dilawan oleh Nalokson dan antagonis
opioid lain.15
Pemberian Fentanil secara sistemik menimbulkan anestesi kornea, dengan
akibatnya menghilangnya reflek kornea. Berbeda dengan Morfin, Fentanil tidak
mempengaruhi diameter pupil dan refleks pupil. Seperti Morfin dan Metadon,
Fentanil meningkatkan kepekaan alat keseimbangan yang merupakan dasar timbulnya
mual, muntah dan pusing pada mereka yang berobat jalan. Seperti Morfin dan
50
51
kontraksi uterus. Fentanil tidak mengganggu kontraksi atau involusi uterus pasca
persalinan dan tidak menambah frekuensi perdarahan pasca persalinan.15
Fentanil larut dalam lemak dan menembus sawar jaringan dengan mudah.
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama
dengan Morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak oleh paru ketika pertama kali
melewatinya. Dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi serta sisa
metabolismenya dikeluarkan lewat urine.6
Beberapa indikasi penggunaan Fentanil, yaitu :
Nyeri hebat karena luka bakar.
Pasien-pasien yang alergi dengan Morfin.
Nyeri hebat karena fraktur tulang.
Nyeri non-traumatik seperti batu pada ginjal.
Pasien-pasien yang menderita kanker.
Beberapa kontra indikasi penggunaan Fentanil, yaitu: 15
Adanya gangguan atau depresi pernafasan.
Hipotensi yang tidak terkoreksi.
Alergi terhadap zat-zat narkotik.
Pasien-pasien dengan curiga klinis cedera kepala, dada, atau cedera perut.
Anestesi atau sedasi Dosis: 1-3 g/kg/dose (maksimal : 50 g) IV or IM Bisa
diulang (dengan dosis yang sama) Kebanyakan pasien memerlukan 3-5 dosis Fentanil
(3-5
g/kg).
Untuk
Dewasa,
dosis
fentanil
Transdermal
(Duragesic),
memperhatikan: jumlah yang diperbolehkan : 25, 50, 75, 100 g/hour, onset untuk
berefek penuh hanya setelah 24 jam, dan mengganti koyo Fentanil setiap 3 hari
sekali. Untuk tablet Transmucosal (Actiq), memperhatikan: jumlah yang
diperbolehkan : 200, 400, 800, 1200, 1600 g, Dosis maksimal 4 tablet sehari.15
Fentanil bisa menyebabkan depresi pernafasan, sediakan selalu peralatan
resusitasi. Bisa menyebabkan mual dan atau muntah. Dosis tinggi bisa menyebabkan
kekakuan otot yang menimbulkan kesulitan ventilasi. Dosis Fentanil 100 g
ekuivalen dengan 10 mg Morfin.15
D. Tramadol14
Tramadol merupakan analgesik yang bekerja secara sentral dengan berikatan
pada reseptor mu dan berikatan lemah pada reseptor kappa dan delta. Potensi
analgesik tramadol 5-10 kali lebih lemah daripada morfin.
Tramadol dengan dosis 3 mg/kg dapat diberikan secara oral, IM atau IV untuk
mengatasi nyeri sedang hingga berat. Keuntungan pemberian tramadol adalah tidak
52
adanya depresi napas, dan tidak menyebabkan ketergantungan pada obat serta
memiliki toksisitas organ yang rendah. Selain itu, efek perlambatan pengosongan
lambung juga lebih rendah dibanding opioid lain dan efek sedasi yang minimal.
Kerugian penggunaan tramadol antara lain interaksinya dengan antikoagulan
koumadin dan kemungkinan terjadinya kejang pada pasien epilepsi. Tramadol juga
mendorong timbulnya mual dan muntah pada pemberian perioperatif.
