Anda di halaman 1dari 7

TUGAS BAHASA INDONESIA

SINOPSIS NOVEL
SUKRENI GADIS BALI
Karya : I Gusti Nyoman Panji Tisna
Penerbit :

KELOMPOK IV
KELAS IX C
Ketua
Iis Kholisatunnisa
Anggota
Nining HK
Nadia Permata Sari
Rosalia Indah
Irfan Maulana

MTs AL FALAH CIKAUM


2015

SINOPSIS NOVEL SUKRENI GADIS BALI KARYA A.A. PANDJI TISNA


Disebutkan Men Negara adalah seorang wanita yang berasal dari Karangasem, dia adalah anak
orang kaya. Ia datang ke Buleleng hanya bermodalkan pakaian yang melekat di tubuhnya. Ia
meninggalkan daerah itu karena suatu persoalan dengan suaminya. Pada awalnya Man Negara
tinggal menumpang di rumah seorang haji yang mempunyai tanah dan kebun yang luas. Namun,
karena Men Negara rajin bekerja dan hemat, ia kemudian dapat memiliki kebun sendiri.
Sebenarnya di Karangasem Man Negeri memiliki seorang anak yang ia tinggalkan. Di tempat
barunya ia melahirkan dua orang anak bernama I Negeri dan Ni Negari yang berparas cantik itu
dapat menarik para pekerja pemetik kelapa untuk singgal di warungya. Disamping itu, Men
Negara pun pandai memasak sehingga masakannya selalu disukai oleh para pekerja itu. Di antara
mereka yang datang ke warung Men Negara adalah I Gde Swamba, seorang pemilik kebun
kelapa itu. I Nagari yang jatuh hati kepada I Gde Swamba berharap jika suatu saat nanti bisa
menikah dengan pria itu.
Suatu hari datanglah seorang pria bernama I Gusti Made Tusan dia adalah seorang menteri polisi.
ia disegani dan ditakuti penduduk. Banyak sudah kejahatan yang berhasil ditumpasnya. Ini
berkat kerjasamanya dengan seorang mata-mata bernama I Made Aseman.
Suatu hari Men Negara ketahuan oleh I Made Aseman telah menyembelih seekor babi dan
dilaporkan kepada I Gusti Made Tusan. I Made Aseman berharap kalau Man Negeri ditangkap
dan di adili agar kedai iparnya dapat laku dan mengalahkan kedai Men Negara. Namun, hal itu
tidak terjadi karena I Gusti Made Tusan melihat Ni Negari dan terpikat oleh tutur kata dan
senyum Ni Negeri.
Suatu hari datanglah seorang gadis bernama Luh Sukreni ke kedai Men Negara untuk mencari I
Gde Swamba untuk urusan sengketa warisan dengan kakaknya, I Sangia yang telah masuk
agama kristen. Menurut adat dan agama Bali, jika seorang anak beralih agama lain, baginya tak
ada hak untuk menerima harta warisan.
Kedatangan Luh Sukreni membuat Men Negara dan Ni Negari cemburu dan iri hati. Menteri
polisi itu tampak tertarik pada Sukreni dan berniat menjadikan Ni Sukrenis sebagai wanita
simpanannya, mengetahui hal itu Men Negara mendapatkan siasat jahat. Suatu hari ketika Luh
Sukreni datang lagi Men Negara dan Ni Negari menerimanya dengan ramah, bahkan
mengajaknya untuk menginap dan di terima oleh luh Sukreni. Saat itulah Men Negara
menjalankan siasat jahatnya. Pada malam harinya, Luh Sukreni diperkosa oleh I Gusti Made
Tusan. Terima kasih Men Negara, atas pertolonganmu itu, hampir-hampir tak berhasil tetapi.
Begitulah I Gusti Made Tusan menyatakan kesenangannya atas siasat busuk Men Negara. Sejak
kejadian itu Luh Sukreni pergi entah kemana.
Namun betapa terkejutnya Men Negara ketika dia mengetahui kenyataan sebenarnya bahwa Luh
Sukreni itu adalah anak kandungnya. I Sudiana teman seperjalanan Luh Sukreni, mengatakan
bahwa Ni Sukreni adalah anak kandung Men Negara sendiri. Ayah Ni Sukreni, I Nyoman Raka
telah mengganti nama Men Widi menjadi Ni Sukreni. Perubahan nama itu dimaksudkan agar Ni
Sukreni tak dapat diketahui lagi oleh ibunya. Mengetahui hal itu membuat Man Negara sangat
menyesali perbuatannya.
Sukreni tidak kembali ke kampungnya karena dia merasa malu dengan apa yang telah terjadi
pada dirinya. Ia mengembara entah kemana. Namun, Pan Gumiarning, salah seorang sahabat
ayahnya, mau menerima Ni Sukreni untuk tinggal di rumahnya. Tak lama kemudian. Ni Sukreni
melahirkan seorang anak dari hasil perbuatan jahat I Gusti Made Tusan. Anak itu diberi nama I
Gustam.
Tidak disangka takdir mempertemukan kembali Sukreni dengan I Gde Swamba, pertemuan itu
berkat pertolongan I Made Aseman yang pada waktu itu sedang menjalani hukuman di Singaraja.

I Gde Swamba berjanji akan membiayai kehidupan I Gustam meski anak itu bukan anak
kandungnya.
I Gustam tumbuh menjadi seorang pemuda yang memiliki perangai dan tabiat kasar, bahkan dia
berani memukul ibunya. Setelah dewasa, ia mencuri sampai akhirnya masuk tahanan polisi.
Didalam tahanan, I Gustam justru banyak memperoleh pelajaran cara merampok dari I Sintung,
salah seorang perampok dan penjahat berat yang sudah terkenal keganasannya, ahli dalam hal
perampokan dan kejahatan.
Setelah dirinya bebas dari penjara I Gustam membentuk sebuah kelompok dan I Sintung menjadi
anak buahnya. Pada suatu malam, kelompok yang dikepalai I Gustam melaksanakan aksi
perampokan di warung Men Negara. Namun rencana itu sudah diketahui oleh aparat keamanan.
Perampokan di Men Negara mendapat perlawanan dari polisi yang dipimpin oleh I Gusti Made
Tusan. I Gusti Made Tusan sendiri tidak mengenal bahwa musuh yang sedang dihadapinya
adalah anaknya sendiri. Maka ketika I Gustam hampir putus asa karena terkena kelewang
ayahnya, I Gusti Made Tusan baru mengetahui bahwa yang terbunuh itu adalah anaknya sendiri,
setelah ia mendengar teriakan I Made Aseman. Akhirnya ayah dan anak itupun tersungkur dan
mati!. Sementara itu Men Negara berubah menjadi orang gila yang berkeliaran di kampung dan
kedainya.
TEMA
Tema yang diangkat dalam novel Sukreni Gadis Bali adalah perempuan dan hukum karma.
Sosok yang lebih diangkat dalam novel ini adalah perempuan. Perempuan-perempuan Bali pada
masa itu masih dipandang amat rendah terutama oleh kalangan bangsawan. Para perempuan Bali
pada masa itu lebih sering dianggap sebagai pemuas nafsu semata, terlebih bila dirinya berparas
cantik.
UNSUR RELIGI
Unsur agama yang disajikan dalam novel ini lebih menitikberatkan pada hukum karma yang
didapat oleh manusia atas segala perbuatannya. Segala perbuatan manusia yang baik atau yang
buruk akan mendapat balasan dari Tuhan. Bagi kepercayaan masyarakat Bali yang berperan
dalam memberi balasan atas apa yang manusia lakukan adalah Hyang Widi Wasa.
Unsur keagamaan dalam hal ini hukum karma amat terasa dalam novel Sukreni Gadis Bali ini.
Bahkan sang penulis, A. A. Pandji Tisna seakan menyajikannya secara beruntun dalam novel ini
Bermula dari Men Negara yang pergi dari rumah meninggalkan suami dan anaknya. Atas
apa yang dirinya perbuat membuat hidupnya mengalami kesulitan secara ekonomi.
Men Negara yang bersekongkol dengan I Gusti Made Tusan demi harta. Berdampak pada
hamilnya Sukreni. Namun ternyata Sukreni merupakan anak dari Men Negara sendiri yang
dahulu ia tinggalkan.. Atas perbuatannya Men Negara menjadi gila.
Hamilnya Sukreni membuat dirinya malu kembali ke desa. Kemudian dia melahirkan
seorang anak laki-laki yang diberi nama I Gustam. Namun sayang, perilaku anaknya tersebut
jauh dari kata baik.
I Gustam malah menjadi seorang yang jahat, bahkan hendak merampok kedai Men
Negara. Sayang apa yang direncanakan tidak berhasil dan harus berakhir di tangan I Gusti Made
Tusan yang merupakan ayahnya sendiri.
I Gusti Made Tusan baru mengetahui bahwa yang terbunuh itu adalah anaknya sendiri,
setelah ia mendengar teriakan I Made Aseman. Akhirnya ayah dan anak itupun tersungkur dan
mati
UNSUR DIDAKTIS
Dalam novel Sukreni Gadis Bali ini terdapat beberapa aspek yang memang memengaruhi
kehidupan manusia setiap harinya, baik dari adat istiadat suatu desa maupun didikan yang
membuat adat istiadat itu ada. Dalam novel Sukreni Gadis Bali ini tidak secara spesifik
menceritakan Sukreni yang merupakan judul bukunya sendiri melainkan dalam cerita novel ini
lebih banyak menceritakan peranan moral seorang ibu yang dalam menjaga kehormatan anaknya

