Anda di halaman 1dari 53

PUTRI JUSTICARICI N

1102014213
1. Memahami dan Menjelaskan Ginjal
1.1 Makroskopis
1. Ginjal
Ginjal terletak dibagian belakang (posterior) abdomen atas. Retroperitonium,
diliputi peritoneum pada permukaan depannya (kurang dari 2/3 bagian).
Ginjal terletak didepan dua costa terakhir (11 dan 12) dan tiga otot-otot
besar transversus abdominalis, quadratus lumborum dan psoas major.
Memiliki ukuran numeral yaitu 12 x 6 x 2 cm dengan berat sekitar 130 gram.

Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding
ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah
kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12),
sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12.
Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2
(kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah
pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa
ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.
Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:
a. Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari
korpus renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus
kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis.

b. Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari


tubulus rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus
colligent).
c. Columna renalis bertini, yaitu bagian korteks di antara pyramid
ginjal
d. Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke
arah korteks
e. Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah,
serabut saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.
f. Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus
pengumpul dan calix minor.
g. Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.
h. Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
i. Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang
menghubungkan antara calix major dan ureter.
j. Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.
Ginjal diliputi oleh suatu capsula cribosa tipis mengkilat yang berikatan
dengan jaringan dibawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari
permukaan ginjal yang disebut fascia renalis. Fascia renalisdibagi menjadi
dua yaitu lamina anterior dan lamina posterior. Kearah kiri dan kana bersatu
dengan fascia transversa abdominalis membentuk rongga yang diisi oleh
lemak yang disebut corpus adiposum. Ginjal juga memiliki selubung, yang
langsung membungkus ginjal disebut capsula fibrosa, sedangkan yang
membungkus lemak-lemak disebut capsula adipose.
Posisi ginjal dipertahankan oleh bantalan lemak yang tebal. Ginjal tidak jatuh
karena ada A.renalis yang berfungsi sebagai axis dari craniolateral ke
caudomedial. Di puncak atas ginjal terdapat topi yang disebut glandula
supra renalis, yang kanan berbentuk pyramid sedangkan kiri berbentuk
bulan sabit.
1. Ureter
Ureter adalah tabung/saluran yang mengalirkan urin dari ginjal ke vesica
urinaria. Merupakan lanjutan dari pelvis renalis, menuju distal dan bermuara
pada vesica urinaria. Memiliki panjang sekitar 25-30 cm. ureter terbagi atas
dua bagian yaitu Pars abdominalis (pada cavum abdominalis) dan Pars
pelvica (pada rongga panggul). Batas keduanya diambil suatu bidang yang
disebut aditus pelvis.

Pada pria ureter menyilang superficial di dekat ujungnya di dekat ductus


defferen, sedangkan pada wanita ureter lewat diatas fornix lateral vagina
namun di bawah ligamentum cardinal dan A.uterina.
2. Vesica Urinaria
Disebut juga bladder/kandung kemih, retroperitoneal karena hanya dilapisi
peritoneum pada bagian superiornya. Terletak pada region hypogastrica
(supra pubis).

Vesica Urinaria mempunyai 4 bagian, yaitu :


a. Apex vesicale, dihubungkan ke cranial oleh urachus sampai ke
umbilicus membentuk ligamentum vesico umbilicale mediale.
b. Corpus vesicae, antara apex dan fundus.
c. Fundus (basis) vesicae, sesuai dengan basis.
d. Cervix vesicae, sudut caudal mulai uretra dengan ostium uretra
internum.
Lapisan dalam vesica urinaria pada muara masuknya ureter terdapat plica
ureterica yang menonjol. Ketika VU ini kosong maka plica ini terbuka
sehingga urin dapat masuk dari ginjal melalui ureter, sedangkan ketika VU
penuh maka plica ini akan tertutup karena terdorong oleh urin sehingga urin
tidak akan naik ke atas ureter.
Membran mukosa VU pada waktu kosong membentuk lipatan yang sebagian
menghubungkan kedua ureter membentuk plica interureterica. Bila
dihubungkan dengan ostium uretra internum maka akan membentuk
segitiga yang disebut trigonum vesicae (litaudi). Lapisan otot VU terdiri
dari 3 otot polos membentuk trabekula yang disebut m.Destrusor vesicae
yang akan menebal di leher VU membentuk sfingter vesicae.
3. Uretra
Merupakan saluran keluar dari urin yang dieksresikan oleh tubuh melalui
ginjalm ureter, vesica urinary, mulai dari ujung bawah VU sampai ostium
uretra eksternum. Uretra pria lebih panjang daripada wanita karena pada
perjalanannya tidak sama dan beda alat-alat di panggul. Uretra pria
panjangnya sekitar 15-25 cm sedangkan wanita kurang lebih 4-5 cm.
Uretra pria dibagi atas :
a. Pars prostatica, uretra melalui prostat. Panjangnya sekitar 3cm.
b. Pars membranaceae, melalui trigonum urogenitalis. Panjangnya
sekitar 2 cm.
c. Pars spongiosa, berjalan di dalam corpus cavernosum uretra, dimulai
dari fossa intratubularis sampai dengan pelebaran uretra yang disebut
fossa terminalis (fossa naviculare uretra).

1.2
Mikroskopis
1. Ginjal
Secara histologi ginjal terbungkus dalam kapsul atau simpai jaringan lemak
dan simpai jaringan ikat kolagen. Organ ini terdiri atas bagian korteks dan
medula yang satu sama lain tidak dibatasi oleh jaringan pembatas khusus,
ada bagian medula yang masuk ke korteks dan ada bagian korteks yang
masuk ke medula. Bangunan-bangunan yang terdapat pada korteks dan
medula ginjal adalah :
Korteks ginjal terdiri atas beberapa bangunan yaitu
a. Korpus Malphigi terdiri atas kapsula Bowman (bangunan
berbentuk cangkir) dan glomerulus (jumbai /gulungan kapiler).
b. Bagian sistem tubulus yaitu tubulus kontortus proksimalis
dan tubulus kontortus distal.
Medula ginjal terdiri atas beberapa bangunan yang merupakan bagian
sistim tubulus yaitu pars descendens dan descendens ansa Henle,
bagian tipis ansa Henle, duktus ekskretorius (duktus koligens) dan
duktus papilaris Bellini.

Korpus Malphigi

Korpus Malphigi terdiri atas 2


macam bangunan yaitu
kapsul Bowman dan
glomerulus. Kapsul Bowman
sebenarnya merupakan
pelebaran ujung proksimal
saluran keluar ginjal (nefron)
yang dibatasi epitel. Bagian ini
diinvaginasi oleh jumbai
kapiler (glomerulus) sampai
mendapatkan bentuk seperti
cangkir yang berdinding
ganda. Dinding sebelah luar
disebut lapis parietal (pars
parietal) sedangkan dinding
dalam disebut lapis viseral
(pars viseralis) yang melekat erat pada jumbai glomerulus . Ruang
diantara ke dua lapisan ini sebut ruang Bowman yang berisi cairan
ultrafiltrasi. Dari ruang ini cairan ultra filtrasi akan masuk ke dalam tubulus
kontortus proksimal.
Glomerulus merupakan bangunan yang berbentuk khas, bundar dengan
warna yang lebih tua daripada sekitarnya karena sel-selnya tersusun lebih
padat. Glomerulus merupakan gulungan pembuluh kapiler. Glomerulus ini
akan diliputi oleh epitel pars viseralis kapsul Bowman. Di sebelah luar
terdapat ruang Bowman yang akan menampung cairan ultra filtrasi dan
meneruskannya ke tubulus kontortus proksimal. Ruang ini dibungkus oleh
epitel pars parietal kapsul Bowman.
Kapsul Bowman lapis parietal pada satu kutub bertautan dengan tubulus
kontortus proksimal yang membentuk kutub tubular, sedangkan pada
kutub yang berlawanan bertautan dengan arteriol yang masuk dan keluar
dari glomerulus. Kutub ini disebut kutub vaskular. Arteriol yang masuk
disebut vasa aferen yang kemudian bercabang-cabang lagi menjadi
sejumlah kapiler yang bergelung-gelung membentuk kapiler. Pembuluh
kapiler ini diliputi oleh sel-sel khusus yang disebut sel podosit yang
merupakan simpai Bowman lapis viseral. Sel podosit ini dapat dilihat dengan
mikroskop elektron. Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung lagi membentuk
arteriol yang selanjutnya keluar dari glomerulus dan disebut vasa eferen,
yang berupa sebuah arteriol.

Apartus Juksta-Glomerular
Sel-sel otot polos dinding vasa aferent di dekat glomerulus berubah sifatnya
menjadi sel epiteloid. Sel-sel ini tampak terang dan di dalam sitoplasmanya
terdapat granula yang mengandung ensim renin, suatu ensim yang
diperlukan dalam mengontrol tekanan darah. Sel-sel ini dikenal sebagai sel
yuksta glomerular. Renin akan mengubah angiotensinogen (suatu
peptida yang dihasilkan oleh hati) menjadi angiotensin I. Selanjutnya
angiotensin I ini akan diubah menjadi angiotensin II oleh ensim
angiotensin converting enzyme(ACE) (dihasilkan oleh paru). Angiotensin
II akan mempengaruhi korteks adrenal (kelenjar anak ginjal) untuk
melepaskan hormon aldosteron. Hormon ini akan meningkatkan reabsorpsi
natrium dan klorida termasuk juga air di tubulus ginjal terutama di tubulus
kontortus distal dan mengakibatkan bertambahnya volume plasma.
Angiotensin II juga dapat bekerja langsung pada sel-sel tubulus ginjal untuk
meningkatkan reabsopsi natrium, klorida dan air. Di samping itu angiotensin
II juga bersifat vasokonstriktor yaitu menyebabkan kontriksinya dinding
pembuluh darah.
Sel-sel yuksta glomerular di sisi luar akan berhimpitan dengan sel-sel
makula densa, yang merupakan epitel dinding tubulus kontortus distal
yang berjalan berhimpitan dengan kutub vaskular. Pada bagian ini sel
dinding tubulus tersusun lebih padat daripada bagian lain. Sel-sel makula
densa ini sensitif terhadap perubahan konsentrasi ion natrium dalam cairan
di tubulus kontortus distal. Penurunan tekanan darah sistemik akan
menyebabkan menurunnya produksi filtrat glomerulus yang berakibat
menurunnya konsentrasi ion natrium di dalam cairan tubulus kontortus
distal. Menurunnya konsentrasi ion natrium dalam cairan tubulus kontortus
distal akan merangsang sel-sel makula densa (berfungsi sebagai
osmoreseptor) untuk memberikan sinyal kepada sel-sel yuksta glomerulus

agar mengeluarkan renin. Sel makula densa dan yuksta glomerular bersamasama membentuk aparatus yuksta-glomerular.
Di antara aparatus yuksta glomerular dan tempat keluarnya vasa eferen
glomerulus terdapat kelompokan sel kecil-kecil yang terang (Gb-6) disebut
sel mesangial ekstraglomerular atau sel polkisen (bantalan) atau
sel lacis. Fungsi sel-sel ini masih belum jelas, tetapi diduga sel-sel ini
berperan dalam mekanisma umpan balik tubuloglomerular. Perubahan
konsentrasi ion natrium pada makula densa akan memberi sinyal yang
secara langsung mengontrol aliran darah glomerular. Sel-sel mesangial
ekstraglomerular di duga berperan dalam penerusan sinyal di makula densa
ke sel-sel yuksta glomerular. Selain itu sel-sel ini menghasilkan hormon
eritropoetin, yaitu suatu hormon yang akan merangsang sintesa sel-sel
darah merah (eritrosit) di sumsum tulang.
Tubulus Ginjal (Nefron)
a. Tubulus Kontortus Proksimal
Tubulus kontortus proksimal berjalan berkelok-kelok dan berakhir sebagai
saluran yang lurus di medula ginjal (pars desendens Ansa Henle). Dindingnya
disusun oleh selapis sel kuboid dengan batas-batas yang sukar dilihat. Inti
sel bulat, bundar, biru dan biasanya terletak agak berjauhan satu sama lain.
Sitoplasmanya bewarna asidofili (kemerahan). Permukaan sel yang
menghadap ke lumen mempunyai paras sikat (brush border). Tubulus ini
terletak di korteks ginjal.
Fungsi tubulus kontortus proksimal adalah mengurangi isi filtrat glomerulus
80-85 persen dengan cara reabsorpsi via transport dan pompa natrium.
Glukosa, asam amino dan protein seperti bikarbonat, akan diresorpsi.

b. Ansa Henle
Ansa henle terbagi atas 3 bagian yaitu bagian tebal turun (pars
asendens), bagian tipis (segmen tipis) dan bagian tebal naik (pars
asendens). Segmen tebal turun mempunyai gambaran mirip dengan
tubulus kontortus proksimal, sedangkan segmen tebal naik mempunyai
gambaran mirip tubulus kontortus distal. Segmen tipis ansa henle

mempunyai tampilan mirip pembuluh kapiler darah, tetapi epitelnya


sekalipun hanya terdiri atas selapis sel gepeng, sedikit lebih tebal sehingga
sitoplasmanya lebih jelas terlihat. Selain itu lumennya tampak kosong. Ansa
henle terletak di medula ginjal. Fungsi ansa henle adalah untuk memekatkan
atau mengencerkan urin.

c. Tubulus kontortus distal

Tubulus kontortus distal berjalan berkelok-kelok. Dindingnya disusun oleh


selapis sel kuboid dengan batas antar sel yang lebih jelas dibandingkan
tubulus kontortus proksimal. Inti sel bundar dan bewarna biru. Jarak antar inti
sel berdekatan. Sitoplasma sel bewarna basofil (kebiruan) dan permukaan sel
yang mengahadap lumen tidak mempunyai paras sikat. Bagian ini terletak di
korteks ginjal. Fungsi bagian ini juga berperan dalam pemekatan urin.
d. Duktus koligen
Saluran ini terletak di dalam medula dan mempunyai gambaran mirip
tubulus kontortus distal tetapi dinding sel epitelnya jauh lebih jelas, selnya
lebih tinggi dan lebih pucat. Duktus koligen tidak termasuk ke dalam nefron.
Di bagian medula yang lebih ke tengah beberapa duktus koligen akan
bersatu membentuk duktus yang lebih besar yang bermuara ke apeks
papila. Saluran ini disebut duktus papilaris (Bellini). Muara ke permukaan
papil sangat besar, banyak dan rapat sehingga papil tampak seperti sebuah
tapisan (area kribrosa). Fungsi duktus koligen adalah menyalurkan kemih
dari nefron ke pelvis ureter dengan sedikit absorpsi air yang dipengaruhi
oleh hormon antidiuretik (ADH).

Di samping bagian korteks dan medula, pada ginjal ada juga bagian korteks
yang menjorok masuk ke dalam medula membentuk kolom mengisi celah di
antara piramid ginjal yang disebut sebagai kolumna renalis Bertini.
Sebaliknya ada juga jaringan medula yang menjorok masuk ke dalam daerah
korteks membentuk berkas-berkas yang disebut prosessus Fereni

Sawar Ginjal
Sawar ginjal adalah bangunan-bangunan yang memisahkan darah kapiler
glomerulus dari filtrat dalam rongga Bowman. Sawar ini terdiri atas endotel
kapiler bertingkap glomerulus, lamina basal dan pedikel podosit
yang dihubungkan dengan membran celah (slit membran). Sel podosit
adalah sel-sel epitel lapisan viseral kapsula Bowman. Sel-sel ini telah
mengalami perubahan sehingga berbentuk bintang. Selain badan sel sel-sel
ini mempunyai beberapa juluran (prosessus) mayor (primer) yang meluas
dari perikarion dengan cara seperti tentakel seekor gurita. Sebuah prosessus
primer mempunyai beberapa prosessus sekunder yang kecil atau pedikel.
Pedikel podosit yang berdekatan saling berselang-seling dalam susunan yang
rumit dengan sistem celah yang disebut celah filtrasi (Slit pores) di antara
pedikel. Pedikel-pedikel ini berhubungan dengan suatu membran tipis
disebut membran celah (Slit membran). Di bawah membran slit ini
terdapat membran basal sel-sel sel endotel kapiler glomerulus.
Guna sawar ginjal ini adalah untuk menyaring molekul-molekul yang boleh
melewati lapisan filtrasi tersebut dan molekul-molekul yang harus dicegah

agar tidak keluar dari tubuh. Molekul-molekul yang dikeluarkan dari tubuh
adalah molekul-molekul yang sudah tidak diperlukan oleh tubuh, sisa-sisa
metabolisma atau zat-zat yang toksik bagi tubuh. Molekul-molekul ini
selanjutnya akan dibuang dalam bentuk urin (air kemih). Proses filtrasi ini
tergantung kepada tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus.
Perdarahan Ginjal

2. Ureter

Dinding saluran urinarius berstruktur sama yaitu terdapat tunika mukosa,


tunika muscular dan tunika adventitia. Tunika mukosa terdiri dari epitel
transisional dan tunika muscularis terdiri dari dua lapis oto yang berslingan.
Tunika mukosa pada ureter terlipat kedalam. Pada tunika muscularisnya
terdapat 2 lapisan otot yaitu bagian luar otot polos tersusun sirkuler dan
bagian dalam otot polos tersusun longitudinal. Dan lapisan terakhir terdapat
tunika adventitia.

3. Vesica Urinaria

S
Tunika mukosa VU dilapisi oleh epitel
transisional dengan ketebalan 5-6 lapisan,
namun pada saat sel meregang menjadi 2-3
lapisan. Pada permukaan sel dapat ditemukan
sel payung. Tunika muskularisnya terdiri dari 3
lapisan otot yaitu bagian luar terdapat otot
polos tersusun secara longitudinal, bagian
tengan terdapat otot polos tersusun secara
sirkular dan bagian dalam tersusun otot polos
tersusun secara longitudinal.

4. Uretra
Uretra Wanita
Dilapisi oleh epiter berlapis gepeng dan terkadang ada yang dilapisi oleh
epitel bertingkat toraks. Ditengah-tengah uretra terdapat sfingter eksterna /
muscular bercorak.
Uretra Pria
Pada pars prostatica dilapisi oleh epitel transisional. Pada pars
membranaceae dilapisi oleh epitel bertingkat toraks. Pada pars spongiosa
umumnya dilapisi oleh epitel bertingkat torak namun diberbagai tempat
terdapat epitel berlapis gepeng.

1.3
Vaskularisasi
1. Perdarahan Ginjal
a. Medulla : dari Aorta abdominalis bercabang A.renalis sinistra dan dekstra
setinggi VL 1, masuk melalui hilum renalis menjadi A.segmentalis
(A.lobaris) lanjut menjadi A. interlobaris terus A.arquata lanjut lagi
menjadi A.interlobularis terus A.afferen dan selanjutnya masuk ke bagian
korteks renalis ke dalam glomerulus (capsula bowman), disini terjadi
filtrasi darah.
b. Korteks : A.efferen berhubungan dengan V.interlobularis bermuara ke
V.arcuata bermuara ke V.interlobaris bermuara ke V.lobaris (V.segmentalis)
bermuara ke V.renalis sinistra dan dekstra dan selanjutnya bermuara ke
V.cava inferior dan berakhir ke atrium dekstra.
Persarafan Ginjal
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan
simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major,
n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik
dan aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.
2. Perdarahan Ureter
Ureter atas mendapat perdarahan dari A.renalis sedangkan ureter bawah
mendapat perdarahan dari A.vesicalis inferior.
Persarafan Ureter
Persarafan ureter oleh plexus hypogastricus inferior T11 L2 melalui neuronneuron simpatis.
3. Perdarahan Vesica Urinaria
Berasal dari Aa.Vesicalis superior dan A.vesicalis inferior cabang dari A.iliaca
interna, sedangkan pembuluh baliknya melalui V.vesicalis menyatu
disekeliling VU membentuk plexus dan akan bermuara ke V.iliaca interna
Persarafan Vesica Urinaria
VU dipersarafi oleh cabang-cabang plexus hypogastricus inferior yaitu :
a. Serabut-serabut post ganglioner simpatis glandula para vertebralis L12

b. Serabut-serabut preganglioner parasimpatis N.S2,3,4 melalui


N.splancnicus dan plexus hypogastricus inferior mencapai dinding
vesica urinaria.
2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Ginjal
2.1 Filtrasi, Reabsorbsi, Sekresi
2.2 Laju Filtrasi Glomerulus
Laju filtrasi glomerulus (GFR= Glomerulus Filtration Rate) dapat
diukur dengan menggunakan zat-zat yang dapat difiltrasi glomerulus, akan
tetapi tidak disekresi maupu direabsorpsi oleh tubulus. Kemudian jumlah zat
yang terdapat dalam urin diukur persatuan waktu dan dibandingkan dengan
jumlah zat yang terdapat dalam cairan plasma.
Faktor yang mempengaruhi LFG :
LFG = Kf x (PKG + KpB) (PKpB + KG)
Kf = koefisien filtrasi = permeabilitas x luas permukaan filtrasi
PKG

= tekanan hidrostatik kapiler glomerulus

PKpB = tekanan hidrostatik kapsula Bowman


KpB = tekanan onkotik di kapsula Bowman = 0
KG = tekanan onkotik kapiler glomerulus
a.

Keadaan normal Kf jarang berubah berubah dalam keadaan


patologis. Dapat berubah karena kontraksi atau relaksasi sel mesangial
yang terdapat antara ansa-ansa kapiler glomerulus.

b.

Kontraksi mengurangi permukaan kapiler dan dilatasi menambah


luas permukaan glomerulus.

c.

Radang glomerulus dapat merusak glomerulus tidak berfungsi


mengurangi luas permukaan filtrasi.

(PKG - PKpB - KG) = tekanan filtrasi bersih


Pengaturan GFR (Glomerulus Filtration Rate)
Rata-rata GFR normal pada laki-laki sekitar 125 ml/menit. GFR pada wnita
lebih rendah dibandingkan pada pria. Factor-faktor yang mempengaruhi

besarnya GFR antara lain ukuran anyaman kapiler, permiabilitas kapiler,


tekanan hidrostatik, dan tekanan osmotik yang terdapat di dalam atau diluar
lumen kapiler. Proses terjadinya filtrasi tersebut dipengaruhi oleh adanya
berbagai tekanan sebagai berikut:
a. Tekanan kapiler pada glomerulus 50 mmHg
b. Tekanan pada capsula bowman 10 mmHg
c. Tekanan osmotic koloid plasma 25 mmHG
Ketiga faktor diatas berperan penting dalam laju peningkatan filtrasi.
Semakin tinggi tekanan kapiler pada glomerulus semakin meningkat filtrasi
dan sebaliknya semakin tinggi tekanan pada capsula bowman. serta tekanan
osmotic koloid plasma akan menyebabkan semakin rendahnya filtrasi yang
terjadi pada glomerulus.
Komposisi Filtrat Glomerulus
Dalam cairan filtrate tidak ditemukan erytrocit, sedikit mengandung protein
(1/200 protein plasma). Jumlah elektrolit dan zat-zat terlarut lainya sama
dengan yang terdapat dalam cairan interstitisl pada umunya. Dengan
demikian komposisi cairan filtrate glomerulus hampir sama dengan plasma
kecuali jumlah protein yang terlarut. Sekitar 99% cairan filtrate tersebut
direabsorpsi kembali ke dalam tubulus ginjal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju filtrasi glomerulus sebagai berikut:
a. Tekanan glomerulus: semakin tinggi tekanan glomerulus semakin tinggi laju
filtrasi, semakin tinggi tekanan osmotic koloid plasmasemakin menurun laju
filtrasi, dan semakin tinggi tekanan capsula bowman semakin menurun laju
filtrasi.
b. Aliran dara ginjal: semakin cepat aliran daran ke glomerulus semakin
meningkat laju filtrasi.
c. Perubahan arteriol aferen: apabial terjadi vasokontriksi arteriol aferen akan
menyebabakan aliran darah ke glomerulus menurun. Keadaan ini akan
menyebabakan laju filtrasi glomerulus menurun begitupun sebaliknya.
d. Perubahan arteriol efferent: pada kedaan vasokontriksi arteriol eferen akan
terjadi peningkatan laju filtrasi glomerulus begitupun sebaliknya
e. Pengaruh perangsangan simpatis, rangsangan simpatis ringan dan sedang
akan menyebabkan vasokontriksi arteriol aferen sehingga menyebabkan
penurunan laju filtrasi glomerulus.
f. Perubahan tekanan arteri, peningkatan tekanan arteri melalui autoregulasi
akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah arteriol aferen sehinnga
menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus.

2.3 Pembentukan Urin


Empat proses utama pembentukan urin:
1. Filtrasi glomerulus
Proses penyaringan besar-besaran plasma (hampir bebas protein) dari kapiler
glomerulus ke dalam kapsula bowman. Filtrasi darah terjadi di glomerulus,
dimana jaringan kapiler dengan struktur spesifik dibuat untuk menahan
komonen selular dan medium-molekular-protein besar kedalam vascular
system, menekan cairan yang identik dengan plasma di elektrolitnya dan
komposisi air. Cairan ini disebut filtrate glomerular. Tumpukan glomerulus
tersusun dari jaringan kapiler. Di mamalia, arteri renal terkirim dari arteriol
afferent dan melanjut sebagai arteriol eferen yang meninggalkan
glomrerulus. Tumpukan glomerulus dibungkus didalam lapisan sel epithelium
yang disebut kapsula bowman. Area antara glomerulus dan kapsula bowman
disebut bowman space dan merupakan bagian yang mengumpulkan filtrate
glomerular, yang menyalurkan ke segmen pertama dari tubulus proksimal.
Struktur kapiler glomerular terdiri atas 3 lapisan yaitu : endothelium capiler,
membrane dasar, epiutelium visceral. Endothelium kapiler terdiri satu
lapisan sel yang perpanjangan sitoplasmik yang ditembus oleh jendela atau
fenestrate (Guyton.2008).
Dinding kapiler glomerular membuat rintangan untuk pergerakan air dan
solute menyebrangi kapiler glomerular. Tekanan hidrostatik darah didalam
kapiler dan tekanan oncotik dari cairan di dalam bowman space merupakan
kekuatn untuk proses filtrasi. Normalnya tekanan onkotik di bowman space
tidak ada karena molekul protein yang medium-besar tidak tersaring.
Rintangan untuk filtrasi ( filtration barrier ) bersifat selektif permeable.
Normalnya komponen seluler dan protein plasmatetap didalam darah,
sedangkan air dan larutan akan bebas tersaring (Guyton.2008).
Pada umunya molekul dengan raidus 4nm atau lebih tidak tersaring,
sebaliknya molekul 2 nm atau kurang akan tersaring tanpa batasan.
Bagaimanapun karakteristik juga mempengaruhi kemampuan dari komponen
darah untuk menyebrangi filtrasi. Selain itu beban listirk (electric charged )
dari sretiap molekul juga mempengaruhi filtrasi. Kation ( positive ) lebih
mudah tersaring dari pada anionBahan-bahan kecil yang dapat terlarut
dalam plasma, seperti glukosa, asam amino, natrium, kalium, klorida,
bikarbonat, garam lain, dan urea melewati saringan dan menjadi bagian dari
endapan.Hasil penyaringan di glomerulus berupa filtrat glomerulus (urin
primer) yang komposisinya serupa dengan darah tetapi tidak mengandung
protein (Guyton.2008).
2. Reabsorpsi tubulus

Perpindahan zat dari lumen tubulus menuju plasma kapiler peritubulus.


Tubulus proksimal bertanggung jawab terhadap reabsorbsi bagian terbesar
dari filtered solute. Kecepatan dan kemampuan reabsorbsi dan sekresi dari
tubulus renal tiak sama. Pada umumnya pada tubulus proksimal
bertanggung jawab untuk mereabsorbsi ultrafiltrate lebih luas dari tubulus
yang lain. Paling tidak 60% kandungan yang tersaring di reabsorbsi
sebelum cairan meninggalkan tubulus proksimal. Tubulus proksimal
tersusun dan mempunyai hubungan dengan kapiler peritubular yang
memfasilitasi pergherakan dari komponen cairan tubulus melalui 2 jalur :
jalur transeluler dan jalur paraseluler. Jalur transeluler, kandungan
( substance ) dibawa oleh sel dari cairn tubulus melewati epical membrane
plasma dan dilepaskan ke cairan interstisial dibagian darah darisel,
melewati
basolateral
membrane
plasma.
Jalur paraseluler, kandungan yang tereabsorbsi melewati jalur paraseluler
bergerakdari vcairan tubulus menuju zonula ocludens yang merupakan
struktur permeable yang mendempet sel tubulus proksimal satu daln
lainnya. Paraselluler transport terjadi dari difusi pasif. Di tubulus proksimal
terjadi transport Na melalui Na, K pump. Di kondisi optimal, Na, K, ATPase
pump manekan tiga ion Na kedalam cairan interstisial dan mengeluarkan 2
ion K ke sel, sehingga konsentrasi Na di sel berkurang dan konsentrasi K di
sel bertambah. Selanjutnya disebelah luar difusi K melalui canal K membuat
sel polar. Jadi interior sel bersifat negative . pergerakan Na melewati sel
apical difasilitasi spesifik transporters yang berada di membrane.
Pergerakan Na melewati transporter ini berpasangan dengan larutan
lainnya dalam satu pimpinan sebagai Na ( contransport ) atau berlawanan
pimpinan ( countertransport ) (sherwood, 2006).
Substansi diangkut dari tubulus proksimal ke sel melalui mekanisme ini
( secondary active transport ) termasuk gluukosa, asam amino, fosfat,
sulfat, dan organic anion. Pengambilan active substansi ini menambah
konsentrasi intraseluler dan membuat substansi melewati membrane

plasma basolateral dan kedarah melalui pasif atau difusi terfasilitasi.


Reabsorbsi dari bikarbonat oleh tubulus proksimal juga di pengaruhi
gradient Na (Sherwood, 2006)
Hampir 99% dari cairan filtrate direabsorpsi kembali bersama zat-zat yang
terlarut didalam cairan filtrate tersebut. Akan tetapi tidak semua zat-zat
yang terlarut dapat direabsorpsi dengan sempurna, antara lain glukosa dan
asam amino. Mekanisme terjadinya reabsorpsi pada tubulus melalui dua
cara yaitu:
a. Transfort aktif
Zat-zat yang mengalami transfort aktif pada tubulus proksimal yaitu ion
Na+, K+, PO4-, NO3-, glukosa dan asam amino. Terjadinya difusi ion-ion
khususnya ion Na+, melalui sel tubulus kedalam pembuluh kapiler
peritubuler disebabkan perbedaan ptensial listrik didalam ep-itel tubulus
(-70mvolt) dan diluar sel (-3m volt). Perbedaan electrochemical gradient
ini membentu terjadinya proses difusi. Selain itu perbedaan konsentrasi
ion Na+ didalam dan diluar sel tubulus membantu meningkatkan proses
difusi tersebut. Meningkatnya difusi natrium diesbabkan permiabilitas sel
tubuler terhadap ion natrium relative tinggi. Keadaan ini dimungkinkan
karena terdapat banyak mikrovilli yang memperluas permukaan tubulus.
Proses ini memerlukan energi dan dapat berlangsung terus-menerus.
b. Transfor pasif
Terjadinya transport pasif ditentukan oleh jumlah konsentrasi air yang
ada pada lumen tubulus, permiabilitas membrane tubulus terhadap zat
yang terlarut dalam cairan filtrate dan perbedaan muatan listrikpada
dinding sel tubulus. Zat yang mengalami transfor pasif, misalnya ureum,
sedangkan air keluar dari lumen tubulusmelalui prosese osmosis.
Perbedan potensial listrik didalam lumen tubulus dibandingkan diluar
lumen tubulus menyebabkan terjadinya proses dipusi ion Na+ dari lumen
tubulus kedalam sel epitel tubulus dan selanjutnya menuju kedalam sel
peritubulus. Bersamaan dengan perpindahan ion Na+ diikuti pula
terbawanya ion Cl-, HCO3- kedalam kapiler peritubuler. Kecepatan
reabsorsi ini ditentukan pula oleh perbedaan potensial listrik yang
terdapat didalam dan diluar lumen tubulus. Untuk menjelaskan proses
diatas dapat dilihat pada gambar 1.3 dibawah ini:
Sedangkan sekresi tubulus melalui proses: sekresi aktif dan sekresi pasif.
Sekresi aktif merupakan kebalikan dari transpor aktif. Dalam proses ini
terjadi sekresi dari kapiler peritubuler kelumen tubulus. Sedangkan
sekresi pasif melalui proses difusi. Ion NH3- yang disintesa dalam sel
tubulus selanjutnya masuk kedalam lumen tubulus melalui proses difusi.
Dengan masuknya ion NH3- kedalam lumen tubulus akan membantu
mengatur tingkat keasaman cairan tubulus. Kemampuan reabsorpsi dan
sekresi zat-zat dalam berbagai segmen tubulus berbeda-beda.

3. Sekresi tubulus
Perpindahan zat dari plasma kapiler menuju lumen. Volume urin manusia
hanya 1% dari filtrat glomerulus. Oleh karena itu, 99% filtrat glomerulus
akan direabsorbsi secara aktif pada tubulus kontortus proksimal dan terjadi
penambahan zat-zat sisa serta urea pada tubulus kontortus distal.
Substansi yang masih berguna seperti glukosa dan asam amino
dikembalikan ke darah. Sisa sampah kelebihan garam, dan bahan lain pada
filtrate dikeluarkan dalam urin. Tiap hari tabung ginjal mereabsorbsi lebih
dari 178 liter air, 1200 g garam, dan 150 g glukosa. Sebagian besar dari
zat-zat ini direabsorbsi beberapa kali (Sherwood.2001).
Setelah terjadi reabsorbsi maka tubulus akan menghasilkan urin sekunder
yang komposisinya sangat berbeda dengan urin primer. Pada urin sekunder,
zat-zat yang masih diperlukan tidak akan ditemukan lagi. Sebaliknya,
konsentrasi zat-zat sisa metabolisme yang bersifat racun bertambah,
misalnya ureum dari 0,03`, dalam urin primer dapat mencapai 2% dalam
urin sekunder. Meresapnya zat pada tubulus ini melalui dua cara. Gula dan
asam mino meresap melalui peristiwa difusi, sedangkan air melalui
peristiwa osn osis. Reabsorbsi air terjadi pada tubulus proksimal dan
tubulus distal (Sherwood.2001).
4. Augmentasi
Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai
terjadi di tubulus kontortus distal. Komposisi urin yang dikeluarkan lewat
ureter adalah 96% air, 1,5% garam, 2,5% urea, dan sisa substansi lain,
misalnya pigmen empedu yang berfungsi memberi warm dan bau pada
urin. Zat sisa metabolisme adalah hasil pembongkaran zat makanan yang
bermolekul kompleks. Zat sisa ini sudah tidak berguna lagi bagi tubuh. Sisa
metabolisme antara lain, CO2, H20, NHS, zat warna empedu, dan asam
urat. Karbon dioksida dan air merupakan sisa oksidasi atau sisa
pembakaran zat makanan yang berasal dari karbohidrat, lemak dan protein.
Kedua senyawa tersebut tidak berbahaya bila kadarnya tidak berlebihan.
Walaupun CO2 berupa zat sisa namun sebagian masih dapat dipakai
sebagai dapar (penjaga kestabilan PH) dalam darah. Demikian juga H2O
dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan, misalnya sebagai pelarut
(Sherwood.2006). Amonia (NH3), hasil pembongkaran/pemecahan protein,
merupakan zat yang beracun bagi sel. Oleh karena itu, zat ini harus
dikeluarkan dari tubuh. Namun demikian, jika untuk sementara disimpan
dalam tubuh zat tersebut akan dirombak menjadi zat yang kurang beracun,
yaitu dalam bentuk urea. Zat warna empedu adalah sisa hasil perombakan
sel darah merah yang dilaksanakan oleh hati dan disimpan pada kantong
empedu. Zat inilah yang akan dioksidasi jadi urobilinogen yang berguna
memberi warna pada tinja dan urin.Asam urat merupakan sisa metabolisme
yang mengandung nitrogen (sama dengan amonia) dan mempunyai daya

racun lebih rendah dibandingkan amonia, karena daya larutnya di dalam air
rendah (Sherwood.2006).

Komposisi. Urin terdiri dari 95% air dan mengandung zat terlarut sebagai
berikut:
1. Zat buangan nitrogen meliputi urea dari deaminasi protein, asam
urat dari katabolisme asam nukleat, dan kreatinin dari proses
penguraian kreatin fosfat dalam jaringan otot.
2. Asam hipurat adalah produk sampingan pencernaan sayuran dan
buah.
3. Badan keton yang dihasilkan dalam metabolisme lemak adalah
konstituen normal dalam jumlah kecil.
4. Elektrolit meliputi ion natrium, klor, kalium, amonium, sulfat, fosfat,
kalsium, dan magnesium.
5. Hormon atau metabolit hormon ada secara normal dalam urin.
6. Berbagai jenis toksin atau zat kimia asing, pigmen, vitamin, atau
enzim secara normal ditemukan dalam jumlah yang kecil.

7. Konstituen abnormal meliputi albumin, glukosa, sel darah merah,


sejumlah besar badan keton, zat kapur (terbentuk saat zat mengeras
dalam tubulus dan dikeluarkan), dan batu ginjal atau kalkuli.
Zat normal dalam urine:
a Urea, hasil akhir utama dari katabolisme protein. Sehari diekskresikan
25 gr, tergantung intake proteinnya. Ekskresi naik pada saat demam,
penyakit kencing manis, aktivitas hormon adrenokortikoid yang
berlebihan. Di hepar, urea dibentuk dari siklus urea (ornitin dari CO2
dan NH3. Pembentukan urea menurun pada penyakit hepar dan
asidosis.
b Ammonia, dikeluarkan dari sel tubulus ginjal, pada asidosis
pembentukan amonia akan naik.
c Kreatinin, hasil katabolisme kreatin. Koefisien kreatinin adalah jumlah
mg kreatinin yang diekskresikan dalam 24 jam/kg BB. Nilai normal pada
laki-laki adl 20-26 mg/kg BB. Sedang pada wanita adl 14-22 mg/kg BB.
Ekskresi kreatinin meningkat pada penyakit otot.
d Asam urat, hasil oksidasi purin di dalam tubuh. Kelarutannya dalam air
kecil tetapi larut dalam garam alkali. Ekskresinya meningkat pada
leukimia, penyakit hepar dan gout. Dengan arsenofosfotungstat dan
natrium sianida, memberi warna biru. Ini merupakan dasar penetapan
asam urat secara kolometri oleh Folin. Dengan enzim urikase akan
menjadi allantoin.
e Asam amino, pada dewasa kira2 diekskresikan 150-200 mg N per hari
f

Allantoin, hasil oksidasi asam urat

g Cl, dikeluarkan dlm bentuk NaCl, tergantung intakenya. Ekskresi 9-16


g/hari
h Sulfat, hasil metabolisme protein yang mengandung AA dg atom S, ex:
sistein, sistin, metionin. Sulfat ada 3 bentuk: seulfat anorganik, sulfat
ester (konjugasi) dan sulfat netral
i

Fosfat, di urin berikatan dg Na, K, Mg, Ca. Garam Mg dan Ca fosfat


mengendap pada urin alkalis. Ekskresinya dipengaruhi pemasukan
protein, kerusakan sel, kerusakan tulang pada osteomalasia dan
hiperparatiroidisme ekskresinya naik dan menurun pada penyakit
infeksi dan hipoparatiroidisme.

Oksalat, pd metab herediter ttt, ekskresinya naik.

k Mineral, Kationnya (Na, K, Ca, Mg). Ekskresi K naik pada kerusakan sel,
pemasukan yang berlebih dan alkalosis. Ekskresi ion K dan Na dikontrol
korteks adrenal
l

Vitamin, hormon dan enzim: pada pankreatitis amilase dan


disakaridase meningkat. Hormon Choriogonadotropin (HCG) terdpt pd
urine wanita hamil

Sifat fisik
1. Warna. Urin encer biasanya kuning pucat dan kuning pekat jika kental.
Urine segar biasanya jernih dan menjadi keruh jika didiamkan.
2. Bau. Urin memiliki bau yang khas dan cenderung berbau amonia jika
didiamkan. Bau ini dapat bervariasi sesuai dengan diet; misalnya,
setelah makan asparagus. Pada diabetes yang tidak terkontrol, aseton
menghasilkan bau manis pada urin.
3. Asiditas atau alkalinitas. pH urin bervariasi antara 4,8 sampai 7,5
dan biasanya sekitar 6,0; tetapi juga bergantung pada diet. Ingesti
makanan yang berprotein tinggi akan meningkatkan asiditas,
sementara diet sayuran akan meningkatkan alkalinitas.
4. Berat jenis urin berkisar antar 1,001 sampai 1,035; bergantung pada
konsentrasi urin.
2.4 Peran Ginjal dlm Keseimbangan Cairan
Fungsi spesifik ginjal bertujuan mempertahankan cairan ekstrasel
(CES) yang konstan.
1. Mempertahankan imbangan air seluruh tubuh; mempertahankan
volume plasma yg tepat mll pengaturan ekskresi garam dan air
pengaturan tekanan darah jangka panjang.
2. Mengatur jumlah & kadar berbagai ion dalam CES, spt: ion Na +,
Cl-, K+. HCO3-. Ca2+. Mg2+, SO42-, PO43-, dan H+ mengatur
osmolalitas cairan tubuh.
3. Membantu mempertahankan imbangan
mengatur kadar ion H+ dan HCO3-

asam-basa

dengan

4. Membuang hasil akhir dari proses metabolisme, seperti: ureum,


kreatinin, dan asam urat yg bila kadarnya meningkat di dlm
tubuh dapat bersifat toksik.
5. Mengekskresikan bbg senyawa asing, spt: obat, pestisida, toksin,
& bbg zat eksogen yg msk ke dlm tubuh.

6. Menghasilkan beberapa senyawa khusus:


a. Eritropoietin:
hormon
perangsang
kecepatan
pembentukan, pemarangan & penglepasan eritrosit
b. Renin: enzim proteolitik yg berperan dlm pengaturan
volume ces tekanan darah
c. Kalikrein: enzim proteolitik dlm pembentukan kinin, suatu
vasodilator
d. Beberapa macam prostaglandin & tromboksan: derivat
asam lemak yg bekerja sbg hormon lokal; prostaglandin
e2 & i1 di ginjal menimbulkan vasodilatasi, ekskresi
garam & air, & merangsang penglepasan renin;
tromboksan bersifat vasokonstriktor.
7. Melakukan fungsi metabolic khusus:
a. Mengubah vitamin D inaktif menjadi bentuk aktif (1,25dihidroksi-vitamin D3), suatu hormon yg merangsang
absorpsi kalsium di usus
b. Sintesis amonia dari asam amino untuk pengaturan
imbangan asam-basa
c. Sintesis
glukosa
dari
sumber
non-glukosa
(glukoneogenesis) saat puasa berkepanjangan
d. Menghancurkan/menginaktivasi berbagai hormon, spt:
angiotensin II, glukoagon, insulin, & hormon paratiroid

3. Memahami dan Menjelaskan Sindroma Nefrotik


a. Definisi
Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang
terbanyak pada anak. Penyakit tersebut ditandai dengan sindrom
klinik yang terdiri dari beberapa gejala yaitu proteinuria masif
(>40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
sewaktu >2 mg/mg atau dipstick 2+), hipoalbuminemia 2,5
g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia. (Undip)

Sindroma nefrotik ditandai dengan gangguan selektif


permeabilitas kapiler glomerulus sehingga terjadi kehilangan
protein melalui urin. Proteinuria pada anak SN relatif selektif
yang terdiri atas albumin dengan kisaran nefrotik proteinuria
mencapai 1000 mg/m2 per hari atau rasio protein kreatinin pada
random (spot) urin mencapai 2 mg/mg (Bagga dan Mantan,
2005).
Sindrom nefrotik adalah jenis umum dari penyakit ginjal
yang terlihat pada anak-anak. Sindrom nefrotik ditandai dengan
proteinuria masif, hipoalbuminemia, dan edema, meskipun
gambaran klinis tambahan seperti hiperlipidemia biasanya juga
hadir. Dalam beberapa tahun pertama kehidupan, anak-anak
dengan kondisi ini sering menunjukkan pembengkakan
periorbital dengan atau tanpa edema umum. Penyakit ini
disebabkan oleh perkembangan cacat struktural dan fungsional
dalam filtrasi glomerulus, mengakibatkan ketidakmampuan
untuk membatasi pengeluaran protein urin. (Gbadegesin and
Smayer, 2008)

Sebagian besar peneliti sependapat bahwa proteinuria dan


hipoalbuminemia merupakan kriteria dasar dari sindrom nefrotik.
Beberapa ahli ginjal menambahkan kriteria lain :
1. Lipiduria yang terlihat sebagai oval fat bodies atau maltese
cross atau doubly refractille bodies
2. Kenaikan serum lipid, lipoprotein, globulin, kolesterol total,
dan trigliserid
3. Sembab (puffy face)
Sebenarnya semua kriteria tambahan tersebut di atas
merupakan akibat dari proteinuria masif dan hipoalbuminemia. 4

Sindrom nefrotik terutama pada pasien dewasa bukan


merupakan full diagnosis,tetapi :
a. Mungkin suatu penampilan klinis dari penyakit ginjal (renal
disease)
b. Mungkin merupakan perjalanan klinis (clinical course) dari
penyakit ginjal tertentu (established renal disease)
c. Mungkin merupakan refleksi episode berulang imunologi ginjal
(recurent renal imunological events) atau kerusakan ginjal
d. Indikasi kelainan ginjal dari penyakit sistemik 4
b. Etiologi dan Faktor Resiko

Etiologi
Sindrom nefrotik pada anak-anak sebagian besar
disebabkan karena primer atau idiopatik, meskipun ada sebagian
kecil kasus yang disebabkan oleh factor sekunder untuk agen
infeksius dan glomerulus lain dan penyakit sistemik. Etiologi
sindrom nefrotik tergantung pada usia penderita.
Sebagian besar kasus muncul dalam 3 bulan pertama
kehidupan disebut sindrom nefrotik sebagai bawaan (congenital
nephrotic syndrome) dan akibat penyakit genetik. Pada penderita
yang berusia satu tahun dan pada dekade pertama, sebagian
besar kasus disebabkan oleh sindrom nefrotik primer atau
idiopatik, sedangkan proporsi kasus sindrom nefrotik sekunder
meningkat melampaui 10 tahun pertama kehidupan.
Congenital Nephrotic Syndrome
Sindrom nefrotik muncul dalam 3 bulan pertama kehidupan
disebut sindrom nefrotik sebagai bawaan (SSP).
Sebagian besar kasus dalam kelompok usia ini adalah
karena penyebab genetic
Sebagian besar kejadian ini terjadi karena ada mutasi pada
gen encoding Nefrin, sebuah celah podosit protein
diafragma.
Dalam 3 bulan pertama kehidupan sindrom nefrotik dapat
terjadi karena sindrom multisistemik seperti sindrom
sindrom pierson, sindrom kuku-patela, sindrom DenysDrash, dan akibat dari infeksi bawaan seperti sifilis dan
sitomegalovirus

Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :


1. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan
sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer
terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada
penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak.
Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik
kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan
sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer
dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study
of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar
ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila
diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron
dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi
histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan
terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of
Kidney Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht
(1971).
Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik
primer
Kelainan minimal (KM)

Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Sumber :
Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H,
Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar
Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 381426
Sin drom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya
berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa
prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit
dibandingkan pada anak-anak.
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer
agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya
menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak
dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di
Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak
dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi.
2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit
sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti
misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema.
b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid,
racun serangga, bisa ular.
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus
sistemik, purpura Henoch-Schnlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma
:
tumor
paru,
penyakit
Hodgkin,
tumor
gastrointestinal.
c. Klasifikasi

Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dibagi menjadi dua,


yaitu:
1. Sindrom nefrotik primer
Faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik
primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi
akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada
penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak.
Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom
nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik
yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1
tahun.7
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik
primer dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC
(International Study of Kidney Disease in Children). Kelainan
glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan
mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan
dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi.
Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik
sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi
menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney
Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht
(1971).8
Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus
pada sindrom nefrotik primer
1. Kelainan minimal (KM)
2. Glomerulosklerosis (GS)

Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)

Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)

3. Glomerulonefritis
difus (GNPMD)

proliferatif

mesangial

4. Glomerulonefritis
difus eksudatif

proliferatif

mesangial

5. Glomerulonefritis kresentik (GNK)

6. Glomerulonefritis
(GNMP)

membrano-proliferatif

GNMP tipe I dengan deposit subendotelial

GNMP
tipe
intramembran

dengan

deposit

GNMP
tipe
III
dengan
transmembran/subepitelial

deposit

II

7. Glomerulopati membranosa (GM)


8. Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Sementara itu, berdasarkan histopatologis, Churk


membagi sindrom nefrotik primer menjadi empat, yaitu:
a.

dkk

Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel
berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak
terdapat IgG pada dinding kapiler glomerulus.

Gambar 1. Gambaran histopatologis sindrom nefrotik primer


jenis kelainan minimal.

b.

Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler
yang tersebar tanpa proliferasi sel. Prognosis kurang baik.

Gambar 2. Gambaran histopatologis sindrom nefrotik primer


jenis glomerulopati membranosa.

c.

Glomerulonefritis proliferatif
Glomerulonefritis proliferatif esudatif
difus. Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel
polimorfonukleus. Pembengkanan sitoplasma endotel yang
menyebabkan kapiler tersumbat.
Dengan penebalan batang lobular.
Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan
penebalan batang lobular.

Dengan bulan sabit ( crescent)


Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel
sampai kapsular dan viseral. Prognosis buruk.

Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang
menyerupai membran basalis di mesangium. Titer globulin
beta-IC atau beta-IA rendah. Prognosis buruk.

Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.


d.
Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering
disertai atrofi tubulus. Prognosis jenis ini adalah buruk.

Gambar 3. Gambaran histopatologis sindrom nefrotik primer


jenis glomerulosklerosis fokal segmental.

Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer


agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya
menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak
dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer
di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari
401 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi.9,10
2. Sindrom nefrotik sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau
sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti
misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai
adalah infeksi, keganasan, penyakit jaringan penyambung
(connective tissue diseases), obat atau toksin, dan akibat
penyakit sistemik.11
d. Patofisiologi
Reaksi
antigen
antibody
menyebabkan
permeabilitas
membrane basalis glomerulus meningkat dan diikuti kebocoran
sejumlah protein (albumin). Tubuh kehilangan albumin lebih dari
3,5 gram/hari menyebabkan hipoalbuminemia, diikuti gambaran
klinis sindrom nefrotik seperti sembab, hiperliproproteinemia dan
lipiduria. (Gunawan, 2013)

Patofisiologi beberapa gejala dari sindrom nefrotik :

Proteinuri
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan kelainan dasar
SN yang merupakan penyebab utama terjadinya sindrom
nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui
benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya
muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel
kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan
negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif
tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus.
Proteinuri sebagian besar berasal dari kebocoran
glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil
berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan
integritas
membrana
basalis
glomerulus
menyebabkan
peningkatan permeabilitas membrane basalis kapiler-kapiler
glomerulus disertai peningkatan filtrasi protein plasma utama
yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Derajat proteinuri
tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan
glomerulus. Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70 kD
melalui membrana basalis glomerulus normalnya dibatasi oleh
charge selective barrier (suatu polyanionic glycosaminoglycan)
dan size selective barrier. Pada nefropati lesi minimal, proteinuri
disebabkan terutama oleh hilangnya charge selectivity
sedangkan pada nefropati membranosa disebabkan terutama
oleh hilangnya size selectivity.

Hipoalbuminemi
Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang
hebat. Akibat rendahnya kadar albumin serum menyebabkan
turunnya tekanan onkotik plasma dengan sehingga terjadi
ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstisial yang
menyebabkan edema. Berkurangnya volume intravaskuler
merangsang sekresi renin yang memicu sisim renin-angiotensin
dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urin
menjadi berkurang (oliguria), pekat, dan kadar natrium rendah.
Berikut
ini
adalah
penjelasan
lebih
lanjut
tentang
hipoalbuminemia :
Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar
menempati ruangan ekstra vascular(EV). Plasma terutama terdiri
dari albumin yang berat molekul 69.000.

Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh


kehilangan sejumlah protein, baik renal maupun non renal.
Mekanisme kompensasi dari hepar untuk meningkatkan sintesis
albumin, terutama untuk mempertahankan komposisi protein
dalam ruangan ekstra vascular(EV) dan intra vascular(IV).
Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu
terdapat hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan
hipoalbuminemia ini mungkin disebabkan beberapa factor :
kehilangan
sejumlah protein
dari
tubuh melalui
(prooteinuria) dan usus (protein losing enteropathy)

urin

Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena


nafsu makan menurun dan mual-mual
Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal
Sebagian besar protein dalam urin adalah albumin ila
kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat, plasma
albumin menurun, keadaan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia
ini akan diikuti oleh hipovolemia yang mungkin menyebabkan
uremia pre-renal dan tidak jarang terjadi oligouric acute renal
failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi filtrasi natrium
Na+ dari glomerulus (glomerular sodium filtration) tetapi
keadaan hipoalbuminemia ini akan bertindak untuk mencegah
resorpsi natrium Na+ kedalam kapiler-kapiler peritubular.
Resorpsi natrium na+ secara peasif sepanjang Loop of Henle
bersamaan dengan resorpsi ion Cl- secara aktif sebagai akibat
rangsangan dari keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air
H2O yang berhubungan dengan system rennin-angiotensinaldosteron (RAA) dapat terjadi bila sindrom nefrotik ini telah
memperlihatkan tanda-tanda aldosteronisme sekunder. Retensi
natrium dan air pada keadaan ini (aldosteronisme) dapat
dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran tinggi diuretic
yang mengandung antagonis aldosteron.

Hiperlipidemi
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low
density lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high
density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau
menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar
dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran
lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein

dari darah, dan hilangnya -glikoprotein sebagai perangsang


lipase). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid di hati distimulasi
oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.

Lipiduri
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada
sedimen urin. Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein
melalui membrana basalis glomerulus yang permeabel.

Edema
Menurunnya tekanan osmotik menyebabkan edema generalisata
akibat cairan yang berpindah dari sistem vaskuler kedalam ruang
cairan ekstra seluler. Penurunan sirkulasi volume darah
mengaktifkan sistem imun angiotensin, menyebabkan retensi
natrium dan edema lebih lanjut.
Dahulu diduga edema disebabkan penurunan tekanan onkotik
plasma akibat hipoalbuminemi dan retensi natrium (teori
underfill).
Hipovolemi
menyebabkan
peningkatan
renin,
aldosteron, hormon antidiuretik dan katekolamin plasma serta
penurunan atrial natriuretic peptide (ANP). Pemberian infus
albumin akan meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju
filtrasi glomerulus dan ekskresi fraksional natrium klorida dan air
yang
menyebabkan
edema
berkurang.
Peneliti
lain
mengemukakan teori overfill. Bukti adanya ekspansi volume
adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma yang rendah serta
peningkatan
ANP.
Beberapa
penjelasan
berusaha
menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa
pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan
bahwa volume plasma menurun secara bermakna pada saat
pembentukan edema dan meningkat selama fase diuresis.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari
kapiler-kapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan
kejaringan interstisial, klinis dinamakan sembab. Penurunan
tekanan onkotik mungkin disertai penurunan volume plasma dan
hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan retensi natrium dan air.
Proteinuria
masih
menyebabkan
hipoalbuminemia
dan
penurunan tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan
akhirnya terjadi sembab.

Mekanisme sembab dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur


berikut :
1. Jalur langsung/direk : Penurunan tekanan onkotik dari kapiler
glomerulus dapat langsung menyebabkan difusi cairan ke dalam
jaringan interstisial dan dinamakan sembab.
2. Jalur tidak langsung/indirek : Penurunan tekanan onkotik dari
kepiler glomerulus dapat menyebabkan penurunan volume darah
yang menimbulkan konsekuensi berikut:
3. Aktivasi system rennin angiotensin aldosteron : Kenaikan plasma
rennin dan angiotensin akan menyebabkan rangsangan kelenjar
adrenal untuk sekresi hormone aldosteron. Kenaikan konsentrasi
hormone aldosteron akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal
untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium
menurun.
4. Kenaikan
aktivasi
saraf
simpatetik
dan
circulating
cathecolamines : Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan
konsentrasi katekolamin, menyebabkan tahanan atau resistensi
vaskuler glomerulus meningkat. Kenaikan tahanan vaskuler renal
ini dapat diperberat oleh kenaikan plasma rennin dan
angiotensin.

Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III,
protein S, C dan plasminogen activating factor dalam urin dan
meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen,
peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel
serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).

Kerentanan terhadap infeksi


Menurunnya respon imun karena sel imun tertekan,
kemungkinan
disebabkan
karena
hypoalbuminemia,
hyperlipidemia atau defisiensi seng.
Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena
kehilangan lewat ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan
katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap
infeksi bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia,

Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga terjadi gangguan imunitas


yang diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni dan
peritonitis.
e. Manifestasi Klinis
Gejala utama yang ditemukan adalah:

Proteinuria > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari
pada anak-anak.
Hipoalbuminemia < 30 g/l.
Edema generalisata. Edema terutama jelas pada kaki, namun
dapat ditemukan edema muka, ascxites dan efusi pleura.
Anorexia
Fatique
Nyeri abdomen
Berat badan meningkat
Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia.
Hiperkoagualabilitas, yang akan meningkatkan resiko
trombosis vena dan arteri.

f. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua
kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat
disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat
ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.

Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan
edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites
dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang
ditemukan
hipertensi

Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+),
dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah
didapatkan
hipoalbuminemia
(<
2,5
g/dl),
hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat,

rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin


umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal. Bila
terjadi hematuria mikroskopik (>20 eritrosit/LPB) dicurigai
adanya lesi glomerular (mis. Sclerosis glomerulus fokal).
Dapat juga dilakukan biopsi ginjal.
Urinalisis
Proteinuria dapat dideteksi menggunakan uji dipstick
dengan hasil +3 atau +4. Pemeriksaan kuantitatif menunjukkan
hasil dengan batasan 1-10g/hari. Proteinuria pada SN
didefinisikan > 50mg/kg/hari atau 40mg2 LPB/jam, dalam
kepustakaan lain proteinuria dapat mencapai 20-30g/hari. Pada
anak-anak, sulit untuk mengumpulkan urin selama 24 jam
sehingga rasio protein dan kreatinin urin atau rasio albumin dan
kreatinin pada urin sewaktu menjadi sangat berguna yaitu >2.
(Rachmadi, 2013)
Jumlah protein yang diekskresikan dalam urin tidak
mencerminkan kuantitas protein yang melewati glomerular
basement membrane (GBM) karena sejumlah tertentu telah
direabsorbsi di tubulus proksimal.

Biasanya pada SN resisten


terhadap steroid (SNRS), urin tidak hanya mengandung albumin
tapi juga protein lain dengan berat molekul yang lebih tinggi. Hal
ini bisa dilihat pada polyacrylamide gel electrophoresis dan bisa
dihitung dengan alat indeks selektivitas. Indeks selektivitas
adalah rasio IgG (BM= 150kD) dengan albumin (BM= 70kD) atau
transferin (BM-80kD). Pada SNRS, indeks selektivitas diatas 0,15.
Pada anak dengan SNRS berat yang memiliki lesi di glomerular
dan tubulointerstitial menunjukkan proteinuria glomerular dan
tubular dengan eksresi 2-mikroglobulin, retinol binding protein
dan lisozim karena adanya gangguan reabsorbsi pada tubulus
proksimal. Sedimen urin pada pasien dengan SN sering
mengandung badan lemak (fat bodies), hyaline cast (pada
proteinuria masif) dan granular cast (pada gagal ginjal akut dan
nekrosis akut tubulus). Hematuria makroskopis jarang ditemukan
(3% pasien), namun pada SNRS dengan gambaran histopatologis
FSGS
(focal
segmental
glomerulosclerosis)
hematuria
mikroskopis lebih sering ditemukan (67% pasien). (Rachmadi,
2013)
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah pada penderita SNRS dan penderita SN

pada umumnya sama. Protein serum biasanya menurun dan lipid


serum dapat meningkat. Proteinemia < 50g/L terjadi pada 80%
pasien dan <40g/L pada 40% pasien. Konsentrasi albumin
biasanya menurun <20g/L dan bisa <10g/L. Elektroforesis
memperlihatkan bukan hanya konsentrasi albumin yang
menurun namun kadar 2-globulin dan -globulin meningkat
sementara kadar -globulin menurun. IgG menurun secara
signifikan dan IgA menurun sedikit, sementara IgM meningkat
dan IgE normal atau meningkat. Diantara semua protein,
fibrinogen dan -lipoprotein meningkat dan antithrombin III
menurun. (Rachmadi, 2013)
Hiperlipidemia akibat dari peningkatan sintesis kolesterol,
trigeliserida,

dan

lipoprotein;

menurunnya

katabolisme

lipoprotein karena menurunnya aktivitas lipase lipoprotein, yang


secara normal mengubah very-low-density lipoproteins (VLDLs)
menjadi

low-density

lipoproteins

(LDLs);

dan

menurunnya

aktivitas reseptor LDL dan meningkatnya kehilangan HDL dalam


urin. Kolesterol total dan LDL meningkat, HDL bisa normal atau
menurun,

terutama

HDL

2 menyebabkan peningkatan rasio


LDL:HDL. Pada pasien dengan hipoalbuminemia yang berat
terjadi peningkatan trigliserida dan VLDL, apo B, apo C-II, dan
apo C-III. Kadar lipoprotein Lp(a) juga meningkat sehingga risiko
komplikasi kardiovaskular dan thrombotic juga meningkat.
(Rachmadi, 2013)
Kadar Natrium yang rendah berkaitan dengan dilusi yang
disebabkan hipovolemia dan sekresi hormon antidiuretik yang
terganggu. Kalium dapat meningkat pada pasien oliguria.
Kalsium serum biasanya rendah karena hipoproteinemia. Ion
kalsium biasanya normal tapi bisa menurun karena kehilangan
25 hidroksivitamin D3 lewat urin. Kadar Blood urea nitrogen dan
kreatinin biasanya normal atau sedikit meningkat karena adanya
sedikit penurunan glomerulofiltration rate (GFR). Beberapa
pasien dengan SNRS dengan lesi FSGS dan sindrom Fanconi
mengalami glikosuria, aminoaciduria, kehilangan bikarbonat urin
dan hipokalemia. Kadar hemoglobin dan hematokrit dapat
meningkat, anemia dengan mikrositosis bisa terjadi dan
berhubungan dengan kehilangan siderophilin lewat urin.
Trombositosis umum terjadi dan bisa mencapai 10 8 atau 109 /L.
(Rachmadi, 2013)

Pemeriksaan Histopatologis
Gambaran histopatologi dari SNRS dapat berupa kelainan
minimal
(MCD),
mesangial
proliferatif
glomerulonefritis
(MesPGN), fokal segmental glomerulosklerosis (FSGS), ataupun
kelainan histopatologi lainnya. (Rachmadi, 2013)
Kelainan histopatologis berhubungan dengan respons sindrom
nefrotik terhadap pengobatan steroid karena sebagian besar SN
lesi minimal memberikan respons yang baik terhadap
pengobatan steroid, maka SN lesi minimal sering disamakan
dengan SN sensitif steroid, sedangkan sindrom nefrotik kelainan
non-minimal disamakan dengan SNRS. Respons terhadap
pengobatan steroid bisa menentukan prognosis fungsi ginjalnya.
Penderita SNSS umumnya tidak akan mengalami gangguan
fungsi ginjal di kemudian hari, sebaliknya anak- anak SNRS
dalam jangka panjang akan mengalami gangguan fungsi ginjal
sampai gagal ginjal terminal. (Rachmadi, 2013)
Pada pemeriksaan histopatologis ginjal pada penderita
SNRS dapat ditemukan berbagai pola morfologi yaitu lesi
minimal/minimal change disease dan lesi non-minimal seperti
proliferasi difus mesangial/diffuse mesangial proliferation, FSGS
(focal

segmental

glomerulosclerosis),

mesangioproliferatif

glomerulonefritis (MPGN) dan membranous glomerulonephritis


(MGN). Sebagian besar sindrom nefrotik pada anak (75%)
menunjukkan gambaran lesi minimal dan FSGS. Sebagian besar
penderita SNRS dengan biopsi ginjal pertama menunjukkan lesi
minimal,
setelah
pengamatan
dan
biopsi
selanjutnya
menunjukkan perubahan morfologi menjadi FSGS. (Rachmadi,
2013)
Diagnosis Banding

Diabetic Nephropathy
Focal Segmental Glomerulosclerosis
Glomerulonephritis, Chronic
Glomerulonephritis, Membranous
HIV Nephropathy
IgA Nephropathy
Light Chain-Associated Renal Disorders
Minimal-Change Disease

Nephritis, Radiation
Sickle Cell Nephropathy

g. Tatalaksana
Prinsip pengobatan
Patofisiologi

Pengobatan

1. Kerusakan glomerulus

Imunosupresif

Antikoagulan

Anti
agregasi
trombosit
Diit rendah protein
hewan
Infus salt poor human
albumin

2. Kehilangan protein
3.

Hipoalbuminemia
dan
penurunan tekanan onkotik

4. Sekresi natrium dan air

Diuretic spironolakton

5. Retensi natrium dan air

Diuretik furosemid

Diit miskin garam

Drainage

Ultrafiltrasi

6. Edema yang resisten

Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya


janganlah tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena
remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Steroid dimulai
apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari.
Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada
anak dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti
tercantum pada tabel 3. (Noer, et al, 2006)
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC)
menganjurkan untuk memulai dengan pemberian prednison oral
(induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis maksimal 80
mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis
rumatan sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan
dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu
pengobatan dihentikan. (Noer, et al, 2006)

Tabel 3. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada


sindrom nefrotik.
Remisi

Proteinuria negatif atau seangin, atau


proteinuria < 4 mg/m2/jam selama 3 hari
berturut-turut.

Kambuh

Proteinuria + 2 atau proteinuria > 40


mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut,
dimana sebelumnya pernah mengalami
remisi.

Kambuh
sering

tidak Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau <


4 kali dalam periode 12 bulan.

Kambuh sering

Responsif-steroid

Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama


setelah respons awal, atau 4 kali kambuh
pada setiap periode 12 bulan.
Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid
saja.

Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama


Dependen-steroid masa tapering terapi steroid, atau dalam
waktu 14 hari setelah terapi steroid
dihentikan.
Resisten-steroid

Gagal mencapai remisi meskipun telah


diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari
selama 4 minggu.

Responder
lambat

Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi


prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan
terapi lain.
Resisten-steroid sejak terapi awal.

Nonresponder
awal

Resisten-steroid terjadi pada pasien yang


sebelumnya responsif-steroid.

Nonresponder
lambat
Penatalaksanaan sindrom nefrotik dapat dikelompkkan menjadi (Noer, et al,
2006)

1. Sindrom nefrotik serangan pertama


a. Perbaiki keadaan umum penderita :
- Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah
lemak. Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan
diet terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
- Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan
transfusi plasma atau albumin konsentrat.
- Berantas infeksi.
- Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari
komplikasi.
- Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila
ada edema anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema
anasarka atau mengganggu aktivitas. Jika ada hipertensi,
dapat ditambahkan obat antihipertensi.
b. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya
14 hari setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk
memastikan apakah penderita mengalami remisi spontan atau
tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan,
prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari
atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan
prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.
2. Sindrom nefrotik kambuh (relapse)
a. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah
diagnosis relapse ditegakkan.
b. Perbaiki keadaan umum penderita.
- Sindrom nefrotik kambuh tidak sering
Sindrom nefrotik kambuh tidak sering adalah sindrom
nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau <
4 kali dalam masa 12 bulan.

Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg
BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis
terbagi setiap hari selama 3 minggu.

Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40
mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis
tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu,
prednison dihentikan.

Sindrom nefrotik kambuh sering


Sindrom nefrotik kambuh sering adalah sindrom nefrotik
yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali
dalam masa 12 bulan.

Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg
BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis
terbagi setiap hari selama 3 minggu.

Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60
mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis
tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu,
dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m 2/48 jam
diberikan selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m 2/48
jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam
selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m 2/48 jam selama 6
minggu, kemudian prednison dihentikan.

Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari,


siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8
minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk
merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak
respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat
komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid, atau untuk biopsi ginjal.
(Noer, et al, 2006)
Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgBB/hari. Sebagian besar
terdiri dari karbohidrat. Dianjurkan diet protein normal 0,8-1
g/kgBB/hari. Giordano dkk memberikan diet protein 0,6 g/kgBB/hari
ditambah dengan jumlah gram protein sesuai jumlah proteinuria.
Hasilnya proteinuria berkurang, kadar albumin darah meningkat dan
kadar fibrinogen menurun. (Gunawan, 2006)
Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam (1-2
gram natrium/hari) disertai diuretik (furosemid 40 mg/hari atau
golongan tiazid) dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium
sparing diuretic (spironolakton). Pada pasien SN dapat terjadi
resistensi terhadap diuretik (500 mg furosemid dan 200 mg
spironolakton). Resistensi terhadap diuretik ini bersifat multifaktorial.
Diduga hipoalbuminemia menyebabkan berkurangnya transportasi
obat ke tempat kerjanya, sedangkan pengikatan oleh protein urin
bukan merupakan mekanisme utama resistensi ini. Pada pasien
demikian dapat diberikan infus salt-poor human albumin. Dikatakan
terapi ini dapat meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju
filtrasi glomerulus, aliran urin dan ekskresi natrium. Namun demikian
infus albumin ini masih diragukan efektivitasnya karena albumin
cepat diekskresi lewat urin, selain itu dapat meningkatkan tekanan

darah dan bahkan edema paru pada pasien hipervolemia. (Gunawan,


2006)
Hiperlipidemi dalam jangka panjang meningkatkan risiko
terjadinya aterosklerosis dini. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat
digunakan penghambat hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A (HMG
Co-A) reductase yang efektif menurunkan kolesterol plasma. Obat
golongan ini dikatakan paling efektif dengan efek samping minimal.
Gemfibrozil, bezafibrat, klofibrat menurunkan secara bermakna
kadar trigliserid dan sedikit menurunkan kadar kolesterol. Klofibrat
dapat toksis pada kadar biasa karena kadar klofibrat bebas yang
meningkat menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut.
Probukol menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL,
tetapi efeknya minimal terhadap trigliserid. Asam nikotinat (niasin)
dapat menurunkan kolesterol dan lebih efektif jika dikombinasi
dengan gemfibrozil. Kolestiramin dan kolestipol efektif menurunkan
kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, namun obat ini tidak
dianjurkan karena efeknya pada absorbsi vitamin D di usus yang
memperburuk defisiensi vitamin D pada sindrom nefrotik. (Gunawan,
2006)
Untuk
mencegah
penyulit
hiperkoagulabilitas
yaitu
tromboemboli yang terjadi pada kurang lebih 20% kasus SN (paling
sering pada nefropati membranosa), digunakan dipiridamol (3 x 75
mg) atau aspirin (100 mg/hari) sebagai antiagregasi trombosit dan
deposisi fibrin/trombus. Selain itu obat-obat ini dapat mengurangi
secara bermakna penurunan fungsi ginjal dan terjadinya gagal ginjal
tahap akhir. Terapi ini diberikan selama pasien mengalami
proteinuria nefrotik, albumin < 2 g/dl atau keduanya. Jika terjadi
tromboemboli, harus diberikan heparin intravena/infus selama 5
hari, diikuti pemberian warfarin oral sampai 3 bulan atau setelah
terjadi
kesembuhan
SN.
Pemberian
heparin
dengan
pantauan activated partial thromboplastin time (APTT) 1,5-2,5 kali
kontrol, sedangkan efek warfarin dievaluasi dengan prothrombin
time (PT) yang biasa dinyatakan dengan International Normalized
Ratio (INR) 2-3 kali normal. (Gunawan, 2006)
Bila terjadi penyulit infeksi bakterial (pneumonia pneumokokal
atau peritonitis) diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat disertai
pemberian imunoglobulin G intravena. Untuk mencegah infeksi
digunakan vaksin pneumokokus. Pemakaian imunosupresan
menimbulkan masalah infeksi virus seperti campak, herpes.
(Gunawan, 2006)
Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya hipertensi, syok
hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik yang dapat terjadi
5-15 tahun setelah terkena sindrom nefrotik. Penanganannya sama

dengan penanganan keadaan ini pada umumnya. Bila terjadi gagal


ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi
ginjal. Dantal dkk. menemukan pada pasien glomerulosklerosis fokal
segmental yang menjalani transplantasi ginjal, 15%-55% akan
terjadi SN kembali. Rekurensi mungkin disebabkan oleh adanya
faktor plasma (circulating factor) atau faktor-faktor yang
meningkatkan permeabilitas glomerulus. Imunoadsorpsi protein
plasma A menurunkan ekskresi protein urin pada pasien SN karena
glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa maupun
SN sekunder karena diabetes melitus. Diduga imunoadsorpsi
melepaskan faktor plasma yang mengubah hemodinamika atau
faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerulus. (Gunawan,
2006)

Tatalaksana Terapeuti

Diit tinggi protein, diit rendah natrium jika edema berat


Pembatasan sodium jika anak hipertensi
Antibiotik untuk mencegah infeksi
Terapi diuretik sesuai program
Terapi albumin jika intake anak dan output urin kurang
Terapi prednison dgn dosis 2 mg/kg/hari sesuai program

Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi :


a. Remisi lengkap
i. proteinuri minimal (< 200 mg/24 jam)
ii. albumin serum >3 g/dl
iii. kolesterol serum < 300 mg/dl
iv. diuresis lancar dan edema hilang
b. Remisi parsial
i. proteinuri <3,5 g/harI
ii. albumin serum >2,5 g/dl
iii. kolesterol serum <350 mg/dl
iv. diuresis kurang lancar dan masih edema
c. Resisten
klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau
perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.
h. Komplikasi
Edema
Mekanisme patofisiologi menghasilkan air dan retensi natrium
masih menjadi bahan perdebatan.
Ada dua teori yang mungkin dapat menyebabkan edema.

Teori pertama adalah bahwa penurunan tekanan onkotik


dan relatif hipovolemia adalah pemicu untuk air ginjal dan
retensi natrium akibat aktivasi dari RAA dan vasopressin
sistem.
Teori kedua adalah disfungsi ginjal primer dengan yang
menyebabkan retensi natrium oleh korteks collecting duct.
Secara global, kedua mekanisme mungkin aktif pada fase yang
berbeda dari penyakit dan keduanya berpartisipasi dalam air dan
retensi natrium pada penyakit ini. (De Seigneux, 2009)
Pada anak-anak yang mengalami sindrom nefrotik murni
tanpa hipertensi dan dengan fungsi ginjal normal, diberi amilorid,
merupakan penghambat sodium epithelial channel (ENaC) yang
menghambat reabsorpsi natrium di collecting duct, sangat
efisien. (De Seigneux, 2009)
Pada orang dewasa, retensi natrium sering dikaitkan
dengan penurunan laju filtrasi glomerulus dan hipertensi. Dalam
situasi ini diuretik harus dikombinasikan dengan ACE inhibitor
atau ARB. Jika fungsi ginjal relatif baik, baik amiloride atau tiazid
atau spironolakton dapat dipilih sebagai lini pertama. (De
Seigneux, 2009)
Sebuah loop diuretik yang biasanya kategorinya sekutu
diperlukan untuk mendapatkan efisiensi natriuresis. Loop diuretic
adalah diuretic yang digunakan di ansa henle ascendens. Fungsi
renal dan elektrolit harus di monitor saat treatment diuretic
berlangsung. (De Seigneux, 2009)

Gangguan Kardiovaskular
Perkembangan penyakit kardiovaskular semakin diakui
sebagai komplikasi yang penting dari sindrom nefrotik pada
pasien dengan manifestasi klinis yang berkepanjangan. Faktor
risiko termasuk adanya hipertensi, hiperlipidemia, pengobatan
jangka panjang dengan steroid dan obat imunosupresif lainnya
(seperti siklosporin) yang dapat mengubah tingkat lipid serum,
stres oksidatif, dan hiperkoagulabilitas. Berdasarkan temuan ini,
pengobatan agresif hiperlipidemia kronis dan hipertensi pada
anak-anak dengan SRNS atau kursus klinis yang berkepanjangan
dianjurkan. (Gbadegesin and Smayer, 2008)

Respiratory Distress

Gangguan pernapasan dapat terjadi sebagai komplikasi


dari sindrom nefrotik atau pengobatannya. Dengan adanya
hipoalbuminemia berat, efusi pleura dapat mengembangkan dan
dapat menjadi signifikan secara klinis. Selain itu, infus agresif
albumin dengan penggunaan yang tidak memadai diuretik dapat
menyebabkan edema paru akut akibat perubahan cepat cairan
dari interstitium ke kompartemen intravaskular. Kemungkinan
pengembangan emboli paru juga harus dipertimbangkan dalam
setiap anak nefrotik yang mengembangkan takipnea akut atau
hipoksia. (Gbadegesin and Smayer, 2008)

Gagal Ginjal Akut


Gagal ginjal akut (ARF) merupakan komplikasi yang relatif
jarang dari sindrom nefrotik pada anak-anak. Penyebab termasuk
(1) penurunan perfusi ginjal, (2) nekrosis akut tubular, (3)
trombosis vena renal, (4) edema interstitial ginjal, dan (5)
perubahan permeabilitas glomerulus. (Gbadegesin and Smayer,
2008)

Thromboembolism
Risiko fenomena tromboemboli pada anak-anak dengan
sindrom nefrotik diperkirakan 1,8% sampai 5%. Faktor-faktor
yang berkontribusi terhadap peningkatan risiko trombosis selama
sindrom nefrotik termasuk kelainan koagulasi cascade, seperti
peningkatan sintesis faktor pembekuan dalam hati (faktor I, II, V,
VII, VIII, X, dan XIII), dan hilangnya koagulasi inhibitor seperti
antitrombin III da lam urin. Biasanya merupakan thrombosis
vena. Tempat yang paling umum untuk trombosis vena dalam
adalah kaki, pembuluh darah ileofemoral, dan vena cava inferior.
Selain itu, penggunaan kateter vena sentral dapat lebih
meningkatkan risiko trombosis. Trombosis vena renalis (RVT) juga
dapat terjadi dan dapat bermanifestasi sebagai hematuria gross
dengan atau tanpa gagal ginjal akut. (Gbadegesin and Smayer,
2008)

(GHbadegesin, 2008)

i. Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai
berikut:
1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2
tahun atau di atas enam tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi
respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid,
tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse berulang dan
sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan
steroid. (Noer. et al, 2006)
3. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam ttg Urin dan Darah
Fikih Terhadap Urin
Hadits 10

Dari Anas bin Malik radiyallahu anhu-, dia berkata, Pernah datang
seorang arab Badui, lalu dia kencing di pojok masjid,
kemudian orang-orang menghardiknya, dan Rasulullah
menahan hardikan mereka. Ketika dia telah menyelesaikan
kencingnya, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam- pun
memerintahkan (untuk mengambil) seember air, lalu beliau
siramkan ke tempat itu (Muttafaqun Alaihi)

Faedah Hadits

Air kencing (manusia) itu najis, dan wajib mensucikan tempat


yang mengenainya baik itu badan, pakaian, wadah, tanah, atau
selainnya.
Cara mensucikan air kencing yang ada di tanah adalah
menyiramkannya dengan air, dan tidak disyaratkan memindahkan
debu dari tempat itu baik sebelum menyiramnya maupun
setelahnya. Hal serupa (penyuciannya) dengan air kencing adalah
(penyucian) najis-najis lainnya, dengan syarat najis-najis tersebut
tidak berbentuk padatan.

Penghormatan terhadap masjid dan pensuciannya, serta


menjauhkan kotoran dan najis darinya. Telah diriwayatkan oleh aljamaah, kecuali imam Muslim bahwa beliau shallallahu alaihi wa
sallam berkata kepada orang Badui tersebut, Sesungguhnya
masjid ini tidak layak dikotori sesuatu berupa kencing ini dan
kotoran, tempat ini hanyalah untuk berdzikir kepada Allah dan
membaca Al Quran.
Toleransinya akhlak Nabi shallallahu alaihi wa sallam-. Beliau
memberi petunjuk kepada orang arab Badui tersebut dengan
lemah lembut setelah dia selesai kencing, yang membuat dia
mengkhususkan doanya untuk nabi, dia berkata, Ya Allah,
rahmatilah aku dan Muhammad, dan janganlah engkau rahmati
seorangpun yang ada bersama kami, sebagaimana yang terdapat
di Shahih Al Bukhori.
Luasnya pandangan beliau dan pengenalan beliau tentang tabiat
manusia serta baiknya akhlak beliau bersama mereka sampaisampai seluruh hati mereka mencintai beliau, Allah taala
berfirman, Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi
pekerti yang luhur (QS Al Qolam : 4).
Ketika ada berbagai kerusakan berkumpul, maka yang dilakukan
adalah kerusakan yang lebih ringan. Beliau shallallahu alaihi wa
sallam- membiarkannya sampai selesai kencing, agar tidak
mengakibatkan mudhorat dengan terputusnya kencing (secara
mendadak) dan dari terkotorinya badannya, pakaiannya, dan
menyebarnya kencing tersebut ke daerah lain di dalam masjid
tersebut, serta bahaya yang terjadi pada tubuhnya khususnya
saluran kencing
Jauhnya dari masyarakat dan kota menyebabkan kurangnya
pengetahuan dan kebodohan.
Anjuran lemah lembut dalam mengajarkan orang yang bodoh
tanpa kekerasan
o Bahwa yang dikenai hukum-hukum syarI berupa dosa atau
hukuman di dalam kehidupan hanyalah untuk orang yang tahu
terhadap hukumnya, adapun orang yang bodoh maka tidak tercela
baginya, akan tetapi diajarkan padanya agar dia mengerjakannya.
Fikih Terhadap Darah (Tuasikal, 2010)
Penjelasan Mengenai Darah
Darah menjadi tiga macam: [1] Darah haidh, [2] Darah manusia, dan
[3] Darah hewan yang halal dimakan.
[1] Darah Haid

Untuk darah haidh sudah dijelaskan bahwa darah tersebut adalah


darah yang najis. Dalil yang menunjukkan hal ini, dari Asma binti Abi
Bakr, beliau berkata, Seorang wanita pernah mendatangi Nabi
shallallahu alaihi wa sallam kemudian berkata, Di antara kami ada
yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?
Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, Gosok dan keriklah
pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah. Kemudian shalatlah
dengannya. (HR. Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291)
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, Perintah untuk
menggosok dan mengerik darah haidh tersebut menunjukkan akan
kenajisannya. Hal ini pun telah disepakati oleh para ulama.
[2] Darah manusia
Untuk darah manusia, mengenai najisnya terdapat perbedaan
pendapat di antara para ulama. Mayoritas ulama madzhab
menganggapnya najis. Dalil mereka adalah firman Allah Taala,

Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor.
(QS. Al Anam: 145). Para ulama tersebut menyatakan bahwa karena
dalam ayat ini disebut darah itu haram, maka konsekuensinya darah
itu najis.

Namun ulama lainnya semacam Asy Syaukani[6] dan muridnya


Shidiq Hasan Khon[7], Syaikh Al Albani[8] dan Syaikh Muhammad bin
Sholih Al Utsaimin rahimahumullah menyatakan bahwa darah itu suci.
Alasan bahwa darah itu suci sebagai berikut.
Pertama: Asal segala sesuatu adalah suci sampai ada dalil yang
menyatakannya najis. Dan tidak diketahui jika Nabi shallallahu alaihi
wa sallam memerintahkan membersihkan darah selain pada darah
haidh. Padahal manusia tatkala itu sering mendapatkan luka yang
berlumuran darah. Seandainya darah itu najis tentu Nabi shallallahu
alaihi wa sallam akan memerintahkan untuk membersihkannya.[9]
Kedua: Sesuatu yang haram belum tentu najis sebagaimana dijelaskan
oleh Asy Syaukani rahimahullah[10].
Ketiga: Para sahabat dulu sering melakukan shalat dalam keadaan luka
yang berlumuran darah. Mereka pun shalat dalam keadaan luka tanpa

ada perintah dari Nabi shallallahu


membersihkan darah-darah tersebut.

alaihi

wa

sallam

untuk

Sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits yang menceritakan


seorang Anshor. Ketika itu ia sedang shalat malam, kemudian orangorang musyrik memanahnya. Ia pun mencabut panah tadi dan
membuangnya. Kemudian ia dipanah sampai ketiga kalinya. Namun
ketika itu ia masih terus ruku dan sujud padahal ia dalam shalatnya
berlumuran darah.
Ketika membawakan riwayat ini, Syaikh Al Albani rahimahullah
menjelaskan, Riwayat ini dihukumi marfu (sampai pada Nabi
shallallahu alaihi wa sallam). Karena sangat mustahil kalau hal ini
tidak diperhatikan oleh beliau shallallahu alaihi wa sallam. Seandainya
darah yang amat banyak itu menjadi pembatal shalat, tentu beliau
shallallahu alaihi wa sallam akan menjelaskannya. Karena
mengakhirkan penjelasan di saat dibutuhkan tidak diperbolehkan,
sebagaimana hal ini telah kita ketahui bersama dalam ilmu ushul.

Juga ada beberapa riwayat lainnya yang mendukung hal ini. Al Hasan
Al Bashri mengatakan,


Kaum muslimin (yaitu para sahabat) biasa mengerjakan shalat dalam
keadaan luka.
Dalam Muwatho disebutkan mengenai sebuah riwayat dari Miswar bin
Makhromah, ia menceritakan bahwa ia pernah menemui Umar bin Al
Khottob pada malam hari saat Umar ditusuk. Ketika tiba waktu
Shubuh, ia pun membangunkan Umar untuk shalat Shubuh. Umar
mengatakan,



Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.
Lalu Umar shalat dalam keadaan darah yang masih mengalir.[14]
Hal ini menunjukkan bahwa pendapat terkuat dalam masalah ini, darah
manusia itu suci baik sedikit maupun banyak. Namun kita tetap
menghormati pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa
darah itu najis. Wallahu alam bish showab.

[3] Darah dari hewan yang halal dimakan


Pembahasan darah jenis ini sama dengan pembahasan darah manusia

di atas, yaitu tidak ada dalil yang menyatakan bahwa darah tersebut
najis. Maka kita kembali ke hukum asal bahwa segala sesuatu itu suci.
Ada riwayat dari Ibnu Masud yang menguatkan bahwa darah dari
hewan yang halal dimakan itu suci. Riwayat tersebut,

Ibnu Masud pernah shalat dan di bawah perutnya terdapat kotoran


(hewan ternak) dan terdapat darah unta yang disembelih, namun
beliau tidak mengulangi wudhunya.[15]
Ada pula riwayat dari Ibnu Masud, ia mengatakan, Nabi shallallahu
alaihi wa sallam pernah shalat di sisi Kabah. Sedangkan Abu Jahl dan
sahabat-sahabatnya sedang duduk-duduk ketika itu. Sebagian mereka
mengatakan pada yang lainnya, Coba kalian pergi ke tempat
penyembelihan si fulan. Lalu Abu Jahl mendapati kotoran hewan,
darah sembelihan dan sisa-sisa lainnya, kemudian ia perlahan-lahan
meletakkannya pada pundak Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika
beliau sujud. Beliau shallallahu alaihi wa sallam merasa kesulitan
dalam shalatnya. Ketika beliau shallallahu alaihi wa sallam sujud, Abu
Jahl kembali meletakkan kotoran dan darah tadi di antara pundaknya.
Beliau tetap sujud, sedangkan Abu Jahl dan sahabatnya dalam keadaan
tertawa.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, Adapun darah selain
darah haidh, maka dalil yang menjelaskan mengenai hal ini beraneka
ragam dan mengalami keguncangan. Sikap yang benar adalah kembali
ke hukum asal segala sesuatu itu suci sampai ada dalil khusus yang
lebih kuat atau sama kuatnya yang menyatakan bahwa darah itu
najis.

Anda mungkin juga menyukai