Anda di halaman 1dari 49

SEMINAR

PERAN ELEMEN ARSITEKTUR PADA TATA


RUANG DALAM MUSEUM DALAM MEWADAHI
FUNGSI PAMERAN

Oleh :
NAMA

: MUHAMMAD IQBAL RAISSILKI

NIM

: 21020113140156

JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2016

ABSTRAK
PERAN ELEMEN ARSITEKTUR PADA TATA RUANG DALAM MUSEUM
RANGGAWARSITA DALAM MEWADAHI FUNGSI PAMERAN
Museum di Indonesia belum dapat mewadahi fungsi pameran dengan baik.
Hal ini membuat masyarakat tidak merasakan manfaat dari fungsi museum itu
sendiri. Akibatnya, sejak tahun 2006 museum di Indonesia mengalami penurunan
jumlah pengunjung. Penelitian ini bermaksud menjelaskan peran utama dari
bangunan museum dalam fungsi tersebut. Penjelasan dapat digunakan sebagai
dasar pemikiran untuk menentukan langkah perbaikan kualitas fungsi museum
yang selanjutnya.
Ruang pamer bangunan museum merupakan aspek fisik dalam fungsi
pameran. Ruang ini disusun oleh elemen arsitektur yang berekspresi sedemikian
rupa sehingga mengadakan potensi terjadinya gerak pengunjung dalam program
tersebut. Pada akhirnya potensi inilah yang paling awal memungkinkan
pengunjung untuk beraktivitas sehingga memperoleh manfaat dari kunjungannya
ke museum.
Penjelasan mengenai hal ini dipaparkan melalui studi teoritis. Selanjutnya,
penerapan teori tersebut dijabarkan lebih lanjut melalui studi kasus fungsi
Museum Ranggawarsita. Museum ini dipilih sebagai kasus studi selain karena
memenuhi kriteria teknis penelitian, juga karena statusnya yang merupakan
museum negara.
Pada akhirnya penelitian ini menyimpulkan bahwa ekspresi yang
dibawakan oleh elemen arsitektur penyusun ruang pamer merupakan faktor utama
yang berperan dalam program pameran. Dengan merancang ekspresi elemen
arsitektur penyusun ruang pamer dengan tepat, museum dapat dikatakan telah
menjalankan peran fungsinya dengan tepat pula. Dalam hal ini, ruang pamer
Museum Ranggawarsita sebagai aspek fisik program pameran dinilai belum
berperan dengan maksimal.
Kata Kunci

: ekspresi elemen arsitektur penyusun ruang, ruang pamer, fungsi


pameran, museum, potensi gerak

vi

ABSTRACT
THE ROLE OF
ARCHITECTURAL
FUNCTION

MUSEUM NASIONALS EXHIBITION ROOM


ELEMENTS IN CONTAINING EXHIBITION

Museums in Indonesia have not yet been able to held exhibition function.
This condition makes people could not feel the benefit of visiting the museums. As
a result, since 2006 museums in Indonesia has experienced a decrease in the
number of museum visitors. This research means to explain the basic role of the
museum building. The explanation could be a foundation for further improvement
measures.
Museum exhibition room is the physical aspect in exhibition function. This
room is composed of architectural elements that deliver expressions which could
influence visitors movements in exhibition program. In the end, this potential is
the one that enable the visitors do their activity, for them to get benefits of visiting
museum.
This explanation is delivered through a theoretical study. Furthermore, it
is also explained through a case study in Museum Ranggawarsita. This museum is
selected to be the study case not only because it meets the technical criteria of the
research, but also because of its status as national museum.
As a conclusion, it is noted that expression of architectural elements plays
role in exhibition function. By designing this architectural elements expression
appropriately, museum can be said to have exercised its role in a correct way. In
this case, Museum Ranggawarsita exhibition room is considered has not played
its role perfectly.
Key words : expression of architectural elements composer of space,
exhibition room, museum, exhibition function , potential movements

vii

KATA PENGANTAR
Memasuki perkuliahan arsitektur, saya diperkenalkan dengan pertanyaan
mengenai mana yang bagus?, mana yang buruk?, dan mengapa?. Pertanyaanpertanyaan tersebut melekat dalam pikiran saya sepanjang saya mendesain di
perkuliahan Arsitektur ini. Pada akhirnya saya selalu mencoba menjawab semua
pertanyaan yang mungkin muncul di sepanjang atau setelah proses mendesain
tersebut. Pada saat itu saya dapat menyebutkan kualitas-kualitas ruang yang
melogikakan desain saya sehingga pertanyaan-pertanyaan mengapa ini disebut
bagus? seakan terjawab. Namun pada tahun tahun terakhir perkuliahan
arsitektur ini saya menyadari bahwa sesungguhnya pertanyaan tersebut belum
selesai. Jika memang semua kualitas tersebut menjelaskan mengapa suatu desain
dapat disebut bagus atau buruk maka pertanyaannya, dari mana asal kualitas
ruang yang saya sebut itu? Apakah fungsi suatu arsitektur dapat terjamin
kualitasnya hanya karena si arsitek dapat menjelaskan bahwa kualitas suatu ruang
adalah berat dan kualitas inilah yang dibutuhkan orang? Apakah hal itu lantas
memastikan bahwa semua orang merasakan yang sama? Bagaimanakah arsitek
sendiri dapat menyatakan kualitas tersebut?
Tipe bangunan yang saya pelajari sebagai bahan studi kali ini adalah
museum. Tipe bangunan ini saya pilih secara pribadi atas dasar keprihatinan saya
terhadap sebuah kondisi negatif yang sedang dihadapinya. Diharapkan tugas
seminar ini, selain dapat menjawab pertanyaan pribadi saya, juga dapat berperan
dalam mengatasi masalah yang sedang dialaminya tersebut.

viii
viii

Pada akhirnya, penelitian ini tidak saya tujukan untuk menjadi penelitian
terakhir saya dalam ranah ilmu ini sendiri. Dengan demikian, jawaban-jawaban
yang saya paparkan pada penelitian ini mungkin belum dapat secara mendalam
menjawab kegelisahan saya sendiri tersebut. Adapun lebih dari itu, penelitian
yang pasti tidak sempurna ini menjadi langkah awal dari pembelajaran saya di
ranah ilmu Arsitektur selanjutnya.
Di atas semuanya, saya ingin menyampaikan terimakasih kepada Tuhan
Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tugas seminar ini
dapat terselesaikan. Akhir kata, semoga tugas seminar ini dapat berguna pada dan
bermanfaat bagi pihak-pihak yang menggunakannya.

ix

DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL
ABSTRAK .......................................................................................................

vi

ABSTRACT ......................................................................................................

vii

KATA PENGANTAR..................................................................................... viii


DAFTAR ISI....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang .................................................................................

1.2

Perumusan Masalah..........................................................................

1.3

Tujuan...............................................................................................

1.4

Manfaat.............................................................................................

1.5

Metode ..............................................................................................

1.6

Asumsi ..............................................................................................

1.7

Sistematika Penulisan .......................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1

Fungsi Museum ................................................................................

2.2

Peran Elemen Arsitektur Penyusun Ruang Pamer ...........................

10

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Metode Pembahasan dan Pencarian Data ..........................................
3.1.1 Studi Literatur ........................................................................
3.1.2. Survey Lapangan ....................................................................
3.2 Metode Deskriptif Kuantatif ..............................................................
BAB IV ANALISIS
2.3 Cara Elemen Arsitektur Penyusun Ruang Pamer Berperan .............

15

2.3.1 Elemen Lantai ........................................................................

19

2.3.2 Elemen Dinding .....................................................................

23

2.3.3 Elemen Atap...........................................................................

26

15
15
15
16

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan Penelitian......................................................................

31

5.2. Saran .................................................................................................

33

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Berdasarkan data,

Indonesia mengalami penurunan jumlah pengunjung

museum hingga sebesar 8,5%

sejak tahun 2006. Departemen Kebudayaan,

Pemuda, Pariwisata dan Olahraga (KPPO) Republik Indonesia menanggapi


kondisi ini dengan mencanangkan program Tahun Kunjung Museum (TKM) pada
3

awal tahun 2010. Program tersebut hingga saat ini belum membawa perubahan
yang signifikan. Program belum dapat meningkatkan angka kunjungan kembali
yang diharapkan dapat dilakukan oleh pengunjung.

Gambar 1.1 Statistik Jumlah Pengunjung Museum Indonesia


Sumber: Pusat Pengelolaan Data dan Sistem Jaringan, Depbudpar, 2009

Teori mengenai pengunjung museum menjelaskan bahwa kondisi ini dapat


terjadi karena pengunjung tidak merasakan manfaat dari kunjungan yang
4

dilakukannya. Teori tersebut mengatakan bahwa tidak tersampaikannya manfaat


ini dapat terjadi karena museum sendiri belum dapat membawakan fungsinya

Data dan Informasi Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, Jumlah


Pengunjung Museum di Indonesia Pusat Pengelolaan Data dan Sistem Jaringan,
Depbudpar 2009, http://www.kppo.bappenas.go.id/preview/225 (diakses: 26 September
2011).
Keadaan ini sangat berlawanan dengan keadaan yang terjadi di beberapa negara tetangga:
Malaysia mengalami kenaikan jumlah pengunjung hingga 40% dan Singapura mengalami
kenaikan jumlah pnegunjung hingga 100%. (National Higher Education Research
Institute,
2010)
Program ini mewajibkan sekolah-sekolah memasukkan kegiatan kunjungan museum ke dalam
kurikulumnya. Pada praktiknya program ini perlu diimbangi dengan kesiapan dari semua pihak
yang terlibat, termasuk di dalamnya museum sendiri. (Tahun Kunjung Museum, Sudahkan
Museum Berbenah?, Kompas, Selasa, 5 Januari 2010).
Vicky Woollard, Caring for the Visitor, in Running a Museum Hand Book. Patrick J. Boylan

(France: ICOM, 2004) Hlm. 105.

dengan baik. Dengan demikian diketahui bahwa masalah mendasar dari keadaan
ini terletak pada kualitas fungsi museum itu sendiri, terutama fungsi yang
berhubungan langsung dengan publik (pengunjung).
Mengacu pada latar masalah ini penelitian bermaksud untuk ikut ambil
bagian dalam usaha perbaikan kualitas fungsi museum tersebut. Penelitian yang
berlatarkan ilmu Arsitektur ini berperan menjelaskan hal-hal mendasar terkait
dengan aspek fisik fungsi museum. Dengan perannya ini, penelitian dapat menjadi
landasan bagi pengelola museum di Indonesia dalam menentukan langkah
perbaikan selanjutnya.
Penelitian ini pertama-tama menjabarkan posisi museum dalam konteks
permasalahan yang ada. Penjabaran ini menjelaskan fungsi museum dalam
kaitannya dengan pengunjung dan perannya di dalam fungsinya tersebut.
6

Berdasarkan definisi museum yang ditetapkan oleh ICOM , fungsi museum yang
berhubungan langsung dengan pengunjung adalah fungsi pameran. Fungsi ini
menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini.
Selanjutnya, melalui studi literatur, penelitian ini memberi pemahaman
tentang peran aspek fisik dalam fungsi tersebut. Dengan memahami fungsi dan
perannya, penelitian ini dapat berfokus membahas hal-hal yang berada dalam
ranah andil dan kewenangan museum sendiri sebagai sebuah institusi. Dengan
fokus ini, museum dapat melakukan langkah perbaikan yang mendasar dimulai
dari dirinya sendiri.
Berikutnya, penelitian juga menjelaskan cara museum menjalankan
perannya sebagai aspek fisik fungsi tersebut. Penjelasan ini dipaparkan dengan
berdasarkan teori mengenai ekspresi elemen arsitektur penyusun ruang. Teori ini
membahas bagaimana suatu ruang tersusun atas elemen-elemen arsitektur yang
berekspresi sehingga mempotensikan terjadinya suatu aktivitas fisik. Dengan
5

Anne Fahy, New Technologies for Museum Communication, in Museum, Media, Message, ed.
Eilean Hooper-Greenhill (London: Routledge, 1995), Hlm 86.
"Museum is a non-profit, permanent institution in the service of society and its development,
open to the public, which acquires, conserves, researches, communicates and exhibits the
tangible and intangible heritage of humanity and its environment for the purposes of education,
study and enjoyment." (ICOM, 2007)
International Community of Museum.

berdasarkan pada teori ini, penelitian memperlihatkan bagaimana ruang pamer


tersusun atas elemen-elemen arsitektur yang berekspresi sehingga mempotensikan
terjadinya aktivitas belajar pengunjung di dalam program pameran.
Selain itu, penelitian ini juga menjelaskan kondisi museum di Indonesia
secara umum. Untuk itu penelitian melaporkan hasil analisis tentang kualitas
peran aspek fisik ruang pamer Museum Ranggawarsita. Museum ini dipilih
sebagai kasus studi selain karena memenuhi kriteria teknis penelitian, juga karena
statusnya yang merupakan museum terbesar di jawa tengah.
. Dengan memahami kualitas, kelebihan, serta kekurangan museum ini,
museum dapat menentukan sasaran dalam langkah perbaikan kualitas selanjutnya.

1.2

Perumusan Masalah
Untuk memberi pemahaman dasar tentang fungsi dan peran museum, serta

untuk memperlihatkan kondisi museum di Indonesia secara umum, penelitian


menjawab dua pertanyaan berikut: Bagaimana cara ruang pamer museum
sebagai aspek fisik menjalankan perannya dalam fungsi pameran? dan
Bagaimana elemen arsitektur penyusun ruang pamer Museum Ranggawarsita,
sebagai aspek fisik, berperan dalam fungsinya tersebut?
1.3

Tujuan
Penelitian bertujuan memberi pemahaman mendasar mengenai peran

aspek fisik ruang pamer dalam fungsi pameran museum. Dalam hal ini, penelitian
menegaskan pentingnya ekspresi elemen-elemen arsitektur penyusun ruang pamer
itu sendiri. Selain itu penelitian juga bertujuan memperlihatkan kualitas ruang
pamer Museum Ranggawarsita dalam menjalankan perannya tersebut.
1.4

Manfaat
Dengan mencapai tujuan penelitian, penelitian ini membuka kesempatan

bagi penelitian maupun perancangan museum selanjutnya untuk melanjutkan


usaha perbaikan fungsi museum.

1.5

Metode
Penelitian menjelaskan fungsi pameran museum melalui studi literatur.

Tahap studi literatur, penelitian secara teoritis menjelaskan fungsi pameran


museum, peran ruang pamer bangunan museum, serta cara ruang pamer tersebut
menjalankan perannya sebagai aspek fisik dari fungsinya.
Studi literatur menjelaskan bahwa ruang pamer berperan sebagai
penghadir potensi terjadinya aktivitas belajar pengunjung. Ruang pamer
menjalankan peran ini melalui konfigurasi serta ekspresi yang dimilikinya. Studi
literatur menjelaskan bagaimana ekspresi ruang menjadi bagian yang penting
dalam tercapainya intensi suatu konfigurasi ruang pamer. Di dalam bab studi
literatur, selanjutnya dijelaskan pula bagaimana ekspresi ini dapat terbentuk.
Melalui cara ini, penelitian dapat menilai kualitas peran ruang pamer museum
dalam mewadahi fungsi pameran. Jika potensi gerak yang dihadirkan oleh
ekspresi ruang pamer relatif sesuai dengan pola gerak yang diintensikan
konfigurasi ruang, maka ruang pamer, sebagai pengahadir potensi, dapat
dikatakan telah menjalankan perannya dengan baik. Sebaliknya Jika potensi gerak
yang dihadirkan oleh ekspresi ruang pamer relatif tidak sesuai dengan pola gerak
yang diintensikan konfigurasi ruang, maka ruang pamer dapat dikatakan tidak
menjalankan perannya dengan baik. Dengan melakukan penilaian ini, penelitian
selain dapat memperlihatkan peran ekspresi ruang pamer dalam fungsi museum,
juga dapat memaparkan kualitas fungsi Museum Ranggawarsita sendiri.

1.6

Asumsi
Diketahui bahwa fungsi museum merupakan fungsi yang kompleks.

Fungsi pameran di dalam fungsi kompleks tersebut merupakan produk hasil dari
terlaksananya fungsi-fungsi lainnya. Meskipun demikian, karena latar belakang
permasalahan yang ditelitinya, penelitian ini memfokuskan diri membahas fungsi
museum yang berkaitan langsung dengan pengunjung, yaitu fungsi pameran.
Dengan demikian, penelitian mengasumsikan bahwa fungsi museum lainnya
sebagai faktor yang netral.
Selain itu, diketahui pula bahwa fungsi pameran terlaksana akibat tiga
buah aspek yang bekerja bersamaan (hal ini dijelaskan melalui studi literatur).
Meskipun demikian, karena penelitian berada dalam ranah ilmu Arsitektur, maka
aspek yang dibahas dalam fungsi ini berfokus hanya pada aspek fisik. Penelitian
ini mengasumsikan bahwa aspek-aspek lainnya merupakan aspek yang netral dan
dapat dibahas sebagai kelanjutan dari penelitian ini sendiri.
Selanjutnya, dalam tujuannya memperlihatkan kondisi museum di
Indonesia secara umum, penelitian ini perlu memilih kasus studi yang dapat
mewakili kondisi museum-museum lain di Indonesia.
Di dalam studi kasus sendiri, secara khusus penelitian ini mengasumsikan
beberapa hal yang berkaitan dengan pemilihan ruang pamer dan cara pembahasan.

