Anda di halaman 1dari 2

Rindu ( Aku dan Kau dalam Potret Jarak )

Rindu itu seperti memandang lautan luas, tak pernah mengakui batas.
rindu menjadikan padu, dalam sketsa-sketsa samar setelah menunggu menjadi
nyata. rindu juga seperti batu. hanya bisa diam, terkecuali hujan datang
menitikinya. maka tembuslah rindu. Ya, rindu juga mengerti kapan akan
terpenuhi
Di sela-sela badai, aku sangat butuh tempat untuk berteduh. Dan aku tau
itu adalah bahumu, tempat paling nyaman untuk bersandar. Meski kita berjauhan,
menjadikan kamar sebagai dinding-dinding sepi sahabat yang paling menghibur,
menunjukan kekosongan dan kediaman sebagai wujud kamu yang sedang
memandangku tidur dan mengawasi setiap lelap lelah mataku. Ah, kau merantaiku
bersama jarak yang enggan berbagi kedekatannya. Aku hanya bisa mendoakanmu
bersama mimpi-mimpi yang menjadikan kita satu, menjadikan kita bersama
terpaut dalam kedamaian yang terpisah oleh jarak. Bahkan kesepakatan kita
adalah bahagia, menjaga jarak sebagai batas kesetiaan.
Malam ini hujan tepat pukul 12 malam. Aku menjadi semakin terbius akan
kerinduan-kerinduan ini. Aku sakit, bukan sakit karena penyakit. Aku
merinduimu, sungguh aku merinduimu!! sebab aku tau, Merindukanmu adalah
caraku berdoa dengan tulus tentang kita, dengan semerbak kejauhan yang
menjadikan kita satu, rindu.
Jari-jari kita bersatu dalam rindu, kemudian kita letakkan tepat di hadapan
bulan. mengapa? sebab kita mengerti saksi bisu memberikan restu tanpa bicara.
Itu ketika kita dekat. Ketika kita saling memeluk dengan damai, ketika kita
memadu cinta dengan sederhana dibawah rinai-rinai cahaya, ketika kita samasama mengikat janji bahwa untuk purnama selanjutnya kita adalah sepasang
kekasih yang paling berbahagia, sepasang kekasih yang saling memikirkan sebab
kita selalu menemui alasan untuk kekhawatiran dan sebab alasan itu tumpahah
rindu diatas kanvas kehidupan

Di bawah butir-butir hujan kita mengakui semestinya kesederhanaaan


itulah yang menghidupkan kebahagiaan, bukan hiruk-pikuk kemewahan. Justru
kesederhanaan yang kita jadikan sebagai tolak ukur hubungan. Toh, rindu juga
mengerti kapan kita akan saling memeluk kembali. Bukankah waktu menjadikan
dirinya berbatas untuk sesuatu yang kita sebut rindu.
Hingga tiba pada suatu saat rindu itu akan terpenuhi, dimana kau dan aku
menemukan selongsong peluru perih yang telah lama ditembakkan oleh jarak.
Tidak apa, jika tembakan itu meletus, biarlah pelurunya menembus kulit. Toh
aku masih punya rasa pada hingga pada waktunya kita akan berjibaku memeluk
atas nama cinta. Bukankah kesepakatan kita adalah bahagia? Biarlah jarak
menjadi pemisah sementara meski terhitung dalam waktu yang lama.

Obi Samhudi
17 Mei 2013

Anda mungkin juga menyukai