Anda di halaman 1dari 86

PRA TUGAS AKHIR

TPS 7701

KONEKTIVITAS RUANG PADA MASJID-MASJID KRATON


YOGYAKARTA (5 MASJID PATHOK NEGARA DAN MASJID
AGUNG GEDHE KAUMAN)

Disusun Oleh
GORDIANUS JEMADI
610016054

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA S1


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL YOGYAKARTA
2020
i
ii
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini ku persembahkan untuk:

Allah SWT. Atas kesempatan, rezeki, dan sebaik-baiknya rencana hidup diatas
segala rencana perencana seorang manusia biasa.

Mereka yang berhasil membuatku percaya makna dari tulus dan ikhlas yang
sebenarnya tanpa pernah berkata, Mama dan Bapak.

Adik yang pendidikannya harus bisa lebih baik dari Kakaknya, Johan

Mereka yang selalu memberi pertolongan setiap susah dan saat jatuh,
Bapak/Ibu dosen Institut Teknologi Nasional Yogyakarta

Mereka yang setia menolong dalam setiap susah dan jatuh, dengan
menertawakannya terlebih dahulu, Sahabat-sahabatku

Mereka yang bersedia dalam membantu; membimbing; memotivasi dan mendengar


keluh kesah mahasiswa bimbingannya, Bapak Iwan Priyoga, S.T., M.T dan Bapak
Ogi Dani Sakarov, S.T., M.Eng

Sedikit ini yang kupersembahkan.

“Strive For Excellence, Not Perfection”

i
ABSTRAK

Konsep pengembangan suatu wilayah dapat ditentukan oleh perilaku


manusia sebagai mahluk yang mengendalikan jalannya peradaban. Begitupun
sebaliknya ruang dapat mempengaruhi pola kehidupan manusia. Memahami
keadaan alam dan aktivitas masyarakat dapat dilihat dengan memahami konsep
keterkaitan (konektivitas) antara ruang dan waktu. Perubahan fungsi ruang
biasanya dapat diidentifikasi dengan melihat kondisi eksistensi ruang saat
ini dan kondisi sebelumnya. Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya.
Realitas ini antara lain dapat dilihat berbagai peninggalan bangunan
bersejarah yang banyak ditemukan. Banyak dari ini terlihat dalam bentuk
sejarah bangunan 5 masjid pathok negara sebagai tempat ibadah sekaligus
fungsi pertahanan keraton Yogyakarta. Masjid ini disebut Pathok Negara yang
terdiri dari 5 masjid. Fenomena Masjid Pathok Negara menimbulkan pertanyaan
ada apa dibalik Masjid ini dan apakah fungsi 5 Masjid ini masih lestari
hingga saat ini sesuai sejarahnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui fenomena Masjid Pathok Negara dan ingin mengungkapkan seperti
apa konsep konektivitas ruang pada 5 Masjid tersebut. 5 Masjid Pathok
Negara diantaranya yaitu: Mlangi Nogotirto, Gamping, Sleman; Ploso Kuning,
Ngaglik, Sleman; Dongkelan, Tirtonirmolo, Bantul; Babadan, Banguntapan,
Bantul; dan Wonokromo, Pleret, Bantul dan Masjid Agung Gedhe Kauman
Yogyakarta sebagai Masjid utamanya. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode kualitatif serta membaca fonemenologisnya, dengan menggali informasi
sejarah perkembangan dan pola fungsi ruang serta aktivitas eksistensi
disekitar Masjid Pathok Negara.

Kata Kunci: Konektivitas Ruang pada Wilayah Masjid Pathok Negara Yogyakarta

ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim…

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang


telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat
menyelesaikan penyusunan Laporan Proposal Tugas Akhir yang berjudul
“Konektivitas Ruang pada Masjid-Masjid Kraton Yogyakarta (5 Masjid
Pathok Negara dan Masjid Agung Gedhe Kauman)” ini dengan baik.
Laporan ini bagian dari mata kuliah Pra TA pada Program Studi
Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) Institut Teknologi Nasional
Yogyakarta. Atas tersusunnya proposal ini penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian laporan ini:

1. Ibu Yusliana ST., M.Eng., selaku Ketua Program Studi


Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Nasional
Yogyakarta.

2. Bapak Iwan Priyoga, S.T., M.T., selaku dosen pembimbing I yang


banyak memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran
hingga terselesainya penelitian ini.

3. Bapak Ogi Dani Sakarov, S.T., M.Eng., selaku dosen pembimbing


II yang banyak memberikan bimbingan dan arahan hingga
terselesainya penelitian ini.

4. Serta semua pihak yang baik secara langsung dan tidak langsung
berperan dalam penyusunan Proposal Tugas Akhir ini.

Pada akhirnya Penulis berharap semoga proposal ini dapat


memberikan manfaat bagi kita semua.

Yogyakarta, 20 Januari 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................. iii


DAFTAR ISI ...................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ................................................... vi
DAFTAR TABEL ................................................... vii
BAB I ............................................................ 1
PENDAHULUAN ...................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................ 3
1.3 Tujuan dan Sasaran ......................................... 3
1.3.1 Tujuan ................................................. 3
1.3.2 Sasaran ................................................ 3
1.4 Ruang Lingkup .............................................. 3
1.4.1 Ruang Lingkup Materi ................................... 4
1.4.2 Ruang Lingkup Wilayah .................................. 4
1.5 Kerangka Pemikiran ......................................... 5
1.6 Sistematika Penulisan ...................................... 7
BAB II .......................................................... 10
TINJAUAN PUSTAKA ................................................ 10
2.1 Definisi Konektivitas ..................................... 10
2.1.1 Pengertian Aspek Ruang ................................ 10
2.1.2 Pengertian Aspek Waktu ................................ 11
2.1.3 Konektivitas Antar Ruang Menurut Eva Banawati. Geografi
Sosial 2013. .................................................. 13
2.2 Hubungan Antara Ruang dan Aktivitas Manusia ............... 13
2.3 Tata Ruang dalam Perspektif Islam ......................... 15
2.4 Tata Ruang Kawasan Budaya ................................. 19
2.5 Arsitektur Islam .......................................... 20
2.6 Definisi Masjid ........................................... 24
2.6.1 Masjid Agung Yogyakarta (masjid Gedhe Kauman) ......... 25
2.6.2 Masjid Pathok Negara .................................. 25
2.7 Penelitian Terdahulu ...................................... 28
BAB III ......................................................... 31
GAMBARAN UMUM ................................................... 31
3.1 Kondisi Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta .............. 31
3.3 Sejarah Singkat Berdirinya Masjid Pathok Negara ........... 33
3.4 Kondisi Agama ............................................. 40
iv
3.5 Kondisi Sosial–Budaya KeIslaman ........................... 43
3.5.1 Kegiatan Sosial ....................................... 44
3.5.2 Seni dan Sastra ....................................... 46
3.5.3 Prinsip Hidup ......................................... 47
BAB IV .......................................................... 48
METODE PENELITIAN ............................................... 48
4.1 Pendekatan Penelitian ..................................... 48
4.2 Lokasi dan Objek Penelitian ............................... 50
4.2.1 Lokasi Penelitian ..................................... 50
4.2.2 Objek Penelitian ...................................... 52
4.3 Kebutuhan Data ............................................ 53
4.4 Teknik Pengumpulan Data ................................... 54
4.4.1 Pengamatan (Observasi) ................................ 54
4.4.2 Wawancara ............................................. 54
4.4.3 Studi Dokumentasi ..................................... 55
4.5 Teknik Sampling ........................................... 55
4.6 Teknik Analisis Data ...................................... 56
4.7 Skema Analisis ............................................ 59
4.8 Desain Survei ............................................. 60
4.9 Tahapan Studi dan Jangka Waktu Pelaksanaan ................ 61
4.10 Hasil Akhir yang Diharapkan .............................. 62
BAB V ........................................................... 63
PENUTUP ......................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA .................................................. 64

v
DAFTAR GAMBAR

1.1 Lokasi Masjid Pathok Negara…………………………………………………………………. 4


1.2 Kerangka Pemikiran…………………………………………………………………………………………. 6
3.1 Peta Daerah Istimewa Yogyakarta………………………………………………………. 32
3.2 Sejarah Masjid Pathok Negara………………………………………………………………. 33
3.3 Masjid Taqwa Wonokromo………………………………………………………………………………. 37
3.4 Masjid Sulthoni Plosokuning…………………………………………………………………. 37
3.5 Masjid Jami’ An-Nur Mlangi……………………………………………………………………. 38
3.6 Masjid Ad-Dorojatun Babadan…………………………………………………………………. 39
3.7 Masjid Nurul Huda Dongkelan…………………………………………………………………. 39
3.8 Masjid Pathok Negara……………………………………………………………………………………. 40
4.1 Bagan Metode Penelitian Kualitatif………………………………………………. 50
4.2 Peta Lokasi Penelitian………………………………………………………………………………. 51
4.3 Purposive Sampling…………………………………………………………………………………………. 56
4.4 Bagan Analisis Data Model Interaktif…………………………………………. 58
4.5 Skema Analisis……………………………………………………………………………………………………. 59

vi
DAFTAR TABEL

2.1 Tabel penelitian terdahulu………………………………………………………………………. 29


4.1 Objek Penelitian…………………………………………………………………………………………………. 52
4.2 Tabel Kebutuhan Data………………………………………………………………………………………. 53
4.3 Desain Survei…………………………………………………………………………………………………………. 60
4.4 Tahapan Studi Dan Jangka Waktu Pelaksanaan……………………………. 61

vii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konsep pengembangan wilayah dapat ditentukan oleh perilaku
manusia sebagai mahluk yang mengendalikan jalannya peradaban.
Begitupun sebaliknya ruang dapat mempengaruhi pola kehidupan
manusia. Suatu peristiwaa dapat dikaji berdasarkan aspek ruang,
waktu, kebutuhan, kemasyarakatan, dan budaya. Memahami keadaan alam
dan aktivitas masyarakat dapat dilihat dengan memahami konsep
keterkaitan (konektivitas) antara ruang dan waktu.
Ruang adalah tempat dipermukaan bumi, baik secara keseluruhan
maupun hanya sebagian (Sumaatmadja, 1981). Ruang atau tempat
digunakan manusia sebagai tempat tinggal dan tempat melakukan
interaksi antara satu dengan yang lainnya. Interaksi antar ruang
adalah pergerakan orang, barang atau informasi dari satu daerah ke
daerah lain. Ada beberapa kondisi saling bergantung yang diperlukan
untuk terjadinya interaksi keruangan yaitu sperti saling melengkapi
(complementarity), kesempatan antara (intervening opportunity) dan
keadaan dapat diserahkan/dipindahkan (transferability).
Selain sebagai kota Pendidikan kota Yogyakarta juga dikenal
sebagai kota budaya. Realitas ini antara lain dapat dilihat dari
berbagai peninggalan bangunan bersejarah yang banyak ditemukan.
Salah satu peninggalan bersejarah yang hingga kini masih terawat
dengan baik adalah Masjid Pathok Negara, yaitu Masjid keagungan
dalem di wilayah nagaragung. Masjid Pathok Negara berjumlah lima
buah dan tersebar di sejumlah tempat di Daerah Istimewah Yogyakarta,
yaitu: (1) Mlangi Nogotirto, Gamping, Sleman; (2) Ploso Kuning,
Ngaglik, Sleman; (3) Dongkelan, Tirtonirmolo, Bantul; (4) Babadan,
Banguntapan, Bantul;(5) Wonokromo, Pleret, Bantul dan Masjid Agung
Gedhe Kauman Yogyakarta sebagai Masjid Utamanya.
Daya tarik yang dimiliki kota Yogyakarta tidak lepas dengan
keberadaan Kesultanan Ngayogyakarta. Selain dari sisi wisata budaya
dan sejarah, Yogyakarta juga memiliki potensi wisata religi yang
terdapat di Masjid Pathok Negara dan Masjid Agung Kraton.

1
Hal yang menarik dari Masjid-masjid ini adalah memiliki latar
belakang sejarah keIslam yang kental sebelum Islam diterima menjadi
agama resmi di Jawa.
Masjid Pathok Negara adalah bangunan yang digunakan sebagai
bentuk wilayah Kesultanan Yogyakarta. Tujuannya sebagai benteng
pertahanan negara. Pola ini dirancang oleh Sultan Hamengkubuwana I,
berdasarkan saran Kyai Welit. Kyai Welit adalah tokoh agama di desa
Ploso Kuning, Yogyakarta. Karena situasi politik dalam menghadapi
kolonialisme Belanda, maka dibentuklah sistem pertahanan dengan
Mancapatpattern (Kiblatpapat limo pancer/Jawa). Sistem pertahanan
wilayah meliputi sistem pertahanan negara, dengan menggunakan banyak
bangunan benteng, kanal dan magang, kota garnisun, jalan gang dan
ruang terbuka publik.
Masjid Agung Yogyakarta (masjid Gedhe Kauman) dibangun untuk
menegaskan identitas Keislaman Kesultanan Mataram di Yogyakarta oleh
Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat
(Penghulu Kraton 1) dan Kyai Wiryokusumo. Masjid ini dibangun pada
hari Ahad Wage, 29 Mei 1773 M atau 6 Robi’ul Akhir 1187 H, sebagai
sarana beribadah bagi keluarga raja serta untuk kelengkapan sebuah
Kerajaan Islam.
Kerberadaan Masjid Pathok Negara hingga saat ini masih
dilestarikan dilihat dari keberadaan bangunan Masjid dan aktivitas
keIslaman disekitarnya. Berangkat dari fenomena ini sehinggah pada
penelitian ini akan melakukan identifikasi serta mengkaji ada apa
dibalik fenomena Masjid Pathok Negara yang awalnya adalah sebagai
tata negara Kesultanan Yogyakarta, maka perlu ditelusuri lebih dalam
apakah fungsi-fungsi awal tersebut masih berkelanjutan sampai
sekarang dan akan mengkaji bagaimana konektivitas ruang pada 5
Masjid Pathok Negara.
Dengan adanya penelitian Konektivitas Ruang pada Masjid-Masjid
Kraton Yogyakarta (5 Masjid Pathok Negara dan Masjid Agung Gedhe
Kauman) ini akan mengungkapkan seperti apa konektivitas berupa pola
dan fungsi ruang pada 5 Masjid tersebut dan apa saja aktivitas
keIslaman di wilayah sekitar Masjid Pathok Negara dan Masjid Agung
Gede Kauman Yogyakarta sebagai Masjid utamanya.
Penelitian ini dianggap penting untuk dilakukan karena kajian
tentang tata ruang yang berlatar belakang bangunan peribadatan

2
dengan status cagar budaya belum banyak dilakukan. Sebagai sebuah
masjid tentunya memiliki fungsi – fungsi untuk menampung aktivitas
ritual Islam yang merupakan kebutuhan dasar dalam agama Islam.
Selain itu fenomena Masjid Pathok Negara yang dibangun oleh
Kesultanan Yogyakarta tentunya juga terbentuk dari elemen –elemen
yang menyikapi aktivitas ritual agama Islam masyarakat Yogyakarta.
Banyaknya fenomena – fenomena dari latar belakang Masjid Pathok
Negara menjadikannya sarat dengan tanda dan makna, maka digunakan
pendekatan Fenomenologi berdasarkan realita yang ada untuk
mengetahui konektivitas dari Masjid Pathok Negara itu sendiri.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan penjelasan permasalahan dalam latar belakang
diatas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
“Bagaimana konektivitas ruang pada 5 Masjid Pathok Negara dan
Masjid Agung Gedhe Kauman Yogyakarta sebagai bentuk konsep
pengembangan wilayah?”
1.3 Tujuan dan Sasaran
Mengacu pada rumusan masalah penelitian, tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.3.1 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk Mengetahui konektivitas
ruang pada 5 Masjid Pathok Negara dan Masjid Keraton wilayah
Yogyakarta sebagai Masjid utamanya.

1.3.2 Sasaran
a. Identifikasi fenomena keIslaman pada 5 Masjid Pathok Negara
dan Masjid Keraton Yogyakarta.
b. Analisis konektivitas ruang pada 5 Masjid Pathok Negara dan
Masjid Agung Gede Kauman Yogyakarta sebagai Masjid utamanya.
1.4 Ruang Lingkup
Batasan Penelitian Ini dijabarkan agar objek penelitian lebih
terfokus. Penelitian yang akan dilakukan dapat dijelaskan sebagai
berikut:

3
1.4.1 Ruang Lingkup Materi
a. Objek Penelitian merupakan bangunan masjid Pathok Negara
yang termasuk dalam fungsi ruangnya yaitu 5 Masjid yang
terdiri dari Masjid Mlangi Nogotirto, Gamping, Sleman,
Masjid Ploso Kuning, Ngaglik, Sleman, Masjid Dongkelan,
Tirtonirmolo, Bantul, Masjid Wonokromo, Pleret, Bantul dan
Masjid Babadan, Banguntapan, Bantul serta Masjid Agung
Kraton yang berada di Alun-alun kota Jogjakarta.

b. Fokus penelitian adalah fenomena kegiatan keIslaman pada


lingkungan masjid Pathok Negara yang mempengaruhi kehidupan
masyarakat sekitar diantaranya aktivitas masyarakat dan
kehidupan kerohanian masyarakat serta hierarki ruang pada
Masjid dan sarana prasarana pendukungnya.

c. Kemudian Aspek kebudayaan masyarakat Yogyakarta digunakan


sebagai pendukung dalam menemukan sejauh mana kebudayaan
masyarakat mempengaruhi berkembangnya Masjid Pathok Negara.
Aspek Budaya yang dimaksud disini adalah sistem religi dan
sistem sosial masyarakat(organisasi) Masyarakat Yogyakarta.

1.4.2 Ruang Lingkup Wilayah


Lingkup wilayah dalam penelitian ini adalah 5 Masjid yang
terdiri dari Masjid Mlangi Nogotirto, Gamping, Sleman, Masjid Ploso
Kuning, Ngaglik, Sleman, Masjid Dongkelan, Tirtonirmolo, Bantul,
Masjid Wonokromo, Pleret, Bantul dan Masjid Babadan, Banguntapan,
Bantul serta Masjid Agung Keraton Gedhe Kauman, Daerah Istimewah
Yogyakarta.

4
Gambar 1.1
LOKASI MASJID PATHOK NEGARA

4
1.5 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran adalah suatu diagram yang menjelaskan
secara garis besar alur logika berjalannya sebuah penelitian dengan
melakukan analisis yang berkaitan dengan penelitian ini. Berikut
merupakan kerangka pikiran yang bisa dilihat pada bagan di bawah
ini.

5
Gambar 1.2
KERANGKA PEMIKIRAN

Sumber: Penulis, 2019

6
1.6 Sistematika Penulisan
Laporan Pra Tugas Akhir
a. Bagian Awal
Bagian awal tugas akhir secara berurutan terdiri atas
kelengkapan sebagai berikut:
1. Halaman Judul
Pada halaman ini tertulis judul pra tugas akhir, nama dan
NIM mahasiswa, dan lembagapendidikan. Meskipun merupakan
bagian dari preliminary section, nomor halaman tidak
ditulis (Lampiran 3)
2. Halaman Persetujuan
Halaman persetujuan menjelaskan bahwa laporan pra TA
telah layak untuk diajukan pada siding akhir. Lembar ini
ditandatangani oleh pembimbing I, pembimbing II, dan
dosen wali (Lampiran 4)
3. Halaman Pengesahan
Halaman pengesahan menjelaskan bahwa tugas akhir tersebut
disusun sebagai syarat kelulusan, tanggal siding ujian
dilakukan, pengesahan oleh dosen pembimbing, ketua
panitia sidang ujian sarjana, dan ketua program studi
(Lampiran 5)
4. Halaman Pribadi/Persembahan
Halaman ini berisi motto, kesan, pesan, atau persembahan
kepada orang tertentu, dan sepenuhnya menjadi hak
penulis. Karena merupakan hak penuh penulis, tidak ada
aturan tertentu untuk halaman ini, namun penulisan
berbagai kalimat dalam halaman ini tetap harus rapi,
dengan huruf dan format susunan yang mudah dibaca.
Halaman pribadi maksimal 1 halaman.
5. Abstrak
Abstrak ini berisi ringkasan pra TA, mulai dari latar
belakang hingga kesimpulan. Tujuannya adalah supaya
pembaca mampu menangkap keseluruhan isi tugas akhir
secara ringkas dan cepat. Aturan penulisan abstrak adalah
menggunakan font Courier new 11pt, Spasi tunggal (1
spasi), terdiri atas maksimal 250 kata, dan merupakan
satu elenia.

7
6. Kata Pengantar
Kata pengantar secara singkat menjelaskan proses
penelitian dan penyusunan tugas akhir. Pada bagian akhir
ditulis ucapan terima kasih kepada beberapa pihak yang
dianggap penting.
7. Daftar Isi, Daftar Gambar, Daftar Tabel
Daftar isi memuat semua bagian tugas akhir, dari awal
(halaman judul) sampai akhir (lampiran). Daftar gambaran
memuat semua gambar yang dicantumkan dalam tugas akhir,
baik peta, bagan alir, foto, maupun grafik disertai nomor
halaman. Daftar table memuat semua table serta nomor
halaman tempat tabel ditulis. Daftar lampiran memuat
semua lampiran yang dicantumkan dalam tugas akhir
disertai nomor halaman
b. Bagian Tubuh
1. Bab I Pendahuluan
Dalam bagian pendahuluan memuat penjelasan mengenai latar
belakang penulisan atau pemilihan topik tugas akhir,
rumusan permasalahan, tujuan dan sasaran studi, ruang
lingkup, kerangka pemikiran, dan sistematika pra TA.
2. Bab II Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka berisi teori/konsep/rumus yang terdapat
dalam literatur tertentu, yang relevan dengan topik
terpilih. Tinjauan pustaka juga menjelaskan penelitian
atau tulisan lain yang pernah dilakukan, yang relevan
dengan judul. Jumlah sumber disesuaikan dengan kebutuhan
dan kecukupan materi. Tinjauan pustaka diberi judul yang
relevan dengan topik TA.
3. Bab III Gambaran Umum
Merupakan pemaparan tentang kondisi obyek atau wilayah
studi, yang diuraikan menurut kerangka makro maupun yang
berkaitan dengan tujuan studi. Hal-hal yang dikemukakan
merupakan data-data yang dikumpulkan selama penelitian.
Gambaran umum diberi judul sesuai dengan topik.

8
4. Bab IV Metode Penelitian
Bagian ini berisi penjelasan tentang pendekatan studi
yang digunakan, tahapan studi, jangka waktu pelaksanaan,
wilayah studi, kebutuhan data, cara memperoleh data, alat
analisis dan hasil akhir yang diharapkan. Bagian ini juga
menjelaskan keterkaitan antara analisis yang satu dengan
analisis yang lain jika meliputi lebih dari satu analisa
5. Bab V Penutup
Berisi pernyataan bahwa studi yang akan dilakukan
merupakan studi yang orisinil dan bukan merupakan
plagiasi.
c. Bagian Akhir
1. Daftar Pustaka
Berisi uraian tentang pengarang, judul referensi baik
berupa buku, buku teks, terbitan berkala, terbitan
terbatas, makalah artikel berita, atau laporan/dokumen
tertulis lain yang dikutip atau menjadi dasar dasar
penyusunan tugas akhir. Penulisan berdasarkan urutan
abjad nama pengarang, tidak perlu dikelompokkan
berdasarkan kategori tertentu. Halaman daftar pustaka
merupakan lanjutan dari halaman tubuh tugas akhir.
2. Lampiran
Berisi materi lengkap sebagaimana tercantum dalam daftar
lampiran pada bagian preliminary. Lampiran yang
disertakan dalam laporan sesuai dengan kebutuhan
penelitian.

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Konektivitas


Dalam kamus besar bahasa indonesia: koneksi/koneksivitas
adalah hubungan yang dapat memudahkan (melancarkan) segala urusan
(kegiatan).
Dalam buku arsitektur bentuk, ruang dan tatanan: konektivitas
merupakan sebuah ruang-ruang yang di hubungkan oleh sebuah ruang
bersama.
Konektivitas dalam arsitektur tidak terlepas dari Kontekstual
dalam beberapa teori arsitektur, konektivitas dan kontekstual sangat
berkaitan. berikut merupakan memaparan dari beberapa teori
kontekstual. Menurut Brent C. Brolin dalam bukunya Architecture in
Context (1980) menjelaskan, kontekstualisme adalah kemungkinan
perluasan bangunan dan keinginan mengaitkan bangunan baru dengan
lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, kontekstualisme merupakan
sebuah ide tentang perlunya tanggapan terhadap lingkungannya serta
bagaimana menjaga dan menghormati jiwa dan karakter suatu tempat.
Untuk mewujudkan dan menciptakan arsitektur kontekstual, sebuah
desain tidak harus selamanya kontekstual dalam aspek form dan fisik
saja, akan tetapi kontekstual dapat pula dihadirkan melalui aspek
non fisik, seperti fungsi, filosofi, maupun teknologi.
Tidak Selamanya bangunan yang selaras dengan banguan kuno mampu
ditampilkan utuh dan dapat disebut menjadi karya yang kontekstual.
Tampilan fasade bangunan dengan citra kontekstual harus pula
mempertimbangkan tentang fungsi kontekstual yang akan ditetapkan
Suatu peristiwa dapat dikaji berdasarkan aspek ruang, waktu,
kebutuhan, kemasyarakatan, dan budaya. Memahami keadaan alam dan
aktivitas penduduk kita awali dengan memahami konsep keterkaitan
(konektivitas) antara ruang dan waktu.

2.1.1 Konektivitas berdasarkan Aspek Ruang


Pengertian aspek ruang adalah pertimbangan atau sudut pandang
suatu kejadian yang dipengaruhi oleh ruang. Ruang merupakan tempat
di permukaan Bumi, baik sebagian maupun keseluruhan. Ruang tidak
hanya sebatas udara dipermukaan bumi, tetapi juga lapisan atmosfer,

10
batas ruang dapat diartikan sebagai tempat dan unsur lainnya yang
berpengaruh terhadap kehidupan mahluk hidup di seluruh permukaan
Bumi.
Ruang merupakan tempat berlangsungnya kegiatan individu
perorangan dan kelompok. Ruang tidak sekedar bangunan seperti rumah
atau gedung. Ruang juga meliputi udara, air, tanah, serta komponen-
komponen yang ada di dalamnya. Ruang juga dapat diartikan sebagai
tempat dan unsur-unsur lainya yang mempengaruhi Bumi.
Ruang atau tempat digunakan manusia sebagai tempat tinggal dan
tempat melakukan interaksi antara satu dan yang lainnya. Mereka
saling menyapa, menegur, berkenalan, dan saling memengaruhi. Manusia
tidak dapat hidup sendiri. Mereka selalu berhubungan dengan manusia
lain. Hubungan tersebut tercermin dalam interaksi sosial. Interaksi
sosial mendasari aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
satu dan lainnya. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia menciptakan
berbagai hal untuk membuat kehidupan mereka menjadi lebih baik.
Dalam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi ditentukan oleh
interaksi sosial. Kebutuhan manusia dipenuhi melalui proses
interaksi sosial. Berikut pengertian konektivitas berdasarkan waktu

2.1.2 Konektivitas berdasarkan Aspek Waktu


Definisi aspek waktu adalah pertimbangan atau sudut pandang
suatu kejadian yang dipengaruhi oleh waktu. Selain terikat dengan
ruang, suatu peristiwa juga terikat waktu. Konteks waktu dibagi 3:

a) Lampau: Waktu lampau berkaitan dengan masa lalu yang telah


terjadi.
b) Sekarang: Masa sekarang berkaitan dengan kegiatan yang sedang
dilakukan.
c) Akan datang: Masa akan datang berkaitan dengan kegiatan yang akan
dilakukan.
Dalam sejarah, konsep waktu sangat penting untuk mengetahui
peristiwa masa lalu dan perkembangannya hingga saat ini. Konsep
waktu dalam sejarah mempunyai arti masa atau periode berlangsungnya
perjalanan kisah kehidupan manusia.
Selain terikat oleh ruang, suatu peristiwa/gejala terikat juga
oleh waktu. Sebagai contoh "terjadi peristiwa bencana tsunami di
Aceh pada tahun 2004". Peristiwa tsunami tersebut terikat oleh

11
ruang, yaitu Aceh dan terikat oleh waktu, yaitu tahun 2004. Suatu
peristiwa juga seringkali tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan
rangkaian dari peristiwa-peristiwa sebelumnya.
Sebagai contoh, kemerdekaan yang kita nikmati sekarang ini
adalah hasil perjuangan dari para pahlawan kita dulu saat era
perjuangan. Kita harus berterimakasih dan menghargai jasa para
pahlawan yang telah mendahului kita dan telah mengorbankan jiwa
raganya untuk merebut kemerdekaan yang kita nikmati sekarang.
Manusia menggunakan ruang atau tempat sebagai tempat tinggal
dan melakukan interaksi antara satu dan yang lainnya. Manusia saling
menyapa, berkenalan, menegur, dan saling berinteraksi. Manusia tidak
dapat hidup sendiri, manusia selalu berhubungan dengan manusia
lainnya.
Hubungan tersebut tercermin dalam hubungan interaksi sosial.
Interaksi sosial merupakan kunci dalam sendi-sendi kehidupan sosial
karena tanpa interaksi, tidak mungkin terjadi aktivitas sosial.
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis,
baik yang menyangkut hubungan antara individu dengan individu
lainnya, antara individu dengan kelompok, maupun antara kelompok
dengan kelompok.
Contoh antar keterkaitan ruang
1) Peristiwa banjir di Jakarta terjadi karena kerusakan hutan di
daerah Bogor. Air hujan yang jatuh di daerah Bogor sebagian besar
masuk ke sungai. Hanya sebagian kecil air hujan yang terserap
oleh tanah di Bogor. Akibatnya, Jakarta terkena banjir yang
airnya sebagian berasal dari wilayah Bogor.
2) Kampung A tidak pernah membuang sampah pada tempatnya, sedang
kampung B selalu menjaga kebersihan, seperti membuang sampah pada
tempatnya, melakukan kerja bakti setiap hari minggu, kampung B
selalu bersih tanpa ada sampah, jika ada sampah selalu ditaruh
di tempatnya. kemuadian di kampung A dan B terjadi hujan yg
sangat lebat sekali. di kampung A terjadi banjir yg lumayan
tinggi, air banjir di kampung A itu menuju ke kampung B melalui
sungai.
3) Lapangan pekerjaan banyak tersedia di kota, sedangkan di desa
hanya terbatas pada sektor pertanian. Akibatnya, banyak penduduk
desa yang bepergian ke kota untuk bekerja atau mencari pekerjaan.

12
2.1.3 Konektivitas Antar Ruang Menurut Eva Banawati. Geografi
Sosial 2013.
• Kondisi topografi sangat berpengaruh pada aktivitas
manusianya yang ditimbulkan dari adaptasi dan pemanfaatan
lingkungan alam oleh manusia dalam mempertahankan hidup.
Misal di daerah pegunungan yang subur sebagian besar
massyarakat memanfaatkan lingkungan alam untuk pertanian
sayur karena cocok dengan kondisi tanah dan iklimnya.
Dataran rendah, masyarakatnya memanfaatkan lingkungan untuk
menghasilkan bahan pangan yang sesuai dengan kondisi alam
dataran rendah, misalnya menanam padi sawah.
• Manusia di daerah pegunungan memiliki pola rumah
mengelompok mengikuti relief pegunungan dengan bentuk rumah
sedikit ventilasi untuk menyesuaikan dengan suhu
pegunungan. Di dataran rendah rumah biasanya memanjang
mengikuti jalan, sungai, dan bentuk rumah banyak ventilasi.
• Kegiatan ekonomi merupakan pola kebudayaan yang mudah
dikenali karena dipengaruhi oleh kondisi alam.
Realisasinya, jenis kehidupan berupa mata pencaharian
bercorak khas sesuai dengan kemampuan manusia beradaptasi
dengan tata geografi daerahnya.
• Mobilitas horisontal atau geografis yaitu gerak penduduk
dari satu wilayah ke wilayah lain dalam jangka waktu
tertentu.
2.2 Hubungan Antara Ruang dan Aktivitas Manusia
2.2.1 Keterkaitan antar Ruang dan Manusia
Ruang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia dimana
pun dia berada, baik secara psikologi dan emosional (persepsi),
maupun dimensional. Manusia selalu berada dalam ruang, bergerak
serta menghayati, berpikir dan juga menciptakan ruang untuk
menyatakan bentuk dunianya. Ciptaan yang artistik disebut ruang
arsitektur. Ruang arsitektur ini menyangkut interaksi antara ruang
dalam dan ruang luar, yang saling mendukung dan memerlukan penataan
lebih lanjut.
Ruang mempunyai arti yang penting bagi kehidupan manusia semua
kehidupan dan kegiatan manusia berkaitan dengan aspek ruang. Adanya
hubungan antara manusia dengan suatu obyek, baik secara visual
13
maupun melalui indra pendengar, indra perasa, dan indra penciuman
akan selalu menimbulkan kesan ruang.
Konsep mengenai ruang (space), selama ini dikembangkan melalui
beberapa pendekatan yang berbeda dan selalu mengalami perkembangan.
Menurut Friedman dan Weaver Harvey (1995), terdapat 3 pendekatan
mengenai ruang, yaitu:
a) Ecological Approach (pendekatan ekologis)
Ruang sebagai satu kesatuan ekosistem, dimana komponen-
komponenruang saling terkait dan berpengaruh secara mekanistis.
b) Functional/economical approach (pendekatan ekonomi dan
fungsional) Ruang sebagai wadah fungsional berbagai kegiatan,
dimana factor jarak atau lokasi menjadi penting.
c) Socio-political approach (pendekatan sosial-politik)
Ruang tidak sebagai sarana produksi akan tetapi juga sebagai
sarana untuk mengakumulasi power atau penguasaan ruang
Ketiga pendekatan diatas akan terasa lebih lengkap apabila
diikutsertakan unsur manusia sebagai human agency yang mempunyai
kehendak dan kemauan (Flanagan, 1992)
Ruang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Hal ini
disebabkan manusia selalu bergerak dan berada didalamnya. Ruang
tidak akan ada artinya jika tidak ada manusia. Oleh karena itu,
titik tolak dari perancangan ruang harus selalu didasarkan pada
manusia. Menurut Szokolay (1980) hubungan manusia dengan ruang
lingkungan dapat dibagi 2, yaitu:
a) Hubungan Dimensional (Antropometrics)
Menyangkut dimensi-dimensi yang berhubungan dengan tubuh manusia
dan pergerakannya untuk kegiatan manusia.
b) Hubungan Psikologi dan Emosional (Proxemics) Hubungan ini
menentukan ukuran-ukuran kebutuhan ruang untuk kegiatan manusia.
Hubungan keduanya menyangkut persepsi manusia terhadap ruang
lingkungannya.
Dalam hubungan dengan ruang, Edward T. Hall dalam Hakim (1991),
menulis bahwa: “Salah satu perasaan kita yang penting mengenai ruang
ialah perasaan teritorial. Perasaan ini memenuhi kebutuhan dasar
akan identitas diri, kenyamanan dan rasa aman pada pribadi manusia.

