Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Multicide
Pembunuhan massal, pembunuhan berantai, dan pembunuhan besar
besar (juga pembunuhan ganda / double homicide dan pembunuhan
rangkap tiga / triple homicide jika dianggap sebagai kategori tersendiri)
adalah bagian dari multicide atau pembunuhan berlipat. (Aggrawal A, 2005)
1 Pembunuhan Massal (Mass Murder)
Istilah pembunuhan massal dapat memiliki arti berbeda bagi
setiap orang. Istilah ini telah digunakan untuk beragam situasi, seperti:
penembakan di Menara Whitman Texas, peracunan massal di Jonestown,
pembunuhan oleh Jack the Rupper, pembunuhan genosida (Hitler),
tragedi kebocoran gas di kawasan industri Bhopal, pengeboman di
Oklahoma, penyerangan di WTC, praktek Euthanasia, dan bahkan
kebijakan liberalisasi aborsi yang menjadi topik hangat di seluruh dunia.
Namun, Unit Ilmu Tingkah Laku (Behavioral Science) di Akedemi FBI,
Quantico Virginia, mendefinisikan pembunuhan massal sebagai
pembunuhan terhadap empat atau lebih korban di satu lokasi dan pada
waktu yang sama (satu kejadian / satu event), tanpa jeda emosi di antara
pembunuhan tersebut. Kejadian ini pada umumnya tidak terencana dan
tidak terduga. Maka, pembunuhan terhadap korban dengan jumlah yang
lebih sedikit pun diberikan istilah yang berbeda. Pembunuhan terhadap
satu korban disebut pembunuhan tunggal (single homicide), terhadap
dua korban di satu kejadian dan satu lokasi disebut pembunuhan ganda
(double homicide), dan terhadap tiga korban di satu kejadian dan satu
lokasi disebut pembunuhan rangkap tiga (triple homicide). Kebanyakan
pihak berwajib kini mempercayai bahwa triple homicide juga perlu
ditindak selayaknya pembunuhan massal. Karenanya, Dion Terres yang
telah membunuh dua orang dan melukai orang ketiga di restoran
McDonalds Racine Wisconsin di Amerika Serikat pada 10 Agustus
1993 lalu, seringkali diklasifikasikan sebagai pembunuhan massal oleh

pihak berwajib. Serupa degan kasus tersebut, Steven Benson dari Florida
yang mengebom mobilnya dalam upaya membunuh ibu dan saudara laki
lakinya (dari adopsi) pada 9 Juli 1985 juga dianggap sebagai
pembunuhan massal. Hal ini dikarenakan pada awalnya Benson juga
berencana meledakkan saudara perempuannya Carol Lynn yang pada
akhirnya selamat. Karenanya (penentuan jumlah korban) kerap kali
memperhitungkan intensi pelaku.
Pada umumnya, pelaku pembunuhan massal akan mengunjungi
tempat

umum

(seperti:

kantor

pemerintahan,

restoran,

pusat

perbelanjaan, sekolah, dll) kemudian membunuh orang tak bersalah di


sekitarnya secara acak. Biasanya pelaku juga membunuh dirinya sendiri
setelahnya,

atau

memposisikan

dirinya

sehingga

polisi

terpaksa

membunuhnya (disebut juga bunuh diri dengan bantuan polisi atau


suicide by cop). Tipikal pelaku pembunuhan massal adalah manusia
yang penyendiri dengan amarah yang ekstrim, ide ide paranoid, dan
depresi. Ia membunuh dalam upaya mendapatkan kuasa untuk
mengontrol takdir orang lain walau hanya merupakan momen yang
singkat. (Aggrawal A, 2005)
2 Pembunuhan Berantai (Serial Murder)
Periode jeda emosi adalah hal mendasar yang membedakan
pembunuhan

massal

atau

pembunuhan

besar

besaran

dari

pembunuhan berantai. Pembunuhan berantai dapat didefinisikan


sebagai pembunuhan terhadap tiga atau lebih korban yang di lakukan
pada tiga atau lebih waktu yang berbeda (beda kejadian atau beda event)
dengan periode jeda emosi antar pembunuhan. Lokasi kejadian dapat
saja sama (pembunuh kembali ke lokasi awal untuk membunuh lagi)
ataupun berbeda - beda. Yang disebut sebagai periode jeda emosi ini
dapat berlangsung dalam selisih beberapa jam atau bahkan bertahun
tahun.