II. 5. Relaksan
Obat relaksan otot adalah obat yang digunakan untuk melemaskan otot rangka
atau untuk melumpuhkan otot. Biasanya digunakan sebelum operasi untuk
mempermudah suatu operasi atau memasukan suatu alat ke dalam tubuh. Obat
relaksan otot yang beredar di Indonesia terbagi dalam dua kelompok obat yaitu obat
pelumpuh otot dan obat pelemas otot yang bekerja sentral.4
Relaksasi otot skeletal dapat terjadi dengan anestesi inhalasi yang dalam, blok
syaraf regional atau dengan obat yang memblok pertemuan neuromuskular. Golongan
obat yang disebut terakhir ini sering disebut sebagai obat pelumpuh otot, dimana obat
ini dapat menimbulkan paralisis dari otot skeletal tanpa menyebabkan amnesia, tidak
sadar dan juga tidak menimbulkan analgesi.16
Berdasarkan mekanisme kerja obat pelumpuh otot pada pertemuan
neuromuskular, obat ini dapat digolongkan dalam dua golongan. Golongan obat yang
menimbulkan depolarisasi, secara fisik menyerupai asetilkolin (ACh) sehingga akan
terikat pada reseptor ACh dan menimbulkan potensial aksi dari otot skeletal karena
terbukanya kanal natrium. Namun tidak seperti ACh obat ini tidak langsung
dimetabolisme oleh asetilkolin esterase, sehingga konsentrasinya di celah sinap akan
menetap lebih lama yang akan menghasilkan pemanjangan depolarisasi dari lempeng
pertemuan otot skeletal. Adanya potensial aksi pada lempeng pertemuan otot skeletal
ini akan menyebabkan potensial aksi pada membran otot, yang akan membuka kanal
sodium dalam waktu tertentu. Setelah tertutup kembali kanal ini tidak dapat terbuka
kembali sebelum terjadi repolarisasi dari lempeng motorik, yang disini tidak juga
akan terjadi sebelum obat yang menyebabkan depolarisasi meninggalkan reseptor
yang didudukinya. Sementara itu setelah kanal sodium di peri junctional tertutup,
otot akan kembali pada posisi relaksasi dan akan berlanjut sampai obat golongan ini
53
dihidrolisis oleh enzim pseudo cholinesterase yang terdapat di plasma dan di hati.
Umumnya proses ini berlangsung dalam waktu yang singkat sehingga tidak
dibutuhkan obatspesifik untuk melawan efek relaksasi dari obat golongan depolarisasi
ini. 4,17
Obat golongan non-depolarisasi juga terikat pada reseptor ACh namun tidak
menyebabkan terbukanya kanal natrium sehingga tidak terjadi kontraksi otot skeletal,
karena tidak timbul potensial aksi pada lempeng akhir motorik. Obat golongan ini
akan menetap pada reseptor ACh (kecuali Atracurium dan Mivacurium) sampai
terjadi redistribusi, metabolisme ataupun eliminasi obat ini dari dalam tubuh, dapat
juga dengan pemberian obat yang bersifat melawan daya kerja obat ini.
Caramelawannya dengan menekan fungsi asetilkolinesterase sehingga meningkatkan
konsentrasi ACh, untuk dapat berkompetisi dalam menduduki reseptor ACh dan
menghilangkan efek blok yang ditimbulkan oleh obat golongan non-depolarisasi.4,16
Jumlah obat bebas dalam sirkulasi adalah faktor yang sangat berpengaruh
dalam menentukan jumlah obat yang dapat mencapai target organ. Begitu obat
diberikan, secara intravena, maka konsentrasinya dalam sirkulasi ditentukan oleh
jumlah dan dosis obat yang diberikan, kecepatan pemberian dan kecepatan sirkulasi.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah banyaknya obat yang diikat oleh protein
plasma, dimana semakin banyak yang terikat oleh protein plasma semakin sedikit
obat yang akan berdifusi keluar dari sirkulasi menuju tempat kerjanya di pertemuan
neuromuskular. 16
Kecepatan perpindahan obat dari sirkulasi ke pertemuan neuromuscular
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertemuan neuromuskular secara umum mendapat
perfusi yang lebih cepat dibandingkan otot secara keseluruhan. Ini terjadi karena
tidak banyaknya membran yang harus dilalui untuk mencapai tempat kerja dari obat
ini, begitu keluar dari kapiler obat langsung berada di post junctional membrane dan
langsung ke terminal motorik. Jadi hanya diperlukan penyebaran ke ruang
ekstraselular, tanpa harus melewati membran sel.4
Penurunan konsentrasi obat dalam sirkulasi terbagi dalam dua fase. Setelah
pemberian konsentrasi menurun secara cepat karena proses distibusi ke berbagai
jaringan, diikuti oleh fase lambat yang terjadi karena pengeluaran obat melalui ginjal
54
dan empedu. Karena obat pelumpuh otot sangat mudah terionisasi dalam sirkulasi
yang mana akan menjadikannya sulit untuk melewati membran sel, hal ini
membuatnya mempunyai nilai volume distribusi yang kecil. VD pada awal pemberian
adalah 80-140 ml/kg, sedangkan pada keadaan stabil (VD ss) adalah 200-450 ml/kg.