14
2.2.2 Keterkaitan antar Manusia dan Aktivitasnya
Aktivitas yang akan diuraikan pada sub bab ini dikaitkan dengan
perilaku, di mana pandangan hidup, kepercayaan yang dianut, nilai-
nilai serta norma-norma yang dipegang seseorang akan mencerminkan
perilaku orang tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Sebagaimana
yang ditegaskan oleh Rapoport (1977) bahwa konteks kultural dan
social akan menentukan sistem aktivitas atau kegiatan manusia.
Sistem kegiatan dan cara hidup akan menentukan macam dan wadah untuk
kegiatan tersebut di mana wadah tersebut ruang-ruang yang saling
berhubungan dalam satu sistem tata ruang yang berfungsi sebagai
tempat berlangsungnya kegiatan.
Oleh Bechtel dan Zeisel dalam Haryadi dan Setiawan (1995),
kegiatan atau aktivitas didefinisikan sebagai apa yang dikerjakan
oleh seseorang pada jarak waktu tertentu. Aktivitas atau kegiatan
tersebut terbagi menjadi empat, yaitu:
a) Pelaku
b) Macam kegiatan
c) Tempat
d) Waktu berlangsungnya kegiatan

2.3 Tata Ruang dalam Perspektif Islam


Agama Islam sebagai agama yang mengklaim sebagai agama yang
rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam), tentunya mempunyai
aturan mengenai masalah perkotaan. Dalam hal-hal tersebut, tampak
jelas hubungan kontekstual ilmu fiqih itu diolah dengan metode
ijtihad yang mengembangkan ijma, qiyas, dan istiqara. Selanjutnya
dalam periode tahzib disempurnakan sistematikanya dan mengalami
beberapa reformulasi sampai pada pembakuan formatnya. Sejak periode
taqlid yang cukup lama bertahan, hingga dapat diwariskan periode
taqnim yang kini telah berkembang pesat.
Menurut K.H. Ali Yafie mengatakan bahwa fiqih itu pada dasarnya
bukanlah suatu ilmu teoristis (ulum nazhariyah) tetapi garapannya
berupa ketentuan-ketentuan positif (ahkam ahmaliyah). Oleh karena
itu, menurutnya, definisi yang baku untuk fiqih ialah “al-fiqih huwa
al-ilmu bi al-ahkam asy- syar’iyyah al-amaliyyah al-mutasabu min
adillatiha at-tafshiliiyah.” Kalau definisi ini diuraikan, maka
isinya dapat dipertajam yakni:

15
1. Fikih adalah garapan manusia (ilmu al-muktasab) karena fiqih itu
merupakan ilmu muktasab, maka peran akal, (ra’yi) mendapat tempat
dan diakui dalam batas-batas tertentu.
2. Fikih itu objek garapannya adalah al-ahkam al-amaliyah. Dengan
kata lain, ia terkait dengan pengaturan dan penataan perbuatan/
kegiatan manusia yang bersifat positif dan nyata serta tidak
bersifat teoristis(nazha-riyyah) seperti halnya garapan ilmu
kalam (aqaid).
3. Sumber pokok fikih itu adalah wahyu (syar’i) dalam bentuknya yang
rinci (adillah tafsiliyyah) baik dalam Al-Qur’an maupun dalam
As-Sunnah.
Sedangkan fikih perkotaan, termasuk dalam ruang lingkup fikih
siyasi (al-fiqh as-siyasi). Dijelaskan yang dimaksud dengan fikih
siyasi adalah ilmu tentang seluk beluk pengaturan kepentingan umat
manusia pada umumnya dan negara pada khususnya, berupa hukum,
peraturan, dan kebijkasanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan
yang bernafaskan ajaran islam untuk mewujudkan kepentingan orang
banyak.
Jelaslah dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa fikih
perkotaan dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang seluk beluk
pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan bermukim di
kota pada khususnya, berupa hukum, peraturan, dan kebijaksanaan yang
dibuat oleh pemegang kekuasaan (pemerintah kota) yang bernafaskan
ajaran islam untuk mewujudkan kepentingan orang banyak yang bermukim
diperkotaan.
Imam al-Mawardi, ahli fikih Mazhab Syafi’i dan negarawan pada
masa Dinasti Abbasiyah, dalam bukunya “Al-Ahkam as-Sultaniyyah”
(Peraturan-Peraturan Pemerintahan) mengatakan bahwa ruang lingkup
fikih siyasi mencakup lima bagian, yakni politik perundang-undangan
(siyasah dusturiyyah), politik moneter (siyasah maliyyah), politik
peradilan (siyasah qada’iyyah), politik peperangan (siyasah
harbiyyah), dan politik administrasi (siyasah idariyyah).
Nabi, yang merupakan penunjuk pertama dan yang paling pasti
dalam memahami Al-Quran, yang perkataannya (hadits) dan tindakan dan
perbuatannya (sunnah) melengakapi ajaran Al-Qur’an mengenai alam,
senantiasa melakukan perbuatan yang mencerminkan ajaran Al-Qur’an
untuk menjaga, merawat, dan memelihara alam dalam kehidupannya

16
sehari-hari. Dia menanam pepohonan, tidak merusak berbagai vegetasi
meskipun saat perang, mencintai hewan dan menunjukan kebaikan kepada
mereka, dan senantiasa mendorong kepada umat muslim untuk melakukan
hal serupa. Dia bahkan mendirikan kawasan yang dilindungi untuk
kehidupan alam, yang dianggap sebagai prototipe taman alam islam
kontemporer dan konservasi alam.
Nabi Muhammad saw melaksanakan politik kenegaraan, mengirim
dan menerima duta, memutuskan perang dan membuat perjanjian serta
bermusyawarah. Akan tetapi dalam kekuasaan tertinggi menempatkan
Allah sebagai raja, yang maha suci, yang maha sejahtera, yang maha
mengaruniakan keamanan, yang memelihara, yang maha perkasa, yang
maha kuasa, yang maha memiliki keagunggan atau seperti dikatakan
oleh Dr. Rahan Zainudin M.A. bahwa dalam pandangan islam, Tuhan
menempatkan posisi yang amat sentral dalam setiap bentuk dan
manifestasi pemikiran. Tuhan adalah pencipta langit dan bumi atas
kehendak-Nya sendiri. Demikian pula alam semesta dan juga
menciptakan manusia. Dalam pemikran islam, Tuhan itu juga merupakan
sumber dari kebenaran.
Sejak pertama kali Nabi Muhammad saw memulai dakwahnya sampai
beliau wafat, disebut masa kenabian, yaitu masa keagungan islam.
untuk melihat pemerintahan beliau adalah setelah hijrah dari mekah
ke madinah, karena setelah terbentuknya pemerintahan islam di
Madinah, jamaah islamiyah memperoleh kedaulatan yang sempurna,
kemerdekaan yang penuh dan konsep islam mulai diterapkan.
Apabila kita berfikir untuk memulai pembuatan semacam islamic
village, maka pertimbangan berikut perlu mendapatkan porsi perhatian
yang cukup dalam menata perumahan yang islami, yaitu:
1. Lokasi masjid mudah dijangkau
Hendaknya masjid diletakan di tengah-tengah komplek perumahan
tersebut sebagai sentral aktifitas masyarakat. Lokasi masjid seperti
itu menjadikan jarak setiap warga menuju masjid dekat dari semua
arah. Secara psikologis, masjid yang berada di tengah masyarakat
mengisyaratkan simbol ruhaniyah. Warga masyarakat akan memiliki
kedekatan dan keterikatan dengan nilai-nilai kebaikan karena
terkondisi oleh masjid.
Apabila kita melihat aktivitas Rasulullah sesaat beliau dan
sahabat Muhajirin diterima sahabat Anshar di Madinah, yang beliau

17
lakukan adalah membangun masjid sebagai sebuah markas pergerakan
dakwah islam waktu itu, masjid mempunyai pengaruh yang besar dalam
mengikat persaudaraan dan menguatkan ikatan diantara mereka.
2. Lokasi Komplek Pendidikan dan Sarana Kesehatan Umum yang
Dekat dengan Masjid
Setelah masjid terbangun ditengah kompleks perumahan, bangunan
berikutnya yang harus diperhatikan adalah sarana pendidikan dan
pelayanan kesehatan umum. Kedua sarana ini amat vital bagi kehidupan
masyarakat. Dengan demikian yang dituntut adalah sebuah lembaga
pendidikan islami mulai dari kurikulum yang tidak terjadi
pengungkungan atasnya, sistem interaksi belajar mengajar yang
islami, guru yang memberikan keteladanan dan kebaikan, serta
akifitas tambahan yang menunjang terbentuknya pribadi anak didik
yang beriman, berilmu, bertakwa dan mampu mengamalkan.
3. Ada Batas-Batas Kepemilikan yang Jelas
Betapa sering dalam kehidupan sehari-hari kita mendengar
berita tentang sengketa mengenai tanah. Sejak dari masalah
ketidakjelasan sertifikat hak milik tanah, masalah batas, sampai
sengketa-sengketa lain dengan beraneka ragam dan bentuk motifnya.
Perumahan yang islami sudah tentu harus terhindar dari
permasalahan semacam itu, seluruh masalah yang berkenaan dengan
kejelasan akad harus telah diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Hal
ini untuk menjaga kebaikan bersama, dan juga menjaga ketenangan
serta keamanan setiap warga penghuni perumahan tersebut.
4. Keamanan, Keindahan, dan Kesehatan
Kompleks perumahan Islami hendaknya ditata sedemikian rupa
sehingga tampak indah dipandang sekaligus aman. Penataan jalan-jalan
atau gang-gang yang rapi, teratur, penanaman pohon-pohonan yang
rindang dan sejuk, pengaturan pembuangan limbah air ataupun limbah
padat yang mengutamakan aspek kesehatan perlu diusahakan seoptimal
mungkin.
Penjagaan kebersihan senantiasa diperhatikan baik secara
individu maupun secara kolektif dalam bentuk kerja bakti pembersihan
fasilitas umum, kabel-kabel listrik ditata dengan mempertimbangkan
aspek keindahan pandangan serta keamanan masyarakat. Penerangan
jalan-jalan atau gang- gang umum dimalam hari juga harus tertata
rapi.

18
5. Tersedia Bebagai Fasilitas Umum
Banyak pihak membuat kompleks perumahan tanpa menyediakan
berbagai fasilitas umum yang menunjang kenyamanan warganya. Taman
mini untuk rekreasi, tanah untuk pemakaman, serat berbagai fasilitas
lainnya yang diperlukan seperti telepon umum, sarana kesehatan,
kompleks pertokoan, dan lain-lain.
Dalam kondisi rumah tangga islami yang tidak mampu memiliki
rumah cukup luas karena keterbatasan kemampuan ekonomi, berbagai
fasilitas umum tersebut akan sangat bermanfaat. akan lebih baik
apabila lokasi tempat olah raga dipisahkan khusus untuk laki-laki
dan wanita. Tempat olah raga yang dilengkapi dengan bebagai
fasilitas, sepeti kolam renang, ruang senam, peralatan kebugaran,
dan sebagainya hanya bernilai islami apabila ada pemisahan antara
laki-laki dengan perempuan. Diupayakan tidak ada ikhtilat dalam
suasana olah raga yang lebih membutuhkan kebebasan bergerak
tersebut.
Kompleks pemakaman sering luput dari perhatian pihak dari yang
membuat perumahan, mereka tidak mau rugi barang sejengkal tanah pun
untuk makam padahal pada akhirnya seluruh warga juga akan mati,
untuk itu diperlukan sebidang tanah yang dikelola secara profesional
untuk dijadikan makam. Agar makam tersebut tidak memerlukan tanah
yang terlalu luas, maka setiap warga tidak berhak memiliki kavling
sendiri-sendiri semua dikelola oleh petugas yang ditunjuk sehingga
tanah makam bisa efektif tanpa ada pemborosan yang disebabkan oleh
keinginan warga untuk mengabadikan setiap kavling makam keluarganya.

Allah swt berfirman, dalam surat Qaf: 11;


‫ُر‬
ِ‫ُو‬
‫ج‬
ُ ‫الخ‬ ِ‫َٰل‬
ْ َ‫ِك‬َ
‫َذ‬ ‫ًاِ ك‬
‫ْت‬‫مي‬ ً‫د‬
َ ‫ة‬
ِ ْ‫ب‬
َ‫ل‬ َ ِ
‫ِه‬‫َا ب‬
‫ْن‬ ‫َح‬
‫ْيَي‬ ‫ِِ و‬
‫َأ‬ ‫ِبَاد‬
‫لع‬ ِ ‫ًْقا‬
ْ‫ل‬ ‫ِز‬‫ر‬
Artinya:
“Untuk menjadi rezki bagi hamba-hamba (Kami), dan kami hidupkan
dengan air itu tanah yang mati (kering). seperti Itulah
terjadinya kebangkitan.” (Qaf: 11).

2.4 Tata Ruang Kawasan Budaya


Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya
alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan yang digunakan
atau diambil manfaatnya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kawasan

19
budi daya yang telah ditetapkan dalam RTRW Kabupaten/Kota harus
dikelola dalam rangka optimalisasi implementasi rencana.
Di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 disebutkan bahwa
yang termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan peruntukan
hutan produksi, kawasan peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan
pertanian, kawasan peruntukan perikanan, kawasan peruntukan
pertambangan, kawasan peruntukan permukiman, kawasan peruntukan
industri, kawasan peruntukan pariwisata, kawasan tempat beribadah,
kawasan pendidikan, dan kawasan pertahanan keamanan.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta ada beberapa kawasan yang
mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan,
dan pendidikan. Berdasarkan pasal 1 angka 6 Undang-Undang RI No. 11
Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, “Kawasan cagar budaya adalah satuan
ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang
letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang
khas”.

Dalam rangka upaya pengendalian pemanfaatan ruang dalam


konteks kekinian, maka diperlukan kebijakan dan strategi pelestarian
kawasan tersebut. Implementasi upaya itu adalah dengan membentuk
kawasan cagar budaya di berbagai tempat di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Pertama, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur No.
186/2011 ada 6 (enam) Kawasan Cagar Budaya yang telah ditetapkan,
yaitu Kotagede, Keraton, Malioboro, Pakualaman, Kotabaru, dan
Imagiri. Kedua, Kawasan Prambanan dengan potensi tinggalan masa
klasik (Hindu-Budda), sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat
Nasional hal itu berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan R.I. No.278/M/2014 Tentang Satuan Ruang Geografis
Prambanan. Mengingat sebagai kawasan dengan peringkat nasional, maka
batasan wilayahnya mencakup dua wilayah propinsi yaitu DIY dan Jawa
Tengah.

2.5 Arsitektur Islam


Arsitektur Islam merupakan wujud perpaduan antara kebudayaan
manusia dan proses penghambaan diri seorang manusia kepada Tuhannya,
yang berada dalam keselarasan hubungan antara manusia, lingkungan
dan Penciptanya. Arsitektur Islam mengungkapkan hubungan geometris
yang kompleks, hirarki bentuk dan ornamen, serta makna simbolis yang

20
sangat dalam. Arsitektur Islam merupakan salah satu jawaban yang
dapat membawa pada perbaikan peradaban. Di dalam Arsitektur Islam
terdapat esensi dan nilai-nilai Islam yang dapat diterapkan tanpa
menghalangi pemanfaatan teknologi bangunan modern sebagai alat dalam
mengekspresikan esensi tersebut.
Perkembangan arsitektur Islam dari abad VII sampai abad XV
meliputi perkembangan struktur, seni dekorasi, ragam hias dan
tipologi bangunan. Daerah perkembangannya meliputi wilayah yang
sangat luas, meliputi Eropa, Afrika, hingga Asia tenggara.
Karenanya, perkembangannya di setiap daerah berbeda dan mengalami
penyesuaian dengan budaya dan tradisi setempat, serta kondisi
geografis. Hal ini tidak terlepas dari kondisi alam yang
mempengaruhi proses terbentuknya kebudayaan manusia.
Arsitektur yang merupakan bagian dari budaya, selalu
berkembang seiring dengan berkembangnya peradaban manusia. Oleh
karena itu, Islam yang turut membentuk peradaban manusia juga
memiliki budaya berarsitektur. Budaya arsitektur dalam Islam dimulai
dengan dibangunnya Ka’bah oleh Nabi Adam as sebagai pusat beribadah
umat manusia kepada Allah SWT (Saoud, 2002: 1). Ka’bah juga merupakan
bangunan yang pertama kali didirikan di bumi. Tradisi ini
dilanjutkan oleh Nabi Ibrahim AS bersama anaknya, Nabi Ismail as.
Mereka berdua memugar kembali bangunan Ka’bah. Setelah itu, Nabi
Muhammad SAW melanjutkan misi pembangunan Ka’bah ini sebagai
bangunan yang bertujuan sebagai tempat beribadah kepada Allah. Dari
sinilah budaya arsitektur dalam Islam terus berkembang dan memiliki
daya dorong yang belum pernah terjadi sebelumnya, serta mencapai
arti secara fungsional dan simbolis. Hal ini dijelaskan dalam al
Quran Surat Ali Imran ayat 96: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula
dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di
Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua
manusia”.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa arsitektur Islam
adalah cara membangun yang Islami sebagaimana ditentukan oleh hukum
syariah, tanpa batasan terhadap tempat dan fungsi bangunan, namun
lebih kepada karakter Islaminya dalam hubungannya dengan desain
bentuk dan dekorasi. Definisi ini adalah suatu definisi yang

21
meliputi semua jenis bangunan, bukan hanya monumen ataupun bangunan
religius (Saoud, 2002 dalam Fikriarini,2010).
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, Arsitektur Islam
merupakan salah satu gaya arsitektur yang menampilkan keindahan yang
kaya akan makna. Setiap detailnya mengandung unsur simbolisme dengan
makna yang sangat dalam. Salah satu makna yang terbaca pada
arsitektur Islam itu adalah bahwa rasa kekaguman kita terhadap
keindahan dan estetika dalam arsitektur tidak terlepas dari
kepasrahan dan penyerahan diri kita terhadap kebesaran dan keagungan
Allah sebagai Dzat yang memiliki segala keindahan. Bahkan sejak
jaman Nabi Sulaiman as, telah dibangun suatu karya arsitektur yang
menampilkan keindahan dan kemegahan itu. Hal ini tertuang dalam al
Quran Surat an Naml 44: “Dikatakan kepadanya: “Masuklah ke dalam
istana”. Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam
air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah
Sulaiman: “Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca”.
Berkatalah Balqis: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah berbuat zalim
terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Alah,
Tuhan semesta alam”.
Dengan segala keindahan, kemegahan, dan kedalaman maknanya,
arsitektur Islam yang pernah berjaya dan menjadi salah satu tonggak
peradaban dunia memiliki beberapa potensi yang dapat mencerahkan
kembali kejayaan Islam yang selama beberapa abad terakhir ini
mengalami kemunduran. Potensi-potensi ini bukan hanya ditujukan
untuk menghadapi pengaruh dari kebudayaan barat yang mengglobal dan
menginginkan persamaan identitas dari berbagai budaya, namun juga
untuk kepentingan pengembangan arsitektur Islam sendiri.
Lebih jauh, apabila kita telaah secara mendalam, arsitektur
Islam lebih mengusung pada nilai-nilai universal yang dimuat oleh
ajaran Islam. Nilai-nilai ini nantinya dapat diterjemahkan ke dalam
bahasa arsitektur dan tampil dalam berbagai bentuk tergantung
konteksnya, dengan tidak melupakan esensi dari arsitektur itu
sendiri, serta tetap berpegang pada tujuan utama proses
berarsitektur, yaitu sebagai bagian dari beribadah kepada Allah.
Berikut adalah beberapa karakteristik dari arsitektur Islam:

22
1. Kebun
Selama berabad-abad, kebun dan air memainkan peran yang
paling penting dalam budaya Islam, dan sering disebut sebagai
taman surga. Al-Qur’an memiliki banyak referensi mengenai
kebun dan taman yang digunakan sebagai analogi untuk manusia
mengenai keindahan surga. Taman Islam yang tradisional
biasanya memiliki air dan tempat untuk berteduh. Hal ini
dikarenakan Islam umumnya datang dan tersebar di iklim yang
panas dan gersang. Kebun Islam dibuat untuk istirahat dan
biasanya memiliki tempat duduk.
2. Halaman (sehan)
Halaman biasanya ditemukan pada struktur bangunan biasa
dan keagamaan. Pada rumah biasa, halaman biasanya memiliki
tembok dengan jenis tanaman estetis, air, dan pencahayaan
yang alami. Halaman pada rumah juga digunakan sebagai ruang
pendingin dengan adanya air mancur dan sumber udara saat
musim panas. Halaman di tembok dengan tujuan untuk melindungi
wanita di dalam rumah agar mereka tidak perlu memakai hijab.
3. Kubah
Berdasarkan gaya kubah pada masa Bizantium, arsitektur
Ottoman mengembangkan bentuk kubah sentral yang lebar dengan
diameter besar yang didirikan di tengah-tengah bangunan.
Bentuk kubah Hagia Sophia contohnya, bentuk kubah yang megah
di pusat bangunan dengan struktur kubah dan tiang penyangga
yang membentuk satu kesatuan struktur tunggal.
4. Lengkungan runcing
Bentuk arsitektur lengkungan runcing sering digunakan
pada arsitektur Islam. Desain interior pintu yang digunakan
biasanya berukuran besar dan dekoratif. Pintu biasanya juga
dihiasi dengan ukiran Islam dan warna-warna yang cerah.
5. Muqarnas
Unsur arsitektur muqarnas merupakan ornamen yang dibuat
pada kubah atau pada tempat lainnya. Muqarnas biasanya
terbuat dari bahan yang berbeda-beda seperti batu, bata,
kayu atau semen.

23
6. Ornamen
Ornamen merupakan fitur yang paling penting dari
arsitektur Islam. Pola-pola yang digunakan biasanya adalah
pola-pola yang rumit, seperti motif geometris, motif floral,
atau kaligrafi. Motif floral yang rumit melambangkan konsep
tak terbatas yang membuktikan eksistensi Allah yang kekal.
Dalam Islam tidak boleh (haram) menggunakan gambar-gambar
makhluk hidup, baik itu manusia ataupun hewan.
Kaligrafi untuk umat muslim adalah ekspresi dari konsep
spiritual. Kaligrafi adalah bentuk yang paling dihormati
dari seni Islam karena kaligrafi menghubungkan antara Bahasa
umat Islam dengan agamanya. Isi dari Al-Quran menjadi sumber
dari kaligrafi Islam.
7. Minaret
Minaret adalah menara yang berbentuk persegi dan
digunakan untuk mengumandangkan adzan pada masjid. Minaret
diambil dari Bahasa Arab “nur” yang berarti cahaya. Minaret
di Masjid Agung Kairouan di Tunisia dianggap sebagai minaret
tertua di dunia.
8. Mihrab
Mihrab merupakan tempat imam memimpin shalat yang
mengarah ke Ka’bah di Mekkah.

Karateristik arsitektur Islam juga dianggap turut membantu


membentuk peradaban Islam yang kaya dan bermakna meluas. Bangunan-
bangunan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan arsitektur Islam
adalah masjid, kuburan, istana, dan benteng yang kesemuanya memiliki
pengaruh yang sangat luas ke bangunan lainnya seperti pemandian
umum, air mancur dan bangunan lainnya.

2.6 Definisi Masjid


Masjid adalah tempat ibadah umat muslim, masjid berarti tempat
sujud. Kata masjid (ِْ‫ )ﻣ ﺪ‬adalah isim makan bentukan kata yang
bermakna tempat sujud. Sedangkan masjad (‫ )ﺪِْﻣ‬adalah isim zaman
yang bermakna waktu sujud. Yang dimaksud dengan tempat sujud
sesungguhnya adalah shalat, namun kata sujud yang digunakan untuk
mewakili shalat, lantaran posisi yang paling agung dalam shalat
adalah posisi bersujud. Menurut An-Nasafi dalam kitab tafsirnya

24
bahwa definisi masjid adalah Rumah yang dibangun khusus untuk shalat
dan beribadah di dalamnya kepada Allah. Menurut Al-Qadhi Iyadh
mendefinisikan bahwa masjid adalah Semua tempat di muka bumi yang
memungkinkan untuk menyembah dan bersujud kepada Allah. Masjid
merupakan bagian dari perkembangan Islam di Indonesia. Lahirnya
bangunan-bangunan masjid sepanjang sejarah perkembangannya, sesuai
dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Makna dan fungsi
bangunan masjid adalah sebagai bagian dari perkembangan Islam di
Indonesia dapat dilihat dari bentuk dan karakteristik bangunan
masjid tersebut.

2.6.1 Masjid Agung Yogyakarta (masjid Gedhe Kauman)


Masjid Agung Yogyakarta yang juga sering disebut Masjid Gedhe
(artinya sama yaitu masjid besar), terdapat unit kembar di utara dan
selatan halaman identik dengan Paseban dalam bangunan Kraton. Untuk
menempatkan perangkat dan menabuh gamelan dalam upacara tradisional
Garebeg bersama dengan Sekaten. Masjid dan susunan bangunan kembar,
gerbang dan pengapitnya juga kembar, membentuk tata-unit sangat kuat
sifat simetrisnya bersumbu tegak lurus dengan sumbu utara-selatan
dari kompleks Kraton-Gunung Merapi.
Masjid Agung Yogyakarta (masjid Gedhe Kauman) dibangun untuk
menegaskan identitas Keislaman Kesultanan Mataram di Yogyakarta oleh
Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat
(Penghulu Kraton 1) dan Kyai Wiryokusumo. Masjid ini dibangun pada
hari Ahad Wage, 29 Mei 1773 M atau 6 Robi’ul Akhir 1187 H, sebagai
sarana beribadah bagi keluarga raja serta untuk kelengkapan sebuah
Kerajaan Islam. Dalam pembangunannya, masjid merupakan bangunan
fisik yang diutamakan. Tercatat ada masjid besar sebagai pusat
peribadatan umum umat Islam di ibukota Kerajaan.
2.6.2 Masjid Pathok Negara
Dalam kamus Baoesastra Djawa oleh W.J.S. Poerwodarminta,
pathok (patok) artinya; 1) sesuatu yang dapat ditancapkan baik
berupa kayu, bambu dan lain-lain dengan maksud untuk batas, tanda,
dan sebagainya; 2) bersifat tetap tidak dapat ditawar-tawar lagi;
3) tempat para peronda berkumpul; 4) sawah yang pokok, 5) –an artinya
angger-angger, paugeran atau aturan; 6) dasar hukum. Adapun nagara
berarti negara, kerajaan, atau pemerintahan.

25
Menurut catatan arsip Kawedanan Reh Pangulon, pathok nagoro
merupakan jabatan (abdi dalem) rendah di suatu lembaga peradilan
yang diberikan oleh Raja (Sultan) kepada seseorang yang dipercaya
mampu menguasai bidang hukum agama Islam atau syariah. Keberadaannya
di masyarakat adalah sebagai tokoh panutan, sebagai kepanjangan
aturan raja yang memerintah negari (keprajan) Yogyakarta. Walaupun
jabatan rendah, abdi dalem pathok nagoro mempunyai peranan penting
dalam pemerintahan saat itu, karena langsung berhadapan dengan
masyarakat yang penuh dengan berbagai macam permasalahan. Sesuai
dengan peranan dan tugasnya yang menyangkut kehidupan masyarakat
kasultanan berdasarkan agama pada masa itu, maka abdi dalem pathok
nagara pembantu penghulu hakim harus membekali dirinya dengan
pengetahuan agama. Ia mempunyai kewajiban mencerdaskan masyarakat
di bidang kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Masjid Pathok Negara, berfungsi sebagai batas negara. dapat
berarti sebagai aturan (yang dianut oleh) negara atau dasar hukum
negara. Hal ini dapat dipahami dari contoh kata “angger” yang
berkaitan erat dengan hukum. Pada masa itu ada kitab Angger Sepuluh
atau Angger Sedasa. Kitab ini merupakan undang-undang yang mengatur
adminstrasi dan agraria, demikian juga serat angger-angger yang
lain. Dengan demikian bisa dipahami bahwa aturan yang dianut sebagai
dasar negara (dalam hal ini Kesultanan Yogyakarta) adalah aturan
Islam.
Keempat masjid Pathok Negara dibangun pada kurun 1723-1819,
ketika Sri Sultan Hamengku Buwono I bertahta. Sedangkan Masjid yang
berada di Wonokromo baru didirikan pada era Sultan Hamengku Buwono
IV (1814-1823), meskipun gagasannya sudah dicetuskan sejak masa
Sultan Hamengku Buwono I. Konsep Masjid Pathok Negara berasal dari
gagasan Kyai Fakih kepada Sultan Hamengku Buwono I. Kyai Fakih
menyarankan agar Sultan Hamengku Buwono I, melantik orang-orang yang
dapat menuntun akhlak, yang kemudian diberi tanah perdikan
(dibebaskan dari pajak) dan masing-masing tanah itu didirikan masjid
sebagai penanda pathok Negara.
Dalam arsip Kraton yang tersimpan di Perpustakaan Widyabudaya,
Sultan Hamengku Buwono I, kemudian menempatkan pathok nagoro abdi
dalem Kawedanan Pangulon Kasultanan Yogyakarta di Mlangi Kabupaten

26
Sleman (barat), Plosokuning Kabupaten Sleman (utara), Dongkelan
Kabupaten Bantul (selatan) dan Babadan Yogyakarta (timur).
Cikal bakal Masjid Pathok Negara dibangun di tempat Kyai Fakih
bermukim, yakni di Wonokromo yang terletak di tepi muara Sungai Opak
dan Sungai Oyo. Masjid Sederhana, bangunan induk berbentuk kerucut,
dengan mustaka dari kuwali yang terbuat dari tanah liat. Sedangkan
serambi berbentuk Limasan dengan satu pintu depan. Semua bahan
bangunannya dari bambu, atapnya terbuat dari welit, dan dindingnya
dari gedhek. Kemudian Masjid itu diberi nama “Wa Ana Karoma” yang
artinya “supaya benar-benar mulia”.
Berawal dari gagasan awal Kyai Fakih tersebut, maka secara
berurutan dibangunlah masjid-masjid lain sebagai penanda Batas
wilayah Ibu kota Kesultanan Yogyakarta, tempat dimana para Pathok
Negara ditempatkan. Masjid-masjid tersebut adalah, Masjid Jami’ An-
nur di Mlangi di bagian Barat, Masjid Jami’ Sultoni Plosokuning di
Utara, Masjid Ad-Darojat Babadan di sebelah Timur, dan Masjid Nurul
Huda Dongkelan di Bagian Selatan.
Empat Masjid Pathok Negara yang ditempatkan di empat penjuru
mata angin dengan masjid Agung Yogyakarta (Masjid Gedhe Kauman)
sebagai porosnya. “empat pathok kiblat papat lima Pancer”. Tidak
hanya menempatkan Masjid Agung Yogyakarta (Masjid Gedhe Kauman)
sebagai poros, Masjid Pathok Negara secara visual memiliki
karakteristik Arsitektur seperti masjid Agung Yogyakarta (Masjid
Gedhe Kauman).
Masjid Pathok Negara sebagai simbol eksistensi perkembangan
Islam di Kasultanan Mataram di Yogyakarta memiliki nilai historik
yang menonjol di Yogyakarta. Ditemukan pula beberapa penelitian
tentang masjid Pathok Negara. Penelitian tersebut yaitu tesis dari
(Indrayadi, 2006) yang mengangkat judul Kajian Kenyamanan Thermal
Dalam Ruang Masjid Pathok Negara Yogyakarta. Fokus penelitian ini
lebih pada menemukan kenyamanan thermal pada masjid pathok Negara.
Pathok yang berarti sebuah penanda tapal batas dalam bahasa
Jawa. Demikian dengan istilah Pathok Negara yang artinya tapal batas
suatu negara atau kerajaan saat itu. Bangunannya bagi kasultanana
Yogyakarta bermula saat Sultan Hamengku Buwono I berguru kepada
seorang ulama bernama Kyai Muhammada Faqih yang menasehati beliau
untuk mengangkat pathok Negara. Akan tetapi yang diamksudkan pathok

27
Negara tersebut adalah para ulama yang telah memberikan ajaran juga
menuntun akhlak dan budi pekerti juga setiap pathok diberikan tanah
perdikan.
Alhasil Kyai Muhammad Faqih yang tidak lain merupakan kakak
ipar dari Sultan Hamengku Buwono I diangkat sebagai kepala pathok
pada tahun 1701 yang memberikan tanah perdikannya berupa alas awar-
awar yang selanjutnya dibangun masjid. Lokasi tersebut diberi nama
Wa Anna Karoma yang memiliki arti agar mulya sungguh-sungguh namun
karena pelafalan masyarakat setempat menjadi Wonokromo. Sehingga
Masjid Pathok Negara berjumlah lima buah dan tersebar di sejumlah
tempat, yaitu: (1) Mlangi Nogotirto, Gamping, Sleman; (2) Ploso
Kuning, Ngaglik, Sleman; (3) Dongkelan, Tirtonirmolo, Bantul; (4)
Babadan, Banguntapan, Bantul; dan (5) Wonokromo, Pleret, Bantul.
Memperhatikan gambaran umum dari upaya Keraton Yogyakarta
terhadap kelestarian masjid pathok Negara, keterkaitan Masjid Pathok
Negara dengan pertahanan keamanan, wilayah, sosial, masyarakat dan
keagamaan Daerah Istimewa Yogyakarta serta lahirnya Masjid Masjid
Taqwa Wonokromo tersebut, perlu adanya upaya penelitian dan
pengkajian mengenai konektivitas ruang pada lima Masjid Pathok
Negara dan masjid Kraton sebagai masjid utama. Diharapkan dengan
adanya pengkajian tentang konektivitas ruang pada Masjid Pathok
Negara dan Masjdi Kraton ini, dapat menghasilkan pemikiran yang
berlandaskan pemahaman nilai dan konsep perkembangan wilayah islam
melalui Masjid Pathok Negara.

2.7 Penelitian Terdahulu


Penelitian ini tidak lepas dari studi yang telah dilakukan
sebelumnya, yang berguna untuk memberikan acuan serta referensi
dalam proses penelitian ini, serta untuk melihat adanya kesamaan
mengenai variabel maupun metode penelitian yang digunakan. Untuk
lebih jelasnya dilihat tabel dibawah ini.

28
Tabel 2.1 PENELITIAN TERDAHULU
No Nama Judul Lokus Fokus Metode Hasil
Menggali persepsi ditemukan makna karakter
Karakter mahasiswa desain masjid di Yogyakarta.
Bangunan 6 masjid Studi terhadap karakter 6 Dirumuskan tentang penanda
1 Ade Ira Masjid, Studi di Karakter masjid di masjid bagi mahasiswa
(2003 persepsi visual Yogyakarta Bangunan Yogyakarta, kemudian desain. Terdapat persamaan
pada 6 masjid hasilnya dianalisis dan perbedaan karakter
di Yogyakarta statistik bangunan pada masing-masing
bangunan masjid
Interelasi
Ekspresi Masjiid Ekspresi Hubungan antara ekspresi
Zohan Arsitektur Agung Arsitektur Rasionalistikkualita arsitektur masjid dan
2 Effendh Masjid dengan Yogyakarta Masjid tifdeskriptif budaya dan penyebab
y (2006 Budaya Jawa terjadinya.

Masjidmasj Penggalian
Karakteristik id Karakteristi Masjid tradisional
Naimatu Masjd Berbasis tradisiona k masjid kalimantan memiliki
3 l Ulfa Budaya Lokal di l di berdasarkan Rasionalistikkualita karakteristik yang
(2009) Kalimantan Kalimantan nilai budaya tifdeskriptif dipengaruhi budaya lokal
Selatan Selatan suku banjar suku banjar,

Kajian
Indraya Kenyamanan Masjid
4 di Termal Dalam Pathok Kajian Kenyamanan thermal pada
(2006) Ruang Masjid Negara thermal Kuantitatif masjid pathok Negara
Pathok Negara
Yogyakarta
Fungsi, Latar Pemahaman Masjid yang
Widyast belakang dan memiliki nilai edukasi,
5 uti peranan Masjid Masjid Antropologi Kualitatif religi, dan filosofi dan
(1995) Pathok Negara Pathok Budaya Makna setting masjid
Kasunanan Negara kerajaan terhadap kota
Yogyakarta kerajaan
Sumber: Analisa, 2019

29
Lokus penelitian ini adalah Masjid Pathok Negara dan Masjid
Agung Gedhe Kauman Yogyakarta. Sedangkan fokus penelitian ini adalah
mengkaji konektivitas ruang pada Masjid Pathok Negara dan Masjid
Agung Gedhe Kauman, kemudian akan diketahui karakter utama fungsi
ruang pada Masjid tersebut, dan akan diketahui faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi konsep dibangunnya Masjid dilihat dari
pengaruh nilai budaya Yogyakarta serta fenomena yang ada.
Meski berbeda lokus maupun fokus, penelitian ini sejenis dengan
beberapa penelitian lain yang juga meneliti tentang Masjid Pathok
Negara sebagai bentuk wilayah pertahanan teritorial Kerajaan Mataram
Islam Jawa di Jogjakarta yaitu penelitian (E Setyowat, 2018) yang
mengangkat tentang pertahanan wilayah kekuasaan atau kepemilikan
biasanya dalam bentuk benteng, parit, sungai, jalan, gang atau
gerbang, serta penelitian (Ira, 2003) yang mengangkat tentang
Karakter Bangunan Masjid, Studi persepsi visual pada 6 masjid di
Yogyakarta. Dari kedua tesis tersebut dapat dipelajari bagaimana
merumuskan karakteristik masjid ditinjau dari segi budaya.
Ditemukan pula beberapa penelitian dengan objek yang sama,
yaitu masjid pathok Negara. Namun dari fokusnya jauh berbeda.
Penelitian tersebut yaitu tesis dari (Indrayadi, 2006) yang
mengangkat judul Kajian Kenyamanan Termal Dalam Ruang Masjid Pathok
Negara Yogyakarta. Fokus penelitian ini lebih pada menemukan
kenyamanan thermal pada masjid pathok Negara. Kemudian penelitian
yang dilakukan oleh (Widyastuti, 1995), tentang Fungsi, Latar
belakang dan peranan Masjid Pathok Negara Kasultanan Yogyakarta.
Penelitian tentang konektivitas Masjid Pathok Negara dan
Masjid Agung Gedhe Kauman yang berkaitan dengan aktivitas dan fungsi
ruang pada masjid-masjid tersebut belum ditemukan. Dengan demikian,
keaslian penelitian ini terletak pada fokus penelitian.

30
BAB III
GAMBARAN UMUM

Penelitian ini berlokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta.


Sehingga dalam bab ini akan menjelaskan mengenai gambaran umum
wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta dan secara khusus Kabupaten
Bantul, dan Kabupaten Sleman serta Kota Yogyakarta.

3.1 Kondisi Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta


Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki luas wilayah 3.185,80 km2
dengan perbatasan wilayah dari arah Timur: Kabupaten Wonogiri di
Provinsi Jawa Tengah, arah Barat: Kabupaten Purworejo di Provinsi
Jawa Tengah, arah Utara: Provinsi Jawa Tengah dan arah Selatan:
Samudera Hindia. Dengan letak geografis 7033` - 8012` lintang
selatan dan 110000` - 110050` bujur timur.
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki 4 kabupaten dan 1 kota,
diantaranya ada Kabupaten Kulon Progo, Gunung Kidul, Bantul, Sleman
dan Kota Yogyakarta. Dan ibu kota Daerah Istimewa Yogyakarta adalah
Kota Yogyakarta. Daerah ini memiliki nama Daerah Istimewa Yogyakarta
dikarenakan masih menggunakan sistem kekerajaan kesultanan. Daerah
Istimewa Yogyakarta meskipun memiliki wilayah yang lebih kecil jika
dibandingkan dengan provinsi lain, tapi tidak menutupi bahwa Daerah
Istimewa Yogyakarta ini memiliki potensi budaya dan sejarah yang
dijaga dengan baik.
Daerah Istimewa Yogyakarta ini juga memiliki potensi dalam
perekonomian yang baik dan mendapatkan predikat sebagai Kota Pelajar
dan Kota Berbudaya, sehingga mendatangkan para wisatawan dari
berbagai mancanegara maupun lokal. Dalam hal ini Daerah Istimewa
Yogyakarta memiliki suatu sektor keunggulan yang baik dalam
perekonomian daerah. Sektor yang paling penting dalam memacu
perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta ini adalah sektor
pariwisata. Sektor pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta ini
meliputi pariwisata alam seperti pantai, gunung, dan lain-lain serta
budaya dan candi peninggalan zaman dahulu.

31
Gambar 3.1
PETA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

32
Persebaran Masjid Pathok Negara di Daerah Istimewah Yogyakarta
diantaranya Masjid Mlangi Nogotirto, Gamping, Sleman, Masjid Ploso
Kuning, Ngaglik, Sleman, Masjid Dongkelan, Tirtonirmolo, Bantul,
Masjid Wonokromo, Pleret, Bantul dan Masjid Babadan, Banguntapan,
Bantul serta Masjid Agung Kraton yang berada di Alun-alun kota
Jogjakarta. Sehingga secara administrasi cakupan wilayah dari
penelitian ini diataranya Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul dan
Kota Jogjakarta.

3.3 Sejarah Singkat Berdirinya Masjid Pathok Negara


Masjid Pathok Negara sebagai masjid peninggalan kekuasaan Sri
Sultan Hamengku Buwono I merupakan masjid yang menjadi titik
perkembangan peribadatan umat Islam kala itu. Namun seringkali
masyarakat melupakan fungsi utama masjid Pathok Negaraterkait dengan
perkembangan dan kosmologi kota Yogyakarta. Masjid Pathok Negara
didirikan sebagai batas keraton yang paling luar yaitu negara gung.
Masjid Pathok Negara dibangun sekitar 1723 – 1819. Empat Masjid
Pathok Negara dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku
Buwono I. Dan khusus untuk Masjid Wonokromo ini diperkirakana
didirikan sekitar tahun 1819. Masjid Pathok Negara terletak di luar
Kutanagara, yaitu di wilayah Negara Agung (antara 5–10 km dari
Kutanagara/pusat pemerintahan).
Di sisi selatan terdapat Masjid Dongkelan (Kecamatan Kasihan
Kabupaten Bantul) dan Masjid Wonokromo (Kecamatan Pleret Kabupaten
Bantul), Di Timur Masjid Babadan (Kecamatan Banguntapan Kabupaten
Bantul), Barat Masjid Mlangi dan di Utara Ploso Kuning.

Gambar 3.2
SEJARAH MASJID PATHOK NEGARA

Sumber: https://id.wikipedia.
33
Dalam catatan di tiang masjid Mlangi sebelum dipugar tertulis
angka 1723, dimana pada masa tersebut Yogyakarta belum berdiri,
masih berstatus kerajaan Mataram. (Widyastuti, 1995) dalam tesisnya
menyampaikan bahwa hal tersebut dikarenakan pendiri masjid Pathok
Negara Mlangi merupakan anak dari Amangkurat IV atau kakak dari
Hamengku Buwono I yang beda ibu. Mlangi merupakan wilayah kekuasaan
Mataram sehingga bisa saja masjid Mlangi didirikan lebih dulu
daripada keraton Yogyakarta. Di dalam istilah bahsa Jawa pathok
adalah kayu atau bambu yang ditancapkan sebagai tetenger /tanda yang
tetap, sedang nagoroadalah kota tempat tinggal raja, jadi Pathok
Negara adalah sebuah tanda kekuasaan raja dan tanda tersebut tidak
dapat dirubah.
Masjid Pathok Negara dibangun pada tahun 1723-1819. Namun pada
status desa Wonokromo, menurut catatan yang tertulis status desa
perdikan Wonokromo sudah ada jauh sebelum Perjanjian Giyanti.
Sejarah mencatat bahwa desa perdikan Wonokromo merupakan hadiah dari
Sultan Hamengku Buwono I kepada Kyai Muhammad Fakih selaku imam dan
bertanggung jawab atas tanah perdikan karena merupakan guru mengaji
Sultan sekaligus kakak ipar Sultan. Pada tahun 1701 Sultan menunjuk
secara birokatis kepada Kyai Muh.Faqih sebagai kepala Pathok Negara
Kemudian Kyai Muh. Fakih yang bergelar Kyai Welid meminta Sultan
untuk menunjuk orang-orang yang dapat dipercaya untuk membimbing
akhlak dan budi pekerti masyarakat. Hingga akhirnya Kyai Muh. Fakih
menjadi imam masjid kecil di tanah perdikan yang dinamakan
“wanakarama” yang berasal dari kata “Wa Anna Karama” diharapkan area
tersebut senantiasa memberikan kemuliaan bagi masyarakat setempat,
lantas nama Wonokromo menjadi familiar hingga sekarang. Masjid Taqwa
sebagai masjid Pathok Negara di Wonokromo merupakan saksi sejarah
perjuangan masyarakat Yogyakarta melawan kependudukan Belanda dan
Jepang.
Melihat dari usianya pastilah masjid Pathok Negara ini memiliki
sejarah yang cukup panjang dari masa penjajahan Belanda sampai
Jepang. Mlangi yang merupakan pusat keagamaan pada masanya disebut
sebagai perdikan ageng. Begitu juga dengan desa Wonokromo yang
merupakan hadiah dari Sri Sultan Hamengku Buwono kepada Kiai Welid
yang merupakan kakak ipar sekaligus guru mengaji Sultan agar
membimbing akhlak dan budi pekerti masyarakat.

34
Pengembangan Masjid Pathok Negara pada masa itu merupakan
pengembangan rancangan jangka panjang (grand design) dari dinasti
Hamengku Buwono untuk memantapkan eksistensinya. Masjid Pathok
Negara ditetapkan sebagai bagian dari kesultanan dan untuk
menandakan batas wilayah negara atau negari yaitu Yogyakarta itu
sendiri. Itu sebabnya masjid-masjid yang kemudian didirikan
dinamakan masjid Pathok Negarayang berarti batas negara “Pathok
Negara”. Masjid Gedhe kauman merupakan pancer atau pusat dari
keempat masjid yang pertama dibangun di empat penjuru mata angin
sehingga terdapat istilah formasi pathok kiblat papat lima pancer.
Dalam Babad Diponegara juga disebutsebut adanya Pathok Negara yang
ditulis oleh P. B. R Carey (dalam Widyastuti, 1995) yang berjudul
Babad Dipanagara An Account of the Outbreak of The Java War (1825-
1830):

“Pathok Negara is centres for the ulama (experts in fiqh


(Islamic) laws) who acted as the advisers of the pengulu (chief
religious functionary) in the religious courts. Before they
abolished in c. 1830, there were four pathoks (alias pillars)
at both Yogya and Surakarta answerable to the pengulu at the
centre, thus recalling the five pillars of Islam.”

Pola ruang pada masa awal berdirinya Keraton Yogyakarta pasca


Perjanjian Giyanti terpecah menjadi beberapa kabupaten dan kota
madya. Sebelum terpecah menjadi Kasultanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta batas wilayah kerajaan Mataram Islam cukup luas. Batas
wilayah saat itu menggunakan sistem indrawi manusia seperti
penglihatan dan pendengaran, sak pandelengan yaitu batas mata
manusia bisa memandang. Sungai mempunyai peran penting dalam
penentuan pola permukiman, kota Yogyakarta sendiri dibatasi oleh dua
sungai yaitu sungai Winongo dan sungai Gajah Wong. Wilayah Kabupaten
Bantul dan Sleman bagian barat yang berbatasan dengan Kulon Progo
dibatasi dengan sungai Progo. Penduduk yang tinggal di daerah
sekitar sungai atau dusundusun yang tinggal di sekitar sungai
cenderung mempunyai kepadatan yang tinggi.
Sedangkan sumbu kosmolgi Jogja (sebutan masyarakat untuk
Yogyakarta) sendiri juga menggunakan sistem sejauh mata memandang,
yaitu laut selatan, keraton, tugu Jogja dan Gunung merapi yang ada

35
pada garis lurus. Hal tersebut merupakan bentuk manifestasi bahwa
manusia mempunyai peran dalam keterbatasannya.
Sebagai batas dari wilayah kekuasaan yang ada di Yogyakarta
masjid-masjid ini dikepalai oleh pemuka adat atau imam yang
mengelola dan mengatur segala bentuk kebijakan masjid dan langsung
di bawah pemerintahan Sultan yang berkuasa pada masa itu. Majid
Jami’ Annur Mlangi yang didirikan pertama kali merupakan batas di
sebelah barat. Masjid Sulthoni Ploso Kuning didirikan setelahnya
merupakan batas wilayah sebelah utara, terletak di desa Ploso Kuning
Condong Catur.
Masjid Babadan Banguntapan sebagai batas wilayah sebelah
timur. Masjid Ad-Dorojatun Babadan terletak di desa Babadan,
kecamantan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Masjid Taqwa Wonokromo yang dibangun oleh Kyai Muhammad
Faqih yang tidak lain merupakan kakak ipar dari Sultan Hamengku
Buwono I diangkat sebagai kepala pathok pada tahun 1701 yang
memberikan tanah perdikannya berupa alas awar-awar yang selanjutnya
dibangun masjid yang berada di Wonokromo, Pleret, Bantul,
Yogyakarta.
Berikut adalah lima Masjid Pathok Negara yang juga disebut
sebagai Kiblat Papat Lima Pancer yang ada dan masih lestari hinggah
saat ini:
1. Masjid Taqwa Wonokromo
Masjid ini didirikan dan dibangun oleh Kyai Muhammad
Faqih yang tidak lain merupakan kakak ipar dari Sultan Hamengku
Buwono I pada tahun 1819. Masjid ini berada di Wonokromo,
Pleret, Bantul, Yogyakarta yang mana keberadaannya berada di
dekat tempuran dari sungai Opak dan sungai Oya yang cukup jauh
dari keramaian kota. Oleh karena lingkungannya yang tenang ini
membuatt para jamaah bisa lebih khusyu dalam melakukan sholat.
Tanah dengan luas 5000, meter persegi ini berdiri sebuah
bangunan masjid dengan tuas 420, meter persegi dan telah
emlakukan pengembangan hingga kini menjadi 750, meter pesegi.
Bagian serambinya sendiri selaus 250, meter perseggi yang
memiliki ruang perpustakaan seluas 90, meter dan halamannya
seluas 4000, meter persegi.

36
Gambar 3.3
MASJID TAQWA WONOKROMO

Sumber: Penulis, 2019

2. Masjid Sulthoni Plosokuning


Masjid Pathok Negara berikutnya berada di Jl.
Plosokuning Raya Nomor 99, Minomartani, Ngaglik, Sleman, DI
Yogyakarta. bangunannya menempati luas 2.500, meter persegi
dengan tanah milik kasultanan Yogykarta. Luas bangunannya
sendiri adalah 288, meter persegi yang setelah mengalami
perombakan menjadi 328, meter persegi. Masjid Sulthoni
Plosokuning ini dibangun Sri Sultan Hamengku Buwono III.
Beliau merupakan ayah dari Pangeran DIpoNegara yakni Kyai
Raden Mustafa (Hanafi I) yang telah menjadi abdi dalem Kraton
Kasultananan.

Gambar 3.4
MASJID SULTHONI PLOSOKUNING

Sumber: Penulis, 2019

37
3. MasjidِJami’ِAn-Nur Mlangi
Masjid ini beralamat di dusun Mlangi, desa Nogotirto,
kecamatan Gampung, kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Kawasan
masjid ini masuk ke dalam desa wisata Mlangi. Area masjid
ini menempati tanah selaus 1000, meter persegidari
Kasultanan Yogyakarta. bangunannya terbagi menjadi beberapa
ruangan. Ruangan utamanya seluas 20 x 20, meter persegi,
serambi masjid 12 x20 meter, ruang perpustakaan 7 x 7, meter
persegi. Luas halaman masjid ini sendiri adalah 500, meter
persegi. Masjid ini berada di tanah yang lebih rendah adri
tanah lainnya oleh akrena itu ada beberapa anak tangga yang
dapat digunaakan untuk menuju ke lokasi.