Pelaku

pembunuhan

umumnya

telah

merencakan,

membayangkan, dan mengatur pembunuhannya dengan mendetail. Ia


juga menyeleksi korbannya. Biasanya korban adalah orang yang tidak ia
kenal namun telah ia kuntit sebelumnya.

Para korban pembunuhan berantai biasanya memiliki kesamaan,


seperti: jenis kelamin, usia, atau pekerjaan. Walau pelaku lebih memilih
korban dengan latar belakang tertentu, bila ia tidak dapat menemukan si
calon korban terpilih, maka ia akan mengganti targetnya dengan calon
korban baru.
Jumlah minimum korban dalam suatu pembunuhan untuk dapat
diklasifikasikan sebagai pembunuhan berantai masih merupakan sebuah
kontroversi. Banyak pihak berwajib yang percaya bahwa pembunuhan
terhadap dua orang di dua event yang berbeda sudah cukup untuk
ditindak sebagai pembunuhan berantai. (Aggrawal A, 2005)
3 Pembunuhan Besar Besaran (Spree Murder)
Tipe ketiga dalam pembunuhan berlipat (multicide) adalah
pembunuhan besar besaran (spree murder) yang didefinisikan
sebagai pembunuhan terhadap tiga atau lebih orang (jumlah korban
masih merupakan kontroversi) dalam satu kejadian tanpa periode jeda
emosi dan berlangsung di dua atau lebih lokasi. Satu rangkaian peristiwa
yang dimaksud dapat memiliki durasi yang singkat maupun panjang.
Dalam contoh kasus Howard Unruh, semua upaya pembunuhan
(termasuk melukai korban) terjadi dalam selang waktu 20 menit. Kasus
Charles Whitman, sebaliknya, membunuh dalam jeda beberapa jam.
Pada malam 31 Juli 1966, ia pergi ke apartemen ibunya (lokasi #1) dan
membunuh ibunya; ia kemudian kembali ke rumahnya sendiri (lokasi #2)
untuk menusuk istrinya hingga meninggal (1 Agustus 1966, 3.00 am);
pada hari yang sama ia memanjat Menara jam setinggi 92 meter di
University of Texas (lokasi #3) di mana ia menambak sekitar 15 orang
dari pukul 11.45 am 1.20 pm. Walau pembunuhan ini terjadi
berlangsung salama hampir 1 hari, namun karena tidak adanya periode
jeda emosi di antara tiap pembunuhan, kasus ini dapat dikategorikan
sebagai pembunuhan besar besaran (spree murder).
Pembunuh yang menerapkan cara campuran (hybrid) juga pernah
terjadi dan disebut sebagai pembunuh besar besaran berantai (spree
serial killer). Dalam kasus ini, pembunuhan terjadi dalam selang waktu
yang pendek (jarak beberapa hari saja) namun dilakukan oleh seorang
pembunuh berantai. Namun korban pembunuhan tidak memiliki karakter

atau sesuatu yang sama seperti yang merupakan ciri di pembunuhan


berantai.
Dua

variable

paling

penting

yang

membedakan

ketiga

jenis

pembunuhan berlipat (multicide) tersebut adalah (variable 1) periode jeda


emosi di antara pembunuhan pembunuhan, dan (variable 2) lokasi
pembunuhan (lihat tabel 1).
Adanya periode jeda emosi di antara dua pembunuhan beruntun
adalah variable yang penting. Pada periode inilah pelaku memiliki
kesempatan untuk mengontrol perilakunya dan menghentikan pembunuhan.
Bila pelaku tidak melakukan hal tersebut, maka pelaku menjadi perilaku
kriminal yang jauh lebih berbahaya. Tidak adanya periode jeda emosi pada
pembunuhan

massal

dan

pembunuhan

besar

besaran

sendiri

menghindarkan pelaku dari kemungkinan untuk menenangkan diri dan


mengontrol perilakunya.
Perbedaan menonjol lainnya antara pembunuhan berantai dan
pembunuhan massal adalah, pada pembunuhan berantai, pelaku akan
bersusah

payah

untuk

menutupi

perbuatannya,

sementara

pada

pembunuhan massal, pelaku tidak tertarik dengan hal tersebut dan justru
membunuh dirinya sendiri setelahnya. Berbagai diskusi menyimpulan bahwa
pelaku pembunuhan massal kerap kali mengidap gangguan jiwa terkait
dengan trauma masa kecil dan pelecehan seksual dan/atau fisik. Sebaliknya,
pelaku pembunuhan berantai dapat menunjukkan sedikit sekali tanda
gangguan jiwa, dan tampak cukup normal di luaran walau telah melakukan
berbagai tindakan kriminal yang berbahaya / menakutkan. (Aggrawal A,
2005)

