1102014213
1. Memahami dan Menjelaskan Ginjal
1.1 Makroskopis
1. Ginjal
Ginjal terletak dibagian belakang (posterior) abdomen atas. Retroperitonium,
diliputi peritoneum pada permukaan depannya (kurang dari 2/3 bagian).
Ginjal terletak didepan dua costa terakhir (11 dan 12) dan tiga otot-otot
besar transversus abdominalis, quadratus lumborum dan psoas major.
Memiliki ukuran numeral yaitu 12 x 6 x 2 cm dengan berat sekitar 130 gram.
Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding
ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah
kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12),
sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12.
Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2
(kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah
pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa
ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.
Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:
a. Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari
korpus renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus
kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis.
1.2
Mikroskopis
1. Ginjal
Secara histologi ginjal terbungkus dalam kapsul atau simpai jaringan lemak
dan simpai jaringan ikat kolagen. Organ ini terdiri atas bagian korteks dan
medula yang satu sama lain tidak dibatasi oleh jaringan pembatas khusus,
ada bagian medula yang masuk ke korteks dan ada bagian korteks yang
masuk ke medula. Bangunan-bangunan yang terdapat pada korteks dan
medula ginjal adalah :
Korteks ginjal terdiri atas beberapa bangunan yaitu
a. Korpus Malphigi terdiri atas kapsula Bowman (bangunan
berbentuk cangkir) dan glomerulus (jumbai /gulungan kapiler).
b. Bagian sistem tubulus yaitu tubulus kontortus proksimalis
dan tubulus kontortus distal.
Medula ginjal terdiri atas beberapa bangunan yang merupakan bagian
sistim tubulus yaitu pars descendens dan descendens ansa Henle,
bagian tipis ansa Henle, duktus ekskretorius (duktus koligens) dan
duktus papilaris Bellini.
Korpus Malphigi
Apartus Juksta-Glomerular
Sel-sel otot polos dinding vasa aferent di dekat glomerulus berubah sifatnya
menjadi sel epiteloid. Sel-sel ini tampak terang dan di dalam sitoplasmanya
terdapat granula yang mengandung ensim renin, suatu ensim yang
diperlukan dalam mengontrol tekanan darah. Sel-sel ini dikenal sebagai sel
yuksta glomerular. Renin akan mengubah angiotensinogen (suatu
peptida yang dihasilkan oleh hati) menjadi angiotensin I. Selanjutnya
angiotensin I ini akan diubah menjadi angiotensin II oleh ensim
angiotensin converting enzyme(ACE) (dihasilkan oleh paru). Angiotensin
II akan mempengaruhi korteks adrenal (kelenjar anak ginjal) untuk
melepaskan hormon aldosteron. Hormon ini akan meningkatkan reabsorpsi
natrium dan klorida termasuk juga air di tubulus ginjal terutama di tubulus
kontortus distal dan mengakibatkan bertambahnya volume plasma.
Angiotensin II juga dapat bekerja langsung pada sel-sel tubulus ginjal untuk
meningkatkan reabsopsi natrium, klorida dan air. Di samping itu angiotensin
II juga bersifat vasokonstriktor yaitu menyebabkan kontriksinya dinding
pembuluh darah.
Sel-sel yuksta glomerular di sisi luar akan berhimpitan dengan sel-sel
makula densa, yang merupakan epitel dinding tubulus kontortus distal
yang berjalan berhimpitan dengan kutub vaskular. Pada bagian ini sel
dinding tubulus tersusun lebih padat daripada bagian lain. Sel-sel makula
densa ini sensitif terhadap perubahan konsentrasi ion natrium dalam cairan
di tubulus kontortus distal. Penurunan tekanan darah sistemik akan
menyebabkan menurunnya produksi filtrat glomerulus yang berakibat
menurunnya konsentrasi ion natrium di dalam cairan tubulus kontortus
distal. Menurunnya konsentrasi ion natrium dalam cairan tubulus kontortus
distal akan merangsang sel-sel makula densa (berfungsi sebagai
osmoreseptor) untuk memberikan sinyal kepada sel-sel yuksta glomerulus
agar mengeluarkan renin. Sel makula densa dan yuksta glomerular bersamasama membentuk aparatus yuksta-glomerular.
Di antara aparatus yuksta glomerular dan tempat keluarnya vasa eferen
glomerulus terdapat kelompokan sel kecil-kecil yang terang (Gb-6) disebut
sel mesangial ekstraglomerular atau sel polkisen (bantalan) atau
sel lacis. Fungsi sel-sel ini masih belum jelas, tetapi diduga sel-sel ini
berperan dalam mekanisma umpan balik tubuloglomerular. Perubahan
konsentrasi ion natrium pada makula densa akan memberi sinyal yang
secara langsung mengontrol aliran darah glomerular. Sel-sel mesangial
ekstraglomerular di duga berperan dalam penerusan sinyal di makula densa
ke sel-sel yuksta glomerular. Selain itu sel-sel ini menghasilkan hormon
eritropoetin, yaitu suatu hormon yang akan merangsang sintesa sel-sel
darah merah (eritrosit) di sumsum tulang.
Tubulus Ginjal (Nefron)
a. Tubulus Kontortus Proksimal
Tubulus kontortus proksimal berjalan berkelok-kelok dan berakhir sebagai
saluran yang lurus di medula ginjal (pars desendens Ansa Henle). Dindingnya
disusun oleh selapis sel kuboid dengan batas-batas yang sukar dilihat. Inti
sel bulat, bundar, biru dan biasanya terletak agak berjauhan satu sama lain.
Sitoplasmanya bewarna asidofili (kemerahan). Permukaan sel yang
menghadap ke lumen mempunyai paras sikat (brush border). Tubulus ini
terletak di korteks ginjal.
Fungsi tubulus kontortus proksimal adalah mengurangi isi filtrat glomerulus
80-85 persen dengan cara reabsorpsi via transport dan pompa natrium.
Glukosa, asam amino dan protein seperti bikarbonat, akan diresorpsi.
b. Ansa Henle
Ansa henle terbagi atas 3 bagian yaitu bagian tebal turun (pars
asendens), bagian tipis (segmen tipis) dan bagian tebal naik (pars
asendens). Segmen tebal turun mempunyai gambaran mirip dengan
tubulus kontortus proksimal, sedangkan segmen tebal naik mempunyai
gambaran mirip tubulus kontortus distal. Segmen tipis ansa henle
Di samping bagian korteks dan medula, pada ginjal ada juga bagian korteks
yang menjorok masuk ke dalam medula membentuk kolom mengisi celah di
antara piramid ginjal yang disebut sebagai kolumna renalis Bertini.
Sebaliknya ada juga jaringan medula yang menjorok masuk ke dalam daerah
korteks membentuk berkas-berkas yang disebut prosessus Fereni
Sawar Ginjal
Sawar ginjal adalah bangunan-bangunan yang memisahkan darah kapiler
glomerulus dari filtrat dalam rongga Bowman. Sawar ini terdiri atas endotel
kapiler bertingkap glomerulus, lamina basal dan pedikel podosit
yang dihubungkan dengan membran celah (slit membran). Sel podosit
adalah sel-sel epitel lapisan viseral kapsula Bowman. Sel-sel ini telah
mengalami perubahan sehingga berbentuk bintang. Selain badan sel sel-sel
ini mempunyai beberapa juluran (prosessus) mayor (primer) yang meluas
dari perikarion dengan cara seperti tentakel seekor gurita. Sebuah prosessus
primer mempunyai beberapa prosessus sekunder yang kecil atau pedikel.
Pedikel podosit yang berdekatan saling berselang-seling dalam susunan yang
rumit dengan sistem celah yang disebut celah filtrasi (Slit pores) di antara
pedikel. Pedikel-pedikel ini berhubungan dengan suatu membran tipis
disebut membran celah (Slit membran). Di bawah membran slit ini
terdapat membran basal sel-sel sel endotel kapiler glomerulus.
Guna sawar ginjal ini adalah untuk menyaring molekul-molekul yang boleh
melewati lapisan filtrasi tersebut dan molekul-molekul yang harus dicegah
agar tidak keluar dari tubuh. Molekul-molekul yang dikeluarkan dari tubuh
adalah molekul-molekul yang sudah tidak diperlukan oleh tubuh, sisa-sisa
metabolisma atau zat-zat yang toksik bagi tubuh. Molekul-molekul ini
selanjutnya akan dibuang dalam bentuk urin (air kemih). Proses filtrasi ini
tergantung kepada tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus.
Perdarahan Ginjal
2. Ureter
3. Vesica Urinaria
S
Tunika mukosa VU dilapisi oleh epitel
transisional dengan ketebalan 5-6 lapisan,
namun pada saat sel meregang menjadi 2-3
lapisan. Pada permukaan sel dapat ditemukan
sel payung. Tunika muskularisnya terdiri dari 3
lapisan otot yaitu bagian luar terdapat otot
polos tersusun secara longitudinal, bagian
tengan terdapat otot polos tersusun secara
sirkular dan bagian dalam tersusun otot polos
tersusun secara longitudinal.
4. Uretra
Uretra Wanita
Dilapisi oleh epiter berlapis gepeng dan terkadang ada yang dilapisi oleh
epitel bertingkat toraks. Ditengah-tengah uretra terdapat sfingter eksterna /
muscular bercorak.
Uretra Pria
Pada pars prostatica dilapisi oleh epitel transisional. Pada pars
membranaceae dilapisi oleh epitel bertingkat toraks. Pada pars spongiosa
umumnya dilapisi oleh epitel bertingkat torak namun diberbagai tempat
terdapat epitel berlapis gepeng.
1.3
Vaskularisasi
1. Perdarahan Ginjal
a. Medulla : dari Aorta abdominalis bercabang A.renalis sinistra dan dekstra
setinggi VL 1, masuk melalui hilum renalis menjadi A.segmentalis
(A.lobaris) lanjut menjadi A. interlobaris terus A.arquata lanjut lagi
menjadi A.interlobularis terus A.afferen dan selanjutnya masuk ke bagian
korteks renalis ke dalam glomerulus (capsula bowman), disini terjadi
filtrasi darah.
b. Korteks : A.efferen berhubungan dengan V.interlobularis bermuara ke
V.arcuata bermuara ke V.interlobaris bermuara ke V.lobaris (V.segmentalis)
bermuara ke V.renalis sinistra dan dekstra dan selanjutnya bermuara ke
V.cava inferior dan berakhir ke atrium dekstra.
Persarafan Ginjal
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan
simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major,
n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik
dan aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.
2. Perdarahan Ureter
Ureter atas mendapat perdarahan dari A.renalis sedangkan ureter bawah
mendapat perdarahan dari A.vesicalis inferior.
Persarafan Ureter
Persarafan ureter oleh plexus hypogastricus inferior T11 L2 melalui neuronneuron simpatis.
3. Perdarahan Vesica Urinaria
Berasal dari Aa.Vesicalis superior dan A.vesicalis inferior cabang dari A.iliaca
interna, sedangkan pembuluh baliknya melalui V.vesicalis menyatu
disekeliling VU membentuk plexus dan akan bermuara ke V.iliaca interna
Persarafan Vesica Urinaria
VU dipersarafi oleh cabang-cabang plexus hypogastricus inferior yaitu :
a. Serabut-serabut post ganglioner simpatis glandula para vertebralis L12
b.
c.
3. Sekresi tubulus
Perpindahan zat dari plasma kapiler menuju lumen. Volume urin manusia
hanya 1% dari filtrat glomerulus. Oleh karena itu, 99% filtrat glomerulus
akan direabsorbsi secara aktif pada tubulus kontortus proksimal dan terjadi
penambahan zat-zat sisa serta urea pada tubulus kontortus distal.
Substansi yang masih berguna seperti glukosa dan asam amino
dikembalikan ke darah. Sisa sampah kelebihan garam, dan bahan lain pada
filtrate dikeluarkan dalam urin. Tiap hari tabung ginjal mereabsorbsi lebih
dari 178 liter air, 1200 g garam, dan 150 g glukosa. Sebagian besar dari
zat-zat ini direabsorbsi beberapa kali (Sherwood.2001).
Setelah terjadi reabsorbsi maka tubulus akan menghasilkan urin sekunder
yang komposisinya sangat berbeda dengan urin primer. Pada urin sekunder,
zat-zat yang masih diperlukan tidak akan ditemukan lagi. Sebaliknya,
konsentrasi zat-zat sisa metabolisme yang bersifat racun bertambah,
misalnya ureum dari 0,03`, dalam urin primer dapat mencapai 2% dalam
urin sekunder. Meresapnya zat pada tubulus ini melalui dua cara. Gula dan
asam mino meresap melalui peristiwa difusi, sedangkan air melalui
peristiwa osn osis. Reabsorbsi air terjadi pada tubulus proksimal dan
tubulus distal (Sherwood.2001).
4. Augmentasi
Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai
terjadi di tubulus kontortus distal. Komposisi urin yang dikeluarkan lewat
ureter adalah 96% air, 1,5% garam, 2,5% urea, dan sisa substansi lain,
misalnya pigmen empedu yang berfungsi memberi warm dan bau pada
urin. Zat sisa metabolisme adalah hasil pembongkaran zat makanan yang
bermolekul kompleks. Zat sisa ini sudah tidak berguna lagi bagi tubuh. Sisa
metabolisme antara lain, CO2, H20, NHS, zat warna empedu, dan asam
urat. Karbon dioksida dan air merupakan sisa oksidasi atau sisa
pembakaran zat makanan yang berasal dari karbohidrat, lemak dan protein.
Kedua senyawa tersebut tidak berbahaya bila kadarnya tidak berlebihan.
Walaupun CO2 berupa zat sisa namun sebagian masih dapat dipakai
sebagai dapar (penjaga kestabilan PH) dalam darah. Demikian juga H2O
dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan, misalnya sebagai pelarut
(Sherwood.2006). Amonia (NH3), hasil pembongkaran/pemecahan protein,
merupakan zat yang beracun bagi sel. Oleh karena itu, zat ini harus
dikeluarkan dari tubuh. Namun demikian, jika untuk sementara disimpan
dalam tubuh zat tersebut akan dirombak menjadi zat yang kurang beracun,
yaitu dalam bentuk urea. Zat warna empedu adalah sisa hasil perombakan
sel darah merah yang dilaksanakan oleh hati dan disimpan pada kantong
empedu. Zat inilah yang akan dioksidasi jadi urobilinogen yang berguna
memberi warna pada tinja dan urin.Asam urat merupakan sisa metabolisme
yang mengandung nitrogen (sama dengan amonia) dan mempunyai daya
racun lebih rendah dibandingkan amonia, karena daya larutnya di dalam air
rendah (Sherwood.2006).
Komposisi. Urin terdiri dari 95% air dan mengandung zat terlarut sebagai
berikut:
1. Zat buangan nitrogen meliputi urea dari deaminasi protein, asam
urat dari katabolisme asam nukleat, dan kreatinin dari proses
penguraian kreatin fosfat dalam jaringan otot.
2. Asam hipurat adalah produk sampingan pencernaan sayuran dan
buah.
3. Badan keton yang dihasilkan dalam metabolisme lemak adalah
konstituen normal dalam jumlah kecil.
4. Elektrolit meliputi ion natrium, klor, kalium, amonium, sulfat, fosfat,
kalsium, dan magnesium.
5. Hormon atau metabolit hormon ada secara normal dalam urin.
6. Berbagai jenis toksin atau zat kimia asing, pigmen, vitamin, atau
enzim secara normal ditemukan dalam jumlah yang kecil.
k Mineral, Kationnya (Na, K, Ca, Mg). Ekskresi K naik pada kerusakan sel,
pemasukan yang berlebih dan alkalosis. Ekskresi ion K dan Na dikontrol
korteks adrenal
l
Sifat fisik
1. Warna. Urin encer biasanya kuning pucat dan kuning pekat jika kental.
Urine segar biasanya jernih dan menjadi keruh jika didiamkan.
2. Bau. Urin memiliki bau yang khas dan cenderung berbau amonia jika
didiamkan. Bau ini dapat bervariasi sesuai dengan diet; misalnya,
setelah makan asparagus. Pada diabetes yang tidak terkontrol, aseton
menghasilkan bau manis pada urin.
3. Asiditas atau alkalinitas. pH urin bervariasi antara 4,8 sampai 7,5
dan biasanya sekitar 6,0; tetapi juga bergantung pada diet. Ingesti
makanan yang berprotein tinggi akan meningkatkan asiditas,
sementara diet sayuran akan meningkatkan alkalinitas.
4. Berat jenis urin berkisar antar 1,001 sampai 1,035; bergantung pada
konsentrasi urin.
2.4 Peran Ginjal dlm Keseimbangan Cairan
Fungsi spesifik ginjal bertujuan mempertahankan cairan ekstrasel
(CES) yang konstan.
1. Mempertahankan imbangan air seluruh tubuh; mempertahankan
volume plasma yg tepat mll pengaturan ekskresi garam dan air
pengaturan tekanan darah jangka panjang.
2. Mengatur jumlah & kadar berbagai ion dalam CES, spt: ion Na +,
Cl-, K+. HCO3-. Ca2+. Mg2+, SO42-, PO43-, dan H+ mengatur
osmolalitas cairan tubuh.
3. Membantu mempertahankan imbangan
mengatur kadar ion H+ dan HCO3-
asam-basa
dengan
Etiologi
Sindrom nefrotik pada anak-anak sebagian besar
disebabkan karena primer atau idiopatik, meskipun ada sebagian
kecil kasus yang disebabkan oleh factor sekunder untuk agen
infeksius dan glomerulus lain dan penyakit sistemik. Etiologi
sindrom nefrotik tergantung pada usia penderita.
Sebagian besar kasus muncul dalam 3 bulan pertama
kehidupan disebut sindrom nefrotik sebagai bawaan (congenital
nephrotic syndrome) dan akibat penyakit genetik. Pada penderita
yang berusia satu tahun dan pada dekade pertama, sebagian
besar kasus disebabkan oleh sindrom nefrotik primer atau
idiopatik, sedangkan proporsi kasus sindrom nefrotik sekunder
meningkat melampaui 10 tahun pertama kehidupan.
Congenital Nephrotic Syndrome
Sindrom nefrotik muncul dalam 3 bulan pertama kehidupan
disebut sindrom nefrotik sebagai bawaan (SSP).
Sebagian besar kasus dalam kelompok usia ini adalah
karena penyebab genetic
Sebagian besar kejadian ini terjadi karena ada mutasi pada
gen encoding Nefrin, sebuah celah podosit protein
diafragma.
Dalam 3 bulan pertama kehidupan sindrom nefrotik dapat
terjadi karena sindrom multisistemik seperti sindrom
sindrom pierson, sindrom kuku-patela, sindrom DenysDrash, dan akibat dari infeksi bawaan seperti sifilis dan
sitomegalovirus
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Sumber :
Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H,
Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar
Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 381426
Sin drom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya
berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa
prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit
dibandingkan pada anak-anak.
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer
agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya
menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak
dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di
Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak
dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi.
2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit
sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti
misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema.
b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid,
racun serangga, bisa ular.
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus
sistemik, purpura Henoch-Schnlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma
:
tumor
paru,
penyakit
Hodgkin,
tumor
gastrointestinal.
c. Klasifikasi
3. Glomerulonefritis
difus (GNPMD)
proliferatif
mesangial
4. Glomerulonefritis
difus eksudatif
proliferatif
mesangial
6. Glomerulonefritis
(GNMP)
membrano-proliferatif
GNMP
tipe
intramembran
dengan
deposit
GNMP
tipe
III
dengan
transmembran/subepitelial
deposit
II
dkk
Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel
berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak
terdapat IgG pada dinding kapiler glomerulus.
b.
Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler
yang tersebar tanpa proliferasi sel. Prognosis kurang baik.
c.
Glomerulonefritis proliferatif
Glomerulonefritis proliferatif esudatif
difus. Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel
polimorfonukleus. Pembengkanan sitoplasma endotel yang
menyebabkan kapiler tersumbat.
Dengan penebalan batang lobular.
Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan
penebalan batang lobular.
Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang
menyerupai membran basalis di mesangium. Titer globulin
beta-IC atau beta-IA rendah. Prognosis buruk.
Proteinuri
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan kelainan dasar
SN yang merupakan penyebab utama terjadinya sindrom
nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui
benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya
muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel
kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan
negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif
tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus.
Proteinuri sebagian besar berasal dari kebocoran
glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil
berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan
integritas
membrana
basalis
glomerulus
menyebabkan
peningkatan permeabilitas membrane basalis kapiler-kapiler
glomerulus disertai peningkatan filtrasi protein plasma utama
yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Derajat proteinuri
tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan
glomerulus. Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70 kD
melalui membrana basalis glomerulus normalnya dibatasi oleh
charge selective barrier (suatu polyanionic glycosaminoglycan)
dan size selective barrier. Pada nefropati lesi minimal, proteinuri
disebabkan terutama oleh hilangnya charge selectivity
sedangkan pada nefropati membranosa disebabkan terutama
oleh hilangnya size selectivity.
Hipoalbuminemi
Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang
hebat. Akibat rendahnya kadar albumin serum menyebabkan
turunnya tekanan onkotik plasma dengan sehingga terjadi
ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstisial yang
menyebabkan edema. Berkurangnya volume intravaskuler
merangsang sekresi renin yang memicu sisim renin-angiotensin
dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urin
menjadi berkurang (oliguria), pekat, dan kadar natrium rendah.
Berikut
ini
adalah
penjelasan
lebih
lanjut
tentang
hipoalbuminemia :
Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar
menempati ruangan ekstra vascular(EV). Plasma terutama terdiri
dari albumin yang berat molekul 69.000.
urin
Hiperlipidemi
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low
density lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high
density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau
menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar
dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran
lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein
Lipiduri
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada
sedimen urin. Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein
melalui membrana basalis glomerulus yang permeabel.
Edema
Menurunnya tekanan osmotik menyebabkan edema generalisata
akibat cairan yang berpindah dari sistem vaskuler kedalam ruang
cairan ekstra seluler. Penurunan sirkulasi volume darah
mengaktifkan sistem imun angiotensin, menyebabkan retensi
natrium dan edema lebih lanjut.
Dahulu diduga edema disebabkan penurunan tekanan onkotik
plasma akibat hipoalbuminemi dan retensi natrium (teori
underfill).
Hipovolemi
menyebabkan
peningkatan
renin,
aldosteron, hormon antidiuretik dan katekolamin plasma serta
penurunan atrial natriuretic peptide (ANP). Pemberian infus
albumin akan meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju
filtrasi glomerulus dan ekskresi fraksional natrium klorida dan air
yang
menyebabkan
edema
berkurang.
Peneliti
lain
mengemukakan teori overfill. Bukti adanya ekspansi volume
adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma yang rendah serta
peningkatan
ANP.
Beberapa
penjelasan
berusaha
menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa
pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan
bahwa volume plasma menurun secara bermakna pada saat
pembentukan edema dan meningkat selama fase diuresis.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari
kapiler-kapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan
kejaringan interstisial, klinis dinamakan sembab. Penurunan
tekanan onkotik mungkin disertai penurunan volume plasma dan
hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan retensi natrium dan air.
Proteinuria
masih
menyebabkan
hipoalbuminemia
dan
penurunan tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan
akhirnya terjadi sembab.
Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III,
protein S, C dan plasminogen activating factor dalam urin dan
meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen,
peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel
serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).
Proteinuria > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari
pada anak-anak.
Hipoalbuminemia < 30 g/l.
Edema generalisata. Edema terutama jelas pada kaki, namun
dapat ditemukan edema muka, ascxites dan efusi pleura.
Anorexia
Fatique
Nyeri abdomen
Berat badan meningkat
Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia.
Hiperkoagualabilitas, yang akan meningkatkan resiko
trombosis vena dan arteri.
Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua
kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat
disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat
ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.
Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan
edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites
dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang
ditemukan
hipertensi
Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+),
dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah
didapatkan
hipoalbuminemia
(<
2,5
g/dl),
hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat,
dan
lipoprotein;
menurunnya
katabolisme
low-density
lipoproteins
(LDLs);
dan
menurunnya
terutama
HDL
Pemeriksaan Histopatologis
Gambaran histopatologi dari SNRS dapat berupa kelainan
minimal
(MCD),
mesangial
proliferatif
glomerulonefritis
(MesPGN), fokal segmental glomerulosklerosis (FSGS), ataupun
kelainan histopatologi lainnya. (Rachmadi, 2013)
Kelainan histopatologis berhubungan dengan respons sindrom
nefrotik terhadap pengobatan steroid karena sebagian besar SN
lesi minimal memberikan respons yang baik terhadap
pengobatan steroid, maka SN lesi minimal sering disamakan
dengan SN sensitif steroid, sedangkan sindrom nefrotik kelainan
non-minimal disamakan dengan SNRS. Respons terhadap
pengobatan steroid bisa menentukan prognosis fungsi ginjalnya.
Penderita SNSS umumnya tidak akan mengalami gangguan
fungsi ginjal di kemudian hari, sebaliknya anak- anak SNRS
dalam jangka panjang akan mengalami gangguan fungsi ginjal
sampai gagal ginjal terminal. (Rachmadi, 2013)
Pada pemeriksaan histopatologis ginjal pada penderita
SNRS dapat ditemukan berbagai pola morfologi yaitu lesi
minimal/minimal change disease dan lesi non-minimal seperti
proliferasi difus mesangial/diffuse mesangial proliferation, FSGS
(focal
segmental
glomerulosclerosis),
mesangioproliferatif
Diabetic Nephropathy
Focal Segmental Glomerulosclerosis
Glomerulonephritis, Chronic
Glomerulonephritis, Membranous
HIV Nephropathy
IgA Nephropathy
Light Chain-Associated Renal Disorders
Minimal-Change Disease
Nephritis, Radiation
Sickle Cell Nephropathy
g. Tatalaksana
Prinsip pengobatan
Patofisiologi
Pengobatan
1. Kerusakan glomerulus
Imunosupresif
Antikoagulan
Anti
agregasi
trombosit
Diit rendah protein
hewan
Infus salt poor human
albumin
2. Kehilangan protein
3.
Hipoalbuminemia
dan
penurunan tekanan onkotik
Diuretic spironolakton
Diuretik furosemid
Drainage
Ultrafiltrasi
Kambuh
Kambuh
sering
Kambuh sering
Responsif-steroid
Responder
lambat
Nonresponder
awal
Nonresponder
lambat
Penatalaksanaan sindrom nefrotik dapat dikelompkkan menjadi (Noer, et al,
2006)
Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg
BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis
terbagi setiap hari selama 3 minggu.
Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40
mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis
tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu,
prednison dihentikan.
Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg
BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis
terbagi setiap hari selama 3 minggu.
Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60
mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis
tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu,
dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m 2/48 jam
diberikan selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m 2/48
jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam
selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m 2/48 jam selama 6
minggu, kemudian prednison dihentikan.
Tatalaksana Terapeuti
Gangguan Kardiovaskular
Perkembangan penyakit kardiovaskular semakin diakui
sebagai komplikasi yang penting dari sindrom nefrotik pada
pasien dengan manifestasi klinis yang berkepanjangan. Faktor
risiko termasuk adanya hipertensi, hiperlipidemia, pengobatan
jangka panjang dengan steroid dan obat imunosupresif lainnya
(seperti siklosporin) yang dapat mengubah tingkat lipid serum,
stres oksidatif, dan hiperkoagulabilitas. Berdasarkan temuan ini,
pengobatan agresif hiperlipidemia kronis dan hipertensi pada
anak-anak dengan SRNS atau kursus klinis yang berkepanjangan
dianjurkan. (Gbadegesin and Smayer, 2008)
Respiratory Distress
Thromboembolism
Risiko fenomena tromboemboli pada anak-anak dengan
sindrom nefrotik diperkirakan 1,8% sampai 5%. Faktor-faktor
yang berkontribusi terhadap peningkatan risiko trombosis selama
sindrom nefrotik termasuk kelainan koagulasi cascade, seperti
peningkatan sintesis faktor pembekuan dalam hati (faktor I, II, V,
VII, VIII, X, dan XIII), dan hilangnya koagulasi inhibitor seperti
antitrombin III da lam urin. Biasanya merupakan thrombosis
vena. Tempat yang paling umum untuk trombosis vena dalam
adalah kaki, pembuluh darah ileofemoral, dan vena cava inferior.
Selain itu, penggunaan kateter vena sentral dapat lebih
meningkatkan risiko trombosis. Trombosis vena renalis (RVT) juga
dapat terjadi dan dapat bermanifestasi sebagai hematuria gross
dengan atau tanpa gagal ginjal akut. (Gbadegesin and Smayer,
2008)
(GHbadegesin, 2008)
i. Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai
berikut:
1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2
tahun atau di atas enam tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi
respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid,
tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse berulang dan
sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan
steroid. (Noer. et al, 2006)
3. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam ttg Urin dan Darah
Fikih Terhadap Urin
Hadits 10
Dari Anas bin Malik radiyallahu anhu-, dia berkata, Pernah datang
seorang arab Badui, lalu dia kencing di pojok masjid,
kemudian orang-orang menghardiknya, dan Rasulullah
menahan hardikan mereka. Ketika dia telah menyelesaikan
kencingnya, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam- pun
memerintahkan (untuk mengambil) seember air, lalu beliau
siramkan ke tempat itu (Muttafaqun Alaihi)
Faedah Hadits
alaihi
wa
sallam
untuk
Juga ada beberapa riwayat lainnya yang mendukung hal ini. Al Hasan
Al Bashri mengatakan,
Kaum muslimin (yaitu para sahabat) biasa mengerjakan shalat dalam
keadaan luka.
Dalam Muwatho disebutkan mengenai sebuah riwayat dari Miswar bin
Makhromah, ia menceritakan bahwa ia pernah menemui Umar bin Al
Khottob pada malam hari saat Umar ditusuk. Ketika tiba waktu
Shubuh, ia pun membangunkan Umar untuk shalat Shubuh. Umar
mengatakan,
Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.
Lalu Umar shalat dalam keadaan darah yang masih mengalir.[14]
Hal ini menunjukkan bahwa pendapat terkuat dalam masalah ini, darah
manusia itu suci baik sedikit maupun banyak. Namun kita tetap
menghormati pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa
darah itu najis. Wallahu alam bish showab.
di atas, yaitu tidak ada dalil yang menyatakan bahwa darah tersebut
najis. Maka kita kembali ke hukum asal bahwa segala sesuatu itu suci.
Ada riwayat dari Ibnu Masud yang menguatkan bahwa darah dari
hewan yang halal dimakan itu suci. Riwayat tersebut,