dan dirinya sendiri. Men Negara, seorang tokoh dalam novel tersebut yang kentara sikap dan
sifatnya serakah. Ia terlalu tamak akan kekuasaan dan harta benda yang membuat ia lupa bahwa
ia mempunyai seorang anak.
Dalam novel ini juga terdapat pesan moral terhadap pembaca yang apabila diklasifikasikan
sebagai berikut:
Pendidikan Moral Seorang Ibu
Pendidikan Moral adalah sebuah ajaran tentang baik buruknya suatu perbuatan yang diterima
oleh seseorang. Apabila dikaitkan dengan cerita dalam novel ada kaitannya seperti pendidikan
yang ibu berikan kepada anaknya. Melihat Men Negara membesarkan anaknya Ni Negari dengan
cara yang kurang berpendidikan yang membuat Ni Negari bergaul dengan laki-laki yang
kebanyakan hanya menikmati kecantikan saja. Sebagai seorang ibu seharusnya tidak menjual
anaknya sendiri demi harta kekayaan sendiri seperti perckapan antara Men Negara dan Gusti
Made Tusan, ...baik begitu, bukan? Dengan jalan demikian tidak kentara, bahwa engkau sudah
tahu niat anakmu hendak lari. Berapa kau katakan mas kawinnya? Seratus lima puluh ribu?
Baik, nanti kubayar uang itu, tunai, (1986: 52). Dari perkataan Gusti Made Tusan sudah
tersiratkan bahwa seorang anak gadis secara tidak langsung diperdagangkan oleh ibunya sendiri
untuk menyejahterakan kehidupan pribadinya.
Dalam novel ini disebutkan bahwa Sukreni adalah anak dari Men Negara dari suami pertamanya.
Menanggapi permasalahan ini, Men Negara tidak terlalu khawatir meskipun ia telah membuat
hancur kehidupan anaknya sendiri karena yang ada dalam pikirannya hanyalah harta dan uang.
Bahkan sampai akhirnya rumah, kedai, dan hartanya lenyap terbakar Men Negara tetap merasa
tidak bersalah pada anaknya. Sampai pada penghujung cerita Men Negara gila karena kehilangan
kekayaannya bukan gila karena kehilangan anaknya yang ia buat menderita.
Pergaulan yang Tidak Sehat
Berbicara tentang pergaulan dalam tersebut pun memang terbilang pergaulan antarremaja terlalu
dibebaskan tanpa pantauan orang tua. Ni Negari adalah korban dari pergaulan yang membuat ia
tega berbuat jahat pada Sukreni karena iri hati pada kecantikannya. Pembentukan karakter Ni
Negari adalah didikan dari ibunya yang ia terima dan ia tahu betul akan batas kecantikannya.
Karena orang lain yang menilai bukan dirinya sendiri. Pujian dari orang-orang yang membuat Ni
Negari tegap menghadapi para laki-laki muda yang mendatanginya. Meskipun dari interaksi
pergaulan Ni Negari tidak pantas berlaku seperti itu mengingat usianya yang masih sangat belia.
Pergaulan antara anak dan ibu pun bagaikan majikan dan pegawainya. Sampai-sampai anak
seperti sapi perah bagi ibunya. Meskipun seperti itu, novel ini tetap mempunyai kaitan sebab
akibat yang terlihat dari awal. Kesalahan dari seorang ibu yang harus dibayar oleh seorang anak
dan begitupun sebaliknya seperti Men Negara dan Sukreni dan Sukreni dan anaknya, Gustam.
Pergaulan seorang ibu yang menyalahgunakan statusnya sebagai ibu yang membuat ia salah
melihat orang baik yang ada dihadapannya.
Pada intinya, novel ini mengajarkan tentang kebaikan. Karena memperlihatkan baik dan buruk,
baik menjadi seorang anak maupun menjadi ibu. Pendidikan yang salah akan membuahkan hasil
yang tidak baik. Peranan seorang ibu bukan hanya sebagai seorang guru saja, akan tetapi harus
menjadi seorang teman bagi anak agar anak tidak terjerumus pada hal-hal yang buruk atau
memiliki sifat yang buruk. Maka dari itu, sebagai manusia jangan pernah mendewakan harta
kekayaan yang sifatnya hanya sementara.
UNSUR BUDAYA LOKAL/ ADAT ISTIADAT
Setiap karya sastra selalu mencerminkan kehidupan yang telah dialami oleh setiap pengarang
atau penulis. Baik itu pendidikan, situasi sosial, adat dan kebudayaan, pengalaman pribadi, dan
lain sebagainya. Menurut Grebsitein (1968), karya sastra dapat mencerminkan perkembangan
sosiologis atau menunjukan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural.
Begitu pula dalam novel Karya A.A. Pandji Tisna yang berjudul Sukreni Gadis Bali. Dalam
novelnya A.A. Pandji Tisna memasukkan beberapa adat istiadat masyarakat Bali pada zaman
dulu. Selain unsur budaya A.A. Pandji Tisna juga menggambarkan kondisi sosial.

