Anda di halaman 1dari 26

A.

DEFINISI
CPD adalah tidak ada kesesuaian antara kepala janin dengan bentuk
dan ukuran panggul.
Disproporsi sefalopelvik adalah keadaan yang menggambarkan
ketidaksesuaian antara kepala janin dan panggul ibu sehingga
janin tidak dapat keluar melalui vagina.
Disproporsi sefalopelvik adalah keadaan yang menggambarkan
ketidaksesuaian antara kepala janin dan panggul ibu sehingga
janin tidak dapat keluar melalui vagina. Disproporsi sefalopelvik
disebabkan oleh panggul sempit, janin yang besar ataupun
kombinasi keduanya.
Cephalopelvic Disproportion (CPD) adalah diagnosa medis digunakan
ketika kepala bayi dinyatakan terlalu besar untuk muat melewati
panggul ibu. Sering kali, diagnosis ini dibuat setelah wanita
telah bekerja keras selama beberapa waktu, tetapi lain kali, itu
dimasukkan ke dalam catatan medis wanita sebelum ia bahkan buruh.
Sebuah misdiagnosis of CPD account untuk banyak yang tidak perlu
dilakukan bedah caesar di Amerika Utara dan di seluruh dunia
setiap tahunnya. Diagnosis ini tidak harus berdampak masa depan
seorang wanita melahirkan keputusan. Banyak tindakan dapat
diambil oleh ibu hamil untuk meningkatkan peluangnya untuk
melahirkan melalui vagina.
Panggul sempit dapat didefinisikan secara anatomi dan secara
obstetri. Secara anatomi berarti panggul yang satu atau lebih
ukuran diameternya berada di bawah angka normal sebanyak 1 cm
atau lebih.
Pengertian secara obstetri adalah panggul yang satu atau lebih
diameternya kurang sehingga mengganggu mekanisme persalinan
normal.
B. UKURAN PANGGUL DAN PENYEBAB TERJADINYA CPD ANATOMI PANGGUL
Tulang tulang panggul terdiri dari os koksa, os sakrum, dan os
koksigis. Os koksa dapat dibagi menjadi os ilium, os iskium, dan
os pubis. Tulang tulang ini satu dengan lainnya berhubungan. Di
depan terdapat hubungan antara kedua os pubis kanan dan kiri,
disebut simfisis. Dibelakang terdapat artikulasio sakro- iliaka

yang menghubungkan os sakrum dengan os ilium. Dibawah terdapat


artikulasio sakro-koksigea yang menghubungkan os sakrum (tl
panggul) dan os koksigis (tl.tungging).
Pada wanita, di luar kehamilan artikulasio ini hanya memungkinkan
pergeseran sedikit, tetapi pada kehamilan dan waktu persalinan
dapat bergeser lebih jauh dan lebih longgar,misalnya ujung
koksigis dapat bergerak kebelakang sampai sejauh lebih kurang 2,5
cm.Hal ini dapat dilakukan bila ujung os koksigis
menonjol ke depan pada saat partus, dan pada pengeluaran kepala
janin dengan cunam ujung os koksigis itu dapat ditekan ke
belakang. Secara fungsional, panggul terdiri dari dua bagian
yaitu pelvis mayor dan pelvis minor. Pelvis mayor
adalah bagian pelvis yang terletak diatas linea terminalis,
disebut juga dengan false pelvis. Bagian yang terletak dibawah
linea terminalis disebut pelvis minor atau true pelvis. Pada
ruang yang dibentuk oleh pelvis mayor terdapat organ organ
abdominal selain itu pelvis mayor merupakan tempat perlekatan
otot otot dan ligamen ke dinding tubuh. Sedangkan pada ruang
yang dibentuk oleh pelvis minor terdapat bagian dari kolon,
rektum, kandung kemih, dan pada wanita terdapat uterus dan
ovarium. Pada ruang pelvis juga kita temui diafragma pelvis yang
dibentuk oleh muskulus levator ani dan muskulus koksigeus.
a. Ukuran Panggul
1. Pintu Atas Panggul
Pintu atas panggul dibentuk oleh promontorium corpus vertebra
sacrum, linea innominata, serta pinggir atas simfisis. Konjugata
diagonalis adalah jarak dari pinggir bawah simfisis ke
promontorium, Secara klinis, konjugata diagonalis dapat diukur
dengan memasukkan jari telunjuk dan jari tengah yang dirapatkan
menyusur naik ke seluruh permukaan anterior sacrum, promontorium
teraba sebagai penonjolan tulang. Dengan jari tetap menempel pada
promontorium, tangan di vagina diangkat sampai menyentuh arcus
pubis dan ditandai dengan jari telunjuk tangan kiri. Jarak antara
ujung jari pada promontorium sampai titik yang ditandai oleh jari
telunjuk merupakan panjang konjugata diagonalis.
Konjugata vera yaitu jarak dari pinggir atas simfisis ke

