TESIS
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
TESIS
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
Oleh
NATALITA SOLAGRACIA
SITUMORANG 077005084/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2009
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
Judul Tesis
Nama Mahasiswa
Nomor Pokok
Program Studi
PERTANGGUNGJAWABAN
RUMAH
SAKIT
TERHADAP PASIEN DALAM JASA PELAYANAN
KESEHATAN
MENURUT
UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Natalita Solagracia Situmorang
077005084
Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi
Pembimbing
(
P
r
o
f
.
D
r
.
N
i
n
g
r
u
m
N
a
t
a
s
y
a
S
i
r
a
i
t
,
S
H
,
M
L
I
)
K
e
t
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
u
a
(Prof.Dr.Suhaidi,SH.MH) Anggota
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
Direktur
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
Anggota
: 1. Prof.Dr.Suhaidi,SH.MH
5. ABSTRAK
6.
7.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
16.
ABSTRACT
17.
18.
19.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
29. Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus karena kasihNya telah memberikan
kesehatan dan kekuatan kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis yang
merupakan salah satu syarat dalam meraih gelar Magister Humaniora pada Program
Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
dengan judul tesis "Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam
Jasa
Pelayanan
Kesehatan
Menurut
Undang-undang
Perlindungan
Konsumen."
30.
Dalam penulisan tesis ini telah banyak pihak yang memberikan bantuan dan
dukungan, tetapi Penulis menyadari bahwa tesis ini mungkin masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, Penulis mohon saran dan kritikan yang bersifat membangun demi
kesempurnaan tesis ini.
31. Penulis menyadari bahwa sejak awal, pertengahan hingga akhir penulisan tesis ini
telah banyak pihak memberi bimbingan, bantuan, dan dukungan, untuk itu Penulis
dengan tulus iklas mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
10. Drs.Arnold Budiman Hutasoit selaku Ketua Yayasan Setia Budi Mandiri yang telah
memberikan banyak kelonggaran waktu dalam bekerja mulai dari proses perkuliahan
sampai penyelesaian tesis ini.
11. Terkhusus kepada kedua orang tuaku yang terkasih Ayahanda Drs.Mananda Situmorang
M.Si dan Dumaris Bako yang tidak henti-hentinya memberikan doa,
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
12. motivasi, perhatian dan cinta kasih selama pendidikan sampai proses penyelesaian tesis
selesai. Beribu-ribu terima kasihku semoga Tuhan memberkati.
12. Abang tersayang Ferdinand Damenson,SE, Marton Tohap,SPd, dan juga adikku
tersayang Manahan Credo,S.Kom dan Patar Immun terima kasih buat doa dan
dukungannya. Walaupun kita semua berjauhan namun perhatian dan kasih sayang kalian
tetap kurasakan dalam menyemangatiku untuk menyelesaikan pendidikan
13. ,i
13. Kepada sahabatku Indah Lestari,SE dan Irma Uli,Spak terima kasih buat doa dan
perhatiannya, dan juga buat Bona Fernandez,SH yang telah memberi motivasi dalam
menyelesakan tesis ini.
14. Seluruh teman-teman Angkatan 2007 di Sekolah Magister Ilmu Hukum. Dan juga buat
Febria Yanti, Bang Parlin Dony, Ibu Theresia, Gilang, Pak Verry, Guntur, Bang Abdilah
terima kasih buat suka duka yang dirasakan dan dukungan selama menempuh pendidikan
di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
15. Teman-teman di Yayasan Setia Budi Mandiri buat Martin Sihombing S.Pd, Debora
Ambarita,SPd, Delores, Maya Andriani,SPd, dan teman-teman yang lain yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, terima kasih buat dukungan sehingga Penulis dapat
menyelesaikan pendidikan ini tepat pada waktunya.
16. Tidak ketinggalan kepada keluarga di Palembang kota kenangan, buat keluarga besar
Wahyu Siregar dan keluarga besar Tulus Sitohang terima kasih buat doanya, dan juga
buat Hasian,ST dan Jimmy,ST terima kasih buat dukungannya.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
17. Akhir kata Penulis berharap tesis ini dapat memberikan kontribusi bagi
semua pihak yang berkepentingan dan diharapkan secepatnya agar disahkan Rancangan
Undang-undang tentang Rumah Sakit Tahun 2008 menjadi Undang-Undang sehingga ada
payung hukum yang melindungi hak pasien di Indonesia. Kiranya Tuhan Yang Maha
Kuasa memberikan berkat dan kasih karunia kepada kita semua.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
18.
19.
20.
21.
22.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
24.
25.
26.
27.
28.
29.
Penulis
30.
31. Nama
37.
RIWAYAT HIDUP
Natalita Solagracia
32. Tempat/Tgl
Lahir
gama
35. Pendidikan
36.
Magister
Universitas
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
DAFTAR ISI
- Halaman
-
ABSTRAK........................................................................................................
ABSTRACT......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A. Latar Belakang......................................................................................
B. Perumusan Masalah..............................................................................
17
C. Tujuan Penelitian..................................................................................
18
D. Manfaat Penelitian................................................................................
18
E. Keaslian Penelitian................................................................................. 19
F. Kerangka Teori dan Konsepsi................................................................ 19
-
1. Kerangka Teori...............................................................................
19
2. Konsepsi........................................................................................
27
G. Metode Penelitian.................................................................................
32
1. Sifat Penelitian..............................................................................
32
2. Sumber Data.................................................................................
33
34
35
37
37
56
60
76
7.
77
82
85
85
91
9.
11................................................................................................KONSU
MEN (PASIEN) DI RUMAH SAKIT.............................................
114
124
129
144
146
153
13.
14.........................................................................................................................BAB
IV
172
A. Kesimpulan.........................................................................................
172
B. Saran.......
173
15.
16.
17........................................................................................................................DAFTA
R PUSTAKA..............................................................................................................
174
18.
19.
20. N
o
m
o
r
23. 1
DAFTAR LAMPIRAN
21.
22. Hala
man
26.
Judul
25. 181
27.
B
A
B
I
28. PENDAHULUAN
29.
30.
Dalam dunia medis yang semakin berkembang, peranan rumah sakit sangat
penting dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau mundurnya masyarakat akan
sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang bekerja di rumah sakit, dalam hal
ini dokter, perawat dan orang-orang yang berada di tempat tersebut. Dari pihak rumah sakit
diharapkan mampu memahami konsumennya secara keseluruhan agar dapat maju dan
berkembang.1
33.
tenaga yang bekerja di rumah sakit yang bersangkutan. Akan tetapi, tenaga professional yang
bekerja di rumah sakit dalam memberikan putusan secara professional adalah mandiri.
Putusan tersebut harus dilandaskan atas kesadaran, tanggung jawab dan moral yang tinggi
sesuai dengan etika profesi masing-masing.2
34.
tenaga kesehatan3, sarana kesehatan4, upaya kesehatan5, dan pasien6. Pelayanan jasa
2.
4.
5.
1. 'Henny
Saida Flora,
http://www.freewebs.com/pencegahanberspektifpasien/implikasihukum.html , diakses 25 Maret 2009
3
3.
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan keterampilan melalui pendidikan bidang kesehatan yang untuk sejenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang No.23 Tahun 1992
tentang Kesehatan.
4
Sarana Kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Pasal 1
ayat (4) Undang-Undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
35.
pelayanan kesehatan, umumnya diperoleh melalui jasa perorangan, misalnya praktek dokter,
dokter gigi, bidan, dan yang diperoleh melalui lembaga pelayanan kesehatan seperti rumah
sakit, balai pengobatan, rumah bersalin, apotik dan sejenisnya. 7
36.
untuk meningkat derajat kesehatan baik perorangan maupun kelompok atau masyarakat
secara keseluruhan. Azwar yang mengutip pendapat Lavey dan Loomba mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan ialah setiap upaya baik yang diselenggarakan
sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan memelihara
kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit dan memulihkan kesehatan yang
6.
37.
38.
39.
yaitu :9
7.
8.
9.
11.
12.
13.
14.
Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang
dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat. Pasal 1 ay at (2) Undang-undang No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan.
6
Pasien adalah orang yang mendapatkan pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan yang didasarkan kepada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan biopsikososio spritual yang komprehensif, yang ditujukan kepada individu maupun keluarga dan masyarakat,
baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Bahder Johan Nasution,
Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter (Surabaya: Rineka Cipta),
2005, hal 10.
10. 7
R.Sianturi, Perlindungan konsumen dilihat dari sudut peraturan perundang-undangan
Kesehatan. Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Bina Cipta,
2000), ha8l.31.
8
Hendrojono Soewono, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktek Dokter dalam Transaksi
Terapeutik (Surabaya: Srikandi, 2005) hal.100.
9
Rio Christiawan, Aspek Hukum Kesehatan Dalam Upaya Medis Transplantasi Organ Tubuh
(Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003), hal.1.
1. Health Receivers, yaitu penerima pelayanan kesehatan. Yang termasuk dalam kelompok
ini: pasien, yaitu orang yang sakit; mereka yang ingin memelihara/meningkatkan
kesehatannya, misalnya ingin divaksinasi atau wanita hamil yang memeriksakan
kandungannya.
41.
42.
klinis yang sifatnya lebih detail dan berpedoman pada standar praktik keperawatan dan
standar pelayanan rumah sakit itu sendiri sesuai dengan kondisi rumah sakit yang
bersangkutan. Penamaan tentang standar pelayanan kesehatan untuk setiap rumah sakit
berbeda-beda, ada yang menggunakan nama formularium diagnosis dan terapi, ada yang
menamakannya dengan standar dan prosedur tetap konsultasi medis, dan ada juga yang
menggunakan nama prosedur tetap rumah sakit.11
44.
dalam menjalankan profesinya seperti dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan,
nutrisionis, fisioterapis, ahli rekam medik, dan lain-lain. Masing-masing disiplin ini
umumnya telah mempunyai etik profesi yang harus diamalkan anggotanya. Begitu pula
rumah sakit sebagai institusi dalam pelayanan kesehatan juga telah mempunyai etika yang
ada di Indonesia yang terhimpun dalam Etik Rumah Sakit Indonesia (ERSI). Dengan
demikian dalam menjalankan pelayanan kesehatan masing-masing profesi harus berpedoman
pada etika profesinya dan harus pula memahami etika profesi disiplin lainnya apalagi dalam
wadah dimana mereka berkumpul (rumah sakit), agar tidak saling berbenturan. 12
45.
1. Pelayanan medis dalam arti luas yang menyangkut kegiatan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif;
Peran dan fungsi rumah sakit sebagai tempat untuk melakukan pelayanan kesehatan
yang profesional erat kaitannya dengan 3 unsur, yaitu : 14
47.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga telah berikrar tentang hak dan kewajiban
pasien dan dokter, yang wajib untuk diketahui dan dipatuhi oleh seluruh dokter di Indonesia.
Salah satu hak pasien yang utama dalam ikrar tersebut adalah hak untuk
18. 13 Op.Cit,
19.
Henny
Saida Flora,
http://www.freewebs.com/pencegahanberspektifpasien/implikasihukum.html.
14
Ibid
48.
menentukan nasibnya sendiri, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, serta
hak atas rahasia kedokteran terhadap riwayat penyakit yang dideritanya. 15
49.
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Adapun pengertian konsumen di
sini adalah konsumen akhir, sedangkan produk berupa obat-obatan, suplemen makanan, alat
kesehatan, sementara produk jasa berupa jasa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
dokter dan jasa asuransi kesehatan.17
50.
51.
18
Apabila ditinjau dari hubungan hukum yang timbul antara pasien dan rumah
"Dokter dan Tanggung jawab Terhadap Pihak Ketigd", http://www.modusacehnews.com.html, diakses pada tanggal 25 Maret 2009.
16
Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999.
17
http://www.analisadaily.com/index.php?option=com content&view=article&id=11479:perli ndungankonsumen-kesehatan-berkaitan-dengan-malpraktik-medik-&catid , diakses pada tanggal 25 Maret 2009.
18
Ibid
19
Op.Cit,
Henny
Saida Flora,
23.
24.
25. http://www.freewebs.com/pencegahanberspektifpasien/implikasihukum.html.
1. Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa
pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan dimana tenaga perawatan
melakukan tindakan perawatan.
2. Perjanjian pelayanan medis dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan
pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk
menyembuhkan pasien melalui tindakan medis Inspannings Verbintennis20.
54.
KUPerdata, sedangkan untuk pelaksanaan perjanjian itu sendiri harus dilaksanakan dengan
itikad baik sesuai dengan Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata. Dengan adanya ketentuan ini,
maka proses terhadap kepastian perlindungan hukum bagi pasien dan rumah sakit terjadi
dengan lahirnya kata sepakat yang disertai dengan kecakapan untuk bertindak dalam
perjanjian, diantara pasien, tenaga kesehatan dan rumah sakit. 21
55.
26. 20Inspannings verbintennis adalah perjanjian antara dokter dan pasien. Dalam inspannings verbintennis
27.
kewajiban hukum dokter berupa kewajiban berusaha sekeras-kerasnya dan sungguh-sungguh untuk
melakukan pengobatan atau penyembuhan atau pemulihan kesehatan pasien yang juga mengandung
kewajiban perlakuan yang benar, teliti, penuh pertimbangan, dan kehati-hatian yang tinggi, Chrisdiono
M.Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, (Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2006) hal.40.
21
Ibid
56.
1. Adanya kesepakatan dari kedua belah pihak yang bebas dari paksaan, kekeliruan, salah
paham dan penipuan.
2. Kedua belah pihak telah cakap untuk membuat membuat suatu perjanjian.
3. Adanya suatu hal tertentu/nyata yang diperjanjikan.
4. Perjanjian tersebut mengenai suatu sebab yang halal, yang dibenarkan dan tidak dilarang
oleh peraturan perundang-undangan, serta merupakan suatu sebab yang masuk akal untuk
dipenuhi oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian.
57.
Perlindungan hukum tidak terlepas dari tanggung jawab pelaku usaha untuk
memenuhi tuntutan konsumen. Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam
hukum dapat dibedakan sebagai berikut :24
28. 22 Ningrum Natasya Sirait, Diktat Kuliah Azas Kebebasan Berkontrak & Perjanjian Baku,
Pasca Hukum USU,2008, hal. 39
3. Praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab {Presumption of Non Liability) Prinsip ini
adalah
kebalikan
dari
prinsip
kedua.
Prinsip
praduga
untuk
tidak
selalu
Dalam kaitan dengan tanggung jawab rumah sakit, maka prinsipnya rumah
sakit bertanggungjawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan sesuai dengan bunyi Pasal 1367 (3) KUHPerdata. Selain itu rumah sakit juga
bertanggungjawab atas wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. 28 Pemberian sanksi
terhadap wanprestasi ini juga diatur dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1) Undang-undang
Kesehatan No. 23 Tahun 1992.29
8.
dari pihak pasien, maka tanggung jawab tidak langsung kepada pihak rumah sakit. Mengenai
tanggung jawab harus dilihat terlebih dahulu apakah kesalahan dilakukan oleh dokter itu
sendiri atau tenaga medis lain. Setiap masalah yang terjadi baik sengaja atau tidak sengaja
perlu diteliti terlebih dahulu. Jika kesalahan yang dilakukan para medis tersebut khusus
dokter yang melakukan, biasanya pihak rumah
32. 26
33. 27
34. 28
35.
Ibid, hal.59
Ibid, hal.64
Op.Cit, Shaleh
L.Seumawe.
29
Ibid
9.
sakit yang bertanggangjawab secara umum. Dan dokter sebagai pelaksana tindakan
juga dapat dikenakan sanksi. Terhadap tenaga kesehatan khususnya yang bekerja di rumah
sakit, ada 2 tenaga yaitu :30
sanksi yang dijatuhkan berupa diberhentikan oleh rumah sakit tempat ia bekerja. Dan akibat
dari kesalahan dokter atau paramedis lain yang menyebabkan kerugian terhadap pasien akan
menjadi beban bagi pihak rumah sakit.
12.
36. 30
37. 31
Ibid
Op.Cit, Bahder Johan
4.
Untuk terjadinya hubungan hukum dokter dan pasien, maka pasien harus
memberikan persetujuan untuk pengobatan ataupun perawatan. Persetujuan ini
disebut informed consent. Dalam Permenkes No.589 Tahun 1989 persetujuan
tindakan medik (informed consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien
atau keluarga atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut. Persetujuan tindakan medik {informed consent) ada 2
bentuk, yaitu :32
a. Keadaan normal
b. Keadaan darurat
2. Dinyatakan {expressed consent)
6.
a. Lisan
b. Tulisan
7. Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa
pernyataan tegas. Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan
atau tulisan, bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang
biasa.
38. 32
Ibid,
8.
1. Pelayanan produk jasa yang diberikan tenaga kesehatan (aspek teknis-medis), misa'nya:
pengaduan-pengaduan malpraktik medik.
3. Pelayanan produk jasa yang diberikan institusi pelayanan kesehatan (aspek manajerial),
misalnya: tagihan kamar perawatan sejak pendaftaran dilakukan, meskipun tindakan
medik pembedahan baru dilakukan keesokan harinya.
4. Pelayanan produk barang yang diberikan institusi pelayanan kesehatan, seperti ketiadaan
obat yang diresepkan dokter. Ketidaktersediaan obat tersebut diikuti dengan kebiasaan
buruk mengganti obat yang diresepkan dokter, misalnya mengganti resep.
9.
39. 33 Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT.Citra
Aditya Bakti, 2008), hal.83
10. atau ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) 34. BPSK merupakan salah
satu alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Alternatif Dispute
11.
12.
35
36 37
Resolution) yaitu konsiliasi , mediasi dan arbitrase yang dibentuk oleh Pemerintah.
Alternatif dalam penyelesaian sengketa konsumen juga dapat diselesaikan oleh suatu
badan yaitu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan khusus untuk
bidang pelayanan kesehatan adalah Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan
Indonesia (YPKKI).38
13.
14.
40. 34
41.
42.
43.
44.
45.
BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara Pelaku
Usaha dan Konsumen. Pasal 1 ay at (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.350/MPP/Kep/12/2001.
35
Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan
perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya
diserahkan kepada para pihak. Pasal 1 ayat (9) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.350/MPP/Kep/12/2001.
36
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan
perantaraan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Pasal 1 ayat
(10) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep/12/2001.
37
Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal
ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK. Pasal
1 ayat (11) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep/12/2001.
38
Yusuf Shofie, Sosok Peradilan Konsumen (Jakarta: Piramedia, 2004), hal.4.
39
Op.Cit, Adrian Sutedi, hal.26.
15.
4. Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang dan atau jasa yang dikonsumsi
atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban yang
tidak sedikit.
16.
kepentingan yang sama dapat dilakukan dengan jalur class action.41. Saat ini masyarakat
Indonesia sudah dapat mengajukan gugatan dengan prosedur class ction yang diatur dalam
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 yang disebut dengan nama "gugatan
perwakilan kelompok". Peraturan Mahkamah Agung tersebut
46. 40
47.
Susanti Adi Nugroho, Refleksi Praktek Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) Di
Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003), hal.8.
41
Class Action adalah adalah tata cara pengajuan, dalam mana satu orang atau lebih yang
mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri mereka sendiri sekaligus mewakili
sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara
wakil kelompok atau anggota kelompok dimaksud. Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen
Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Fakultas Hukum Pascasarjana
Universitas Indonesia, 2004), hal.211.
17.
mengartikan class action sebagai suatu cara pengajuan gugatan, dalam mana satu
orang atau lebih yang mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang
memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota
kelompok dimaksud.42
18.
telah diabaikan, oleh pihak penyelenggara jasa pelayanan kesehatan atau rumah sakit yaitu:
a) Kasus pada Februari 2005 yang dilakukan oleh Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta,
dimana ketidakhati-hatian dan ketidaktelitian Rumah sakit dan dokter dalam
mendiagnosa penyakit tumor ganas pada pasien mengakibatkan pasien meninggal.
b) Kasus pada Oktober 2007 di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan yang digugat oleh
pasien karna masalah pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan kesehatan.44
c) Kasus pada Juni 2009 di Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang yang terjerat
kasus hukum dengan pasien Prita Mulyasari, yang berawal dari pihak
48. 42 Erman Rajagukguk,dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Bandar Maju, 2000),
49. hal.67.
50. 43 Muhammad Ichsan, 'Mengakhiri Kolusi Dokter dan Perusahaan Farmasi dari
milis
keluarga sejahtera", http ://manikamanika.multiply.com/j ournal/item/3 7.com.html, diakses pada
tanggal 25 Maret 2009
51. 44
Sumber Data: Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Medan Tahun 2007
d)
e) merupakan hak pasien.45 Bila dilihat dari kasus yang ada di atas, maka sudah
seharusnya konsumen (pasien) mendapatkan perlindungan hukum. Apabila berbicara
tentang perlindungan hukum, maka hal itu berarti tidak terlepas pada masalah
tanggung jawab. Perlindungan hukum46 atas hak-hak konsumen di Indonesia,
sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan untuk konsumen
jasa pelayanan kesehatan juga diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan.
f)
g)
h) B. Perumusan Masalah
i)
j) 1. Bagaimanakah tanggung jawab rumah sakit terhadap pasien dalam pelayanan jasa
kesehatan di rumah sakit?