1.7

Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun dalam empat bab terpisah. Bab pertama

menjabarkan fenomena yang diangkat sebagai latar penelitian, peran penelitian ini
sendiri dalam menanggapi fenomena tersebut, serta asumsi-asumsi yang menjadi
batasan dalam penelitian ini.
Dalam lingkup tersebut, bab kedua selanjutnya memaparkan studi literatur
yang menjelaskan kerangka pemikiran serta metode penelitian untuk digunakan
pada bab ketiga. Bab ketiga kemudian melaporkan hasil studi kasus yang
dilakukan pada ruang pamer Museum Ranggawarsita. Laporan ini berisikan
deskripsi dan analisis yang menjelaskan teori pada bab kedua.
Pada akhirnya, bab keempat merangkum kesimpulan bab kedua dan
ketiga. Kesimpulan merupakan jawaban dari pertanyaan yang dirumuskan sebagai
6

masalah penelitian. Jawaban inil menjadi bentuk kongkrit kontribusi penelitian ini
sendiri pada praktiknya. Berikut ini adalah diagram sistematika penulisan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini terdiri dari tiga tahap studi literatur yang menjabarkan kerangka
pemikiran dan metode studi kasus. Tahap pertama merupakan pembahasan umum
mengenai fungsi bangunan museum. Selanjutnya tahap kedua memaparkan peran
elemen arsitektur penyusun ruang pamer bangunan museum sebagai aspek fisik
dalam fungsi tersebut.

2.1

Fungsi Museum

Secara umum, berdasarkan Collins English Dictionary, kata fungsi


memiliki arti aksi natural atau tujuan yang diintensikan oleh seseorang atau suatu
9

benda di dalam perannya yang spesifik. Dengan demikian, berfungsinya suatu


benda, yang dalam hal ini adalah museum, dinilai melalui tersampaikannya
manfaat yang dapat dibawakan oleh peran benda tersebut bagi penggunanya.
Dalam sejarah perkembangannya, tipe bangunan museum mengalami
beberapa kali pergeseran peran yang selalu berada dalam lingkup edukasi. Tipe
bangunan ini pertama kali muncul pada zaman Hellenestic Alexandria dengan
berperan sebagai kuil penyembahan dewi-dewi ilmu pengetahuan. Kuil ini
menjadi tempat berkumpul bagi orang-orang pada masa itu untuk mencari
keindahan yang lantas membuatnya terkagum, berpikir, dan belajar lebih banyak
lagi. Untuk mendukung kegiatan ini selanjutnya muncul kesadaran dari orangorang pada masa itu untuk mengoleksi benda-benda yang dianggap penting
sebagai bahan pembelajaran. Kegiatan mengkoleksi ini kemudian dilakukan di
8
9

Sub-bab ini menggunakan buku The History Of Building Types (Pevsner, Nikolaus. USA:
Princeton University Press, 1997.) sebagai referensi utama.
Definition of Function Collins English Dictionary 2011, Home page on-line. Available from:
http://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/function (diakses 29 April 2012).

satu bangunan khusus yang juga diberi nama museum.

10

Demikianlah museum

mengalami pergeseran peran yang pertama kali.


Berikutnya pada masa pencerahan di Eropa, tipe bangunan ini kembali
mengalami pergeseran peran. Pada masa ini, museum mengambil bentuk taman,
loggia, serta ruang terbuka di tengah rumah pribadi.

11

Bentuk ini membuat

barang-barang yang ada di dalam museum hanya dapat dinikmati oleh pemilik
dan kerabatnya saja.

Gambar 2.1 Loggia dan Bangunan Museum Tertutup.


Sumber: Pevsner 1997, 112, 114

Pergeseran peran yang terjadi pada masa ini berhubungan dengan


perubahan mendasar bentuk museum ini sendiri. Museum pada masa itu mulai
menyimpan barang-barang berupa lukisan sehingga berubah bentuk menjadi
bangunan tertutup. Dengan bentuknya yang baru ini, museum dapat dirancang
terpisah dari bangunan rumah pribadi. Museum selanjutnya mulai banyak
bekerjasama dengan institusi sekolah, salon, percetakan, dan perpustakaan.
Akibatnya, museum tidak lagi hanya berperan sebagai tempat menyimpan barangbarang pribadi saja, melainkan juga sebagai tempat memamerkan barang-barang
bahan pembelajaran bagi masyarakat yang lebih luas, yaitu orang-orang anggota
institusi yang didampinginya.
Berangkat dari pergeseran peran ini, lambat laun masyarakat Eropa pada
masa itu mulai merasakan adanya kebutuhan publik yang besar untuk secara
bebas melakukan pembelajaran. Masyarakat selanjutnya mengusulkan agar
museum menjadi bangunan yang dibuka sepenuhnya bagi publik. Perubahan besar

10
11

Alexander, Edward P., Mary Alexander. Museums in Motion, USA: AltaMira Press, 2008, hlm
3-4.
Area ini disebut House of Statuary.

dalam hal ini terjadi pada tahun 1830, yaitu ketika Schinkel

12

dan Waagen

13

mempublikasikan memorandumnya mengenai pemikiran tersebut. Melalui


memorandum tersebut, dinyatakan bahwa sejak saat itu tipe bangunan museum
berfungsi menjadi tempat bagi publik untuk melakukan pembelajaran. Hingga
kini, museum menjadi salah satu bagian dari infrastruktur edukasi yang lebih
besar di dalam suatu area (kota/negara).

2.2

Peran Elemen Arsitektur Penyusun Ruang Pamer


Sebagai bagian dari infrastruktur edukasi, museum memiliki peran yang

khusus bagi publik. Museum bersama dengan infrastruktur edukasi lainnya


menjadi tempat terjadinya aktivitas belajar yang kemudian melahirkan
14

pengalaman ,
seseorang.

15

pemahaman,

hingga

akhirnya

membentuk

pengetahuan

Dalam proses pembelajaran tersebut, museum secara khusus

berperan hanya dalam tahap aktivitas belajar yang terjadi di dalam wilayahnya
saja, yaitu di dalam program pameran.

DI DALAM MUSEUM

DI LUAR MUSEUM

Gambar 2.2 Peran Museum dalam Edukasi Publik


Sumber: Skea ini disadur dari: Falk & Dierking 2000, 12

12

13

14

15

Karl Friedrich Schinkel is a Prussian architect, the greatest in Germany in the first half of
C19. (Ian Chilvers. "Schinkel, Karl Friedrich" The Oxford Dictionary of Art. 2004. accessed :
11 Nov 2011. http://www.encyclopedia.com)
Gustav Friedrich Waagen was the director of the Berlin Gemldegalerie in 1830, and was
the first professor of art history in Berlin. (Sorensen, Lee. Wittkower Rudolf. Dictionary of
Art
Historian. accessed 11 November 2011. www.dictionaryofarthistorians.org/ wittkowerr.htm.)
Pengalaman manusia di dalam suatu ruang dibedakan dalam tiga ragam kualitas yang terjadi
akibat hubungan antara perilaku manusia tersebut dengan ruangnya. (Lym, Glenn Robert. A
Psychology of Building: How We Shape and Experience Our Structures Space, USA: PrenticeHall, Inc., 1980. hlm xviii)
Falk, John H & Lynn D.Dierking. Learnng from Museums: Visitor Experiences and The

10

Making of Meaning, USA: AltaMira Press, 2000, hlm 12.

11

Program pameran memiliki tiga aspek yang saling mempengaruhi satu


sama lain sehingga pada akhirnya membentuk kualitas aktivitas belajar publik
pengunjung museum tersebut secara menyeluruh. Ketiga aspek di dalam program
ini adalah aspek personal, aspek sosio-kultural, dan aspek fisik ruang pamer
sendiri sebagai tempat terjadinya aktivitas.

16

Gambar 2.3 Contextual Model of Learning


Sumber: Falk & Dierking 2000, 12

Meskipun ketiga aspek ini selalu bersinggungan dalam menentukan


tingkah laku manusia dalam aktivitasnya, aspek fisik, yaitu lingkungan, menjadi
parameter pertama yang menentukan kualitas aktivitas tersebut. Lingkungan
memberi stimulus sehingga memunculkan persepsi serta respon tingkah laku pada
diri manusia. Lingkungan menjadi faktor utama yang memberikan potensi
terjadinya ragam kuantitas dan kualitas tingkah laku serta aktivitas manusia di
dalam lingkungan tersebut. Pada akhirnya lingkungan menjadi faktor utama yang
menghadirkan potensi terjadinya aktivitas tertentu.

16
17

17

Falk, John H & Lynn D.Dierking. Learnng from Museums: Visitor Experiences and The
Making of Meaning, hlm 10.
Hemistra, McFarling. Environmental Psychology. California: Wadsworth Publishing
Company, Inc., 1974, hlm. 9-10.

12

Gambar 2.4 Respon Manusia


Sumber: Skema ini disadur dari: Laurens 2004, 95

Dalam konteks fungsi pameran museum, ruang pamer berperan sebagai


aspek yang utama dalam menentukan kualitas aktivitas belajar pengunjung. Ruang
pamer menyediakan kualitas ruang yang diterima oleh tubuh

18

pengunjung yang

kemudian direspon dengan menggunakan latar aspek personal dan aspek sosiokulturalnya sebagai referensi. Dengan demikian, dalam fungsinya mewadahi
fungsi pameran, diketahui bahwa ruang pamer museum memiliki peran yang
terlepas dari pengaruh kedua aspek lainnya tersebut. Ruang pamer berperan
sebagai penghadir potensi terjadinya aktivitas yang tanpanya museum tidak dapat
berfungsi menjalankan program pameran.
Dalam perannya, ruang pamer museum merupakan ruang hasil konfigurasi
dua jenis area, yaitu area sirkulasi dan area pengamatan. Konfigurasi kedua jenis
area membentuk potensi pola aktivitas pengunjung yang tertentu di dalam ruang.
Dengan demikian, melalui perancangan konfigurasi ruang pamer, museum dapat
menjaga kualitas keberlangsungan fungsinya.

18
19

19

Ambrose, Timothy, Chrspin Paine. Museum Basics. New York : Routledge, 2006.
Macdonald, Sharon. A Companion to Museum Studies, United Kingdom: Blackwell Publishing
Ltd, 2006, hlm. 282, 285.

13

Gambar 2.5 Space Syntax: Konfigurasi Ruang dan Pola Aktivitas yang Diakibatkannya
Sumber: Skema ini disadur dari: Macdonald 2006, 284

Adapun demikian, kualitas dari pola aktivitas yang dipotensikan oleh


konfigurasi ruang tersebut tergantung dari ekspresi masing-masing area di dalam
ruang. Thomas Thiis-Evensen dalam Archetypes in Architecture menjelaskan
bahwa ruang selalu memiliki ekspresi yang tertentu yang mempengaruhi gerak
tubuh manusia. Ekspresi ini memberi potensi bagi pengunjung untuk bergerak
dengan cara yang tertentu. Di area yang menjadi area sirkulasi, ruang perlu
memberi potensi bagi terjadinya aktivitas yang berpindah tempat, sedangkan di
area yang menjadi area pengamatan, ruang perlu memberi potensi bagi terjadinya
aktivitas yang tidak berpindah tempat (aktivitas mengamati). Dengan demikian,
ekspresi ruang memiliki peran mendasar dalam mewadahi fungsi pameran.

14

Gambar 2.6 Peran Ruang Pamer Sebagai Aspek Fisik dalam Fungsi Museum

Penelitian ini menganalisis kesesuaian ekspresi ruang pamer terhadap


konfigurasi

ruang

yang dimilikinya

guna

menilai

keberhasilan

intensi

perancangan konfigurasi tersebut. Suatu ruang pamer dapat dikatakan berperan


dengan baik jika ekspresi ruang mengarahkan gerak pengunjung sesuai dengan
pola yang diintensikan konfigurasi ruang. Hal ini tercapai ketika ekspresi area
sirkulasi memberikan potensi bagi pengunjung untuk berpindah tempat ke area
sirkulasi berikutnya dan ekspresi area pengamatan memberikan potensi bagi
pengunjung untuk melakukan aktivitas pengamatan yang tidak berpindah tempat
ke arah objek pamer. Sebaliknya suatu ruang pamer dapat dikatakan tidak
berperan dengan baik jika ekspresi ruang mengarahkan gerak pengunjung tidak
sesuai dengan pola yang diintensikan konfigurasi ruang, yaitu ketika ekspresi area
sirkluasi tidak memberikan potensi bagi pengunjung untuk berpindah tempat ke
area sirkulasi berikutnya dan ekspresi area pengamatan tidak memberikan potensi
bagi pengunjung untuk melakukan aktivitas pengamatan (yang tidak berpindah
tempat) ke arah objek pamer. Pada akhirnya analisis ekspresi ruang dapat
digunakan untuk menilai kualitas peran suatu ruang/bangunan dalam fungsinya.
20

20

Seamon, David. Toward A Phenomenology of Architectural Form: Thomas Thiis-Evensens


Archetypes in Architecture, Journal of Environmental-Architectural Phenomenology, Spring
(1990): 6-9

15

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Pembahasan dan Pencarian Data
Metode yang dipilih untuk membahas dan mencari data adalah sebagai
berikut:
3.1.1 Studi Literatur
Memahami tentang:

Fungsi museum

Peran Elemen Arsitektur Penyusun Ruang Pamer

3.1.2. Survey Lapangan


Mengumpul data dari lapangan yang bersifat fisik maupun non-fisik.
Hal ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran kondisi eksisting objek studi
yang nantinya akan dikaji. Agar data yang akan kaji merupakan data primer.
Alat-alat yang digunakan pada survey lapangan adalah sebagai berikut:
1. Kamera

3.2 Metode Deskriptif Kuantatif


Metode deskriptif kuantatif adalah metode yang dilakukan dengan
mengidentifikasi data dan informasi yang didapatkan dari hasil simulasi
lapangan mengenai kondisi
eksisting dari elemen-elemen tata ruang dalam pada museum
Ranggawarsita.

16

BAB IV
ANALISIS
3.1

Cara Elemen Arsitektur Penyusun Ruang Pamer Berperan

21

Dalam perannya sebagai penghadir potensi gerak pengunjung, ruang


pamer memiliki mekanisme penyaluran ekspresi. Mekanisme ini berlangsung
secara alami pada setiap ruang yang ada akibat adanya gaya gravitasi. Dengan
kealamiannya, ekspresi yang dihasilkan oleh mekanisme tersebut diterima dan
direspon secara alami (spontan) pula oleh tubuh manusia. Berikut ini adalah
pembahasannya.
Setiap ruang dibatasi oleh tiga jenis elemen. Ketiga jenis elemen ini
dibedakan berdasarkan letaknya terhadap tubuh manusia akibat gaya gravitasi
tersebut. Ketiga elemen ini adalah lantai, yaitu elemen yang berada di bawah
22

manusia, dinding, yaitu elemen yang berada di sekeliling manusia, dan atap ,
yaitu elemen yang berada di atas manusia. Karena hubungan letaknya dengan
tubuh manusia tersebut, ketiga elemen ini memiliki tema tugas yang natural untuk
saling mendukung (supporting theme) sehingga membentuk ruang dan saling
mengarahkan (delimiting & directing theme) sehingga memberi orientasi di dalam
ruang. Dengan dijalankannya kedua tugas ini oleh masing-masing jenis elemen
tersebut, elemen baru dapat membentuk ruang bagi manusia.
Adapun dalam menjalankan tugasnya, keterwujudan elemen-elemen ini
dapat terlaksana ketika masing-masingnya memiliki bentuk (major forms), sistem
keterbangunan (construction systems), perlakuan permukaan (surface treatments),
dan bukaan (openings). Dengan wujudnya yang bervariasi akibat kisaran kualitas
keempat faktor yang membentuknya inilah, elemen lantas memiliki ekspresi yang
tertentu dalam menjalankan tugasnya.
Dalam memahami ekspresi ini, keempat faktor elemen dideskripsikan
tampilannya berdasarkan kategori berat elemen (weight), kedinamisan elemen
(motion), dan substansi elemen (substance). Tampilan elemen dalam ketiga
kategori ini disebut dengan motif. Ekspresi setiap elemen dapat dinilai ketika
21

Sub-bab ini menggunakan buku Archetypes in Architecture (Thiis-Evensen, Thomas. Norwegia


: Norwegian University Press, 1990.) dan buku Genius Loci : Towards a Phenomenology of
Architecture (Norberg-Schulz, Christian. London, 1980.) sebagai referensi utama.

17

22

Dalam kasus ruang interior, yang dimaksud dengan atap adalah bagian atap yang terlihat dari
dalam ruang (plafond).

18

motif-motif dalam ketiga kategori tersebut tampil/dibaca secara bersamaan.


Dengan mendeskripsikan ekspresi elemen penyusun ruang, peran elemen dalam
menjalankan tugasnya sebagai pendukung dan pengarah dapat dianalisis. Berikut
ini adalah diagram cara terbentuknya ekspresi elemen.

Gambar 2.7 Cara Terbentuknya Ekspresi Elemen

Selanjutnya, berikut ini adalah pola hubungan ekspresi setiap elemen


dengan elemen lainnya dalam menjalankan tugas sebagai pendukung dan pemberi
arah di dalam ruang.

19

Gambar 2.8 Hubungan Antar Elemen dalam Menjalankan Tugasnya

Kedua diagram ini memperlihatkan bagaimana ekspresi elemen muncul


melalui ketiga kategorinya sehingga menunjukkan kemampuan elemen tersebut
menjalankan kedua tema tugasnya secara bersamaan. Elemen menunjukkan
kemampuan menjalankan tugas dengan tema mendukung ketika ekspresi elemen
dilihat hubungannya dengan elemen lain yang ada di atas dan di bawahnya.
Selain itu, elemen menunjukkan kemampuannya menjalankan tugas dengan tema
mengarahkan, ketika ekspresi elemen dilihat hubungannya dengan elemen lain
sejenis yang ada di sekitarnya. Dengan demikian diketahui bahwa setiap elemen
yang berwujud selalu memiliki motif dalam ketiga kategori yang ada dan secara
bersamaan menunjukkan kemampuannya menjalankan kedua tema tugasnya.