promontorium yang dihitung dengan mengurangi konjugata diagonalis


1,5 cm, panjangnya lebih kurang 11 cm. Konjugata obstetrika
merupakan konjugata yang paling penting yaitu jarak antara bagian
tengah dalam simfisis dengan promontorium, Selisih
antara konjugata vera dengan konjugata obstetrika sedikit sekali.
2. Panggul Tengah (Pelvic Cavity)
Ruang panggul ini memiliki ukuran yang paling luas. Pengukuran
klinis panggul tengah tidak dapat diperoleh secara langsung.
Terdapat penyempitan setinggi spina isciadika, sehingga bermakna
penting pada distosia setelah kepala engagement. Jarak antara
kedua spina ini yang biasa disebut distansia interspinarum
merupakan jarak panggul terkecil yaitu sebesar 10,5 cm. Diameter
anteroposterior setinggi spina isciadica berukuran 11,5 cm.
Diameter sagital posterior, jarak antara sacrum dengan garis
diameter interspinarum berukuran 4,5 cm.3,4 .
3. Pintu Bawah Panggul
Pintu bawah panggul bukanlah suatu bidang datar namun terdiri
dari dua segitiga dengan dasar yang sama yaitu garis yang
menghubungkan tuber isciadikum kiri dan kanan. Pintu bawah
panggul yang dapat diperoleh melalui pengukuran klinis adalah
jarak antara kedua tuberositas iscii atau distansia tuberum (10,5
cm), jarak dari ujung sacrum ke tengah-tengah distensia tuberum
atau diameter sagitalis posterior (7,5 cm), dan jarak antara
pinggir bawah simpisis ke ujung sacrum (11,5 cm).
b. Etiologi CPD (Cephalus Pelvix Disproporsional )
Distosia adalah persalinan yang sulit dan ditandai oleh terlalu
lambatnya kemajuan persalinan. Distosia dapat disebabkan oleh
kelainan pada servik, uterus, janin, tulang panggul ibu atau
obstruksi lain di jalan lahir. Kelainan ini oleh ACOG dibagi
menjadi tiga yaitu:
1. Kelainan kekuatan (power) yaitu kontraktilitas uterus dan
upaya ekspulsif ibu.
a. Kelainan his : inersia uteri / kelemahan his
b. kekuatan mengejan yang kurang misalnya pada hernia atau sesak
nafas.
2. Kelainan yang melibatkan janin (passenger), misalnya letak
lintang, letak dahi, hidrosefalus.

3. Kelainan jalan lahir (passage), misalnya panggul sempit, tumor


yang mempersempit jalan lahir. Pola Kelainan Persalinan,
Diagnostik, Kriteria dan Metode Penanganannya
Pola Persalinan Kriteria Diagnostik Penanganan yang dianjurkan
Penanganan Khusus
Panggul dengan ukuran normal tidak akan mengalami kesukaran
kelahiran pervaginam pada janin dengan berat badan yang normal.
Ukuran panggul dapat menjadi lebih kecil karena pengaruh gizi,
lingkungan atau hal lain sehingga menimbulkan kesulitan pada
persalinan pervaginam. Panggul sempit yang
penting pada obstetric bukan sempit secara anatomis namun panggul
sempit secara fungsional artinya perbandingan antara kepala dan
panggul. Selain panggul sempit dengan ukuran yang kurang dari
normal, juga terdapat panggul sempit lainnya.
Panggul ini digolongkan menjadi empat, yaitu:
1. Kelainan karena gangguan pertumbuhan intrauterine: panggul
Naegele, panggul Robert, split pelvis, panggul asimilasi.
2. Kelainan karena kelainan tulang dan/ sendi: rakitis,
osteomalasia, neoplasma, fraktur, atrofi, nekrosis, penyakit pada
sendi sakroiliaka dan sendi sakrokoksigea.
3. Kelainan panggul karena kelainan tulang belakang: kifosis,
skoliosis, spondilolistesis.
4. Kelainan panggul karena kelainan pada kaki: koksitis, luksasio
koksa, atrofi atau kelumpuhan satu kaki.
Setiap penyempitan pada diameter panggul yang mengurangi
kapasitas panggul dapat menyebabkan distosia saat persalinan.
penyempitan dapat terjadi pada pintu atas panggul, pintu tengah
panggul, pintu bawah panggul, atau panggul yang menyempit
seluruhnya.
a. Penyempitan pintu atas panggul
Pintu atas panggul dianggap sempit apabila diameter
anterioposterior terpendeknya (konjugata vera) kurang dari 10 cm
atau apabila diameter transversal terbesarnya kurang dari 12 cm.
Diameter anteroposterior pintu atas panggul sering diperkirakan
dengan mengukur konjugata diagonal secara manual
yang biasanya lebih panjang 1,5 cm. Dengan demikian, penyempitan
pintu atas panggul biasanya didefinisikan sebagai konjugata

diagonal yang kurang dari 11,5 cm.Mengert (1948) dan Kaltreider


(1952) membuktikan bahwa kesulitan persalinan meningkat pada
diameter anteroposterior kurang dari 10 cm atau
diameter transversal kurang dari 12 cm. Distosia akan lebih berat
pada kesempitan kedua diameter dibandingkan sempit hanya pada
salah satu diameter.
Diameter biparietal janin berukuran 9,5-9,8 cm, sehingga sangat
sulit bagi janin bila melewati pintu atas panggul dengan diameter
anteroposterior kurang dari 10 cm. Wanita dengan tubuh kecil
kemungkinan memiliki ukuran panggul yang kecil, namun juga
memiliki kemungkinan janin kecil. Dari penelitian Thoms
pada 362 nullipara diperoleh rerata berat badan anak lebih rendah
(280 gram) pada wanita dengan panggul sempit dibandingkan wanita
dengan panggul sedang atau luas.
Pada panggul sempit ada kemungkinan kepala tertahan oleh pintu
atas panggul, sehingga gaya yang ditimbulkan oleh kontraksi
uterus secara langsung menekan bagian selaput ketuban yang
menutupi serviks. Akibatnya ketuban dapat pecah pada pembukaan
kecil dan terdapat resiko prolapsus funikuli. Setelah
selaput ketuban pecah, tidak terdapat tekanan kepala terhadap
serviks dan segmen bawah rahim sehingga kontraksi menjadi
inefektif dan pembukaan berjalan lambat atau tidak sama sekali.
Jadi, pembukaan yang berlangsung lambat dapat menjadi prognosa
buruk pada wanita dengan pintu atas panggul sempit.3,4
Pada nulipara normal aterm, bagian terbawah janin biasanya sudah
masuk dalam rongga panggul sebelum persalinan. Adanya penyempitan
pintu atas panggul menyebabkan kepala janin megapung bebas di
atas pintu panggul sehingga dapat menyebabkan presentasi janin
berubah. Pada wanita dengan panggul
sempit terdapat presentasi wajah dan bahu tiga kali lebih sering
dan prolaps tali pusat empat sampai enam kali lebih sering
dibandingkan wanita dengan panggul normal atau luas.
b. Penyempitan panggul tengah
Dengan sacrum melengkung sempurna, dinding-dinding panggul tidak
berkonvergensi, foramen isciadikum cukup luas, dan spina
isciadika tidak menonjol ke dalam, dapat diharapkan bahwa panggul
tengah tidak akan menyebabkan rintangan bagi lewatnya kepala

