Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH DAN PENGERTIAN TES PSIKOLOGIS

PENGERTIAN TES
Dalam pandangan psikodiagnostik, sebuah tes harus memilki nilai
prediksi atau nilai diagnostik yang baik. Baik buruknya sebuah tes tergantung
pada sejauh mana tes tersebut berfungsi sebagai indikator dari suatu perilaku
yang cukup luas dan penting.
 Tes berasal dari bahasa Latin Testum yaitu alat untuk mengukur tanah.
Dalam bahasa perancis kuna kata yang berarti ukuran yang dipergunakan
untuk membedakan emas dan perak dari logam-logam yang lain.
 Kata tes dalam psikologi digunakan oleh J.M CATTEL pada tahun 1890. Dan
sejak itu makin populer sebagai nama metode psikologis yang di pergunakan
untuk menentukan (mengukur) aspek-aspek tertentu kepribadian.
 Tes adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dan atau perintah-
perintah yang harus dijalankan, yang berdasar atas bagaimana testee
menjawab pertanyaan-pertanyaan dan atau melakukan perintah-perintah itu
penyelidik mengambil kesimpulan dengan cara membandingkan dengan
standard atau testee lainya.
 Menurut Anastasi (1997), tes psikologi adalah suatu pengukuran yang
objektif dan terstandarisasi terhadap suatu contoh perilaku.

IKHTISAR HISTORIS
Perbedaan kemampuan kognitif, ketrampilan persepsi motorik dan
kepribadian dapat dievaluasi dengan beberapa cara telah diketahui sejak awal
sejarah manusia. Plato dan Aristoteles menulis tentang perbedaan individu
mengenai kemampuan dan temperamen hampir 2.500 tahun lalu, bahkan orang
bijaksana ini didahului dengan sistem ujian yang digunakan di Cina kuno. Sejak
dulu, 2.200 BC, sistem ujian untuk menjadi pegawai negeri telah dilaksanakan
oleh kerajaan Cina dalam menentukan para pejabat pemerintah yang layak
melaksanakan tugasnya. Sistem ini, yang mengharuskan para pejabat diuji
setiap 3 tahun untuk mengetahui kecakapan mereka dalam musik, memanah,
berkuda, menulis, aritmatika, dan ritual upacara umum, dan pribadi. Kemudian
dilanjutkan oleh para penguasa Cina berikutnya dengan menambahkan hukum
sipil, masalah militer, pertanian, penghasilan, geografi, komposisi karangan, dan
puisi. Itu semua dalam bentuk ujian lisan bukan tertulis, yang tidak hanya
jawaban yang diberikan oleh orang yang diteliti, tetapi juga cara mereka
tunjukkan, juga evaluasi. Selama abad ke-19 pemerintah Inggris, Perancis, dan
Jerman mengikuti mencontoh ujian pegawai negeri seperti sistem Cina awal.
Pada abad ke-19, di Eropa maupun Amerika minat terhadap pengobatan
yang lebih manusiawi terhadap orang-orang gila dan mereka yang mentalitasnya
terbelakang mulai bangkit. Sebelum itu orang-orang ini diabaikan, dicemooh,
bahkan disiksa. Dengan munculnya kepedulian akan perawatan yang lebih layak
bagi orang-orang yang punya masalah mental, semakin disadari perlunya kriteria
untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi kasus-kasus ini. Pendirian banyak
lembaga sosial untuk perawatan orang-orang bermentalitas terbelakang ini
menimbulkan kebutuhan untuk menetapkan standar-standar penerimaan dan
sistem klasifikasi yang obyektif. Pertama, perlunya membedakan antara orang
gila dan orang bermentalitas terbelakang. Orang gila menampilkan gangguan-