20

Dalam penelitian ini, pembahasan menitikberatkan analisis pada tema


mengarahkan elemen penyusun ruang. Adapun tema medukung dibahas terkait
dengan motif kategori berat yang pada akhirnya juga menjelaskan tugasnya dalam
tema mengarahkan. Berikut ini adalah penjelasan bagaimana masing-masing jenis
elemen memiliki motif tertentu sehingga dapat mengekspresikan keterbukaan dan
ketertutupannya dalam tugasnya dalam tema mengarahkan tersebut.
3.1.1

Elemen Lantai

Elemen lantai dapat mengekspresikan keterbukaan atau ketertutupan ruang


yang dibatasinya terhadap ruang-ruang lain yang ada di ketiga sumbu
orientasinya. Keterbukaan atau ketertutupan ini dapat terjadi akibat hubungan
antara lantai ruang tersebut dengan lantai ruang-ruang lainnya. Dalam
hubungannya, motifmotif yang ada saling bersinggungan sehingga memunculkan
kualitas keterbukaan atau ketertutupan antar ruang yang relatif satu sama lain.
Kualitas keterbukaan atau ketertutupan inilah yang mengekspresikan arah dari
elemen lantai ruang-ruang tersebut. Arah elemen selanjutnya memberikan potensi
bagi manusia untuk bergerak dengan mengacu padanya.
Ruang dapat mengekspresikan keterbukaan jika elemen lantainya memiliki
motif-motif yang tidak memperlihatkan batas terhadap lantai ruang lainnya.
Ketidakadaan batas ini dapat tercapai ketika lantai ruang-ruang tersebut memiliki
substansi dan berat yang sama serta kedinamisan yang saling mengarahkan
(ilustrasi 1 tabel 2.1). Selain itu, ketidakadaan batas ini juga dapat terjadi ketika
motif masing-masing kategori berubah kualitasnya secara bertahap (ilustrasi 2
tabel 2.1). Dalam hal ini, terjadinya perubahan yang tidak bertahap masih dapat
dikatakan tidak mengekspresikan batas ketika adanya perubahan tersebut
ditimpali oleh motif lain yang lebih menonjol sehingga mengaburkan batas kedua
lantai (ilustrasi 5 -tabel 2.1). Dengan adanya motif yang dominan mengaburkan
batas, ruang masih relatif dikatakan mengekspresikan keterbukaan.
Sebaliknya, ruang dapat mengekspresikan ketertutupan jika elemen
lantainya memiliki motif-motif yang memperlihatkan batas terhadap lantai ruang
lainnya. Ekspresi ini tercapai ketika lantai ruang-ruang memiliki substansi
21

(ilustrasi 3 tabel 2.1) dan berat (ilustrasi 4 tabel 2.1) yang berbeda, serta
kedinamisan yang tidak saling mengarah. Dengan motif-motif yang demikian,
ruang-ruang yang ada terbatasi satu sama lain dan menandakan ketertutupan antar
ruang.
Tabel 2.1 Ekspresi Elemen Lantai

Sumber: Disadur dari Thiis-Evensen 1987, 434, 435

Dalam konteks museum, berikut ini adalah contoh penerapan ekpresi tema
arah elemen lantai.

23

Gambar 2.9 merupakan contoh penerapan ilustrasi 1&4

tabel 2.1. Sebagai contoh ilustrasi 1, dapat dilihat bahwa ruang pamer memiliki
elemen lantai yang pada dasarnya memiliki bentuk datar (kedinamisan) dan
23

Contoh-contoh penerapan ekspresi (baik pada pembahasan elemen lantai, dinding,


maupun atap) merupakan hasil studi preseden yang dilakukan di Singapore National
Museum pada bulan Oktober 2011.

22

perlakuan permukaan (substansi) serta cara keterbangunan (berat) yang sama di


seluruh ruangan. Dengan demikian, lantai dasar ini relatif memperlihatkan
keterbukaan antara ruang-ruang yang dibatasinya, misalnya antara area di depan
pintu dan area di dekat bangku panjang. Keterbukaan ini mempotensikan
pengunjung untuk bergerak melalui ruang-ruang tersebut.

Gambar 2.9 Contoh Penerapan Ilustrasi 1&4

Selain lantai dasar, ruang pamer juga memiliki dua lantai lain, yaitu
bangku panjang dan pedestal objek. Ketiga lantai ini memiliki perbedaan
perlakuan permukaan (substansi), cara keterbangunan (berat), dan bentuk
(kedinamisan) satu sama lain. Akibatnya ketiga lantai ini memberi batas yang
jelas antar area-area yang ada. Batasan ini mengekspresikan ketertutupan sehingga
pada akhirnya memberikan potensi bagi pengunjung untuk tidak bergerak melalui
ruang-ruang tersebut.
Selanjutnya, gambar 2.10 merupakan contoh penerapan ilustrasi 3 tabel
2.1. Ruang pamer ini terdiri dari dua ruang yang terlihat jelas batasannya akibat
adanya perbedaan motif substansi lantai yang menyusun kedua ruang tersebut.
Meskipun demikian, kedua lantai ini memiliki perbedaan ketinggian yang relatif
sangat kecil. Akibatnya, lantai memiliki motif berat dan kedinamisan yang hampir
tidak memperlihatkan batas. Ekspresi batas yang demikian menciptakan
keambiguan dalam hubungan kedua ruang sehingga mempotensikan pengunjung
untuk bergerak maupun tidak bergerak melalui ruang-ruang tersebut.

23

Gambar 2.10 Contoh Penerapan Ilustrasi 3

Terakhir, gambar 2.11 merupakan contoh penerapan ilustrasi 5 tabel 2.1.


Ruang pamer secara keseluruhan terdiri dari ruang-ruang yang lebih kecil yang
dibatasi oleh elemen lantai yang berbeda-beda bentuknya akibat keberadaan
elemen dinding. Adapun demikian, lantai ruang-ruang tersebut memiliki substansi
yang sama, yaitu warna dasar dan warna figur berupa garis berwarna. Warna figur
pada substansi tersebut menghubungkan ruang yang satu dengan ruang lain.
Dengan demikian, elemen lantai dalam ruang ini tidak mengekspresikan batas
antara ruang-ruang yang ada. Elemen lantai dapat dikatakan mengekspresikan
keterbukaan satu sama lain sehingga menciptakan potensi gerak pengunjung di
antara ruang-ruang tersebut.

Gambar 2.11 Contoh Penerapan Ilustrasi 5

Demikianlah elemen lantai dapat mengekspresikan keterbukaan atau


ketertutupan antara ruang-ruang yang dibatasinya. Elemen lantai pada akhirnya
dapat mengarahkan perpindahan tempat pengunjung di area sirkulasi dan

24

mengarahkan arah hadap pengunjung dalam melakukan aktivitas mengamati di


area pengamatan.
3.1.2

Elemen Dinding

Elemen dinding dapat mengekspresikan keterbukaan atau ketertutupan


ruang yang dibatasinya terhadap ruang-ruang lain yang ada di ketiga sumbu
orientasinya. Ekspresi ini dapat terjadi akibat hubungan antara dinding ruang
tersebut dengan dinding ruang-ruang lainnya. Dalam hubungannya, motifmotif
yang ada saling bersinggungan sehingga memunculkan kualitas keterbukaan atau
ketertutupan antar ruang yang relatif satu sama lain. Kualitas keterbukaan atau
ketertutupan ini mengekspresikan arah dari elemen dinding ruang-ruang tersebut.
Arah elemen ini selanjutnya memberikan potensi bagi manusia untuk bergerak
dengan mengacu padanya.
Ruang dapat mengekspresikan keterbukaan jika elemen dindingnya
memiliki motif-motif yang tidak memperlihatkan batas. Elemen dinding suatu
ruang dikatakan relatif mengekspresikan keterbukaan terhadap ruang yang ada di
depan dan di belakangnya jika motif-motifnya memungkinkan terjadinya
hubungan antar ruang. Ekspresi ini terjadi pada dinding ruang yang memiliki
motif substansi berupa bukaan yang vertikal (ilustrasi 7 tabel 2.2), motif berat
yang tidak merata (ilustrasi 6 tabel 2.2), sistem keterbangunan rangka, serta
motif kedinamisan berupa bentuk yang tipis (ilustrasi 5 tabel 2.2), cekung, atau
condong menjauhi ruang.
Sebaliknya, ruang dapat mengespresikan ketertutupan jika elemen
dindingnya memiliki motif-motif yang memperlihatkan batas. Elemen dinding
suatu ruang dikatakan mengekspresikan ketertutupan terhadap ruang yang ada di
depan dan di belakangnya ketika dinding memiliki motif substansi tanpa bukaan,
motif berat yang merata, sistem keterbangunan yang solid, dan dinding yang
berbentuk tebal (ilustrasi 1&2 - tabel 2.2), cembung, atau condong mendekati
ruang.