Tipe

Waktu

Loka

Tipikal

Tahun

Multicide

Pembunuha

si

Contoh

Hari

/ Jumlah
Orang

(Var.

Yang

(Var. 1)

2)

Terbunu

Pembunuha

Sama (tidak Sama Crown Prince 1

n Massal

ada periode

Dipendra

jeda

(Nepal)

h
Juni 9

2001

(termasu
k pelaku)

emosional)

orang
luka
(ada Sama Jack

luka
5 pelacur

Pembunuha

Beda

n Berantai

periode jeda /

Ripper

Agustus

(angka

emosional,

(London, UK)

1888

tidak

bervariasi

(pertama)

pasti,

mulai

Beda

the 31

dari

9 estimasi

beberapa

Novembe

jam

hingga

beberapa

1888 orang)

(terakhir)

tahun antar
pembunuha
Pembunuha

n)
Sama (tidak Beda

Howard

n Besar ada periode

Unruh

(NJ, Septemb

besaran

jeda

USA)

er 1949

emosional)

secara

acak

menembakka
n pistolnya di
daerah
perumahanny
a
2.2 Klasifikasi Mass Murder oleh Dietz

13 orang
+ 3 luka
- luka

Park Elliot Dietz mengklasifikasikan pembunuhan massal menjadi tiga


sub-kategori: (1) Family Annihilators (perusak keluarga / pembunuh
keluarga), (2) Pseudocommandos (pseudo = fake), dan (3) Pembunuh setand-run (membunuh kemudian kabur). Di tahun 1992, Holmes dan Holmes
mengajukan dua kategori tambahan (1) murid / rasul; dan (2) karyawan yang
tidak puas.
1 Family Annihilators (perusak keluarga / pembunuh keluarga)
Pelaku pada umumnya adalah pria paruh baya pecandu alcohol akut
yang membunuh istri, anak, peliharaan, orang tua, dan mertuanya tanpa
peringatan. Umumnya mereka terserang depresi, paranoia, keracunan
(alcohol), atau kombinasi ketiganya. Pelaku biasanya membunuh dirinya
sendiri setelah kejadian atau membuat polisi membunuhnya. Tipikal
contoh kasusnya adalah pembunuhan yang dilakukan oleh Putra
Mahkota Dipendra dari Nepal
2 Pseudocommandos (perintah palsu / militer palsu)
Pelaku pada umumnya adalah anak muda yang terobsesi dengan senjata
api yang kemudian menembak tanpa pandang bulu di keramaian. Mereka
menganggap dirinya sendiri sebagai orang militer dan kerap kali
merencanakan cara pembelaan diri dengan detail. Penyerangan mereka
umumnya berakhir dengan bunuh diri. Tipikal contoh kasus ini adalah
Jamer Oliver Huberty (41 tahun) yang pada 18 Juli 1984 membunuh 21
orang dan melukai 19 orang lainnya di restoran McDonalds California,
USA.
3 Pembunuh Set-and-Run (semacam tabrak lari)
Pada kasus ini pelaku menyiapkan lokasi kemudian kabur. Pelaku
pembakaran,

pengeboman,

pengracun

yang

telah

merencakan

pembunuhan dengan detail termasuk caranya untuk kabur termasuk


dalam klasifikasi ini. Pelaku pengracun Tylenol yang tidak diketahui
hingga kini mungkin dapat diklasifikan di sini walau lebih tepat sebagai
peracunan massal. Sebaliknya, Steven Benson yang telah dijelaskan di
atas (membunuh ibu dan saudaranya dengan mengebom mobil) adalah
contoh yang cocok untuk kategori ini.
4 Murid / Rasul