gangguan emosional yang bisa atau bisa tidak disertai oleh penurunan daya
intelektual dari tingkat yang semula normal; orang bermentalitas terbelakangpada
dasarnya ditandai oleh adanya kerusakan intelektual sejak lahir atau semasa
kecil. Dalam bukunya, Esquirol seorang dokter Perancis berbicara tentang hal
yang dewasa ini disebut “keterbelakangan mental”. Esquirol menunjukkan bahwa
ada banyak tingkat keterbelakangan mental, yang bervariasi dari normal sampai
pada “idiot tingkat rendah”. Dalam usaha mengembangkan sistem untuk
mengklasifikasikan tingkat dan jenis keterbelakangan yang berbeda-beda,
Esquirol mencoba berabagai prosedur dan menyimpulkan bahwa penggunaan
bahasa seseorang merupakan kriteria yang paling dapat diandalkan tentang
tingkat intelektualnya.
Sumbangan yang tak kalah pentingnya berasal dari Sequin, seorang
dokter dari Perancis yang merintis pelatihan orang-orang dengan
keterbelakangan mental. Ia mendirikan sekolah pertama pendidikan anak-anak
dengan keterbelakangan mental. Banyak teknik pelatihan panca indera dan
pelatihan otot yang diterapkan dalam lembaga-lembaga untuk orang-orang
dengan keterbelakangan mental. Dengan metode tersebut anak-anak dengan
keterbelakangan mental diberikan latihan yang intensif dalam pembedaan
inderawi dan dalam pengembangan kendali motorik. Sejumlah cara yang
dikembangkan oleh Sequin pada akhirnya dimasukkan ke dalam tes-tes
intelegensi non verbal atau tes-tes intelegensi tentang kinerja seseorang.
PENGUKURAN MENTAL ABAD KE-19
Lebih dari setengah abad setelah karya Esquirol dan Sequin, psikolog
Perancis Alfred Adler mendesak agar anak-anak yang gagal untuk memberikan
respon pada sekolah yang normal diperiksa sebelum pulang sekolah dan jika
dianggap bisa dididik, anak-anak ini ditempatkan pada kelas-kelas khusus.
Bersama rekannya dalam Society for The Psychological Study of the Child, Binet
berhasil mendorong untuk terbentuknya komisi yang mempelajari anak-anak
terbelakang.
Tumbuhnya minat pada studi perbedaan individu selama paruh terakhir
abad ke-19 terdorong oleh tulisan naturalis Charles Darwin mengenai asal mula
spesies dan bangkitnya psikologi ilmiah. Darwin adalah orang Inggris, tetapi ilmu
pengetahuan mengenai psikolog secara resmi mulai di Jerman pada akhir abad
ke-19, ketika Gustav Fechner, Wilhelm Wundt, Hermann Ebbinghaus, dan para
peneliti lain menyatakan bahwa gejala psikologi dapat di deskripsikan dalam
istilah kuantitatif dan rasional.
Banyak psikolog di Eropa dan Amerika Utara memainkan peran penting
pada tahap kepeloporan pengukuran mental. Mereka yang sangat pentng
selama akhir 1800 an meliputi Francis Galton, J.McKeen Cattell dan Alfred Binet.
Francis Galton, seorang Inggris tertarik pada kecerdasan berdasarkan keturunan
dan pada pengukuran kemampuan manusia. Galton juga tertarik dengan
perbedaan individu dalam kemampuan dan temperamen. James Mc.Keen Cattell
adalah seorang Amerika yang tertarik untuk mengetahui metode dan tes Galton.
Kemudia dia mencoba menghubungkan skor pada pengukuran waktu reaksi dan
diskriminasi sensor dengan nilai sekolah. Alfred Binet adalah psikolog pertama
yang menyusun tes mental pertama yang member kontrbusi signifikan untuk
memprediksi pencapaian skolastik.