25

Tabel 2.2 Ekspresi Elemen Dinding

Sumber: Disadur dari Thiis-Evensen 1987, 437-443

Selain itu, elemen dinding suatu ruang juga dikatakan mengekspresikan


keterbukaan terhadap ruang yang ada di kedua sumbu lainnya (kiri-kanan dan atas
bawah) jika ketiga motif yang ada tidak menampilkankan batas. Sebagai contoh,
hal ini terjadi ketika dinding memiliki bentuk, perlakuan permukaan, dan sistem
keterbangunan yang sama maupun berubah secara bertahap terhadap dinding di
kedua sumbu tersebut (ilustrasi 2&3 tabel 2.2).
Sebaliknya, elemen dinding suatu ruang dikatakan mengekspresikan
ketertutupan terhadap ruang yang ada di kedua sumbu lainnya (kiri-kanan dan atas
bawah) jika ketiga motif yang ada menampilkankan batas. Hal ini terjadi ketika
dinding ruang-ruang yang ada memiliki substansi, bentuk, dan berat yang berbeda
(ilustrasi 6&7 tabel 2.2). Dengan motif-motif yang demikian, ruang-ruang yang
ada di sekitar dinding memperlihatkan batas sehingga mencerminkan ketertutupan
antar ruang.
26

Selain itu, hubungan dinding suatu ruang dengan dinding ruang-ruang lain
di kedua sumbunya memiliki hubungan motif bentuk yang bekerja secara saling
berlawanan. Jika dinding berbentuk horisontal, dinding mengekspresikan
ketertutupan terhadap dinding di atasnya dan keterbukaan terhadap dinding di kiri
dan kanannya (ilustrasi 4 - tabel 2.2). Sebaliknya, jika dinding berbentuk vertikal,
dinding mengekspresikan keterbukaan terhadap dinding di atasnya dan
ketertutupan terhadap dinding di kiri dan kanannya (ilustrasi 8 - tabel 2.2).
Dalam konteks museum, berikut ini adalah contoh penerapan ekpresi tema
arah elemen dinding. Gambar 2.12 merupakan contoh penerapan ilustrasi 7&8
tabel 2.2. Ruang pamer menerapkan bentuk dinding yang cekung dan vertikal.
Selain itu, dinding ini juga memiliki substansi berupa bukaan yang berbentuk
vertikal pula. Dengan motif elemen dinding yang demikian, dinding ini
mengekspresikan keterbukaan terhadap ruang di arah sumbu z (atas-bawah) dan
ruang di arah sumbu x (depan-belakang), serta mengekspresikan ketertutupan
terhadap ruang di sumbu y (kiri-kanan). Ekspresi-ekspresi ini menciptakan potensi
gerak pengunjung di antara ruang-ruang di atas dan di bawah serta di depan dan di
belakang dinding tersebut.

Gambar 2.12 Contoh Penerapan Ilustrasi 7&8

Selanjutnya, gambar 2.13 merupakan contoh penerapan ilustrasi 8&3


tabel 2.2. Ruang pamer yang menerapkan sistem keterbangunan dinding yang

27

berupa

rangka.

Dinding

ini

merupakan

dinding

ruang

yang

sistem

keterbangunannya berupa susunan kolom dan balok. Dinding ini memiliki


substansi berupa bukaan yang diisi dengan material vertikal lain. Bentuk dan
substansi dinding yang demikian relatif mengekspresikan ketertutupan ruang
pamer terhadap ruang di belakang dinding tersebut.
Selain itu, ruang pamer ini juga memiliki dinding yang merupakan contoh
penerapan ilustrasi 8&7 tabel 2.2. Dinding ini berupa tiang pigura dalam
ruangan. Dinding memiliki bentuk vertikal dan diselingi substansi berupa bukaan
yang

juga

berbentuk

vertikal.

Motif

dinding

yang

demikian

relatif

mengekspresikan keterbukaan area di dalam ruang pamer yang ada di depan dan
di belakang dinding tersebut.

Gambar 2.13 Contoh Penerapan Ilustrasi 8&3; 8&7

Demikianlah elemen dinding dapat mengekspresikan keterbukaan dan


ketertutupan antara ruang-ruang yang dibatasinya. Elemen dinding pada akhirnya
dapat mengarahkan perpindahan tempat pengunjung di area sirkulasi dan
mengarahkan arah hadap pengunjung dalam melakukan aktivitas mengamati di
area pengamatan.
3.1.3

Elemen Atap
Pada prinsipnya ekspresi keterbukaan dan ketertutupan elemen atap terjadi

pada pola yang sama dengan elemen lantai. Elemen atap dapat mengekspresikan
keterbukaan atau ketertutupan ruang yang dibatasinya terhadap ruang-ruang lain
28

yang ada di ketiga sumbu orientasinya. Keterbukaan atau ketertutupan ini dapat
terjadi akibat hubungan antara atap ruang tersebut dengan atap ruang-ruang
lainnya. Dalam hubungannya, motifmotif yang ada saling bersinggungan
sehingga memunculkan kualitas keterbukaan atau ketertutupan antar ruang yang
relatif satu sama lain. Kualitas keterbukaan atau ketertutupan ini mengekspresikan
arah dari elemen atap ruang-ruang tersebut. Arah ini selanjutnya memberikan
potensi bagi manusia untuk bergerak mengacu padanya.
Ruang dapat mengekspresikan keterbukaan jika elemen lantainya memiliki
motif-motif yang tidak memperlihatkan batas terhadap lantai ruang lainnya.
Ketidakadaan batas ini tercapai ketika atap ruang-ruang memiliki substansi dan
berat yang sama, serta kedinamisan yang saling mengarah masing-masing ruang
(ilustrasi 1 tabel 2.3). Dengan motif-motif yang demikian, ruang-ruang yang ada
tidak memperlihatkan batas atau memperlihatkan batas yang gradatif sehingga
mencerminkan keterbukaan antar ruang.
Sebaliknya, ruang dapat mengekspresikan ketertutupan jika elemen
atapnya memiliki motif-motif yang memperlihatkan batas terhadap atap ruang
lainnya. Ekspresi ini tercapai ketika atap ruang-ruang memiliki substansi dan
berat yang berbeda, serta kedinamisan yang tidak saling mengarah (ilustrasi 2 tabel 2.3). Dengan motif-motif yang demikian, ruang-ruang yang ada terbatasi
satu sama lain dan menandakan ketertutupan antar ruang.
Tabel 2.3 Ekspresi Elemen Atap

Sumber: Disadur dari Thiis-Evensen 1987, 447

29

Dalam konteks fungsi museum, berikut ini adalah contoh penerapan


ekspresi tema arah elemen atap. Gambar 2.14 merupakan contoh penerapan
ilustrasi 1 tabel 2.3. Ruang pamer ini memiliki atap yang tidak terlihat
permukaan bidangnya akibat substansi yang gelap. Substansi atap yang demikian
membuat atap seakan

tidak memiliki batas sehingga mengekspresikan

keterbukaan antara semua area di dalam ruang. Ekspresi ini menciptakan potensi
gerak pengunjung yang bebas di seluruh area di dalam ruang tersebut.

Gambar 2.14 Contoh Pertama Penerapan Ilustrasi 1

Gambar 2.15 Contoh Kedua Penerapan Ilustrasi 1

Selanjutnya, gambar 2.15 juga merupakan contoh penerapan ilustrasi 1


tabel 2.3. Ruang pamer ini memiliki atap yang berbentuk datar dan memanjang.
Atap memiliki motif berat yang merata dan motif substansi yang seragam di
seluruh permukaan bidangnya. Motif-motif ini membuat elemen atap tidak
memperlihatkan batas terhadap ruang di arah memanjangnya. Ketidakadaan batas
30

ini membuat elemen atap relatif memiliki keterbukaan sehingga memberikan


potensi bagi pengunjung untuk bergerak ke arah ruang yang berada di arah
memanjang atap tersebut.

Gambar 2.16 Contoh Penerapan Ilustrasi 2

Terakhir, gambar 2.16 merupakan contoh penerapan ilustrasi 2 Ruang


pamer ini memiliki atap yang berbentuk kubah. Atap ini memiliki perubahan berat
yang tidak bertahap terhadap atap di ruang sekitarnya. Meskipun atap memiliki
substansi yang sama dengan atap sekitarnya, namun perbedaan berat dan
bentuk yang mencolok memberi batas yang jelas di antara kedua area tersebut.
Demikianlah ekspresi ini dikatakan bersifat tertutup terhadap ruang di sekitarnya.
Atap ini memberikan potensi bagi pengunjung untuk tidak bergerak ke area lain
yang tidak dinaungi atap tersebut.
Dengan motif-motif ini elemen atap dapat mengekspresikan keterbukaan
atau ketertutupan antara ruang-ruang yang dibatasinya. Elemen atap pada
akhirnya dapat mengarahkan perpindahan tempat pengunjung di area sirkulasi dan
mengarahkan arah hadap pengunjung dalam melakukan aktivitas mengamati di
area pengamatan.
Dalam konteks ruang pamer, keseluruhan pembahasan masing-masing
elemen ini menyatakan bahwa elemen pembatas area di dalam ruang pamer
berperan memberi potensi keterbukaan atau ketertutupan yang relatif terhadap
31

area lain di sekitarnya. Dengan kemampuannya memberi potensi arah ini, ketiga
elemen memberi pengaruh pada ketercapaian potensi pola gerak yang diintensikan
oleh konfigurasi ruang pamer.
Pada area yang dipotensikan sebagai area sirkulasi, pola gerak yang
diintensikan oleh konfigurasi ruang adalah pola yang menerus ke area sirkulasi di
sekitarnya. Sedangkan pada area yang dipotensikan sebagai area pengamatan,
pola gerak yang diintensikan oleh konfigurasi ruang adalah pola yang menerus ke
area objek pamer di sekitarnya. Ekspresi keterbukaan atau ketertutupan yang ada
di antara area-area ini memperlihatkan ketersampaian intensi tersebut.