janin. Penyempitan pintu tengah panggul lebih sering dibandingkan


pintu atas panggul.Hal ini menyebabkan terhentunya kepala janin
pada bidang transversal sehingga perlu tindakan forceps tengah
atau seksio sesarea. Penyempitan pintu tengah panggul belum dapat
didefinisikan secara pasti seperti penyempitan pada pintu atas
panggul. Kemungkinan penyempitan pintu tengah panggul apabila
diameter interspinarum
ditambah diameter sagitalis posterior panggul tangah adalah 13,5
cm atau kurang. Ukuran terpenting yang hanya dapat ditetapkan
secara pasti dengan pelvimetri roentgenologik ialah distansia
interspinarum. Apabila ukuran ini kurang dari 9,5 cm, perlu
diwaspadai kemungkinan kesukaran persalinan apalagi bila diikuti
dengan ukuran diameter sagitalis posterior pendek.
c. Penyempitan Pintu Bawah Panggul
Pintu bawah panggul bukan suatu bidang datar melainkan dua
segitiga dengan diameter intertuberosum sebagai dasar keduanya.
Penyempitan pintu bawah panggul terjadi bila diameter distantia
intertuberosum berjarak 8 cm atau kurang. Penyempitan pintu bawah
panggul biasanya disertai oleh penyempitan pintu tengah panggul.
Disproporsi kepala janin dengan pintu bawah panggul tidak terlalu
besar dalam menimbulkan distosia berat. Hal ini berperan penting
dalam menimbulkan robekan perineum. Hal ini disebabkan arkus
pubis yang sempit, kurang dari 900 sehingga oksiput tidak dapat
keluar tepat di bawah simfisis pubis,
melainkan menuju ramus iskiopubik sehingga perineum teregang dan
mudah terjadi robekan.
d. Perkiraan Kapasitas Panggul Sempit
Perkiraan panggul sempit dapat diperoleh dari pemeriksaan umum
dan anamnesa. Misalnya padatuberculosis vertebra, poliomyelitis,
kifosis. Pada wanita dengan tinggi badan yang kurang dari normal
ada kemungkinan memiliki kapasitas panggul sempit, namun bukan
berarti seorang wanita dengan tinggi badan yang normal tidak
dapat memiliki panggul sempit. Dari anamnesa persalinan terdahulu
juga dapat diperkirakan kapasitas panggul. Apabila pada
persalinan terdahulu berjalan lancar dengan bayi berat badan
normal, kemungkinan panggul sempit adalah kecil.
Pengukuran panggul (pelvimetri) merupakan salah satu cara untuk

memperoleh keterangan tentang keadaan panggul. Melalui pelvimetri


dalama dengan tangan dapat diperoleh ukuran kasar pintu atas dan
tengah panggul serta memberi gambaran jelas pintu bawah panggul.
Adapun pelvimetri luar tidak memiliki banyak arti.
Pelvimetri radiologis dapat memberi gambaran yang jelas dan
mempunyai tingkat ketelitian yang tidak dapat dicapai secara
klinis. Pemeriksaan ini dapat memberikan pengukuran yang tepat
dua diameter penting yang tidak mungkin didapatkan dengan
pemeriksaan klinis yaitu diameter transversal pintu atas dan
diameter antar spina iskhiadika. Tetapi pemeriksaan ini memiliki
bahaya pajanan radiasi terutama bagi janin sehingga jarang
dilakukan. Pelvimetri dengan CT scan dapat mengurangi pajanan
radiasi, tingkat keakuratan lebih baik dibandingkan radiologis,
lebih mudah, namun biayanya mahal. Selain itu juga dapat
dilakukan
pemeriksaan dengan MRI dengan keuntungan antara lain tidak ada
radiasi, pengukuran panggul akurat, pencitraan janin yang
lengkap. Pemeriksaan ini jarang dilakukan karena biaya yang
mahal.
Dari pelvimetri dengan pencitraan dapat ditentukan jenis panggul,
ukuran pangul yang sebenarnya, luas bidang panggul, kapasitas
panggul, serta daya akomodasi yaitu volume dari bayi yang
terbesar yang masih dapat dilahirkan spontan.
Pada kehamilan yang aterm dengan presentasi kepala dapat
dilakukan pemeriksaan dengan metode Osborn dan metode Muller
Munro Kerr. Pada metode Osborn, satu tangan menekan kepala janin
dari atas
kearah rongga panggul dan tangan yang lain diletakkan pada kepala
untuk menentukan apakah kepala menonjol di atas simfisis atau
tidak. Metode Muller Munro Kerr dilakukan dengan satu tangan
memegang kepala janin dan menekan kepala ke arah rongga panggul,
sedang dua jari tangan yang lain masuk ke vagina
untuk menentukan seberapa jauh kepala mengikuti tekanan tersebut
dan ibu jari yang masuk ke vagina memeriksa dari luar hubungan
antara kepala dan simfisis.
e. Janin yang besar
Normal berat neonatus pada umumnya 4000gram dan jarang ada yang