PENGETESAN DI AWAL ABAD KE-20


Tahun 1904 menteri pengajaran public Paris, Perancis meminta Alfred
Binet dan rekannya Theodore Simon untuk mengembangkan prosedur untuk
mengidentifikasi anak yang tidak dapat memahami pengajaran di kelas regular di
sekolah. Untuk tujuan ini Binet dan Simon menyusun tes yang dilakukan secara
individu, meliputi 30 problem, disusun dengan tingkat kesulitan semakin tinggi
secara berurutan. Masalah pada tes kecerdasan (intelligence) praktis pertama
yang dipublikasikan tahun 1905, menekankan pada kemampuan untuk menilai,
memahami, dan menalar. Revisi tes meliputi sebagian besar subtes yang
dikelompokkan berdasarkan tingkat usia dari 3 – 13 tahun, dipublikasikan pada
tahun 1908. Dalam pemberian skor Skala Kecerdasan Binet Simon edisi revisi
1908, konsep usia mental (mental age) diperkenalkan sebagai cara menghitung
keseluruhan kiberja seseorang pada tes itu. Revisi skala Binet-Simon lebih lanjut,
yang dipublikasikan setelah kematian Binet tahun 1911, diperluas menjadi tes
untuk tingkat dewasa. Di antara pelopor pengetesan dan pemeriksaan psikologi
adalah Charles Spearman pada teori tes, Edward Lee Thorndike pada
pengetesan prestasi, Lewis Terman pada pengetesan kecerdasan, Robert
Woodward dan Hermann Rorschach pada pengetesan kepribadian, dan
E.K.Strong, Jr pada pengukuran minat. Arthur Otis menyusun tes kecerdasan
yang dikelola secara berkelompok berakibat secara langsung pada penyusunan
Army Exemination Alpha and Beta oleh komite psikolog selama perang dunia
kedua. Masing-masing tes ini, Army Alpha bagi orang terpelajar dan Army Beta
bagi orang buta huruf (illiterates), disusun berdasarkan kelompok untuk
mengukur kemampuan mental ribuan prajurit AS selam dan setelah perang.
SYARAT-SYARAT TES YANG BAIK
Tes psikologis sebagai alat pembanding atau pengukur supaya dapat
menjalankan fungsinya secara baik, haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Adapun syarat-syarat tes yang baik itu adalah sebagai berikut:
a. Tes itu harus valid
Valid atau tidaknya sesuatu alat test adalah soal yang terpenting di antara
syarat-syarat test yang lain. Validitas suatu test adalah taraf sejauh mana
tess itu mengukur apa yang seharusnya diukurnya. Semakin tinggi validitas
suatu alat tes maka alat tes itu makin mengenai sasarannya; makin
menunjukkan apa yang seharusnya ditunjukkan.
b. Tes itu harus reliabel
Reliabilitas suatu alat tes adalah taraf sejauh mana tes itu sama dengan
dirinya sendiri. Dapat dikatakan bahwa reliabilitas suatu tes adalah keajegan
suatu tes.
c. Tes itu harus distandarisasikan
Standarisasi suatu tes bertujuan supaya setiap testee yang dites dengan tes
tersebut mendapat perlakuan yang benar-benar sama. Hal-hal yang perlu
distandarisasikan antara lain:
1. Materi tes
Materi tes adalah bahan untuk membuat tes (misalnya kertas, karton,
hardboard, tinta, dan lian-lain), aitem-aitemnya (misalnya kata-kata,
gambar, tanda-tanda, ukuran besar kecilnya, dan lain-lain). Hal tersebut
perlu distandarisasikan supaya kepada testee betul-betl dihadapkan pada
hal yang sama.
2. Penyelenggaraan tes
Dalam penyelenggaraan ini tercakup perlengkapan (misalnya meja, kursi,
lampu, dan lain-lain), situasi (suhu, ketenangan), dan cara penyajian,
petunjuk-petujuk cara mengerjaan serta waktu yang disediakan untuk
mengerjakan tes tersebut.
3. Scoring tes
Scoring disini mencakup cara-cara member skor, pertimbangan-
pertimbangan untuk menentukan skor (kunci), sistem scoring (lambang-
lambang yang digunakan serta artinya, batas-batasnya, dan lain-lain).
4. Interpretasi hasil testing
Ini berarti bahwa terhadap hasil testing yang sama harus diberikan
interpretasi yang sama.
d. Tes itu harus obyektif
Obyektivitas suatu tes ditinjau apakah tester (baik administrator tes mau
interpreter) mempunyai pengaruh terhadap penilaian hasil testing. Jadi yang
obyektif disini adalah penilaiannya. Tes yng obyektif akan memberikan hasil
yang sama kalau dinilai oleh tester yang berlainan.
e. Tes itu harus diskriminatif
Tes bertujuan untuk dapat mengungkap gejala tertentu dan menunjukan
perbedaan-perbedaan (diskriminasi) gejala tersebut pada individu yang satu
dengan individu yang lain.
f. Tes itu harus komprehensif
Tes yang komprehensif dapat sekaligus mengungkap (menyelidiki) banyak
hal. Terutama dalam tes prestasi, hal ini sangat penting. Misalnya kita akan
menyelidiki prestasi anak dalam mempelajari bahan ujian tertentu, maka tes
yang cukup komprehensif akan mampu mengungkap pengetahuan testee
mengenai segala hal yang harus dipelajari, jadi hal ini juga mencegah
dorongan untuk berspekulasi.
g. Tes itu harus mudah digunakan
Apabila semua syarat di atas sudah terpenuhi tetapi tes tersebut sukar
penggunaannya maka tes tersebut tetap mempunyai kelemahan. Tes adalah
suatu alat yang nilainya sangat tergantung pada kegunaannya. Kalau
menggunakannya sukar, maka tes tersebut memiliki nilai yang rendah.