A.A. Pandji Tisna menggambarkan kondisi sosial di masyarakat Bali ketika itu adalah
masyarakat yang kejam dan keras. Persaingan yang sangat keras itu membuat tokoh Men Negari
melakukan atau menghalalkan segala cara agar apa yang diinginkannya tercapai.
Sementara dalam unsur adat istiadat yang dimasukkan atau dituangkan oleh A.A. Pandji Tisna di
antaranya adalah dilarang menyembelih hewan seperti babi, sapi, dan kerbau tanpa ijin. Seperti
dalam kutipan berikut: Men Negara kedapatan sedang menyembelih babi, Ratu,, (1986: 25)
kata Made Aseman. Dan, ...Tentu babi itu engkau potong dengan tidak minta surat keterangan
dahulu Men Nagara?, (1986: 26) kata menteri polisi dengan suara yang menakutkan.
Selain hal itu adat istiadat lainnya yang dituangkan adalah menurut adat dan agama Bali, jika
seorang anak beralih ke agama lain, baginya tak ada hak untuk menerima harta warisan. Berikut
kutipan dalam novel: Bahwa Petrus Sudana, saudara hamba, tidak boleh menerima waris orang
tua, jadi waris orang tua hamba. Sebabnya pertama karena yang meninggalkan waris iru belum
diaben, dan karena itu ahli waris belum boleh membagi-bagikan pusakanya. Kedua, karena
Petrus Sudana menjadi Kristen, sudah meninggalkan agamanya yang asli. (1986: 45)
UNSUR KASIH SAYANG/ KEMANUSIAAN
Novel Sukreni Gadis Bali yaitu novel karangan A.A. Pandi Tisna. Novel ini menceritakan
kehidupan pada saat lampau wanita Bali berada dalam derajat yang rendah, sehingga dapat
dipermainkan orang, terutama oleh kaum bangsawan hidung belang. Dulu khususnya di Bali, dan
tidak lepas akan nilai strata sosial yang ada, saat itu.pada bagian pertama cerita tersebut,
menceritakan situasi masyarakat dan kedai milik seorang wanita bernama Men Negara yang
digambarkan sebagai wanita yang tidak baik dan sangat mendambakan harta dan kekayaan
dengan jalan tidak jujur. Karena daya tarik putrinya yang hitam manis warung tersebut menjadi
ramai dikunjungi para pemuda yang menaksirnya. Pada suatu hari Men Negara kedatangan tamu
bernama Sukreni yang disertai pengantarnya. Sukreni datang ke kedai tersebut mencari
seseorang bernama I da Gde Swamba, seorang pemuda pengawas kebun kelapa, Sukreni adalah
seorang gadis yang digambarkan sangat cantik.
Ni Luh Sukreni adalah seorang gadis berparas cantik. Dia adalah anak yang dijebak dalam
permainan ibunya, Men Negara. Men Negara tidak mengetahui bahwa gadis yang ia jebak adalah