melebihi 5000gram. Berat badan neonatus lebih dari 4000gram


dinamakan bayi besar. Frekuensi berat badan lahir lebih dari
4000gram adalah 5,3%, dan berat badan lahir yang melihi 4500gram
adalah 0,4%. Biasanya untuk berat janin 40005000 gram pada panggul normal tidak terdapat kesulitan dalam
proses melahirkan. Factor keturunan memegang peranan penting
sehingga dapat terjadi bayi besar. Janin besar biasanya juga
dapat dijumpai pada ibu yang mengalami diabetes mellitus,
postmaturitas, dan pada grande multipara. Selain itu, yang dapat
menyebabkan bayi besar adalah ibu hamil yang makan banyak, hal
tersebut masih diragukan.
Untuk menentukan besarnya janin secara klinis bukanlah merupakan
suatu hal yang mudah. Kadang-kadang bayi besar baru dapat kita
ketahui apabila selama proses melahirkan tidak terdapat kemajuan
sama sekali pada proses persalinan normal dan biasanya disertai
oleh keadaan his yang tidak kuat. Untuk kasus seperti ini sangat
dibutuhkan pemeriksaan yang teliti untuk mengetahui apakah
terjadi sefalopelvik disproporsi. Selain itu, penggunaan alat
ultrasonic juga dapat mengukur secara teliti apabila terdapat
bayi dengan tubuh besar dan kepala besar.
Pada panggul normal, biasanya tidak menimbulkan terjadinya
kesulitan dalam proses melahirkan janin yang beratnya kurang dari
4500gram. Kesulitan dalam persalinan biasanya terjadi karena
kepala janin besar atau kepala keras yang biasanya terjadi pada
postmaturitas tidak dapat memasuki pntu atas panggul,
atau karena bahu yang lebar sulit melalui rongga panggul. Bahu
yang lebar selain dapat ditemukan pada janin yang memiliki berat
badan lebih juga dapat dijumpai pada anensefalus. Janin dapat
meninggal selama proses persalinan dapat terjadi karena
terjadinya asfiksia dikarenakan selama proses kelahiran kepala
anak sudah lahir, akan tetapi karena lebarnya bahu mengakibatkan
terjadinya macet dalam melahirkan bagian janin yang lain.
Sedangkan penarikan kepala janin yang terlalu kuat ke bawah dapat
mengakibatkan terjadinya cedera pada nervus brakhialis dan
muskulus sternokleidomastoideus.

C. PENATALAKSANAAN CPD (Cephalus Pelvix Disproporsional )


1. Persalinan Percobaan
Setelah dilakukan penilaian ukuran panggul serta hubungan antara
kepala janin dan panggul dapat diperkirakan bahwa persalinan
dapat berlangsung per vaginan dengan selamat dapat dilakukan
persalinan percobaan. Cara ini merupakan tes terhadap kekuatan
his, daya akomodasi, termasuk moulage karena faktor tersebut
tidak dapar diketahui sebelum persalinan.
Persalinan percobaan hanya dilakukan pada letak belakang kepala,
tidak bisa pada letak sungsang, letak dahi, letak muka, atau
kelainan letak lainnya.
Ketentuan lainnya adalah umur keamilan tidak boleh lebih dari 42
mingu karena kepala janin bertambah besar sehingga sukar terjadi
moulage dan ada kemungkinan disfungsi plasenta janin yang akan
menjadi penyulit persalinan percobaan.
Pada janin yang besar kesulitan dalam melahirkan bahu tidak akan
selalu dapat diduga sebelumnya. Apabila dalam proses kelahiran
kepala bayi sudah keluar sedangkan dalam melahirkan bahu sulit,
sebaiknya dilakukan episiotomy medioateral yang cukup luas,
kemudian hidung dan mulut janin dibersihkan, kepala ditarik curam
kebawah dengan hati-hati dan tentunya dengan kekuatan terukur.
Bila hal tersebut tidak berhasil, dapat dilakukan pemutaran badan
bayi di dalam rongga panggul, sehingga menjadi bahu depandimana
sebelumnya merupakan bahu belakang dan lahir dibawah simfisis.
Bila cara tersebut masih juga belum berhasil, penolong memasukkan
tangannya kedalam vagina, dan berusaha melahirkan janin dengan
menggerakkan dimuka dadanya. Untuk melahirkan lengan kiri,
penolong menggunakan tangan kanannya, dan sebaliknya. Kemudian
bahu depan diputar ke diameter miring dari panggul untuk
melahirkan bahu depan. Persalinan percobaan ada dua macam yaitu
trial of labour dan test of labour. Trial of labour serupa dengan
persalinan percobaan di atas, sedangkan test of labour sebenarnya
adalah fase akhir dari trial of labour karena baru dimulai pada
pembukaan lengkap dan berakhir 2 jam kemudian. Saat ini test of
labour

jarang digunakan karena biasanya pembukaan tidak lengkap pada


persalinan dengan pangul sempit dan terdapat kematian anak yang
tinggi pada cara ini.
Keberhasilan persalinan percobaan adalah anak dapat lahir sontan
per vaginam atau dibantu ekstraksi dengan keadaan ibu dan anak
baik. Persalinan percobaan dihentikan apabila pembukaan tidak
atau kurang sekali kemajuannnya,
keadaan ibu atau anak kurang baik, ada lingkaran bandl, setelah
pembukaan lengkap dan ketuban pecah kepala tidak masuk PAP dalam
2 jam meskipun his baik, serta pada forceps yang gagal. Pada
keadaan ini dilakukan seksio sesarea.
2. Seksio Sesarea
Seksio sesarea elektif dilakukan pada kesempitan panggul berat
dengan kehamilan aterm, atau disproporsi sephalopelvik yang
nyata. Seksio juga dapat dilakukan pada kesempitan panggul ringan
apabila ada komplikasi seperti primigravida tua dan kelainan
letak janin yang tak dapat diperbaiki. Seksio sesarea sekunder
(sesudah persalinan selama beberapa waktu) dilakukan karena
peralinan perobaan dianggap gagal atau ada indikasi untuk
menyelesaikan persalinan selekas mungkin sedangkan syarat
persalinan per vaginam belum dipenuhi.
3. Simfisiotomi
Tindakan ini dilakukan dengan memisahkan panggul kiri dan kanan
pada simfisis. Tindakan ini sudah tidak dilakukan lagi.
4. Kraniotomi dan Kleidotomi
Kraniotomi adalah suatu tindakan yang memperkecil ukuran kepala
janin dengan cara melubangi tengkorak janin dan mengeluarkan isi
tengkorak, sehingga janin dapat dengan mudah lahir pervaginam.
Kraniotomi, terdiri atas perforasi kepala janin, yang biasanya
diikuti oleh kranioklasi.
5. Kleidotomi
Tindakan ini dilakukan setelah janin pada presentasi kepala
dilahirkan, akan tetapi dialami kesulitan untuk melahirkan bahu

karena terlalu lebar. Setelah janin meninggal, tidak ada


keberatan untuk melakukan kleidotomi (memotong klavikula) pada
satu atau kedua klavikula. Dibawah perlindungan spekulum dan
tangan kiri penolong dalam vagina, klavikula dan jika perlu
klavikula belakang digunting, dan selanjutnya kelahiran anak
dengan berkurangnya lebar bahu tidak mengalami kesulitan. Apabila
tindakan dilakukan dengan hati-hati, tidak akan timbul luka pada
jalan lahir. Pada janin yang telah mati dapat dilakukan
kraniotomi atau kleidotomi. Apabila panggul sangat sempit
sehingga janin tetap tidak dapat dilahirkan, maka dilakukan
seksio sesarea.
D. PENATALAKSANAAN
Sebenarnya panggul hanya merupaka salah satu faktor yang
menentukan apakah anak dapat lahir spontan atau tidak, disamping
banyak faktor lain yang memegang peranan dalam prognosa
persalinan. Bila konjugata vera 11 cm, dapat dipastikan partus
biasa, dan bila ada kesulitan persalinan, pasti tidak disebabkan
oleh faktor panggul. Untuk CV kurang dari 8,5 cm dan anak cukup
bulan tidak mungkin melewati panggul tersebut.
1. CV 8,5 10 cm dilakukan partus percobaan yang kemungkinan
berakhir dengan partus spontan atau dengan ekstraksi vakum, atau
ditolong dengan secio caesaria sekunder atas indikasi obstetric
lainnya
2. CV = 6 -8,5 cm dilakukan SC primer
3. CV = 6 cm dilakukan SC primer mutlak.
Disamping hal-hal tersebut diatas juga tergantung pada :
1. His atau tenaga yang mendorong anak.
2. Besarnya janin, presentasi dan posisi janin
3. Bentuk panggul
4. Umur ibu dan anak berharga
5. Penyakit ibu

I. Pengertian
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin
dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu
histerotomi
untuk melahirkan janin dari dalam rahim.
II. Jenis jenis operasi sectio caesarea
1. Abdomen (sectio caesarea abdominalis)
a. Sectio caesarea transperitonealis
SC klasik atau corporal (dengan insisi memanjang pada corpus
uteri)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri
kira-kira
10 cm.
Kelebihan :
Mengeluarkan janin dengan cepat
Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik
Sayatan bias diperpanjang proksimal atau distal Kekurangan
Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada
reperitonealis yang baik
Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi rupture
uteri spontan
SC ismika atau profundal (low servical dengan insisi pada segmen
bawah rahim)
Dilakukan dengan melakukan sayatan melintang konkat pada segmen
bawah rahim (low servical transversal) kira-kira 10 cm
Kelebihan :
Penjahitan luka lebih mudah
Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik
Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan

penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum


Perdarahan tidak begitu banyak
Kemungkinan rupture uteri spontan berkurang atau lebih kecil
Kekurangan :
Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah sehingga dapat
menyebabkan

uteri uterine pecah sehingga mengakibatkan

perdarahan banyak
Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi
b. SC ektra peritonealis yaitu tanpa membuka peritoneum
parietalis dengan demikian tidak membuka cavum abdominal
2. Vagina (section caesarea vaginalis)
Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan
sebagai berikut :
1. Sayatan memanjang ( longitudinal )
2. Sayatan melintang ( Transversal )
3. Sayatan huruf T ( T insicion )
III. Indikasi
Operasi sectio caesarea dilakukan jika kelahiran pervaginal
mungkin akan menyebabkan resiko pada ibu ataupun pada janin,
dengan pertimbangan hal-hal yang perlu tindakan SC proses
persalinan normal lama / kegagalan proses persalinan normal
( Dystasia )
- Fetal distress
- His lemah / melemah
- Janin dalam posisi sungsang atau melintang
- Bayi besar ( BBL 4,2 kg )
- Plasenta previa
- Kalainan letak
- Disproporsi cevalo-pelvik (ketidakseimbangan antar ukuran
kepala dan panggul)
- Rupture uteri mengancam
- Hydrocephalus
- Primi muda atau tua
- Partus dengan komplikasi
- Panggul sempit

- Problema plasenta
IV. Komplikasi
Kemungkinan yang timbul setelah dilakukan operasi ini antara
lain :
1. Infeksi puerperal ( Nifas )
- Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari
- Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi
dan perut sedikit kembung
- Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
2. Perdarahan
- Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
- Perdarahan pada plasenta bed
3. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila
peritonealisasi terlalu tinggi
4. Kemungkinan rupture tinggi spontan pada kehamilan berikutnya
V. POST PARTUM
A. DEFINISI PUERPERIUM / NIFAS
Adalah masa sesudah persalinan dimulai setelah kelahiran plasenta
dan berakhirnya ketika alat-alat kandungan kembali seperti
keadaan sebelum hamil, masa nifas berlangsung selama 6 minggu.
(Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002)
adalah masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk pulihnya
kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu. (Obstetri
Fisiologi, 1983)
B. PERIODE
Masa nifas dibagi dalam 3 periode:
1. Early post partum
Dalam 24 jam pertama.
2. Immediate post partum
Minggu pertama post partum.
3. Late post partum
Minggu kedua sampai dengan minggu keenam.
C. TUJUAN ASUHAN KEPERAWATAN

1. Menjaga kesehatan Ibu dan bayinya, baik fisik maupun


psikologiknya.
2. Melaksanakan skrining yang komprehensif, mendeteksi masalah,
mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun
bayinya.
3. Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan
diri, nutrisi, keluarga berencana, menyusui, pemberian imunisasi
kepada bayinya dan perawatan bayi sehat.
4. Memberikan pelayanan keluarga berencana.
D. TANDA DAN GEJALA
1. Perubahan Fisik
a. Sistem Reproduksi
Uterus
Involusi : Kembalinya uterus ke kondisi normal setelah hamil.
No

Waktu

TFU

Konsistensi

Segera setelah
lahir
1 jam setelah
lahir
12 jam setelah
lahir
setelah 2 hari
Pertengahan simpisis
dan umbilikus
Umbilikus

1 cm di atas pusat

Turun 1 cm/hari

Lembut

After pain

Kontraksi.

Terjadi

Berkurang

Proses ini dipercepat oleh rangsangan pada puting susu.


- Lochea

Komposisi
Jaringan endometrial, darah dan limfe.

Tahap

a. Rubra (merah) : 1-3 hari.


b. Serosa (pink kecoklatan)
c. Alba (kuning-putih) : 10-14 hari
Lochea terus keluar sampai 3 minggu.

Bau normal seperti menstruasi, jumlah meningkat saat

berdiri.
Jumlah keluaran rata-rata 240-270 ml.
- Siklus Menstruasi
Ibu menyusui paling awal 12 minggu rata-rata 18 minggu,
untuk itu tidak menyusui akan kembali ke siklus normal.
- Ovulasi
Ada tidaknya tergantung tingkat proluktin. Ibu menyusui
mulai ovulasi pada bulan ke-3 atau lebih. Ibu tidak menyusui

mulai pada minggu ke-6 s/d minggu ke-8. Ovulasi mungkin tidak
terlambat, dibutuhkan salah satu jenis kontrasepsi untuk mencegah
kehamilan.
- Serviks
Segera setelah lahir terjadi edema, bentuk distensi untuk
beberapa hari, struktur internal kembali dalam 2 minggu, struktur
eksternal melebar dan tampak bercelah.
- Vagina
Nampak berugae kembali pada 3 minggu, kembali mendekati
ukuran seperti tidak hamil, dalam 6 sampai 8 minggu, bentuk
ramping lebar, produksi mukus normal dengan ovulasi.
- Perineum

Episiotomi
Penyembuhan dalam 2 minggu.

Laserasi

TK I : Kulit dan strukturnya dari permukaan s/d otot


TK II : Meluas sampai dengan otot perineal
TK III : Meluas sampai dengan otot spinkter
TK IV : melibatkan dinding anterior rektal
b. Payudara
Payudara membesar karena vaskularisasi dan engorgement (bengkak
karena peningkatan prolaktin pada hari I-III). Pada payudara yang
tidak disusui, engorgement akan berkurang dalam 2-3 hari, puting
mudah erektil bila dirangsang. Pada ibu yang tidak menyusui akan
mengecil pada 1-2 hari.
c. Sistem Endokrin
- Hormon Plasenta
HCG (-) pada minggu ke-3 post partum, progesteron plasma tidak
terdeteksi dalam 72 jam post partum normal setelah siklus
menstruasi.
- Hormon pituitari
Prolaktin serum meningkat terjadi pada 2 minggu pertama, menurun
sampai tidak ada pada ibu tidak menyusui FSH, LH, tidak ditemukan
pada minggu I post partum.

d. Sistem Kardiovaskuler
- Tanda-tanda vital
Tekanan darah sama saat bersalin, suhu meningkat karena dehidrasi
pada awal post partum terjadi bradikardi.
- Volume darah
Menurun karena kehilangan darah dan kembali normal 3-4 minggu
Persalinan normal : 200 500 cc, sesaria : 600 800 cc.
- Perubahan hematologik
Ht meningkat, leukosit meningkat, neutrophil meningkat.
- Jantung
Kembali ke posisi normal, COP meningkat dan normal 2-3 minggu.
e. Sistem Respirasi
Fungsi paru kembali normal, RR : 16-24 x/menit, keseimbangan
asam-basa kembali setelah 3 minggu post partum.
f. Sistem Gastrointestinal
- Mobilitas lambung menurun sehingga timbul konstipasi.
- Nafsu makan kembali normal.
- Kehilangan rata-rata berat badan 5,5 kg.
g. Sistem Urinaria
- Edema pada kandung kemih, urethra dan meatus urinarius terjadi
karena trauma.
- Pada fungsi ginjal: proteinuria, diuresis mulai 12 jam.
- Fungsi kembali normal dalam 4 minggu.
h. Sistem Muskuloskeletal
Terjadi relaksasi pada otot abdomen karena terjadi tarikan saat
hamil. Diastasis rekti 2-4 cm, kembali normal 6-8 minggu post
partum.
i. Sistem Integumen
Hiperpigmentasi perlahan berkurang.
j. Sistem Imun
Rhesus incompability, diberikan anti RHO imunoglobin.

VII. Pathways
VIII.

Asuhan Keperawatan Sectio Caesarea


Dalam asuhan keperawatan digunakan pendekatan proses

keperawatan sebagai cara untuk mengatasi masalah klien. Proses


keperawatan terdiri dari 5 tahap yaitu: Pengkajian keperawatan
(identifikasi, analisa masalah / data) dari diagnosa Keperawatan,
perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
A. Pengkajian
1. Sirkulasi : Kehilangan darah selama prosedur kira-kira 400
500 cc.
2. Makanan / cairan : Abdomen lunak tidak ada distensi.
3. Neurosensori : Kerusakan gerakan dan sensasi dibawah tingkat
anestesi spinal epidural
4. Nyeri / Ketidaknyamanan: Mungkin mengeluh ketidaknyamanan dari
berbagai sumber misalnya trauma bedah atau insisi, nyeri
penyerta, distensi kandung kemih atau abdomen, efek-efek
anestesi, mulut kering.
5. Pernafasan : Bunyi paru jelas dan vasikuler.
6. Keamanan : Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda darah
atau kering.
7. Organ Reproduksi : Fundus uteri berkontraksi kuat dan terletak
di umbilicus.
8. Aliran lokhea sedang dan bebas bekuan berlebihan atau banyak.
B. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doengeos E.marllyn (2001), Diagnosa keperawatan pada
klien pra dan pasca SC adalah sebagai berikut :
1. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi
tentang

prosedur perawatan sebelum dan sesudah melahirkan

melalui operasi SC
2. Nyeri berhubungan dengan kondisi pasca operasi
3. Cemas berhubungan dengan ancaman pada konsep diri.
4. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan merasa gagal
dalam kehidupan.

5. Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan fungsi


fisiologis dan cidera jaringan.
6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan,
penurunan Hb, pasca prosedur invasif.
7. Gangguan pola eliminasi, konstipasi berhubungan dengan
penurunan tonus otot.
8. Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan cidera operasi dan
efek anestasi
9. Kurangnya pemahaman mengenai perubahan fisiologi pada masa
pemulihan, perawatan diri dan kebutuhan perawatan bayi
berhubungan dengan kurangnya informasi.
C. Rencana Asuhan Keperawatan.
Tahap perencanaan merupakan tahap penentuan tujuan dan
kriteria hasil yang diharapkan atas tindakan yang telah
direncanakan. Intervensi dari diagnosa keperawatan diatas
haruslah tepat dan mempunyai dampak ungkit dalam mengatasi
masalah yang ada, permasalahan yang mungkin muncul pada klien pra
& pasca SC adalah :
1. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi
tentang prosedur dan perawatan sebelum melahirkan melalui operasi
SC.
Tujuan : Klien dapat memahami tentang prosedur proses persalinan
melalui SC dan bersedia bekerjasama dalam persiapan pra bedah
Kriteria hasil :
o Klien memahami prosedur persalinan melalui SC
o Klien bersedia bekerja sama dalam persiapan pra bedah.
Intervensi :
1. Diskusikan dengan klien dan orang terdekat alasan untuk SC.
2. Jelaskan prosedur praoperasi dan kemungkinan resiko yang dapat
terjadi (Informed Consent).
3. Berikan kesaksian dalam proses penandatanganan persetujuan
tindakan.
4. Dapatkan tanda vital dasar.
5. Kolaborasi dalam pemriksaan Lab. (DPL, elektrolit, golongan
darah dan urine).

2. Nyeri berhubungan dengan kondisi pasca operasi.


Tujuan : Rasa nyeri hilang
Kriteria Hasil :
o Klien mampu mengungkapkan rasa nyeri dan menggunakan rencana
untuk mengatasi nyeri atau ketidak nyamanan serta mengungkapkan
berkurangnya nyeri.
o Klien tampak santai serta dapat tidur atau cukup beristirahat.
Intervensi :
1. Kaji karakteristik nyeri dan lokasi ke tidaknyamanan.
2. Berikan informasi dan petunjuk antisipasi mengenai penyebab
ketidaknyamanan.
3. Evaluasi tekanan darah dan nadi dan perhatikan perubahan
perilaku.
4. Ubah posisis klien, kurangi rangsangan berbahaya dan berikan.
5. Ajarkan latihan relaksasi napas dalam bila nyeri ada.
6. Anjurkan tekhnik distraksi dan relaksasi.
7. Kaji rasa nyeri tekan uterus dan perhatikan infus oksitoksin
pasca operasi.
8. Anjurkan mobilisasi dini dan menghindari makanan yang
mengandung gas.
9. Palpasi kandung kemih dan perhatikan adanya rasa penuh.
10. Berikan analgesik sesuai yang diresepkan oleh dokter.
3. Cemas berhubungan dengan ancaman pada konsep diri.
Tujuan : Cemas tidak terjadi.
Kriteria hasil :
o Klien mengerti, memahami dan mampu mengungkapkan cemas serta
mampu mengidentifikasi cara untuk menurunkan tingkat atau
menghilangkan cemas secara mandiri.
o Klien mengatakan bahwa cemas sudah terkendali dan berada pada
keadaan yang dapat ditanggulangi.
o Klien terlihat santai serta dapat tidur dan beristirahat dengan
cukup.
Intervensi :
1. Anjurkan klien untuk mengungkapkan perasaannya.
2. Bantu klien mengidentifikasikan mekanisme koping yang lazim

dan mengembangkan strategi koping yang dibutuhkan.


3. Berikan informasi yang akurat tentang keadaan klien maupun
bayinya.
4. Anjurkan klien untuk sering kontak dengan bayi sesegera
mungkin.
4. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan merasa gagal
dalam kehidupan.
Tujuan : Perasaan harga diri rendah situasional tidak terjadi.
Kriteria hasil :
o Klien mampu mendiskusikan masalah berhubungan dengan peran dan
persepsi terhadap pengalaman kelahiran.
o Klien atau pasangan dan mampu mengekspresikan harapan diri yang
positif.
Intervensi :
1. Tentukan respon emosional klien atau pansangan terhadapn
kelahirsn SC.
2. Kaji ulang partipasi dan peran klien / pasangan dalam
pengalaman kelahiran.
3. Beritahukan klien tentang hampir samanya antara kelahiran SC
dan kelahiran melalui vagina.
5. Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan fungsi
fisiologis dan cidera jaringan.
Tujuan : Resiko tinggi terhadap gangguan dan cidera tidak
terjadi.
Kriteria hasil :
o Klien mampu menerapkan perilaku untuk menurunkan risiko cidera
dan perlindungan diri agar dapat bebas dari komplikasi.
Intervensi :
1. Observasi tanda-tanda vital.
2. Observasi balutan terhadap perdarahan yang berlebihan.
3. Perhatikan kateter, jumlah lokia dan konsistensi fundus.
4. Pantau asupan cairan dan pengeluaran urin.
5. Anjurkan latihan kaki / pergelangan kaki dan ambulasi dini.
6. Anjurkan klien untuk merubah selalu posisi tubuh (duduk,
berbaring dalam posisi datar).

7. Observasi daerah luka operasi (apakah sudah ada perubahan


kearah penyembuhan atau tanda-tanda infeksi).
8. Observasi daerah ekstremitas bawah terhadap tanda
tromboplebitis.
9. Berikan cairan infus sesuai dengan program.
10. Periksa Hb, Ht pasca operasi bandingkan dengan kadar pra
operasi.
6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan,
penurunan Hb, prosedur invasif.
Tujuan : Risiko tinggi infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil :
o Klien mampu mengungkapkan teknik untuk menurunkan resiko dan
meningkatkan penyembuhan.
o Klien tidak demam / bebas dari infeksi.
Intervensi :
1. Anjurkan dan gunakan teknik a & antiseptik.
2. Perhatikan faktor yang menyebabkan terjadinya infeksi.
3. Observasi balutan abdominal terhadap eksudat atau rembesan
4. Ganti balutan luka bila basah.
5. Observasi luka insisisi terhadap proses penyembuhan.
6. Dorong klien untuk mandi air hangat setiap hari tetapi tidak
mengenai luka operasi.
7. Berikan antibiotik sesuai pesanan oleh dokter.
7. Gangguan pola eliminasi, konstipasi berhubungan dengan
penurunan tonus otot.
Tujuan : Konstipasi tidak terjadi
Kriteria hasil :
o Klien mampu mengungkapkan kembalinya motilitas usus yang
dibuktikan oleh bising usus dan keluarnya flatus.
o Pola eliminasi klien kembali normal.
Intervensi :
1. Auskultasi bising usus.
2. Palpasi abdomen, perhatikan distensi atau ketidak nyamanan
3. Anjurkan makanan yang berserat tinggi
4. Anjurkan untuk ambulasi dini

5. Anjurkan cairan oral yang adekuat (misal : 6-8 gelas/hari).


6. Identifikasi aktivitas klien yang dapat merangsang kerja usus.
7. Berikan pencahar sesuai dengan pesanan dokter
8. Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan cidera operasi dan
efek anestasi.
Tujuan : Gangguan eliminasi urin tidak terjadi.
Kriteria hasil :
o Klien mendapatkan pola berkemih yang biasa / optimal setelah
pengangkatan kateter.
o Mekanisme mengosongkan kandung kemih pada setiap berkemih dapat
terjadi.
Intervensi :
1. Perhatikan dan catat jumlah dan warna urin.
2. Berikan cairan peroral (6-8 gelas/hari ).
3. Palpasi kandung kemih, pantau tinggi fundus uteri, lokasi dan
jumlah aliran lokia.
4. Perhatikan tanda dan gejala ISK ( warna keruh, bau busuk,
sensasi terbakar setelah pengangkatan kateter).
5. Gunakan metode untuk memudahkan pengangkatan kateter setelah
berkemih (membasuh dengan air hangat ke perineum ).
6. Lepaskan kateter sesuai indikasi (biasanya 6-12 jam post
partum).
9. Kurangnya pemahaman mengenai perubahan fisiologi pada masa
pemulihan, perawatan diri dan kebutuhan perawatan bayi
berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Ibu mengerti tentang perawatan bayi
Kriteria hasil :
o Klien mampu mengungkapkan pemahaman tentang perubahan fisiologi
pada masa pemulihan, kebutuhan perawatan diri dan perawatan bayi.
Intervensi :
1. Berikan informasi tentang perubahan fisiologis dan psikologis
yang berkaitan dengan kelahiran SC.
2. Kaji pengetahuan dan motivasi klien untuk belajar.
3. Kaji tanda atau gejala yang perlu perhatian khusus (demam,

disuria dan peningkatan jumlah lokia ).


4. Berikan penyuluhan tertulis dengan menggunakan format yang
distandarisasi.
5. Perhatikan status psikologis dan respon terhadap SC serta
peran menjadi ibu.
6. Kaji ulang pemahaman klien tentang perawatan diri (perawatan
perineal, perawatan luka dan personal hygine).
7. Ajarkan cara perawatan bayi.
8. Berikan informasi tentang Keluarga Berencana dan keuntungan
beserta kerugiannya.
D. Pelaksaaan Keperawatan
Pelaksanaan keperawatan bertujuan untuk mengatasi masalah
keperawatan dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Didalam
pelaksanaannya terdapat tidak terlepas dari berbagai upaya upaya
lain dalam hal kolaborasi, memfasilitasi koping, kesemuanya itu
dilakukan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Tahapan pelaksanaan keperawatan antara lain :
1. Persiapan.
Perawat menyiapkan segala sesuatu yang perlu dalam tindakan
keperawatan, yaitu memahami tindakan keperawatan yang telah
diidentifikasikan pada tahap intervensi, menganalisa pengetahuan
dan ketermpilan yang diperlukan, memprediksi komplikasi yang
mungkin terjadi, menilai kelengkapan persyaratan dan menciptakan
lingkungan yang kondusif. Selain persiapan diatas, diperlukan
pula keterampilan untuk mengidentifikasi implikasi aspek hukum
dan kode etik yang mungkin muncul sebagai risiko dari kesalahan
tindakan.
2. Intervensi.
Tujuan intervensi keperawatan adalah untuk memenuhi
kebutuhan fisik dan emosional klien. Adapun sifat tindakan
keperawatan yaitu independen, interindependen dan dependen.
3. Dokumentasi.
Mendokumentasikan proses keperawatan secara lengkap dan
akurat adalah merupakan suatu prasyarat mutlak yang dituntut
dalam semua aspek asuhan keperawatan.

4. Evaluasi.
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan.
Tujuan evaluasi ialah menilai capaian Dx, intervensi keperawatan
dan mengevaluasi kesalahan yang terjadi selama pengkajian,
analisa, intervensi maupun pada tahap implementasi.

Bentuk evaluasi yang dilakukan dapat dalam bentuk :


A. Evaluasi Formatif
yaitu evaluasi setelah rencana keperawatan dilakukan untuk
membantu keefektifan tindakan yang dilakukan secara berkelanjutan
hingga tujuan tercapai.
B. Evaluasi Sumatif
adalah evaluasi yang dilakukan pada akhir tindakan
keperawatan secara obyektif, fleksibel dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito L. J, 2001, Diagnosa keperawatan, Jakarta : EGC
Doengoes, M E, 2000, Rencana Askep pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien, Jakarta : EGC
Mochtar, Rustam, 1998, Sinopsis Obstetri, Jakarta : EGC
Winkjosastro, Hanifa, 2005, Ilmu Kebidanan, Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo

Anda mungkin juga menyukai