Pelaku biasanya adalah mereka yang terlalu terlibat atau memuja


pemimpinnya yang karismatik hingga mau membunuh
5 Karyawan Yang Tidak Puas (kecewa)
Pelaku adalah karyawan yang tidak puas terhadap apa yang mereka
anggap sebagai perlakuan buruk atasannya. Contohnya, Paul Calden (33
tahun) adalah karyawan di perusahan asuransi di Florida. Pada tanggal
27 Januari 1993, ia dipecat dari perusahaan tersebut. 9 bulan
kemudian,ia datang ke kantin perusahaan sambil membawa senjata api
dan menembak 3 rekan kerjanya serta melukai (parah) 2 lainnya sambil
berkata Ini yang kamu dapat karena memecat saya (fire = memecat,
menembak). Setelah penembakan, Calden membunuh dirinya sendiri.
(Aggrawal A, 2005)
Klasifikasi di atas menggunakan berbagai basis dari pencampuran
motivasi,

hubungan

antara

korban-pelaku,

dan

teknik

pelaku.

Permasalahnnya, sistem klasifikasi ini tidak Mutually Exclusive maupun


Collectively Exhaustive dalam menjelaskan beberapa kasus pembunuhan
massal. Walau beberapa kasus dapat dengan mudah masuk ke kategori
tertentu, beberapa lainnya masih meruapakan campuran atau bahkan tidak
termasuk dalam kategori manapun. (Aggrawal A, 2005)
note:
-

collectively exhaustive : semua kemungkinan alasan pembunuhan ada

di klasifikasi ini.
mutually exclusive : 1 kejadian hanya bisa masuk di 1 kategori, tidak
boleh ada campuran kategori.

2.3 Epidemiologi
Park Dietz pada tahun 1986 mencatat bahwa pada tahun 1983 di
Amerika Serikat, 88,5% dari total semua pembunuhan menimbulkan 1
korban, 8,9% menimbulkan 2 korban, 1,3% menimbulkan 3 korban, dan
hanya 1,0% menimbulkan 4 korban atau lebih. Dietz merasa delusi
penganiayaan umum ditemui pada pelaku yang membunuh lebih dari 10
korban, sedangkan depresi umum ditemui pada pelaku yang membunuh 3
sampai 10 korban (Lester, David, 2004).

Pada tahun 1999 terdapat 14.012 kejadian pembunuhan di Amerika


Serikat. 75 kejadian pembunuhan menimbulkan 3 korban atau lebih (sebuah
proporsi yang meningkat sejak tahun 1970an) sedangkan 17 kejadian
menimbulkan 5 korban atau lebih (Lester, David, 2004).
2.4 Definisi Pseudocommando
Pseudocommando merupakan salah satu jenis pembunuhan massal
yang melakukan pembunuhan pada tempat umum (area publik) saat siang
hari, dengan persiapan yang matang dan menggunakan senjata dengan
kemampuan membunuh yang kuat. Pembunuh biasanya tidak memiliki
rencana untuk kabur setelahnya dan berharap akan terbunuh saat
pelaksanaan. (Knoll, James L, 2010)
2.5 Etiologi Pseudocommando
Penelitian menunjukkan bahwa pseudocommando biasanya muncul
karena dorongan yang kuat dari perasaan marah, benci, dan dendam ; yang
berasal dari kepercayaan bahwa dirinya terlah dianiaya atau telah
diperlakukan secara tidak adil. Pelaku melihat dirinya sendiri seperti
melakukan pembalasan dendam pribadi. Beberapa pelaku pembunuhan
massal mengambil langkah khusus untuk mengirimkan komunikasi terakhir
kepada publik atau media berita; dimana komunikasi ini hanya mendapat
sedikit analisa terperinci. Penggunaan bahasa saat berkomunikasi oleh
pelaku padahal dapat menunjukkan data penting mengenai keadaan mental
pelaku, motivasi, dan psikopatologinya. (Knoll, James L, 2010)
Pelaku

pseudocommando

biasanya

adalah

seseorang

yang

terpesona dan mengagumi senjata. Dia menimbun pistol (guns) dan bahan
peledak, dan akhirnya merencanakan pembunuhan besar-besaran secara
sengaja. Pelaku tidak memilih orang tertentu untuk dibunuh, tetapi dia
mungkin memilih kelas manusia tertentu seperti anak-anak, feminis, dan
sebagainya. (Lester, David, 2004)
2.6 Karakteristik Pseudocommando