52. 45
53.
k) 2. Apa saja alternatif penyelesaian sengketa yang terjadi antara pasien (konsumen)
dengan pihak rumah sakit?
C. Tujuan Penelitian
l)
1. Untuk mengetahui tanggung jawab rumah sakit dalam pelayanan jasa kesehatan di rumah
sakit.
D. Manfaat Penelitian
m) Diharapkan kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini, baik bersifat teoritis
maupun praktis sebagai berikut:
1. Bersifat teoritis
n) Diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya hukum perlindungan konsumen dan hukum kesehatan.
2. Bersifat praktis
o) Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi, dalam hal ini Pemerintah
sebagai regulator yang berperan dalam membuat peraturan yang terkait dengan
perlindungan konsumen di rumah sakit. Selain itu penelitian ini
p) ditujukan kepada pelaku usaha yaitu rumah sakit agar dapat memahami tentang makna
pelayanan bagi pasien.
E. Keaslian Penelitian
r)
lingkungan
Universitas
Sumatera
Utara,
penelitian
mengenai
analisis
hukum
mengenai
s) semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah.
Sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keasliannya secara akademis
keilmuan dapat dipertanggungjawabkan.
t)
u)
bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan
suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. 47
v)
hukum. Kewajiban hukum berasal dari suatu norma trasendental yang mendasari segala
peraturan hukum. Norma dasar kemudian merumuskan kewajiban untuk mengukuti peraturan
hukum, dan mempertanggungjawabkan kewajiban untuk mengikuti peraturan-peraturan
hukum tersebut.48
w)
sebagai berikut:49
1. Prinsip Kesalahan
2. Prinsip Praduga selalu bertanggungjawab
3. Prinsip Praduga untuk tidak selalu bertanggungj awab
4. Prinsip Tanggung jawab mutlak
5. Prinsip Pembatasan tanggung j awab
x) Lawrence M.Friedman mengatakan bahwa fungsi hukum adalah untuk melindungi
kepentingan yang ada dalam masyarakat yang meliputi: 50 1. Subtansi hukum yaitu aturan,
norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem hukum itu.
54. 47
55.
56.
57.
58.
Jimmly Asshiddiqie dan M.Ali Safa'at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) hal.61.
48
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta:Kanisius, 1995),
hal.281.
49
Op.Cit, Johannes Gunawan, hal.45.
50
Bismar Nasution dan Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum, Pascasarjana Ilmu
Hukum, USU, 2008.
2. Struktur hukum, yaitu unsur-unsur jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksi tiap-tiap
peradilan dan upaya-upaya hukum.
y)
bentuk hukum dan proses kinerja hukum yang dilakukan oleh polisi, jaksa, dan hakim. 51
3. Budaya hukum yaitu menyangkut sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum.
z)
Menurut
teori
Johannes
Gunawan
menjelaskan
Undang-undang
a. Contract Liability
aa) Contract Liability atau pertanggungjawaban kontrak adalah tanggung jawab perdata
atas dasar perjanjian/kontrak dari pelaku usaha (baik barang maupun jasa), atas
kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau
memanfaatkan jasa yang diberikan.
b. Product Liability
ab)
Product Liability atau tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para
produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau
menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.
59. 51 Harkistuti Harkriswono, Menjalani Masa Transisi; Mungkinkah Hukum Sebagai Panglima,
60. 2002.
61. 52
62. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.Gramedia
Pustaka Utama, 2003), hal.25.
c. Profesional Liability
ac) Profesional Liability atau tanggung jawab profesional adalah tanggung jawab hukum
(legal liability) dalam hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien.
d. Criminal Liability
ad) Criminal Liability adalah tanggung jawab pidana yang mengatur tentang tindak atau
perbuatan pidana dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 61, 62, dan Pasal 63,
di mana maksimum sanksi pidananya penjara lima tahun atau denda dua miliar.
ae)
af)
53
ah)
ai)
menggunakan ketentuan-ketentuan baku dalam bertransaksi, dan isi dari klausula baku itu
lebih menguntungkan bagi pelaku usaha.
aj)
pangan dan papan. Tanpa hidup yang sehat, hidup manusia tanpa arti, manusia tidak mungkin
dapat melakukan kegiatan-kegiatan sehari-hari dengan baik.
ak)
an)
"Dalam rangka lebih meningkatkan pelayanan kesehatan, perlu terus
ditingkatkan mutu pelayanan kesehatan rumah-rumah sakit, lembaga-lembaga
pemulihan kesehatan, pusat-pusat kesehatan masyarakat serta lembaga-lembaga
kesehatan lainnya. Selanjutnya perlu ditingkatkan pula, para medis dan tenaga
kesehatan lainnya, serta penyediaan obat yang makin merata dan terjangkau oleh
rakyat."
ao)
ap)
Rumah sakit merupakan suatu badan usaha (laba atau nir laba) yang sudah
tentu mempunyai misi tersendiri seperti badan-badan usaha lainnya. Menurut jenisnya rumah
sakit terdiri dari, rumah sakit umum, rumah sakit jiwa dan rumah sakit khusus. Dan mengenai
rumah sakit umum menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.582/Menkes/SK/VI/1997
tentang pola tarif rumah sakit Pemerintah, terdapat rumah sakit umum kelas A, kelas B, kelas
C, kelas D.
65. 55
66.
Vicorius liability merupakan tanggung jawab atas kesalahan orang yang berada dibawah
pengawasan majikan. Ibid, hal.13.
56
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit
aq)
1. Rumah sakit menjadi lembaga yang makin rumit, padat karya, dan padat modal; rumah
sakit bukan lagi urusan profesi dokter dan perawat melainkan berbagai profesi dan tenaga
ahli lainnya terlibat di dalamnya;
191/Menkes-Kesos/SK/II/2001
157/Menkes/SK/III/1999
Tentang
Tentang
Perubahan
Perubahan
Kedua
Kepmenkes
Atas
RI
Permenkes
Nomor
Nomor
159b/Menkes/Per/II/1988 Tentang Rumah Sakit pada Bab II Pasal (3) dinyatakan sebagai
berikut :58
a. Rumah sakit dapat dimiliki dan diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta.
b. Rumah sakit pemerintah dimiliki dan diselenggarakan oleh :
as)
1. Departemen kesehatan;
67. 57 Op.Cit, Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, hal.70
68. 58 Robert
Imam
Sutedja,
"Peraturan
perundang-undangan
Rumah
http://www.indographstudio.com.html, diakses pada tanggal 23 Februari 2009
Sakit",
2. Pemerintah daerah;
3. ABRI;
4. Badan Usaha Milik Negara;
at) c. Rumah sakit swasta dimiliki dan diselenggarakan oleh :
1. Yayasan;
2. Badan Hukum lain yang bersifat sosial.
au)
maka berdasarkan peraturan ini kini pelayanan kesehatan swasta di medik boleh
diselenggarakan oleh : perorangan, kelompok, yayasan atau badan hukum lainnya. 59 Pada
awal berdirinya rumah sakit sesuai dengan buku yang diterbitkan oleh WHO Expert
Committee on Organization of Medical Care pada tahun 1975 yang berjudul Role of Hospital
In Programmes of Community Health Protection memuat salah satu konotasi yang pertama
mengenai pengertian rumah sakit sebagai unit sosial. 60 Yang berarti bahwa ide awal
pembentukan rumah sakit adalah untuk kegiatan yang bersifat sosial, tetapi dalam
perkembangannya fungsi sosial saja tidak akan memberikan perkembangan yang signifikan
dengan kemajuan teknologi kedokteran yang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Maka
status itu berubah menjadi sosial ekonomi. Jadi berdasarkan peraturan di atas akan terdapat
rumah sakit yang berbentuk IPSM (Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat) dan rumah sakit
sebagai suatu business enterprise, suatu bentuk baru dengan tujuan mencari keuntungan.
dkk, Rumah Sakit Proaktif Suatu Pemikiran Awal, (Jakarta: Nimas Multimah, 1997),
av)
Sumber daya manusia yang terdapat di rumah sakit adalah terdiri dari tiga
3. Pendidikan terutama bagi rumah sakit yang besar yang berfungsi sebagai rumah sakit
pendidikan;
4. Penelitian
ax) Di Indonesia terdapat Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) yang
didirikan pada tahun 1978 oleh kongres luar biasa PERSI yang diadakan pada tanggal
6 September 1986 telah disahkan Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI). Kode Etik itu
kemudian disahkan berlaku oleh Keputusan Menteri Kesehatan R.I Nomor
924/Men.Kes/SK/XII/1986
63
pendirian rumah sakit hingga sekarang. Dalam rapat kerja PERSI yang telah
71. 61
72.
73. 63
Ibid, hal.30.
ay)
berlangsung tanggal 15-17 Maret 1999 di Jakarta, telah disepakati Kode Etik Rumah
Sakit Indonesia yang baru dengan singkatan "KODERSI" yang dilengkapi dengan
penjelasannya.64
az)
ba)
bb)
2. Konsepsi
bc) Kerangka konsepsi menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan konsepsi yang
digunakan dalam penelitian tesis. Peranan konsep pada dasarnya dalam penelitian
adalah untuk menguhubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan
realitas yang akan digunakan sebagai landasan pada proses untuk melindungi para
pengguna jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit. 1. Konsumen
bd)
74. 64
75. 65
76.
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, Kode Etik Rumah Sakit Indonesia, 1999.
Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari
Perjanjian Baku Standard (Bandung: Binacipta, 1986), hal.57.
66
Op.Cit, Shidarta, hal.5.
Sudut
be)
Pegertian konsumen dalam hal ini adalah pasien. Pasien sebagai konsumen
diartikan "setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik kepentingan sendiri
maupun kepentingan orang lain". Pasien adalah orang yang mendapatkan suatu bentuk
pelayanan profesional yang merupakan bagian dari integral dari pelayanan kesehatan
didasarkan kepada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan biopsiko-sosio spritual
yang komprehensif, yang ditujukan kepada individu maupun keluarga dan masyarakat, baik
sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. 67
bf)
ayat (3) adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
77. 67 Soerjono Soekanto, Aspek Hukum Kesehatan,cet.I, (Jakarta: IND Hill-Co, 1989),
bk)
jasa pelayanan medik jangka pendek atau jangka panjang yang terdiri dari tindakan observasi
diagnostik, terapeutik dan rehabilitatif untuk orang-orang yang menderita sakit, terluka dan
untuk mereka yang mau melahirkan.69
bm)
kewajiban yang perlu diketahui oleh semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kesehatan di
rumah sakit agar dapat menyesuaikan dengan hak dan kewajiban di bidang profesi masingmasing. Karena hak dan tanggung jawab ini berkaitan erat dengan pasien sebagai penerima
jasa, maka masyarakat pun harus mengetahui dan memahaminya.
bn)
upaya kesehatan.70 Sarana kesehatan termasuk rumah sakit. Rumah sakit ini menyediakan
tempat bagi pasien (konsumen) untuk berobat atau menggunakan bentuk pelayanan kesehatan
lainnya. Bisa juga di samping itu menyediakan atas dasar berobat jalan kepada pasien-pasien
yang bisa langsung pulang.71 Rumah sakit
78. 68
79.
80.
81.
bq)
adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. 72 Jadi rumah sakit berfungsi sebagai
pemberi jasa pelayanan kesehatan.
4. Perlindungan Hukum
br) Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen
yang memuat asas-asas atau kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat
yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan
sebagai
keseluruhan
bs)
berbagai pihak satu sama lain yang berkaitan dengan barang dan jasa konsumen, di
dalam pergaulan hidup.73 Pengertian hukum konsumen juga meliputi keseluruhan
aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen di dalamnya. Jadi intinya
bukan pada kaidah yang harus "mengatur" atau "memaksa". 74
5. Tanggung Jawab
bt)
(kalau ada sesuatu hal maka boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya).
Tanggung jawab adalah kewajiban untuk memikul pekerjaan atau akibat yang ditimbulkan.
82. 72
83.
84.
bu)
b. Perbuatan melanggar hukum, dimana dokter telah berbuat melawan hukum karena
tindakannya bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang
diharapkan dari padanya dalam pergaulan dengan sesama warga masyrakat
(tanggung jawab berdasarkan undang-undang).
bv)
bw)
bx) 6. Wanprestasi
by)
Wanprestasi dalam arti harafiah adalah prestasi yang buruk yang pada
dasarnya melanggar isi/kesepakatan dalam suatu perjanjian/kontrak oleh salah satu pihak.
Pihak yang melanggar bisa disebut pihak debitur. Bentuk nyata pelanggaran
bz)
76
85. 75
86. 76
e.
antara dokter dan pasien terjadi berdasarkan kontrak terapeutik, dimana terjadi
pelanggaran kesepakatan oleh pihak dokter.
f.
g.
h. G. Metode Penelitian
i.
dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidahkaidah penelitian ilmiah, sebagai berikut: 1. Sifat Penelitian
j.
adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan.
k. Dalam penelitian ini, selain untuk mengumpulkan dan menganalisis data tentang kecukupan
kaidah-kaidah hukum dalam perlindungan pasien di rumah sakit dalam hal pelayanan
kesehatan, maka ditinjau pula tentang peraturan yang diberlakukan di rumah sakit, hal ini
dilakukan dengan memperbandingkan kaidah-kaidah hukum dalam perlindungan konsumen,
hukum kesehatan, serta peraturan perumahsakitan yang terkait dalam hal ini.
l.
m.
n.
o. 2. Sumber Data
p.
Untuk memperoleh hasil data yang akurat dan signifikan, data dikumpulkan
melalui studi pustaka yang dihimpun dan diolah dengan melakukan pendekatan yuridis
normative, penelitian deskriptif lebih mengutamakan data sekunder atau library research.
Data sekunder ini meliputi :77
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat berupa peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen dan
kesehatan yaitu UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undangundang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-undang No.29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran, Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum
primer antara lain berupa tulisan atau pendapat para ahli yang dimuat dalam buku-buku
ilmiah, hasil karya ilmiah, majalah, ceramah atau pidato, buletin dan hasil penelitian
yang ada hubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini adalah bahan hukum
sekunder.
c. Bahan hukum tertier berupa referensi lainnya yang berkaitan dengan topik penelitian
yang memberikan informasi-informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder seperti ensiklopedia, kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia,
dan surat kabar.78
87. 77 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
88. hal.52.
89. 78 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1998), hal.117.
d. Disamping itu, untuk mendukung data sekunder, dilakukan wawancara 79 di Rumah Sakit
Elisabeth Medan dan Badan Penyelesian Sengketa Konsumen (BPSK) Medan.
Wawancara di Rumah Sakit Elisbeth Medan dilakukan kepada direktur rumah sakit
dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut.
e.
Alasan pemilihan rumah sakit ini karena Rumah Sakit Elisabeth Medan merupakan
rumah sakit swasta yang diketahui oleh masyarakat luas sebagai rumah sakit dengan
pelayanan terbaik namun pada September 2007 pernah digugat oleh pasien dalam kasus
masalah pelayanan rumah sakit.80
f.
g.
h.
k.
melalui studi kepustakaan {library research) untuk mendapatkan konsepsi, teori atau doktrin,
pendapat atau pemikiran konseptual dari penelitian terdahulu yang berhubungan dengan
objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan Perundang-undangan, buku, tulisan
ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya yang keseluruhannya merupakan data sekunder.
90. 79
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua
pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Dikutip dari Lexy J.Moleong, Metodologi
Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1998), hal.135.
91. 80
Sumber Data: Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Medan Tahun 2007
l.
Dalam penelitian ini alat pengumpul data yang digunakan adalah dengan
m. Teknik pengumpulan data studi kepustakaan pada penelitian ini dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
n.
o.
s.
b. Menginventarisir
bahan-bahan
sekunder
yang
relevan
dengan
rumusan
t.
u. permasalahan.
c. Mengumpulkan bahan hasil wawancara dengan rumusan permasalahan.
d. Penelusuran bahan melalui Internet.
v.
kedalam kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. 81 Data yang telah dikumpulkan
dengan studi kepustakaan tersebut selanjutnya dianalisis dengan mempergunakan metode
analisis kualitatif yang didukung oleh logika berpikir secara
z.
aa. BAB II
ab.
memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia sangat beraneka ragam dan dapat dibedakan
atas berbagai macam kebutuhannya. Jika dilihat dari tingkatannya, maka kebutuhan
konsumen dapat terbagi menjadi tiga yaitu kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan
tertier. Selain itu, kebutuhan manusia juga dapat dibagi menjadi kebutuhan jasmani dan
rohani.
ah.
setiap manusia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik berupa barang
maupun jasa. Berbagai kebutuhan tersebut ditawarkan oleh pelaku usaha sehingga tercipta
hubungan timbal balik antara konsumen dan pelaku usaha serta saling membutuhkan satu
dengan yang lainnya. Aneka ragam barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh para pelaku
usaha kepada konsumen sebagai sebuah hubungan timbal balik. 82
ai.
pelaku usaha, sehingga sudah seharusnya kedudukan konsumen dan pelaku usaha
93. 82 Purnadi Purwacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-sendi Ilmu dan Tata Hukum, cetakan V,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), hal.43.
aj. berada pada posisi yang seimbang. Namun dalam kenyataannya, kedudukan
konsumen dan pelaku usaha tidaklah seimbang. Konsumen seringkali berada pada
posisi atau kedudukan yang lemah bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku
ak.
usaha.83
al.
dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha adalah konsumen pada umumnya kurang
mendapatkan
akses
informasi
dan/atau
informasi
yang
benar,
jelas
dan
dapat
dipertanggungjawabkan dari suatu barang atau jasa. 84 Konsumen tidak memiliki kesempatan
dan sarana yang cukup untuk mengakses berbagai informasi yang dibutuhkan dalam
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan suatu barang dan/atau jasa. Hal ini dapat terjadi
karena pelaku usaha sebagai pihak yang memproduksi dan menawarkan barang dan/atau jasa
tidak memberikan informasi yang jelas mengenai keadaan, cara penggunaan atau jaminan
atas barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen. Kurangnya informasi dan akses
informasi yang menyesatkan, mengelabui atau tidak jujur kepada konsumen demi
kepentingan sepihak untuk memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin tanpa
memperdulikan konsumen. Kurangnya informasi dan akses informasi ini mempunyai dampak
yang cukup besar bagi konsumen, terutama dalam memperoleh kenyamanan, keselamatan
dan/atau kesehatan dalam mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa. 85
94. 83
95.
96.
am. Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa kedudukan konsumen berada pada posisi
yang lemah bila dibandingkan dengan pelaku usaha. Ketidakseimbangan kedudukan
antara pelaku usaha dan konsumen inilah yang menyebabkan pentingnya suatu
perlindungan konsumen ditegakkan dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang
berlaku, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen sehingga konsumen berada pada posisi seimbang dengan kedudukan
pelaku usaha.
an.
1. Prinsip Manfaat
ao. Dimaksudkan
untuk
mengamanatkan
bahwa
segala
upaya
dalam
2. Prinsip Keadilan
ap. Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujukan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
97. 86 J.Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian), Buku I, Cetakan II, (Bandung:
PT.Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 100.
ar.
Konsumen
as.
batasan dan pengertian tentang konsumen masih rancu. Istilah konsumen telah dimuat
pertama kali dalam TAP MPR No.II/MPR/1993 Bab IV huruf f butir 4a tentang GBHN dan
selanjutnya di singgung sedikit dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Namun,
tidak satupun menjelaskan pengertian konsumen. Untuk memperkecil lingkup pengertian
konsumen, maka pengertian konsumen dapat terdiri dari tiga bagian, yaitu : 87
98. 87
I. Konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang
dan/jasa untuk tujuan tertentu.
II. Konsumen-antara adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/jasa untuk
diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau untuk diproduksi (produsen) menjadi
barang/jasa lain atau untuk memperdagangkan (distributor), dengan tujuan komersial.
Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.
at. III. Konsumen-akhir adalah pemakai, pengguna dan/atau jasa pemanfaat barang
au.
keluarga atau
av.
aw.
ax. maka jenis konsumen yang dilindungi adalah jenis konsumen akhir. Hal ini terlihat
ay. dari Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen yang menjelaskan
az. defenisi konsumen, yaitu :
ba.
"Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahkluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan."88
bb.
bc. agar konsumen dapat mempunyai jaminan kepastian hukum dalam melakukan suatu
bd. hubungan hukum. Untuk selanjutnya pengertian konsumen yang akan di bahas dalam
be. tulisan ini adalah konsumen akhir sesuai dengan pengertian konsumen dalam UU
bf. No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
99. 88 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun
bg.
barang dan atau jasa baik kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain". Dalam
pelayanan di bidang medis, tidak terpisah akan adanya seorang tenaga kesehatan dengan
konsumen, dalam hal ini pasien. Pasien dikenal sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan
dalam bidang perawatan kesehatan.89
bh.
Pasien mempunyai kedudukan yang sederajat dengan rumah sakit dan dokter yang
bekerja di rumah sakit. Pasien selain dilindungi oleh Undang-undang Kesehatan
Nomor 23 Tahun 1992, juga dilindungi oleh Undang-undang Perlindungan
Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen
Nomor 8 Tahun 1999, pada penjelasan bagian I umum disebutkan ada beberapa
undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen yang salah
satunya adalah Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992. Dengan demikian,
menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, pasien
merupakan konsumen, khususnya konsumen jasa pelayanan kesehatan {health
consumer) yang harus dilindungi hak-haknya.90
bi.
bj.
100.
101.
102.
89
90
bm.
dibatasi hanya pada pabrikan saja tetapi meliputi distributor (dan jaringannya),
Pelaku usaha merupakan salah satu dari pelaku ekonomi yang dibagi dalam tiga
kelompok pelaku usaha, yaitu :92
b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari
barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong dan bahanbahan lainnya). Mereka dapat terdiri dari orang/badan usaha berkaitan dengan pangan,
orang/badan usaha yang memproduksi sandang, orang/badan usaha yang berkaitan
dengan pembuatan perumahan, orang/badan usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan,
perasuransian, perbankan, orang/badan usaha berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan,
narkotika, dan lain sebagainya.
103.
91
104.
92
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.4.
Op.Cit, A.Z.Nasution, hal.9.
d.
maka pelaku usaha diberikan beberapa hak seperti yang tercantum dalam Pasal 6 Undangundang Perlindungan Konsumen, yaitu :
93
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan,
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad baik
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen,
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan,
Sebagai konsekuensi dari adanya hak-hak pelaku usaha, maka kepada pelaku
usaha juga dibebankan beberapa kewajiban dalam menjalankan usahanya. Kewajiban pelaku
usaha tercantum dalam Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen,
g. 94
h. yaitu :
105.
93
106.
94
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif,
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku,
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/jasa yang diperdagangkan.
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.
i.
teknologi komunikasi dan informatika akan memperluas ruang gerak arus transaksi barang
dan/atau jasa yang ditawarkan. Konsumen pun dapat dengan bebas memilih berbagai macam
jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Tetapi
hal ini menimbulkan posisi yang tidak seimbang antara pelaku usaha dan konsumen.
Konsumen menjadi objek dari kegiatan bisnis untuk
j.
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan,
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut,
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya,
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut,
107.
95
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut,
g. Tidak
mencantumkan
tanggal
kadaluarsa
atau
jangka
waktu
f. i.
Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan
lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat,
2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang
dimaksud.
3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat
atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar.
4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
5.
Menurut Pasal 1 ayat (3) yang dimaksud dengan jasa adalah setiap
layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat
untuk dimanfaatkan oleh konsumen.96 Istilah produsen dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 diganti dengan istilah
pelaku usaha dan didefenisikan sebagai setiap orang, perorangan atau badan usaha
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,
baik sendiri-sendiri maupun bersama melalui perjanjian menyelenggarkaan kegiatan
usaha dalam berbagai bidang kegiatan ekonomi.97
6.
Dalam kaitannya dengan kegiatan usaha Rumah Sakit dan Dokter yang bekerja pada Rumah
Sakit tersebut, maka kalimat"... kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi",
sesungguhnya juga mencakup kegiatan usaha Rumah Sakit tersebut dalam bidang jasa
pelayanan kesehatan (healthprovider). Hal tersebut menjadi jelas jika mengacu pada pendapat
J.Guwandi yang mengemukakan bahwa "kedudukan Rumah Sakit sebagai badan hukum yang
dalam perkembangannya prinsip ekonomi dan manajemen modern telah diterapkan dalam
pengelolaannya sehingga menjelma menjadi lembaga sosial-ekonomi bahkan business
enterprise yang berlindung dibalik yayasan semu".98
7.
108.
96
109.
110.
97
98
8.
pelayanan penunjang medik, rehabilitas medik dan pelayanan perawatan. Pelayanan tersebut
dilaksanakan melalui Unit Gawat Darurat (UGD), unit rawat jalan dan unit rawat inap.
Pelayanan administrasi mencakup pelayanan yang mengurusi administrasi mulai dari
penerimaan pasien, rekam medis sampai biaya pelayanan pasien. Dalam perkembangan
pelayanan Rumah
Sakit
tidak terlepas
dari
pembangunan ekonomi
masyarakat.
Perkembangan ini tercermin pada perubahan fungsi klasik Rumah Sakit yang pada awalnya
hanya memberi pelayanan yang bersifat {kuratif) terhadap pasien melalui rawat inap.
9.
111.
99
A.A.Gde Muninjaya, Manajemen Kesehatan, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Edisi 2, 2004), hal.220.
112. 100 Ibid, hal.250
10.
Pelayanan Rumah Sakit di Indonesia saat ini sudah bersifat padat modal,
pada karya dan padat teknologi dalam menghadapi persaingan global. Dalam hal rujukan
medik, Rumah Sakit juga diandalkan untuk memberikan pengayoman medik untuk pusatpusat pelayanan yang ada diwilayah kerjanya. Sifat pengayoman sangat erat kaitannya
dengan klasifikasi Rumah Sakit. Peningkatan profesionalisme staf, tersedianya peralatan
yang canggih dan lebih sempurnanya sistem administrasi Rumah Sakit yang akan bermanfaat
untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan Rumah Sakit.101
11.
bahwa
Rumah
Sakit
adalah
sarana
upaya
kesehatan
yang
Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) seperti tersebut dalam BAB I Ketentuan Umum
Pasal I, bahwa "Rumah Sakit adalah suatu lembaga dalam rantai sistem kesehatan nasional
yang mengemban tugas pelayanan kesehatan untuk seluruh masyarakat". 103
13.
sangat kompleks dan dapat mempunyai berbagai fungsi, seperti disebutkan dalam
113.
114.
101
Ibid, hal.252
PERMENKES RI No.159b/Menkes/Per/II/1988
tentang Rumah Sakit.
103
115.
Anggaran Dasar Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh
102
14.
15. 3)
kesehatan.
3. Pemerintah
16. Banyaknya barang dan atau jasa yang ditawarkan dalam berbagai jenis, ukuran dan
kualitas yang bervariasi baik produk dari dalam negeri maupun luar negeri membuat
persaingan dalam dunia perdagangan semakin ketat. Para pelaku usaha juga
melakukan berbagai macam cara untuk memasarkan dagangannya. Dengan orientasi
untuk meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya, para pelaku usaha sering kali
mengabaikan hak-hak konsumen dengan melanggar larangan-larangan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Salah satu usaha pemerintah untuk mengatasi masalah
perlindungan konsumen adalah dengan memberlakukan UU No.8 Tahun 1999
tentang perlindungan konsumen. Agar pelaksanaan dan penerapan
116.
104
Op.Cit,
PERMENKES
RI
17.
a. Peraturan Pemerintah No.57 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan
Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN);
b. Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelengaraan Perlindungan Konsumen;
c. Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya (LPKSM);
d. Keputusan Presiden Republik Indonesia No.90 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang
Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada kota Medan,
Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang,
Surabaya dan Makasar;
18.
117.
105
19.
BPSK dan LPKSM. Dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku para pelaku usaha
dalam menjalankan usahanya, pemerintah dibantu oleh masyarakat dan
20. LPKSM.
21.
3. Menteri
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(2)
melakukan
koordinasi
atas
22. a. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antata pelaku usaha
dan konsumen;
118.
119.
106
Ibid
107
24.
25.
BPKN antara lain terhadap para pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang
dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang
dan/atau jasa, peranan BPSK dan BPKN, pemberdayaan konsumen,
26.
penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang beredar serta hal-hal lain yang menjadi
dan
108
Op.Cit,
http://mediasuaka-mediaperlindungankonsumendiindonesia.com/2009/04/peranan
pemerintah.html
121. 109
Ibid
122. 110
KEPMENKES RI No. 983/1992
9)
Apabila dilihat secara sosiologis, maka tujuan pendirian Rumah Sakit sudah
10) mengalami pergeseran, seperti yang dikemukakan oleh J.Guwandi, sebagai berikut:
11)
"....tujuan pendirian Rumah Sakit, baik Rumah Sakit yang didirikan oleh Pemerintah
maupun Swasta (yayasan), sudah mengalami pergeseran dari tujuan awal yakni semula
bersifat lembaga sosial murni bergeser menjadi lembaga sosial ekonomi, dalam arti
bahwa pengelolaan Rumah Sakit harus mempertimbangkan prinsip ekonomi dan
manajemen modern dalam pengelolaan Rumah Sakitnya, sehingga seluruh pengeluaran
harus ditutupi oleh penerimaan". 112
12)
meningkat. Negara-negara di Asia, Australia dan Amerika telah lama memiliki peraturan
tentang Perlindungan Konsumen. Organisasi Dunia seperti PBB juga telah mengeluarkan
resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa Nomor A/RES/39/248 Tahun 1985. 113 Resolusi tentang
perlindungan konsumen (Res.PBB No.39/248) mencakup
15)
123.
124.
125.
17)
115
126.
Konsumen bagi Dosen dan Praktisi Hukum, (Jakarta : Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia, 1997),
127.
hal. 1-2 114
128. 114 Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, cet I (Jakarta: Galia
129.
Indonesia), 2002, hal 70.
130. 115 BPHN, Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan RUU tentang Perdagangan
Internasional, (DepKeh RI. 1999). Lihat juga Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
18. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1989 tentang Paten;
19. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
19 tahun 1989 tentang Merk;
jelas bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang atau jasa, konsumen juga memiliki hak penuh untuk memilih
barang dan jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi yang dijanjikan. Hal-hal yang
diatur di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen terdiri dari 15 Bab dan 65 Pasal
dengan mated sebagai berikut :116
116
11.
12.
13.
mengenai hal yang menjadi hak-hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4 yaitu
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan,
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur menangani kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa,
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan,
132.
117
e. i.
Selain memiliki hak yang dapat dituntut kepada pelaku usaha, konsumen
juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhi baik terhadap pelaku usaha maupun terhadap
dirinya sendiri. Kewajiban tersebut dituangkan dalam Pasal 5 Undang-undang Perlindungan
Konsumen yang berbunyi:118
133.
118
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Membayar harga yang telah
disepakati merupakan kewajiban yang harus dipenuhi konsumen dalam setiap perjanjian
dengan pelaku usaha, baik jual beli, sewa menyewa, dll.
c.
Sehubungan dengan hak dan kewajiban konsumen ini maka sejak lama
119
, doktrin Sanectity
d.
mempunyai hak dan kewajiban yaitu : Memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu
merupakan bagian pemenuhan hak konsumen yang utama, yaitu hak untuk terpenuhi
kebutuhan dasarnya. Sementara itu, sebagai pengguna jasa layanan konsumen, konsumen
juga memiliki sederetan hak.
134.
119
Caveat emptor adalah istilah latin untuk 'let the buyer awaren (konsumen harus berhatihati). Hal ini berarti bahwa konsumen membeli sesuatu, maka ia harus waspada terhadap kemungkinan
adanya cacat pada barang. Dalam Johannes Gunawan, bahan perkuliahan Pertanggungjawaban
Produk, Program Pascasarjana magister Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1998.
135. 120 Sanectity of Contract adalah doktrin yang memungkinkan produsen atau penjual
"mengakali" konsumen. Menurut doktrin ini, sekali pembeli dan penjual mencapai kesepakatan,
pengadilan akan memaksa mereka untuk melaksanakannya tanpa memperdulikan apakah kesepakatan
itu adil bagi para pihak. Ibid
136. 121 Caveat Venditor adalah doktrin yang menyatakan bahwa produsen tidak hanya
bertanggungjawab kepada konsumen atas dasar tanggungjawab kontraktual. Karena produknya
ditawarkan kepada semua orang, maka timbul kepentingan bagi masyarakat untuk mendapatkan
jaminan keamanan jika menggunakan produk yang bersangkutan. Ibid
e.
1. Hak untuk memperoleh informasi tentang kondisi dan keadaan apa yang sedang
mereka alami. Isi dan waktu pemberian informasi, sangat tergantung dari kondisi
pasien dan jenis tindakan yang akan segera dilaksanakan. Informasi harus diberikan
langsung kepada pasien dan keluarga;
2. Hak untuk bertanya atau mendiskusikan tentang kondisi atau keadaan dirinya dan
apa yang mereka harapkan dari sistem pelayanan yang ada, dalam suasana yang
dianggap memadai. Proses ini berlangsung secara pribadi dan didasari rasa saling
percaya di antar kedua belah pihak;
3. Hak pasien untuk dilayani secara pribadi. Pasien harus diberitahu siapa dan apa peran
mereka masing-masing (staf klinik, peneliti, peserta pelatihan dan instrukturnya,
penyedia dan sebagainya);
4. Hak untuk memutuskan secara bebas apakah menerima atau menolak suatu pengobatan.
Persetujuan merupakan persyaratan dalam melakukan suatu tindakan.
f.
137.
122
Abdul Bari Saiffudin, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, (Jakarta: JNPKR-POGI, 2001),hal 36
138.
123
4. Hak memerintah dokter yang merawat agar mengadakan konsultasi dengan dokter lain;
5. Hak atas "privacy" dan kerahasiaan penyakit yang diderita;
6. Hak untuk mendapatkan informasi tentang penyakitnya, tindakan medik yang hendak
dilakukan, alternatif terapi lainnya, prognosis;
1. Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan tata tertib rumah
sakit;
139.
124
Soedarmo Soejitno, hal 116. Bandingkan juga dengan Pasal 4 dan Pasal 53 ayat (2), Pasal
55 Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 Jo PP 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
kesehatan Pasal 23.
140. 125 Op.Cit, Abdul Bari Saifuddin, dkk, hal.93. Bandingkan dengan Pasal 5 Undang-Undang
Kesehatan.
4. Pasien dan/atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan atas jasa
pelayanan rumah sakit/dokter;
1. Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan tata-tertib rumah
sakit;
4. Pasien dan/atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan atas jasa
pelayanan rumah sakit/dokter;
126
Ibid
i Rahayu, http://ayoe01 .multiply.com/iournal/item/1, diakses tanggal 21 Juli 2009
1) Pasien dalam, yaitu pasien yang memperoleh pelayanan tinggal atau dirawat pada suatu
unit pelayanan kesehatan tertentu atau dapat juga disebut dengan pasien yang dirawat di
Rumah Sakit;
3) Pasien opname, yaitu pasien yang memperoleh pelayanan kesehatan dengan cara
menginap dan dirawat di Rumah Sakit atau disebut juga dengan pasien rawat inap.
6.
7.
dibedakan atas 2 (dua) macam, apabila dilihat dari cara perawatannya, yaitu pasien opname
dan pasien berobat jalan".129
143.
144.
128
8.
Pasien opname ini memerlukan perawatan khusus dan terus menerus secara teratur
serta harus terhindar dari gangguan situasi dan keadaan dari luar yang sangat
mempengaruhi
proses
penyembuhan
penyakitnya
bahkan
dimungkinkan
menghambat kesembuhan pasien. Biasanya pasien ini adalah pasien yang telah
mendapat diagnosa dari dokter yang berkesimpulan bahwa pasien ini harus dirawat
secara khusus. Dalam keadaan demikian dokter akan memerintahkan kepada pasien
agar segera masuk ke Rumah Sakit untuk perawatan yang khusus lagi. Hal ini
dimaksudkan agar pasien yang dianggap serius mengidap penyakitnya harus dirawat
dan diawasi oleh dokter setiap saat. Dengan demikian perawatan yang dilakukan itu
akan mengikuti cara-cara pengobatan secara teratur dan terus menerus sehingga
diharapkan dalam waktu singkat pasien tersebut akan sembuh. 130
9.
Dilain pihak, ada juga pasien yang diperbolehkan berobat jalan, artinya
pasien ini dirawat secara teratur pada waktu-waktu tertentu saja. Pada umumnya pasien ini
datang sendiri ke rumah sakit, klinik, puskesmas atau dokter praktek yang tujuannya hanya
untuk menjaga kesehatannya, mempertingi kesehatan dan daya tahan tubuhnya terhadap
serangan penyakit tertentu atau hanya sekedar berkonsultasi tentang kesehatan dan tidak
perlu harus di-opname. Walaupun pasien tersebut tidak dirawat ditempat perawatan, akan
tetapi dalam perawatan kesehatannya sama perlakuannya dengan pasien yang opname.
Artinya diantara keduanya walaupun berbeda status tapi sama-sama harus mendapat
145.
130
perhatian yang khusus, yang membedakan hanyalah dalam hal tinggal atau tidaknya pasien di
tempat perawatan tersebut. Pasien berobat
10.
jalan biasanya datang untuk berobat secara teratur pada waktu-waktu yang sudah
disepakati, maka kelihatan adanya pengawasan yang tetap oleh dokter.131
11.
Sehubungan dengan pelayanan kesehatan yang dilakukan dokter pada Rumah Sakit,
maka oleh KODEKI mengemukakan bahwa pasien mempunyai hak sebagai berikut :
132
1) Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati secara wajar;
2) Hak memperoleh penjelasan tentang diagnosa dan terapi dari dokter yang mengobatinya;
3) Hak prosedur diagnosis dan terapi dari dokter yang mengobatinya;
4) Hak untuk prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan dapat menarik diri
dari kontrak terapeutik;
146.
147.
131
132
11)
11) Hak memperoleh penjelasan tentang perincian biaya rawat inap, obat, pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan roentgen, Ultrasonografi (USG), CT-Scan, Magnetic
Reconance Imaging (MRI) dan sebagainya, biaya kamar bedah, kamar bersalin, imbalan
jasa dokter dan lain-lainnya. 133
12)
13)
Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-Hak Manusia yang
dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam kerangka hukum
perlindungan konsumen, pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatann
mempunyai hak-hak dasar yang diakui secara International dan dilindungi
pemahamannya. 136
148.
149.
150.
133
151.
136
135
16)
bahwa pasien mempunyai kewajiban mendasar yang harus dilaksanakan, berupa kewajiban
moral dari pasien untuk memelihara kesehatan yaitu : 137
3) Menghormati kerahasiaan diri dan kewajiban tenaga kesehatan untuk menyimpan rahasia
kedokteran serta kesendiriannya (privacy);
17)
sebagai
18)
berikut : 139
152.
153.
137
Ibid
Soerjono Soekanto, Segi-segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien Dalam Kerangka Hukum
Kesehatan, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1990), hal.39-40.
138
pada
stadium
lanjut
prognosisnya
lebih
buruk.
Kadang
kala
2) Memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang penyakitnya Informasi yang
benar dan lengkap dari pasien/keluarga merupakan hal yang penting bagi dokter
dalam membantu menegakkan diagnosis penyakit. Bila dokter dituntut malpraktek,
tuntutan dapat gugur jika terbukti pasien telah memberikan keterangan yang
menyesatkan atau menyembunyikan hal-hal yang pernah dialaminya.
154.
139
4) Menandatangani surat-surat PTM, surat jaminan dirawat di Rumah Sakit dan lain
sebagainya.
21) Dalam kontrak terapeutik ada tindakan medik, baik untuk tujuan diagnosis maupun
untuk terapi yang harus disetujui oleh pasien atau keluarganya, setelah diberikan
penjelasan oleh dokter. Surat PTM yang sifatnya tulisan, harus ditanda tangani oleh
pasien dan atau keluarganya.
6) Melunasi biaya perawatan di Rumah Sakit, biaya pemeriksaan dan pengobatan serta
honorarium dokter.
23) Perlu ditekankan disini bahwa imbalan untuk dokter merupakan penghargaan yang
sepantasnya diberi oleh pasien/keluarga atau jerih payah seorang dokter. Kewajiban
pasien ini haruslah disesuaikan dengan kemampuannya dan besar kecilnya honorarium
dokter tidak boleh mempengaruhi dokter dalam memberikan pelayanan kedokteran yang
bermutu, sesuai standar pelayanan medik.
24)
25) Menurut H.T. Syamsul Bahri pada pidato pengukuhan jabatan Guru Besar pada
Fakultas Hukum USU Medan pada tanggal 19 Agustus 1998 mengatakan bahwa
26)
"Seseorang yang menderita suatu penyakit yang meminta pada seseorang dokter
untuk menyembuhkan penyakitnya dan dokter tersebut menyetujuinya maka pada
saat itu terjadilah suatu persetujuan atau dengan perkataan lain terjadilah transaksi
terapeutik antara dokter dan pasien. 140
27)
perawat, Rumah Sakit dan pelayanan kesehatan sangat menentukan hidup matinya seseorang.
Tetapi pada prakteknya pertimbangan aspek kemanusiaan yang dikenakan pada konsumen
atau pasien masih subjektif. Keadaan tersebut jelas tidak menunjang keberhasilan
pembangunan kesehatan. Oleh sebab itu perlindungan hukum terhadap kedua belah pihak
antara kepentingan tenaga kesehatan dan pasien harus diutamakan. 141
28)
Dari sudut pandangan sosiologis dapat dikatakan bahwa pasien maupun tenaga
kesehatan
memainkan
peranan-peranan
tertentu
dalam masyarakat.
Dalam
29)
Pasien dalam hal ini, dituntut untuk mengikuti nasehat dari tenaga kesehatan
yang mana lebih mengetahui akan bidang pengetahuan tersebut. Dengan demikian pasien
senantiasa harus percaya pada kemampuan dokter tempat dia menyerahkan
155.
140
Tan Kamelo, Butir-Butir Pemikiran Hukum Guru Besar Dari Masa ke Masa, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Hukum USU, (Pustaka Bangsa Press, 2003), hal.332.
156. 141 Op.Cit, Soerjono Soekanto, hal.50.
157. 142 Ibid
30)
nasibnya. Pasien sebagai konsumen dalam hal ini, merasa dirinya bergantung dan
aman apabila tenaga kesehatan berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya.
Keadaan demikian pada umumnya didasarkan atas kerahasiaan profesi kedokteran
dan keawaman masyarakat yang menjadi pasien. Situasi tersebut berakar pada dasardasar historis dan kepercayaan yang sudah melembaga dan membudaya di dalam
masyarakat. Hingga kini pun kedudukan dan peranan dokter relatif lebih tinggi dan
terhormat.143
31)
perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang pesat, resiko yang dihadapi semakin
tinggi. Oleh karena itu, dalam hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien, misalnya
terdapat kesederajatan. Di samping dokter, maka pasien juga memerlukan perlindungan
hukum yang proporsional yang diatur dalam perundang-undangan. Perlindungan tersebut
terutama diarahkan kepada kemungkinan-kemunkinan bahwa dokter melakukan kekeliruan
karena kelalaian.144
32)
Dalam kontrak terapeutik ada dua macam hak asasi yang merupakan hak
dasar manusia, yang mana hal ini erat hubungannya dengan pasien dalam mengambil sikap
yaitu :
158.
143
Op.Cit,
Wila
Chandrawilala, hal.54.
144
159.
Ibid, hal.55.
145
160.
Ibid, hal.56.
35) pasien bertanggung jawab penuh atas apapun keputusan yang telah
diambilnya. Kemandirian dalam kaitannya dengan unsur pertanggungjawaban hanya
dimiliki oleh mereka yang telah dewasa. Hak untuk menentukan nasib sendiri dapat
diartikan dalam 2 hal yaitu :
a. Hak untuk menentukan sejauh mungkin segala sesuatu yang berhubungan dengan
tubuh dan rohani;
38)
39)
TT
146
Hak pasien :
1. Hak atas informasi, adalah hak pasien untuk mendapatkan informasi dari dokter
tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesehatannya;
2. Hak atas persetujuan yaitu hak asasi pasien untuk menerima atau menolak tindakan
medik yang ditawarkan oleh dokter, setelah dokter memberikan informasi;
161.
146
Ibid,
3. Hak atas kerahasian kedokteran, yaitu keterangan yang diperoleh dokter dalam
melaksanakan profesinya, dikenal dengan nama rahasia kedokteran. Dokter berkewajiban
untuk merahasikan keterangan tentang pasien (penyakit pasien). Kewajiban dokter ini
menjadi hak pasien. Hak ini merupakan hak individu dari pada pasien.
4. Hak atas pendapat kedua (second opinion), adalah kejasama antara dokter pertama
dengan dokter kedua. Dokter pertama akan memberikan seluruh hasil pekerjaannya
kepada dokter kedua, sehingga dengan keterbukaan dari para pakar, dapat menghasilkan
pendapat yang lebih baik.
5. Hak untuk melihat rekam medik. Pengertian rekam medik yaitu, menurut Pasal 1 (a)
Permenkes No.749/a/1989, "rekam medik adalah berkas yang berisi catatan, dan
dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan
lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.
6. Pasien juga memiliki hak konfidensialitas, yaitu menjamin di depan meja hijau
sekalipun bahwa semua informasi tentang dirinya, keadaan fisik dan penyakitnya,
harus dipercayakan kepada dokter.
3.
4.
dokter dengan pasien dalam bentuk transaksi atau kontrak terapeutik dengan pola hubungan
horizontal kontraktual yang bertumpu pada 2 macam hak asasi, yaitu hak
7.
untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) dan hak atas
mempunyai ciri khusus antara lain merupakan hubungan yang sangat pribadi karena
didasarkan pada kepercayaan. Kepercayaan antara dokter dengan pasien tidak hanya
didasarkan pada hak-hak dan kewajiban yang timbul dari masing-masing pihak yang diatur
oleh hukum, tetapi kepercayaan tersebut timbul atas dasar nilai-nilai moral yang dimiliki
setiap dokter sebagaimana tertuang dalam KODEKI, khususnya pada Pasal 10 148, 11149, dan
12 tentang Kewajiban Dokter Terhadap Penderita.150
12.
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien juga dikemukakan oleh Dassen
13.
14.
151
15. a. Pasien pergi ke dokter karena merasa ada sesuatu yang membahayakan kesehatannya.
Segi psycho-biologisnya memberikan suatu peringatan bahwa dirinya menderita sakit.
Dalam hal ini dokter dianggap sebagai pribadi yang dapat menolongnya karena
kemampuannya secara ilmiah. Dokter mempunyai kedudukan lebih tinggi dan peranan
yang lebih tinggi daripada pasien.
147 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Medis: Dasar-Dasar Pengembangan di Indonesia, Makalah pada symposium KUHP dan Profesi D
148
Pasal 10 KODEKI berbunyi "Setiap dokter harus senantiasa mengingatkan kewajiban
162.
149 150
Loc.Cit,
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
b. Pasien pergi ke dokter, karena mengetahui dirinya sakit dan dokter akan mampu
menyembuhkannya. Dalam hal ini, pasien menganggap kedudukannya sama dengan
dokter, tetapi peranan dokter lebih penting darinya.
c. Pasien pergi ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan yang intensif dan mengobati
penyakit yang ditemukan. Hal ini mungkin diperintahkan oleh pihak ketiga. Dalam hal
ini terjadi pemeriksaan yang bersifat preventif.
19.
20.
152
perikatan, maka isi transaksi terapeutik adalah untuk melakukan sesuatu perbuatan...". dalam
hal ini khusus dalam rangka penyembuhan pasien (curatif). Transaksi terapeutik sebagai
suatu transaksi mengikat dokter dan pasien sebagai para pihak dalam transaksi tersebut,
untuk memenuhi apa yang telah diperjanjikan, yaitu dokter mengupayakan penyembuhan
pasien melalui pencarian terapi yang paling tepat berdasarkan ilmu pengetahuan dan
1.
152
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
23.
ditemukan beberapa alternatif pilihan terapi untuk akhirnya pasien memilih terapi
pasien ini telah disebutkan dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia. Walaupun
bagi kedua belah pihak kesembuhan merupakan tujuan akhir dari kontrak terapeutik atau
perjanjian penyembuhan tetapi bukan objek kewajiban dokter yang dapat dituntut oleh
pasien. Perikatan hukum dokter pasien termasuk suatu jenis perikatan hukum yang disebut
inspanningsverbintenis atau perikatan usaha. Artinya, suatu bentuk perikatan yang isi
prestasinya adalah salah satu pihak maka harus berbuat sesuatu secara maksimal dengan
sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya kepada pihak lain. Kewajiban pokok seorang dokter
terhadap pasiennya adalah inspanning, yakni suatu usaha keras dari dokter tersebut yang
harus dijalankan dan yang diperlukan untuk behoud dan menyembuhkan kesehatan dari
pasien. Ukuran sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya bagi dokter dalam hubungan hukum
dokter-pasien adalah standar profesi medis, standar prosedur, dan prinsip-prinsip umum
profesional kedokteran. Hasil dari perlakuan penyembuhan, pemulihan, atau pemeliharaan
kesehatan pasien tidak menjadi kewajiban hukum bagi dokter, melainkan suatu kewajiban
moral belaka dan akibatnya bukan sanksi hukum tetapi sanksi moral dan sosial. 154
2.
153
3.
154
Op.Cit,
Koeswadji, hal.10.
Hermien
Hadiati
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
25.
Oleh karena itu terapeutik merupakan suatu perjanjian maka syarat-syarat unuk
sahnya perjanjian sebagaimana dimaksud dalam pasal 1320 KUH Perdata harus
dipenuhi. Dalam pasal 1320 KUHPerdata ditentukan bahwa suatu perjanjian adalah
sah jika memenuhi syarat-syarat yaitu : pertama, kesepakatan mereka yang mengikat
diri; kedua, kecakapan untuk membuat suatu perikatan; ketiga, suatu pokok persoalan
tertentu keempat, suatu sebab yang tidak terlarang. Apabila syarat-syarat perjanjian
yang sah tersebut tidak dipenuhi, berarti terdapat cacat dalam perjanjian itu. Lebih
jelasnya, jika syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal
demi hukum, sedangkan kalau syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi, maka
perjanjian itu dapat dibatalkan.155
26. Kontrak terapeutik terjadi ketika pasien telah memberikan persetujuannya yang
disebut dengan informed consent. Jadi, informed consent adalah persetujuan pasien
untuk dilakukan perawatan atau pengobatan oleh dokter setelah dokter setelah pasien
tersebut diberikan penjelasan yang cukup oleh dokter mengenai berbagai hal, seperti
diagnosis dan terapi. Peraturan Menteri Kesehatan No.585/Men.Kes/Per/IX/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medis, yang memberi batasan tentang informed
consent yang menyatakan bahwa "persetujuan tindakan medis/'informed consent
adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindak medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut". Permenkes
inilah yang menjadi dasar hukum yang
4.
155
Mariam Darus Badrulzam, Komplikasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001),
hal.73-82.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
27.
mewajibkan dokter untuk mendapatkan persetujuan tindak medis dari pasien sebelum
Informed consent yang dibuat dalam bentuk tertulis tidak dibuat sendiri oleh
pasien secara bebas. Pasien atau keluarganya tinggal mengisi dan menandatangani blangko
yang telah disediakan oleh pihak rumah sakit, jadi telah diseragamkan. Isinya sudah
ditentukan secara sepihak oleh rumah sakit sebagai standar baku. Kadang tulisan yang telah
tersedia sekadar berupa pernyataan dari pasien atau keluarganya. Akan tetapi, ada juga yang
lebih lengkap dengan menyebutkan bahwa pasien atau kelurganya tidak akan menuntut pihak
rumah sakit atau dokter. Juga ada yang isinya sudah merupakan pemberian kuasa pada rumah
sakit atau dokter untuk melakukan tindakan medis tertentu pada diri pasien. 157
29.
pasien sendiri. Akan tetapi, apabila pasien berada dalam pengampuan, informed consent dapat
diberikan oleh salah satu keluarga terdekat, suami/istri, ibu/ayah kandung, anak-anak
kandung,
atau
saudara-saudara
kandung.
Dalam
keadaan
gawat
darurat,
untuk
menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun setelah pasien sadar atau
dalam kondisi yang memungkinkan, segera diberi penjelasan baru kemudian dibuat
persetujuan (Penjelasan Pasal 45 ayat (1) UU No.29
30.
Tahun 2004).158
5.
6.
7.
156
Op.Cit,
Adami
Chazawi, hal.37
157
Ibid, hal 39
158
Ibid, hal 40.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
31.
Ada kalanya persetujuan tidak mungkin diberi dalam rangka tindakan medis,
misalnya pasien dalam keadaan darurat yang harus diambil tindakan medis untuk
menyelamatkan nyawanya, padahal ia dalam keadaan tidak sadar, identitas diri dan keluarga
tidak diketahui, dalam hal demikian jika dokter atau kepala rumah sakit mengambil tindakan
medis berarti berlaku ketentuan pasal 1354 KUH Perdata, yang lebih dikenal dengan istilah
zaakswaarneming159, dengan segala akibatnya sebagai perikatan yang timbul dari undangundang sebagai perbuatan manusia yang diperbolehkan. Adapun hubungan hukum antara
dokter dengan pasien dalam keadaan seperti ini, menurut Hermien Hadiati Koeswadji dikenal
dengan pola "hubungan hukum vertikal parternalistik".760
32.
dokter disatu pihak dan pasien dipihak lain. Namun dalam pelaksanaanya melibatkan juga
pihak rumah sakit dimana dokter berkedudukan sebagai pegawai pada sebuah rumah sakit
tersebut.
33.
34.
8. 159
Pasal 1354 KUHPerdata berbunyi zaakswaarneming ialah "Jika seseorang dengan sukarela
(dengan tidak mendapat perintah untuk itu), mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa
pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta
menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri
urusan itu. Ia menanggung segala kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia kuasakan dengan
suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas". Jadi zaakswaarneming salah bentuk perikatan
hukum yang lahir karena Undang-undang.
9. 160 Op.Cit, Hermien Hadiati Koeswadji, hal.65-66.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
37.
pelayanan kesehatan (health provider) dan pasien sebagai penerima jasa pelayaan
Ketika pasien datang ke rumah sakit untuk berobat maupun rawat inap maka
sudah terjalin hubungan hukum antara pasien dan rumah sakit, yaitu: 162
1. Perjanjian perawatan, yaitu kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak RS
menyediakan kamar perawatan dan adanya tenaga perawat yang akan melakukan
tindakan perawatan.
2. Perjanjian pelayanan medis, yaitu kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa
tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan
pasien melalui tindakan medis (inspannings verbintennis).
39. Tanggung jawab rumah sakit swasta untuk manajemen rumah sakit dapat diterapkan
dengan Pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata karena rumah sakit swasta sebagai badan
hukum memiliki kekayaan sendiri dan dapat bertindak dalam hukum dan dapat
dituntut seperti halnya manusia.
40.
Dengan demikian, jika dicermati transaksi terapeutik dengan sifat dan ciri-
cirinya yang khas seperti diuraikan diatas, dipandang dari sudut Ilmu Hukum Perjanjian,
dapat dikategorikan sebagai perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst), yaitu
perjanjian yang secara khusus tidak diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam
masyarakat sebagai konsekuensi dari asas kebebasan berkontrak (partij ototnome).
10. 161
11. 162
Ibid, hal. 15
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
41.
dikategorikan sebagai perjanjian campuran (contractus sui generis) yaitu perjanjian yang
mengandung berbagai unsur perjanjian, antar lain perjanjian perawatan (seperti kamar
dengan perlengkapannya) dan perjanjian pelayanan medis berupa tindakan medis yang
dilakukan oleh dokter dibantu oleh tenaga kesehatan lainnya.
42.
melakukan perbuatan hukum (rechts handeling) karena rumah sakit diberikan kedudukan
oleh hukum sebagai "persoon" yang juga dibebani dengan hak dan kewajiban menurut
hukum. Sebagai subjek hukum inilah Rumah Sakit melibatkan dokter sebagai tenaga
kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun
1996 tentang Tenaga Kesehatan.
43. Mengenai hubungan hukum antara Rumah Sakit dengan dokter menurut Hermien
Hadiati Koeswadji yaitu dokter melakukan pekerjaanya di Rumah Sakit berdasarkan
persetujuan untuk melakukan pekerjaan dengan Rumah Sakit berdasarkan
arbeidsovereenkomst, yaitu persetujuan untuk melakukan pekerjaan dengan syaratsyarat tertentu dengan menerima upah. Syarat-syarat tertentu tersebut dituangkan
dalam deskripsi tugas (job description) yang dibuat oleh Rumah Sakit selaku pihak
yang memberikan pekerjaan (werkgever) dan dokter yang terlibat sebagai penerima
pekerjaan (werknemer). Untuk kasus tertentu pada rumah sakit swasta, maka
hubungan yang sering kali terjadi adalah hubungan yang berdasarkan pada
perjanjian/kontrak yang terjadi adalah hubungan kontrak. Dokter dan Rumah
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
44.
Sakit tidak terikat pada hubungan hukum sebagaimana dimaksud pasal 1601 KUH
Perdata. 163
45.
Adapun hubungan hukum yang terjadi antara dokter dengan Rumah Sakit
Pemerintah tunduk pada ketentuan Hukum Administrasi Negara, sebab dokter yang bekerja
pada Rumah Sakit Pemerintah adalah Pegawai Negeri Sipil. Hal ini sesuai dengan pendapat
Siti Ismijati Janie yang menyatakan bahwa "Perikatan yang diatur oleh Hukum Adnimistrasi
Negeri terjadi apabila dokter tersebut Pegawai Negeri yang bertugas di dalam Rumah Sakit
Pemerintah". 164
46.
Masalah tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam hukum
13.
12.
164
1(53
Ibid, hal.70.
Siti Ismijati Janie, Berbagai Aspek Yuridis di Dalam dan Sekitar Perjanjian
Penyembuhan
(Transaksi terapeutik) Suatu Tinjauan Keperdataan, Makalah Hukum perdata, UGM, Yogyakarta,
hal.30.
165
14.
Op.Cit Shidarta, hal.59.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
50.
hak milik orang. Jika karena kelalaian, seseorang melengket kewajiban, maka ganti
rugi patut dituntut.166
51.
hukum. Selain mengemban kewajiban yang harus dilaksanakan terhadap konsumen yang
menggunakan dan/atau memanfaatkan barang dan/atau jasa yang dijualnya. Tanggung jawab
yang diemban pelaku usaha adalah tanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian yang diderita oleh konsumen sebagai akibat dari
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 167 Bentuk kerugian
yang umumnya menimpa konsumen adalah meliputi personal injury, injury to the product
itself/some other property dan pure economic loss.
52.
beberapa prinsip tanggung jawab dalam hukum seperti kesalahan (liability based on fault);
praduga selalu bertanggung jawab (presumtion of liability); Praduga selalu bertanggung
jawab (presumtion of nonliabilty); tanggung jawab mutlak (strict liability); pembatasan
tanggung jawab (limitation of liability)168
53.
15.
166
John W.Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi, (Jakarta: Proyek ELIPS dan
Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 1997), hal.63.
167
16.
Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Perlindungan Konsumen
168
17.
Op.Cit, Shidarta, hal.59.
169
18.
Loc.Cit, Johannes Gunawan, hal.35.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
54.
Menurut prinsip ini, setiap pelaku usaha yang melakukan kesalahan dalam
melakukan kegiatan usaha wajib bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian atas
segala kerugian yang timbul dari kesalahan tersebut. Pihak yang menderita kerugian harus
membuktikan kesalahan pelaku usaha. Jadi beban pembuktian ada pada pihak penggugat.
Bukan pada pihak tergugat.
55.
yaitu Pasal 1365, 1366 dan 1367170. Pasal 1365 KUH Perdata mengharuskan terpenuhinya
empat unsur pokok untuk dapat dimintai pertanggungjawaban hukum dalam perbuatan
melawan hukum, yaitu adanya perbuatan; adanya unsur kesalahan; adanya kerugian yang
diderita; dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dengan kerugian.
Menurut prinsip ini pelaku usaha dianggap selalu bertanggung jawab atas
setiap kerugian yang timbul dari kegiatan yang dilakukannya, tetapi jika pelaku usaha dapat
membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka pelaku usaha dibebaskan dari kewajiban
membayar ganti kerugian. Yang dimaksud dengan "tidak bersalah" adalah
19.
170
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
57. tidak melakukan kelalaian, telah mengambil tindakan yang perlu untuk menghindari
kerugian, atau peristiwa yang menimbulkan kerugian itu tidak mungkin dihindari.
58.
Jadi beban pembuktian ada pada pihak pelaku usaha. Ketentuan Pasal 22
61. 3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab (presumtion of nonliability)
62.
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak
selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat
terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.172
Misalnya pada pelaksanaan pengangkutan, barang yang tidak mempunyai label bagasi
menjadi pengawasan penumpang (konsumen) sedangkan yang menjadi tanggung jawab
pengangkut hanya pada barang yang mempunyai label bagasi saja.
20. 171
21.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
174
jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produsen ini
dinamakan dengan tanggung jawab produk (product liability).
65.
Tanggung jawab pelaku usaha atas produknya yang cacat bersifat mutlak.
Dengan penerapan tanggung jawab mutlak itu, produsen langsung dianggap bersalah atas
terjadinya kerugian terhadap konsumen dan wajib memberikan ganti kerugian. Konsumen
dapat langsung meminta ganti kerugian terhadap pelaku usaha apabila barang dan/atau jasa
yang digunakan atau dimanfaatkannya telah menimbulkan kerugian pada diri konsumen.
Pada umumnya berbeda dengan hukum lingkungan dimana berlaku asas pembuktian terbalik,
yaitu pelaku yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah, pada hukum perlindungan
konsumen beban pembuktian tetap berada di tangan konsumen sebagai penuntut. Tetapi untuk
kasus-kasus tertentu dalam hal product liability (tanggung jawab atas produk yang cacat),
hukum perlindungan konsumen memungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik oleh
pelaku usaha.
22.
173
Strict liability adalah prinsip tanggung jawab menetapkan kesalahan sebagai factor yang
menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung
jawab, misalnya keadaan force majeure. Ibid, hal.63
23. 173 Absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
66.
Tahun 1999 mengatur tanggung jawab produsen terhadap produk cacat yang dihasilkan atau
diperdagangkannya.
67.
68.
pelaku usaha untuk membatasi beban tanggung jawab yang seharusnya ditanggung oleh
mereka. Biasanya prinsip ini dibuat oleh pelaku usaha dengan pencantuman klausula
eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. 175 Sebagai contoh dalam perjanjian
pengiriman barang, biasanya dalam bukti penyerahan dikatakan bahwa apabila barang yang
hilang atau mengalami kerusakan (termasuk akibat kesalahan petugas) konsumen hanya
dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali dari biaya pengiriman barang tersebut.
71.
secara sepihak oleh pelaku usaha. Prinsip ini bertentangan dengan Undang-undang
Perlindungan Konsumen yaitu yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa
pelaku usaha dilarang membuat klausula baku yang menyatakan pengalihan tanggung jawab
yang seharusnya dibebankan pada dirinya.
24. 175
Op.Cit, Shidarta,
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
73.
pelayanan di rumah sakit. Sebaiknya perlu diketahui tentang keadaan suatu rumah sakit itu.
Yang dimaksud dengan "rumah sakit dalam keadaan statis" adalah peninjauan terhadap
rumah sakit sebagai suatu badan atau institusi secara keseluruhan, sebagai badan kesatuan.
Dalam kaitannya sebagai subjek hukum di dalam tata kehidupan hukum, belum dilihat secara
operasional tindakan masing-masing tenaga kesehatan yang bekerja untuk dan atas nama
rumah sakit.
74. Jika dilihat dari segi yuridis, maka kiranya perlu diterbitkan suatu peraturan pokok
tentang rumah sakit yang terbaru yang mampu mengikuti perkembangan teknologi
kesehatan saat ini. Karena sebelumnya sudah ada, hanya beberapa peraturan saja
sifatnya terpisah-pisah dan telah diterbitkan karena kebutuhan
75.
176
2009
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b tahun 1988 tentang Rumah Sakit.
5.
6.
7.
terlepas dari beberapa ketentuan yang bersifat umum. Seperti yang diatur dalam KUHP dan
KUH Perdata. Juga ketentuan yang terdapat dalam hukum kesehatan dan hukum kedokteran.
Azas ini antara lain dapat dilihat di dalam KUHAP Pasal 66: "Tersangka atau terdakwa tidak
dibebani kewajiban pembuktian." KUHAP Pasal
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
8.
9.
terletak beban pembuktian untuk membuktikan? pasiennya atau dokternya atau rumah
sakitnya? Apakah prinsip ini sama dengan Hukum Pidana yang berlaku umum. 178 Pasien
adalah orang awam dalam bidang kedokteran. Bagaimana ia harus bisa memberikan buktibukti bahwa misalnya seorang dokter telah berbuat kelalaian (neglience)! Disini memang
terletak kesulitan pada hukum kedokteran, karena pasien atau pengacaranya umumnya tidak
mengetahui seluk beluk hukum kedokteran. Untuk itu biasanya akan dimintakan pendapatnya
saksi dari profesi kedokteran.
10.
bahwa terdapat unsur kesalahan atau kelalaian pada pihak dokternya atau rumah sakitnya.
Namun di dalam hal tertentu, misalnya jika kelalaian seorang dokter sudah sedemikian
jelasnya sehingga seorang awam pun sudah dapat menilainya, maka hal ini merupakan
kebebasan hakim untuk mempersilahkan sang dokter membuktikan ketidaksalahannya.
11.
Bila membahas masalah tanggung jawab rumah sakit, maka perlu juga
diketahui masalah hukum rumah sakit. Menurut Guwandi hukum rumah sakit adalah
"kesemua kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang perumasakitan dan
1.
177
2.
178
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
12. pemberian pelayanan kesehatan di dalam rumah sakit oleh tenaga kesehatan serta
akibat-akibat hukumnya".
13.
Di dalam suatu organisasi harus ada seorang yang bertanggung jawab secara
keseluruhan, begitu pula di dalam rumah sakit hal ini secara umum dipikul oleh direktur
(kepala rumah sakit) yang oleh pemiliknya diberi wewenang untuk pengelolaannya.
Kemudian timbul pertanyaan siapa saja yang bertanggungjawab di rumah sakit jika terjadi
sesuatu dan terhadap hal apa saja? Siapa yang dapat dituntut apabila terjadi suatu kelalaian
(negligence) I apakah seluruhnya harus dipikulkan kepada kepala rumah sakit? Sudah tentu
tidak semua kesalahan dapat dilimpahkan kepadanya. Karena ia pun tidak mungkin
mengetahui seluruh kejadian atau melakukan pengawasan secara mendetail sikap-tindak para
tenaga mediknya. Di dalam suatu rumah sakit terdapat banyak hal yang diputuskan dalam
masing-masing tingkat dan masing-masing bidang yang dapat dikatakan mempengaruhi
berhasil tidaknya pemberian pelayanan perawatan/pengobatan.
14. Maka dalam garis besar tanggung jawab di rumah sakit jika ditinjau dari sudut
pelakunya dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan:179 Tanggung j awab bidang
Penanggungjawab
179
15.
paramedik)
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
16.
prakteknya
Namun di dalam
tidak
semudah
dan
tanggung
jawab
itu
dan
memberikan
batas
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
7. apakah tidak ada unsur kelalaian (neglience) atau kemungkinan adanya unsur
kesengajaan; 5
4.
180
Roscam Abing HDC, Civil liability in connection with hospital treatment; position of
nurses. BPHN Departemen Kehakiman, 1986. Dalam Guwandi, Ibid, hal.34.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
e.
Sehubungan dengan tanggung jawab di dalam rumah sakit, juga harus dilihat
dari manajemennya karena di dalam rumah sakit pucuk pimpinan dan tanggung jawab
terletak pada kepala rumah sakit (pemerintah, yayasan, atau badan hukum lain) yang
melakukan manajemennya. Perlu juga dipikirkan seberapa jauh dampak hukum (resiko) yang
dapat timbul terhadap manajemen rumah sakit. Siapa yang secara yuridis harus
bertanggungjawab di rumah sakit apabila ada tuntuan hukum, dokter, perawat dan rumah
sakit itu sendiri, berapa besar ganti kerugian.
f.
yang mengakibatkan kerugian, maka Departemen Kesehatan dituntut menurut Pasal 1365
KUHPerdata karena pegawai yang bekerja pada rumah sakit pemerintah menjadi pegawai
negeri dan negara sebagai suatu badan hukum dapat dituntut untuk membayar ganti rugi atas
tindakan pegawai negeri yang dalam menjalankan tugasnya merugikan pihak lain. Sedangkan
untuk rumah sakit swasta dapat diterapkan Pasal 1365 dan Pasal 1367 KUHPerdata karena
rumah sakit swasta sebagai badan hukum
a.
181
Ellen I.Picard dan Gerald B Roberston, Legal Liability of Doctors and Hospital in Canada,
Third Edition.(Canada: Carswell, 1984), hal. 234-237.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
g.
memiliki kekayaan sendiri dan dapat bertindak dalam hukum dan dapat dituntut
h.
Kalau ditinjau dari sudut rumah sakit, maka tanggung jawab rumah sakit itu
Menurut Soerjono perbedaan tanggung jawab yang ada disuatu rumah sakit
dalam Kode Etik Kedokteran dan Hukum Disiplin yang khusus berlaku terhadap anggota
seprofesi. Artinya jika ada pengaduan bahwa seorang dokter telah melakukan malpraktek
atau kelalaian maka ia dapat diperiksa oleh majelis profesinya. 184 Tanggung jawab hukum
adalah misalnya dalam hubungan antara dokter dengan pasien yang dirawatnya, atau antara
rumah sakit dengan pasien rawat inapnya yang dirawat oleh perawat-perawat rumah sakit.
Atau antara rumah sakit dengan tenaga
b.
182
http://els.bappenas.go.id/upload/other/Banyak%20Rumah%20Sakit%20tidak
%20Memilikic. MI.htm.
d. 183
Soejono Soekanto. Segi-segi Hukum dan Kewajiban Pasien, (Bandung: Mandar Maju,
1990), hal.30.
e. 184 Ibid. hal.31
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
k. kesehatannya atau dengan pihak ketiga. Bagi rumah sakit berlaku Kode Etik Rumah
Sakit Indonesia (KODERSI).
l.
Secara umum rumah sakit sebagai suatu kesatuan organisasi atau badan
hukum bertanggung jawab terhadap tindakan para karyawannya jika sampai ada yang
mengakibatkan kerugian kepada orang lain. Hal ini termasuk apa yang dalam ilmu hukum
dinamakan tanggung gugat vicarious liablity atau tanggung gugat seorang majikan terhadap
tindakan atau kesalahan karyawannya. Tanggung jawab rumah sakit terhadap personalia ini
berdasarkan doktrin "Hubungan majikan-karyawan" (Vicarious Liability, atau Respondent
Superior atau Master-servan Relationship, Let the Master Answer) yang terdapat di dalam
kepustakaan hukum.185
tindakan/non-tindakan
(kelalaian)
dari
karyawannya
yang
sampai
mengakibatkan kerugian pada pihak lain. Di Indonesia hal diatur di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1367, jo 1366, 1365. Jika diantara majikan
dan karyawan terdapat hubungan kerja, dalam arti jika karyawan menerima gaji dan
melaksanakan instruksi atasannya (rumah sakit), maka hal ini tidak menimbulkan
kesulitan. Menurut hukum perdata majikan dapat dimintai pertanggungjawabannya
jika sampai menimbulkan kerugian atau cedera pada pasien yang diakibatkan oleh
tindakan dan karyawannya.
f.
g.
185
hal.13-15
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
n.
Lebih lanjut dalam Pasal 1367 KUH Perdata menjelaskan bahwa: 186
o.
p.
" Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya sendiri, tetapi juga termasuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungan, atau disebabkan oleh barang-barang yang
berada dibawah pengawasannya".
q.
r.
s.
t.
"Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau
kurang hati-hati."
u.
v.
w.
x. "Tiap perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang oleh karena salah menerbitkan kerugian itu, untuk
menggantikan kerugian tersebut."
y.
z.
1. adanya perbuatan,
2. perbuatan tersebut melawan hukum,
3. adanya kerugiaan,
4. adanya kesalahan, dan
5. adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan melawan hukum dengan
akibat yang ditimbulkan.
aa.
Jadi kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang
melawan hukum itu; antara lain kerugian-kerugian dan perbuatan itu harus ada hubungannya
yang langsung; kerugian itu disebabkan karena kesalahan pembuat.
h.
186
Perdata
i.
187
Op.Cit,
R.Subekti
dan
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
ab.
Kesalahan adalah apabila pada pelaku ada kesengajaan atau kealpaan (kelalaian).
Perbuatan melawan hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga dalam
tidak berbuat sesuatu. Dalam KUH Perdata ditentukan pula bahwa setiap orang tidak
saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena perbuatannya
sendiri, tetapi juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orangorang yang ditanggungnya, atau karena barang-barang yang berada dibawah
pengawasannya.188
ac.
seorang majikan atau rumah sakit dapat diminta pertanggungjawabannya, namun jika
menyangkut masalah pemberian layanan kesehatan di rumah sakit masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Misalnya mengenai tenaga dokter yang terdapat di rumah sakit, masih
harus dilihat dahulu statusnya. Harus dibedakan antara status dokter karyawan (employee)
dan independent contractor (dokter tamu). Perbedaan ini
j.
188
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
ae.
penting, karena seorang independent contractor bekerja secara mandiri dan bebas. Ia
bekerja tidak untuk dan atas nama rumah sakit. Tidak dibawah pengawasaan atau perintah
majikan (rumah sakit) dalam arti cara bagaimana harus melakukan sesuatu. Kecuali jika
sebelumnya ditentukan di dalam suatu perjanjian dan biasanya juga hanya menyangkut halhal dalam garis-garis besar saja, dan tidak ada jam kerja tetap. Seorang dokter tamu hanya
datang ke rumah sakit jika ada pasien pribadinya yang dirawat. Atau seorang dokter tamu ahli
bedah yang datang ke rumah sakit untuk melakukan operasi atas pasien pribadinya.
af.
Lain halnya dengan dokter karyawan rumah sakit yang pada jam kerja harus
datang dan menjalankan tugasnya. Ia terikat kepada dan harus mentaati peraturan kerja
rumah sakit. Ia bertindak untuk dan atas nama rumah sakit. Ia harus melakukan segala
perintah yang diberikan oleh atasannya dan menyediakan waktu tertentu (jam kerja) untuk
pelaksanaan pekerjaannya.
ag.
ah. 1. Sejak dahulu yang dianut adalah doktrin "captain of the ship" dalam arti bahwa dokter
ahli bedah yang mengepalai dan bertanggung jawab penuh atas segala sesuatu yang
terjadi selama pembedahan berlangsung, termasuk segala tindakan atau kelalaian dari
seluruh tenaga yang membantu.
l.
190
Op.Cit, J.Guwandi,
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
ai. Didalam buku Guwandi ada beberapa ketentuan tentang pembagian beban tanggung
jawab menurut bidang keahlian masing-masing tenaga kesehatan/medik, yaitu:
a. Dokter Ahli Anestesi Doktrin "Captain of the ship" tidak berlaku terhadap dokter ahli
anestesi yang pada umumnya dianggap bertanggung jawab penuh sendiri atas segala
tindakan atau kelalaiannya.
b. Dalam Hubungan Team Ada variasi lain dimana dalam pembedahan ada terdapat suatu
team dokter dengan keahlian masing-masing. Maka ada perubahan dimulai sejak adanya
Nuboer-Arrest (Aresst Hoge Raad tanggal 31 Mei 1968 No.328). Menurut keputusan ini
diartikan "bekerja sama di dalam suatu team" adalah jika kerja sama ini terjadi pada
berbagai ahli bidang masing-masing, sehingga masing ahli bertanggung jawab penuh atas
tindakannya sendiri atau kesalahan masing-masing.
aj.
ak. 1. Di Negara Inggris, seorang dokter secara pribadi bertanggung jawab terhadap kerugian
pasien yang disebabkan karena kelalaiannya (neglience). Namun pasien rumah sakit
masih dapat menuntut rumah sakitnya apabila dokter itu sendiri
m.
19
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
al. mempunyai kewajiban merawat (duty of due care) dan tidak dapat mengelakkan diri
dengan memakai tenaga kontrak lepas.
2. Di Belanda, jika pasien itu dirawat di rumah sakit, maka selain dokternya, rumah sakit
juga turut bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu yang merugikan pasien. Hal ini
dilaksanakannya dengan menambahkan satu bab baru pada Burgerlijk Wetboek yang
dinamakan perjanjian tentang pelayanan medik (De overeenkomst in zake geneeskundige
behandeling).
3. Di Amerika Serikat, pendirian tentang hubungan dokter di dalam rumah sakit berdasarkan
doktrin vicarious liability/respondent superior ternyata tidak berbeda. Rumah sakit pada
umumnya dianggap bertanggung jawab terhadap tindakan non tindakan dokter
karyawannya. Hal ini tercermin dalam beberapa yurisprudensi yaitu Bing v. Thuning,
New York.
am.
Apabila seorang profesional yang diperkerjakan oleh rumah sakit telah melakukan
suatu tindakan malpraktik, maka rumah sakit dapat dianggap bertanggung jawab atas doktrin
respondent superior. Di Amerika rumah sakit juga bisa dianggap bertanggung jawab atas
dasar vicorius liability yang ditafsirkan lebih luas, yaitu dengan memakai doktrin ostensible
agency.
an.
(Vicarious Liability), maka rumah sakit dan perawat sebagai karyawan terdapat hubungan
majikan dan karyawan, berdasarkan KUH Perdata pasal 1367 jo 1365,
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
ao. 1366 maka rumah sakit secara perdata bertanggung jawab terhadap kerugian yang
diderita pasien yang disebabkan oleh tindakan atau kelalaian perawatnya.
ap.
Dewasa ini fungsi dan kedudukan rumah sakit telah mengalami perubahan
besar. Rumah sakit tidak hanya menyediakan tempat tidur dan makanan, tetapi juga ditambah
dengan banyak fungsi penunjang: pemberian pelayanan perawatan yang terdidik dan
terampil, prosedur diagnosis yang khusus (ultra-sonograf, CT-scan, MRI, ECG,
echokardografi), perawatan pra dan pasca bedah, pelayanan perawatan intensif (ICU, ICCU),
terapi khusus (ESWL, haemodialisis).
aq.
Makin lama makin banyak fungsi yang dibebankan kepada rumah sakit
dalam memberikan pelayanan perawatan dan pengobatan terhadap pasien. Hal ini tidak
menimbulkan lebih banyak pembebanan tanggung jawab terhadap seluruh tenaga yang
bekerja di rumah sakit, tetapi juga mengakibatkan kecenderungan timbulnya suatu doktrin
yang dinamakan corporate liablity. Doktrin ini sebenarnya tidak lain adalah doktrin
vicarious liabilty yang diperluas. Berbagai tanggung jawab kini disatukan sehingga yang
pertama-tama dianggap bertanggungjawab adalah rumah sakit. 192
ar.
Jadi jelas bahwa rumah sakit sebagai suatu badan atau organisasi hanya bisa
bertindak melalui tenaga-tenaga yang diperkerjakannya. Secara yuridis rumah sakit sebagai
suatu kegiatan dari suatu badan yang bertanggungjawab apabila ada pelayanan cure and care
yang tidak lazim atau dibawah standard. Di dalam rumah sakit yang dimintakan tingkat
n.
192
Op.Cit,
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
as.
Namun suatu ketentuan bahwa rumah sakit yang mempunyai duty of care
terhadap pasiennya harus menjaga agar fungsi tersebut dijalankan berdasarkan: 193
Doktrin respondent superior melihat tanggung jawab itu dari segi pelakunya
yang merupakan karyawan rumah sakit, tetapi yang bertanggungjawab adalah rumah sakitnya
sebagai "Bosnya". Dianggap adanya suatu kelalaian institusi (corporate neglience) yang
akhir-akhir ini berkembang melalui doktrin corporate liability yang ternyata juga melanda
diberbagai negara. Menurut doktrin ini rumah sakit sebagai institusi yang menyediakan diri
untuk memberikan pelayanan perawatan dan pengobatan
bertanggungjawab atas segala peristiwa yang terjadi di rumah sakitnya. Tegasnya yang
pertama-tama bertanggungjawab adalah rumah sakitnya dahulu, namun bila ada
kesalahan/kelalaian yang tidak wajar dilakukan oleh seorang dokter, bisa saja rumah sakit
kemudian menggunakan hak regresnya (memerintahkan digantikan lagi) kepada dokternya.
Kadangkala langsung kedua-
o.
193
Levey dan Loomba, 1973. Dalam Azrul Azwar, Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan,
(Jakarta: Sinar Harapan, 1996), hal.12
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
av. duanya, rumah sakit dan dokter sekaligus dituntut. Alasan lain dari timbulnya doktrin
corporate liability adalah bahwa pasien tidak bisa mengetahui yang mana dokter
karyawan dan yang mana hanya dokter tamu yang diberi izin untuk merawat pasien
pribadinya dan mempergunakan fasilitas rumah sakit.
aw.
ax.
ay. 2. Prinsip Tanggung Jawab Rumah Sakit sebagai Pelaku Usaha di Bidang Jasa
Pelayanan Kesehatan
az.
Setiap orang berhak dan wajib mendapatkan kesehatan dalam derajat yang
optimal. Itu sebabnya, peningkatan derajat kesehatan harus terus menerus diupayakan untuk
memenuhi hidup yang sehat. Pernahkah konsumen atau pasien berpikir ke dokter atau ke
rumah sakit walaupun tidak merasa sakit, demi memperbaiki mutu kesehatan? Atau
pernahkah konsumen malah menjadi sakit setelah ke dokter atau ke rumah sakit? 194 Dan
ingatlah bahwa dokter adalah penolong dalam bidang kesehatan, mereka telah bersumpah
tidak akan membahayakan pasiennya. Pergi ke dokter adalah
ba.
195
p.
q.
r.
195
1999),
hal.xi
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
bd.
be. Jaminan yang diberikan Pasal 55 Undang-Undang Kesehatan akan sekedar huruf
mati kalau tidak diikuti deregulasi doktrin perbuatan melawan hukum (Pasal 1365
KUH Perdata). Untuk kepentingan si pasien atau konsumen yang hanya dapat
menuntut ganti rugi berdasarkan ketentuan ini. Ia harus membuktikan unsur-unsur
perbuatan melawan hukum:
a. adanya perbuatan melawan hukum oleh pengelola atau penyedia jasa kesehatan;
b. adanya kesalahan atau kelalaian pengelola atau jasa kesehatan;
c. adanya kerugian yang dialami konsumen/pasien;
d. adanya hubungan kausalitas (sebab-akibat) antara perbuatan melawan hukum dengan
kerugian.
bf.
membuktikan unsur kedua tersebut. Ada tidak unsur itu pada kasus yang bersangkutan
menjadi kewajiban pengelola atau penyedia jasa layanan kesehatan.
197
Tergugat dianggap
telah bersalah, kecuali ia mampu membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan kelalaian
atau kesalahan.
s.
t.
1%
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
bg.
untuk mencari-cari kesalahan atau kelalaian penyedia jasa kesehatan. Kita mencoba
menyelami perspektif rasa keadilan (perasaan) si korban atau pihak orang tua korban yang
menyaksikan anak atau bapak mereka tergolek seumur hidup.
bh.
Tanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian oleh pelaku usaha, dapat
diwujudkan dengan pengembalian uang, atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 198 Pemberian
ganti kerugian tersebut dilaksanakan dalam waktu tenggang waktu 7 hari setelah
tanggal transaksi.199 Tetapi pemberian ganti kerugian tersebut tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai
adanya unsur kesalahan.200
bi. Mengingat bahwa rumah sakit juga dapat dikategorikan sebagai pelaku usaha,
berdasarkan Pasal 61 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
dinyatakan bahwa: "Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha
dan/atau pengurusnya".
bj.
bk.
"Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat
tetap, atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku."
u.
v.
198
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
bl.
tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa rumah sakit sebagai pelaku usaha yang memberikan
jasa pelayanan kesehatan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atau dengan kata lain
merupakan subyek hukum dalam lalu lintas hukum pidana.
bm.
Untuk itu ada beberapa tipe rumah sakit yang pada dasarnya dapat
sakit ini dapat dibedakan dalam dua hal yaitu berdasarkan doktrin strict liability, corporate
liability dan juga vicarious liability. Pertanggungjawaban rumah sakit berdasarkan asas strict
liability dapat dibedakan karena defective products dan injuries suffered by the patients.202
bo.
berikut:203
bp. a. Supplies, medication and food (peralatan rumah sakit, persediaan, pengobatan dan
makanan);
x. Hermin Hadiati, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1992), hal.61.
202
y.
Op.Cit, J.Guwandi, hal.98.
203
z.
Ibid
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
bq. Menurut sifat dasar dari rumah sakit bertanggungjawab terhadap peralatan yang
dipergunakan, persediaan obat dan makanan yang memadai sesuai standard pelayanan
yang baik
d. Selection retention of employees and confernal of staff previlage (seleksi dan kemampuan
pekerja serta memberikan perlindungan kepada staff);
bt. Rumah sakit melakukan seleksi kepada pekerja berdasarkan kemampuan sehingga
memberikan pelayanan kesehatan yang baik. Disamping rumah sakit harus memberikan
perlindungan kepada pegawainya yang telah melaksanakan kewajibannya dengan
memberikan pelayanan medis dengan baik.
bu. Rumah sakit bertanggung jawab dengan melakukan pengawasan terhadap berbagai
tindakan medis dalam rangka perawatan terhadap pasien.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
bv.
vicarious liability
khusus dalam doktrin captain of the ship yang berlaku terhadap dokter spesialis
yang melakukan tindakan medis tertentu di suatu rumah sakit. Ia dianggap
bertanggungjawab atas kesalahan atau kelalaian para staff pembantunya,
termasuk penata rontgen dan perawat. Dalam hal ini tenaga medis sebagai
borrowed servant kepada dokter spesialis tersebut, walaupun paramedis tersebut
secara struktural adalah tenaga organik yang digaji oleh rumah sakit.
tersebut.
1 Ibid
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
ca. Rumah sakit juga dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan asas ini apabila dalam
melakukan tindakan medis tertentu tersebut peralatan yang dipergunakan tidak dalam
keadaan standard, sehingga akan menimbulkan kerugian pada pasien tanpa harus
dibuktikan adanya kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit
tersebut.
cb.
Sehubungan dengan kasus yang terjadi pada Oktober 2007 yang telah
disinggung pada Bab I tepatnya di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan. Dalam kasus ini
rumah sakit digugat oleh pasien karna masalah pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai
dengan standar pelayanan kesehatan. Namun disayangkan bahwa pihak manajemen Rumah
Sakit Santa Elisabeth tidak bersedia untuk dilakukan wawancara berkaitan kasus ini dengan
alasan bahwa berdasarkan keputusan direksi rumah sakit, penelitian/penelusuran lebih lanjut
mengenai kasus yang diselesaikan oleh Badan penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Medan ini tidak dapat dikabulkan2.
cc.
Dari uraian di atas, maka rumah sakit sebagai suatu badan hukum dapat
dimintai pertanggungjawabannya sebagai pelaku usaha yang dalam hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU No.8 Tahun 1999, yaitu :
2 Tanggapan permohonan izin penelitian Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan, 8 Juni 2009.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
cd.
"Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum begara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha berbagai bidang ekonomi".
Maka rumah sakit sebagai pelaku usaha di bidang pelayanan kesehatan, tunduk
ce. kepada ketentuan Pasal 19 UU No.8 Tahun 1999 yang mengatur tentang tanggung
cf. jawab sebagai pelaku usaha. Jadi rumah sakit sebagai pelaku usaha
cg. bertanggungjawab untuk memberikan ganti rugi atas kerugian yang dirasakan oleh
ch. pasien sebagai akibat buruknya pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan pada
ci. rumah sakit tempat mereka bekerja.
cj.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
cm.
Pada dasarnya tidak seorang pun yang menginginkan adanya atau terjadinya
sengketa dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu tujuan perlindungan konsumen di Indonesia
adalah untuk meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen.3
cp.
Menurut ketentuan Pasal 45 ayat (1) UUPK dapat diketahui bahwa untuk
3 Pasal 3 butir (c) Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
4 Loc.Cit, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, hal.224.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
1. Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha;
konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan
sukarela para pihak yang bersengketa. Penjelesan pasal tersebut pada dasarnya menegaskan
bahwa penyelesaian sengketa konsumen yang dimaksud di sini tidak menutup kemungkinan
penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan
untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
Sedangkan yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa secara damai adalah penyelesaian
yang dilakukan oleh kedua pihak yang bersengketa tanpa melalui pengadilan atau Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
cs.
Jadi ada dua hal yang terkandung dalam rumusan Pasal 45 ayat (2) UUPK,
ct.
cu.
208
yaitu:
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
cv. 1. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan dan diluar
ab. Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan dilingkup peradilan umum.
Dalam menyelesaikan sengketa di pengadilan, para pihak yang bersengketa
diberikan berbagai upaya hukum, baik yang bersifat biasa maupun yang bersifat
luar biasa, dalam rangka mempertahankan dan/atau melindungi kepentingannya.
Selain itu, 208 Ibid, hal.226.
pengadilan.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
menyelesaikan
sengketa
tersebut,
tetapi
undang-undang
tidak
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
cx.
konsiliasi, mediasi, dan lain sebagainya. 5 Lembaga seperti itulah yang akan
digunakan oleh BPSK dalam menangani dan menyelesaikan sengketa antara
konsumen dengan pelaku usaha. Namun, lembaga alternatif penyelesaian sengketa
(Alternative Dispute Resolution/ ADR) ini hanya dapat diterapkan dalam lingkungan
hukum perdata dan tidak berlaku dalam lingkungan hukum pidana. 6 Pihak konsumen
yang diberi hak mengajukan gugatan menurut Pasal 46 UUPK adalah: 7
4) Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak
sedikit.
5 Yahya Harahap, Berbagai Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, cet.I (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1997), hal.225-230.
6 Mas Achmad Santosa, "Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen", (Makalah disampaikan pada Diskusi
Sehari: Kesiapan Lembaga Yuridis dalam pemberlakuan UUPK, Jakarta, September 1999), hal.2
5) Jika dilihat secara individual, nilai perkara antara konsumen dengan pelaku
usaha sangat kecil, tetapi secara komunal kegiatan kerugian yang ditimbulkan sangat
besar. Dalam kaitan dengan karakteristik ini, maka proses beracara dalam hukum
perlindungan konsumen mengenal antara lain adanya : a. Small Claim
6)
sengketa-sengketa yang nilai nominal kasusnya relatif kecil, termasuk sengketa konsumen.
Untuk itu, alternatif yang dapat ditempuh adalah dengan diperkenalkannya small claim court
dalam dunia peradilan di Indonesia. Secara sederhana, small claim court dapat didefenisikan
sebagai peradilan kilat, dengan hakim tunggal, prosedurnya sederhana, tidak ada keharusan
menggunakan pengacara, tidak ada upaya banding dan biaya ringan. 8
7)
Small Claim adalah jenis gugatan yang diajukan oleh konsumen, sekalipun
dilihat secara ekonomis, nilai gugatannya sangat kecil. Ada 3 alasan mengapa small claim
diizinkan dalam perkara konsumen yaitu :9
1) Kepentingan dari pihak penggugat (konsumen) tidak dapat diukur semata-mata dari nilai
uang kerugiannya,
2) Keyakinan bahwa pintu keadaan seharusnya terbuka bagi siapa saja, termasuk para
konsumen kecil dan miskin,
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
disebut Badan Perlindungan Konsumen Nasional, yang tidak memiliki kewenangan untuk
menggugat mewakili konsumen. Perwakilan untuk menampung gugatan-gugatan bernilai
kecil ini justru diserahkan kepada kelompok atau lembaga swadaya masyarakat yang disebut
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM). 10
5)
6)
7) b. Class Action
8)
Gugatan Perwakilan Kelompok atau Class Action adalah suatu tata cara
pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan
gugatan untuk diri atau diri mereka sendiri sekaligus mewakili sekelompok orang yang
jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok
atau anggota kelompok dimaksud.11
9)
Selain itu, ada juga yang memberikan pengertian bahwa class action hanya
sebagai suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan yang sejenis untuk
bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien. Dan, seseorang yang akan turut
serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada
10 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004),
hal.65.
11 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: FH
Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004), hal.211.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
10)
perwakilan. Untuk class action ini keterlibatan pengadilan sangat besar karena setiap
perwakilan untuk dapat maju ke pengadilan dengan memperhatikan: 12
1) class action merupakan tindakan yang paling baik untuk mengajukan gugatan,
2) mempunyai kesamaan tipe tuntutan yang sama,
3) penggugat sangat banyak, dan
4) perwakilan layak/patut. Saat ini di Indonesia, masyarakat sudah dapat mengajukan
gugatan dengan
11)
prosedur class action yang oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002
disebut dengan nama "gugatan perwakilan kelompok". Peraturan Mahkamah Agung
tersebut mengartikan class action sebagai suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam
mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri
sendiri atau mewakili kelompok untuk mengajukan gugatan bagi diri mereka sendiri
dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki
kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok
dimaksud.13
12)
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, hanya kepada korban yang secara formal yang ikut
menggugat yang akan mendapatkan ganti rugi. Sedangkan korban lain yang tidak ikut
menggugat, untuk mendapatkan ganti rugi, harus mengajukan gugatan baru.
13)
Maka dari itu ada gugatan kelompok dalam sistem peradilan Indonesia. Dengan
gugatan kelompok, terhadap mempunyai kekuatan hukum tetap, pihak korban
dimenangkan, maka korban lainnya yang secara formal tidak mengajukan gugatan
berdasar kepada putusan tersebut, langsung dapat meminta ganti rugi, tanpa harus
mengajukan gugatan baru.14
14)
Dalam Pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2002, ditentukan suatu perkara gugatan
hanya dapat diajukan dengan menggunakan prosedur gugatan perwakilan kelompok atau
class action apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: 15
1) Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien
apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu
gugatan.
2) Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang
bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok
dengan anggota kelompoknya.
14 Ibid, hal.66.
15 Pasal 2 PERMA No.1 Tahun 2002
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
5)
ditetapkan dalam Pasal 23 US Federal Rule of Civil Procedure. Syarat itu sebagai
berikut :16
1. Numerosity
6) Maksudnya, jumlah penggugat harus cukup banyak. Jika diajukan secara sendiri-sendiri
tidak lagi mencerminkan proses beracara yang efisien.
2. Commonality
7) Artinya, adanya kesamaan soal hukum (question of law) dan fakta (question of fact)
antara pihak yang diwakilkan (class members) dan pihak yang mewakilinya
8) (class representative).
3. Typicality
9) Adanya kesamaan jenis tuntutan hukum dasar dan dasar pembelaan yang digunakan
antara class members dan class representative.
ialah:17
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
3. 3. Merubah sikap pelaku pelanggaran dan menumbuhkan sikap jerah bagi mereka yang
berpotensi untuk merugikan kepentingan masyarakat luas.
4.
7. c.
Legal Standing
8.
proses beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal standing. Subjek
penggugat, yaitu: Organisasi non-pernerintah/Ornop (nongovernmental organizations,
disingkat NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang
perlindungan konsumen. Rumusan legal standing dalam UUPK ditemukan dalam Pasal 46
ayat (1) huruf (c): "Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran menyebutkan
dengan tegas, tujuan didirikannya organisasi tersebut untuk kepentingan perlindungan
konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. 19
9.
konsumen dilarang berstatus sebagai korban dalam perkara yang diajukan. Inilah perbedaan
pokok antara gugatan berdasarkan class action dengan NGO's legal standing. Oleh karena
itu, unsur commonality dan typicality tidak dipersyaratkan dalam NGO's legal standing.
Selanjutnya, syarat adequacy of representative dalam NGO's legal standing tidak lagi
diserahkan sepenuhnya kepada penilaian hakim, melainkan ada kondisi objektif, yaitu harus
memenuhi ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf(c) UUPK. 20
10.
dikenal oleh masyarakat. Dasar hukum dibentuknya lembaga ini di Indonesia adalah UUD
1945 Pasal 24. Kemudian untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal
24 UUD 1945 itu diundangkanlah UU No. 14 Tahun 1970
13.
Tahun 1999. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman,
ditegaskan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan
peradilan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima,
memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
20 Op.Cit, hal.70.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
14.
1. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,
atau;
15.
16.
19. formalistik dan sangat teknis. Di samping itu, arus perkara yang semakin deras
mengakibatkan pengadilan dibebani dengan beban yang terlampau banyak.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
25.
sistem peradilan, tapi usaha yang demikian tidak mudah, karena dalam memperbaiki sistem
peradilan, terlalu banyak aspek yang akan diselesaikan dan terlalu banyak yang akan
dilindungi, sementara kepentingan tersebut pada umumnya bertentangan.
26.
satu dengan warga masyarakat yang lain, yang mana sengketa seperti itu menjadi
kewenangan dari peradilan umum. Perihal prosedur atau tata cara penyelesaian sengketa
konsumen, melalui pengadilan diatur dan tercantum dalam hukum acara perdata. Dengan
demikian, prosedur atau hukum acara yang berlaku dalam penyelesaian sengketa konsumen
melalui pengadilan pada prinsipnya adalah semua ketentuan yang berlaku dalam hukum
acara perdata di Indonesia dalam HIR Pasal 163, Pasal 1865 KUH Perdata kecuali telah
diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Perihal pengecualian ini dimungkinkan
berdasarkan satu prinsip atau asas yang menyatakan bahwa suatu undang-undang yang
bersifat khusus menyampingkan
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
27. undang-undang yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis)23 Adapun
pengecualian-pengecualian terhadap asas ini adalah :
1. Gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat kedudukan konsumen; Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 23 UUPK yang pada intinya menyatakan bahwa pelaku usaha
dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan
peradilan di tempat kedudukan konsumen.
2. Beban pembuktian;
28. Dalam penyelesaian sengketa konsumen, undang-undang telah memberikan
penegasan pihak mana yang akan memikul beban pembuktian. Pasal 28 UUPK
menyatakan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 23 UUPK merupakan beban dan tanggung
jawab pelaku usaha. Dengan demikian pelaku usahalah yang diwajibkan membuktikan
bahwa ia tidak bersalah.
3. Gugatan kelompok;
29. UUPK mengatur Lembaga Class Action dalam Pasal 46 ayat (1) butir b,
yang pada intinya menyatakan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat
dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
23221 Purbacaraka dan Soekanto, Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, cet.IV (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1993), hal.8.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
Alternative Dispute Resolution (ADR) dapat ditempuh dengan berbagai cara. ADR tersebut
dapat berupa arbitrase, mediasi, konsiliasi, minitrial, summary jury trial, settlement
conference serta bentuk lainnya. Sedangkan dalam Pasal 1 Undang-undang No.30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase dibedakan dari
alternative penyelesaian sengketa, karena yang termasuk dalam alternatif penyelesaian
sengketa hanya konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli. 25
33.
Konsiliasi
35.
38.
jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan majelis BPSK
39.
bertindak pasif sebagai konsiliator. b. Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha
40. 2. Mediasi
41.
Penyelesaian dengan cara ini dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa
dengan didampingi oleh majelis yang bertindak aktif sebagai mediator (Pasal 5 ayat 2
Kepmen Deperindag No.350/MPP/Kep/12/2001). Keaktifan majelis BPSK sebagai
pemerantara dan penasehat Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara
mediasi terlihat dari tugas Majelis BPSK ,yaitu: 31
30 Ibid
31 Op.Cit, Celina Tri Siwi Kristiyanti, hal.200.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
f.
b. Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan
BPSK
g.
h.
i. 3. Arbitrase
j.
Lain dengan cara konsiliasi dan mediasi, berdasarkan Pasal 1 angka (11) SK Menperindag
No.350/MPP/Kep/12/2001, arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya
penyelesaiannya kepada BPSK untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen
yang terjadi.33
k.
dengan dua cara sebelumnya. Dalam cara arbitrase, badan atau majelis yang dibentuk BPSK
bersikap aktif mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa jika tidak tercapai kata sepakat
diantara mereka. Cara pertama yang dilakukan adalah badan ini memberikan penjelasan
kepada pihak-pihak yang bersengketa perihal perundang
l.
masing pihak yang bersengketa diberikan kesempatan yang sama untuk menjelaskan apa saja
yang dipersengketakan. Nantinya, keputusan yang dihasilkan dalam penyelesaian sengketa
ini adalah menjadi wewenang penuh badan yang dibentuk BPSK tersebut.
m.
Proses pemilihan majelis BPSK dengan cara arbitrase ditempuh melalui 2 tahap
berdasarkan Pasal 32 SK Menperindag No.350/MPP/Kep/12/2001, yaitu :34
a. Para pihak memilih arbitor dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan
konsumen sebagai anggota majelis BPSK
b. Arbitor yang dipilih para pihak tersebut kemudian memilih arbitor ketiga dari anggota
BPSK dari unsur pemerintah sebagai Ketua Majelis BPSK. Jadi unsur pemerintah selalu
dipilih menjadi Ketua Majelis.35
n.
alternatif dengan menyediakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pasal 45 ayat (4)
UUPK menyebutkan, apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Ini berarti
penyelesaian di pengadilan juga tetap dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan
sengketa diluar pengadilan.
34 Ibid
35 Ibid, hal.201.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
o.
Pasal 54 ayat (3) UUPK menegaskan bahwa putusan majelis dari BPSK itu bersifat
final dan mengikat. Kata "final" diartikan sebagai tidak adanya upaya banding dan
kasasi. Yang ada adalah "keberatan" yang dapat disampaikan kepada pengadilan
negeri dalam waktu 14 hari kerja setelah pihak berkepentingan menerima
pemberitahuan putusan tersebut. Jika pihak yang "dikalahkan" tidak menjalankan
putusan BPSK, maka putusan itu akan diserahkan oleh BPSK kepada penyidik untuk
dijadikan bukti permulaan yang cukup, dalam melakukan penyidikan UUPK sama
sekali tidak memberikan kemungkinan lain bagi BPSK, kecuali menyerahkan
putusan itu kepada penyidik. Terhadap putusan Pengadilan Negeri pun, meskipun
dikatakan bahwa UUPK hanya memberikan hak kepada pihak yang Agung, namun
dengan mengingat akan relativitas dan tidak merasa puas, peluang untuk mengajukan
kasasi sebenarnya terbuka bagi setiap pihak dalam perkara. Selain itu UUPK juga
telah memberikan jangka waktu yang pasti bagi penyelesaian perselisihan konsumen
yang timbul, yakni 21 hari untuk proses pada tingkat Pengadilan Negeri, dan 30 hari
untuk diselesaikan di Mahkamah Agung, dengan jeda masing-masing 14 hari untuk
mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri maupun Kasasi ke Mahkamah Agung. 36
p.
khusus yang dibentuk oleh pemerintah di tiap-tiap Daerah Tingkat II untuk penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
36 Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal.78.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
q.
diatur keanggotaan BPSK yang terdiri dari unsur-unsur pemerintah, unsur konsumen, dan
unsur pelaku usaha dengan ketentuan bahwa setiap unsur diwakili oleh sedikit-dikitnya 3
(tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang. 37 Pengangkatan dan pemberhentian
anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
r.
Dalam
menangani
dan
menyelesaikan
sengketa
konsumen,
BPSK
membentuk majelis, dengan jumlah anggota yang harus berjumlah ganjil, yaitu terdiri dari
sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur, dan dibantu oleh seorang
panitera. Menurut Ketentuan Pasal 54 ayat (4) UUPK, ketentuan teknis dari pelaksanaan
tugas majelis BPSK yang akan menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen akan
diatur tersendiri oleh Menteri Perindustrian dan Perdangangan. Yang jelas BPSK diwajibkan
untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang diserahkan kepadanya dalam jangka waktu 21
(dua puluh satu) hari terhitung sejak gugatan diterima oleh BPSK.
s.
BPSK ini memang dikhususkan bagi konsumen perorangan yang berselisih dengan pelaku
usaha tertentu. Sifat penyelesaian sengketanya sebenarnya bersifat cepat, murah, dan adil.
Terhadap keputusan BPSK ini masih memungkinkan adanya keberatan yang diajukan melalui
kasasi ke MA. Jadi penyelesaian sengketa konsumen tersebut dapat dilakukan melalui
pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan
t. pilihan sukarela dari pihak yang bersengketa (UUPK Pasal 45 ayat (2)). Artinya
dibuka kesempatan untuk menyelesaikan sengketa konsumen pada koridor
Alternative Dispute Resolution (ADR). Alternatif penyelesaian sengketa kemudian
diatur dalam Pasal 52 UUPK mengenai tugas dan wewenang BPSK yaitu
melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui
mediasi, konsiliasi atau arbitrase.
u. Menurut ketentuan Pasal 4 butir (e) UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, salah satu hak konsumen adalah hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan secara patut. Lebih
lanjut, salah satu kewajiban pelaku usaha adalah memberikan kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan (UUPK Pasal 7 butir f). Kewajiban
tersebut ada bila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian. Jika hal tersebut tidak dilakukan oleh pelaku usaha, maka UUPK
mengaturnya dalam ketentuan Pasal 23 UUPK yaitu pelaku usaha yang menolak
dan/atau tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas
tuntutan hukum, dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau
mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
v.
w. sakit, pada prinsipnya dapat mengacu pada ketentuan Pasal 45 UUPK yaitu melalui
x. 242
y. cara:
1. Pihak konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK);
2. Pihak konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan melalui peradilan yang
berada di lingkungan peradilan umum;
z. Alternatif dalam penyelesaian sengketa konsumen yang sering terjadi dalam praktek
saat ini dilakukan oleh suatu badan khusus bidang pelayanan kesehatan, yaitu
Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI). Dalam sengketa
yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha UUPK menyediakan 3 (tiga)
alternative yang bisa dipilih konsumen yaitu penyelesaian melalui pengadilan, diluar
pengadilan atau melalui BPSK. Ketiga alternatif ini dipilih oleh konsumen dengan
terlebih dahulu mempertimbangkan waktu, biaya dan prosedur yang diperlukan
untuk masing-masing pilihan dibandingkan dengan nilai kerugian konsumen. Dari
data yang ada di BPSK kasus pengaduan konsumen kesehatan biasanya diselesaikan
secara mediasi dan BPSK bertindak sebagai mediator.38 Cara mediasi ini ditempuh
untuk meringankan biaya, waktu dan prosedur yang panjang di
aa. pengadilan. Jadi badan ini hanya melakukan mediasi, dengan mediasi pun ternyata
efektif karena 90% bisa selesai.
ab.
dihindarkan, maka wajar jika kemudian rumah sakit di Indonesia merasa cemas. Oleh karena
itu dibuat seperangkat peraturan atau kaidah yang mengikat kedua pihak. Perangkat tersebut
dinamakan hospital by laws39, yang dirumuskan dalam bentuk peraturan rumah sakit, surat
keputusan, standard operation procedure (SOP), surat ketetapan, surat penugasan,
pemberitahuan dan pengumuman.40
ac.
Apabila ada kasus kesehatan maka harus ditelaah terlebih dahulu. Misalnya
apakah dokter sudah mentaati SOP, jika sudah mentaati SOP maka untuk sulit
menyalahkannya. Mengenai kasus yang melibatkan pihak dokter dan rumah sakit, maka
diselesaikan terlebih dahulu oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Majelis etik
kodekteran Indonesia ditetapkan dengan Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia No.l70/PB/A-II/1989 dan disahkan dalam Muktamar Ikatan Dokter Indonesia Ke21 tahun 1991 di Yogyakarta.41 Pembentukan MKEK adalah untuk membimbing, mengawasi,
dan menilai perilaku para dokter dalam menjalankan tugas mereka memelihara kesehatan
para konsumen. Majelis inilah yang berwenang menerapkan ketentuan-ketentuan kode etik
terhadap
39 Hospital by laws adalah seperangkat peraturan yang mengatur berbagai bentuk pola hubungan dan tanggung
jawab pihak-pihak terkait. http://els.bappenas.go.id/upload/other/Banyak%20Rumah%20Sakit%20tidak
%20Memiliki-MI.htm, diakses tanggal 17 Juni 2009.
40 Ida Cynthia.S, Ada Kesalahan, Ada Sanksi, Ada Hukuman, (Jakarta: Samaritan, Agustus-Oktober 2001) hal.7.
41 Op.Cit, Az.Nasution, hal.214
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
ad.
para dokter dan setiap tenaga kesehatan. Tugas MKEK ini dirancang untuk
af.
ketua MKEK tidak mempunyai imunitas untuk meneruskan kasus ini ke pengadilan, karna
hal ini pernah diancam oleh dokter yang berpekara. Sehingga mengakibatkan masyarakat
mendapat kesan, etika kedokteran merupakan tabir untuk menutupi kesalahan dokter. <,
ag.
Dari kasus antara Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan dengan Badan
Penyelesaian Sengketa (BPSK) Medan diselesaikan dengan cara arbitrase. Namun dari
beberapa kasus yang ada, lebih baik dilaksanakan dengan cara alternatif penyelesaian
sengketa dengan mediasi.43 Hal mana cara ini lebih efektif, karena jika dilaksanakan di
pengadilan mengingat kondisi pasien (konsumen) sangat tidak
42 Ibid
43 Wawancara dengan Dharma Bakti Nasution dari BPSK Medan, tanggal 20 Juni 2009.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
ah. memungkinkan untuk beracara di pengadilan, apalagi pasien tersebut orang yang
tidak mampu.
ai.
a. Memberikan penjelasan kepada konsumen atau pelaku usaha tentang hak dan
kewajibannya masing-masing;
b. Memberikan penjelasan tentang bagaimana menuntut ganti kerugian atas kerugian yang
diderita oleh konsumen dan juga pelaku usaha;
d. Memberikan penjelasan tentang bagaimana bentuk dan tata cara penyelesaian sengketa
konsumen;
aj.
luar pengadilan. Kedudukan badan ini berada di daerah kota dan/atau daerah kabupaten.
Susunan pengurusan BPSK dibentuk oleh gubernur masing-masing provinsi dan diresmikan
oleh Menteri Perdagangan. Untuk pertama kali Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) dibentuk pada setiap Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat,
Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota
Malang, dan Kota Makasar.45
ak.
e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;
al. i.Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli,
atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak
bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
am. j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
Dalam
menangani
dan
menyelesaikan
sengketa
konsumen,
BPSK
membentuk majelis. Jumlah anggota majelis hams ganjil dan sedikit-dikitnya tiga orang yang
mewakili unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha (dibantu oleh seorang panitera).
1. Meninggal dunia;
2. Sakit atau telah lanjut usia (manula);
3. Belum dewasa;
4. Orang asing (warga negara asing), maka permohonan dapat diajukan oleh ahli waris atau
kuasanya.
5.
5. Saksi-saksi yang mengetahui perolehan barang atau jasa, foto-foto barang atau kegiatan
pelaksanaan jasa, bila ada.
6.
7.
254
(PSK) dicatat Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sesuai format
yang disediakan. Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dibubuhi tanggal dan
nomor registrasi serta diberikan bukti tanda terima. 49
1. 2
5
48 Op.Cit, Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep/12/2001.
49 Ibid, hal.31.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
9.
mediasi, konsiliasi atau arbitrase disertai jangka waktu penyelesaian yang singkat yaitu 21
hari kerja. Dalam waktu paling lambat 7 hari kerja sejak menerima putusan BPSK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UUPK, pelaku usaha wajib melaksanakan putusan
tersebut. Sekalipun putusan BPSK bersifat final dan mengikat (Pasal 53 ayat (3)), tetapi
keberatan atas keputusan tersebut masih dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri (PN)
dalam tenggang waktu 14 hari sejak putusan BPSK disampaikan. PN wajib memutusnya
dalam jangka waktu 21 hari (Pasal 58 ayat (1)). Selanjutnya terhadap putusan PN dapat
diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam tenggang waktu 14 hari sejak putusan PN
diterima. Mahkamah Agung wajib memutus perkara dalam jangka waktu 30 hari sejak saat
permohonan kasasi diajukan (Pasal 58 ayat(3)). Pengadilan mengacu pada ketentuan proses
peradilan umum yang berlaku dan harus memperhatikan ketentuan Pasal 45 Undang-undang
No.8 Tahun 1999.
10.
11.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
14. administrasi tersebut berupa penetapan ganti kerugian dengan jumlah paling banyak
Rp.200.000.000,- 50 2. Sanksi pidana
a. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2),
Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, serta ayat (2), dan Pasal
18 dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak
Rp.2.000.000.000,-51
b. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal
14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan f, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,- 52
c. Terhadap pelanggaran oleh pelaku usaha yang mengakibatkan luka berat, sakit berat,
cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku, yaitu
berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.53
Negara dan bertanggung jawab kepada Presiden. BPKN memiliki kedudukan yang kuat di
dalam mengembangkan upaya perlindungan konsumen dimana badan ini tidak dapat
diintervensi oleh pihak departemen di dalam pelaksanaan tugasnya. Kedudukannya
independent dan bertanggungjawab kepada Presiden.54
j.
k.
m.
n.
dua level/arus sekaligus , yaitu dari arus bawah ada lembaga konsumen yang kuat dan
terisolasi secara luas di masyarkat dan sekaligus secara repsentatif dapat menampung dan
memperjuangkan aspirasi konsumen. Sebaliknya dari arus atas, ada bagian dalam struktur
kekuasaan yang secara khusus mengurusi perlindungan konsumen. Semakin tinggi bagian
tersebut semakin besar pula power yang dimiliki dalam melindungi kepentingan konsumen.
Jadi efektif tidaknya perlindungan konsumen suatu negara tidak semata-mata tergantung pada
lembaga konsumen, tapi juga kepedulian pemerintah, khususnya melalui institusi yang
a. konsu
b.
lembaga non-Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai
kegiatan menangani perlindungan konsumen.58 Lembaga ini didirikan khusus untuk
c.
26
4
melindungi kepentingan konsumen dari perilaku para pelaku usaha yang menjalankan
kegiatannya tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga dapat menimbulkan kerugian
pada harta, keselamatan tubuh maupun jiwa konsumen.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
u.
a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban
dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau
v. jasa;
b. Memberikan nasehat kepada konsumen yang memerlukannya;
c. Bekerjasama dengan instansi terkait untuk mewujudkan perlindungan konsumen;
d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan hak-haknya;
e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan
perlindungan konsumen;
w.
x.
1. Pemerintah mengakui LPKSM yang memenuhi syarat, yakni terdaftar pada Pemerintah
Kabupaten/Kota dan bergerak di bidang perlindungan konsumen sebagaimana tercantum
dalam anggaran dasarnya. Pendaftaran tersebut hanya dimaksudkan sebagai pencatatan
dan bukan merupakan perizinan. Demikian pula, bagi LPKSM yang membuka kantor
perwakilan atau cabang di daerah lain, cukup melaporkan kantor perwakilan atau cabang
tersebut kepada Pemerintah Kabupaten/Kota setempat dan tidak perlu melakukan
pendaftaran di tempat kedudukan kantor perwakilan atau cabang tersebut.
2. LPKSM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat melakukan kegiatan perlindungan
konsumen di seluruh Indonesia.
y.
z.
organisasi atau lembaga lainnya, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
61 Ibid, hal.215.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
aa.
Kabupaten/Kota
dengan
LPKSM.
Sedangkan
dalam
rangka
ab.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tanggal 11 Mei 1973. YLKI ini
didirikan dengan tujuan untuk membantu Indonesia agar tidak dirugikan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa.63 Ada beberapa lembaga atau yayasan yang melakukan
atau bergerak dibidang perlindungan konsumen seperti YLKI (umum), YPKKI (khusus
bidang kesehatan) dan WALHI (bergerak dibidang lingkungan hidup).
ac.
kasus berupa keluhan kesehatan belum pernah dilaporkan ke yayasan ini karena sudah ada
yayasan khusus yang menangani masalah kesehatan yaitu YPKKI (Yayasan Pemberdayaan
Konsumen Kesehatan Indonesia)64.
ad.
sakit, maka pasien dapat mengajukan keluhannya. Hak pasien adalah mendapatkan
64 Ibid, hal 12
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
ae. ganti rugi apabila pelayanan yang diterima tidak sebagaimana mestinya. Masyarakat
sebagai konsumen dapat menyampaikan keluhannya kepada pihak rumah sakit
sebagai upaya perbaikan interen rumah sakit dalam pelayanannya atau kepada
lembaga yang memberi perhatian kepada konsumen kesehatan. Sebagai dasar hukum
dari gugatan pasien atau konsumen/penerima jasa pelayanan kesehatan terhadap
dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata.
af.
dokter dapat melayangkan gugatan terhadap Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), maka
majelis ini akan menyelesaikan pengaduan dari pasien atau keluarga pasien. Di samping itu
dapat diajukan ke pengadilan karena merasa di rugikan dan di perlakukan tidak manusiawi.
Maka dapat menggugat ganti rugi kepada pihak dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit
karena telah melakukan perbuatan melawan hukum, dengan menimbulkan kerugian
diakibatkan oleh kelalaian/kesalahan dalam melakukan tindakan medik maupun pelayanan
yang diberikan tidak sesuai standar kesehatan. 65
ag.
65 Ibid, hal 13
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
ah.
ai.
al. F. Analisis Kasus Rumah Sakit Elisabeth dengan Badan Penyelesaian Sengeta
Konsumen (BPSK)
am.
66 Ibid, hal 14
67 Op.Cit, Happy Susanto, hal.90
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
pengadilan untuk memutus perkara konsumen yang merasa dirugikan dengan produk
barang/jasa dari pelaku usaha yang dikonsumsi.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
ap.
1. Keluarga pasien diminta oleh beberapa suster yang bertugas untuk menjaga agar pasien
tidak tertidur setelah menjalani operasi dan apabila hal itu benar maka seharusnya itu
adalah tugas suster dan bukan keluarga pasien. Informasi yang sebenarnya menyatakan
bahwa itu sebenarnya tidak masalah bila pasien tidur setelah operasi. Pasien sudah tidak
istirahat sebelum operasi dan sesudah operasi tidak diperbolehkan tidur.
2. Pihak rumah sakit mempekerjakan suster yang merawat pasien masih pelajar dan
seringnya masih semester 3 kebawah, sering seniornya tidak terlibat dalam
perawatan dengan penanganan yang kurang berpengalaman membuat pasien kesal
karena pada saat pasien dimandikan berulang kali diminta suster untuk memiringkan
badan dan berulang kali pasien harus menjelaskan pasien tidak dapat memiringkan
badan sendiri baik kekanan maupun kekiri karena tulang punggung pasien yang
sakit.
3. Infus yang sering isinya sudah habis didiamkan sehingga pada saat diganti terdapat
urat yang tersumbat oleh darah yang membeku. Bukan tugas pasien dan keluarga
pasien untuk setiap kali mengawasi kantong infus.
4. Waktu kunjungan dokter selalu singkat sehingga penagihan honor dokter sangat tidak
relefan. Dokter berkunjung tidak lebih dari 5 menit dan tidak setiap hari. Seingat
pasien selama opname hanya 3 kali saja.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
5. Dokter mengatakan agar pasien transfusi darah sebanyak 5 sak setelah melihat kulit
tangan yang pucat padahal sebenarnya warna kulit pasien memang begitu. Hb 8.2 dan
menurut informasi ilmu kedokteran Hb 8.2 itu masih pada batas yang wajar sehingga
tidak perlu tranfusi dan pasien membatalkan transfusi tersebut.
8. Tidak adanya daftar keperluan pribadi yang harus dibawa pasien dari rumah untuk
penginapan di rumah sakit. Handuk yang hanya disiapkan pada awalnya saja dan
kami pun dipertayakan oleh beberapa suster kenapa pasien tidak membawa handuk,
baju tidur sendiri dari rumah.
9. Kamar mandi yang dibiarkan kotor diakibatkan oleh sepatu-sepatu suster yang kotor.
Pada saat suster mengambil air dingin, handuk dan sabun dari kamar mandi dengan
menggunakan sepatu yang kotor.
10. Petugas kebersihan memakai masker pada saat menyapu dan membersihkan ruangan dan
pasien harus menghirup debu yang naik dan dibiarkan tidak memakai masker.
11. Makanan yang tidak disesuaikan dengan permohonan pasien seperti halnya tidak
mengandung merica, bawang merah, putih, daun bawang, cabe santan. Sarapan pagi roti.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
12. 12. Pasien menerima tagihan sementara yang pertama dari rumah sakit dengan
jumlah
13. sekitar Rp.11 jutaan dengan status melahirkan dan rawat inap. Demikianlah
sejumlah keluhan yang diajukan oleh pasien kepada majelis BPSK.
14.
suster yang merawat pasien masih pelajar dan seringnya masih semester 3 kebawah dimana
seniornya tidak terlibat dalam perawatan dengan penanganan yang kurang berpengalaman.
Hal ini membuat pasien kesal karena pada saat pasien dimandikan berulang kali diminta
sama suster untuk memiringkan badan dan berulang kali pasien harus menjelaskan pasien
tidak dapat memiringkan badan sendiri baik kekanan maupun kekiri karena tulang punggung
pasien yang sakit. Ini termasuk kategori pelayanan menyangkut institusi baik berupa sarana
dan prasarana pemberi pelayanan kesehatan (aspek kelembagaan). Seharusnya rumah sakit
memperkerjakan tenaga kesehatan yang sesuai standar pelayanan rumah sakit swasta
bukannya dengan memakai suster di bawah 3 semester. Disamping itu, kondisi AC, shower
kamar mandi yang tidak berfungsi, kamar mandi yang kotor, makanan yang kurang lengkap,
sementara kamar pasien adalah VIP membuat pasien tidak nyaman dengan pelayanan rumah
sakit ini.
15. Ketidaknyamanan pasien dalam menerima pelayanan di rumah sakit harus dirubah,
karena pada dasarnya harapan pasien sebagai konsumen kesehatan yaitu: 68 1. Reliability
(kehandalan) : pemberian pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan;
276
1. Memberikan pelayanan kepada pasien tanpa membedakan suku, ras, agama, seks, dan
status sosial pasien;
4. Merujuk pasien kepada rumah sakit lain apabila tidak memiliki sarana, prasarana,
peralatan, dan tenaga yang diperlukan;
Ibid, hal 97
16.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
17. 1365 dan 1367 KUHPerdata karena rumah sakit swasta sebagai badan hukum
memiliki kekayaan sendiri dan dapat bertindak dalam hukum dan dapat dituntut
seperti halnya manusia.
18.
kesehatan belum mampu berfungsi dengan baik, karena pelaku-pelaku dalam sistem ini
terkena dampak krisis nasional. Pelayanan kesehatan di rumah sakit mengalami penurunan
pendapatan yang tajam, karena pemanfaatan jasa rumah sakit oleh masyarakat berkurang.
Pasien lari ke pengobatan alternatif yang lebih murah. Tantangan dalam pelayanan kesehatan
adalah bagaimana memenuhi kebutuhan dan kepuasan pasien tentang tuntutan dan harapan
terhadap pelayanan kesehatan. Juga bagaimana meningkatkan daya saing agar dapat tetap
bertahan di era globalisasi.
19.
upaya kesehatan dan sumber daya kesehatan sebagai pendukung penyelenggaraan upaya
kesehatan, dengan pengertian sarana pelayanan kesehatan seperti kondisi kamar VIP
disesuaikan dengan tarif/ukuran yang ditetapkan tidak semata-mata mencari keuntungan,
seperti yang dikenakan rumah sakit Elisabeth pada pasien dengan status rawat inap dan
melahirkan, namun harus seimbang dengan pelayanan yang diberikan. Menurut Undangundang Kesehatan Pasal 71 ayat (1) bahwa masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan
serta dalam penyelenggaraan upaya kesehatan beserta sumber dayanya mulai dari
inventarisasi masalah, perencanaan, penilaian sampai berbentuk sumbangan pikiran, tenaga,
kelembagaan, sarana serta
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
20.
dana. Hal tersebut sulit dilaksanakan karena 27 Peraturan Pemerintah yang ditunjuk
Penyelesaian Sengketa Konsumen kota Medan diselesaikan dengan jalur arbitrase, ternyata
penyelesaian dengan jalur alternatif penyelesaian sengketa ini mempunyai kelebihan.
Diantaranya waktu yang dibutuhkan untuk proses persidangan sampai putusan sekitar 21
hari, sedangkan dengan jalur pengadilan memakan waktu yang sangat lama. Disamping itu
biaya yang dibutuhkan hanya sekitar Rp. 0.00.- atau menghabiskan biaya yang sangat sedikit.
Dan majelis yang memutus sengketa konsumen lebih fokus dibanding hakim yang ada di
pengadilan.70
22. Jadi rumah sakit Elisabeth harus meningkatkan pelayanannya baik sarana prasarana
maupun manajerial rumah sakit dan menghapuskan aturan/kebijakan rumah sakit
yang menjadikan pasien sebagai objek bisnis serta rumah sakit harus menghargai
hak-hak konsumen yang telah diatur oleh undang-undang.
23. Dalam Bab I Pendahuluan pada latar belakang, telah disinggung bahwa kasus terbaru
mengenai kesehatan terjadi di rumah sakit Omni Internasional pada awal Juni 2009
69http://syukriy.wordpress.com/2009/06/02/kasus-prita-mulyasari-apa-yang-harus-kita-lakukan.html
70 Wawancara dengan Dharma Bakti Nasution dari BPSK Medan, tanggal 20 Juni 2009.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
dengan pasien bernama Prita Mulyasari. Bahwa Prita Mulyasari menjadi tersangka
kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional. Prita dijerat
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
24. dengan Pasal 27 ayat (3) Undang -undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik71, dengan sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau
denda maksimal 1 milyar rupiah. Prita dianggap melakukan tindak pidana setelah
menulis email di milis internet yang berisi keluhan pelayanan rumah sakit itu yang
dinilai buruk. Prita menjadi tahanan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang
Banten sejak 13 Mei 2009. Namun diperpanjang hingga 23 Juni 2009 untuk
menunggu proses hukumnya.
25.
Adapun isi keluhan Prita Mulyasari yang disebarkan melalui milis internet
yaitu Prita menyatakan bahwa kemewahan rumah sakit dan title internasional tidak menjamin
pelayanan yang diberikan pada pasien, karena semakin pintar dokter maka semakin sering
dilakukan uji coba pasien, penjualan, dan suntikan. Prita memasuki rumah sakit Omni
Internasional pada tanggal 7 Agustus 2008 dengan kondisi panas tinggi dan pusing, dia
berharap bahwa rumah sakit dengan standard internasional mempunyai ahli kedokteran dan
manajemen yang bagus. Dalam pemeriksaan darah, rumah sakit menyatakan bahwa
trombosit darahnya adalah 27.000 dengan kondisi normal adalah 200.000. Jadi, berdasarkan
hasil pemeriksaan lab, Prita dinyatakan positif demam berdarah dan wajib rawat inap. 72
71 Pasal 27 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa Setiap orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
72 Op.Cit, http://syukriy.wordpress.com/2009/06/02/kasus-prita-mulyasari-apa-yang-harus-kita-lakukan.html
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
26.
dokter menjelaskan bahwa ada revisi terhadap hasil lab, bahwa jumlah trombosit pasien
adalah 181.000, ditambah lagi dokter ahli menyarankan kepada para suster untuk memberi
suntikan dan obat-obatan pada pasien tanpa seizin pasien ataupun keluarga pasien. 73 Pihak
rumah sakit tetap tidak memberikan keterangan yang pasti mengenai penyakit yang diderita
pasien, sementara selama perawatan pasien diberi suntikan, obat-obatan untuk dimakan, dan
tangan pasien sudah mengalami pembengkakan karena suntikan infus. Berselang dua hari
kemudian kondisi pasien semakin parah, yang ditandai dengan pembengkakan di leher dan
suhu badan mencapai 39 derajat. Lalu Prita meminta dokter untuk memberi keterangan
mengenai penyakitnya, namun dokter belum juga memberi konfirmasi yang jelas. 74
27.
Dalam data medis, ternyata hasilnya yang diberikan fiktif. Prita dinyatakan
lancar buang air besar, padahal kenyataannya semenjak masuk rumah sakit pasien susah
buang air besar. Ditambah lagi hasil lab yang diberikan adalah 181.000, padahal suster
mengatakan bahwa trombosit pasien 27.000. Ketika pasien menyampaikan komplain ke
pihak manajemen rumah sakit, pihak rumah sakit tidak melayani dengan baik, yang ditandai
dengan pihak rumah sakit meminta pasien untuk memberikan keterangan kembali mengenai
kejadian yang terjadi pada pasien. Hal ini membuat pasien marah pada pihak manajemen
rumah sakit. Pasien kembali berobat ke rumah sakit lain, dan ternyata penyakit yang diderita
bukan demam berdarah,
73 Ibid
74 Ibid
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
28.
hasil lab trombosit yang 27.000, ternyata pihak rumah sakit malah mengelak memberikan,
dan mengulur waktu-waktu. Kekecewaan sangat dirasakan Prita dengan hasil lab trombosit
dari 27.000 berubah menjadi 181.000 kemudian pada saat rawat inap pasien juga diberikan
suntikan-suntikan, obat-obatan dengan dosis tinggi yang mengakibatkan pasien sesak nafas. 75
29.
Hal ini menguatkan Prita bahwa manajemen rumah sakit Omni Internasional
tidak jelas pelayanannya. Rumah sakit yang tidak sesuai dengan standard internasional,
ditambah lagi tidak ada etika dokter yang bertanggungjawab terhadap hasil lab trombosit. 76
30.
Dari keluhan Prita di atas, jelas bahwa pihak rumah sakit tidak memberikan
dokumen rekam medis (DRM) yang merupakan hak pasien. Rumah sakit tidak memberikan
hasil pemeriksaan laboratorium untuk trombosit 27.000 itu. Kejanggalan lain dapat dilihat
bahwa manajer rumah sakit yang juga seorang dokter, meminta pasien (dalam keadaan sakit)
menceritakan kembali apa yang terjadi. Padahal dokter dapat membaca urutan kejadian dari
DRM. Daftar rekam medis berperan penting sebagai alat untuk evaluasi kinerja dokter,
perawat, bahkan petugas administrasi yang mendata identitas pasien. Dalam aspek hukum,
DRM menjadi alat bukti seluruh layanan yang diberikan rumah sakit terhadap pasien. Jika
Prita harus berhadapan dengan pengadilan, DRM dipakai sebagai bukti dan dibawa seorang
ahli medical
75 Ibid
76 Ibid
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
31.
record yang harus disumpah lebih dulu bahwa ia tidak menukar, mengurangi, atau
Jadi pihak rumah sakit Omni Internasional yang tidak memberikan daftar rekam
medis (DRM) kepada pasien telah melanggar ketentuan Pasal 52 UU Praktik
Kedokteran No.29 Tahun 2004 dimana hak pasien yaitu:78
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
34.
Kasus ini sebagian adalah dampak dari rumah sakit yang berbentuk
Perseroan Terbatas yang cenderung hanya lebih mementingkan fungsi usaha dan keuntungan,
padahal ada Peraturan Menteri Kesehatan No.378/Menkes/Per/V/1993 tentang Pelaksanaan
Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta, selain untuk mencari keuntungan sebagai perusahaan,
rumah sakit harus menjalankan fungsi sosial. Dalam peraturan Menteri Kesehatan tersebut,
rumah sakit wajib menjalankan fungsi sosial seperti pengaturan tarif pelayanan dengan
memberikan keringanan atau pembebasan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang kurang
mampu, dan pelayanan gawat darurat 24 jam tanpa mempersyaratkan uang muka, tetapi
mengutamakan kesehatan.80
35.
Suatu fakta bahwa pasien lebih memilih rumah sakit swasta daripada rumah
sakit pemerintah. Sebagian besar kelompok menengah ke atas merasa bahwa pelayanan oleh
rumah sakit swasta lebih bagus daripada layanan yang diusahakan oleh pemerintah.
36.
1. Perkumpulan
37. a) Tidak ada defenisi khusus tentang perkumpulan, kecuali mengacu pada Buku III
KUPerdata sebagai bagian dari hukum Perikatan, yaitu Pasal 1653 KUHPerdata. Tata
cara pendirian perkumpulan dan status badan hukum diatur dalam Staatblad 1870
No.64
80 Ibid
81 Evy Rachmawati, Menjamurnya Bisnis Kesehatan, Kompas 26 Juni 2009.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
3. Perseroan Terbatas
41.
b) Merupakan persekutuan modal yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
43.
Terkait dengan kasus di rumah sakit yang berlabel internasional ini, tampak
jelas bahwa masyarakat lebih memilih rumah sakit dengan standard internasional karena
adanya kepercayaan bahwa penamaan internasional akan memberikan pelayanan terbaik
dengan standard internasional. Keinginan memperoleh kepercayaan masyarakat mendorong
rumah sakit menggunakan nama internasional. Seperti kasus Prita Mulyasari dengan RS
Omni Internasional, menurut Departemen Kesehatan belum ada aturan tentang rumah sakit
internasional, yang ada hanyalah akreditasi nasional untuk pelayanan kesehatan di rumah
sakit. Diharapkan rumah sakit dengan nama internasional ini mempunyai beban untuk
menaikkan kualitas pelayanan. Jadi tidak sebatas permodalan asing tetapi standar akreditasi
internasional.83
45. Pencantuman label internasional ini harus disesuaikan dengan pelayanan berstandar
internasional, tidak hanya sekedar nama, ataupun menarik pemodal asing. Namun
belum ada sanksi yang dapat dikenakan pada rumah sakit berlabel
46.
internasional karena belum ada UU yang mengaturnya. Dan diharapkan RUU rumah
sakit yang saat ini dalam tahap pembahasan di DPR dapat mengatur rumah sakit berlabel
internasional.84
47.
Kasus Prita kini menjadi bumerang kepada rumah sakit Omni Internasional,
karena apabila awalnya pihak manajemen menanggapi keluhan Prita dengan baik tidak akan
menjadi masalah seperti sekarang ini. Dalam kasus Prita yang menjadi tersangka kasus
pencemaran nama baik rumah Sakit Omni Internasional dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebenarnya tidak bermaksud
menghina justru menyampaikan pesan kepada teman-temannya untuk berhati-hati dengan
pelayanan rumah sakit, tetapi pihak kepolisian justru menahan Prita sehingga menimbulkan
masalah hukum.
48.
perlindungan terhadap pasien. Pasien selama ini dimaknai sebagai objek industri kesehatan,
bukan subjek yang harus dibantu. Oleh karena itu, perlindungan terhadap pasien perlu
dimasukkan dalam bentuk undang-undang.85 Setiap dokter disumpah untuk memperlakukan
pasien seperti mereka memperlakukan diri mereka sendiri, sehingga dokter lebih
memperlakukan pasien dengan baik, dan diharapkan tidak menciptakan perselisihan diantara
pihak penyelenggara kesehatan dengan pasien.
49.
ini merupakan puncak dari kegagalan komunikasi antara pasien dengan dan penyedia
84 Ibid
85http:/property.kompas.com/read/xml/2009/06/03/14220877/kasus.prita.perlu.uu.perlindung an.pasien, diakses
tanggal 18 Juni 2009
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
50.
Apabila pasien tidak puas terhadap pelayanan di rumah sakit maka jalur yang
86 Ibid
87 Evy Rachmawaty, Saat pasien menuntut hak, Kompas Jumat 26 Juni 2009
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
harus berbenah diri, hal tersebut harus diikuti dengan evaluasi tenaga medis yang sudah
berkompetensi dan menjalankan profesi sesuai dengan standar operasional. Evaluasi
pelayanan kesehatan dimulai sejak pendidikan bagi penyedia layanan. Salah satu cara
melindungi hak pasien adalah meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penyedia
layanan dengan adanya pengakuan bahwa rumah sakit telah terakreditasi. Sebelum rumah
sakit mendapat akreditasi harus mendapat izin operasional dari dinas kesehatan dan
Departemen Kesehatan. Proses akreditasi diantaranya adanya rekam medis, pelayanan gawat
darurat, apotek, kelayakan bangsal, keamanan gedung, dan infrastruktur rumah sakit.
5.
bagaimana para penyedia pelayanan kesehatan mengelola rumah sakit tersebut. Adapun
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan keberadaan rumah sakit
6.
adalah:88
7. 1. UUD 1945
8. Pasal-pasal yang mengatur tentang kesehatan lebih banyak dipaparkan di Amandemen
UUD 1945. Pada Pasal 28 H ayat 1 menyebutkan bahwa setiap
9. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Dalam Amandemen UU Pasal 34 ayat 3 juga menyebutkan bahwa negara
bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan
umum yang layak.
4. UU No 7 Tahun 1987
12. Dalam UU yang mengatur tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan dalam
bidang kesehatan kepada daerah, pemerintah daerah bertugas mengawasi dan
memberikan ijin sementara untuk pendirian sarana kesehatan oleh departemen lain,
BUMN dan swasta.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
20.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
21.
BAB IV
23. A. Kesimpulan
24.
Dari uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat
1. Tanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan yang ada di rumah sakit adalah
terlebih dahulu terletak pada direktur rumah sakit sebagai pelaku usaha. Hal ini
sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 19 Undang-Undang No.8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan tentang tanggung jawab
pelaku usaha. Dalam kontek Hukum Kedokteran, doktrin vicarious liability
diterapkan kepada rumah sakit, sehingga timbul doktrin "Hospital Liability" dimana
sebuah rumah sakit dapat dimintakan pertanggungjawaban perdata (ganti rugi) yang
ditimbulkan orang dibawah perintahnya. Lebih jelasnya bahwa ada hubungan hukum
antara rumah sakit dan pasien. Semua tanggung jawab atas pekerjaan tenaga
kesehatan (paramedik dokter) adalah menjadi beban tanggung jawab rumah sakit
tempat mereka bekerja.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
3. B. Saran
1. Sebaiknya pelayanan kesehatan di rumah sakit lebih ditingkatkan sebaik mungkin, agar
pasien (konsumen) yang berobat lebih merasa nyaman dan aman. Rumah sakit sebagai
penyelenggara pelayanan dibidang kesehatan tidak hanya berorientasi pada bisnis
sehingga melupakan fungsi rumah sakit itu sebagai lembaga sosial ekonomis. Begitu juga
bagi para medik dalam menjalankan tugasnya sebaiknya berusaha sesuai dengan standard
profesi dan sumpah yang telah ditetapkan.
4.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
5. D
A
F
T
A
R
P
U
S
T
A
K
A
6.
7.
8.
9. A. Buku-Buku
10.
11. Achadiat, M.Chrisdiono, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan
Zaman, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.
12.
13. Alkatiri, Ali, Rumah Sakit Proaktif suatu pemikiran awal, Jakarta: Nimas Multimah,
1997.
14.
15. Amelyn,Fred, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta: Grafika Tama Jay a, 1991.
16.
17. Asshiddiqie, Jimmly dan M.Ali Safa'at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta :
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
18.
19. Azwar, Azrul, Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan, Jakarta : Sinar Harapan, 1996.
20.
21. Badrul Zaman, Mariam Dams, Perjanjian Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut
Perlindungan Konsumen (Standar) Dalam Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah
Perlindungan Konsumen, BPHN: Bina Cipta, 1986.
22.
23. Cyntia, Ida, Ada Kesalahan, Ada Sanksi, Ada Hukuman, Jakarta: Samaritan, 2001.
24.
25. Christiawan, Rio, Aspek Hukum Kesehatan Dalam Upaya Medis Transplantasi
Organ Tubuh, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003.
26.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
32. Gunawan, Johannes, Tanggung Jawab Pelaku Usaha menurut Undang undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Hukum Bisnis.
33.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
37. Hadiati, Hermin, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Bandung: PT.Citra
Aditya Bakti, 1992.
38.
39. Head,W John, Pengantar Umum Hukum Ekonomi, Jakarta: FH UI, 1997.
40.
41. Hanafiah, Jusuf & Amri Amir, Etika Kedokteran&Hukum Kesehatan, Medan:
Penerbit Buku Kedokteran EGC,1998.
42.
43. Harahap, Yahya, Berbagai Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, cet.I, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
44.
45. Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalam lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius,
1995.
46.
47. Koeswadi, Hermien Hadiati, Hukum Kedokteran (Studi tentang Hubungan Hukum
dalam Nama Dokter sebagai Salah satu Pihak), Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.
48.
49. Komalawati, D Veronika, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta: Grafika Tama
Jaya, 1991.
50.
51. Kristiyanti, Celina Tri, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
52.
53. Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2004.
54.
Bandung:
PT.Remaja
Rosdakarya, 1998.
56.
57. Moser, Charles, Perawatan Kesehatan tanpa Rasa Malu, Jakarta: Pustakarya,
58. 1999.
59.
60. Nasution, AZ, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Widya,
1999.
61.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
66.
68.
69. Nugroho, Susanti Adi, Refleksi Praktek Gugatan Perwakilan Kelompok (Class
Action) Di Indonesia, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003.
70.
71. Purwacaraka, Purnadi & Soerjono Soekanto, Sendi-sendi Ilmu dan Tata Hukum,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989.
72.
77. Satrio, J, Hukum Perikatan ( Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian), Buku I, Cetakan
II, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2001.
78.
79.
80.
88. Sianturi, R, Perlindungan konsumen dilihat dari sudut peraturan perundangundangan kesehatan, Jakarta: Bina Cipta.
89.
90. Soekanto, Soerjono, Aspek Hukum Kesehatan, cet.I, Jakarta : IND Hill-Co, 1989.
91.
92.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
94. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Rajawali, 1995.
95.
98. Soekanto, Soerjono dan Muhammad Kartono, Aspek Hukum dan Etika
Kedokteran di Indonesia, Jakarta: Grafiti Pers, 1983.
99.
100.
101.
102.
103.
104.
1998.
105.
106.
107.
108.
2008.
109.
110.
111.
112.
113.
114.
115.
116.
117.
118.
119.
120.
121.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
122.
123.
124.
Perlindungan
Terhadap
125.
126.
Budiarto, M, Laporan Akhir tim penyusunan peraturan perundangundangan tentang Hukum Disiplin Tenaga Kesehatan, 1991.
127.
128.
129.
130.
131.
132.
133.
134.
135.
136.
137.
138.
139.
Shidarta, Arif, Aspek Yuridis Hubungan Rumah Sakit, Dokter, dan Pasien,
1989.
140.
141.
Perjanjian
142.
143.
144.
145.
146.
dan
milis
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
147.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
148.
149.
150.
151.
152.
153.
154.
155.
156.
157.
158.
159.
160.
161.
162.
163.
164.
165.
166.
167.
Muhammad Rasyid,
http://els.bappenas.go.id/upload/other/Banyak%20Rumah%20Sakit%20tidak
%20Memiliki-MI.htm, diakses tanggal 17 Juni 2009
168.
169.
C. Peraturan Perundang-undangan
170.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009
171.
172.
173.
174.
175.
176.
177.
178.
179.
180.
181.
182.
183.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009