KLASIFIKASI TES
Schraml (1968) mengelompokkan pemeriksaan psikodiagnostik ke dalam
tiga kelompok menurut tujuan, yang berkaitan dengan fungsi-fungsi apa yang
ingin diperiksa. Secara garis besar Schraml membedakan antara:
1. Pemeriksan kemampuan-kemampuan dan fungsi-fungsi psikis dan psikofisik,
baik yang sederhana maupun yang kompleks
2. Pemeriksaan sifat-sifat dan struktur kepribadian.
3. Pemeriksaan genesis (terbentuknya) konflik-konflik, gangguan atau penyakit.
Anastasi (1986) membagi tes psikologi dalam tiga kelompok besar, yaitu:
1. Tes intelegensi umum
2. Tes kecakapan khusus
3. Tes kepribadian
Selanjutnya tes intelegensi umum dibedakan dalam bebearpa kelompok
lagi, yakni tes intelegensi individual, tes kelompok, dan tes-tes untuk populasi
khusus. Tes kecakapan khusus atau bakat-bakat khusus terdiri dari tes untuk
pendidikan, tes okupasional, dan tes klinis. Sedangkan tes kepribadian terdiri dari
inventori-inventori kepribadian (lapor diri), tes minat dan orientasi pribadi, tes
proyektif, dan cara-cara asesmen kepribadian lainnya.
Beberapa tes intelegensi umum individual telah diciptakan oleh beberapa
ahli, antara lain Binet dan Simon, Terman dan Merill, David Wechsler (beberapa
versi, yakni untuk dewasa, anak, baik yang asli maupun yang bentuk revisi). Tes
intelegensi umum individual untuk pupulasi khusus maksudnya untuk kelompok
anak prasekolah, anak dengan keterbelakangan mental (mentally retarded),
orang yang mengalami kekurangan fisik (physically handicapped), dan keperluan
lintas budaya (cross-cultural). Pelaksanaan tes untuk populasi umum,
menyesuaikan dengan kondisi orang yang di tes.
Sejumlah tes intelegensi umum untuk kelompok dapat dilakukan dengan
komputer (baik pelaksanaan, skoring, maupun interpretasi), namun ada juga
yang dilakukan secara manual. Ada perbedaan antara pelaksanaan tes individual
tersebut di atas dengan tes untuk kelompok.
Tes kecakapan khusus atau test for separate abilities meliputi tes-tes
untuk keperluan penjurusan di Sekolah Menengah, keperluan penelitian bakat,
serta pemahaman dan pemilihan karir. Berbeda dengan kelompok tes intelegensi
umum, dalam tes kecakapan khusus ini, yang diteliti bukan intelegensi umum
tetapi “intelegensi” khusus. Dengan kata lain, pengertian “kecakapan” di sini tidak
sama seperti pada intelegensi umum.
Kemudian juga dapat diklasifikasikan seperti uraian berikut ini:
a. Berdasarkan atas banyaknya testee:
(1) Tes individual; pada suatu waktu tertentu tester hanya menghadapi satu
testee
(2) Tes kelompok; pada suatu waktu tester menghadapi sekelompok testee
b. Berdasarkan atas cara menyelesaikannya:
(1) Tes verbal; testee di dalam menyelesaikan atau mengerjakan tes tersebut
harus menggunakan kata-kata, misalnya emmberikan keterangan,
memberikan hasil perhitungan, memberikan lawan kata, dan lain-lain
(2) Tes non-verbal (performance test) ; testee tidak harus memberikan
respon yang berwujud bahasa, melainkan dengan melakukan sesuatu,
misalnya mengangkat tangan, menyusun rancangan balok, mengatur
gambar, dan lain-lain
c. Berdasarkan atas caranya menilai:
(1) Tes alternatif; penilaian pada tes alternative berdasar atas benar salah,
jadi hanya ada dua alternatif yaitu benar atau salah
(2) Tes gradual; pada tes gradual penilaian bersifat gradual, jadi ada
beberapa tingkatan, misalnya diberi nilai 5, 4, 3, 2, 1
d. Berdasarkan atas fungsi psikis yang dijadikan fungsi sasaran testing,
dibedaan menjadi:
(1) Tes perhatian; untuk mengetahui perhatian/ atensi testee
(2) Tes fantasi; untuk mengetahui daya imajinasi/ fantasi testee
(3) Tes ingatan; untuk mengetahui daya ingat testee
(4) Tes kemauan/ motivasi; untuk mengetahui daya kemauan/motivasi testee
(5) dan lain-lain
e. Berdasarkan tipe tes yang berhubunan dengan isi tes dan waktu yang
disediakan:
(1) Speed test; yang diutamakan adalah kecepatan dan ketepatan kerja,
waktu untuk menyelesaikan dibatasi
(2) Power test; yang diuatamakan adalah kemampuan, bukan kecepatan
atau ketepata, waktu mengerjakan tes pada dasarnya tidak dibatasi
f. Berdasarkan materi tes yang berhubungan dengan latar belakang teorinya:
(1) Tes proyektif; disusun atas dasar penggunaan mekanisme proyeksi,
diharapkan supaya dalam testing pada diri testee terjadi mekanisme
proyeksi yang semaksimal mungkin, materi tes terdiri atas obyek yang
belum atau kurang jelas strukturnya
(2) Tes non-proyektif; sama sekali mempertimbangkan adanya mekanisme
proyeksi
g. Berdasarkan bentuknya:
(1) tes benar salah; (2) tes pilihan berganda; (3) tes isian;
(4) tes penyempurnaan; (5) tes mengatur obyek; (6) tes deret angka, dan
lain-lain
h. Berdasarkan atas penciptanya:
(1) Tes Rorschach; (2) tes Binet-Simon; (3) tes Szondi; (4) tes Kraepelin);
(5) tes Wechsler; dan lain-lain
ASESMEN PSIKOLOGIS
Pengertian