Ini menunjukkan bahwa obat pelumpuh otot tidak tersebar secara luas dalam tubuh.
Sebagai perbandingan dapat dilihat obat yang sangat larut dalam lemak (sehingga
mudah menembus membran sel) seperti thiopenthal yang mempunyai VD ss
mencapai 2 liter / kg.4,17
Pengeluaran obat pelumpuh otot dari sirkulasi terjadi melalui tiga proses.
Yang pertama adalah biotransformasi. Succinylcholine dan atracurium adalah contoh
obat yang dimetabolisme secara langsung di plasma oleh pseudocholineesterase,
pancuronium dan vecuronium dimetabolisme di hati, sedangkan +-tubocurarine dan
gallamine dikeluarkan dalam bentuk utuh. Ekskresi melalui ginjal dan empedu adalah
proses berikutnya untuk mengeluaran obat-obat tersebut dari sirkulasi dan kemudian
keluar dari dalam tubuh.16,17
55
56
C. Vecuronium
Vecuronium mempunyai rumus bangun yang menyerupai pancuronium,
namun mempunyai masa kerja yang lebih singkat, sekitar setengah kali masa kerja
pancuronium (lihat tabel 2). Metabolisme dilakukan di hati dengan ekskresi utamanya
melalui empedu dan sebagian kecil melalui urine. Ekskresi melalui urine pada 24 jam
pertama adalah 15% dari jumlah obat yang diberikan, persentase yang kecil disini
menunjukkan vecuronium lebih aman digunakan pada penderita kelainan fungsi
ginjal dibandingkan dengan pancuronium.17
Dosis awal yang dibutuhkan adalah 0,1 mg/kg dan dapat ditingkatkan sampai
0,3 mg/kg, namun dosis 0,15 mg/kg sudah cukup untuk memberikan efek blok
dengan mula kerja 1-2 menit setelah pemberian sebagai sarana intubasi trakhea.
ED95 dari obat ini adalah 50 m g/kg dan akan mempunyai mula kerja yang lebih
singkat pada anak-anak, namun akan memanjang pada bayi dan orang tua karena
adanya penurunan bersihan plasma. Masa kerjanya dengan dosis pemeliharaan 0,1
mg/kg adalah 23 menit. Tidak ditemukan adanya efek kumulasi yang dapat
memperpanjang blok otot yang ditimbulkan dengan pemberian berulang sebesar 25%
dari dosis awal, atau sebagai alternatif dapat diberikan secara terus menerus melalui
infus dengan dosis 1-2 m g/kg.16,17
D. Atracurium
Atracurium adalah obat pelumpuh otot dengan masa kerja yang relatif singkat,
ini disebabkan karena pengubahan bentuk quaternary ammonium menjadi tertiary
amine yang terjadi secara spontan dalam plasma (dikenal dengan reaksi Hoffman).
Reaksi ini meningkat bila terjadi kenaikan pH darah, misalnya pada penderita dengan
hiperventilasi. Reaksi lain yang berperan dalam penurunan konsentrasi atracurium
dalam sirkulasi adalah hidrolisis ester oleh plasma esterase. Pada kenyataannya reaksi
hidrolisis ester merupakan cara metabolisme utama dari atracurium, namun reaksi
Hoffman memberikan suatu keamanan pada pemakaian atracurium untuk penderita
dengan kelainan fungsi hati maupun ginjal.16
Atracurium diekskresi melalui empedu sekitar 55% dari dosis yang diberikan
dan sisanya dikeluarkan melalui urine setelah 7 jam sejak pertama kali diberikan.
Waktu paruhnya adalah 20 menit.11. ED95 obat ini adalah 200m g/kg dengan efek
57
blok maksimal dicapai setelah 5-6 menit.1. Dosis 0,5 mg/kg diperlukan untuk
intubasi trakhea dengan efek maksimal dicapai setelah 30-60 detik setelah pemberian
intravena. Dosis awal yang dibutuhkan untuk menimbulkan relaksasi otot adalah 0,25
mg/kg dan dilanjutkan dengan dosis pengulangan sebesar 0,1 mg/kg setiap 10-20
menit atau dengan pemberian perinfus sebanyak 5-10 m g/kg.17
BAB III
KESIMPULAN
Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada
tahun 1846 yang artinya tidak ada rasa sakit. Anestesi menurut arti kata adalah
hilangnya kesadaran rasa sakit, namun obat anestasi umum tidak hanya
menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga menghilangkan kesadaran.
Obat anestesi yang baik harus memenuhi trias anestesi yaitu, efek hipnotik, efek
analgesia dan efek relaksasi otot. Akan tetapi, dari berbagai obat anestesi hanya eter
yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini menggunakan obatobat selain eter, maka anestesi diperoleh dengan menggabungkan berbagai macam
obat.
Obat anestesi dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu anestesi lokal yang
merupakan penghilang rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran dan anestesi umum
sebagai penghilang rasa sakit yang disertai hilangnya kesadaran. Semua zat anestesi
umum menghambat susunan saraf secara bertahap, mula-mula fungsi yang kompleks
akan dihambat dan yang paling akhir adalah medula oblongata yang mengandung
pusat vasomotor dan pusat pernafasan yang vital. Guedel (1920) membagi anestesi
umum dengan eter menjadi 4 stadium, yaitu stadium analgesia, stadium delirium,
stadium pembedahan dan stadium paralisis medulla.
58
Obat anestesi dapat diberikan melalui berbagai cara seperti : inhalasi, intravena
dan pemberian lokal. Obat anestesi inhalasi terdiri dari eter, halotan, enfluran,
desfluran, isofluran, sevofluran, metoksifluran, nitous oksida dan xenon. Di Indonesia
yang paling sering digunakan adalah isofluran, sevofluran dan nitous oksida. Obat
anestesi intravena sendiri yang paling sering digunakan adalah propofol, golongan
benzodiazepine dan ketamin. Pemberian obat anestesi secara lokal juga baik
dilakukan, di Indonesia yang paling sering digunakan adalah lidokain dan bupivakain.
DAFTAR PUSTAKA
1. Katzung, Bertram G. Basic and Clinical Pharmacology 10th edition. Singapore
: Mc Graw Hill Lange. 2007. p.401-17.
2. Mangku, Gde.; Senapathi, Tjokorda Gde Agung Senaphati. Obat-obat
anestetika. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta : Indeks Jakarta.
2010. p.5-10, p23-86.
3. Barash, Paul G.; Cullen, Bruce F.; Stoelting, Robert K. Basic principles of
clinical pharmacology. Dalam Clinical Anesthesia 5 th edition. Lippincott
Williams & Wilkins. 2006. p.801-65.
4. Bevan David R, Donati Francois. Muscle relaxants and clinical monitoring.
In: Healy Thomas EJ, Cohen Peter J, editors. Wylie and Churchill-Davidsons
A Practice of Anaeshtesia. London: Edward Arnold, 1994; p147-71.
5. Dachlan R. Farmakologi obat-obat anestesia. Dalam Anestesiologi FKUI.
Editor: Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dachlan R. Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKUI, Jakarta, 1989
6. Santoso S, Hadi RD. Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Indonesia., Jakarta, 1995: p124-139
7. Latief, Said A.; Suryadi, Kartini A,; Dachlan, M. Ruswan. Petunjuk Praktis
Anestesiologi Edisi 3. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia. 2007. p.48-53.
8. Wikipedia.
Propofol.
2006
(diakses
dari
http://en.wikipedia.org/wiki/
dan
Linux.
Barbiturat.
2007.
(Diakses
dari
dan
Linux.
Ketamin.
2009.
(Diakses
dari
60