Anda di halaman 1dari 3

Nama : Sih Rineksa W. N.

NIM : 111211132007
SEJARAH PENGUKURAN PSIKOLOGI
Pada awal perkembangan pengukuran psikologi, disiplin ilmu yang banyak memberikan
pengaruh adalah fisiologi dan fisika. Karya-karya tokoh dalam bidang psikofisika pada
umumnya mencari hukum-hukum umum (generalisasi) dari suatu fenomena. Salah satu hukum
psikofisika ditemukan oleh Weber dan Fechner, bahwa pertambahan perangsang menimbulkan
pertambahan respon (sensasi). Dalam psikofisika modern, kontribusi Thurstone mengenai law
of comparative judgment mendasari pengembangan skala-skala psikologi dengan penerapan
metode perbandingan-pasangan (paired-compared).
Perkembangan pengukuran psikologi berikutnya dipelopori oleh Sir Francis Galton,
dimana perbedaan-perbedaan individual mulai mendapat perhatian. Galton mendirikan
laboratorium antropometri guna melakukan pengukuran ciri-ciri fisiologis, misalnya ketajaman
pendengaran, ketajaman penglihatan, kekuatan otot, waktu reaksi, fungsi sensorimotor
sederhana, serta fungsi kinestetik. Galton yakin bahwa ketajaman sensoris berkaitan dengan
kemampuan intelektual seseorang. Selain itu, Galton juga merintis penerapan metode rating
dan kuesioner, serta mengembangkan metode-metode statistik guna menganalisis data mengenai
perbedaan-perbedaan individual.
Seorang ahli psikologi Amerika, James McKeen Cattell, memberikan kontribusi penting
dalam pengukuran psikologi. Cattel melakukan penelitian mengenai perbedaan individual dalam
waktu reaksi. Sependapat dengan Galton, ia menyatakan bahwa ukuran fungsi intelektual dapat
dicapai melalui tes diskriminasi sensoris dan waktu reaksi.
Pada akhir abad XIX, tes yang berkembang di Eropa cenderung meliputi fungsi yang
lebih kompleks. Salah satu contohnya adalah tes Kraepelin. Tes ini menggunakan operasi-operasi
aritmatika sederhana yang dirancang untuk mengukur pengaruh latihan, ingatan, dan kerentanan
terhadap kelelahan dan distraksi.
Sementara di Prancis, Binet dan Henri mengajukan kritik terhadap tes yang terlalu
sensoris, terpusat pada kemampuan khusus individu. Menurut mereka, yang iperlukan adalah
mengukur fungsi yang lebih luas seperti ingatan, imajinasi, perhatian, pemahaman, kerentanan
terhadap sugesti, apresiasi estetik, dan lain-lain. Gagasan inilah yang akhirnya menuntun
dikembangkannya tes Binet.

Tes yang disusun oleh Binet dan Simon tahun 1905 tersebut menghasilkan skala BinetSimon. Skala ini pada awalnya digunakan untuk mengukur dan mengidentifikasi anak-anak yang
terbelakang agar mereka mendapat pendidikan yang memadai. Skala ini terdiri dari 30 soal
disusun dari yang paling mudah ke yang paling sukar.
Pada skala versi kedua tahun 1908, jumlah soal ditambah. Soal-soal itu dikelompokkan
menurut jenjang umur berdasar atas kinerja 300 orang anak normal berumur 3 sampai 13 tahun.
Pada skala ini diperkenalkan istilah jenjang mental/usia mental (mental age). Revisi kletiga skala
Binet-Simon diterbitkan tahun 1911. Pada tahun 1912, dalam Kongres Psikologi Internasional di
Genewa, William Stern, seorang ahli psikologi Jerman, mengusulkan konsep koefisien
intelegensi yaitu IQ = MA / CA. Konsep ini dipakai dalam skala Binet yang direvisi di
Universitas Stanford tahun 1916 yang kemudian dikenal dengan nama Stanford-Binet. Revisi
selanjutnya dilakukan tahun 1937 dan 1960.
Pada masa perang dunia I, kebutuhan tes psikologi mulai mengarah ke tes-tes kelompok
yang ditujukan untuk calon-calon tentara. Untuk itu Robert M. Yankes, ketua komite psikologi,
menyusun instrument yang dapat mengklasifikasi individu tetapi diberikan secara kelompok
(classical test). Tes intelegensi kelompok yang pertama dikembangkan terutama dari karya Otis,
mahasiswa Terman di Stanford. Dalam instrument itu, format pilihan ganda dan format-fprmat
tes obyektif lain mulai digunakan. Tes tersebut kemudian dikenal dengan nama Army Alpha dan
Army Beta.
Tes intelegensi kebanyakan mengukur kemampuan verbal, dan hanya sedikit kemampuan
numerik, symbol, dan abstrak. Sedangkan di dalam praktik diperlukan instrument yang dapat
mengukur kemampuan-kemampuan khusus misalnya kemampuan mekanik, kemampuan
klerikal, bahkan bakat music. Karena desakan kebutuhan praktis dalam berbagai bidang, maka
dilakukan upaya pengembangan tes potensial individu khusus. Dalam hal ini, psikologi militer
Amerika selama perang dunia II memberikan kontribusi dengan penelitian-penelitian yang
didasarkan pada analisis factor dan diarahkan pada pengembangan multiple aptitude test
batteries.
Pengembangan pengukuran dalam bidang pendidikan juga terjadi dengan adanya
pergeseran dari bentuk ujian esai ke bentuk tes yang lebih objektif. Perubahan ini dipelopori oleh
penerbitan The Achievement Test pada tahun 1923. Dengan tes ini dapat dibuat perbandingan
pada sejumlah mata pelajaran menggunakan satu norma.
Pada awal abad XX kelompok psikiater dan psikolog yang berlatar belakang Psikologi
Dalam di Eropa berupaya mengembangkan instrument yang dapat digunakan untuk

mengungkapkan isi batin yang tidak disadari. Konsep mengenai mekanisme pertahanan individu
secara tak sadar ini mendasari penyusunan tes-tes objektif yang dipelopori oleh Herman
Rorschach, seorang psikiater dari Swiss.
Selama sepuluh tahun (1912-1922) Rorschach mencobakan sejumlah besar gambargambar tak berstruktur untuk mengungkapkan isi batin yang tertekan pada pasien-pasiennya.
Dari sejumlah besar gambar tersebut dipilih 10 gambar yang dibakukan, dan perangkat ini
kemudian dikenal dengan nama tes Rorschach. Setelah itu sejumlah tes proyektif lain mulai
dikembangkan, antara lain Holtzman Inkbold Technique, Thematic Apperception Test, Test
Rumah Pohon dan Orang, Tes Szondi, dan lain sebagainya.

Referensi: Sumintardja, Elmira N. (1991). Pengantar Psikodiagnostik. Cetakan II.


Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran.

Anda mungkin juga menyukai