putri kandung hasil pernikahan dengan suami pertamanya , I Nyoman Raka. Kasih sayang
seorang ibu kepada ananknya sungguh tidak ada di dalam novel Sukreni Gadis Bali, Ibu yang
seharusnya melindungi anaknya dan menjadi tempat perlindungan untuk anaknya, tapi, di sini
ibunya sendirilah yang menjadikan sukreni yang menderita, akibar harta yang diinginkan oleh
ibu kandungnya. Ibu sendirinya yang menjadi awal penderitan dari sukreni putri kandungnya
sendiri. Men Negara yang tidak mengetahui bahwa gadis yang telah ia celakai adalah anak
kandungnya sendiri. Ni Luh sukreni dulu bernama Ni Widi yang kemudian diganti oleh
bapaknya.Walaupun I Negara merasa bahagia dengan adanya kabar itu, namun Men Negara
sangat terkejut dan menyesal. Sukreni melarikan diri entah kemana. Ada sebuah penyesalan yang
Men Negara rasakan pada batin.
Sukreni yang pada awalnya ia mencari Ida Gde Swamba, Sukreni dan Ida Gde Swamba yang
saling menyukai. ketika Ida Gde Swamba yang sangat mencintainya sukreni menjadi sedih
karena mendengar berita tersebut. Berbulan-bulan Ida Gde berusaha mencari sukreni. Suatu
ketika Ida Gde bertemu dengan I Aseman, mata-mata menteri polisi bejat itu. Dari I Aseman ia
mendapatkan informasi tentang sukreni yang tinggal di rumah saudaranya. Ketika Ida Gde
Swamba datang sukreni baru saja melahirkan anak hasil perbuatan keji I Made Tusan yang diberi
nama I Gustam. Karena ketulusan cinta Ida Gde, ia berniat untuk menanggung biaya hidup
sukreni dan anaknya. Seperti pada kutipan tersebut : apa jua yang kautangiskan, Sukreni?
Anak itu tidak bersalah sedikit jua, sama dengan engkau. Sebab itu dia harus dikasihi, sebagai
engkau jua, kata ida sambil mengurut-urut rambut perempuan itu. (1986: 91)
Dari kutipan di atas sangat tergambarkan jelas bahwa Ida Gde mencintai sukreni apa adanya dan
sangat tulus mencintai gadis tersebut, walaupun Sukreni sudah diperkosa oleh ayahnya sendiri.
Cinta yang tulus tidak akan memandang dari sisi luarnya, seperti Ida Gde yang menerima
keadaan Sukreni apa adanya.
Setiap perbuatan yang telah dilakukan pasti akan ada resikonya, termasuk kepada Men Negara.
Semua yang jahat dan bersalah mendapatkan hukuman dari Hyang Widi Wasa. Men Negara yang
merasa berdosa karena ternyata Sukreni yang dicelakakannya adalah anaknya sendiri dimana
masa silam ditinggalkannya di kampung halamannya, akhirnya Men Negara menjadi gila.