Mullen mendeskripsikan hasil evaluasi forensik terhadap 5 pelaku


pembunuhan masal pseudocommando yang tertangkap sebelum mereka
bisa bunuh diri atau dibunuh. Mullen mencatat bahwa pembantaian sering
direncanakan terlebih dahulu dengan baik (yaitu, pelaku tidak secara tibatiba "menembak"): pelaku tiba di TKP dengan persenjataan yang lengkap,
sering dalam kamuflase (camo) atau mengenakan baju tentara (warrior
gear). Dia muncul untuk menggapai rencana pembalas dendaman
pribadinya. Penelitian Mullen juga menemukan sejumlah ciri-ciri atau
karakteristik dan historical factor yang sama pada individu ini bahwa :
Mereka ditindas (bully) dan diasingkan ketika masih anak anak dan telah
menjadi pribadi yang "penyendiri" yang merasa putus asa karena tidak
diterima di lingkungan sosialnya. Mereka juga dideskripsikan sebagai pribadi
yang pendendam dan pembenci yang menunjukkan adanya ciri-ciri obsesif
atau kaku.
Terdapat ciri kepribadian narsistik dan waham kebesaran, bersamaan
faktor eksternal yang menjadi pemicu. Mereka memandang orang lain
dengan remeh dan banyak menghabiskan waktu untuk mengingat ingat
kembali hal yang memalukan di masa lalu. Pemikiran berulang tersebut
berkembang menjadi fantasi pembalas dendaman yang dilakukan dengan
kekerasan, sampai pada titik dimana pelaku seolah olah tidaak takut pada
kematian, bahkan mempersepsikan kematian akan mendatangkan kepada
mereka ketenaran dan kekuatan. Kebanyakan literature menggambarkan
tentang keinginan atau motivasi pseudocommando untuk membalaskan
dendamnya yang ditunjukkan kepada suatu kelompok (pseudocommunity)
atau representative ideology. (Knoll, James L, 2012)
Ciri ciri atau karakteristik pseudocommando

Direncanakan dengan baik sebelum penyerangan.


Datang dengan persiapan persenjataan yang kuat.
Melakukan pembunuhan masal di tempat umum selama siang hari.
Memiliki paling tidak harapan atau pikiran untuk dibunuh.
Mengenakan baju tentara (warrior gear) saat penyerangan.
Perasaan benci dan memendam rasa dendam.
Karakter kepribadian paranoid atau narsistik.
Beberapa mungkin menderita gangguan jiwa.

10

Riwayat diasingkan oleh lingkungan social atau ditindas (bully).


Memiliki fantasi pembalas dendaman yang dilakukan dengan kejam.
Menyatakan motivasi dalam komunikasi terakhir.
(Knoll, James L, 2012)
2.7 Psikopatologi
Seperti yang sudah dicatat, istialh pseudocommando digunakan
untuk mendeskripsikan pelaku pembunuhan massal yang merencanakan
aksinya setelah pertimbangan yang lama. Pelaku sering membunuh di
tempat terbuka, pada siang hari, dengan persenjataan yang banyak, dan
tidak merencanakan pelarian. Pelaku pseudocommando adalah kolektor
ketidakadilan yang memelihara narsisme mereka yang terluka dan akhirnya
mengasingkan diri pada dunia fantasi tentang kekerasan dan balas dendam.
Mullen menggambarkan hasil dari evaluasi personal secara detail yang
dilakukannya

terhadap

lima

pelaku

pseudocommando

yang

secara

kebetulan tertangkap sebelum mereka bunuh diri atau dibunuh. Mullen


mencatat bahwa pembantaian biasanya telah direncanakan secara matang
( tidak impulsive ), dimana pelaku biasanya sampai pada lokasi kejadian
dengan persenjataan lengkap, melakukan kamuflase atau meniru prajurit,
dan terlihat seperti mengejar agenda pembalasan. Mullen dan Dietz
menggambarkan pelaku sebagai penyimpan dendam dan curiga yang
senang terhadap senjata api. (Scott, Charles L, 2012)

Pertahanan Ego dan Balas Dendam


Bentuk

ego

yang

terancam

menjelaskan

psikologi

pelaku

pseudocommando sejalan dengan pandangan Menninger terhadap


sebab ledakan amarah. Menurut Menninger, ada 5 elemen penting yang
mendorong munculnya tindakan kekerasan ;
1. Narcissistic injury dirasa sebagai sesuatu yang sangat tidak adil.
2. Keputusasaan mengenai resolusi yang pantas.
3. Pandangan bahwa batas toleransi sudah terlampaui dan harus
melakukan tindakan.
4. Akses terhadap senjata.
5. Sikap acuh tak acuh terhadap konsekuensi, bercampur dengan rasa
marah yang kuat.

11

Pseudocommando telah dideskripsikan secara tepat sebagai


kolektor ketidakadilan yang berpegang pada perasaan terhina, yang
mengumpukan

bukti

bahwa

membenarkan

tindakan

mereka

dendamnya,

sudah

koleksinya

dianiaya.

Selain

membantu

untuk

mempertahankan keinginan balas dendam. Ia mengumpulkan aspek


tidak diinginkan, kebencian atau rasa takut dari dirinya, dan kemudian
menyusunnya menjadi musuh yang pantas menjadi target tanpa belas
kasihan.

Dengan

demikian

para

pelaku

pseudocommando

mempertahankan hubungan obyek sangat didasarkan pada rasa iri (envy)


dan pemisahan (splitting). Keinginan lebih intens untuk balas dendam
akan memberi sinyal idealisasi yang lebih intens pula pada obyek yang
dibenci. Target dari keinginan yang sangat kuat harus dibuat layak
menerima nasib mereka dan digambarkan tidak layak dianggap sebagai
manusia.
Fantasi balas dendam pada pelaku pseudocommando berfungsi
untuk melenyapkan realita yang tidak tertahankan dan permusuhan
dengan diri sendiri. Mereka tidak hanya menolak ketidakmampuan
mereka, namun lebih jauh, untuk mendapatkan kekuatan tak terbatas
yang sebenarnya. Mata ganti mata selanjutnya akan menjadi mata
ganti nyawa. Pada saat ini, balas dendam merupakan upaya untuk
mengembalikan keagungannya. Namun, fantasi balas dendam dan
pertahanan primitive tidak dapat melindungi diri mereka sepenuhnya,
terutama

saat

perasaan

kuat

tentang

penyiksaan

dan

iri

hati

membawanya menuju destruksi kognitif, nihilism, dan kesediaan untuk


mengorbankan diri sendiri

Pemikiran Pseudocommando: Penyiksaan, Iri hati, Penghapusan


Studi para pelaku kekerasan menunjukkan bahwa mereka sering
mengalami

ketidakmampuan

untuk

mempercayai

dan

memiliki

pandangan terhadap dunia yang menyiksa, meninggalkan mereka


dengan egosentris yang kuat, jenis karakter paranoid. Hal ini mirip
dengan pembangunan mental yang dideskripsikan oleh Klein, yang
dikenal dengan posisi paranoid-skizoid, dimana pandangan individu

12

terhadap dunia didasarkan pada perasaan teraniaya dan frustasi yang


dirasakan sebagai bahaya yang disengaja, atau perampasan yang
bertujuan. Pelaku paranoid-skizoid mendemonstrasikan penggunaan
mekanisme pembelaan primitive, seperti splitting, eksternalisasi, dan
proyeksi identifikasi.

Iri Hati
Sejalan dengan perasaan teraniaya, pelaku yang paranoid-skizoid
juga menderita perasaan iri hati yang destruktif. Pelaku jenis ini tidak
sesederhana itu iri akan kepunyaan orang lain atau status sosialnya,
namun iri pada cara orang lain menikmati hal-hal tersebut. Istilah orang
lain yang digunakan disini menandakan orang yang dituju dan proyeksi
dari ego pelaku sendiri terhadap orang lain. Tujuan sebenarnya adalah
untuk menhancurkan kemampuan orang lain dalam menikmati obyek
yang berharga atau statusnya. Dengan proyeksi, individu tertentu melihat
orang lain sebagai penganiaya yang tidak hanya merupakan hasil dari
pemikiran paranoid, tetapi juga karena pandangan mereka terhadap
orang lain yang dapat menikmati apa yang seharusnya berhak mereka
rasakan.

Nihilism
Observasi klinis menunjukkan bahwa beberapa pelaku yang tetap
berpegang pada posisi teraniaya akhirnya akan membentuk sikap
nihilistic yang berakar kuat. Sikap nihilism ini kemudian meliputi
pandangan mereka akan dunia, sikap terhadap pengobatan, dan
kehidupan secara keseluruhan. Rasa keputusasaan mereka dapat
berakhir dengan bunuh diri dan tindakan lain yang merusak diri sendiri.
Penelitian psikososial menunjukkan bahwa ketika nihilism dan
keinginan untuk menghindari rasa sakit menjadi sangat kuat, ada
peningkatan risiko bunuh diri atau perilaku merusak diri sendiri yang
signifikan. Teori ini disebut escape theory. Menurut teori ini, ketika
seseorang tidak dapat menolak afek negatif dan permusuhan dengan diri
sendiri, sebuah proses dekonstruksi kognitif terjadi, dimana terdapat
penolakan

makna

(nihilism,

13

keputusasaan),

peningkatan

ketidakrasionalan, dan disinhibisi. Pengaplikasian teori ini pada psikologi


pelaku

pseudocommando,

tahap

dekonstruksi

kognitif

tampaknya

mmenandakan titik balik yang mematikan. Mencoba, namun gagal, untuk


menempatkan permusuhan dengan diri sendiri diluar dirinya, ia
menggandakan usahanya untuk mewujudkan permusuhan itu. Usaha ini
kembali padanya sebagai serangan yang lebih kuat dari luar. Pada
individu tertentu, hal ini dapat memuncak pada serangan di kehidupan
nyata yang ditujukan keluar diri untuk menghindari serangan dari dalam.

Hak (Entitlement)
Pada

kasus

pseudocommando,

terdapat

tekad

untuk

menghancurkan. Pelaku memperthankan perasaan terkucilkan dan


merasa berhak untuk menyakiti orang lain karena pandangan Alam
sudah berbuat salah besar terhadapku. Kehidupan berhutang perbaikan
padaku. Aku punya hak untuk dikecualikan. Aku mungkin berbuat salah
pada diriku sendiri, namun kesalahan sudah terlebih dulu ada padaku.
Sekali ia memiliki mindset seperti ini, ia mengutuk dirinya agar tidak bisa
keluar dari komitmen untuk membunuh, baik secara eksternal ataupun
internal.

Heroic Revenge Fantasy


Untuk menghindari mindset pemusnahan (obliteration mindset),
seseorang membutuhkan perlindungan jiwa dari penindasan dan
nihilism yang menyerang meereka. Dari perlindungan itu seseorang akan
mendapatkan harapan untuk mencapai kejernihan mental, kebebasan
dari penindasan, dan melepaskan fantasi balas dendam mereka.
Sayangnya, pada beberapa kasus, individu tertentu tidak akan dapat
melepaskan mindset pemusnahan, karena semua upayanya diwarnai
perasaan curiga, perilaku defensive, dan penghinaan. Hal ini dapat
menuju tahap fatal. Ia menjadi tidak dapat melepaskan diri dari fantasi
balas dendamnya. Semakin dekat dengan fantasi tersebut, ia akan
menerima kenyataan ia akan mengorbankan dirinya. Ia merasa
kekerasan adalah satu-satunya jalan dan menganggap dirinya sudah
mati dan ini hanyalah kematian fisik.

14

Hal

ini

memberikan

efek

distorsi

terhadap

kemampuan

penilaiannya dan merusak kemampuannya untuk menemukan makna


hidup. Sekarang Ia dapat mengesampingkan naalurinya untuk bertahan
hidup dan mencapai point bersedia untuk mengorbankan seseorang. Ini
juga merupakan point dimana ia mulai menyusun catatan terakhirnya.
Catatan ini memiliki makna yang sangat besar untuk dirinya, karena ia
menyadari mereka akan menjadi satu-satunya warisan hidup dari
motivasinya, perjuangan dan pengorbanannya yang heroik (heroic
sacrifice). (Scott, Charles L, 2012)
2.8 Preventif
Kenyataan yang tidak menyenangkan bahwa peristiwa seperti ini sulit
untuk dicegah. Rekomendasi pencegahan mungkin dapat memberikan
harapan atau tujuan yang idealis, sementara kenyataannya kejadian seperti
ini mungkin terjadi tanpa peluang yang jelas untuk pencegahan. Secara
retrospektif, mungkin kadang-kadang menemukan sebuah kesempatan
untuk mencegahnya yang mana jika dimanfaatkan, dapat mengalihkan
jalannya peristiwa yang dapat mengarah ke tragedi tersebut. Anggota
keluarga atau yang memiliki kontak sosial dengan seseorang yang dicurigai
akan menjadi pelaku pseudocommando, dapat menjadi langkah yang
potensial untuk pseudocommando dievaluasi dan diobati. Karyawan atau
rekan kerja dapat memberitahu otoritas atau supervisor setelah mereka
menjadi tampak cukup khawatir atau curiga akan tindak perilakunya. Pihak
ketiga secara langsung atau tidak langsung dapat mengetahui dari niat
pelaku, ancaman, atau perilaku yang mengganggu. Dengan demikian,
mungkin salah satu harapan pencegahan akhirnya jatuh kepada pihak ketiga
yang mengetahui tentang perilaku individu. Kita hidup dalam masyarakat
yang menempatkan nilai tinggi pada privasi, kebebasan individu, dan
keamanan. Prioritas ini mungkin sulit untuk diseimbangkan pada suatu saat,
namun apabila dalam kasus seseorang yang menimbulkan perhatian dari
keluarga, teman, atau rekan kerjanya, tampaknya privasinya harus tetap
terjaga, meskipun diawasi.

15

Faktor pencegahan lain yang termasuk didalamnya yaitu melalui


media, per undang-undangan, dan kepekaan terhadap akulturasi. Media,
dapat dikatakan, memiliki kewajiban untuk melaporkan insiden tersebut
dengan cara tidak memberikan kesempatan pada pelaku untuk menunjukkan
tindakan keburukan atau kekejiannya secara sensasional yang telah
dilakukannya, yang mana dapat mempengaruhi orang lain. Dengan
demikian, ini mungkin akan membantu media untuk mempertimbangkan
kembali apa yang harus ditayangkan pada saat melaporkan berita. Sebagai
contoh, disarankan bahwa media berita harus menghindari menampilkan
pelaku saat mengagungkan dirinya dan tidak mengungkapkan metode atau
jumlah korban tewas. Sebaliknya, media harus menekankan upaya
pemulihan korban dan masyarakat dan mengalihkan perhatian dari pelaku.
Negara-negara dengan undang-undang kontrol senjata api yang
kurang ketat memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadi pembunuhan
massal dari pada negara-negara dengan hukum yang ketat. Salah satu studi
observasional Australian membandingkan pembunuhan massal sebelum dan
sesudah tahun 1996, yaitu tahun dimana pembunuhan massal dipublikasikan
di Tasmania. Australia dengan cepat menetapkan pembaruan hukum
mengenai kontrol senjata api yang termasuk menghapus semi-otomatis,
pump-action shotguns dan senapan (rifles) dari kepemilikan warga sipil. 18
tahun sebelum undang-undang senjata api, penulis Australian melaporkan
13 penembakan massal terjadi. Dalam 10,5 tahun setelah pembaruan hukum
kontrol senjata api, tidak ada yang dilaporkan.
Akhirnya, perbedaan budaya harus dipertimbangkan, terutama ketika
ada potensi untuk seorang imigran mengembangkan perasaan yang kuat
merasa dirinya dikucilkan. Pada individu yang rentan, atau daya tahan stress
rendah dapat mengakibatkan perasaan kuat "marjinalisasi (terpojok)". Dalam
psikiatri transkultural, konsep marjinalisasi tidak berbeda dari konstruksi
psikologis dalam artian pengucilan sosial. Artinya, ada potensi bagi individu
marginalisasi mengembangkan perasaan ditolak, diasingkan, dan, dalam
beberapa kasus, untuk membentuk rasa dendam, negative identity.
Meningkatkan akses kesehatan mental pada komunitas imigran untuk

16

berobat ke dokter yang memiliki kompetensi dalam dalam bidang psikiatri


transkultural dapat mencegah terjadinya kasus ini. (Knoll, James L, 2010)

17

Anda mungkin juga menyukai