Asesmen psikologis dewasa ini lebih sering dipergunakan, yang artinya


adalah menilai atau menaksir dan dapat dianggap sepadan dengan istilah
diagnostik. Penggunaan istilah “diagnostik’ lebih sering diasosiasikan dengan
bidang klinis dan “penggunaan tes”, sedangkan istilah “asesmen” sifatnya lebih
menyeluruh. Beberapa tokoh yang menggunakan istilah asesmen adalah
Cronbach (1960), Lowel elley (1969), Vernon (1971), Shea (1985), Lezak (1982),
dan Marnat (1984&1999). Istilah asesmen lebih luas artinya daripada diagnostic,
dan tidak hanya dikaitkan dengan kegiatan penggunaan tes saja tapi juga
dengan metode lain, biasanya wawancara dan observasi.

Menurut Cronbach (1960) asesmen dapat terwujud dalam 2 cara.


Pertama, analisis klinis, misalnya dari satu tes saja dibuat interpretasi dengan
teori psikoanalisis. Kedua, prediksi kinerja (performance) orang-orang normal
atau superior yang diberi tugas-tugas yang memerlukan tangungjawab besar. Ini
berlawanan dengan pengukuran psikometris yang di dasarkan atas angka rata-
rata tes kuantitatif.

E.Lowell Kelley (1969) menuliskan dalam bukunya Assessment of Human


Characteristics bahwa istilah asesmen sudah dipergunakan sejak tahun 1942.
Dalam buku tersebut, istilah asesmen dimaksudkan “..prosedur yang digunakan
oleh sekelompok psikolog dan psikiater untuk menseleksi orang-orang yang
memenuhi persyaratan untuk mendapat tugas “cloak and dagger” yang sangat
penting untuk usaha perang…asesmen adalah tiap prosedur untuk emmbuat
evaluasi yang berarti atau membuat diferensiasi antara sejumlah manusia, yang
berkaitan dengan tiap ciri atau sifat, dan bahkan sejumlah banyak lagi sifat-sifat
atau ciri-ciri dengan mana seorang dapat dinilai..”

Menurut Vernon (1971), personality assessment adalah kegiatan


mengenali, mengerti, dan memahami orang lain, dengan menggunakan metode-
metode ilmiah untuk digunakan dalam keperluan seleksi, konseling, bimbingan,
dan penelitian.
Shea (dalam Newmark, 1985) membedakan antara pemberian tes dan
asesmen terhadap seorang klien. Pemberian tes adalah salah satu segmen
dalam proses asesmen yang terdiri dari serangkaian kegiatan yang dimulai dari
membahas referral question, memilih prosedur pemeriksaan yang tepat guna
dan tepat sasaran, melaksanakan dan member skor pada tes, menginterpertasi
tiap tes dan mensintesis keseluruhan hasil tes dan temuan lain, dan
mengkomunikasikan hasil ini dengan baik kepada pihak yang tepat (klien yang
bersangkutan, dokter atau professional lainnya, dan sebagainya). Marnat (1999)
juga membahas asesmen psikologis sebagai suatu kegiatan yang tidak hanya
memberikan dan menginterpretasi hasil tes, namun juga empertimbangkan
kompleksnya perilaku dan permasalahan manusia, yang selalu terkait dengan
konteks sosial.

Peran Asesmen Psikologis Dalam Konteks Pendidikan

Dalam konteks pendidikan, asesmen psikologis biasanya dilakukan di


sekolah atau lembaga pendidikan lain. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah:
bagaimana hasil belajar seseorang? Apakah jurusan pendidikan yang dipilihnya
sesuai dengan bakatnya? Apakah ia mempunyai bakat-bakat khusus yang
sesuai dengan jurusan pendidikan terkait? Tes-tes yang digunakan untuk
menjawab pertanyaan ini tergolong tes intelegensi, tes bakat, atau tes hasil
belajar, yang dipilih sesuai dengan pertanyaan yang akan dijawab. Dalam
praktek psikologi sekolah, tes-tes ini dilengkapi juga dengan inventori
kepribadian, interviu, dan observasi siswa di sekolah. Termasuk juga dalam
konteks pendidikan adalah tes yang dibuat oleh para guru sekolah (di Amerika
Serikat) untuk menentukan kecakapan seorang siswa untuk mengikuti suatu
mata pelajaran tertentu. Contoh lain adalah tes yang dinamakan “minimal
competency in basic skills” yakni tes yang dibuat untuk memastikan apakah
seseorang memenuhi standar minimum untuk mendapatkan suatu ijazah
tertentu, misalnya SMU. Tes ini berkembang karena dalam kenyataannya murid-
murid lulusan SMU atau Diploma di berbagai negara yang diselenggarakan oleh
berbagai institusi, tidak memenuhi syarat untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang berikutnya atau tidak dapat melaksanakan kecakapan yang penting/
dasar (misalnya bahasa atau berhitung) untuk dapat bekerja dengan baik.