Gambar 3.5
MASJIDِJAMI’ِAN-NUR MLANGI

Sumber: Penulis, 2019

4. Masjid Ad-Dorojatun Babadan


Lokasi di desa Babadan, Banguntapan, Bantul, DI
Yogyakarta. masjid yang mudah ditemukan karena dekat dengan
JEC. Masjid penuh kisah ini diangun pada tahun 1774 oleh
Sultan Hamengku Buwono I. Dan memiliki arsitektur sama dengan
masjid Pahtok Negara.

38
Gambar 3.6
MASJID AD-DOROJATUN BABADAN

Sumber: Penulis, 2019

5. Masjid Nurul Huda Dongkelan


Terletak di desa Kauman, Dongkelan, Tirtomartani,
Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta yang pada tahun 1775 digunakan
sebagai tempat ibadah sekaligus juga benteng pertahanan.
Yang menjadi penghulu dan tugas pengelolaan masjid adalah
Kyai Syihabudin yang memenangkan sayembara Pangeran
Mangkubumi mencari seorang pengawal dengan kekuatan sakti.

Gambar 3.7
MASJID NURUL HUDA DONGKELAN

Sumber: Penulis, 2019

39
Gambar 3.8
LIMA MASJID PATHOK NEGARA

Sumber: Penulis, 2019

3.4 Kondisi Agama


Pada tradisi alam pikir orang Jawa sejak zaman Hindu hingga
Islam datang, raja adalah perwujudan mikro kosmos dan sebagai wakil
Tuhan (Allah SWT) dalam perlindungan dan pengayoman rakyat, oleh
karena itu rakyat memberikan apa yang mereka miliki untuk
kepentingan raja dan keluarganya dalam mengatur kehidupan mereka
agar lebih baik, dalam wujud istilah: papat kalimo pancer, yang
berarti empat sisi dengan pusat di tengahnya sebagai pengatur yang
disebut raja.
Citra para penguasa Jawa akan simbol-simbol keIslaman yang
telah menjadi tradisi sejak zaman Kesultanan Demak, diwujudkan dalam
bentuk perayaan acara Maulid Nabi Muhammad SAW, hari raya Idul Fitri
dan Idul Adha, dengan mengadakan acara Garebeg Mulud, Sawal dan
Garebeg Besar, sebagai tanda pengakuan diri pada Islam serta sebagai
perayaan rakyat sebagai simbol kemurahan hati raja (Sunan Surakarta
atau Sultan Yogyakarta).
Masjid sejak zaman Pakubuwono I, walapun kekuasaannya didukung
oleh VOC, adalah simbol dari pusaka orang-orang Jawa, dia menganggap
bahwa meskipun seluruh pusaka tanah Jawa ini hilang dan habis, maka
Masjid Demak dan makam Kadilangu merupakan pusaka rakyat Jawa yang

40
abadi, yang menjadi dasar dari etika dan keyakinan hidup rakyat
Jawa.
Pada masa itu pihak VOC tidak terlalu tertarik pada masalah
Islam di kedua kerajaan Jawa, sebab tujuan utamanya adalah
keuntungan dalam berdagang, meskipun pernah terjadi sebuah peristiwa
yang disebut peristiwa pakepung pada tahun 1780-an, di Surakarta
oleh Pakubuwono IV yang didukung oleh empat ulama berpengaruh,
mereka berusaha menegakkan agama Islam sesuai dengan keadaan pada
masa Sultan Agung, namun hal tersebut menyebabkan kraton Surakarta
dikepung oleh pasukan gabungan dari MangkuNegara, Yogyakarta dan
VOC.
Penggunaan gelar-gelar kekuasaan dan keagamaan dengan
pendekatan Islam, seperti tercermin dalam kalimat gelar Sampeyan
Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan atau Sultan Senopati Ing Alogo
Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalipatullah Ing Tanah Jawi,
sebagai simbol kekuasaan dunia dan agama (akhirat) di tanah Jawa,
adalah bukti bahwa Islam diterima sebagai agama resmi. Semenjak
berhasil membangun Kesultanan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono I
berusaha membangun jaringan keagamaan dengan berhubungan dan
membangun beberapa Masjid Pathok Negara, yang sebagian besar
terletak di sekitar kota Yogyakarta, seperti Masjid Dongkelan di
bagian selatan Kraton, Masjid Wonokromo, berada di sekitar bekas
ibukota Kerto, 6 km di daerah selatan, Masjid Babadan di Berbah
berada 8 km di daerah timur dan Masjid Plosokuning di bagian timur
laut, serta Masjid Mlangi, di barat daya Kraton.
Selain difungsikan sebagai tempat untuk menggembleng para
prajurit, tempat-tempat tersebut juga merupakan benteng intelektual
dan religius rakyat Yogyakarta. Masjid-masjid tersebut tidak
terdapat di wilayah Kasunanan Surakarta atau di Kadipaten
Mangkunegara dan Pakualaman. Pada pusat Kotagede sendiri telah
mempunyai masjid besar sejak zaman Panembahan Senopati, serta
terdapat kampung yang di dalamnya berisi para kaum santri dan
agamawan, yang disebut kampung kauman, yang berdiri di sekitar
Masjid Agung Kotagede.
Lunturnya pegangan para bangsawan terhadap agama Islam,
merupakan hal yang sangat disesali oleh Pangeran DipoNegara yang
melihat kebobrokan mental para bangsawan. Pangeran DipoNegara selama

41
masa Perang Jawa menyebut dirinya sebagai pemimpin agama di tanah
Jawa yang mengobarkan perang sabil dengan penyebutan gelar, Sultan
Ngabdulkamid Erucakra Sayidin Panotogomo Kalipatullah Ing Tanah
Jawi. Banyak di antara pendukungnya adalah santri dan kaum ulama,
terutama Kyai Mojo, Kyai Taptayani dan Kyai Nitiprojo serta ulama-
ulama dari Kotagede dan sekitar Masjid Pathok Negara.
Ketika terjadi tekanan yang begitu berat dari pemerintah, kaum
bumiputra percaya pada kekuatan supranatural yang istimewa dan
privillage pada keadaan dan diri seseorang tokoh seperti Kyai.
Snouck C. Hurgronje, sebagai penasehat pemerintah, dia menganggap
masalah Islam secara negatif, setidaknya ada tiga poin dalam
pandangan pemerintah colonial dalam memandang Islam, 1). Domain
agama murni, yaitu memunculkan sikap netral, 2). Domain hukum, yang
menciptakan kodifikasi hukum tanpa akhir, dengan perubahan tidak
seimbang untuk keuntungan pemerintah kolonial, 3). Domain politik,
pada bagian ini pemerintah harus bersikap keras, yaitu berupa
penentangan terhadap adanya pengaruh Pan-Islamisme dan pemberantasan
dengan kekuatan militer segala bentuk gerakan-gerakan perlawanan.
Seluruh poin-poin tersebut ditujukan untuk satu hal, yaitu politik
asosiasi.
Instrumen-instrumen perlawanan yang selalu terjadi dan
berakhir dengan bentrok fisik, akhirnya diselidiki oleh pemerintah
kolonial Belanda pada saat berlangsungnya Perang Jawa, hingga
kemudian diambil kesimpulan bahwa masalah keagamaan serta pendidikan
agama Islam di pondok-pondok pesantren harus diawasi dengan ketat
serta ditekan sedemikian rupa, agar segala bentuk embrio perlawanan
dapat diredam sebelum muncul ke permukaan, sehingga program-program
pemerintah kolonial Belanda dapat berjalan dengan lancar.
Islam sendiri telah menjelma menjadi kekuatan budaya dan
sosial- politik yang bergerak perlahan dari pedesaan dan pesisiran
melalui dakwah dan pendidikan. Politik pengawasan agama tersebut
berlangsung hingga berakhirnya pemerintahan kolonial pada tahun
1942. Selepas tahun tersebut politik asimilasi Pemerintah Pendudukan
Jepang, berhasil menghimpun dukungan rakyat dengan pendirian laskar
Hizbullah.
Peralihan dan pertukaran kebudayaan melalui migrasi penduduk,
pernikahan atau pembelajaran, mempercepat proses pembauran dan

42
penyebaran ide-ide dalam masyarakat secara normatif. Tradisionalisme
sesungguhnya telah ikut menjiwai gerakan perlawanan baik oleh para
santri maupun para bandit, yang secara rapi terorganisir dan
mempunyai struktur, bahkan keberadaan organisasi dan keberadaan
banditpun diikat oleh nilai religius dan kerjasama mereka dengan
aparat desa. Tidak boleh dilupakan peran dari para santri yang
mewakili golongan “putih”, di mana pencak silat (bela diri)
diajarkan dan agaknya menjadi salah satu kurikulum yang tak resmi
di lingkungan pondok pesantren tradisional yang tesebar di seluruh
Jawa. Pondok pesantren tersebut juga diikat oleh persaudaraan
tarekat yang menggugah nilai rohani para anggota dan masyarakat
sekitarnya yang diwakili oleh para kyai dan kaum santri.
Masuknya organisasi kemasyarakatan modern di bidang keagamaan
sejak awal abad ke-20, seperti Sarekat Islam, NU dan Muhammadiyah,
ikut membentuk perilaku keagamaan, meskipun empat dari lima Masjid
Pathok Negara cenderung berafiliasi dengan ormas NU dan satu dekat
dengan Muhammadiyah, namun sebagai sebuah kesatuan religius,
afiliasi tersebut tidak menganggu aktifitas serta persatuan yang
telah terbangun.

3.5 Kondisi Sosial–Budaya KeIslaman


Agama/kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar penduduk
Kota Yogyakarta adalah agama Islam, disusul dengan agama Kristen,
Katolik, Budha, Hindhu, dan Konghucu. Beberapa dari masyarakat Kota
Yogyakarta juga masih memegang teguh kepercayaan kejawen yang
merupakan tradisi leluhur nenek moyang.
Bahasa yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari
adalah Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Bahasa daerah lain juga
sering dijumpai karena banyaknya pendatang dari luar Kota Yogyakarta
yang menetap, baik untuk keperluan studi maupun mencari pekerjaan.
Bahasa Inggris juga digunakan sebagai sarana komunikasi dalam tahap
internasional.
Islam masuk tanah Jawa melalui socio culture. Pelaksanaan
syariat Islam agar dapat mudah diterima, maka yang dapat dilakukan
adalah melalui penyesuaian dengan budaya masyarakat Jawa. Islam
dengan nilai-nilainya yang tidak bertentangan dengan budaya
masyarakat Jawa (culture) merupakan sub culture yang selanjutnya
dengan mudahnya Islam dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
43
Seperti diceritakan di dalam naskah keraton (antara lain: Serat
Cebolek dan Babad Giyanti) menceritakan, bahwa Pangeran Mangkubumi
(Pendiri Keraton Yogya), Putra Amangkurat IV adalah seorang pejuang
yang taat beragama. Dikisahkan, Sholat lima waktunya tidak pernah
ditinggalkan, gemar mengaji bahkan hafal sebagian ayat-ayat Al-
Qur‟an, dan melakukan Puasa Senin dan Kamis, peduli pada fakir
miskin, kaum yang lemah dipedesaan (Serat Cebolek).
Ketika Perang melawan Penjajah Belanda, Pangeran Mangkubumi
selalu membuat Musholla, di pos-pos pasukannya di pedesaan. Musholla
itu difungsikan untuk jama‟ah Sholat fardlu, juga untuk mensholatkan
para Syuhada yang gugur dalam perjuangan (Babad Giyanti). Setelah
Perjanjian Giyanti, Panembahan Senopati, dinobatkan menjadi Sri
Sultan Hamengkubuwono I, dengan gelar,” Sri Sultan Hamengkubuwana
Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah
Ing Ngayogyakarta”.
Kesenjangan melalui penyimpangan budaya Jawa sebagai budaya
induk, akan mempersulit Islam dapat diterima di tanah Jawa.Oleh
sebab itu pelaksanaan syariat dan nilai-nilai Islam juga harus
dikemas dalam budaya masyarakat Jawa. Dengan demikian ada banyak
budaya Jawa yang kemudian terbentuk dengan nuansa Islami.
Budaya yang terdapat di Kota Yogyakarta yang sampai saat ini
dilestarikan adalah budaya Jawa, baik keluarga yang berasal dari
Kraton Yogyakarta maupun warga pada umumnya. Masyarakat masih
melestarikan kebudayaan Jawa dalam kehidupan sehari-hari.
Pelestarian budaya juga terlihat pada acara penting lainnya seperti
budaya pernikahan atau mantenan, siraman, kelahiran bayi, pencucian
keris yang dilakukan oleh keluarga Kraton Yogyakarta, dan
sebagainya. Kesenian seperti Jathilan, Ketoprak, dan Sendra Tari
Ramayana juga menjadi kesenian khas Kota Yogyakarta, dengan diiringi
oleh alunan musik tradisional Gamelan. Kesenian-kesenian lain yang
dapat dijumpai adalah kesenian wayang, batik, dan kerajinan tangan
yang sering ditemui di Kota Yogyakarta.
3.5.1 Kegiatan Sosial
Keraton Yogyakarta menghidupkan Tuntunan Islam (Syari‟at),
yaitu antara lain menjalankan hukum Islam dengan membuat “Mahkamah
Al Kaburoh” di Serambi Masjid Gede Kauman, membuat Masjid Kerajaan
(Masjid Gedhe), juga membuat Masjid Pathok Negara (Batas negara

44
Agung/IbuKota), dilengkapi tanah perdikan (mirip Tanah Wakaf) untuk
pesantren. Dibangun pula Masjid Panepen (Untuk nenepi/I‟tikaf)
Sultan, letaknya didalam Keraton. Dan Masjid Suronoto untuk Sholat
para abdi dalem (letaknya di Keben). Selain Masjid, dalam struktur
Keraton juga terdapat pejabat yang mengurusi perkembangan agama
Islam, yang dikepalai oleh penghulu keraton, dibantu Kaji Selusinan,
dan para Ketib.
Keraton Yogyakarta juga menghidupkan upacara-upacara budaya
yang bernafaskan Islam, yang dirintis sejak Zaman Kerajaan Demak dan
Mataram Islam. Seperti: Sekaten, Grebeg Mulud (untuk memperingati
Maulid Nabi Muhamad SAW); Grebeg Syawal dan Silahturahmi Sultan
dengan Rakyat (Untuk menyambut Idul Fitri); Grebeg Besar
(memperingati Hari Raya Idul Adha); tidak lupa Sultan membagikan
Zakat Fitrah dan Hewan Qurban.
Keturunan Sultan, yaitu Sentana Dalem bila akan menikah harus
dengan sesama Muslim. Pernikahan dan pembagian waris di Keraton juga
menggunakan hukum Islam. Di dalam lingkungan benteng Keraton (njeron
benteng) tidak boleh ada warga asing China, dan tidak diperbolehkan
berdiri tempat Ibadah kecuali hanya Masjid.
Pada awalnya, setiap Jum‟at Kliwon, Sultan khutbah di Masjid
Gedhe, dan juga tidak dilarang ibadah Haji. Namun setelah adanya
Java Oorlog (Perang Jawa/Perang Diponogoro), maka Penjajah Belanda
membuat peraturan ketat kepada Sultan Yogyakarta yang dinilai
patriotik melawan Belanda dan membantu Pangeran Diponogoro dari
belakang.
Pihak Belanda mencurigai bahwa semangat patriotik melawan
penjajah belanda itu ada pengaruh dari Ibadah Haji bagi Sultan Yogya.
Sejak itu, Sultan Yogya dilarang beribadah Haji. Selain itu, Sultan
juga dibatasi untuk Sholat di Masjid Gedhe, tidak boleh Khutbah,
dalam rangka memisahkan silahturahmi dan kharisma denga rakyatnya.
Terhadap karyatulis resmi kerajaan, mendapatkan sensor ketat,
sehingga mematikan kreativitas para pujangga keraton. Dan yang
paling membelenggu Sultan ialah untuk pemerintahan harian harus
didelegasikan kepada Patih (yang digaji dan mendapat pengaruh
Penjajah Belanda).
Sejak itu, terutama dimasa Sultan HB V sampai HB VII, posisi
Sultan lemah. Penjajah Belanda mulai memasukkan pengaruhnya ke

45
dalam Keraton, melalui pendidikan, seperti Sekolah Taman (yang
gurunya orang-orang Belanda); memasukkan para suster rumah saKit
Belanda untuk merawat keluarga Sultan. Pihak penjajah Belanda juga
meminta tanah milik Keraton di luar benteng untuk didirikan antara
lain Rumah Sakit, Biara, Gereja, dan Sekolah-sekolah Nasrani di
Yogyakarta. Oleh karena itu, kegiatan budaya Keraton dan agama
Islam, agak kurang terang-terangan, sehingga lebih banyak
dimunculkan dengan simbol-simbol yang dibungkus dengan budaya Jawa.
3.5.2 Seni dan Sastra
Budaya berwujud seni yang bernafaskan agama di Yogyakarta,
dapat dilihat antara lain pada: Seni Sastra, seperti serat Muhammad,
Serat Ambiya‟, Serat Tajus Salatin, dan sebagainya. Seni suara,
seperti Macapat, Langen Swara, Salawatan. Seni lukis, seperti
kaligrafi di bangunan Keraton dan Masjid. Seni musik seperti Gamelan
Sekaten. Seni Pedalangan, seperti dimunculkannya wayang sadat,
episode Dewa Ruci dan Jimat kalimasada, serta tokoh punokawan dalam
pewayangan, dan sebagainya.
Pelajaran sejarah dari berbagi peradaban dunia mengajarkan,
bahwa hanya dengan sikap konsisten atas nilai-nilai-lah yang
menyebabkan sebuah peradaban dapat tumbuh kembali, setelah masa
suramnya. Dan nilai-nilai itu, bisa ditelusuri dari masa pembentukan
peradaban itu (the formative age). Seperti: Masa renaissance dan
industrialisasi Eropa yang menumbuhkan kembali Etika Protestan;
Peradaban Islam, yang bersumber dari ajaran dan teladan Nabi
Muhammad SAW; Kebangkitan Asia Timur dewasa ini yang menghidupkan
kembali nilai “Confusianisme”; dan Bangsa Jepang dengan shintoisme
dan etika Bushido-nya. Sebaliknya, masa suram sebuah Kerajaan,
biasanya karena faktor luar dan dalam. Faktor luar adalah
penjajahan, faktor dalam yakni, lunturnya nilai-nilai perjuangan dan
akhlaq para Elite Kerajaan (Keluarga; Kesatria; Ulama), sehingga
Kerajaan itu mudah dikendalikan Bangsa lain. Hikmah Kenabian
mengajarkan, bahwa kekuasaan itu memang digilirkan antar Bangsa
(dikenal sebagai prinsip “Mudawalah“). Hanya dengan kepemimpinan
yang berorientasi menjadi teladan dan melayani rakyatnya (Prinsip
Pamong), suatu Bangsa akan menjadi besar. Pelajaran sejarah dari
masa pembentukan Keraton Yogyakarta adalah bahwa antara rakyat dan
Raja telah memiliKi tradisi “menyatu” sejak zaman perjuangan

46
Panembahan Senopati. Dan hal ini terjadi lagi khususnya di masa
perjuangan merebut kemerdekaan dimasa Sultan HB IX. DemiKian juga,
antara budaya dan agama Islam telah senafas, dengan penonjolan pada
simbol budaya Jawa.
3.5.3 Prinsip Hidup
Dalam memahani budaya Yogyakarta, dapat di mulai dari mengerti
kaedah kehidupan dasar dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta, yaitu:
Pertama: Prinsip RUKUN, yaitu untuk mewujudkan dan mempertahankan
masyarakat dalam keadaan yang harmonis (tenang, selaras, tentram,
bersatu saling membantu). Kedua: Prinsip HORMAT, yaitu memainkan
peran yang besar dalam mengatur pola interaksi social masyarakat
Jawa. Rasa saling menghormati ini memiliKi peran yang besar dalam
masyarakat Yogyakarta.

47
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Pendekatan Penelitian


Mengacu pada rumusan masalah maka penelitian ini, maka penulis
mengguanakan pendekatan deskriptif kualitatif. Penggunaan
pendekatan ini bertujuan untuk mendeskripsikan perilaku orang,
peristiwa lapangan, serta kegiatan-kegiatan tertentu secara
terperinci dan mendalam. Adapun yang dimaksud dengan penelitian
deskriptif yaitu suatu penelitian sekedar untuk menggambarkan suatu
variabel yang berkenaan dengan masalah yang diteliti tanpa
mempersoalkan hubungan antar variabel.
Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan deskriptif
kualitatif yang berlandaskan fenomenologis. Fenomenologis adalah
fenomena-fenomena yang terjadi atau realita yang ada di lapangan
penelitian, yang berkaitan dengan Konektivitas Ruang pada Masjid-
Masjid Kraton Yogyakarta (5 Masjid Pathok Negara dan Masjid Agung
Gedhe Kauman).
4.1.1 Pendekatan deskriptif kualitatif
Menurut Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh Lexy, penelitian
kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis/lisan dari orang-orang dan
perilaku yang diamati. Sementara itu, menurut Sugiyono (2009:15)
adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat
positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang
alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah
sebagai instrument kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan
secara Purposive dan snowball, teknik pengumpulan dengan
triangulasi(gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif,
dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada
generalisasi. Husaini (2011:78), menyebutkan bahwa penelitian
kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan suatu peristiwa
interaksi tingkahlaku manusia dalam situasi tertentu menurut
perspektif peneliti sendiri.
4.1.2 Pendekatan Fenomenologi
Mulyana menyebutkan pendekatan fenomenologi termasuk pada
pendekatan subjektif atau interpretif (Mulyana, 2001:59) Lebih
48
lanjut Maurice Natanson mengatakan bahwa istilah fenomenologi dapat
digunakan sebagai istilah generik untuk merujuk kepada semua
pandangan ilmu sosial yang menempatkan kesadaran manusia dan makna
subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial (lihat
Mulyana, 2001: 20-21).
Kuswarno (2009:36), lebih lanjut menggambarkan sifat dasar
penelitian kualitatif, yang relevan menggambarkan posisi metodologis
fenomenologi dan membedakannya dari penelitian kuantitatif:
a) Menggali nilai-nilai dalam pengalaman kehidupan manusia.
b) Fokus penelitian adalah pada keseluruhannya, bukan pada per
bagian yang membentuk keseluruhan itu.
c) Tujuan penelitian adalah menemukan makna dan hakikat dari
pengalaman, bukan sekedar mencari penjelasan atau mencari ukuran-
ukuran dari realitas.
d) Memperoleh gambaran kehidupan dari sudut pandang orang pertama,
melalui wawancara formal dan informal.
e) Data yang diperoleh adalah dasar bagi pengetahuan ilmiah untuk
memahami perilaku manusia.
f) Pertanyaan yang dibuat merefleksikan kepentingan, keterlibatan
dan komitmen pribadi dari peneliti.
g) Melihat pengalaman dan perilaku sebagai suatu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan, baik itu kesatuan antara subjek dan objek,
maupun antara bagian dari keseluruhan.
Fenomenologi berupaya mengungkapkan dan memahami realitas
penelitian berdasarkan perspektif subjek penelitian. Seperti yang
dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor (1975:2):
“The fenomenologist is concerned with understanding human
behavior from the actor’s own frame of reference”
Hal ini menuntut bersatunya subyek peneliti dengan subyek pendukung
obyek penelitian. Keterlibatan subyek peneliti di lapangan
menghayatinya menjadi salah satu ciri utama penelitian dengan
pendekatan fenomenologi.
Penelitian ini, diajukan untuk menganalisis dan mengungkapkan
fenomena nilai-nilai kearifan lima Masjid Pathok Negara dan Masjid
Agung Gedhe Kauman Yogyakarta. Dalam mengumpulkan dan mengungkapkan
fenomena dan tujuan yang hendak dicapai ini, maka penelitian ini
dilakukan dengan pendekatan studi deskriptif analitis.

49
Dalam penelitian ini, jenis penelitian fenomenologi dipilih
karena pengalaman-pengalaman yang dimiliki para pengurus Masjid yang
lebih mengenal sejarah dan perkembangan Masjid selama mengelolah dan
merawat lingkungan Masjid tersebut.
Gambar 4.1
BAGAN METODE PENELITIAN KUALITATIF

Studi Sasaran 1
Data Analisi Hasil
Pendahuluan Sasaran 2 s

Pengumpulan Data Fokus


Uji (Wawancara) Penelitian
Data (Observasi Lapangan)
(Studi Dokumenter)

Pengelolaan Data
Pra Analisis

Analisis
Data

Pembahasan

Kesimpulan dan Rekomendasi

Sumber: Penulis, 2020

4.2 Lokasi dan Objek Penelitian


4.2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi dalam penelitian ini adalah lima Masjid Pathok Negara
dan Masjid Agung Gedhe Kauman yang bebrapa diantaranya berada di
kabupaten Sleman, di kabupaten Bantul dan kota Jogjakarta Daerah
Istimewah Yogyakarta yaitu Masjid Agung Gedhe Kauman.

50
Gambar 4.2
PETA LOKASI PENELITIAN

51
4.2.2 Objek Penelitian
Menurut Moleong (2010, hlm. 132) menyatakan “objek penelitian
adalah hal yang menjadi titik perhatian dari suatu penelitian”, maka
objek di dalam penelitian kualitatif ini terdiri dari sebagai
berikut:
a. Masjid Mlangi Nogotirto, Gamping, Sleman; Masjid Ploso Kuning,
Ngaglik, Sleman; Masjid Dongkelan, Tirtonirmolo, Bantul; Masjid
Babadan, Banguntapan, Bantul; Masjid Wonokromo, Pleret, Bantul
dan Masjid Agung Gedhe Kauman Yogyakarta serta sarana prasarana
pendukung lainnya (hierarki, arsitektur, sejarah dan fungsi ruang
Islam wilayah).
b. Pengurus Masjid Pathok Negara dan Masjid Agung Gedhe Kauman serta
masyarakat di lingkungan sekitar Masjid serta organisasi
masyarakat Islam disekitar Masjid.
c. Kegiatan di Masjid Pathok Negara dan Masjid Agung Gedhe Kauman
(aktivitas Islam)

Tabel 4.1
OBJEK PENELITIAN

Objek Kisi-kisi Data

Masjid: Mlangi 1. Hierarki Masjid • Data


Nogotirto, Ploso kualitatif
2. Sarana dan prasarana sekitar
Kuning,
3. Arsitektur Masjid • Data Spasial
Dongkelan,
Masjid Babadan,
4. Sejarah Masjid
Wonokromo, dan
Masjid Agung. 5. Pola Perumahan sekitar Masjid

Pengurus 1. Takmir Masjid • Data


Masjid/ORMAS kualitatif
2. Abdi Dalem (prajurit)
3. Organisasi Masyarakat Islama • Data Spasial
sekitar
Kegiatan/budaya 1. Ibadah ritual: Harian, • Data
Mingguan, bulanan dan kualitatif
tahunana.
• Data Spasial
2. Wilayah pelayanan Masjid

Sumber: Penulis, 2020

52
4.3 Kebutuhan Data
Tabel 4.2
KEBUTUHAN DATA
SASARAN VARIABEL INDIKATOR TEKNIK JENIS DATA TEKNIK PENGUMPULAN
ANALISIS
Fenomena ● Sejarah berdirinya masjid Pathok ● Deskr ● Data • Primer
aktivitas Negara sebagai benteng pertahanan iptif Spasial (observasi &
disekeliling kawasan Kraton wawancara)
KeIslaman pada Kuali ● Data
• Sekunder
lima Masjid ● Aktivitas keIslaman pada wilayah tatif Kualita
Sasaran (instansional,
Masjid Pathok Negara
I Pathok Negara tif internet)
dan Masjid ● Ritual ibadah setiap perayaan hari • Penyajian Data:
besar Islam Peta & gambar
Agung Kraton
Jogja ● Kelestarian 5 Masjid Pathok Negara
sampai saat ini

Konektivitas ● Lima Masjid Pathok Negara memiliki ● Deskr ● Data • Primer


ruang Masjid ciri khas arsitektur bangunan yang ip Spasial (observasi &
unik wawancara)
Sasaran Pathok Negara Kuali ● Data
• Sekunder
II dan Masjid ● Tata letak Masjid Pathok Negara pada 4 tatif Kualita (instansional,
penjuru mata angin
Agung Kraton tif internet)
Jogja ● Pola permukiman yang sama • Penyajian Data:
Peta, Visual
● Masing-masing Masjid melayani wilayah foto & tabel
tertorialnya

● Keutuhan bentuk Masjid Pathok Negara


sejak awal dibangun

Sumber: Penulis, 2020

53
4.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif teknik pengumpulan data sangat
diperlukan guna mendapatkan data dalam sebuah penelitian. Tanpa
mengetahui teknik pengumpulan data maka peneliti tidak akan
mendapatkan data sesuai dengan apa yang diharapkan. Penelitian
kualitatif, pengumpulan data dilakukan di dalam berbagai setting,
berbagai sumber, dan berbagai cara. Dari sisi setting maka data
dikumpulkan dalam kondisi yang alamiah (natural setting). Sementara
dari sisi sumber maka, data dikumpulkan dari berbagai sumber yaitu
sumber primer, dan sumber sekunder. Selanjutnya jika dilihat dari
sisi cara atau teknik pengumpulan data lebih banyak dilakukan dengan
pengamatan (observasi), wawancara mendalam (in depth interview) dan
dokumentasi

4.4.1 Pengamatan (Observasi)


Pengumpulan data melalui teknik ini dilakukan peneliti dengan
cara turun langsung ke lapangan, kemudian melihat aktivitas dan
melakukan identivikasi konektivitas ruang yang ada di lima Masjid
Pathok Negara tersebut serta sarana prasarana pendukangnya.
Observasi dapat diartikan dengan kegiatan mengamati dan mencatat
secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian.
Tujuan dilakukan metode observasi ini tidak lain adalah untuk
mengetahui kenyataan secara langsung, gambaran objek di lapangan
terkait fenomena yang terjadi pada Masjid-Masjid Kraton Yogyakarta
(5 Masjid Pathok Negara dan Masjid Agung Gedhe Kauman).

4.4.2 Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil menatap muka antara
penanya atau pewawancara dengan penjawab atau responden dengan
menggunakan panduan wawancara. Dalam penelitian ini, peneliti
mencatat semua jawaban dari responden sebagaimana adanya.
Pewawancara sesekali menyelingi jawaban responden, baik untuk
meminta penjelasan maupun untuk meluruskan bilamana ada jawaban yang
menyimpang dari pertanyaan. Jenis wawancara yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara terstruktur. Maksudnya, dalam
melakukan wawancara peneliti sudah menyiapkan instrumen penelitian
berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis. Di sini, peneliti melakukan

54
wawancara terhadap pengurus masjid Pathok Negara, Abdi dalem, dan
masyarakat sekitar yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan.

4.4.3 Studi Dokumentasi


Studi dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data
kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang
dibuat oleh subjek sendiri atau orang lain tentang subjek. Studi
dokumentasi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan peneliti
kualitatif untuk mendapatkan gambaran dari sudut pandang subjek
melalui suatu media tertulis dan dokumen lainnya yang ditulis atau
dibuat langsung oleh subjek yang bersangkutan (Herdiyansyah, dalam
Haris, 2009;143).

4.5 Teknik Sampling


Sampling dalam penelitian empirik diartikan sebagai proses
pemilihan atau penentuan sampel (contoh). Secara konvensional,
konsep sampel (contoh) menunjuk pada bagian dari populasi. Akan
tetapi, dalam penelitian kualitatif tidak bermaksud untuk
menggambarkan karakteristik populasi atau menarik generalisasi
kesimpulan yang berlaku bagi suatu populasi, melainkan lebih
berfokus kepada representasi terhadap fenomena sosial. Data atau
informasi yang didapatkan harus ditelusuri seluas-luasnya sesuai
dengan keadaan di lapangan. Hanya dengan demikian, peneliti mampu
mendeskripsikan kejadian yang diteliti secara utuh (Burhan Bungin,
2012:53).
Penelitian ini mengunakan teknik purposive sampling. Karena
peneliti merasa sampel yang diambil paling mengetahui tentang
masalah yang akan diteliti oleh peneliti hingga seluruh kebutuhan
sampel penelitian ini dapat terpenuhi.
Purposive sampling adalah salah satu teknik sampling non random
sampling dimana peneliti menentukan pengambilan sampel dengan cara
menetapkan ciri-ciri khusus yang sesuai dengan tujuan penelitian
sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan penelitian.
Menurut Notoatmodjo (2010) pengertiannya adalah: pengambilan
sampel yang berdasarkan atas suatu pertimbangan tertentu seperti
sifat-sifat populasi ataupun ciri-ciri yang sudah diketahui
sebelumnya.

55
Gambar 4.3
PURPOSIVE SAMPLING

Sumber: Penulis, 2019

4.6 Teknik Analisis Data


Analisis data menurut Bogdan dan Biken adalah upaya yang
dilakukan dengan cara mengorganisasikan data, memilahnya menjadi
satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari, dan
menemukan pola, menemukan apa yang paling penting dan yang
dipelajari, dan memutuskan yang dapat diceritakan kepada orang lain
(Lexy Moleong, 2005:248).
Analisis data kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki
lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Dalam
hal ini Nasution menyatakan bahwa analisis telah mulai sejak
merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan
berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian (Sugiyono,
2009:336).
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis interaktif. Menurut Miles dan Hubberman, mengemukakan bahwa
aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif
dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya
sudah jenuh. Analisis interaktif Analisis data dilakukan dengan cara
mengorganisasi data yang diperoleh kedalam sebuah kategori,
menjabarkan data kedalam unit-unit, menganalisis data yang penting,
menyusun atau menyajikan data yang sesuai dengan masalah penelitian
dalam bentuk laporan dan membuat kesimpulan agar mudah untuk

56
dipahami. Berikut ini teknik analisis data interaktif menurut Miles
dan Hubberman, yaitu (Sugiyono, 2009:337-345):
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data pertama-tama dimulai dengan menggali data
dari berbagai sumber, yaitu dengan wawancara, pengamatan, yang
kemudian dituliskan dalam catatan lapangan dengan memanfaatkan
dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya. Dalam
penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan tiga teknik yaitu
dengan wawancara, observasi dan dokumentasi.
2. Reduksi Data
Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan pola nya dan
membuang yang tidak perlu. Dengan demikian, data yang telah
direduksi akan memberikan gambaran yang jelas, dan mempermudah
peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan
mencarinya bila diperlukan. Reduksi data dapat dibantu dengan
peralatan elektronik seperti komputer, dengan memberikan kode-kode
pada aspek tertentu.
3. Penyajian Data
Setelah data direduksi, tahap selanjutnya adalah menyajikan
data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan
dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antarkategori,
flowchart dan sejenisnya. Milles dan Hubberman menyatakan bahwa yang
paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian
kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.
4. Penarikan Kesimpulan
Langkah terakhir dalam analisa data kualitatif menurut Milles
dan Hubberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan
awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah
bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap
pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang
dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid
dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data,
maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel
atau dapat dipercaya.