Semua perbuatan akan di balaskan oleh hyang Widi tanpa kita melakukan, Hyang Widi (tuhan)
yang akan membalasnya. Tuhan sangat sayang pada umat-Nya, seperti pada Men Negara. Seperti
pada kutipan di bawah ini.
Di bawah pohon kelapa kelihatan Men Negara dan NI negari serta keluarganya yang lain-lain
duduk merenungi api yang telah hampir padam. Ketika itu terasa oleh mereka itu, bahwa
mereka telah kena hukuman Widi. Tuhannya. Terbayang di mata Men Negara rupa Ni Luh
Sukreni, anaknya. Yang telah dicelakannya. Asap yang mengepul naik dari unggunan bara
rumahnya dan hartan bendanya itu, tampak gelak sebagai orang melambai-lambai dia sambil
tertawa gelak dan menyeringi dengan dahsyatnya. (1986: 106)
Men Negara memekik, berlari, lalu jatuh terguling-tak ingat kagi akan dirinya. (1986: 106)
PENGGUNAAN BAHASA
Sukreni Gadis Bali merupakan salah satu dari beberapa novel yang dikarang oleh A.A. Pandji
Tisna. Novel ini telah mengalami berulang kali pencetakan sejak pencetakan pertamanya pada
tahun 1936. Sukreni Gadis Bali sendiri merupakan karya A.A. Pandji Tisna yang kedua setelah
karyanya yang berjudul Ni Rawit Centi Penjual Orang yang lebih dulu tercetak pada tahun 1935
oleh Balai Pustaka (satu tahun sebelum novel keduanya dicetak).
Berdasarkan tahun cetakan pertamanya yang dicetak pada tahun sebelum kemerdekaan Indonesia
dan sebelum penetapan EYD, penulisan novel ini pun tentu menggunakan ejaan lama. Hanya
saja dalam pencetakan ulangnya, gaya bahasa tentunya menyesuaikan dengan keadaan
zamannya.
Pada penganalisisan gaya bahasa dalam novel Sukreni Gadis Bali kali ini menggunakan novel
yang telah dicetak ulang untuk ke-26 kalinya (2013). Gaya bahasanya agaknya tidak terlalu
banyak diubah, hanya saja dalam penggunaan EYD, tulisan dalam novel sudah menggunakan
ejaan yang telah disempurnakan; tidak lagi menggunakan ejaan lama.
Penggunaan bahasa yang terdapat di dalam novel cenderung mengulang kata. Di antaranya
terdapat dalam petikan, kadang-kadang air hujan bagai bendungan di sebelah-menyebelah atau
di tengah jalan... (2013:1), yang tersurat ketika bagian awal cerita menjelaskan latar tempat
cerita tersebut. Kemudian engkau bangkit-bangkit pula, (2013: 68), jawaban yang diutarakan
Men Negara kepada I Negara ketika I Negara menanyakan masa lalu Men Negara. Lalu ada pula
kalimat, duduk tiga orang dengan bersembunyi di balik pohon-pohonan, (2013: 97), bagian
kalimat ini untuk mengungkapkan rencana pencurian I Gustam dan kawan-kawannya. Kemudian
kata-kata lainnya seperti tinju-meninju, dorong-mendorong, luas-luas, tiap-tiap pun terdapat
dalam novel Sukreni Gadis Bali ini.
Penggunaan kata juga bergantung pada latar belakang budaya dalam cerita. Sukreni Gadis Bali
merupakan sebuah karya yang diciptakan oleh orang Bali dengan latar tempat, waktu, dan
suasana Bali yang terbilang kental. Oleh karena itu, penggunaan bahasa pun ikut terpengaruh
dari latar belakang tersebut. Contoh penggunaan kata atau bahasa yang menunjukkan latar
belakang kebudayaan Bali tersebut adalah, kelian (kepala kampung) (2013: 4), sanghiang
surya (matahari) (2013: 5), bayuan (tuak yang telah bermalam didiamkan semalaman)
(2013: 7), dll... seperti gerubug (penyekit sampar), bersanteng (kemban kain dada), Widi (Tuhan
orang Bali), diaben (dibakar dengan upacara), dsb...
Penggunaan gaya bahasa juga dapat dikaitkan dengan cara penceritaan A.A. Pandji Tisna dalam
novel. Salah satu contohnya adalah penjelasan mengenai identitas Men Negara yang baru
dieksplisitkan setelah cerita maju (bukan di awal cerita). Pengeksplisitan itu terdapat dalam
kalimat, Men Negara berasal dari Karangasem, anak seorang kaya di negerinya. Ia datang ke
Buleleng hanya dengan pakaian yang lekat pada badannya saja..., (2013: 7) kurang lebih satu
paragraf itu mengungkapkan siapa Men Negara dan bagaimana latar belakangnya hingga ia dapat
diceritakan sebagai seorang Ibu pada bagian awal cerita.
Sebagai penegasan bahwa gaya bahasa yang digunakan masih menggunakan gaya bahasa EYTD,
berikut merupakan sebuah paragraf dalam novel Sukreni Gadis Bali:
Hari masih amat pagi. Jalan kecil itu sebagai sungai rupanya, karena malam hari turun hujan
dengan lebatnya. Oleh karena itu tak ada yang lalu di situ, sepi. Pohon kelapa sebagai kedinginan
rupanya, serta batangnya masih basah karena air hujan itu. Walaupun demikian, asap kedai itu
mengepul jua ke udara, dan Men Negara memanggil-manggil dengan sibuknya. Seorang dua
orang tampak masuk dari pintu bambu itu, hendak minum kopi. (2013: 2)

Di antara banyak penggunaan gaya bahasa lama, salah satunya adalah penggunaan kata
sebagai yang diartikan sama dengan seperti.

KESIMPULAN

Tema Sukreni Gadis Bali adalah perermpuan dan hukum karma.


Unsur religi yang terdapat dalam novel ini adalah lebih mengarah pada adanya hukum
karma.
Unsur didaktis dalam novel ini terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan moral seorang Ibu
dan pergaulan yang tidak sehat.
Unsur budaya lokal/ adat istiadat dalam novel ini di antaranya mengenai budaya dan adat
istiadat Bali, misalnya dalam hal pelarangan penyembelihan babi tanpa izin dan apabila
seseorang meninggalkan agamanya atau berpindah agama, maka orang itu tidak akan
mendapatkan hak waris.
Unsur kasih sayang/ kemanusiaan dalam novel ini menyangkut cinta yang tulus tidak
melihat dari bagaimana masa lalu orang yang dicintai, melainkan kesediaan untuk
menerima pasangan apa adanya.
Penggunaan bahasa dalam novel ini cenderung menggunakan gaya bahasa lama, namun
ejaannya telah disempurnakan.

Anda mungkin juga menyukai