Peran Asesmen Psikologis Dalam Konteks Psikologi Klinis dan Konseling


Konteks psikologi klinis dan konseling melakukan asesmen psikologi yang
berfokus pada kajian intensif atas satu atau beberapa individu dengan
menggunakan berbagai sumber, yakni observasi, tes, interviu, riwayat hidup, dan
sebagainya. Menurut Anastasi (1997), Psikologi Klinis melakukan asesmen untuk
keperluan diagnosis, prognosis, dan keputusan-keputusan terapeutik dalam
kesehatan jiwa, sedangkan Psikologi Konseling melakukannya dalam setting
bimbingan vokasional. Psikolog klinis dapat bekerja di berbagai setting
diantaranya dalam setting forensic, sekolah, atau rumah sakit. Lingkungan kerja,
jenis pasien atau klien yang dihadapi, dan usia klien, menentukan cara-cara
asesmen psikologi dan tes-tes yang akan digunakan.

Tes yang paling sering digunakan dalam konteks klinis-konseling adalah


skala-skala Wechsler (WBIS, WAIS, WPPSI, atau WISC lama dan baru), Multiple
aptitude batteries, DAT, tes-tes diagnostik pendidikan (diagnostic educational
test), kuesioner, dan skala-rating untuk hal-hal tertentu. Termasuk dala konteks
psikologi klinis dan konseling adalah penggunaan tes dan metode lain untuk
asesmen neuropsikologis (hubungan otak dan perilaku), identifikasi
ketidakmampuan belajar khusus (specific learning disabilities), asesmen perilaku,
dan asesmen karir (membantu individu menentukan pilihan karir terbaik sesuai
kepribadian dan bakatnya).

Metode klinis seringkali diasosiasikan dengan pendekatan kualitatif,


global, dan fenomenologis yang mengandalkan keterampilan professional klinis.
Metode ini sering dikontraskan dengan metode atau proses “actuarial” yang
obyektif, mengandalkan skor tes yang standar, dan lain-lain. Psikologi klinis ada
yang mengandalkan metode actuarial untuk pertanggungjawaban ilmiah. Namun
perlu diwaspadai agar tidak terjebak dalam generalisasi berlebihan atas data tes,
apalagi bila tes tidak di-update secara periodic. Karena itu perlu dilakukan
interviu dan observasi untuk menunjang tes. Anastasi (1998) mengemukakan
pendekatan “ekologis” yaitu pendekatan yang menyatakan bahwa konteks
cultural individu yang diperiksa harus selalu mendapat perhatian (culturally
competent assessment practice).
Peran Asesmen Psikologis Dalam Proses Seleksi Karyawan

Asesmen psikologis dalam seleksi karyawan bertujuan untuk


memperoleh gambaran individu secara komprehensif agar dapat dibandingkan
dengan persyaratan pekerjaan yang ditetapkan oleh perusahaan. Jika memenuhi
syarat, maka yang bersangkutan dipandang bisa mengikuti tahapan seleksi
selanjutnya. Jika tidak atau kurang memenuhi syarat, maka informasi ini menjadi
pertimbangan perusahaan apakah yang bersangkutan akan diikutkan atau tidak
dalam kelanjutan proses seleksi dengan melihat informasi-informasi lain seperti
keahlian teknis yang dimiliki, prestasi-prestasi yang pernah diraih, dan
sebagainya. Jadi, kesimpulan hasil asesmen psikologis seharusnya tidak
diungkapkan dalam dikotomus antara lulus dan tidak lulus melainkan dalam
bentuk kesimpulan memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat. Sedangkan
syarat yang dimaksud di sini adalah syarat pekerjaan di perusahaan yang ketika
itu ia lamar.

Oleh sebab itu tidaklah mengherankan apabila ada pelamar yang tidak
diterima ketika melamar suatu pekerjaan di perusahaan tertentu, namun ia
berhasil diterima di pekerjaan yang berbeda di perusahaan lain. Hal ini bisa
terjadi karena adanya perbedaan persyaratan pekerjaan. Misalnya, seseorang
dipandang sesuai untuk menjadi petugas pembukuan tapi tidak sesuai untuk
menjadi resepsionis. Konteks yang berbeda juga bisa membuat persyaratan
untuk jabatan yang ”sama” menjadi berbeda. Misalnya, sama-sama pekerjaan
petugas pembukuan, tapi yang satu di perusahaan berskala kecil dan sederhana,
yang satu lagi di perusahaan berskala besar dengan ragam aktivitas yang lebih
rumit. Tentu saja kompleksitasnya menjadi berbeda yang membuat persyaratan
pekerjaan petugas pembukuan di situ juga menjadi lebih kompleks.

Jadi, ketika seorang pelamar dinyatakan tidak lolos tahap psikotes (atau
tahap asesmen psikologis), sebenarnya tidak berarti ia tidak lulus. Tidak lolos
tahap psikotes bukan berarti ”nilainya buruk”. Hal yang terjadi sebenarnya adalah
psikolog menganalisis bahwa karakteristik psikologis pelamar tersebut tidak
sesuai dengan persyaratan pekerjaan yang dilamar. Misalnya saja, pekerjaan
tersebut menuntut perhatian terhadap detil, sementara yang bersangkutan
cenderung melihat segala sesuatunya secara global saja.
Kesesuaian antara karakter psikologis individu dengan persyaratan
pekerjaan merupakan hal yang penting. Jika sebenarnya tidak ada kesesuaian
namun si pelamar tetap diterima, maka kemungkinan pelamar tersebut akan
merasa tidak nyaman melaksanakan pekerjaannya. Hal ini pada akhirnya dapat
mempengaruhi kinerja si pelamar sehingga bisa mempengaruhi produktivitas
perusahaan tempat ia bekerja.

Aspek Yang Digali Dalam Asesmen Psikologis

Pada umumnya asesmen psikologis yang dilakukan terhadap seseorang


dimaksudkan untuk mengungkapkan tiga aspek psikologis pokok yang
dimilikinya: Pertama, aspek kecerdasan umum atau sering disebut inteligensi
umum. Untuk mudahnya, bisa dikatakan inteligensi adalah kemampuan dasar
seseorang untuk memahami dunia sekitar, yang pemahamannya itu bisa
diaplikasikan untuk meningkatkan kualitas hidup. Oleh karena itu isi tes atau
tugas untuk menggali inteligensi umum biasanya mendorong seseorang
menangkap hal-hal penting dari sesuatu dan mengerahkan daya analisis untuk
menangkap hubungan di antara sejumlah komponen-komponennya.

Aspek kecerdasan umum ini digali untuk memprediksikan apakah yang


bersangkutan nantinya akan mampu mempelajari tugas-tugas barunya dan
memecahkan persoalan-persoalan. Hasil penelusuran kecerdasan seperti ini
umumnya diungkapkan ke dalam penggolongan berdasarkan norma/standar
yang berlaku, Contoh: Seorang calon dikatakan memiliki kecerdasan umum yang
tergolong di atas rata-rata. Ini berarti tingkat kecerdasan orang tersebut berada di
atas rata-rata orang dari ”kelompoknya”. Kelompok ini adalah kelompok yang
dijadikan norma/ standar. Kelompok itu bisa berdasarkan usia, jenjang
pendidikan, dan sebagainya.

Kedua, aspek cara atau perilaku kerja. Aspek ini meliputi berbagai
unsur, antara lain kecepatan, ketelitian, perencanaan dan semacamnya sesuai
dengan kebutuhan khusus pekerjaan. Ada beberapa tes yang sudah digunakan
untuk menelusuri hal-hal tersebut, tapi biasanya psikolog juga melihat
keseluruhan hasil dan cara kerja si calon, termasuk melalui observasi ketika si
pelamar diminta melakukan suatu tugas yang mensimulasi pekerjaan yang ia
lamar, melalui diskusi kelompok dan juga wawancara.
Aspek ketiga merupakan hal unik dan mencerminkan kekhasan individu
yaitu aspek kepribadian. Ada berbagai alat yang sering digunakan di sini,
misalnya mengisi semacam kuesioner yang pada intinya untuk menelusuri
karakteristik psikologis apa saja yang ada, atau melalui tugas-tugas
menggambar. Tugas menggambar ini sebetulnya adalah sarana bagi individu
untuk memproyeksikan diri. Memang barangkali sulit masuk akal bagi awam
bagaimana mungkin gambar pohon misalnya, bisa menjelaskan kepribadian
orang. Tapi alat-alat itu dibuat melalui kajian ilmiah sehingga hasilnya pun bisa
dipertanggungjawabkan. Tes kepribadian seperti ini sifatnya adalah memberi
indikasi tentang sejumlah karakteristik psikologis tertentu. Psikolog dituntut
ketajaman dan kepekaannya untuk menganalisis lebih jauh dan menemukan
gambaran kepribadian yang khas si individu, termasuk juga melalui observasi
dan terutama wawancara. Untuk bisa mengungkap kepribadian seseorang,
psikolog dituntut memiliki pengalaman yang memadai agar dapat melihat makna-
makna tersirat dari hasil tes pelamar.