30

BAB IV
KESIMPULAN
Penelitian ini berperan sebagai langkah awal yang berupaya menjelaskan
fenomena penurunan jumlah pengunjung museum di Indonesia. Berdasarkan studi
yang telah dilakukan, penelitian menyimpulkan peran dasar museum dalam
konteks fungsinya, cara museum berperan, dan kualitas peran museum di
Indonesia secara umum. Dengan memahami ketiga hal ini, museum dapat
menanggapi fenomena yang ada dengan berfokus pada ranah peran, serta
persoalan mendasar yang dihadapinya. Selanjutnya, penelitian juga memberi
saran-saran praktis terkait dengan perbaikan kualitas peran museum.
4.1.

Kesimpulan Penelitian
Pertama-tama penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam fungsi pameran

yang dibawakannya, museum berperan sebagai aspek fisik. Museum dalam


perannya tersebut menjadi aspek yang paling penting karena selain bertindak
sebagai penyelenggara, juga sebagai pemegang peran yang utama. Museum
menjadi tempat terjadinya aktivitas belajar sehingga memberikan potensi
terjadinya kualitas fungsi pameran itu sendiri.
Selanjutnya penelitian juga menyimpulkan bahwa museum berperan
terutama melalui ekspresi ruang. Meskipun ruang pamer museum melalui
konfigurasi ruangnya menciptakan potensi pola gerak tertentu, kualitas
pelaksanaanya bergantung pada ekspresi ruang-ruang itu sendiri. Ekspresi ruang
menciptakan potensi gerak pengunjung yang tertentu sehingga dapat mendukung
atau tidak mendukung pola gerak yang diintensikan. Dengan demikian, eskpresi
ruang memegang peran yang penting dalam keberhasilan peran ruang pamer.
Ekspresi ruang sendiri muncul ketika totalitas ekspresi elemen-elemen
penyusunnya memperlihatkan arah ruang. Masing-masing elemen baik yang
berada di bawah manusia dan menjadi tempat bertumpunya (elemen lantai), yang
31

berada di sekeliling manusia dan membatasi gerak horisontalnya (elemen


dinding), maupun yang berada di atas manusia dan menaunginya (elemen atap)
hadir dengan mengekspresikan fenomena fisiknya. Fenomena ini terlihat dari
bentuk (major forms), sistem keterbangunan (construction system), perlakuan
permukaan (surface treatment), dan bukaan (openings) elemen-elemen tersebut.
Fenomena ini dipahami

melalui tiga kategori motif elemen sehingga

memperlihatkan ekspresi arah ruang yang dibatasinya, yaitu kategori kedinamisan


elemen (motion), berat/cara bertumpu elemen (weight), dan substansi elemen
(substance). Dengan diekspresikannya fenomena elemen-elemen penyusun ruang
tersebut, ruang memperlihatkan kemampuannya mendukung dan mengarahkan.
Dalam konteks kualitas peran ruang pamer dalam fungsi museum,
kemampuan ruang dalam memberi arah menjadi penting untuk diperhatikan.
Ekspresi ruang memperlihatkan kecenderungan suatu ruang untuk terbuka atau
tertutup yang kemudian memberi potensi bagi pengunjung untuk datang atau tidak
datang ke arah ruang tersebut. Pada akhirnya, ekspresi keterbukaan atau
ketertutupan

ruang

pada

arah

yang

ditentukan

oleh

kofigurasi

ruang

memperlihatkan keberhasilan perancangan ruang pamer sendiri.


Jika ekspresi ruang mengarahkan gerak pengunjung sesuai dengan pola
yang diintensikan konfigurasi ruang, ruang pamer dapat dikatakan berperan
dengan baik. Hal ini tercapai ketika ekspresi area sirkulasi memberikan potensi
bagi pengunjung untuk berpindah tempat ke area sirkulasi berikutnya dan ekspresi
area pengamatan memberikan potensi bagi pengunjung untuk melakukan aktivitas
pengamatan yang tidak berpindah tempat dan menghadap ke arah objek pamer.
Sebaliknya jika ekspresi ruang mengarahkan gerak pengunjung tidak
sesuai dengan pola yang diintensikan konfigurasi ruang, maka suatu ruang pamer
dapat dikatakan tidak berperan dengan baik. Hal ini terjadi ketika ekspresi area
sirkluasi tidak memberikan potensi bagi pengunjung untuk berpindah tempat ke
area sirkulasi berikutnya dan ekspresi area pengamatan tidak memberikan potensi
bagi pengunjung untuk melakukan aktivitas pengamatan dengan tidak berpindah
tempat dan menghadap ke arah objek pamer.
Pada praktiknya, berdasarkan analisis yang dilakukan di ruang pamer Museum
Ranggawarsita, diketahui bahwa ruang pamer museum belum secara maksimal
merancang ekspresi elemen-elemen arsitektur penyusun ruang. Akibatnya, tidak
31

semua potensi gerak yang diintensikan oleh konfigurasi ruang dapat terpenuhi.
Hal ini berujung pada tidak maksimalnya kualitas aktivitas pengunjung di dalam
museum sendiri. Secara tidak langsung hal ini turut menyebabkan tidak
tersampaikannya manfaat program pameran sehingga menurunkan angka
kunjungan kembali pengunjung ke museum.
5.1

Kesimpulan Peran Ekspresi Elemen Arsitektur Penyusun Ruang


Pamer dalam Fungsi Pameran
Berdasarkan penjabaran sejarah pada sub-bab sebelumnya, museum

terbentuk dan berkembang selalu dalam fungsi yang berkaitan dengan edukasi.
Museum menjadi tempat berlangsungnya kegiatan belajar publik yang dilakukan
melalui barang- barang yang dikoleksi dan dipajang di dalamnya. Kegiatan publik
ini dirancang sedemikian rupa oleh museum melalui program pameran. Dengan
demikian, diketahui bahwa museum berperan sebagai pihak penyelenggara
yang menentukan keberlangsungan program.
Selanjutnya, menjelaskan bahwa program tersebut selalu berlangsung
dalam pengaruh tiga buah aspek, yaitu aspek personal dan sosio- kultural
pengunjung, serta aspek fisik ruang pamer bangunan museum sendiri. Di antara
ketiganya, aspek fisik bangunan museum berperan sebagai penyedia tempat bagi
berlangsungnya aspek lain merupakan aspek yang utama. Tanpa adanya bangunan
museum, kedua aspek lainnya tidak dapat dipertemukan dalam fungsi ini.
Dengan demikian, di dalam program ini museum menjadi pihak yang
berperan paling penting, yaitu selain sebagai penyelenggara, juga sebagai aspek
utama.
Berikutnya, menjelaskan bahwa aspek fisik ruang pamer memberi
pengaruh pada program pameran melalui konfigurasi serta ekspresi ruangnya.
Konfigurasi ruang pamer mempotensikan pengunjung untuk melalukan aktivitas
dengan pola tertentu sesuai dengan intensi perancangan ruang pamer. Selanjutnya
ekspresi ruang pamer mempotensikan pengunjung untuk bergerak dengan cara
yang tertentu pula di dalam pola tersebut. Dengan demikian, tanpa adanya ekspresi
ruang yang mendukung konfigurasi ruang yang ada, program pameran tidak dapat
berjalan sebagaimana yang diintensikan pada perancangan konfigurasi ruang. Sub31

bab ini menyimpulkan bahwa ruang pamer berperan sebagai aspek fisik dengan
terutama melalui ekspresi yang dimilikinya.

4.2.

Saran
Kesimpulan di atas merupakan hal yang perlu diperhatikan museum dalam

menentukan langkah perbaikan fungsinya. Dengan mengetahui perannya, museum


melakukan langkah perbaikan dalam batas kewenangan dan ranah perannya
tersebut. Selanjutnya, dengan mengetahui cara yang dapat ditempuhnya dalam
menjalankan peran, museum dapat melakukan langkah perbaikan dengan cara
yang tepat. Terakhir, dengan mengetahui kondisi dan letak kekurangannya,
museum memiliki sasaran perbaikan yang dapat menjadi fokus. Dengan
memahami tiga hal yang menjadi kesimpulan dalam penelitian ini, museum dapat
mulai melakukan perbaikan perancangan ekspresi ruang pamer yang masih dinilai
belum berperan dengan baik.
Dalam melakukan perbaikan perancangan, secara umum museum
disarankan untuk menambah ekspresi keterbukaan ruang. Dalam area sirkulasi,
museum dapat menambah keterbukaan ruang dengan membentuk bukaan yang
memiliki proporsi vertikal di antara ruang. Proporsi ini dapat dicapai dengan
meninggikan atap maupun mempersempit lebar bukaan sejauh memungkinkan
bagi tubuh manusia. Selain itu, secara lebih detail, keterbukaan antar ruang dapat
dicapai

dengan

merancang perlakuan

permukaan,

bentuk,

serta

sistem

keterbangunan elemen-elemen penyusun ruang yang berubah secara bertahap di


antara area-area di dalam ruang pamer. Dengan cara ini, pengunjung diarahkan
untuk bergerak dari satu area sirkulasi ke area sirkulasi lainnya. Pada akhirnya,
keterbukaan area sirkulasi ini juga menentukan potensi diakses atau tidaknya area
pengamatan di dalam ruang pamer sendiri.
Selanjutnya,

dalam

area

pengamatan,

museum

dapat

menambah

keterbukaan (tanpa mengurangi batas antara objek dan pengunjung) dengan

31

memberikan penerangan yang cukup dari belakang dinding kaca. Dengan tidak
terekspresikannya batas antara ruang objek dan ruang pengamat, pengunjung
diarahkan untuk menghadap ke arah objek pamer. Dengan cara ini, pengunjung
tetap tidak dapat mengakses ruang objek secara langsung, namun dapat
melakukan pengamatan dengan maksimal.
Selain itu, di luar langkah perbaikan yang bersifat praktis, langkah
perbaikan yang bersifat teoritis juga dapat dilakukan. Penelitian mengenai fungsi
museum dapat dilengkapi dengan dengan menganalisis ruang-ruang pamer/
museum lain yang belum diteliti dan fungsi museum sehubungan dengan kualitas
perancangan konfigurasi ruang pamer sendiri. Selain itu dalam hubungannya
dengan aspek-aspek lainnya, aspek fisik museum juga dapat diteliti perannya
dengan mengikutsertakan ilmu-ilmu lain seperti psikologi dan sosial.

31

DAFTAR PUSTAKA

Ambrose, Timothy, Chrspin Paine. Museum Basics. New York: Routledge,


2006.
Alexander, Edward P., Mary Alexander. Museums in Motion. USA: AltaMira
Press, 2008.
Boylan, Patrick J. Running a Museum Hand Book. France: ICOM. 2004.
Falk, John H. and Lynn D. Dierking. Learning From Museum: Visitor
Experiences and The Making of Meaning. USA: AltaMira Press, 2000.
Hall, Edward T. The Hidden Dimension. New York: Doubleday & Company.
Inc., 1966.
Hooper-Greenhill, Eilean. Museum, Media, Message. London: Routledge,
1995.
Hemistra, McFarling. Environmental Psychology. California: Wadsworth
Publishing Company, Inc., 1974.
Laurence, Joyce Marcella. Arsitektur dan Perilaku Manusia. Surabaya:
Gramedia, 2004.
Lym, Glenn Robert. A Psychology of Building: How We Shape and
Experience Our Structures Space. USA: Prentice-Hall, Inc., 1980.
Macdonald, Sharon. A Companion to Museum Studies. United Kingdom:
Blackwell Publishing Ltd., 2006.
McLean, Kathleen. Planning For People In Museum Exhibition. USA: The
Association of Science-Technology Centers, 2001.
Norberg-Schulz, Christian. Genius Loci: Towards a Phenomenology of
Architecture. London, 1980.
Pevsner, Nikolaus. The History Of Building Types. USA: Princeton University
Press, 1997.
Thiis-Evensen, Thomas. Archetypes in Architecture. England: Oxford
University Press, 1987.

Seamon, David. Toward A Phenomenology of Architectural Form: Thomas


Thiis-Evensens Archetypes in Architecture, Journal of
Environmental-Architectural Phenomenology, Spring (1990): 6-9.
Seamon, David. Thomas Thiis-Evensens Archetypes in Architecture: The
Wall, Insideness, and Outsideness, Journal of EnvironmentalArchitectural Phenomenology, Fall (1990): 9-11.

Definition of Function Collins English Dictionary 2011, Home page online. Available from: http://www.collinsdictionary.com/dictionary/
english/function; Internet; accessed 29 April 2012.
Depbudpar. Jumlah Pengunjung Museum di Indonesia. Pusat Pengelolaan
Data dan Sistem Jaringan, Depbudpar 2009; Home page on-line.
Available
from
http://www.kppo.bappenas.go.id/preview/225;
Internet; accessed 26 September 2011.
Ian Chilvers. "Schinkel, Karl Friedrich" The Oxford Dictionary of Art2004.
Home page on-line. Available from http://www.encyclopedia.com;
Internet; accessed 11 November 2011.
ICOM. Museum Definition The World Museum Community (adopted
during the 21st General Conference in Vienna, Austria in 2007);
Home page on-line. Available from http://icom.museum/who-weare/the-vision/museum-definition.html; Internet; accessed 18 April
2012.
National Higher Education Research Institute, The State of Penang,
Malaysia: Self-Evaluation Report, OECD Reviews of Higher
Education in Regional and City Development 2010, IMHE ; Home
page on-line. Available from http://www.oecd.org/edu/imhe/regional
development; Internet; accessed 10 Maret 2012.
Pradaningrum Mijiarto. Tahun Kunjung Museum, Sudahkah Museum
Berbenah? Kompas, Selasa, 5 Januari 2010. Home page on-line.
Available from http://www1.kompas.com/readkotatua/xml/2010/01/05
/15212212/Tahun.Kunjung.Museum.Sudahkah.Museum.Berbenah;
Internet; accessed 16 October 2011.

Sorensen, Lee. Wittkower Rudolf. Dictionary of Art Historian; Home page online. Available from www.dictionaryofarthistorians.org/wittkowerr. htm;
Internet; accessed 11 November 2011.

BERITA ACARA SIDANG SEMINAR


Telah diselenggarakan Sidang Seminar TKA 141 semester 6 dengan judul PERAN
ELEMEN ARSITEKTUR PADA TATA RUANG DALAM MUSEUM DALAM
MEWADAHI FUNGSI PAMERAN
pada :
Hari/Tanggal
Waktu
Tempat

: Rabu, 20 April 2016


: 16.00 17.00 WIB
: Gedung Sidharta Lantai 2
Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang.

Penyaji:
Muhammad Iqbal Raissilki

NIM 21020113140156

Tim Pembahas:
Siti Nurul Aqidah
Cintya Widya N.
Reza Dwiky S.
Yuni Muntafiah
Kania Kinasih

NIM 21020113120062
NIM 21020113140133
NIM 21020113130094
NIM 21020113120007
NIM 21020113130135

DosenPembimbing :
Ir. Satrio Nugroho, MSi
Susunan Acara :
1. Sidang dibuka oleh Moderator.
2. Penjelasan materi dan presentasi oleh Tim Penyaji.
3. Dibuka sesi tanya jawab untuk Tim Pembahas.
4. Penutup berupa saran dan masukan oleh Dosen Pembimbing.
SESI TANYA JAWAB :
MASUKAN DAN SARAN DARI DOSEN PEMBIMBING:
1. Masukan dan saran
Fokuskan apa yang mau dikaji
Aspek yang diperlukan apa saja
Pengajian harus lebih spesifik
Literature mengenai pemfokusan pada kajian

DAFTAR HADIR TIM PENYAJI DAN


PEMBAHAS
Telah diselenggarakan Sidang Seminar TKA 141 semester 6 dengan judul
PERAN ELEMEN ARSITEKTUR PADA TATA RUANG DALAM MUSEUM
DALAM MEWADAHI FUNGSI PAMERAN
pada:
Hari/Tanggal
Waktu
Tempat

: Rabu, 20 April 2016


: 16.00 17.00 WIB
: Gedung Sidharta Lantai 2
Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang.

dihadiri oleh: Penyaji


NO.
NAMA
1.

NIM

Muhammad Iqbal Raissilki

Tim Pembahas
NO. NAMA

Tanda Tangan

21020113140156
NIM

1.

Siti Nurul Aqidah

21020113120062

2.

Cintya Widya N

21020113140133

3.

Reza Dwiky S.

21020113130094

4.

Yuni Muntafiah

21020113120007

5.

Kania Kinasih

21020113130135
Dosen Pembimbing,

Ir. Satrio Nugroho,MSi


NIP. 19620327 198803 1 004

Mengetahui
Dosen Koordinator,

Ir. Hermin Werdiningsih, MTA NIP.


19601021 199003 2 002

Tanda Tangan

Anda mungkin juga menyukai