57
Gambar. 4.4
BAGAN ANALISIS DATA MODEL INTERAKTIF

Pengumpulan Penyajian
Data Data

Reduksi
Data

Kesimpulan &
Verivikasi

Sumber: Miles & Huberman (Burhan Bungin, 2003:69)

58
4.7 Skema Analisis
Gambar 4.5
SKEMA ANALISIS

59
4.8 Desain Survei
Tabel 4.3
DESAIN SURVEI

Kisi-kisi Jenis Sata Teknik Pengumpulan Alat


● Sejarah berdirinya masjid ● Data Kualitatif ● Primer (wawancara) ● Alat perekam, alat tulis,
Pathok Negara ● Sekunder (Internet dan buku dan laptop
dokumen sejarah Masjid)
● Aktivitas keIslaman pada ● Data Kualitatif ● Primer (Observasi dan ● Alat perekam, alat tulis,
wilayah Masjid Pathok Wawancara) buku dan laptop
Sasaran Negara
I
● Kelestarian 5 Masjid ● Data Kualitatif ● Penyajian Data: Peta, ● Laptop, Microsoft Word,
Pathok Negara sampai saat ● Data Spasial Foto dan tabel ArcGis dan kamera
ini
● Ritual ibadah setiap ● Data Kualitatif ● Primer (Observasi dan ● Alat perekam, alat tulis,
perayaan hari besar Islam Wawancara) buku dan laptop
● Lima Masjid Pathok Negara ● Data Kualitatif ● Primer (Observasi dan ● Alat perekam, alat tulis,
memiliki ciri khas ● Data Spasial Wawancara) buku dan laptop serta
arsitektur bangunan ● Sekunder (Internet) kamera
Dokumentasi
● Pola permukiman yang sama ● Data Spasial ● Penyajian Data: Peta ● Laptop, ArcGis dan
di wilayah Masjid ● Data Kualitatif dan Foto kamera

Sasaran ● Masing-masing Masjid ● Data Kualitatif ● Primer (Observasi dan ● Alat perekam, alat tulis,
II melayani wilayah ● Data Spasial Wawancara) buku dan laptop
tertorialnya ● Sekunder (Internet)

● Tata letak Masjid Pathok ● Data Kualitatif ● Primer (Observasi dan ● Alat perekam, alat tulis,
Negara pada 4 penjuru ● Data Spasial Wawancara) buku dan laptop serta
mata angin ● Penyajian Data: Peta, kamera
Foto dan tabel ● ArcGis
Sumber: Penulis, 2020

60
4.9 Tahapan Studi dan Jangka Waktu Pelaksanaan
Waktu penelitian dijelaskan pada tabel rencana kegiatan penelitian berikut:

TABEL 4.4
TAHAPAN STUDI DAN JANGKA WAKTU PELAKSANAAN
Febr Mare Apri Mei
Uraian Pekerjaan uari t l
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pengumpalan Data
(Sekunder) Tahap 1
Pengumpalan Data
(Primer)Tahap 1
Pengolahan Data
Primer dan Sekunder
Pengumpalan Data
(Sekunder)Tahap 2
Pengumpalan Data
(Primer)Tahap 2
Analisis Data
Primer dan
Sekunder
Finalisasi Pengumpulan
dan Pengolahan Data

Finalisasi Analisis Data


Laporan Draft
Sumber: Penulis, 2020

61
4.10 Hasil Akhir yang Diharapkan
Hasil akhir yang diharapkan adalah mengetahui konektivitas
ruang pada lima Masjid Pathok Negara dan Masjid Agung Gedhe Kauman
Yogyakarta. Dari hasil yang didapatkan tersebut dapat menjadi sebuah
konsep wilayah keIslaman dan sebagai salah satu konsep pengembangan
wilayah.

62
BAB V
PENUTUP

Berikut ini merupakan pernyataan bahwa penelitian dengan judul


Konektivitas Ruang pada Masjid-Masjid Kraton Yogyakarta (5 Masjid
Pathok Negara dan Masjid Agung Gedhe Kauman) merupakan studi yang
orisinil. Pra tugas akhir ini merupakan penelitian, pemikiran, dan
pemaparan asli saya sendiri. Penelitian ini tidak mencantumkan tanpa
pengakuan bahan-bahan yang telah dipublikasikan sebelumnya atau
ditulis oleh orang lain, atau sebagai bahan yang pernah diajukan
untuk gelar atau ijasah pada Institut Teknologi Nasional Yogyakarta
atau perguruan tinggi lainnya. Apabila dikemudian hari terdapat
penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik sesuai dengan peraturan yang
berlaku di Institut Teknologi Nasional Yogyakarta.

63
DAFTAR PUSTAKA

Aan Komariah, Djam’an Satori, 2011, Metode Penelitian Kualitatif,


Bandung, Alfabeta.

Abror, Indal. 2016. “Aktualisasi Nilai-Nilai Budaya Masjid Pathok


Negara” dalam Ushuluddin Sciences: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin
(hlm. 65-72). Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga

Alfari, Shabrina. 2015. “Arsitektur Islam yang Megah Nan Syahdu”


wikipedia.org/wiki/Islamic_architecture, diakses pada 04
Januari 2020 pukul 22.27.

Atik Kuswati dan Herawati, “Konektivitas Transportasi Antarmoda di


Kabupaten Tulungagung”. Tahun 2018

Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada.

Banowati Eva, 2013. Geografi Sosial, Yogyakarta: Ombak

Bogdan dan Taylor. 1975. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:


Remadja Karya

[BPS] Badan Pusat Statistik, Provinsi DIY. 2016. Provinsi DIY Dalam
Angka 2016. DIY: BPS Provinsi DIY.

Danu Izra Mahendra, 2019. “Signifikansi Masjid Pathok Negoro


Plosokuning, Ditinjau Melalui Kajian Semiotika” Fakultas
Teknik, Program Studi Arsitektur Universitas Katolik
Parahyangan. Bandung

Desy Ayu, “Pola Permukiman Di Sekitar Masjid Pathok Negara Mlangi


Dan Plosokuning Yogyakarta” repository.ugm.ac.id. penelitian
Tahun 2014.

Fikriarini, “Arsitektur Islam: Seni Ruang Dalam Peradaban Islam”,


Jurnal el-Harakah. Vol.12 No.3 Tahun 2010.

Gunawan dan Rully Medianto, “Anaiisis Konektivitas Jaringan


Transportasi Udara Nasional”. Jurnal Angkas. Tahun 2016

Hakim, Rustam. 1987. Unsur Perancangan Dalam Arsitektur Lansekap.


Jakarta.
64
Kuswarno, Engkus (2009). Metedologi Penelitian Komunikasi
Fenomenologi; Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian,
Bandung: Widya Padjajaran

KBBI, 2019. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] Available


at: http://kbbi.web.id/pusat, [Diakses 31 Desember 2019].

Lexy J. Moleong. 2005. Metodologi penelitian kualitatif, Bandung:


Remaja Rosdakarya

Moleong, Lexy J. (2010), Metodologi penelitian kualitatif, Remaja


Rosdakarya, Bandung.

Maryono, “Menyibak Keistimewaan Manajemen Masjid Keraton


Ngayogyakarta Hadiningrat”, Jurnal Membangun Profesionalisme
Keilmuan. Tahun 2015.

Mulyana, Deddy, 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung:


PT. Remaja Rosdakarya

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:


Rineka Cipta

Rapoport, Amos, 1977, Human Aspects of Urban Form: Towards A Man-


Enviromental Approach to Urban Form and Design, Pergamon Press,
New York.

Republik Indonesia.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar


Budaya.Sekretariat Negara. Jakarta. 2010

Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26


Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Tahun 2007.

Setiawan, Haryadi B. 1995. Arsitektur Lingkungan dan Perilaku.


Jakarta: Dirjen Dikti

Setyowati, E. 2018. “Pathok Negara mosque as the form of territorial


defense region of Mataram Kingdom of Islam Java in Jogjakarta”:
Jurnal Earth and Environmental Science (hlm. 1-3). Yogyakarta:
Universitas Teknologi Yogyakarta

Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,


Bandung: Alfabeta.

65
Szokolay, S.V., (1980), Enviromental Science Handbook, The
Construction Prees Lanchester, England

Sharifah Nafisyah, “Masjid Pathok Negara Sulthoni Sebagai Pusat


Akulturasi Budaya (1976-2000)” Student.jornal.uny.ac.id.
Tahun 2016

Usman, Husaini. 2011. Manajemen Teori, Praktek, dan Riset


Pendidikan. BumiAksara: Jakarta.

Widyastuti. 1995. “Fungsi Latar Belakang Pendirian Dan Peranan


Masjid-Masjid Pathok Negara Yogyakarta”. Universitas Gadjah
Mada. Hal.45

https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4551293/sejarah-
panjang-masjid-pathok-negoro-benteng-pertahanan-sultan-hb-
i.diakses jam 23.20.29/12/2020

https://bangkitmedia.com/masjid-pathok-negoro-batas-wilayah-
kesultanan-islam-yogyakarta/.diakses jam 16.44.30/12/2019

https://www.academia.edu/10452492/Tata_Kota_Menurut_Islam_City_Pla
nning_According_to_Islam.diakses jam 21:37.03/01/2020

https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Pathok_Negara.diakses jam
10:12.04/01/2020

https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-
digest/19/08/29/pwyuka313-perkembangan-arsitektur-islam-
dari-masa-ke-masa.diakses jam 13.12.05/01/2020

66
Lampiran
KEBUTUHAN DATA

SASARAN VARIABEL INDIKATOR TEKNIK JENIS DATA TEKNIK PENGUMPULAN


ANALISIS
Fenomena aktivitas ● Sejarah berdirinya masjid Pathok Negara sebagai benteng ● Deskrip ● Data • Primer (observasi &
KeIslaman pada lima pertahanan disekeliling kawasan Kraton tif Spasial wawancara)
● Aktivitas keIslaman pada wilayah Masjid Pathok Negara • Sekunder (instansional,
Masjid Pathok Kualita ● Data
● Ritual ibadah setiap perayaan hari besar Islam internet)
Negara dan Masjid ● Kelestarian 5 Masjid Pathok Negara sampai saat ini tif Kualitatif • Penyajian Data: Peta &
Sasaran I
Agung Kraton Jogja gambar

Konektivitas ruang ● Lima Masjid Pathok Negara memiliki ciri khas arsitektur ● Deskrip ● Data • Primer (observasi &
Masjid Pathok bangunan yang unik tif Spasial wawancara)
● Tata letak Masjid Pathok Negara pada 4 penjuru mata • Sekunder (instansional,
Negara dan Masjid Kualita ● Data
Sasaran II angin internet)
Agung Kraton Jogja ● Pola permukiman yang sama tif Kualitatif • Penyajian Data: Peta,
● Masing-masing Masjid melayani wilayah tertorialnya Visual foto & tabel
● Keutuhan bentuk Masjid Pathok Negara sejak awal
dibangun

67
Lampiran

DAFTAR LAMPIRAN DATA SEKUNDER

DATA SEKUNDER SUMBER DATA CARA MEMPEROLEH DATA BENTUK DATA Keterangan

• Peta Adminitrasi DIY • Lap PWK • Survei ke Laboraturium • Soft copy -

• Jurnal/Artikel Ilmiah • Internet • Download dari website • Soft copy -

• Dokumen /catatan • Takmir Masjid • Survei ke Masjid • Hard copy/ Soft copy -

• Buku-buku • Perpustakaan • Mengunjungi Perpustakaan • Buku -

• Struktur Pengurus Masjid • Pengurus Masjid • Survei ke Masjid • Hard copy/ Soft copy -

• Ketersediaan Fasum/fasos Masjid • Pengurus Masjid • Survei ke Masjid • Hard copy/ Soft copy -

68
DAFTAR LAMPIRAN DATA PRIMER

No. Daftar Lampiran

1 Pedoman Wawancara

2 Jadwal Wawancara

3 Pedoman Observasi

4 Jadwal Observasi

5 Pedoman Dokumentasi

6 Jadwal Dokumentasi

PEDOMAN WAWANCARA

1. Wawancara Ketua Takmir Masjid (5 Masjid Pathok Negara)


a. Ceritakan secara kronologis berdirinya Masjid Pathok Negara?
b. Ceritakan bagaimana struktur koordinasi antar Masjid Pathok Negara dan Masjid
Kraton sebagai Masjid utamanya?
c. Bagaiman perkembangan Masjid Pathok Negara hingga saat ini?
d. Bagaiman struktur organisasi Masjid Pathok Negara?
e. Berapa jumah Abdi Dalem (prajurit) yang dimiliki dan bagaimana pembagian tugas
dan fungdi antar prajurit Masjid Pathok Negara?
f. Seperti apa arsitektur bangunan Masjid Pathok Negara?
g. Bagaimana pola permukiman yang ada disekitar Masjid Pathok Negara?
h. Mengapa Masjid Pathok Negara masih lestaris sampai saat ini?
i. Bagaimana struktur koordinasi antar Masjid Pathok Negara dan Masjid Kraton
sebagai Masjid utamanya?
2. Wawancara dengan anggota Pengurus Masjid (5 Masjid Pathok Negara)
a. Apa saja aktivitas/kegiatan Masjid Pathok Negara?
b. Tradisi apa saja yang ada di Masjid Phatok Negara?
c. Fasilitas apa saja yang ada di masing-masing Masjid Pathok Negara?
d. Ormas apa saja yang mempengaruhi keberadaan Masjid Pathok Negara saat ini?
e. Bagaimana struktur koordinasi antar Masjid Pathok Negara dan Masjid Kraton
sebagai Masjid utamanya?

69
3. Wawancara dengan Masyarakat sekitar lingkungan Masjid Pathok Negara:
a. Seperti apa pelayanan Masjid Pathok Negara terhadap masyarakat?
b. Bagaimana pola permukiman yang ada disekitar Masjid Pathok Negara?
c. Bagaimana perkembangan Masjid Pathok Negara saat ini?
4. Wawancara dengan Pengurus Masjid Agung Gedhe Kauman Yogyakarta
a. Bagaimana sistem komunikasi dan koordinasi antar pengurus masjid Pathok
Negara dan Masjid Agung?
b. Apa keterkaitan antar Masjid Agung dengan Masjid Pathok Negara dulu hingga
saat ini?
c. Seperti apa kedudukan Masjid Agung Kraton dengan Masjid Negara di Kesultanan
saat ini?

70
JADWAL WAWANCARA

No Tanggal Informan Waktu Tempat Jabatan

1 02 Maret 2020 Takmir Masjid 12.30 Masjid Ploso Kuning Ketua

2 02 Maret 2020 Takmir Masjid 15.30 Masjid Babadan, Banguntapan Ketua

3 09 Maret 2020 Takmir Masjid 09:00 Masjid Wonokromo Anggota Pengurus

4 09 Maret 2020 Takmir Masjid 12.30 Masjid Babadan Anggota Pengurus

5 16 Maret 2020 Masyarakat 10:00 Sekitar Masjid Dongkelan Masyarakat Umum


6 23 Maret 2020 ORMAS terkait 09.00 Kota Jogja Ketua
7 25 Maret 2020 Pengurus Masjid 12.00 Masjid Agung Kraton Takmir Masjid

71
PEDOMAN OBSERVASI I

Hari/Tanggal Pengamatan : 28 April 2020


Lokasi Pengamatan : Masjid Pathok Negara
Dideskripsikan pukul : 17:30
Kegiatan yang diobservasi : Kegiatan Kerohanian Masyarakat

1. Seperti apa kegiatan kerohanian pada Masjid Phatok Negara?


2. Bagaimana pelaksanaan yang kegiatan kerohanian pada Masjid Phatok Negara?

72
PEDOMAN OBSERVASI II

Hari/Tanggal Pengamatan : 30 April 2020


Lokasi Pengamatan : Masjid Agung Gedhe Kauman Yogyakarta
Dideskripsikan pukul : 12:30
Kegiatan yang diobservasi : Kegiatan Kerohanian Masyarakat

1. Seperti apa kegiatan kerohanian pada Masjid Agung Gedhe Kauman Yogyakarta?
2. Bagaimana pelaksanaan yang kegiatan kerohanian pada Agung Gedhe Kauman
Yogyakarta?

73
JADWAL OBSERVASI

No Hari dan Waktu Waktu Observasi Kegiatan yang diobservasi Tempat

Seperti apa kegiatan kerohanian pada


1 Senin, 06 April 2020 10:15 Masjid Phatok Negara Masjid Pathok Negara
Bagaimana pelaksanaan yang kegiatan
2 Rabu, 08 April 2020 12:15 kerohanian pada Masjid Agung Kraton Agung Gedhe Kauman Yogyakarta

74
PEDOMAN DOKUMENTASI

1. Keadaan kegiatan kerohaniaan Masjid Pathok Negara


2. Tradisi Abdi dalem di masing-masing Masjid

JADWAL DOKUMENTASI

Bentuk
No Isi Dokumen Tanggal/Pencatatan Jam Pencatatan
Dokumen
1 Gambar Foto saat kegiatan 15 April 2020 09-35 WIB

2 Gambar Foto saat Abdi dalem beraktivitas 15 April 2020 10:45 WIB

75

Anda mungkin juga menyukai