Ketiga aspek pokok di atas, kecerdasan umum, perilaku kerja, dan


kepribadian, bukan merupakan bagian-bagian yang berdiri sendiri. Dinamika
antara ketiga aspek tersebut saling berpengaruh dan menentukan karakteristik
manusia secara utuh. Tidak jarang ditemui seseorang yang memiliki kecerdasan
diatas rata-rata, tidak dapat direkomendasikan oleh psikolog karena kedua aspek
lainnya tidak mendukung untuk persyaratan pekerjaan tertentu.

Peran Psikolog Dalam Keputusan Seleksi

Dari uraian sebelumnya tampak bahwa yang menyimpulkan gambaran


psikologis seseorang adalah kehandalan psikolognya, bukan semata-mata hasil
tes tertulis. Kalaupun menggunakan alat yang terkomputerisasi yang bisa
langsung mengeluarkan deskripsi individu, psikolog mesti mengujinya lagi
dengan cara lain seperti menganalisis keseluruhan hasil tes tertulis, observasi
dan wawancara tadi. Psikolog mesti mampu meminimalisir subjektivitas yang ada
padanya. Selain melalui pengalaman bertahun-tahun, seringkali dalam proses
asesmen psikologis ada yang disebut proses pemberian second opinion, yaitu
adanya pendapat dari psikolog lain tentang gambaran individu. Dengan begitu,
psikolog mendapat wawasan lain dan tidak terpaku dalam alam subjektifnya
sendiri
Jadi, peran psikolog dalam asesmen psikologis terutama adalah
memberikan gambaran komprehensif tentang si pelamar pada aspek-aspek yang
menjadi persyaratan pekerjaan (dan aspek-aspek lain yang dipandang perlu)
serta memberi masukan pada perusahaan bagaimana kesesuaiannya dengan
persyaratan tersebut. Psikolog tidak menentukan apakah si calon akan diterima
atau ditolak karena bisa jadi ada persyaratan atau preferensi lain di samping
persyaratan pekerjaan yang sifatnya psikologis, seperti pertimbangan usia,
keluasan pengalaman, keterampilan teknis khusus, keanggotaan organisasi
tertentu, memiliki kendaraan sendiri, dan sebagainya.

Oleh karena itu bagian seleksi dari pihak perusahaan juga mesti
merancang tahapan seleksi dengan cermat karena asesmen psikologis saja tidak
cukup untuk menjadi satu-satunya alat seleksi. Satu hal yang sama pentingnya
disamping asesmen psikologis, adalah wawancara oleh pihak unit kerja dimana
lowongan pekerjaan dibuka. Dalam aktivitas ini, si calon dipertemukan dengan
calon atasan langsungnya (user). Kemudian, pejabat tersebut bisa melakukan
penilaian berdasarkan pengalaman, untuk memperkirakan apakah si calon
tersebut sesuai untuk mengisi pekerjaan yang dilamarnya.

Hasil Asesmen Psikologis Bukan “Harga Mati”

Perlu diketahui bahwa hasil asesmen psikologis (biasanya tertuang dalam


bentuk laporan tertulis) yang dibuat psikolog bukanlah sesuatu yang sifatnya
”harga mati”. Pada hakekatnya, manusia merupakan makhluk yang selalu
berkembang sehingga ada kemungkinan bahwa seseorang bisa berubah dalam
kurun waktu beberapa tahun, khususnya pada aspek perilaku kerja dan
kepribadian. Oleh karena itu, janganlah berputus asa jika tidak diterima di
pekerjaan tertentu. Selain karena ketidaksesuaian karakteristik, setelah
menjalani pembelajaran selama beberapa waktu (misalnya melalui pengalaman
bekerja), mungkin saja ketidaksesuaian tersebut dapat diminimalisir atau bahkan
dihilangkan.
DAFTAR PUSTAKA

Aiken, L.R & Marnat, G.G. (2008). Pengetesan dan Pemeriksaan Psikologi Jilid 1
(edisi Bahasa Indonesia). Jakarta: PT Indeks

Anastasia, A & Urbina S. (1998). Tes Psikologi (edisi Bahasa Indonesia). Jakarta:
PT.Prenhallindo

Suryabrata, S. (1990). Pembimbing ke Psikodiagnostik (edisi ke 2). Yogyakarta:


Rake Suraisin

Markam, S.S. (1997). Pengantar Psikodiagnostik. Jakarta: LP3SP Fakultas


Psikologi Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai