Anda di halaman 1dari 4

BANTEN PADA MASA AWAL KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA

Bom atom yang dijatuhkan Sekutu di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan tiga hari
kemudian di kota Nagasaki membuat Kaisar Jepang, Hirohito, yang terpaksa menyerah tanpa syarat dan
mengakui kekalahannya dalam Perang Dunia II pada tanggal 14 Agustus 1945.
Berita penyerahan Jepang ini segera menyebar ke seluruh penjuru dunia. Tetapi, berita ini rupanya
sengaja diperhambat penyiarannya bagi daerah pendudukan Jepang. Walaupun demikian, berita
kekalahan dan bertekuk-lututnya Jepang terhadap Sekutu itu pun segera diketahui oleh pegawai Kantor
Berita Jepang Domei (sekarang telah kembali menjadi Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA)
di Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1945, yang segera menyampaikannya kepada para pemimpin
pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia.
Akhirnya, pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945, pukul 04.00 WIB, menjelang sahur, disaksikan oleh
Sukarni, Chaerul Saleh, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, Sudiro, B.M. Diah, Sayuti Melik,
dan Samaun Bakri, naskah Proklamasi Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama rakyat Indonesia di
Orange Nassau Boulevard, Jakarta, tepatnya di rumah Laksamana Maeda. Pada pukul 10.00 WIB,
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan dari Jalan Pegangsaan Timur no. 56, Jakarta,
tempat dikediaman Bung Karno, dengan disaksikan oleh beribu-ribu anggota masyarakat Jakarta. Berita
proklamasi kemerdekaan ini pun diselundupkan untuk disiarkan ke seluruh dunia melalui Domei dan
Hosho Kyoku (sekarang Radio Republik Indonesia = RRI).
Berita tentang kekalahan Jepang yang disusul dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia baru dapat
diterima dan disebarkan kepada penduduk di kota Serang pada tanggal 20 Agustus 1945 oleh Pandu
Kartawiguna, Ibnu Parna, Abdul Muluk, dan Ajiz. Mereka itu pemuda dari Jakarta yang diutus oleh
Chaerul Saleh untuk menyiarkan berita tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke daerah Banten.
Berita besar ini terutama disampaikan kepada tokoh masyarakat Serang, seperti Kiai Haji Achmad
Chatib, Kiai Haji Syamun dan Zulkarnain Suria, serta para tokoh pemuda seperti Ali Amangku dan Ayip
Dzuhri, dengan maksud agar mereka meneruskan berita itu secara berantai kepada seluruh masyarakat
di Keresidenan Banten.
Chaerul Saleh juga mengamanatkan agar para tokoh pemuda di Serang segera merebut kekuasaan dari
penguasa militer Jepang. Pada tanggal 22 Agustus 1945, beberapa pemuda di antaranya Sri Sahuli,
pegawai kantor sosial pemerintahan Jepang, berani memprakarsai penurunan bendera Jepang yang ada
di Hotel Vos Serang (sekarang menjadi Markas Kodim Serang). Peristiwa ini disusul dengan penurunan
bendera di kantor pemerintahan Jepang lain pada keesokan harinya.
Adanya gelagat penurunan bendera ini menunjukan bahwa para pemuda semakin berani bertindak dan
mulai giat menggerakan kekuatan rakyat untuk melucuti serdadu Jepang dan merebut kekuasaan
pemerintahan dari tangan orang Jepang. Melihat kejadian itu, banyak orang Jepang Sakura (istilah ini
dipakai untuk menyebut orang Jepang sipil) mulai meninggalkan Serang menuju Jakarta. Kepergian

mereka bukan berarti mereka setia kepada Jepang, tetapi mereka takut menjadi sasaran luapan
kemarahan rakyat Banten.
Syuchokan (Residen) Banten Yuki Yoshii menyerahkan jabatannya kepada Fuku-Syuchokan (Wakil
Residen) Banten Tirtasujatna. Orang Jepang militer tetap berada di pos mereka di Gorda, Sajira dan
Anyer untuk melaksanakan perintah Sekutu, supaya status quo tetap terjaga. Tetapi tidak lama
menjabat sebagai Residen, Raden Tirtasujatna pun melarikan diri ke Bogor, meskipun sebenarnya ia
telah ditunjuk oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai Residen Banten.
Dalam situasi tersebut, hanya kelompok pemuda yang berani bergerak dan mengambil inisiatif untuk
melucuti orang Jepang yang berada di Serang dan sekitarnya. Usaha tersebut diprakarsai oleh pemuda
yang tergabung dalam organisasi yang diberi nama Angkatan Pemuda Indonesia (API). Organisasi ini
terbentuk pada tanggal 1 September 1945 atas prakarsa Chaerul Saleh yang didukung oleh 31 pemuda
Menteng yang tidak puas terhadap tindakan pemerintah karena dirasa lambat mengenai kekuasaan dari
Jepang. API Serang yang didirikan oleh eks yugekitai yang diketuai oleh Ali Amangku, sedangkan
pemimpin API Putri adalah Sri Sahuli dan bermarkas di Kampung Kaujon Kalimati, Serang.
Atas desakan pemuda API, pada pertengahan bulan September 1945, diadakan perundingan dengan
para tokoh masyarakat Kabupaten Serang, diantaranya Kiai Haji Achmad Chatib, Kiai Haji Syamun dan
Zulkarnain Suria Kartalegawa. Perundingan ini dilaksanakan di tempat Zulkarnain Suria Kartalegawa, di
dekat Rumah Sakit Serang. Dalam perundingan ini, dibicarakan pembagian tugas, khususnya dalam
pemerintahan di Banten. Dalam perundingan itu juga pemuda mengusulkan kepada Pemerintah
Republik Indonesia agar segera mengangkat Kiai Haji Achmad Chatib sebagai Residen Banten, yang
menangani administrasi dan pemerintahan sipil di Banten, dan Kiai Haji Syamun untuk menangani
segala unsur militer.
Setelah dilantik sebagai Residen Banten, untuk membantu kelancaran pemerintahan, K.H. Acmad
Chatib menunjuk Zulkarnaen Suria Kertalegawan menjadi Wakil Residen. Untuk mengisi jabatan bupati
di daerah Serang, Pandeglang dan Lebak, K.H. Achmad Chatib meminta para bupati lama untuk
sementara tetap dalam jabatan dan meneruskan tugasnya. Mereka itu Raden Hilman Djajadiningrat
(Serang), Mr. Jumhana (Pandeglang), dan Raden Hardiwinangun (Lebak). Jabatan dalam KNI Daerah di
setiap Kabupaten masing-masing diserahkan kepada Ce Mamat untuk Serang, Mohammad Ali untuk
Pandeglang dan Raden Djajarukmantara untuk Lebak.
K.H Syamun yang ditunjuk menangani bidang militer segera mewujudkan pembentukan BKR di Banten.
Yang menjadi anggota BKR di Banten ini bekas anggota PETA, Heiho, Hizbullah, Sabilillah, API dan lainlain bentuk kelaskaran. Dalam persenjataan, pasukan BKR hanya memiliki beberapa senjata api saja
dengan sekian banyaknya anggota, karena dua hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI para
pemimpin PETA yang orang Jepang sudah melucuti senjata anak buahnya. Oleh sebab itu, untuk
mendapatkan senjata yang diperlukan pasukan yang menjadi pasukan inti perjuangan rakyat Banten,
K.H. Syamun mengadakan perundingan dengan K.H. Achmad Chatib. Kemudian disepakati utntuk
berunding dengan Kenpetai di Serang agar Jepang menyerahkan senjatanya kepada BKR.

Perundingan dengan Kenpetai dilakukan sampai dua kali, karena pihak Jepang meminta perundingan ini
dilakukan secara resmi, yang langsung dihadiri oleh Residen Banten, K.H.Chatib untuk ikut serta dalam
perundingan ini. Perundingan ini dilakukan pada tanggal 4 Oktober 1945 dan pada tanggal 5 Oktober
1945. Hasil perundingan itu adalah bahwa pihak Kenpetai menyetujui usul K.H. Chatib asal pihak BKR
dan Residen bersedia menjamin keselamatan seluruh orang Jepang yang berada di Keresidenan Banten.
Berdasarkan persetujuan ini, Residen mengumumkan agar semua orang Jepang yang masih berada di
Keresidenan Banten, segera berkumpul di kota Serang, di markas Kenpetai selambat-lambatnya
sebelum tanggal 9 Oktober 1945 untuk diangkut ke Jakarta dengan pengawalan pasukan BKR.
Peristiwa yang terjadi di jalan kereta api di Warunggunung, Rangkasbitung, dimana bermula pemimpin
BKR mengutus Abdul Mukti dan Juhdi untuk melakukan penjemputan pasukan Angkatan Darat Jepang,
Rikugun di Sajira, Rangkasbitung. Untuk melaksanakan tugas itu, kedua utusan dikawal oleh Sembilan
tentara Jepang. Sebelum sampai tujuan, rombongan ini dihadang oleh rakyat di lintas jalan kereta api
Warungunung. Dendam rakyat terhadap Jepang sudah tidak dapat dikendalikan, sehingga melihat iringiringan tentara Jepang, rakyat menyerbu ke dalam truk dan kesembilan serdadu Jepang dibunuh. Abdul
Mukti dan Juhdi melarikan diri dan melaporkan kejadian itu kepada pemimpin BKR di Serang. Dengan
alasan terjadinya peristiwa ini, pihak Kenpetai membatalkan persetujuan untuk menyerahkan senjata
ke KBR.
Menyaksikan hal tersebut, Ali Amangku, Zulkarnaen Suria Kertalegawan dan K.H Syamun melakukan
perundingan untuk menyerbu markas Kenpetai yang terletak barat alun-alun Kota Serang. Keputusan
tersebut mengandung resiko yang mengkhawatirkan dari publik, mengingat persenjataan BKR sangat
sedikit. Hari itu juga keputusan hasil rapat tersebut disebar-luaskan kepada pemimpin pemuda,
masyarakat dan ulama se-Kabupaten Serang.
Pertemuan pemimpin berlangsung sampai pukul 03.00 WIB dan diputuskan penyerbuan ke markas
Kenpetai dimulai setelah adzan subuh, yaitu sekitar pukul 04.30 hari Kamis tanggal 10 Oktober 1945.
Untuk menyerbu ke markas Kenpetai disusunlah strategi sebagai berikut : Medan pertempuran
(palagan) dibagi menjadi empat sektor yang masing-masing sektor dipimpin oleh pemuda bekas
syudanco Peta : Iski memimpin sektor utara (depan), Zaenal Falah memimpin sektor timur (samping
kiri), Nunung Bakri memimpin sektor barat (sektor kanan), dan Salim Nonong memimpin sektor selatan
(belakang).
Pasukan rakyat dari luar Serang akan menempati daerah di sekitar markas Kenpetai, yaitu Kampung
Dalung, Benggala, Kaujon dan Lontar. Penyerangan akan dimulai pada hari Kamis 10 Oktober 1945 atau
5 Zukaidah 1365 Hijriah, pukul 03.00. Sebagai kode penyerangan akan dimulai dengan pemadaman
listrik di seluruh Kota Serang dan diawali dengan tembakan keiki kanju (karaben steyer) oleh Iski.
Komando penyerangan dipegang oleh Ali Amangku.
Peyerbuaan ke markas Kenpetai berlangsung sangat alot, masing-masih kedua belah pihak tetap
bertahan. Melihat situasi yang tidak menguntungkan, sepuluh anggota BKR, K.H. Achmad Chatib, K.H.
Syamun, H. Abdullah dan K.H Djunaedi segera memanggil para pemimpin pejuang. Dinasihatkan bahwa

berjihad yang dikehendaki Islam bukanlah berarti bunuh diri, melainkan mati syahid dalam membela
agama dan negara dengan strategi yang sewajarnya. Karena cara yang dilakukan mereka cenderung
pada bunuh diri yang mengorbankan ratusan bahkan ribuan pemuda sia-sia. Oleh karena itu, musuh
cukup dikurung terus sampai kehabisan perbekalan lalu diserbu.
Sekitar pukul 20.00 WIB terdengar tembakan gencar dari markas Kenpetai yang diarahkan ke Kampung
Benggala. Setengah jam kemudian, tembakan pun berhenti, sehingga suasana menjadi hening sampai
matahari terbit. Hal itu menimbulkan kecurigaan para pemuda, sehingga beberapa dari mereka
mengintip ke dalam markas yang ternyata telah kosong, kecuali ada dua mayat tentara Jepang.
Rupanya tembakan gencar itu untuk mengalihkan perhatian pasukan rakyat dari gerakan pasukan
Jepang yang sebenarnya, yaitu melarikan diri. Dengan menggunakan empat truk, mereka meloloskan
diri dari belakang, lewat jalan rumah sakit ke Jakarta, dari arah timur melalui Cijawa, Cipete dan Ciceri.
Sumber
1.

:
Mansur, Khatib. 2001. Perjuangan Rakyat Banten Menuju Provinsi, Catatan Kesaksian
Wartawan. Antara Pustaka Utama : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai