Anda di halaman 1dari 215

PERTANGGUNGJAWABAN RUMAH SAKIT TERHADAP PASIEN

DALAM JASA PELAYANAN KESEHATAN MENURUT UNDANGUNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

TESIS

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

PERTANGGUNGJAWABAN RUMAH SAKIT TERHADAP PASIEN


DALAM JASA PELAYANAN KESEHATAN MENURUT UNDANGUNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister


Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

Oleh
NATALITA SOLAGRACIA
SITUMORANG 077005084/HK

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2009

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

Judul Tesis

Nama Mahasiswa
Nomor Pokok
Program Studi

PERTANGGUNGJAWABAN
RUMAH
SAKIT
TERHADAP PASIEN DALAM JASA PELAYANAN
KESEHATAN
MENURUT
UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Natalita Solagracia Situmorang
077005084
Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi
Pembimbing

(
P
r
o
f
.
D
r
.
N
i
n
g
r
u
m
N
a
t
a
s
y
a
S
i
r
a
i
t
,
S
H
,
M
L
I
)
K
e
t
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

u
a

(Prof.Dr.Suhaidi,SH.MH) Anggota

(Dr.T.Keizerina Devi A.,SH,CN,M.Hum)


Anggota

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

Ketua Program Studi

Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

Tanggal lulus: 31 Agustus 2009


Telah diuji pada
Tanggal 31 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS


Ketua

: Prof.Dr.Ningrum Natasya Sirait,SH,MLI

Anggota

: 1. Prof.Dr.Suhaidi,SH.MH

2. Dr.T.Keizerina Devi A.,SH,CN,M.Hum


3. Prof.Dr.Tan Kamello,SH,M.S
4. Dr.Mahmul Siregar,SH, M.Hum

5. ABSTRAK
6.
7.

8. Perkembangan dunia medis sangat mempengaruhi fungsi rumah sakit sebagai


penyedia jasa pelayanan kesehatan. Rumah sakit sering mengalami krisis pelayanan
kesehatan, karena fungsi rumah sakit bukan saja tempat untuk berobat tetapi
pelayanannya meliputi kegiatan yang bersifat kuratif, rehabilitatif, promotif, dan
preventif.
9.
Batas kewenangan dan tanggung jawab etik para tenaga kesehatan di rumah
sakit hams sesuai dengan standard profesi, karna setiap tindakan medis yang dilakukan
mempunyai hubungan hukum antara rumah sakit, dokter, dan pasien. Berdasarkan uraian di
atas, maka permasalahan dalam tesis ini yaitu: Bagaimanakah tanggung jawab rumah sakit
terhadap pasien dalam pelayanan jasa kesehatan di rumah sakit dan Apa saja alternatif
penyelesaian sengketa yang terjadi antara pasien (konsumen) dengan pihak rumah sakit?.
10. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis kualitatif yang bertujuan
menggambarkan permasalahan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban terhadap
pasien di rumah sakit. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
yuridis normatif yang dilakukan dalam upaya menganalisis data sekunder baik
berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.
11.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: tanggung jawab rumah sakit
terhadap pasien dalam jasa pelayanan kesehatan adalah terlebih dahulu terletak pada direktur
rumah sakit sebagai pelaku usaha. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 19 Undang-undang
Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Penerapan
doktrin hospital liability menjadikan rumah sakit dapat dimintakan pertanggungjawaban
perdata (ganti rugi) yang ditimbulkan orang yang dibawah perintahnya. Jadi, ada hubungan
hukum antara rumah sakit dan pasien. Semua tanggung jawab atas pekerjaan tenaga
kesehatan adalah menjadi beban tanggung jawab rumah sakit tempat mereka bekerja. Ketika,
pasien merasa haknya terabaikan oleh pihak rumah sakit maka pasien sebagai konsumen
dapat menuntut haknya melalui jalur pengadilan yaitu melalui peradilan umum dan di luar
pengadilan dengan alternatif penyelesaian sengketa seperti mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
12.
Saran dalam penelitian ini adalah: standard pelayanan kesehatan di rumah
sakit harus ditingkatkan, agar pasien merasa puas dan nyaman, serta rumah sakit sebagai
penyedia pelayanan kesehatan tidak hanya berorientasi pada bisnis sehingga melupakan
fungsi rumah sakit sebagai lembaga sosial ekonomis. Agar pasien lebih terlindungi haknya
maka harus ada payung hukum yang mengatur hak-hak pasien yaitu segera disahkannya
Rancangan Undang Undang tentang Rumah Sakit.
13.
14.

15. Kata Kunci : Pertanggungjawaban, Rumah Sakit, Perlindungan Konsumen

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

16.

ABSTRACT

17.
18.

19.

Medical world growth very influencing of hospital function as made of health


service. Hospital often experience of the crisis of health service, because hospital function not
only place to medicinize but its service cover the activity having the character of curative,
rehabilitatif, promotif, and preventif.
20.
Boundary of authoritative and responsibility ethics of all ill health energy at
home have to as according to profession standard, because of every medical action have the
contractual terms between hospital, doctor, and patient. Based on the description above, the
problem in this thesis included: How about the hospital responsibility to patient in ill health
service at hospital? and Any kind of alternative of solving of dispute that happened between
patient (consumer) with hospital?.
21.
The method used was a descriptive analysis intended to describe the problem
related to responsibility of patient in hospital. The approach used was jurudicial normative to
analyze the secondary data either primary, secondary or tertiary legal materials, f
22.
The result of the study showed that hospital responsibility to patient in health
service is beforehand lay by hospital director as perpetrator of effort. This matter pursuant to
Section 19 of Consumer Protection Law about Consumer Protection. Applying of doctrine of
hospital liability make the hospital can be asked by a civil responsibility (compensatory) what
generated by one who at one's command. So, there is contractual terms of between hospital
and patient. All responsibility for work of health energy is become the burden of their place
hospital responsibility work. When, patient feel the uncared that rights by hospital party
hence patient as consumer can pre tent to passing justice band that is general court and
extrajudical with the alternative of solving of dispute like mediation, consiliation, and
arbitration.
23.
The suggestion assumed in this study is that: standard of health service at
hospital pain have to be improved, so patient lick lips and balmy, and also hospital as made of
health service do not only orient at business so that forget the hospital function as economic
social institute. So patient more protected by the rights hence law umbrella there must be
arranging patient rights that is immediately ratifying of law about Hospital.
24.
25.

26. Keywords : Responsibility, Hospital, Customer Protection

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

27. KATA PENGANTAR


28.

29. Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus karena kasihNya telah memberikan
kesehatan dan kekuatan kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis yang
merupakan salah satu syarat dalam meraih gelar Magister Humaniora pada Program
Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
dengan judul tesis "Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam
Jasa

Pelayanan

Kesehatan

Menurut

Undang-undang

Perlindungan

Konsumen."

30.

Dalam penulisan tesis ini telah banyak pihak yang memberikan bantuan dan

dukungan, tetapi Penulis menyadari bahwa tesis ini mungkin masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, Penulis mohon saran dan kritikan yang bersifat membangun demi
kesempurnaan tesis ini.

31. Penulis menyadari bahwa sejak awal, pertengahan hingga akhir penulisan tesis ini
telah banyak pihak memberi bimbingan, bantuan, dan dukungan, untuk itu Penulis
dengan tulus iklas mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof.Chairuddin P.Lubis, DTM&H, Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.


2. Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B.,M.Sc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan
pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

3. Prof.Dr.Bismar Nasution,SH,MH selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah


Pascasarjana USU atas kesempatan yang diberikan dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Prof.Dr.Ningrum Natasya Sirait,SH,MLI selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah


memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran dan banyak masukan sampai akhirnya
penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

5. Prof.Dr.Suhaidi,SH.MH selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberi


koreksi yang baik dan semangat untuk cepat-cepat menyelesaikan pendidikan tesis
ini.

6. Dr.T.Keizerina Devi A.,SH,CN,M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing yang


telah memberikan masukan dalam penyelesaian tesis ini.

7. Prof.Dr.Tan Kamello,SH,M.S selaku anggota Komisi Penguji.


8. Dr.Mahmul Siregar,SH,M.Hum selaku Komisi Penguji.
9. Seluruh Guru Besar serta Dosen yang telah memberikan ilmunya dan membuka
cakrawala berfikir Penulis selama mengikuti pendidikan Magister Ilmu Hukum.

10. Drs.Arnold Budiman Hutasoit selaku Ketua Yayasan Setia Budi Mandiri yang telah
memberikan banyak kelonggaran waktu dalam bekerja mulai dari proses perkuliahan
sampai penyelesaian tesis ini.

11. Terkhusus kepada kedua orang tuaku yang terkasih Ayahanda Drs.Mananda Situmorang
M.Si dan Dumaris Bako yang tidak henti-hentinya memberikan doa,

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

12. motivasi, perhatian dan cinta kasih selama pendidikan sampai proses penyelesaian tesis
selesai. Beribu-ribu terima kasihku semoga Tuhan memberkati.

12. Abang tersayang Ferdinand Damenson,SE, Marton Tohap,SPd, dan juga adikku
tersayang Manahan Credo,S.Kom dan Patar Immun terima kasih buat doa dan
dukungannya. Walaupun kita semua berjauhan namun perhatian dan kasih sayang kalian
tetap kurasakan dalam menyemangatiku untuk menyelesaikan pendidikan

13. ,i
13. Kepada sahabatku Indah Lestari,SE dan Irma Uli,Spak terima kasih buat doa dan
perhatiannya, dan juga buat Bona Fernandez,SH yang telah memberi motivasi dalam
menyelesakan tesis ini.

14. Seluruh teman-teman Angkatan 2007 di Sekolah Magister Ilmu Hukum. Dan juga buat
Febria Yanti, Bang Parlin Dony, Ibu Theresia, Gilang, Pak Verry, Guntur, Bang Abdilah
terima kasih buat suka duka yang dirasakan dan dukungan selama menempuh pendidikan
di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

15. Teman-teman di Yayasan Setia Budi Mandiri buat Martin Sihombing S.Pd, Debora
Ambarita,SPd, Delores, Maya Andriani,SPd, dan teman-teman yang lain yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, terima kasih buat dukungan sehingga Penulis dapat
menyelesaikan pendidikan ini tepat pada waktunya.

16. Tidak ketinggalan kepada keluarga di Palembang kota kenangan, buat keluarga besar
Wahyu Siregar dan keluarga besar Tulus Sitohang terima kasih buat doanya, dan juga
buat Hasian,ST dan Jimmy,ST terima kasih buat dukungannya.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

17. Akhir kata Penulis berharap tesis ini dapat memberikan kontribusi bagi
semua pihak yang berkepentingan dan diharapkan secepatnya agar disahkan Rancangan
Undang-undang tentang Rumah Sakit Tahun 2008 menjadi Undang-Undang sehingga ada
payung hukum yang melindungi hak pasien di Indonesia. Kiranya Tuhan Yang Maha
Kuasa memberikan berkat dan kasih karunia kepada kita semua.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

18.
19.
20.
21.
22.

23. Medan, Agustus


2009

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

24.
25.
26.
27.
28.

29.
Penulis

30.

31. Nama

37.

RIWAYAT HIDUP

Natalita Solagracia

Situmorang Medan, 20 Desember


1985 Perempuan Kristen Protestan

32. Tempat/Tgl
Lahir

33. Jenis Kelamin :


34.

gama

35. Pendidikan

Sekolah Dasar HKBP Padang Bulan Medan, Tahun


1991-1997

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri lO


Medan, Tahun 1997-2000

Sekolah Menengah Atas Santo Thomas 2 Medan,


Tahun 2000-2003

Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya


Palembang, Tahun 2003-2007 Program

36.

Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana

Magister

Universitas

Sumatera Utara, 7zn l 2007-2009

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

DAFTAR ISI

- Halaman
-

ABSTRAK........................................................................................................

ABSTRACT......................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR........................................................................................ iii

RIWAYAT HIDUP............................................................................................. vii

DAFTAR ISI.....................................................................................................

viii

DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................

BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1

A. Latar Belakang......................................................................................

B. Perumusan Masalah..............................................................................

17

C. Tujuan Penelitian..................................................................................

18

D. Manfaat Penelitian................................................................................

18

E. Keaslian Penelitian................................................................................. 19
F. Kerangka Teori dan Konsepsi................................................................ 19
-

1. Kerangka Teori...............................................................................

19

2. Konsepsi........................................................................................

27

G. Metode Penelitian.................................................................................

32

1. Sifat Penelitian..............................................................................

32

2. Sumber Data.................................................................................

33

3. Teknik Pengumpulan Data.............................................................

34

4. Metode Analisis Data....................................................................

35

5. BAB II ANALISIS TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT


6..................................................................................................TERHA
DAP KONSUMEN (PASIEN) DI INDONESIA............................

37

A. Hukum Perlindungan Konsumen........................................................

37

B. Sumber Peraturan Perlindungan Konsumen........................................

56

C. Hak dan Kewajiban Pasien sebagai Konsumen..................................

60

D. Hubungan Hukum Rumah Sakit, Dokter dan Pasien..............

76

7.

1. Hubungan hukum antara dokter dan pasien.................................

77

2. Hubungan hukum antara rumah sakit dan pasien.........................

82

8. E..................................................................................................Tanggung jawab Rumah


Sakit...................................................................................................

85

1. Konsep Tanggung Jawab Pelaku Usaha.......................................

85

2. Tanggung Jawab Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit

91

9.

10. BAB III

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

11................................................................................................KONSU
MEN (PASIEN) DI RUMAH SAKIT.............................................

114

A. Ketentuan Umum Tentang Penyelesaian Sengketa


12..........................................................................................Konsumen
....................................................................................................114

B. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Pengadilan.....................

124

C. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar Pengadilan......................

129

D. Sanksi bagi Pelaku Usaha..................................................................

144

E. Lembaga Penunjang Perlindungan Konsumen...................................

146

F. Analisis Kasus Rumah Sakit Elisabeth dengan Badan


Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)................................

153

13.

14.........................................................................................................................BAB
IV

KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................

172

A. Kesimpulan.........................................................................................

172

B. Saran.......

173

15.
16.

17........................................................................................................................DAFTA
R PUSTAKA..............................................................................................................

174

18.

19.

20. N
o
m
o
r
23. 1

DAFTAR LAMPIRAN

21.

22. Hala
man

24. Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)


Pemerintah Kota Medan

26.

Judul

25. 181

27.
B
A
B
I

28. PENDAHULUAN
29.
30.

31. A. Latar Belakang


32.

Dalam dunia medis yang semakin berkembang, peranan rumah sakit sangat

penting dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau mundurnya masyarakat akan
sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang bekerja di rumah sakit, dalam hal
ini dokter, perawat dan orang-orang yang berada di tempat tersebut. Dari pihak rumah sakit
diharapkan mampu memahami konsumennya secara keseluruhan agar dapat maju dan
berkembang.1
33.

Dalam pelayanan kesehatan, rumah sakit harus memperhatikan etika profesi

tenaga yang bekerja di rumah sakit yang bersangkutan. Akan tetapi, tenaga professional yang
bekerja di rumah sakit dalam memberikan putusan secara professional adalah mandiri.
Putusan tersebut harus dilandaskan atas kesadaran, tanggung jawab dan moral yang tinggi
sesuai dengan etika profesi masing-masing.2

34.

Dalam pemberian pelayanan kesehatan terkait beberapa komponen seperti

tenaga kesehatan3, sarana kesehatan4, upaya kesehatan5, dan pasien6. Pelayanan jasa

2.
4.

5.

1. 'Henny
Saida Flora,
http://www.freewebs.com/pencegahanberspektifpasien/implikasihukum.html , diakses 25 Maret 2009
3

3.

Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan keterampilan melalui pendidikan bidang kesehatan yang untuk sejenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang No.23 Tahun 1992
tentang Kesehatan.
4
Sarana Kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Pasal 1
ayat (4) Undang-Undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

35.

kesehatan ini dapat diperoleh konsumen di tempat-tempat penyediaan jasa

pelayanan kesehatan, umumnya diperoleh melalui jasa perorangan, misalnya praktek dokter,
dokter gigi, bidan, dan yang diperoleh melalui lembaga pelayanan kesehatan seperti rumah
sakit, balai pengobatan, rumah bersalin, apotik dan sejenisnya. 7
36.

Pelayanan kesehatan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan

untuk meningkat derajat kesehatan baik perorangan maupun kelompok atau masyarakat
secara keseluruhan. Azwar yang mengutip pendapat Lavey dan Loomba mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan ialah setiap upaya baik yang diselenggarakan
sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan memelihara
kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit dan memulihkan kesehatan yang

6.

ditujukan terhadap perorangan, kelompok atau masyarakat. 8

37.

Dalam pelayanan kesehatan, terdapat dua kelompok yang perlu dibedakan,

38.
39.

yaitu :9

7.

8.

9.
11.
12.
13.
14.

Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang
dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat. Pasal 1 ay at (2) Undang-undang No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan.
6
Pasien adalah orang yang mendapatkan pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan yang didasarkan kepada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan biopsikososio spritual yang komprehensif, yang ditujukan kepada individu maupun keluarga dan masyarakat,
baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Bahder Johan Nasution,
Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter (Surabaya: Rineka Cipta),
2005, hal 10.
10. 7
R.Sianturi, Perlindungan konsumen dilihat dari sudut peraturan perundang-undangan
Kesehatan. Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Bina Cipta,
2000), ha8l.31.
8
Hendrojono Soewono, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktek Dokter dalam Transaksi
Terapeutik (Surabaya: Srikandi, 2005) hal.100.
9
Rio Christiawan, Aspek Hukum Kesehatan Dalam Upaya Medis Transplantasi Organ Tubuh
(Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003), hal.1.

1. Health Receivers, yaitu penerima pelayanan kesehatan. Yang termasuk dalam kelompok
ini: pasien, yaitu orang yang sakit; mereka yang ingin memelihara/meningkatkan
kesehatannya, misalnya ingin divaksinasi atau wanita hamil yang memeriksakan
kandungannya.

2. Health Providers, yaitu pemberi pelayanan kesehatan.


40. Contohnya: Medical providers yaitu dokter dan tenaga bidang kesehatan lain,
misalnya apoteker, asisten apoteker, bidan, perawat, analis/laboran, ahli gizi dan lainlain.

41.

Dalam pelayanan kesehatan terutama di rumah sakit, sering timbul

pelanggaran etik dimana perkembangan teknologi kesehatan juga mempengaruhi terjadinya


pelanggaran etik, karena pemilihan teknologi kesehatan yang tidak didahului dengan
pengkajian teknologi dan pengkajian ekonomi, akan memunculkan tindakan yang tidak etis
dengan membebankan biaya yang tidak wajar. Diterapkannya standar operasional dalam
pelayanan kesehatan itu bertujuan untuk mengatur sampai sejauh mana batas-batas
kewenangan dan tanggung jawab etik dan hukum dokter terhadap pasien, maupun tanggung
jawab rumah sakit terhadap medical staff dan sebaliknya. Standar operasional ini akan
mengatur hubungan antara tenaga medis dengan sesama teman sejawat dokter dalam satu
tim, tenaga medis dengan para medis, serta merupakan tolak ukur bagi seorang dokter untuk
menilai

42.

dapat tidaknya dimintakan pertanggungjawaban hukumnya jika terjadi kerugian bagi


pasien.10
43.

Standar pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan pengaturan teknis

klinis yang sifatnya lebih detail dan berpedoman pada standar praktik keperawatan dan
standar pelayanan rumah sakit itu sendiri sesuai dengan kondisi rumah sakit yang
bersangkutan. Penamaan tentang standar pelayanan kesehatan untuk setiap rumah sakit
berbeda-beda, ada yang menggunakan nama formularium diagnosis dan terapi, ada yang
menamakannya dengan standar dan prosedur tetap konsultasi medis, dan ada juga yang
menggunakan nama prosedur tetap rumah sakit.11
44.

Rumah sakit adalah tempat berkumpul sebagian besar tenaga kesehatan

dalam menjalankan profesinya seperti dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan,
nutrisionis, fisioterapis, ahli rekam medik, dan lain-lain. Masing-masing disiplin ini
umumnya telah mempunyai etik profesi yang harus diamalkan anggotanya. Begitu pula
rumah sakit sebagai institusi dalam pelayanan kesehatan juga telah mempunyai etika yang
ada di Indonesia yang terhimpun dalam Etik Rumah Sakit Indonesia (ERSI). Dengan
demikian dalam menjalankan pelayanan kesehatan masing-masing profesi harus berpedoman
pada etika profesinya dan harus pula memahami etika profesi disiplin lainnya apalagi dalam
wadah dimana mereka berkumpul (rumah sakit), agar tidak saling berbenturan. 12

15. 10 Op.Cit, Bahder Johan Nasution, hal.45.


16. 11 Ibid, hal.46
17. 12 Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran&Hukum Kesehatan, (Medan: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 1998) hal. 160.

45.

Pelayanan di rumah sakit, terdiri dari :13

1. Pelayanan medis dalam arti luas yang menyangkut kegiatan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif;

2. Pendidikan dan latihan tenaga medis;


3. Penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran.
46.

Peran dan fungsi rumah sakit sebagai tempat untuk melakukan pelayanan kesehatan
yang profesional erat kaitannya dengan 3 unsur, yaitu : 14

1. Unsur mutu yang dij amin kualitasnya;


2. Unsur keuntungan atau manfaat yang tercermin dalam mutu pelayanan;
3. Hukum yang mengatur perumahsakitan secara umum dan kedokteran dan/atau medik
khususnya. Jadi, unsur-unsur ini akan bermanfaat bagi pasien dan tenaga kesehatan serta
rumah sakit, disebabkan karena adanya hubungan yang saling melengkapi dari unsur
tersebut. Pelayanan kesehatan memang sangat membutuhkan kualitas mutu pelayanan
yang baik dan maksimal agar manfaatnya dapat dirasakan oleh penerima jasa pelayanan
kesehatan dan pemberi jasa pelayanan kesehatan.

47.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga telah berikrar tentang hak dan kewajiban

pasien dan dokter, yang wajib untuk diketahui dan dipatuhi oleh seluruh dokter di Indonesia.
Salah satu hak pasien yang utama dalam ikrar tersebut adalah hak untuk

18. 13 Op.Cit,
19.

Henny
Saida Flora,
http://www.freewebs.com/pencegahanberspektifpasien/implikasihukum.html.
14
Ibid

48.

menentukan nasibnya sendiri, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, serta
hak atas rahasia kedokteran terhadap riwayat penyakit yang dideritanya. 15
49.

Pasien sebagai konsumen16 diartikan setiap orang pemakai barang dan/atau

jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Adapun pengertian konsumen di
sini adalah konsumen akhir, sedangkan produk berupa obat-obatan, suplemen makanan, alat
kesehatan, sementara produk jasa berupa jasa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
dokter dan jasa asuransi kesehatan.17

50.

Pasien sebagai konsumen kesehatan memiliki perlindungan diri dari

kemungkinan upaya kesehatan yang tidak bertanggungjawab seperti penelantaran. Pasien


juga berhak atas keselamatan, keamanan, dan kenyamanan terhadap pelayanan jasa kesehatan
yang diterima. Dengan hak tersebut maka konsumen akan terlindungi

51.

18

52. dari praktik profesi yang mengancam keselamatan atau kesehatan.


53.

Apabila ditinjau dari hubungan hukum yang timbul antara pasien dan rumah

sakit dapat dibedakan pada 2 macam perjanjian, yaitu : 19

20. 15Shaleh L.Seumawe,


21.
22.

"Dokter dan Tanggung jawab Terhadap Pihak Ketigd", http://www.modusacehnews.com.html, diakses pada tanggal 25 Maret 2009.
16
Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999.
17
http://www.analisadaily.com/index.php?option=com content&view=article&id=11479:perli ndungankonsumen-kesehatan-berkaitan-dengan-malpraktik-medik-&catid , diakses pada tanggal 25 Maret 2009.
18
Ibid
19
Op.Cit,
Henny
Saida Flora,

23.
24.
25. http://www.freewebs.com/pencegahanberspektifpasien/implikasihukum.html.

1. Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa
pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan dimana tenaga perawatan
melakukan tindakan perawatan.

2. Perjanjian pelayanan medis dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan
pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk
menyembuhkan pasien melalui tindakan medis Inspannings Verbintennis20.
54.

Untuk menilai sahnya perjanjian tersebut dapat diterapkan Pasal 1320

KUPerdata, sedangkan untuk pelaksanaan perjanjian itu sendiri harus dilaksanakan dengan
itikad baik sesuai dengan Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata. Dengan adanya ketentuan ini,
maka proses terhadap kepastian perlindungan hukum bagi pasien dan rumah sakit terjadi
dengan lahirnya kata sepakat yang disertai dengan kecakapan untuk bertindak dalam
perjanjian, diantara pasien, tenaga kesehatan dan rumah sakit. 21

55.

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata menentukan bahwa untuk sahnya

persetujuan diperlukan suatu kesepakatan. Kesepakatan bagi mereka yang mengikat


merupakan asas esensi dari hukum perjanjian. Kesepakatan ini mempunyai hubungan erat
dengan dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat di dalam pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata dimana semua persetujuan yang dibuat secara sah

26. 20Inspannings verbintennis adalah perjanjian antara dokter dan pasien. Dalam inspannings verbintennis

27.

kewajiban hukum dokter berupa kewajiban berusaha sekeras-kerasnya dan sungguh-sungguh untuk
melakukan pengobatan atau penyembuhan atau pemulihan kesehatan pasien yang juga mengandung
kewajiban perlakuan yang benar, teliti, penuh pertimbangan, dan kehati-hatian yang tinggi, Chrisdiono
M.Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, (Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2006) hal.40.
21
Ibid

56.

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan


berkontrak berkaitan erat dengan isi perjanjian yaitu kebebasan menentukan "apa"
dan dengan "siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai dengan
pasal 1320 KUHPerdata ini mempunyai kekuatan mengikat. 22 Pasal 1320
KUHPerdata menegaskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi 4
syarat, yaitu :23

1. Adanya kesepakatan dari kedua belah pihak yang bebas dari paksaan, kekeliruan, salah
paham dan penipuan.

2. Kedua belah pihak telah cakap untuk membuat membuat suatu perjanjian.
3. Adanya suatu hal tertentu/nyata yang diperjanjikan.
4. Perjanjian tersebut mengenai suatu sebab yang halal, yang dibenarkan dan tidak dilarang
oleh peraturan perundang-undangan, serta merupakan suatu sebab yang masuk akal untuk
dipenuhi oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian.
57.

Perlindungan hukum tidak terlepas dari tanggung jawab pelaku usaha untuk
memenuhi tuntutan konsumen. Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam
hukum dapat dibedakan sebagai berikut :24

28. 22 Ningrum Natasya Sirait, Diktat Kuliah Azas Kebebasan Berkontrak & Perjanjian Baku,
Pasca Hukum USU,2008, hal. 39

29. 23 Ibid, hal.40


30. 24 Johannes Gunawan, Tanggung jawab pelaku usaha menurut Undang-undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, Hukum Bisnis, hal.45

1. Kesalahan (Liability based on Fault)


58. Menurut prinsip ini, setiap pelaku usaha yang melakukan kesalahan dalam
melakukan kegiatan usaha wajib bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian atas
segala kerugian yang timbul dari kesalahan tersebut. Pihak yang menderita kerugian
harus membuktikan kesalahan pelaku usaha. Jadi beban pembuktian ada pada pihak
penggugat. Bukan pada pihak tergugat.

2. Praduga selalu bertanggung j awab {Presumption of Liability)


59. Menurut prinsip ini pelaku usaha dianggap selalu bertanggungjawab atas
setiap kerugian yang timbul dari kegiatan yang dilakukannya, tetapi jika pelaku usaha
dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka pelaku usaha dibebaskan dari
kewajiban membayar ganti kerugian. Jadi beban pembuktian ada pada pelaku usaha.

3. Praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab {Presumption of Non Liability) Prinsip ini
adalah

kebalikan

dari

prinsip

kedua.

Prinsip

praduga

untuk

tidak

selalu

bertanggungjawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat


terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.25
Misalnya pada pelaksanaan pengangkutan, barang yang tidak mempunyai lebel bagasi
menjadi pengawasan penumpang (konsumen) sedangkan yang menjadi tanggung jawab
pengangkut hanya pada barang yang mempunyai lebel bagasi saja.

31. 25 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2000),


hal.62

4. Tanggung jawab mutlak (StrictLiability)


4. Prinsip ini sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute
liability). Absolute Liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada
pengecualiannya.

5. Pembatasan tanggung jawab (Limitation of Liability)26


5. Prinsip ini dilakukan oleh pelaku usaha dengan pencantuman klausula eksonerasi
6.

dalam perjanjian standar yang dibuatnya.27


7.

Dalam kaitan dengan tanggung jawab rumah sakit, maka prinsipnya rumah

sakit bertanggungjawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan sesuai dengan bunyi Pasal 1367 (3) KUHPerdata. Selain itu rumah sakit juga
bertanggungjawab atas wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. 28 Pemberian sanksi
terhadap wanprestasi ini juga diatur dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1) Undang-undang
Kesehatan No. 23 Tahun 1992.29

8.

Dalam tindakan medis apabila terjadi kesalahan dan mengakibatkan kerugian

dari pihak pasien, maka tanggung jawab tidak langsung kepada pihak rumah sakit. Mengenai
tanggung jawab harus dilihat terlebih dahulu apakah kesalahan dilakukan oleh dokter itu
sendiri atau tenaga medis lain. Setiap masalah yang terjadi baik sengaja atau tidak sengaja
perlu diteliti terlebih dahulu. Jika kesalahan yang dilakukan para medis tersebut khusus
dokter yang melakukan, biasanya pihak rumah

32. 26
33. 27
34. 28
35.

Ibid, hal.59
Ibid, hal.64
Op.Cit, Shaleh
L.Seumawe.
29
Ibid

9.

sakit yang bertanggangjawab secara umum. Dan dokter sebagai pelaksana tindakan

juga dapat dikenakan sanksi. Terhadap tenaga kesehatan khususnya yang bekerja di rumah
sakit, ada 2 tenaga yaitu :30

1. Tenaga dari Pegawai Negeri Sipil


10. Terhadap tenaga dari pegawai negeri sipil yang melakukan kesalahan/kelalaian dalam
tindakan medis, biasanya dokter diberikan sanksi berupa pemindahan kerja ke
instansi lain atau pemberhentian sementara.

2. Tenaga dari Swasta


11.

Terhadap dokter swasta dalam hal melakukan kesalahan/kelalaian biasanya

sanksi yang dijatuhkan berupa diberhentikan oleh rumah sakit tempat ia bekerja. Dan akibat
dari kesalahan dokter atau paramedis lain yang menyebabkan kerugian terhadap pasien akan
menjadi beban bagi pihak rumah sakit.
12.

Wanprestasi atau tindakan kelalaian dalam pelayanan kesehatan terjadi bila

memenuhi unsur-unsur :31

1. Hubungan antara dokter dengan pasien terjadi berdasarkan kontrak terapeutik.


2. Dokter telah memberikan pelayanan kesehatan yang tidak patut yang menyalahi tujuan
kontrak terapeutik.

3. Pasien menderita kerugian akibat tindakan dokter yang bersangkutan.

36. 30
37. 31

Ibid
Op.Cit, Bahder Johan

4.

Untuk terjadinya hubungan hukum dokter dan pasien, maka pasien harus
memberikan persetujuan untuk pengobatan ataupun perawatan. Persetujuan ini
disebut informed consent. Dalam Permenkes No.589 Tahun 1989 persetujuan
tindakan medik (informed consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien
atau keluarga atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut. Persetujuan tindakan medik {informed consent) ada 2
bentuk, yaitu :32

1. Tersirat atau dianggap telah diberikan {implied consent)


5.

a. Keadaan normal
b. Keadaan darurat
2. Dinyatakan {expressed consent)
6.

a. Lisan
b. Tulisan
7. Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa
pernyataan tegas. Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan
atau tulisan, bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang
biasa.

38. 32

Ibid,

8.

Terkait dengan kebutuhan pelayanan kesehatan, perkembangan dinamika

dari perpekstif perlindungan konsumen, karakter pengaduan konsumen dapat


diklasifikasikan sebagai berikut :33

1. Pelayanan produk jasa yang diberikan tenaga kesehatan (aspek teknis-medis), misa'nya:
pengaduan-pengaduan malpraktik medik.

2. Pelayanan menyangkut institusi, baik penyelenggara kesehatan maupun sarana pemberi


pelayanan kesehatan (aspek kelembagaan).

3. Pelayanan produk jasa yang diberikan institusi pelayanan kesehatan (aspek manajerial),
misalnya: tagihan kamar perawatan sejak pendaftaran dilakukan, meskipun tindakan
medik pembedahan baru dilakukan keesokan harinya.

4. Pelayanan produk barang yang diberikan institusi pelayanan kesehatan, seperti ketiadaan
obat yang diresepkan dokter. Ketidaktersediaan obat tersebut diikuti dengan kebiasaan
buruk mengganti obat yang diresepkan dokter, misalnya mengganti resep.

9.

Dengan diundangkannya Undang-undang No.8 Tahun 1999, tentang

Perlindungan konsumen, maka masyarakat konsumen yang merasa dirugikan dapat


mengadukan permasalahannya dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri

39. 33 Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT.Citra
Aditya Bakti, 2008), hal.83

10. atau ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) 34. BPSK merupakan salah
satu alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Alternatif Dispute

11.
12.

35

36 37

Resolution) yaitu konsiliasi , mediasi dan arbitrase yang dibentuk oleh Pemerintah.
Alternatif dalam penyelesaian sengketa konsumen juga dapat diselesaikan oleh suatu
badan yaitu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan khusus untuk
bidang pelayanan kesehatan adalah Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan
Indonesia (YPKKI).38
13.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bertugas memberikan

konsultasi perlindungan konsumen; melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula


baku; menerima pengaduan, baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; melakukan penelitian dan
pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen.39

14.

40. 34
41.

42.
43.
44.
45.

BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara Pelaku
Usaha dan Konsumen. Pasal 1 ay at (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.350/MPP/Kep/12/2001.
35
Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan
perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya
diserahkan kepada para pihak. Pasal 1 ayat (9) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.350/MPP/Kep/12/2001.
36
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan
perantaraan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Pasal 1 ayat
(10) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep/12/2001.
37
Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal
ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK. Pasal
1 ayat (11) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep/12/2001.
38
Yusuf Shofie, Sosok Peradilan Konsumen (Jakarta: Piramedia, 2004), hal.4.
39
Op.Cit, Adrian Sutedi, hal.26.

15.

Dalam Pasal 46 ayat (1) UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen mengatur gugatan secara kelompok, bahwa gugatan atas pelanggaran


pelaku usaha dapat dilakukan oleh :40

1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan


2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan
anggaran dasarnya.

4. Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang dan atau jasa yang dikonsumsi
atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban yang
tidak sedikit.

16.

Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai

kepentingan yang sama dapat dilakukan dengan jalur class action.41. Saat ini masyarakat
Indonesia sudah dapat mengajukan gugatan dengan prosedur class ction yang diatur dalam
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 yang disebut dengan nama "gugatan
perwakilan kelompok". Peraturan Mahkamah Agung tersebut

46. 40
47.

Susanti Adi Nugroho, Refleksi Praktek Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) Di
Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003), hal.8.
41
Class Action adalah adalah tata cara pengajuan, dalam mana satu orang atau lebih yang
mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri mereka sendiri sekaligus mewakili
sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara
wakil kelompok atau anggota kelompok dimaksud. Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen
Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Fakultas Hukum Pascasarjana
Universitas Indonesia, 2004), hal.211.

17.

mengartikan class action sebagai suatu cara pengajuan gugatan, dalam mana satu
orang atau lebih yang mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang
memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota
kelompok dimaksud.42

18.

Sebagai contoh kasus yang dapat memperjelas bahwa hak-hak konsumen

telah diabaikan, oleh pihak penyelenggara jasa pelayanan kesehatan atau rumah sakit yaitu:

a) Kasus pada Februari 2005 yang dilakukan oleh Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta,
dimana ketidakhati-hatian dan ketidaktelitian Rumah sakit dan dokter dalam
mendiagnosa penyakit tumor ganas pada pasien mengakibatkan pasien meninggal.

b) Kasus pada Oktober 2007 di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan yang digugat oleh
pasien karna masalah pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan kesehatan.44

c) Kasus pada Juni 2009 di Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang yang terjerat
kasus hukum dengan pasien Prita Mulyasari, yang berawal dari pihak

48. 42 Erman Rajagukguk,dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Bandar Maju, 2000),
49. hal.67.
50. 43 Muhammad Ichsan, 'Mengakhiri Kolusi Dokter dan Perusahaan Farmasi dari

milis
keluarga sejahtera", http ://manikamanika.multiply.com/j ournal/item/3 7.com.html, diakses pada
tanggal 25 Maret 2009
51. 44
Sumber Data: Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Medan Tahun 2007

d)

rumah sakit tidak memberikan dokumen rekam medis (DRM) yang

e) merupakan hak pasien.45 Bila dilihat dari kasus yang ada di atas, maka sudah
seharusnya konsumen (pasien) mendapatkan perlindungan hukum. Apabila berbicara
tentang perlindungan hukum, maka hal itu berarti tidak terlepas pada masalah
tanggung jawab. Perlindungan hukum46 atas hak-hak konsumen di Indonesia,
sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan untuk konsumen
jasa pelayanan kesehatan juga diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan.
f)
g)

h) B. Perumusan Masalah
i)

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, permasalahan dalam penelitian

ini, dirumuskan sebagai berikut:

j) 1. Bagaimanakah tanggung jawab rumah sakit terhadap pasien dalam pelayanan jasa
kesehatan di rumah sakit?

52. 45
53.

Titiana Adinda, http://www.mailarchive.com/tamanbintang@yahoogroups.com/msg06467.html, diakses pada tanggal 1 Juni 2009.


46
Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat
asas-asas atau kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan
konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah hukum yang
mengatur hubungan dan masalah antar berbagai pihak satu sama lain yang berkaitan dengan barang
dan jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. Lihat A.Z.Nasution, Konsumen dan Hukum : Tinjauan
Sosial, Ekonomi dan Hukum Pada Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1995), hal.61-64. Bandingkan dengan pengertian hukum konsumen yang meliputi
keseluruhan aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen di dalamnya. Jadi intinya bukan
pada kaidah yang harus "mengatur" atau "memaksa". Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen
Indonesia (Jakarta : Grasindo, 2000), hal.9-10 .

k) 2. Apa saja alternatif penyelesaian sengketa yang terjadi antara pasien (konsumen)
dengan pihak rumah sakit?

C. Tujuan Penelitian
l)

Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tanggung jawab rumah sakit dalam pelayanan jasa kesehatan di rumah
sakit.

2. Untuk mengetahui alternatif penyelesaian sengketa yang terjadi antara pasien


(konsumen) dengan pihak rumah sakit.

D. Manfaat Penelitian
m) Diharapkan kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini, baik bersifat teoritis
maupun praktis sebagai berikut:

1. Bersifat teoritis
n) Diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya hukum perlindungan konsumen dan hukum kesehatan.

2. Bersifat praktis
o) Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi, dalam hal ini Pemerintah
sebagai regulator yang berperan dalam membuat peraturan yang terkait dengan
perlindungan konsumen di rumah sakit. Selain itu penelitian ini

p) ditujukan kepada pelaku usaha yaitu rumah sakit agar dapat memahami tentang makna
pelayanan bagi pasien.

q) Penelitian ini juga sedapat mungkin dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari,


suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratanpersyaratan formal sebagai suatu peraturan, tetapi juga menimbulkan rasa keadilan dan
kepatuhan serta dilaksanakan/ditegakkan dalam kenyataannya.

E. Keaslian Penelitian
r)

Berdasarkan pemeriksaan dan penelusuran kepustakaan di

lingkungan
Universitas

Sumatera

Utara,

penelitian

mengenai

analisis

hukum

mengenai

pertanggungjawaban rumah sakit terhadap pasien dalam jasa pelayanan kesehatan


belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini
asli sesuai dengan

keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka,

s) semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah.
Sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keasliannya secara akademis
keilmuan dapat dipertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi


1. Kerangka Teori

t)

Hans Kelsen menyatakan bahwa suatu konsep kewajiban hukum adalah

tanggung jawab hukum (liability).

Seseorang dikatakan secara hukum

u)

bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan
suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. 47
v)

Konsep tanggung jawab hukum merupakan bagian dari konsep kewajiban

hukum. Kewajiban hukum berasal dari suatu norma trasendental yang mendasari segala
peraturan hukum. Norma dasar kemudian merumuskan kewajiban untuk mengukuti peraturan
hukum, dan mempertanggungjawabkan kewajiban untuk mengikuti peraturan-peraturan
hukum tersebut.48
w)

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan

sebagai berikut:49

1. Prinsip Kesalahan
2. Prinsip Praduga selalu bertanggungjawab
3. Prinsip Praduga untuk tidak selalu bertanggungj awab
4. Prinsip Tanggung jawab mutlak
5. Prinsip Pembatasan tanggung j awab
x) Lawrence M.Friedman mengatakan bahwa fungsi hukum adalah untuk melindungi
kepentingan yang ada dalam masyarakat yang meliputi: 50 1. Subtansi hukum yaitu aturan,
norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem hukum itu.

54. 47
55.
56.
57.
58.

Jimmly Asshiddiqie dan M.Ali Safa'at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) hal.61.
48
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta:Kanisius, 1995),
hal.281.
49
Op.Cit, Johannes Gunawan, hal.45.
50
Bismar Nasution dan Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum, Pascasarjana Ilmu
Hukum, USU, 2008.

2. Struktur hukum, yaitu unsur-unsur jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksi tiap-tiap
peradilan dan upaya-upaya hukum.
y)

Komponen struktur ini dapat dikatakan pranata hukum yang menopang

bentuk hukum dan proses kinerja hukum yang dilakukan oleh polisi, jaksa, dan hakim. 51

3. Budaya hukum yaitu menyangkut sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum.
z)

Menurut

teori

Johannes

Gunawan

menjelaskan

Undang-undang

Perlindungan Konsumen mengandung mated pertanggungjawaban dengan struktur sebagai


berikut:52 (

a. Contract Liability
aa) Contract Liability atau pertanggungjawaban kontrak adalah tanggung jawab perdata
atas dasar perjanjian/kontrak dari pelaku usaha (baik barang maupun jasa), atas
kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau
memanfaatkan jasa yang diberikan.

b. Product Liability
ab)

Product Liability atau tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para

produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau
menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.

59. 51 Harkistuti Harkriswono, Menjalani Masa Transisi; Mungkinkah Hukum Sebagai Panglima,
60. 2002.
61. 52
62. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.Gramedia
Pustaka Utama, 2003), hal.25.

c. Profesional Liability
ac) Profesional Liability atau tanggung jawab profesional adalah tanggung jawab hukum
(legal liability) dalam hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien.

d. Criminal Liability
ad) Criminal Liability adalah tanggung jawab pidana yang mengatur tentang tindak atau
perbuatan pidana dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 61, 62, dan Pasal 63,
di mana maksimum sanksi pidananya penjara lima tahun atau denda dua miliar.

ae)

Dalam hukum perdata, gugatan untuk meminta pertanggungjawaban

af)

53

ag) bersumber pada dua dasar hukum, yaitu:


1. Berdasarkan pada wanprestasi {contractual liability) sebagaimana diatur dalam Pasal
1239 KUHPerdata.

2. Berdasarkan perbuatan melanggar hukum {onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan


Pasal 1365 KUHPerdata.

ah)

Bila di hubungkan dengan masalah pertanggungjawaban korporasi juga

dikenal dengan istilah corporate liability54 dan vicarius liability55. Dalam

63. 53 Ibid, hal.30


64. 54 Corporate

liability menekankan pada tanggung jawab suatu lembaga/korporasi terhadap


tenaga-tenaga yang dipekerjakannya. Lihat Guwandi. Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Medik,
(Jakarta: FKUI, 1993), hal.16

ai)

melaksanakan pemberian layanan kepada konsumen, pelaku usaha sering

menggunakan ketentuan-ketentuan baku dalam bertransaksi, dan isi dari klausula baku itu
lebih menguntungkan bagi pelaku usaha.

aj)

Kesehatan merupakan suatu kebutuhan pokok manusia, disamping sandang

pangan dan papan. Tanpa hidup yang sehat, hidup manusia tanpa arti, manusia tidak mungkin
dapat melakukan kegiatan-kegiatan sehari-hari dengan baik.

ak)

Masalah kesehatan sebenarnya telah dijabarkan dalam Keputusan Menteri

al) Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal


am)

Rumah Sakit, yaitu :56

an)
"Dalam rangka lebih meningkatkan pelayanan kesehatan, perlu terus
ditingkatkan mutu pelayanan kesehatan rumah-rumah sakit, lembaga-lembaga
pemulihan kesehatan, pusat-pusat kesehatan masyarakat serta lembaga-lembaga
kesehatan lainnya. Selanjutnya perlu ditingkatkan pula, para medis dan tenaga
kesehatan lainnya, serta penyediaan obat yang makin merata dan terjangkau oleh
rakyat."
ao)

ap)

Rumah sakit merupakan suatu badan usaha (laba atau nir laba) yang sudah

tentu mempunyai misi tersendiri seperti badan-badan usaha lainnya. Menurut jenisnya rumah
sakit terdiri dari, rumah sakit umum, rumah sakit jiwa dan rumah sakit khusus. Dan mengenai
rumah sakit umum menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.582/Menkes/SK/VI/1997
tentang pola tarif rumah sakit Pemerintah, terdapat rumah sakit umum kelas A, kelas B, kelas
C, kelas D.

65. 55
66.

Vicorius liability merupakan tanggung jawab atas kesalahan orang yang berada dibawah
pengawasan majikan. Ibid, hal.13.
56
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit

aq)

Samsi Jacobalis mengemukakan pendapatnya tentang rumah sakit, yaitu: 57

1. Rumah sakit menjadi lembaga yang makin rumit, padat karya, dan padat modal; rumah
sakit bukan lagi urusan profesi dokter dan perawat melainkan berbagai profesi dan tenaga
ahli lainnya terlibat di dalamnya;

2. Penerapan hi-tech di kebayakan rumah sakit, dijadikan selling-point untuk menarik


perhatian pasien (konsumen) sehingga penggunaan teknologi kedokteran menjadi tidak
efisien;

3. Melalui deregulasi, debirokratisasi, dan swastanisasi, pemerintah menyetujui rumah sakit


mendapatkan laba dari penyelenggaraannya; akibatnya rakyat harus menanggung (paling
tidak sebagian) biaya pengobatannya.
ar)

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Nomor

191/Menkes-Kesos/SK/II/2001
157/Menkes/SK/III/1999

Tentang

Tentang

Perubahan

Perubahan

Kedua

Kepmenkes
Atas

RI

Permenkes

Nomor
Nomor

159b/Menkes/Per/II/1988 Tentang Rumah Sakit pada Bab II Pasal (3) dinyatakan sebagai
berikut :58

a. Rumah sakit dapat dimiliki dan diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta.
b. Rumah sakit pemerintah dimiliki dan diselenggarakan oleh :
as)

1. Departemen kesehatan;

67. 57 Op.Cit, Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, hal.70
68. 58 Robert
Imam
Sutedja,
"Peraturan
perundang-undangan
Rumah
http://www.indographstudio.com.html, diakses pada tanggal 23 Februari 2009

Sakit",

2. Pemerintah daerah;
3. ABRI;
4. Badan Usaha Milik Negara;
at) c. Rumah sakit swasta dimiliki dan diselenggarakan oleh :
1. Yayasan;
2. Badan Hukum lain yang bersifat sosial.
au)

Menurut Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 725/Menkes/E/VI/2004

maka berdasarkan peraturan ini kini pelayanan kesehatan swasta di medik boleh
diselenggarakan oleh : perorangan, kelompok, yayasan atau badan hukum lainnya. 59 Pada
awal berdirinya rumah sakit sesuai dengan buku yang diterbitkan oleh WHO Expert
Committee on Organization of Medical Care pada tahun 1975 yang berjudul Role of Hospital
In Programmes of Community Health Protection memuat salah satu konotasi yang pertama
mengenai pengertian rumah sakit sebagai unit sosial. 60 Yang berarti bahwa ide awal
pembentukan rumah sakit adalah untuk kegiatan yang bersifat sosial, tetapi dalam
perkembangannya fungsi sosial saja tidak akan memberikan perkembangan yang signifikan
dengan kemajuan teknologi kedokteran yang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Maka
status itu berubah menjadi sosial ekonomi. Jadi berdasarkan peraturan di atas akan terdapat
rumah sakit yang berbentuk IPSM (Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat) dan rumah sakit
sebagai suatu business enterprise, suatu bentuk baru dengan tujuan mencari keuntungan.

69. 5!J Ibid


70. 60 Ali Alkatiri,
hal.37-43.

dkk, Rumah Sakit Proaktif Suatu Pemikiran Awal, (Jakarta: Nimas Multimah, 1997),

av)

Sumber daya manusia yang terdapat di rumah sakit adalah terdiri dari tiga

jenis tenaga yaitu :61

a. Tenaga full timer (purna waktu);


b. Tenaga part timer (paruh waktu);
c. Tenaga contract (kontrak);
aw)

Adapun fungsi dari rumah sakit yaitu :62

1. Pelayanan kesehatan pasien;


2. Pelayanan komunitas berupa suatu kerjasama dengan pihak-pihak luar lain diluar rumah
sakit yang biasanya berupa upaya-upaya Preventif, Promotif dan Rehabilitatif;

3. Pendidikan terutama bagi rumah sakit yang besar yang berfungsi sebagai rumah sakit
pendidikan;

4. Penelitian
ax) Di Indonesia terdapat Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) yang
didirikan pada tahun 1978 oleh kongres luar biasa PERSI yang diadakan pada tanggal
6 September 1986 telah disahkan Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI). Kode Etik itu
kemudian disahkan berlaku oleh Keputusan Menteri Kesehatan R.I Nomor
924/Men.Kes/SK/XII/1986

63

dan kode etik rumah sakit ini tetap menjadi panduan

pendirian rumah sakit hingga sekarang. Dalam rapat kerja PERSI yang telah

71. 61

Dini Handayani Nasution, Organisasi Perumahsakitan di Indonesia, Pengantar


Administrasi Rumah Sakit ( FK USU, 2007), hal.12.
62
Ibid

72.
73. 63

Ibid, hal.30.

ay)

berlangsung tanggal 15-17 Maret 1999 di Jakarta, telah disepakati Kode Etik Rumah

Sakit Indonesia yang baru dengan singkatan "KODERSI" yang dilengkapi dengan
penjelasannya.64
az)
ba)

bb)

2. Konsepsi

bc) Kerangka konsepsi menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan konsepsi yang
digunakan dalam penelitian tesis. Peranan konsep pada dasarnya dalam penelitian
adalah untuk menguhubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan
realitas yang akan digunakan sebagai landasan pada proses untuk melindungi para
pengguna jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit. 1. Konsumen
bd)

Istilah "konsumen" berasal dari bahasa Belanda "Konsumenf\ bahasa Inggris


"Consumer", yang berarti pemakai. Di Amerika sering kata ini dapat diartikan lebih
luas lagi sebagai "korban pemakaian produk yang cacat", baik korban pembeli,
bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang juga bukan pemakai, karena
perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai. 65
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia juga ada defenisi tentang konsumen yang
menyebutkan bahwa konsumen adalah pemakai barang-barang hasil produksi,
penerima pesanan iklan dan pemakai jasa (pelanggan). 66

74. 64
75. 65
76.

Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, Kode Etik Rumah Sakit Indonesia, 1999.
Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari
Perjanjian Baku Standard (Bandung: Binacipta, 1986), hal.57.
66
Op.Cit, Shidarta, hal.5.

Sudut

be)

Pegertian konsumen dalam hal ini adalah pasien. Pasien sebagai konsumen

diartikan "setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik kepentingan sendiri
maupun kepentingan orang lain". Pasien adalah orang yang mendapatkan suatu bentuk
pelayanan profesional yang merupakan bagian dari integral dari pelayanan kesehatan
didasarkan kepada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan biopsiko-sosio spritual
yang komprehensif, yang ditujukan kepada individu maupun keluarga dan masyarakat, baik
sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. 67

bf)

Menurut pandangan sosiologis dapat dikatakan bahwa pasien maupun tenaga

kesehatan memainkan peranan-peranan tertentu dalam masyarakat. Dalam hubungan dengan


tenaga kesehatan, pasien dituntut untuk mengikuti nasehat dokter tempat mengadu nasib.
Pasien sebagai konsumen dalam hal ini, merasa dirinya tergantung dan aman apabila tenaga
kesehatan berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya.
bg)
bh)

bi) 2. Pelaku Usaha<


bj)

Pelaku usaha, menurut Undang Undang Perlindungan Konsumen Pasal 1

ayat (3) adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam

77. 67 Soerjono Soekanto, Aspek Hukum Kesehatan,cet.I, (Jakarta: IND Hill-Co, 1989),

bk)

berbagai bidang ekonomi.68 Pelaku usaha di sini bergerak di bidang pelayanan

kesehatan yaitu rumah sakit.


bl)

Rumah sakit adalah suatu yang menyediakan pemondokan yang memberikan

jasa pelayanan medik jangka pendek atau jangka panjang yang terdiri dari tindakan observasi
diagnostik, terapeutik dan rehabilitatif untuk orang-orang yang menderita sakit, terluka dan
untuk mereka yang mau melahirkan.69

bm)

Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan memiliki hak dan

kewajiban yang perlu diketahui oleh semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kesehatan di
rumah sakit agar dapat menyesuaikan dengan hak dan kewajiban di bidang profesi masingmasing. Karena hak dan tanggung jawab ini berkaitan erat dengan pasien sebagai penerima
jasa, maka masyarakat pun harus mengetahui dan memahaminya.

bn)

bo) 3. Sarana Kesehatan


bp)

Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan

upaya kesehatan.70 Sarana kesehatan termasuk rumah sakit. Rumah sakit ini menyediakan
tempat bagi pasien (konsumen) untuk berobat atau menggunakan bentuk pelayanan kesehatan
lainnya. Bisa juga di samping itu menyediakan atas dasar berobat jalan kepada pasien-pasien
yang bisa langsung pulang.71 Rumah sakit

78. 68
79.
80.
81.

Lihat, Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Perlindungan


Konsumen
69
Op.Cit, J.Guwandi, hal.31.
70
Pasal 1 ayat (4) Undang Undang Kesehatan
71
J.Guwandi, Dokter dan Rumah Sakit, (Jakarta: FKUI,

bq)

menyediakan jasa berupa pelayanan dalam bidang perawatan kesehatan. Jasa

adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. 72 Jadi rumah sakit berfungsi sebagai
pemberi jasa pelayanan kesehatan.

4. Perlindungan Hukum
br) Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen
yang memuat asas-asas atau kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat
yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan
sebagai
keseluruhan
bs)

dan kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antar

berbagai pihak satu sama lain yang berkaitan dengan barang dan jasa konsumen, di
dalam pergaulan hidup.73 Pengertian hukum konsumen juga meliputi keseluruhan
aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen di dalamnya. Jadi intinya
bukan pada kaidah yang harus "mengatur" atau "memaksa". 74

5. Tanggung Jawab
bt)

Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya

(kalau ada sesuatu hal maka boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya).
Tanggung jawab adalah kewajiban untuk memikul pekerjaan atau akibat yang ditimbulkan.

82. 72
83.
84.

Pasal 1 ayat (5) Undang Undang Perlindungan


Konsumen
73
Op.Cit, Az.Nasution, hal.61
74
Op.Cit, Shidarta, hal.9

bu)

Dasar dalam tanggung jawab medik adalah:75

a. Wanprestasi, diartikan bahwa dokter tidak memenuhi kewajibannnya yang timbul


dari adanya suatu perjanjian (tanggung jawab kontraktual);

b. Perbuatan melanggar hukum, dimana dokter telah berbuat melawan hukum karena
tindakannya bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang
diharapkan dari padanya dalam pergaulan dengan sesama warga masyrakat
(tanggung jawab berdasarkan undang-undang).
bv)
bw)

bx) 6. Wanprestasi
by)

Wanprestasi dalam arti harafiah adalah prestasi yang buruk yang pada

dasarnya melanggar isi/kesepakatan dalam suatu perjanjian/kontrak oleh salah satu pihak.
Pihak yang melanggar bisa disebut pihak debitur. Bentuk nyata pelanggaran

bz)

76

ca) debitur ada 4 macam, yaitu:


a. Tidak memberikan prestasi sama sekali sebagaimana yang diperjanjikan;
b. Memberikan prestasi tidak sebagaimana mestinya, tidak sesuai kualitas atau
kuantitas dengan yang diperjanjikan;

c. Memberikan prestasi tetapi sudah terlambat tidak tepat waktu


sebagaimana yang diperjanjikan;

d. Memberikan prestasi yang lain dari yang diperjanjikan.

85. 75
86. 76

Op.Cit, Hendrojono Soewono, hal. 147


Adami Chazawi, MalpraktekKedokteran, (Malang: Bayumedia Publishing, 2997),

e.

Wanprestasi dalam pelayanan kesehatan terjadi apabila hubungan

antara dokter dan pasien terjadi berdasarkan kontrak terapeutik, dimana terjadi
pelanggaran kesepakatan oleh pihak dokter.
f.
g.

h. G. Metode Penelitian
i.

Sebagai sebuah penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian mulai

dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidahkaidah penelitian ilmiah, sebagai berikut: 1. Sifat Penelitian

j.

Penelitian ini bersifat yuridis normatif. Metode penelitian yurisis normatif

adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan.

k. Dalam penelitian ini, selain untuk mengumpulkan dan menganalisis data tentang kecukupan
kaidah-kaidah hukum dalam perlindungan pasien di rumah sakit dalam hal pelayanan
kesehatan, maka ditinjau pula tentang peraturan yang diberlakukan di rumah sakit, hal ini
dilakukan dengan memperbandingkan kaidah-kaidah hukum dalam perlindungan konsumen,
hukum kesehatan, serta peraturan perumahsakitan yang terkait dalam hal ini.
l.
m.
n.

o. 2. Sumber Data

p.

Untuk memperoleh hasil data yang akurat dan signifikan, data dikumpulkan

melalui studi pustaka yang dihimpun dan diolah dengan melakukan pendekatan yuridis
normative, penelitian deskriptif lebih mengutamakan data sekunder atau library research.
Data sekunder ini meliputi :77

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat berupa peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen dan
kesehatan yaitu UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undangundang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-undang No.29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran, Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum
primer antara lain berupa tulisan atau pendapat para ahli yang dimuat dalam buku-buku
ilmiah, hasil karya ilmiah, majalah, ceramah atau pidato, buletin dan hasil penelitian
yang ada hubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini adalah bahan hukum
sekunder.

c. Bahan hukum tertier berupa referensi lainnya yang berkaitan dengan topik penelitian
yang memberikan informasi-informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder seperti ensiklopedia, kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia,
dan surat kabar.78

87. 77 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
88. hal.52.
89. 78 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1998), hal.117.

d. Disamping itu, untuk mendukung data sekunder, dilakukan wawancara 79 di Rumah Sakit
Elisabeth Medan dan Badan Penyelesian Sengketa Konsumen (BPSK) Medan.
Wawancara di Rumah Sakit Elisbeth Medan dilakukan kepada direktur rumah sakit
dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut.
e.

Alasan pemilihan rumah sakit ini karena Rumah Sakit Elisabeth Medan merupakan
rumah sakit swasta yang diketahui oleh masyarakat luas sebagai rumah sakit dengan
pelayanan terbaik namun pada September 2007 pernah digugat oleh pasien dalam kasus
masalah pelayanan rumah sakit.80
f.
g.
h.

i. 3. Teknik Pengumpulan Data


j.

k.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

melalui studi kepustakaan {library research) untuk mendapatkan konsepsi, teori atau doktrin,
pendapat atau pemikiran konseptual dari penelitian terdahulu yang berhubungan dengan
objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan Perundang-undangan, buku, tulisan
ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya yang keseluruhannya merupakan data sekunder.

90. 79

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua
pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Dikutip dari Lexy J.Moleong, Metodologi
Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1998), hal.135.
91. 80
Sumber Data: Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Medan Tahun 2007

l.

Dalam penelitian ini alat pengumpul data yang digunakan adalah dengan

mempergunakan studi pustaka (library research) dan mengadakan wawancara (depth


interview) kepada pelaku usaha.

m. Teknik pengumpulan data studi kepustakaan pada penelitian ini dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
n.
o.

p. a. Menginventarisir peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan masalah


q. jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit, khususnya yang terkait langsung
dengan pasien yang berobat di rumah sakit.
r.

s.

b. Menginventarisir

bahan-bahan

sekunder

yang

relevan

dengan

rumusan
t.

u. permasalahan.
c. Mengumpulkan bahan hasil wawancara dengan rumusan permasalahan.
d. Penelusuran bahan melalui Internet.
v.

w. 4. Metode Analisis Data


x.

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data

kedalam kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. 81 Data yang telah dikumpulkan
dengan studi kepustakaan tersebut selanjutnya dianalisis dengan mempergunakan metode
analisis kualitatif yang didukung oleh logika berpikir secara

92. 81 Op.Cit, Lexy J.Moleong,

y. deduktif, kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul melalui


wawancara secara langsung dan terarah. Analisis untuk data kualitatif dilakukan
dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur
tentang perlindungan konsumen jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit, dan
kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan untuk
memperoleh diskripsi mengenai objek yang diteliti. Sehingga mendapatkan jawaban
sesuai dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini secara komprehensif, holistik
dan mendalam.

z.

aa. BAB II
ab.

ANALISIS TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT TERHADAP

KONSUMEN (PASIEN) DI INDONESIA


ac.
ad.
ae.

af. A. Hukum Perlindungan Konsumen


ag.

Setiap manusia pada dasarnya membutuhkan barang dan/atau jasa untuk

memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia sangat beraneka ragam dan dapat dibedakan
atas berbagai macam kebutuhannya. Jika dilihat dari tingkatannya, maka kebutuhan
konsumen dapat terbagi menjadi tiga yaitu kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan
tertier. Selain itu, kebutuhan manusia juga dapat dibagi menjadi kebutuhan jasmani dan
rohani.
ah.

Adanya bermacam-macam dan berbagai jenis kebutuhan tersebut maka

setiap manusia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik berupa barang
maupun jasa. Berbagai kebutuhan tersebut ditawarkan oleh pelaku usaha sehingga tercipta
hubungan timbal balik antara konsumen dan pelaku usaha serta saling membutuhkan satu
dengan yang lainnya. Aneka ragam barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh para pelaku
usaha kepada konsumen sebagai sebuah hubungan timbal balik. 82

ai.

Terdapat saling ketergantungan dan membutuhkan antara konsumen dan

pelaku usaha, sehingga sudah seharusnya kedudukan konsumen dan pelaku usaha

93. 82 Purnadi Purwacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-sendi Ilmu dan Tata Hukum, cetakan V,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), hal.43.

aj. berada pada posisi yang seimbang. Namun dalam kenyataannya, kedudukan
konsumen dan pelaku usaha tidaklah seimbang. Konsumen seringkali berada pada
posisi atau kedudukan yang lemah bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku
ak.

usaha.83
al.

Salah satu yang menyebabkan kedudukan konsumen lebih lemah bila

dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha adalah konsumen pada umumnya kurang
mendapatkan

akses

informasi

dan/atau

informasi

yang

benar,

jelas

dan

dapat

dipertanggungjawabkan dari suatu barang atau jasa. 84 Konsumen tidak memiliki kesempatan
dan sarana yang cukup untuk mengakses berbagai informasi yang dibutuhkan dalam
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan suatu barang dan/atau jasa. Hal ini dapat terjadi
karena pelaku usaha sebagai pihak yang memproduksi dan menawarkan barang dan/atau jasa
tidak memberikan informasi yang jelas mengenai keadaan, cara penggunaan atau jaminan
atas barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen. Kurangnya informasi dan akses
informasi yang menyesatkan, mengelabui atau tidak jujur kepada konsumen demi
kepentingan sepihak untuk memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin tanpa
memperdulikan konsumen. Kurangnya informasi dan akses informasi ini mempunyai dampak
yang cukup besar bagi konsumen, terutama dalam memperoleh kenyamanan, keselamatan
dan/atau kesehatan dalam mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa. 85

94. 83
95.
96.

Zumrotin K Susilo, Hak-hak Konsumen, cell, (Jakarta: Puspa Swara, 1996),


hal.11-14.
84
Ibid, hal.viii-ix
85
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Visimedia, 2008),

am. Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa kedudukan konsumen berada pada posisi
yang lemah bila dibandingkan dengan pelaku usaha. Ketidakseimbangan kedudukan
antara pelaku usaha dan konsumen inilah yang menyebabkan pentingnya suatu
perlindungan konsumen ditegakkan dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang
berlaku, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen sehingga konsumen berada pada posisi seimbang dengan kedudukan
pelaku usaha.
an.

Sesuai dengan Pasal 2 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5


(lima) prinsip yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu: 86

1. Prinsip Manfaat
ao. Dimaksudkan

untuk

mengamanatkan

bahwa

segala

upaya

dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi


kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Prinsip Keadilan
ap. Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujukan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

97. 86 J.Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian), Buku I, Cetakan II, (Bandung:
PT.Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 100.

3. Prinsip Keseimbangan Dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara


kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam materil maupun spritual.

4. Prinsip Keamanan dan Keselamatan Konsumen Dimaksudkan untuk memberikan


jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan /atau jasa yang digunakan.

5. Prinsip Kepastian Hukum


aq.

Dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum

dan memperoleh keadilan dan penyelenggaraan perlindungan konsumen, dimana negara


dalam hal ini turut menjamin adanya kepastian hukum tersebut.

ar.

Pihak-pihak yang terkait dengan hukum perlindungan konsumen, yaitu : 1.

Konsumen
as.

Sebelum lahirnya UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

batasan dan pengertian tentang konsumen masih rancu. Istilah konsumen telah dimuat
pertama kali dalam TAP MPR No.II/MPR/1993 Bab IV huruf f butir 4a tentang GBHN dan
selanjutnya di singgung sedikit dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Namun,
tidak satupun menjelaskan pengertian konsumen. Untuk memperkecil lingkup pengertian
konsumen, maka pengertian konsumen dapat terdiri dari tiga bagian, yaitu : 87

98. 87

Loc.Cit, Az. Nasution,

I. Konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang
dan/jasa untuk tujuan tertentu.

II. Konsumen-antara adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/jasa untuk
diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau untuk diproduksi (produsen) menjadi
barang/jasa lain atau untuk memperdagangkan (distributor), dengan tujuan komersial.
Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.

at. III. Konsumen-akhir adalah pemakai, pengguna dan/atau jasa pemanfaat barang
au.

dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri,

keluarga atau

av.
aw.

rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.


Setelah lahirnya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

ax. maka jenis konsumen yang dilindungi adalah jenis konsumen akhir. Hal ini terlihat
ay. dari Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen yang menjelaskan
az. defenisi konsumen, yaitu :
ba.

"Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahkluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan."88

bb.

Batasan/pengertian tentang konsumen ini sangat penting untuk dijelaskan

bc. agar konsumen dapat mempunyai jaminan kepastian hukum dalam melakukan suatu
bd. hubungan hukum. Untuk selanjutnya pengertian konsumen yang akan di bahas dalam
be. tulisan ini adalah konsumen akhir sesuai dengan pengertian konsumen dalam UU
bf. No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
99. 88 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun

bg.

Pasien sebagai konsumen diartikan "setiap pemakai dan atau pengguna

barang dan atau jasa baik kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain". Dalam
pelayanan di bidang medis, tidak terpisah akan adanya seorang tenaga kesehatan dengan
konsumen, dalam hal ini pasien. Pasien dikenal sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan
dalam bidang perawatan kesehatan.89
bh.

Pasien mempunyai kedudukan yang sederajat dengan rumah sakit dan dokter yang
bekerja di rumah sakit. Pasien selain dilindungi oleh Undang-undang Kesehatan
Nomor 23 Tahun 1992, juga dilindungi oleh Undang-undang Perlindungan
Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen
Nomor 8 Tahun 1999, pada penjelasan bagian I umum disebutkan ada beberapa
undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen yang salah
satunya adalah Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992. Dengan demikian,
menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, pasien
merupakan konsumen, khususnya konsumen jasa pelayanan kesehatan {health
consumer) yang harus dilindungi hak-haknya.90

bi.
bj.

bk. 2. Pelaku Usaha


bl.

Pelaku usaha dalam dunia perekonomian lebih dikenal dengan istilah

pengusaha. Dalam lingkup hukum perlindungan konsumen, Undang-undang Perlindungan


Konsumen mencoba mendefenisikan pelaku usaha secara luas, tidak

100.
101.
102.

89

90

Wila Chandrawilala Supriadi, Hukum Kedokteran, (Jakarta:CV Mandar Maju, 2001),


hal.14.
Ibid, hal 19

bm.

dibatasi hanya pada pabrikan saja tetapi meliputi distributor (dan jaringannya),

importir dan pelaku usaha periklanan.91


bn.

Pelaku usaha merupakan salah satu dari pelaku ekonomi yang dibagi dalam tiga
kelompok pelaku usaha, yaitu :92

a. Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai


bo. kepentingan. Seperti perbankan, usaha leasing] "tengkulak", penyedia dana
lainnya, dan sebagainya.

b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari
barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong dan bahanbahan lainnya). Mereka dapat terdiri dari orang/badan usaha berkaitan dengan pangan,
orang/badan usaha yang memproduksi sandang, orang/badan usaha yang berkaitan
dengan pembuatan perumahan, orang/badan usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan,
perasuransian, perbankan, orang/badan usaha berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan,
narkotika, dan lain sebagainya.

c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang


dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki
lima, warung, took, supermarket, hyper-market, rumah sakit, klinik, "warung dokter",
usaha angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya.

103.

91

104.

92

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.4.
Op.Cit, A.Z.Nasution, hal.9.

d.

Hak dan kewajiban pelaku usaha, yaitu :

1. Hak-hak pelaku usaha


e.

Untuk menyeimbangkan hak-hak yang telah diberikan kepada konsumen,

maka pelaku usaha diberikan beberapa hak seperti yang tercantum dalam Pasal 6 Undangundang Perlindungan Konsumen, yaitu :

93

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan,

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad baik
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen,

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan,

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

2. Kewajiban pelaku usaha


f.

Sebagai konsekuensi dari adanya hak-hak pelaku usaha, maka kepada pelaku

usaha juga dibebankan beberapa kewajiban dalam menjalankan usahanya. Kewajiban pelaku
usaha tercantum dalam Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen,

g. 94
h. yaitu :

105.

93

Pasal 6 Undang-undang Perlindungan Konsumen

No.8 Tahun 1999

106.

94

Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya,


b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan,

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif,
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku,

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang


dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan,

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/jasa yang diperdagangkan.

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.

i.

Era globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan

teknologi komunikasi dan informatika akan memperluas ruang gerak arus transaksi barang
dan/atau jasa yang ditawarkan. Konsumen pun dapat dengan bebas memilih berbagai macam
jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Tetapi
hal ini menimbulkan posisi yang tidak seimbang antara pelaku usaha dan konsumen.
Konsumen menjadi objek dari kegiatan bisnis untuk

j.

mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha dengan berbagai


penawaran, cara penjualan dan penerapan perjanjian standar yang merugikan
konsumen. Untuk itu pemerintah membuat larangan-larangan yang harus dipatuhi
selain daripada kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pelaku usaha.
Larangan bagi pelaku usaha tercantum dalam Pasal 8 Undang-undang Perlindungan
Konsumen, yaitu :95

k. 1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa


yang:

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan,

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut,

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya,

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana


dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut,

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut,

107.

95

Pasal 8 Undang-undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut,

g. Tidak

mencantumkan

tanggal

kadaluarsa

atau

jangka

waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu,

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan "halal"


yang dicantumkan dalam label,

f. i.

Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama

barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan
lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat,

g. j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam


bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang
dimaksud.

3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat
atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar.

4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.

5.

Menurut Pasal 1 ayat (3) yang dimaksud dengan jasa adalah setiap

layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat
untuk dimanfaatkan oleh konsumen.96 Istilah produsen dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 diganti dengan istilah
pelaku usaha dan didefenisikan sebagai setiap orang, perorangan atau badan usaha
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,
baik sendiri-sendiri maupun bersama melalui perjanjian menyelenggarkaan kegiatan
usaha dalam berbagai bidang kegiatan ekonomi.97
6.

Dalam kaitannya dengan kegiatan usaha Rumah Sakit dan Dokter yang bekerja pada Rumah
Sakit tersebut, maka kalimat"... kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi",
sesungguhnya juga mencakup kegiatan usaha Rumah Sakit tersebut dalam bidang jasa
pelayanan kesehatan (healthprovider). Hal tersebut menjadi jelas jika mengacu pada pendapat
J.Guwandi yang mengemukakan bahwa "kedudukan Rumah Sakit sebagai badan hukum yang
dalam perkembangannya prinsip ekonomi dan manajemen modern telah diterapkan dalam
pengelolaannya sehingga menjelma menjadi lembaga sosial-ekonomi bahkan business
enterprise yang berlindung dibalik yayasan semu".98

7.

"Rumah Sakit sebagai salah satu sub sistem pelayanan kesehatan

menyelenggarakan dua jenis pelayanan untuk masyarakat yaitu pelayanan kesehatan

108.

96

Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen

No.8 Tahun 1999.

109.
110.

97
98

Op.Cit, J. Guwandi, Dokter dan Rumah Sakit, hal.10.


Ibid, hal 11

8.

dan pelayanan administrasi".99 Pelayanan kesehatan mencakup pelayanan medik,

pelayanan penunjang medik, rehabilitas medik dan pelayanan perawatan. Pelayanan tersebut
dilaksanakan melalui Unit Gawat Darurat (UGD), unit rawat jalan dan unit rawat inap.
Pelayanan administrasi mencakup pelayanan yang mengurusi administrasi mulai dari
penerimaan pasien, rekam medis sampai biaya pelayanan pasien. Dalam perkembangan
pelayanan Rumah

Sakit

tidak terlepas

dari

pembangunan ekonomi

masyarakat.

Perkembangan ini tercermin pada perubahan fungsi klasik Rumah Sakit yang pada awalnya
hanya memberi pelayanan yang bersifat {kuratif) terhadap pasien melalui rawat inap.
9.

Pelayanan Rumah Sakit kemudian bergeser karena kemajuan ilmu

pengetahuan khususnya teknologi kedokteran, peningkatan pendapatan dan pendidikan


masyarakat. Pelayanan kesehatan di Rumah Sakit saat ini tidak saja bersifat kuratif
(penyembuhan) tetapi juga bersifat pemulihan (rehabilitatif). Keduanya dilaksanakan secara
terpadu melalui upaya promosi kesehatan (promotif dan pencegahan (preventifi. Dengan
demikian sasaran pelayanan kesehatan Rumah Sakit bukan hanya untuk keluarga pasien dan
masyarakat umum. Fokus perhatiannya memang pasien yang datang atau yang dirawat
sebagai individu dan bagian dari keluarga. Atas dasar sikap seperti itu, pelayanan kesehatan
di Rumah Sakit merupakan pelayanan yang paripurna.100

111.

99
A.A.Gde Muninjaya, Manajemen Kesehatan, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Edisi 2, 2004), hal.220.
112. 100 Ibid, hal.250

10.

Pelayanan Rumah Sakit di Indonesia saat ini sudah bersifat padat modal,

pada karya dan padat teknologi dalam menghadapi persaingan global. Dalam hal rujukan
medik, Rumah Sakit juga diandalkan untuk memberikan pengayoman medik untuk pusatpusat pelayanan yang ada diwilayah kerjanya. Sifat pengayoman sangat erat kaitannya
dengan klasifikasi Rumah Sakit. Peningkatan profesionalisme staf, tersedianya peralatan
yang canggih dan lebih sempurnanya sistem administrasi Rumah Sakit yang akan bermanfaat
untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan Rumah Sakit.101
11.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.l59b/Menkes/Per/II/1988 selanjutnya


disingkat PERMENKES RI No.l59b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit
disebutkan

bahwa

Rumah

Sakit

adalah

sarana

upaya

kesehatan

yang

menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk


pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian.102
12.

Selain itu pengertian rumah sakit menurut anggaran dasar Perhimpunan

Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) seperti tersebut dalam BAB I Ketentuan Umum
Pasal I, bahwa "Rumah Sakit adalah suatu lembaga dalam rantai sistem kesehatan nasional
yang mengemban tugas pelayanan kesehatan untuk seluruh masyarakat". 103

13.

Rumah Sakit mempunyai sifat atau karakteristik sebagai organisasi yang

sangat kompleks dan dapat mempunyai berbagai fungsi, seperti disebutkan dalam

113.
114.

101

Ibid, hal.252
PERMENKES RI No.159b/Menkes/Per/II/1988
tentang Rumah Sakit.
103
115.
Anggaran Dasar Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh
102

14.

PERMENKES RI No.159b/Menkes/Per/II/1988 bahwa fungsi Rumah Sakit

sebagai berikut : 104

1) Menyediakan dan menyelenggarakan peralatan medik, pelayanan penunjang medik,


pelayanan perawatan, pelayanann rehabilitas, pencegahan dan peningkatan kesehatan;

2) Sebagai tempat pendidikan dan latihan tenaga medik;

15. 3)

Sebagai tempat penelitian dan pengembangan ilmu teknologi bidang

kesehatan.

3. Pemerintah

16. Banyaknya barang dan atau jasa yang ditawarkan dalam berbagai jenis, ukuran dan
kualitas yang bervariasi baik produk dari dalam negeri maupun luar negeri membuat
persaingan dalam dunia perdagangan semakin ketat. Para pelaku usaha juga
melakukan berbagai macam cara untuk memasarkan dagangannya. Dengan orientasi
untuk meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya, para pelaku usaha sering kali
mengabaikan hak-hak konsumen dengan melanggar larangan-larangan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Salah satu usaha pemerintah untuk mengatasi masalah
perlindungan konsumen adalah dengan memberlakukan UU No.8 Tahun 1999
tentang perlindungan konsumen. Agar pelaksanaan dan penerapan

116.

104

Op.Cit,

PERMENKES

RI

17.

Undang-undang Perlindungan Konsumen berjalan dengan baik, maka pemerintah


menerbitkan peraturan pelaksanaannya antara lain tentang : 105

a. Peraturan Pemerintah No.57 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan
Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN);

b. Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelengaraan Perlindungan Konsumen;

c. Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya (LPKSM);

d. Keputusan Presiden Republik Indonesia No.90 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang
Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada kota Medan,
Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang,
Surabaya dan Makasar;

e. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.31/MPP/Kep/10/2001 tanggal


24 Oktober 2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;

f. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.252/MPP/Kep/l0/2001


tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat.

18.

Selain memberlakukan beberapa peraturan perundang-undangan sebagai

pelaksana UU No.8 Tahun 1999, pemerintah juga mendirikan beberapa organisasi

117.

105

http://mediasuaka-mediaperlindungankonsumendiindonesia.com/2009/04/perananpemerintah.html, diakses pada tanggal 4 April 2009

19.

untuk membantu dalam menyelesaikan masalah konsumen seperti : YLKI, BPKN,

BPSK dan LPKSM. Dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku para pelaku usaha
dalam menjalankan usahanya, pemerintah dibantu oleh masyarakat dan

20. LPKSM.
21.

Pemerintah sebagai stakeholder pembangunan memiliki peran vital dalam

pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan konsumen, yang pelaksanaannya dilakukan


secara menyeluruh dari berbagai unsur pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. 106 Dalam
Pasal 29 UUPK dinyatakan: 107

1. Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen


yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya
kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

2. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri/Menteri teknis terkait.

3. Menteri

sebagaimana

dimaksud

pada

ayat

(2)

melakukan

koordinasi

atas

penyelenggaraan perlindungan konsumen.

4. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat


(2) meliputi upaya untuk:

22. a. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antata pelaku usaha
dan konsumen;

118.
119.

106

Ibid

107

Pasal 29 Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang

b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;


c. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian
dan pengembangan dibidang perlindungan konsumen.

23. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen


diatur dengan peraturan pemerintah.

24.

Selain pembinaan, peranan pemerintah adalah pengawasan terhadap

penyelenggaraan perlindungan konsumen. Dalam Pasal 30 UUPK disebutkan bahwa


pemerintah bersama masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
adalah pihak-pihak yang diberi tugas untuk melakukan pengawasan. Pengawasan oleh
pemerintah dilakukan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan
perundang-undangannya. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat, selain dilakukan atas penyelenggaraan
perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya, juga
dilakukan atas barang/jasa yang beredar dipasar.

25.

Pembinaan perlindungan konsumen yang dilakukan oleh pemerintah dan

BPKN antara lain terhadap para pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang
dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang
dan/atau jasa, peranan BPSK dan BPKN, pemberdayaan konsumen,

26.

penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang beredar serta hal-hal lain yang menjadi

kewajiban pelaku usaha.108


27.

Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen

dan

penerapan peraturan perundang-undangan dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat dan


LPKSM yang dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang berada di pasar. Pengawasan
dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan survei. Aspek pengawasan meliputi
permuatan informasi tentang resiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label,
pengiklanan dan lain-lain yang diisyaratkan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pengujian
terhadap barang dan/atau jasa yang beredar dilaksanakan melalui laboratorium penguji yang
telah terakreditasi.109
28.

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 983/Menkes/SK/XI/1992

(selanjutnya disingkat KEPMENKES RI No. 983/1992) tentang Pedoman Organisasi Rumah


Sakit Umum disebutkan bahwa Rumah Sakit Umum mempunyai fungsi sebagai berikut : 110

1) Menyelenggarakan pelayanan medik;


2) Menyelenggarakan pelayanan penunjang medik dan non medik;
3) Menyelenggarakan pelayanan dan asuhan keperawatan ;
4) Menyelenggarakan pelayanan rujukan;
5) Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan;
120.

108

Op.Cit,
http://mediasuaka-mediaperlindungankonsumendiindonesia.com/2009/04/peranan
pemerintah.html
121. 109
Ibid
122. 110
KEPMENKES RI No. 983/1992

6) 6) Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan ;


7) 7) Menyelenggarakan administrasi umum dan keuangan.
8)

Menurut PERMENKES RI No. 159b tahun 1988 disebutkan bahwa pelayanan


kesehatan di Rumah Sakit adalah kegiatan pelayanan berupa rawat jalan, pelayanan
rawat inap dan perawatan mencakup pelayanan medik dan penunjang medik yang
diselenggarakan oleh Pemerintah maupun swasta. 111

9)

Apabila dilihat secara sosiologis, maka tujuan pendirian Rumah Sakit sudah

10) mengalami pergeseran, seperti yang dikemukakan oleh J.Guwandi, sebagai berikut:
11)

"....tujuan pendirian Rumah Sakit, baik Rumah Sakit yang didirikan oleh Pemerintah
maupun Swasta (yayasan), sudah mengalami pergeseran dari tujuan awal yakni semula
bersifat lembaga sosial murni bergeser menjadi lembaga sosial ekonomi, dalam arti
bahwa pengelolaan Rumah Sakit harus mempertimbangkan prinsip ekonomi dan
manajemen modern dalam pengelolaan Rumah Sakitnya, sehingga seluruh pengeluaran
harus ditutupi oleh penerimaan". 112

12)

13) B. Sumber Peraturan Perlindungan Konsumen


14)

Perhatian dunia terhadap masalah perlindungan konsumen semakin

meningkat. Negara-negara di Asia, Australia dan Amerika telah lama memiliki peraturan
tentang Perlindungan Konsumen. Organisasi Dunia seperti PBB juga telah mengeluarkan
resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa Nomor A/RES/39/248 Tahun 1985. 113 Resolusi tentang
perlindungan konsumen (Res.PBB No.39/248) mencakup
15)

hal-hal berikut :114

123.
124.
125.

PERMENKES RI No. 159b Tahun 1988.


J. Guwandi, Dokter dan Rumah Sakit, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1991, hal.9
113
Jufrina Rizal, Mengakomodasi Masalah Perlindungan terhadap Konsumen dalam
Kurikulum Pendidikan Tinggi Indonesia. Makalah disajikan pada Lokakarya Hukum Perlindungan
112

1. Perbuatan-perbuatan yang tidak mematuhi ketentuan perundang-undangan;


2. Praktik perdagangan yang merugikan konsumen;
3. Pertanggungjawaban produsen yang tidak jelas;
4. Persaingan tidak sehat, sehingga pilihan konsumen dipersempit dan dengan harga yang
tidak menjadi murah;

5. Tidak tersedianya suku cadang dan pelayanan purna jual;


6. Kontrak baku sepihak dan penghilangan hak-hak essensial dari konsumen;
7. Persyaratan kredit yang tidak adil.
16)

Sebenarnya dalam perkembangan, sudah ada beberapa undang-undang yang

bersifat sektoral. Memuat aturan tentang perlindungan konsumen dalam sektornya

17)

115

18) masing-masing, seperti:


1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang barang, menjadi UndangUndang;

2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;


3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah;
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;

126.

Konsumen bagi Dosen dan Praktisi Hukum, (Jakarta : Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia, 1997),
127.
hal. 1-2 114
128. 114 Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, cet I (Jakarta: Galia
129.
Indonesia), 2002, hal 70.
130. 115 BPHN, Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan RUU tentang Perdagangan
Internasional, (DepKeh RI. 1999). Lihat juga Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.

5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;


6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok Pers;
7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
8. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
9. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun
10. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri;
11. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas Angkatan Jalan;
12. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
13. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World
Trade Organization (Pertujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);

14. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;


15. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
16. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
17. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan undangundang nomor 7 tahun 1987;

18. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1989 tentang Paten;

19. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
19 tahun 1989 tentang Merk;

20. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;


21. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;
22. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
23. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
20.

Dalam Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen menyebutkan secara

jelas bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang atau jasa, konsumen juga memiliki hak penuh untuk memilih
barang dan jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi yang dijanjikan. Hal-hal yang
diatur di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen terdiri dari 15 Bab dan 65 Pasal
dengan mated sebagai berikut :116

1. Asas dan tujuan perlindungan konsumen;


2. Hak dan kewajiban konsumen;
3. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha;
4. Tanggung jawab pelaku usaha;
5. Pembinaan dan pengawasan penyelengaraan konsumen;
6. Badan perlindungan konsumen nasional;
7. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
8. Penyelesaian sengketa konsumen;
9. Badan penyelesaian sengketa konsumen;
131.

116

Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun

10. Penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;

11.

11. Sanksi adminsitratif dan pidana. C. Hak dan

Kewajiban Pasien sebagai Konsumen

12.

Perlindungan terhadap konsumen diberikan bertujuan agar konsumen dapat

menuntut hak-hak yang selayaknya diperoleh setelah mereka melaksanakan kewajibannya.


Selama ini sudah banyak konsumen yang sudah dirugikan baik secara materil maupun
immateril oleh pelaku usaha, namun dari pihak konsumen kurang usahanya untuk menuntut
hak-haknya. Kenyataan ini disebabkan konsumen kurang menyadari hal-hal apa saja yang
menjadi haknya dan masih kurang untuk menjalani proses penuntutan hak-haknya yang lama
dan rumit.

13.

Lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen memberikan penjelasan

mengenai hal yang menjadi hak-hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4 yaitu

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang


dan/atau jasa,

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan,

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur menangani kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa,

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan,

132.

117

Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa


perlindungan konsumen secara patut,

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen,


g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif,
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya,

e. i.

Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.


f.

Selain memiliki hak yang dapat dituntut kepada pelaku usaha, konsumen

juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhi baik terhadap pelaku usaha maupun terhadap
dirinya sendiri. Kewajiban tersebut dituangkan dalam Pasal 5 Undang-undang Perlindungan
Konsumen yang berbunyi:118

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau


pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. Inilah yang
dimaksud tanggung jawab konsumen terhadap dirinya sendiri. Meskipun pelaku
usaha telah mencantumkan informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
suatu barang dan/atau jasa, tetapi apabila konsumen tidak memperhatikan itu semua,
maka kerugian bagi konsumen tidak dapat dihindarkan. Dalam hal ini konsumen
tidak dapat menuntut ganti kerugian dari pelaku usaha.

133.

118

Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Membayar harga yang telah
disepakati merupakan kewajiban yang harus dipenuhi konsumen dalam setiap perjanjian
dengan pelaku usaha, baik jual beli, sewa menyewa, dll.

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum dengan sengketa perlindungan konsumen secara


patut.

c.

Sehubungan dengan hak dan kewajiban konsumen ini maka sejak lama

sudah dikenal beberapa doktrin seperti doktrin Caveal Emptor

119

, doktrin Sanectity

Contract120 dan doktrin Caveal Venditor121.

d.

Sehubungan dengan masalah konsumen, pasien sebagai konsumen juga

mempunyai hak dan kewajiban yaitu : Memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu
merupakan bagian pemenuhan hak konsumen yang utama, yaitu hak untuk terpenuhi
kebutuhan dasarnya. Sementara itu, sebagai pengguna jasa layanan konsumen, konsumen
juga memiliki sederetan hak.

134.

119
Caveat emptor adalah istilah latin untuk 'let the buyer awaren (konsumen harus berhatihati). Hal ini berarti bahwa konsumen membeli sesuatu, maka ia harus waspada terhadap kemungkinan
adanya cacat pada barang. Dalam Johannes Gunawan, bahan perkuliahan Pertanggungjawaban
Produk, Program Pascasarjana magister Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1998.
135. 120 Sanectity of Contract adalah doktrin yang memungkinkan produsen atau penjual
"mengakali" konsumen. Menurut doktrin ini, sekali pembeli dan penjual mencapai kesepakatan,
pengadilan akan memaksa mereka untuk melaksanakannya tanpa memperdulikan apakah kesepakatan
itu adil bagi para pihak. Ibid
136. 121 Caveat Venditor adalah doktrin yang menyatakan bahwa produsen tidak hanya
bertanggungjawab kepada konsumen atas dasar tanggungjawab kontraktual. Karena produknya
ditawarkan kepada semua orang, maka timbul kepentingan bagi masyarakat untuk mendapatkan
jaminan keamanan jika menggunakan produk yang bersangkutan. Ibid

e.

Hak-hak pasien diantaranya yaitu :122

1. Hak untuk memperoleh informasi tentang kondisi dan keadaan apa yang sedang
mereka alami. Isi dan waktu pemberian informasi, sangat tergantung dari kondisi
pasien dan jenis tindakan yang akan segera dilaksanakan. Informasi harus diberikan
langsung kepada pasien dan keluarga;

2. Hak untuk bertanya atau mendiskusikan tentang kondisi atau keadaan dirinya dan
apa yang mereka harapkan dari sistem pelayanan yang ada, dalam suasana yang
dianggap memadai. Proses ini berlangsung secara pribadi dan didasari rasa saling
percaya di antar kedua belah pihak;

3. Hak pasien untuk dilayani secara pribadi. Pasien harus diberitahu siapa dan apa peran
mereka masing-masing (staf klinik, peneliti, peserta pelatihan dan instrukturnya,
penyedia dan sebagainya);

4. Hak untuk memutuskan secara bebas apakah menerima atau menolak suatu pengobatan.
Persetujuan merupakan persyaratan dalam melakukan suatu tindakan.
f.

Menurut J.Guwandi, hak-hak pasien adalah sebagai berikut: 123

1. Hak atas pelayanan dan manusiawi;


2. Hak memperoleh asuhan perawatan yang bermutu baik;
3. Hak untuk memilih dokternya;

137.

122

Abdul Bari Saiffudin, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, (Jakarta: JNPKR-POGI, 2001),hal 36

138.

123

Loc.Cit, J.Guwandi, hal.93.

4. Hak memerintah dokter yang merawat agar mengadakan konsultasi dengan dokter lain;
5. Hak atas "privacy" dan kerahasiaan penyakit yang diderita;
6. Hak untuk mendapatkan informasi tentang penyakitnya, tindakan medik yang hendak
dilakukan, alternatif terapi lainnya, prognosis;

7. Hak meminta tidak diinformasikan tentang penyakitnya;


8. Hak untuk menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya;
9. Hak untuk didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
4.

Dalam bukunya Soedarmo Soejitno mengemukakan beberapa hak dasar

diantaranya adalah berpartisipasi dalam membuat keputusan tentang penanganan yang


menyangkut kesehatan dirinya, mengajukan keluhan atau pengaduan, memperoleh pergantian
untuk kerugian yang dideritanya.124
5.

Selain mempunyai hak, pasien juga mempunyai kewajiban :125

1. Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan tata tertib rumah
sakit;

2. Pasien wajib untuk menceritakan sejujur-jujurnya tentang segala sesuatu mengenai


penyakit yang dideritanya;

3. Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter dalam rangka


pengobatannya;

139.

124

Soedarmo Soejitno, hal 116. Bandingkan juga dengan Pasal 4 dan Pasal 53 ayat (2), Pasal
55 Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 Jo PP 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
kesehatan Pasal 23.
140. 125 Op.Cit, Abdul Bari Saifuddin, dkk, hal.93. Bandingkan dengan Pasal 5 Undang-Undang
Kesehatan.

4. Pasien dan/atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan atas jasa
pelayanan rumah sakit/dokter;

5. Pasien dan/atau penanggungnya berkewajiban untuk memenuhi segala perjanjian yang


ditandatanganinya.
4.

Kewajiban pasien di rumah sakit yaitu :126

1. Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan tata-tertib rumah
sakit;

2. Pasien wajib untuk menceritakan sejujur-jujurnya tentang segala sesuatu mengenai


penyakit yan dideritanya;

3. Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instrusi dokter dalam rangka


pengobatannya;

4. Pasien dan/atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan atas jasa
pelayanan rumah sakit/dokter;

5. Pasien dan/atau penanggungnya berkewajiban untuk memenuhi segala perjanjian yang


ditanda tanganinya.
5.

Hak pasien :127

1. Hak atas informasi;


2. Hak memberi consent atas dilaksanakannya tindak medis tertentu;
3. Hak untuk memilih pemberi jasa (dokter);
4. Hak untuk memilih sarana kesehatan;
141.

126

Ibid
i Rahayu, http://ayoe01 .multiply.com/iournal/item/1, diakses tanggal 21 Juli 2009

5. Hak atas rahasia medis;


6. Hak untuk menolak pengobatan / perawatan;
7. Hak untuk menolak tindakan medis tertentu;
8. Hak untuk menghentikan pengobatan/perawatan;
9. Hak untuk mendapatkan second opinion;
10. Hak untuk melihat rekam medis {image).
5.

Pasien dalam praktek sehari-hari sering dikelompokkan sebagai berikut: 128

1) Pasien dalam, yaitu pasien yang memperoleh pelayanan tinggal atau dirawat pada suatu
unit pelayanan kesehatan tertentu atau dapat juga disebut dengan pasien yang dirawat di
Rumah Sakit;

2) Pasien Luar/Jalan, yaitu pasien yang hanya memperoleh pelayanan kesehatan


tertentu ada disebut juga pasien jalan;

3) Pasien opname, yaitu pasien yang memperoleh pelayanan kesehatan dengan cara
menginap dan dirawat di Rumah Sakit atau disebut juga dengan pasien rawat inap.
6.
7.

Disisi lain, ada pendapat yang mengatakan "pada umumnya pasien

dibedakan atas 2 (dua) macam, apabila dilihat dari cara perawatannya, yaitu pasien opname
dan pasien berobat jalan".129

143.
144.

128

Op Cit, Dalmy Iskandar, hal.57


R. doel Djamili dan Lenawti Tedjapurnama, Tanggung Jawab Hukum Seorang Dokter
Dalam Menangani Pasien, (Jakarta: Abardin, 1988), hal.100.
129

8.

Pasien opname ini memerlukan perawatan khusus dan terus menerus secara teratur
serta harus terhindar dari gangguan situasi dan keadaan dari luar yang sangat
mempengaruhi

proses

penyembuhan

penyakitnya

bahkan

dimungkinkan

menghambat kesembuhan pasien. Biasanya pasien ini adalah pasien yang telah
mendapat diagnosa dari dokter yang berkesimpulan bahwa pasien ini harus dirawat
secara khusus. Dalam keadaan demikian dokter akan memerintahkan kepada pasien
agar segera masuk ke Rumah Sakit untuk perawatan yang khusus lagi. Hal ini
dimaksudkan agar pasien yang dianggap serius mengidap penyakitnya harus dirawat
dan diawasi oleh dokter setiap saat. Dengan demikian perawatan yang dilakukan itu
akan mengikuti cara-cara pengobatan secara teratur dan terus menerus sehingga
diharapkan dalam waktu singkat pasien tersebut akan sembuh. 130

9.

Dilain pihak, ada juga pasien yang diperbolehkan berobat jalan, artinya

pasien ini dirawat secara teratur pada waktu-waktu tertentu saja. Pada umumnya pasien ini
datang sendiri ke rumah sakit, klinik, puskesmas atau dokter praktek yang tujuannya hanya
untuk menjaga kesehatannya, mempertingi kesehatan dan daya tahan tubuhnya terhadap
serangan penyakit tertentu atau hanya sekedar berkonsultasi tentang kesehatan dan tidak
perlu harus di-opname. Walaupun pasien tersebut tidak dirawat ditempat perawatan, akan
tetapi dalam perawatan kesehatannya sama perlakuannya dengan pasien yang opname.
Artinya diantara keduanya walaupun berbeda status tapi sama-sama harus mendapat

145.

130

Loc.Cit, Ali Alkatiri,

perhatian yang khusus, yang membedakan hanyalah dalam hal tinggal atau tidaknya pasien di
tempat perawatan tersebut. Pasien berobat

10.

jalan biasanya datang untuk berobat secara teratur pada waktu-waktu yang sudah
disepakati, maka kelihatan adanya pengawasan yang tetap oleh dokter.131

11.

Sehubungan dengan pelayanan kesehatan yang dilakukan dokter pada Rumah Sakit,
maka oleh KODEKI mengemukakan bahwa pasien mempunyai hak sebagai berikut :
132

1) Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati secara wajar;
2) Hak memperoleh penjelasan tentang diagnosa dan terapi dari dokter yang mengobatinya;
3) Hak prosedur diagnosis dan terapi dari dokter yang mengobatinya;
4) Hak untuk prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan dapat menarik diri
dari kontrak terapeutik;

5) Hak memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang akan diikutinya;


6) Hak menolak atau menerima keikut sertaannya dalam riset kedokteran;
7) Hak untuk dirujuk kepada dokter spesialis kalau diperlukan dan dikembalikan kepada
dokter yang merujuknya setelah selesai konsultasi atau pengobatan untuk memperoleh
perawatan atau tindak lanjut;

8) Hak kerahasiaan dan rekam mediknya atas hal pribadi;


9) Hak memperoleh penjelasan tentang peraturan-peraturan Rumah Sakit;
10) Hak berhubungan dengan keluarga, penasehat atau rohaniawan dan lain-lainnya yang
diperlukan selama perawatan di Rumah Sakit;

146.
147.

131

Ibid, hal 36.

132

Kode Etik Kedokteran

11)

11) Hak memperoleh penjelasan tentang perincian biaya rawat inap, obat, pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan roentgen, Ultrasonografi (USG), CT-Scan, Magnetic
Reconance Imaging (MRI) dan sebagainya, biaya kamar bedah, kamar bersalin, imbalan
jasa dokter dan lain-lainnya. 133
12)
13)

Hak-hak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan


Konsumen lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana pertama kali
dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kenddedy di depan kongres pada
tanggal 15 Maret 1962 yaitu terdiri atas :134

1) Hak memperoleh keamanan;


2) Hak memiliki;
3) Hak untuk mendapatkan informasi;
4) Hak untuk di dengar.135
14)
15)

Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-Hak Manusia yang
dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam kerangka hukum
perlindungan konsumen, pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatann
mempunyai hak-hak dasar yang diakui secara International dan dilindungi
pemahamannya. 136

148.
149.
150.

133

151.

136

Op. Cit, M. Yusuf Hanafiah & Amri, hal.47.

Loc.Cit, Shidarta, hal.80.


Ahmadi Mira & Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen,( Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), hal.38-39
13

135

Op.Cit, Siti Rahayu, http://ayoe01 .multiply.com/journal/item/1.

16)

Sebaliknya Soerjono Soekanto yang mengutip dari Leenen mengemukakan

bahwa pasien mempunyai kewajiban mendasar yang harus dilaksanakan, berupa kewajiban
moral dari pasien untuk memelihara kesehatan yaitu : 137

1) Memberikan informasi kepada tenaga kesehatan, sehingga tenaga kesehatan mempunyai


badan yang cukup untuk mengambil keputusan. Hal ini juga sangat penting agar tenaga
kesehatan tidak melakukan kesalahan. Landasannya adalah bahwa hubungan antara
tenaga kesehatan dengan pasien merupakan hubungan hukum, yang didasarkan atas
kepercayaannya sehingga sampai batas-batas tertentu dituntut adanya suatu keterbukaan;

2) Melaksanakan nasehat-nasehat yang diberikan tenaga kesehatan dalam rangka perawatan.


Jika pasien meragukan manfaat nasehat itu, yang bersangkutan mempunyai hak untuk
meminta penjelasan yang lebih mendalam;

3) Menghormati kerahasiaan diri dan kewajiban tenaga kesehatan untuk menyimpan rahasia
kedokteran serta kesendiriannya (privacy);

4) Memberikan ganti rugi, apabila tindakan-tindakan pasien merugikan tenaga kesehatan;


5) Berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungan tenaga kesehatan dan rumah
sakit baik yang berlangsung maupun tidak langsung. 138

17)

Sedangkan M. Yusuf Hanafiah menyebutkan kewajiban pasien adalah

sebagai
18)

berikut : 139

152.
153.

137

Ibid
Soerjono Soekanto, Segi-segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien Dalam Kerangka Hukum
Kesehatan, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1990), hal.39-40.
138

1) Memeriksa diri sendiri pada dokter.


19) Masyarakat perlu diberikan penyuluhan, bahwa pengobatan penyakit pada stadium
dini akan lebih berhasil dan mengurangi komplikasi yang merugikan. Penyakit kanker
stadium dini jelas pada umumnya dapat sembuh, jika diberikan terapi yang tepat,
sedangkan

pada

stadium

lanjut

prognosisnya

lebih

buruk.

Kadang

kala

pasien/keluarganya membangunkan dokter pada tengah malam, padahal ia telah


menderita penyakit beberapa hari sebelumnya. Walaupun dokter harus siap melayani
pasien setiap waktu, alangkah baiknya jika pasien dapat berobat pada jam kerja. Sebagai
manusia biasa, dokter juga memerlukan istirahat yang cukup kecuali halnya dengan
kasus gawat darurat (emergency case).

2) Memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang penyakitnya Informasi yang
benar dan lengkap dari pasien/keluarga merupakan hal yang penting bagi dokter
dalam membantu menegakkan diagnosis penyakit. Bila dokter dituntut malpraktek,
tuntutan dapat gugur jika terbukti pasien telah memberikan keterangan yang
menyesatkan atau menyembunyikan hal-hal yang pernah dialaminya.

3) Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter


20) Pasien berkewajiban mematuhi petunjuk dokter tentang makan berpantang, minum,
pemakaian obat-obat, istirahat, kerja, saat berobat berulang dan lain-lainnya. Pasien yang
tidak mematuhi petunjuk dokternya, keberhasilan pengobatannya berkurang.

154.

139

Op.Cit, M. Yusuf Hanafiah & Amri,

4) Menandatangani surat-surat PTM, surat jaminan dirawat di Rumah Sakit dan lain
sebagainya.

21) Dalam kontrak terapeutik ada tindakan medik, baik untuk tujuan diagnosis maupun
untuk terapi yang harus disetujui oleh pasien atau keluarganya, setelah diberikan
penjelasan oleh dokter. Surat PTM yang sifatnya tulisan, harus ditanda tangani oleh
pasien dan atau keluarganya.

5) Yakin pada dokternya dan yakin akan sembuh


22) Pasien yang telah mempercayai dokter dalam upaya penyembuhannya, berkewajiban
menyerahkan dirinya untuk diperiksa dan diobati sesuai kemampuan dokter. Pasien yang
tidak yakin lagi pada kemampuan dokternya, dapat memutuskan kontrak terapeutik atau
dokternya sendiri yang menolak meneruskan pera\ a+^n

6) Melunasi biaya perawatan di Rumah Sakit, biaya pemeriksaan dan pengobatan serta
honorarium dokter.

23) Perlu ditekankan disini bahwa imbalan untuk dokter merupakan penghargaan yang
sepantasnya diberi oleh pasien/keluarga atau jerih payah seorang dokter. Kewajiban
pasien ini haruslah disesuaikan dengan kemampuannya dan besar kecilnya honorarium
dokter tidak boleh mempengaruhi dokter dalam memberikan pelayanan kedokteran yang
bermutu, sesuai standar pelayanan medik.
24)

25) Menurut H.T. Syamsul Bahri pada pidato pengukuhan jabatan Guru Besar pada
Fakultas Hukum USU Medan pada tanggal 19 Agustus 1998 mengatakan bahwa

26)

"Seseorang yang menderita suatu penyakit yang meminta pada seseorang dokter
untuk menyembuhkan penyakitnya dan dokter tersebut menyetujuinya maka pada
saat itu terjadilah suatu persetujuan atau dengan perkataan lain terjadilah transaksi
terapeutik antara dokter dan pasien. 140
27)

Selanjutnya H.T. Syamsul Bahri mengemukakan bahwa : Jasa doker,

perawat, Rumah Sakit dan pelayanan kesehatan sangat menentukan hidup matinya seseorang.
Tetapi pada prakteknya pertimbangan aspek kemanusiaan yang dikenakan pada konsumen
atau pasien masih subjektif. Keadaan tersebut jelas tidak menunjang keberhasilan
pembangunan kesehatan. Oleh sebab itu perlindungan hukum terhadap kedua belah pihak
antara kepentingan tenaga kesehatan dan pasien harus diutamakan. 141
28)

Dari sudut pandangan sosiologis dapat dikatakan bahwa pasien maupun tenaga
kesehatan

memainkan

peranan-peranan

tertentu

dalam masyarakat.

Dalam

hubungannya dengan tenaga kesehatan, misalnya dokter, tenaga kesehatan


mempunyai posisi dominan apabila dibandingkan dengan kedudukan pasien yang
awam dalam bidang kesehatan.142

29)

Pasien dalam hal ini, dituntut untuk mengikuti nasehat dari tenaga kesehatan

yang mana lebih mengetahui akan bidang pengetahuan tersebut. Dengan demikian pasien
senantiasa harus percaya pada kemampuan dokter tempat dia menyerahkan

155.

140

Tan Kamelo, Butir-Butir Pemikiran Hukum Guru Besar Dari Masa ke Masa, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Hukum USU, (Pustaka Bangsa Press, 2003), hal.332.
156. 141 Op.Cit, Soerjono Soekanto, hal.50.
157. 142 Ibid

30)

nasibnya. Pasien sebagai konsumen dalam hal ini, merasa dirinya bergantung dan
aman apabila tenaga kesehatan berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya.
Keadaan demikian pada umumnya didasarkan atas kerahasiaan profesi kedokteran
dan keawaman masyarakat yang menjadi pasien. Situasi tersebut berakar pada dasardasar historis dan kepercayaan yang sudah melembaga dan membudaya di dalam
masyarakat. Hingga kini pun kedudukan dan peranan dokter relatif lebih tinggi dan
terhormat.143
31)

Pasien sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan medis, dengan melihat

perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang pesat, resiko yang dihadapi semakin
tinggi. Oleh karena itu, dalam hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien, misalnya
terdapat kesederajatan. Di samping dokter, maka pasien juga memerlukan perlindungan
hukum yang proporsional yang diatur dalam perundang-undangan. Perlindungan tersebut
terutama diarahkan kepada kemungkinan-kemunkinan bahwa dokter melakukan kekeliruan
karena kelalaian.144

32)

Dalam kontrak terapeutik ada dua macam hak asasi yang merupakan hak

dasar manusia, yang mana hal ini erat hubungannya dengan pasien dalam mengambil sikap
yaitu :

33) 1. Hak untuk menentukan nasibnya sendiri


34) Hak ini baru mempunyai efek apabila manusia sebagai individu mendapat
kesempatan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Mandiri maksudnya, bahwa

158.

143
Op.Cit,
Wila
Chandrawilala, hal.54.
144
159.
Ibid, hal.55.
145
160.
Ibid, hal.56.

35) pasien bertanggung jawab penuh atas apapun keputusan yang telah
diambilnya. Kemandirian dalam kaitannya dengan unsur pertanggungjawaban hanya
dimiliki oleh mereka yang telah dewasa. Hak untuk menentukan nasib sendiri dapat
diartikan dalam 2 hal yaitu :

a. Hak untuk menentukan sejauh mungkin segala sesuatu yang berhubungan dengan
tubuh dan rohani;

b. Hak untuk merencanakan, membentuk dan mengembangkan dirinya


sebagaimana yang dikehendaki.

36) 2. Hak atas informasi


37) Hak untuk menentukan nasib sendiri tidak mungkin terwujud secara optimal bila
tidak didampingi oleh hak dasar atas informasi, karena keputusan akhir mengenai
penentuan nasibnya sendiri itu dapat diberikan apabila pengambilan keputusan tersebut
memperoleh informasi yang lengkap tentang segala untung dan ruginya apabila suatu
keputusan tidak diambil.

38)
39)

TT

146

Hak pasien :

1. Hak atas informasi, adalah hak pasien untuk mendapatkan informasi dari dokter
tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesehatannya;

2. Hak atas persetujuan yaitu hak asasi pasien untuk menerima atau menolak tindakan
medik yang ditawarkan oleh dokter, setelah dokter memberikan informasi;

161.

146

Ibid,

3. Hak atas kerahasian kedokteran, yaitu keterangan yang diperoleh dokter dalam
melaksanakan profesinya, dikenal dengan nama rahasia kedokteran. Dokter berkewajiban
untuk merahasikan keterangan tentang pasien (penyakit pasien). Kewajiban dokter ini
menjadi hak pasien. Hak ini merupakan hak individu dari pada pasien.

4. Hak atas pendapat kedua (second opinion), adalah kejasama antara dokter pertama
dengan dokter kedua. Dokter pertama akan memberikan seluruh hasil pekerjaannya
kepada dokter kedua, sehingga dengan keterbukaan dari para pakar, dapat menghasilkan
pendapat yang lebih baik.

5. Hak untuk melihat rekam medik. Pengertian rekam medik yaitu, menurut Pasal 1 (a)
Permenkes No.749/a/1989, "rekam medik adalah berkas yang berisi catatan, dan
dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan
lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.

6. Pasien juga memiliki hak konfidensialitas, yaitu menjamin di depan meja hijau
sekalipun bahwa semua informasi tentang dirinya, keadaan fisik dan penyakitnya,
harus dipercayakan kepada dokter.
3.
4.

5. D. Hubungan Hukum Rumah Sakit, Dokter, dan Pasien


6.

Pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, "berawal dari hubungan hukum antara

dokter dengan pasien dalam bentuk transaksi atau kontrak terapeutik dengan pola hubungan
horizontal kontraktual yang bertumpu pada 2 macam hak asasi, yaitu hak

7.

untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) dan hak atas

informasi (the right to information)"147


8.
9.

10. 1. Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien


11.

Berdasarkan ciri yang ditemukan dalam profesi, pekerjaan dokter

mempunyai ciri khusus antara lain merupakan hubungan yang sangat pribadi karena
didasarkan pada kepercayaan. Kepercayaan antara dokter dengan pasien tidak hanya
didasarkan pada hak-hak dan kewajiban yang timbul dari masing-masing pihak yang diatur
oleh hukum, tetapi kepercayaan tersebut timbul atas dasar nilai-nilai moral yang dimiliki
setiap dokter sebagaimana tertuang dalam KODEKI, khususnya pada Pasal 10 148, 11149, dan
12 tentang Kewajiban Dokter Terhadap Penderita.150

12.

Hubungan hukum antara dokter dengan pasien juga dikemukakan oleh Dassen

13.
14.

151

yang telah mengalami perkembangan sebagai berikut:

15. a. Pasien pergi ke dokter karena merasa ada sesuatu yang membahayakan kesehatannya.
Segi psycho-biologisnya memberikan suatu peringatan bahwa dirinya menderita sakit.
Dalam hal ini dokter dianggap sebagai pribadi yang dapat menolongnya karena
kemampuannya secara ilmiah. Dokter mempunyai kedudukan lebih tinggi dan peranan
yang lebih tinggi daripada pasien.

147 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Medis: Dasar-Dasar Pengembangan di Indonesia, Makalah pada symposium KUHP dan Profesi D
148
Pasal 10 KODEKI berbunyi "Setiap dokter harus senantiasa mengingatkan kewajiban

162.
149 150

16. melindungi hidup mahluk insani".


17. Pasal 11 KODEKI berbunyi "Setiap dokter menghormati hak pasien".

Loc.Cit,

Hendrojono Soewono, hal 53


18. 151 Ibid, hal 55

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

b. Pasien pergi ke dokter, karena mengetahui dirinya sakit dan dokter akan mampu
menyembuhkannya. Dalam hal ini, pasien menganggap kedudukannya sama dengan
dokter, tetapi peranan dokter lebih penting darinya.

c. Pasien pergi ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan yang intensif dan mengobati
penyakit yang ditemukan. Hal ini mungkin diperintahkan oleh pihak ketiga. Dalam hal
ini terjadi pemeriksaan yang bersifat preventif.

19.

Pasien yang datang kepada seorang dokter tentu saja bermaksud

menginginkan jasa profesional dokter dalam rangka memecahkan masalah kesehatan .


Menurut Hermien Hadiati Koeswadji, "apabila dokter bersedia melaksanakan keinginan
pasien, berarti telah terjadi transaksi diantara kedua belah pihak dan kedua belah pihak telah
terikat kepada hubungan atas dasar kesepakatan bersama. Dengan demikian secara yuridis
telah lahir satu jenis perikatan yang didasari kepada atau

20.

152

21. lahirnya dari perjanjian".


22.

Hermien Hadiati Koeswadji mengemukakan bahwa "...dari segi hukum

perikatan, maka isi transaksi terapeutik adalah untuk melakukan sesuatu perbuatan...". dalam
hal ini khusus dalam rangka penyembuhan pasien (curatif). Transaksi terapeutik sebagai
suatu transaksi mengikat dokter dan pasien sebagai para pihak dalam transaksi tersebut,
untuk memenuhi apa yang telah diperjanjikan, yaitu dokter mengupayakan penyembuhan
pasien melalui pencarian terapi yang paling tepat berdasarkan ilmu pengetahuan dan

1.

152

Op.Cit, Hermien Hadiati

pengalaman yang dimilikinya, sedangkan pasien berkewajiban secara jujur menyampaikan


apa yang dikeluhkan agar dapat

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

23.

ditemukan beberapa alternatif pilihan terapi untuk akhirnya pasien memilih terapi

yang paling tepat untuk penyembuhannya.153


24.

Hubungan hukum yang dilandasi saling kepercayaan antara dokter dan

pasien ini telah disebutkan dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia. Walaupun
bagi kedua belah pihak kesembuhan merupakan tujuan akhir dari kontrak terapeutik atau
perjanjian penyembuhan tetapi bukan objek kewajiban dokter yang dapat dituntut oleh
pasien. Perikatan hukum dokter pasien termasuk suatu jenis perikatan hukum yang disebut
inspanningsverbintenis atau perikatan usaha. Artinya, suatu bentuk perikatan yang isi
prestasinya adalah salah satu pihak maka harus berbuat sesuatu secara maksimal dengan
sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya kepada pihak lain. Kewajiban pokok seorang dokter
terhadap pasiennya adalah inspanning, yakni suatu usaha keras dari dokter tersebut yang
harus dijalankan dan yang diperlukan untuk behoud dan menyembuhkan kesehatan dari
pasien. Ukuran sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya bagi dokter dalam hubungan hukum
dokter-pasien adalah standar profesi medis, standar prosedur, dan prinsip-prinsip umum
profesional kedokteran. Hasil dari perlakuan penyembuhan, pemulihan, atau pemeliharaan
kesehatan pasien tidak menjadi kewajiban hukum bagi dokter, melainkan suatu kewajiban
moral belaka dan akibatnya bukan sanksi hukum tetapi sanksi moral dan sosial. 154

2.

153

3.

154

Op.Cit,
Koeswadji, hal.10.

Hermien

Hadiati

Loc.Cit, Adami Chazawi, hal.44-

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

25.

Oleh karena itu terapeutik merupakan suatu perjanjian maka syarat-syarat unuk
sahnya perjanjian sebagaimana dimaksud dalam pasal 1320 KUH Perdata harus
dipenuhi. Dalam pasal 1320 KUHPerdata ditentukan bahwa suatu perjanjian adalah
sah jika memenuhi syarat-syarat yaitu : pertama, kesepakatan mereka yang mengikat
diri; kedua, kecakapan untuk membuat suatu perikatan; ketiga, suatu pokok persoalan
tertentu keempat, suatu sebab yang tidak terlarang. Apabila syarat-syarat perjanjian
yang sah tersebut tidak dipenuhi, berarti terdapat cacat dalam perjanjian itu. Lebih
jelasnya, jika syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal
demi hukum, sedangkan kalau syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi, maka
perjanjian itu dapat dibatalkan.155

26. Kontrak terapeutik terjadi ketika pasien telah memberikan persetujuannya yang
disebut dengan informed consent. Jadi, informed consent adalah persetujuan pasien
untuk dilakukan perawatan atau pengobatan oleh dokter setelah dokter setelah pasien
tersebut diberikan penjelasan yang cukup oleh dokter mengenai berbagai hal, seperti
diagnosis dan terapi. Peraturan Menteri Kesehatan No.585/Men.Kes/Per/IX/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medis, yang memberi batasan tentang informed
consent yang menyatakan bahwa "persetujuan tindakan medis/'informed consent
adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindak medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut". Permenkes
inilah yang menjadi dasar hukum yang

4.

155

Mariam Darus Badrulzam, Komplikasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001),
hal.73-82.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

27.

mewajibkan dokter untuk mendapatkan persetujuan tindak medis dari pasien sebelum

adanya UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.156


28.

Informed consent yang dibuat dalam bentuk tertulis tidak dibuat sendiri oleh

pasien secara bebas. Pasien atau keluarganya tinggal mengisi dan menandatangani blangko
yang telah disediakan oleh pihak rumah sakit, jadi telah diseragamkan. Isinya sudah
ditentukan secara sepihak oleh rumah sakit sebagai standar baku. Kadang tulisan yang telah
tersedia sekadar berupa pernyataan dari pasien atau keluarganya. Akan tetapi, ada juga yang
lebih lengkap dengan menyebutkan bahwa pasien atau kelurganya tidak akan menuntut pihak
rumah sakit atau dokter. Juga ada yang isinya sudah merupakan pemberian kuasa pada rumah
sakit atau dokter untuk melakukan tindakan medis tertentu pada diri pasien. 157

29.

Orang yang berhak memberikan informed consent pada dasarnya adalah

pasien sendiri. Akan tetapi, apabila pasien berada dalam pengampuan, informed consent dapat
diberikan oleh salah satu keluarga terdekat, suami/istri, ibu/ayah kandung, anak-anak
kandung,

atau

saudara-saudara

kandung.

Dalam

keadaan

gawat

darurat,

untuk

menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun setelah pasien sadar atau
dalam kondisi yang memungkinkan, segera diberi penjelasan baru kemudian dibuat
persetujuan (Penjelasan Pasal 45 ayat (1) UU No.29
30.

Tahun 2004).158

5.
6.
7.

156

Op.Cit,
Adami
Chazawi, hal.37
157
Ibid, hal 39
158
Ibid, hal 40.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

31.

Ada kalanya persetujuan tidak mungkin diberi dalam rangka tindakan medis,

misalnya pasien dalam keadaan darurat yang harus diambil tindakan medis untuk
menyelamatkan nyawanya, padahal ia dalam keadaan tidak sadar, identitas diri dan keluarga
tidak diketahui, dalam hal demikian jika dokter atau kepala rumah sakit mengambil tindakan
medis berarti berlaku ketentuan pasal 1354 KUH Perdata, yang lebih dikenal dengan istilah
zaakswaarneming159, dengan segala akibatnya sebagai perikatan yang timbul dari undangundang sebagai perbuatan manusia yang diperbolehkan. Adapun hubungan hukum antara
dokter dengan pasien dalam keadaan seperti ini, menurut Hermien Hadiati Koeswadji dikenal
dengan pola "hubungan hukum vertikal parternalistik".760

32.

Pada dasarnya yang menjadi pihak-pihak dalam transkasi terapeutik adalah

dokter disatu pihak dan pasien dipihak lain. Namun dalam pelaksanaanya melibatkan juga
pihak rumah sakit dimana dokter berkedudukan sebagai pegawai pada sebuah rumah sakit
tersebut.
33.
34.

35. 2. Hubungan Hukum antara Rumah Sakit dan Pasien


36. Hubungan hukum Rumah sakit dengan pasien, menurut Hermien Hadiati Koeswadji
merupakan "Hubungan antara Rumah Sakit sebagai pemberi jasa

8. 159

Pasal 1354 KUHPerdata berbunyi zaakswaarneming ialah "Jika seseorang dengan sukarela
(dengan tidak mendapat perintah untuk itu), mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa
pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta
menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri
urusan itu. Ia menanggung segala kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia kuasakan dengan
suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas". Jadi zaakswaarneming salah bentuk perikatan
hukum yang lahir karena Undang-undang.
9. 160 Op.Cit, Hermien Hadiati Koeswadji, hal.65-66.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

37.

pelayanan kesehatan (health provider) dan pasien sebagai penerima jasa pelayaan

kesehatan (health costumer) yang didasarkan pada suatu perjanjian/kontrak". 161


38.

Ketika pasien datang ke rumah sakit untuk berobat maupun rawat inap maka

sudah terjalin hubungan hukum antara pasien dan rumah sakit, yaitu: 162

1. Perjanjian perawatan, yaitu kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak RS
menyediakan kamar perawatan dan adanya tenaga perawat yang akan melakukan
tindakan perawatan.

2. Perjanjian pelayanan medis, yaitu kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa
tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan
pasien melalui tindakan medis (inspannings verbintennis).

39. Tanggung jawab rumah sakit swasta untuk manajemen rumah sakit dapat diterapkan
dengan Pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata karena rumah sakit swasta sebagai badan
hukum memiliki kekayaan sendiri dan dapat bertindak dalam hukum dan dapat
dituntut seperti halnya manusia.

40.

Dengan demikian, jika dicermati transaksi terapeutik dengan sifat dan ciri-

cirinya yang khas seperti diuraikan diatas, dipandang dari sudut Ilmu Hukum Perjanjian,
dapat dikategorikan sebagai perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst), yaitu
perjanjian yang secara khusus tidak diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam
masyarakat sebagai konsekuensi dari asas kebebasan berkontrak (partij ototnome).

10. 161

Ibid, Wira Chandrawila Supriadi, Hukum


kedokteran, hal.10.

11. 162

Ibid, hal. 15

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

41.

Jika dicermati dari isinya (unsurnya), transaksi terapeutik tersebut, dapat

dikategorikan sebagai perjanjian campuran (contractus sui generis) yaitu perjanjian yang
mengandung berbagai unsur perjanjian, antar lain perjanjian perawatan (seperti kamar
dengan perlengkapannya) dan perjanjian pelayanan medis berupa tindakan medis yang
dilakukan oleh dokter dibantu oleh tenaga kesehatan lainnya.

42.

Rumah sakit merupakan badan hukum yang mempunyai kemandirian untuk

melakukan perbuatan hukum (rechts handeling) karena rumah sakit diberikan kedudukan
oleh hukum sebagai "persoon" yang juga dibebani dengan hak dan kewajiban menurut
hukum. Sebagai subjek hukum inilah Rumah Sakit melibatkan dokter sebagai tenaga
kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun
1996 tentang Tenaga Kesehatan.

43. Mengenai hubungan hukum antara Rumah Sakit dengan dokter menurut Hermien
Hadiati Koeswadji yaitu dokter melakukan pekerjaanya di Rumah Sakit berdasarkan
persetujuan untuk melakukan pekerjaan dengan Rumah Sakit berdasarkan
arbeidsovereenkomst, yaitu persetujuan untuk melakukan pekerjaan dengan syaratsyarat tertentu dengan menerima upah. Syarat-syarat tertentu tersebut dituangkan
dalam deskripsi tugas (job description) yang dibuat oleh Rumah Sakit selaku pihak
yang memberikan pekerjaan (werkgever) dan dokter yang terlibat sebagai penerima
pekerjaan (werknemer). Untuk kasus tertentu pada rumah sakit swasta, maka
hubungan yang sering kali terjadi adalah hubungan yang berdasarkan pada
perjanjian/kontrak yang terjadi adalah hubungan kontrak. Dokter dan Rumah

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

44.

Sakit tidak terikat pada hubungan hukum sebagaimana dimaksud pasal 1601 KUH
Perdata. 163
45.

Adapun hubungan hukum yang terjadi antara dokter dengan Rumah Sakit

Pemerintah tunduk pada ketentuan Hukum Administrasi Negara, sebab dokter yang bekerja
pada Rumah Sakit Pemerintah adalah Pegawai Negeri Sipil. Hal ini sesuai dengan pendapat
Siti Ismijati Janie yang menyatakan bahwa "Perikatan yang diatur oleh Hukum Adnimistrasi
Negeri terjadi apabila dokter tersebut Pegawai Negeri yang bertugas di dalam Rumah Sakit
Pemerintah". 164

46.

47. E. Tanggung Jawab Rumah Sakit


48. 1. Konsep Tanggung Jawab Pelaku Usaha
49.

Masalah tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam hukum

perlindungan konsumen. Untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak konsumen,


diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan
seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. 165 Dalam
kebanyakan sistem hukum, orang mempunyai kewajiban melaksanakan kehati-hatian biasa
dalam melakukan kegiatannya, sehingga dapat menghindarkan kecelakaan atau kerugian
tidak perlu kepada orang lain atau

13.

12.
164

1(53

Ibid, hal.70.
Siti Ismijati Janie, Berbagai Aspek Yuridis di Dalam dan Sekitar Perjanjian

Penyembuhan
(Transaksi terapeutik) Suatu Tinjauan Keperdataan, Makalah Hukum perdata, UGM, Yogyakarta,
hal.30.
165
14.
Op.Cit Shidarta, hal.59.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

50.

hak milik orang. Jika karena kelalaian, seseorang melengket kewajiban, maka ganti
rugi patut dituntut.166

51.

Konsep tanggung jawab hukum merupakan bagian dari konsep kewajiban

hukum. Selain mengemban kewajiban yang harus dilaksanakan terhadap konsumen yang
menggunakan dan/atau memanfaatkan barang dan/atau jasa yang dijualnya. Tanggung jawab
yang diemban pelaku usaha adalah tanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian yang diderita oleh konsumen sebagai akibat dari
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 167 Bentuk kerugian
yang umumnya menimpa konsumen adalah meliputi personal injury, injury to the product
itself/some other property dan pure economic loss.
52.

Seperti yang telah disebutkan di bab sebelumnya, menurut Shidarta ada

beberapa prinsip tanggung jawab dalam hukum seperti kesalahan (liability based on fault);
praduga selalu bertanggung jawab (presumtion of liability); Praduga selalu bertanggung
jawab (presumtion of nonliabilty); tanggung jawab mutlak (strict liability); pembatasan
tanggung jawab (limitation of liability)168
53.

Berikut ini akan dijelaskan prinsip-prinsip tanggung jawab tersebut,

berdasarkan dari beban pembuktian, yaitu:169

15.

166

John W.Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi, (Jakarta: Proyek ELIPS dan
Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 1997), hal.63.
167
16.
Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Perlindungan Konsumen
168
17.
Op.Cit, Shidarta, hal.59.
169
18.
Loc.Cit, Johannes Gunawan, hal.35.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (fault liability/liability based on


fault)

54.

Menurut prinsip ini, setiap pelaku usaha yang melakukan kesalahan dalam

melakukan kegiatan usaha wajib bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian atas
segala kerugian yang timbul dari kesalahan tersebut. Pihak yang menderita kerugian harus
membuktikan kesalahan pelaku usaha. Jadi beban pembuktian ada pada pihak penggugat.
Bukan pada pihak tergugat.

55.

Di Indonesia, prinsip ini terlihat dalam beberapa ketentuan di KUH Perdata,

yaitu Pasal 1365, 1366 dan 1367170. Pasal 1365 KUH Perdata mengharuskan terpenuhinya
empat unsur pokok untuk dapat dimintai pertanggungjawaban hukum dalam perbuatan
melawan hukum, yaitu adanya perbuatan; adanya unsur kesalahan; adanya kerugian yang
diderita; dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dengan kerugian.

2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab (Presumtion of liability principle)


56.

Menurut prinsip ini pelaku usaha dianggap selalu bertanggung jawab atas

setiap kerugian yang timbul dari kegiatan yang dilakukannya, tetapi jika pelaku usaha dapat
membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka pelaku usaha dibebaskan dari kewajiban
membayar ganti kerugian. Yang dimaksud dengan "tidak bersalah" adalah

19.

170

R.Subekti dan R.Tjitrosudibio, Terjemahan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


(Burgelijk Wetboek), (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2001), hal.336.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

57. tidak melakukan kelalaian, telah mengambil tindakan yang perlu untuk menghindari
kerugian, atau peristiwa yang menimbulkan kerugian itu tidak mungkin dihindari.
58.

Jadi beban pembuktian ada pada pihak pelaku usaha. Ketentuan Pasal 22

Undang-undang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa beban pembuktian (ada


tidaknya kesalahan berada pada pelaku usaha dalam perkara pidana pelanggaran Pasal 19
ayat (4), Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-undang Perlindungan Konsumen dengan tidak
menutup kemungkinan bagi jaksa untuk membuktikannya.171
59.
60.

61. 3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab (presumtion of nonliability)
62.

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak

selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat
terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.172
Misalnya pada pelaksanaan pengangkutan, barang yang tidak mempunyai label bagasi
menjadi pengawasan penumpang (konsumen) sedangkan yang menjadi tanggung jawab
pengangkut hanya pada barang yang mempunyai label bagasi saja.

20. 171
21.

Lihat, Pasal 19, Pasal 20 dan 21 Undang-undang Perlindungan


Konsumen
172
Op.Cit, Shidarta, hal.62.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

63. 3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict liability)


64.

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)173 sering diidentikkan dengan

prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability)

174

Setiap produsen harus bertanggung

jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produsen ini
dinamakan dengan tanggung jawab produk (product liability).

65.

Tanggung jawab pelaku usaha atas produknya yang cacat bersifat mutlak.

Dengan penerapan tanggung jawab mutlak itu, produsen langsung dianggap bersalah atas
terjadinya kerugian terhadap konsumen dan wajib memberikan ganti kerugian. Konsumen
dapat langsung meminta ganti kerugian terhadap pelaku usaha apabila barang dan/atau jasa
yang digunakan atau dimanfaatkannya telah menimbulkan kerugian pada diri konsumen.
Pada umumnya berbeda dengan hukum lingkungan dimana berlaku asas pembuktian terbalik,
yaitu pelaku yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah, pada hukum perlindungan
konsumen beban pembuktian tetap berada di tangan konsumen sebagai penuntut. Tetapi untuk
kasus-kasus tertentu dalam hal product liability (tanggung jawab atas produk yang cacat),
hukum perlindungan konsumen memungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik oleh
pelaku usaha.

22.

173

Strict liability adalah prinsip tanggung jawab menetapkan kesalahan sebagai factor yang
menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung
jawab, misalnya keadaan force majeure. Ibid, hal.63
23. 173 Absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

66.

Berkaitan dengan perlindungan konsumen pasal 19 Undang-Undang No.8

Tahun 1999 mengatur tanggung jawab produsen terhadap produk cacat yang dihasilkan atau
diperdagangkannya.
67.
68.

69. 5. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan


70.

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan ini seringkali dilakukan oleh

pelaku usaha untuk membatasi beban tanggung jawab yang seharusnya ditanggung oleh
mereka. Biasanya prinsip ini dibuat oleh pelaku usaha dengan pencantuman klausula
eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. 175 Sebagai contoh dalam perjanjian
pengiriman barang, biasanya dalam bukti penyerahan dikatakan bahwa apabila barang yang
hilang atau mengalami kerusakan (termasuk akibat kesalahan petugas) konsumen hanya
dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali dari biaya pengiriman barang tersebut.

71.

Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan

secara sepihak oleh pelaku usaha. Prinsip ini bertentangan dengan Undang-undang
Perlindungan Konsumen yaitu yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa
pelaku usaha dilarang membuat klausula baku yang menyatakan pengalihan tanggung jawab
yang seharusnya dibebankan pada dirinya.

24. 175

Op.Cit, Shidarta,

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

72. 2. Tanggung jawab Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit 2.a. Pembagian


Beban Tanggung Jawab Berdasarkan Bidang Pelayanan Kesehatan Di Rumah
Sakit

73.

Untuk membahas tentang beban tanggung jawab berdasarkan bidang

pelayanan di rumah sakit. Sebaiknya perlu diketahui tentang keadaan suatu rumah sakit itu.
Yang dimaksud dengan "rumah sakit dalam keadaan statis" adalah peninjauan terhadap
rumah sakit sebagai suatu badan atau institusi secara keseluruhan, sebagai badan kesatuan.
Dalam kaitannya sebagai subjek hukum di dalam tata kehidupan hukum, belum dilihat secara
operasional tindakan masing-masing tenaga kesehatan yang bekerja untuk dan atas nama
rumah sakit.

74. Jika dilihat dari segi yuridis, maka kiranya perlu diterbitkan suatu peraturan pokok
tentang rumah sakit yang terbaru yang mampu mengikuti perkembangan teknologi
kesehatan saat ini. Karena sebelumnya sudah ada, hanya beberapa peraturan saja
sifatnya terpisah-pisah dan telah diterbitkan karena kebutuhan

75.

176

76. insidentil. Misalnya :


1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Kesehatan;
2. Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang disahkan dengan Surat Keputusan Menteri
Kesehatan No.99a/MenKes/III/1982 yang hanya menentukan tugas-tugas pokok rumah
sakit pemerintah dan swasta sebagai komponen SKN, di samping komponen-komponen
lainnya;

2009
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

3. 3. Peraturan Menteri Kesehatan No.920/MenKes/SK/III/1989 yang menentukan beberapa


pokok tentang rumah sakit swasta;

4. 3. Permenkes No.585/MenKes/PER/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik


(Informed Consent) yang mulai berlaku sejak tanggal 3 September 1989. Peraturan ini
sebenarnya termasuk bidang "hukum kedokteran" (medical law) namun juga ada sangkut
pautnya dengan rumah sakit. Pada Pasal 12 dikatakan bahwa rumah sakit ikut
bertanggung jawab terhadap persetujuan medik yang dilaksanakannya di rumah sakit;

5. Permenkes No.749a/1989 yang mengatur tentang Medical Record yang diterjemahkan


dengan Rekam Medis. Peraturan ini penting dipelajari karena medical record merupakan
bukti kita tentang apa yang telah dilakukan di rumah sakit terhadap pasien. Hanya rekam
medis ini belum begitu mendapat perhatian para dokter dan rumah sakit. Tapi jika terjadi
suatu kasus baru akan terasa kepentingannya;

6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b tahun 1988 tentang Rumah Sakit.
5.
6.

7.

Sehubungan dengan pertanggungjawaban di rumah sakit maka tidak akan

terlepas dari beberapa ketentuan yang bersifat umum. Seperti yang diatur dalam KUHP dan
KUH Perdata. Juga ketentuan yang terdapat dalam hukum kesehatan dan hukum kedokteran.
Azas ini antara lain dapat dilihat di dalam KUHAP Pasal 66: "Tersangka atau terdakwa tidak
dibebani kewajiban pembuktian." KUHAP Pasal

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

8.

158: 'Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang

tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa." 177

9.

Timbul pertanyaan: 'bagaimana dengan hukum kedokteran, kepada siapa

terletak beban pembuktian untuk membuktikan? pasiennya atau dokternya atau rumah
sakitnya? Apakah prinsip ini sama dengan Hukum Pidana yang berlaku umum. 178 Pasien
adalah orang awam dalam bidang kedokteran. Bagaimana ia harus bisa memberikan buktibukti bahwa misalnya seorang dokter telah berbuat kelalaian (neglience)! Disini memang
terletak kesulitan pada hukum kedokteran, karena pasien atau pengacaranya umumnya tidak
mengetahui seluk beluk hukum kedokteran. Untuk itu biasanya akan dimintakan pendapatnya
saksi dari profesi kedokteran.

10.

Dalam ketentuan yang dikenal, penggugatlah yang harus membuktikan

bahwa terdapat unsur kesalahan atau kelalaian pada pihak dokternya atau rumah sakitnya.
Namun di dalam hal tertentu, misalnya jika kelalaian seorang dokter sudah sedemikian
jelasnya sehingga seorang awam pun sudah dapat menilainya, maka hal ini merupakan
kebebasan hakim untuk mempersilahkan sang dokter membuktikan ketidaksalahannya.

11.

Bila membahas masalah tanggung jawab rumah sakit, maka perlu juga

diketahui masalah hukum rumah sakit. Menurut Guwandi hukum rumah sakit adalah
"kesemua kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang perumasakitan dan

1.

177

2.

178

Kitab Undang-undang Hukum


Acara Pidana
Op.Cit. J.Guwandi, hal.21.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

12. pemberian pelayanan kesehatan di dalam rumah sakit oleh tenaga kesehatan serta
akibat-akibat hukumnya".

13.

Di dalam suatu organisasi harus ada seorang yang bertanggung jawab secara

keseluruhan, begitu pula di dalam rumah sakit hal ini secara umum dipikul oleh direktur
(kepala rumah sakit) yang oleh pemiliknya diberi wewenang untuk pengelolaannya.
Kemudian timbul pertanyaan siapa saja yang bertanggungjawab di rumah sakit jika terjadi
sesuatu dan terhadap hal apa saja? Siapa yang dapat dituntut apabila terjadi suatu kelalaian
(negligence) I apakah seluruhnya harus dipikulkan kepada kepala rumah sakit? Sudah tentu
tidak semua kesalahan dapat dilimpahkan kepadanya. Karena ia pun tidak mungkin
mengetahui seluruh kejadian atau melakukan pengawasan secara mendetail sikap-tindak para
tenaga mediknya. Di dalam suatu rumah sakit terdapat banyak hal yang diputuskan dalam
masing-masing tingkat dan masing-masing bidang yang dapat dikatakan mempengaruhi
berhasil tidaknya pemberian pelayanan perawatan/pengobatan.

14. Maka dalam garis besar tanggung jawab di rumah sakit jika ditinjau dari sudut
pelakunya dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan:179 Tanggung j awab bidang
Penanggungjawab

1. Bidang Perumahsakitan------------------------> Kepala rumah sakit


2. Bidang Medik-----------------------------------> Masing-masing dokter
3. Bidang Keperawatan-------------------------->
3.

179

Masing-masing Perawat (bidan,

Op.Cit, J.Guwandi, Dokter dan Rumah Sakit,

15.
paramedik)

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

16.
prakteknya

Namun di dalam
tidak

semudah

dan

sesederhana itu. Hal ini disebabkan


karena pada kenyataanya ketiga
kelompok

tanggung

jawab

itu

saling berkaitan dan saling berjalin


satu sama lain.180 Maka seringkali
agak sukar diukur untuk memilahmilah

dan

memberikan

batas

tanggung jawab yang tegas. Siapa


yang diminta tanggung jawabnya,
di dalam suatu peristiwa harus
dilihat secara kasuistis. Tidak dapat
digenalisir karena tergantung pada
banyak faktor, seperti:

1. situasi dan kondisi saat peristiwa itu terjadi;


2. keadaan pasien (pre-existing condition);
3. bukti-bukti yang bisa diajukan (medical record, saksi);
4. apakah sudah dilakukan berdasarkan "standar profesi medik";
5. apakah tidak terdapat kekeliruan dalam penilaian (error of judgement);
6. apakah terjadi pendelegasian wewenang dan apakah pendelegasian tersebut dapat
dibenarkan dalam kasus itu;

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

7. apakah tidak ada unsur kelalaian (neglience) atau kemungkinan adanya unsur
kesengajaan; 5

8. jika ternyata ada unsur kelalaian: siapa yang lalai;


9. apakah tidak ada kesalahan pada pasien itu sendiri karena:
a. tidak menceritakan semua keadaan dirinya dengan kejujurannya;
b. tidak menurut nasihat dokter dan melanggar larangan-larangan dokter/rumah
sakit sehingga memperburuk keadaannya.

4.

180

Roscam Abing HDC, Civil liability in connection with hospital treatment; position of
nurses. BPHN Departemen Kehakiman, 1986. Dalam Guwandi, Ibid, hal.34.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

c. 10. tuntuan hukum yang diajukan ; pidana, perdata, administratif.


d.

Berhubungan dengan pernyataan diatas maka Prof. Picard meyatakan,

seorang pasien mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap dokernya, dan apabila kewajiban


itu tidak dilaksanakan maka pihak dokter (rumah sakit) dapat menolak pemberian ganti rugi
yang diajukan keluarga pasien tersebut. Doktrin ini dikenal dengan Contributy Neglience.181

e.

Sehubungan dengan tanggung jawab di dalam rumah sakit, juga harus dilihat

dari manajemennya karena di dalam rumah sakit pucuk pimpinan dan tanggung jawab
terletak pada kepala rumah sakit (pemerintah, yayasan, atau badan hukum lain) yang
melakukan manajemennya. Perlu juga dipikirkan seberapa jauh dampak hukum (resiko) yang
dapat timbul terhadap manajemen rumah sakit. Siapa yang secara yuridis harus
bertanggungjawab di rumah sakit apabila ada tuntuan hukum, dokter, perawat dan rumah
sakit itu sendiri, berapa besar ganti kerugian.

f.

Apabila tenaga kesehatan di rumah sakit pemerintah melakukan kelalaian

yang mengakibatkan kerugian, maka Departemen Kesehatan dituntut menurut Pasal 1365
KUHPerdata karena pegawai yang bekerja pada rumah sakit pemerintah menjadi pegawai
negeri dan negara sebagai suatu badan hukum dapat dituntut untuk membayar ganti rugi atas
tindakan pegawai negeri yang dalam menjalankan tugasnya merugikan pihak lain. Sedangkan
untuk rumah sakit swasta dapat diterapkan Pasal 1365 dan Pasal 1367 KUHPerdata karena
rumah sakit swasta sebagai badan hukum

a.

181

Ellen I.Picard dan Gerald B Roberston, Legal Liability of Doctors and Hospital in Canada,
Third Edition.(Canada: Carswell, 1984), hal. 234-237.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

g.

memiliki kekayaan sendiri dan dapat bertindak dalam hukum dan dapat dituntut

seperti halnya manusia.182

h.

Kalau ditinjau dari sudut rumah sakit, maka tanggung jawab rumah sakit itu

sendiri meliputi tiga hal yaitu;

1. Tanggung jawab yang berkaitan dengan personalia;


2. Tanggung jawab yang meyangkut sarana dan peralatan.
3. Tanggung jawab yang menyangkut duty of care (kewajiban memberikan perawatan yang
baik).
i.

Menurut Soerjono perbedaan tanggung jawab yang ada disuatu rumah sakit

adalah sebagai berikut:183

1. Tanggung jawab profesional (verantwoordelijkheid, responsibility); dan


2. Tanggung jawab hukum (aansprakelijkheid, liablity, accountability).
j.

Lebih lanjut menurut Soerjono tanggung jawab profesional dokter diatur

dalam Kode Etik Kedokteran dan Hukum Disiplin yang khusus berlaku terhadap anggota
seprofesi. Artinya jika ada pengaduan bahwa seorang dokter telah melakukan malpraktek
atau kelalaian maka ia dapat diperiksa oleh majelis profesinya. 184 Tanggung jawab hukum
adalah misalnya dalam hubungan antara dokter dengan pasien yang dirawatnya, atau antara
rumah sakit dengan pasien rawat inapnya yang dirawat oleh perawat-perawat rumah sakit.
Atau antara rumah sakit dengan tenaga

b.

182

http://els.bappenas.go.id/upload/other/Banyak%20Rumah%20Sakit%20tidak
%20Memilikic. MI.htm.
d. 183
Soejono Soekanto. Segi-segi Hukum dan Kewajiban Pasien, (Bandung: Mandar Maju,
1990), hal.30.
e. 184 Ibid. hal.31

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

k. kesehatannya atau dengan pihak ketiga. Bagi rumah sakit berlaku Kode Etik Rumah
Sakit Indonesia (KODERSI).
l.

Secara umum rumah sakit sebagai suatu kesatuan organisasi atau badan

hukum bertanggung jawab terhadap tindakan para karyawannya jika sampai ada yang
mengakibatkan kerugian kepada orang lain. Hal ini termasuk apa yang dalam ilmu hukum
dinamakan tanggung gugat vicarious liablity atau tanggung gugat seorang majikan terhadap
tindakan atau kesalahan karyawannya. Tanggung jawab rumah sakit terhadap personalia ini
berdasarkan doktrin "Hubungan majikan-karyawan" (Vicarious Liability, atau Respondent
Superior atau Master-servan Relationship, Let the Master Answer) yang terdapat di dalam
kepustakaan hukum.185

m. Hubungan majikan-karyawan berarti pertanggungjawaban seorang majikan terhadap


suatu

tindakan/non-tindakan

(kelalaian)

dari

karyawannya

yang

sampai

mengakibatkan kerugian pada pihak lain. Di Indonesia hal diatur di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1367, jo 1366, 1365. Jika diantara majikan
dan karyawan terdapat hubungan kerja, dalam arti jika karyawan menerima gaji dan
melaksanakan instruksi atasannya (rumah sakit), maka hal ini tidak menimbulkan
kesulitan. Menurut hukum perdata majikan dapat dimintai pertanggungjawabannya
jika sampai menimbulkan kerugian atau cedera pada pasien yang diakibatkan oleh
tindakan dan karyawannya.

f.
g.

185

J.Guwandi. Tindakan Medik dan Tanggungjawab Produk Medik, (Jakarta:FKUI, 1993),

hal.13-15

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

n.

Lebih lanjut dalam Pasal 1367 KUH Perdata menjelaskan bahwa: 186

o.

p.
" Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya sendiri, tetapi juga termasuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungan, atau disebabkan oleh barang-barang yang
berada dibawah pengawasannya".
q.

r.

Pasal 1366 KUH Perdata meyatakan:

s.

t.
"Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau
kurang hati-hati."
u.

v.

Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan:

w.

x. "Tiap perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang oleh karena salah menerbitkan kerugian itu, untuk
menggantikan kerugian tersebut."

y.
z.

Berdasarkan isi Pasal 1365 KUHPerdata diatas jelas bahwa perbuatan

melawan hukum mengandung unsur :187

1. adanya perbuatan,
2. perbuatan tersebut melawan hukum,
3. adanya kerugiaan,
4. adanya kesalahan, dan
5. adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan melawan hukum dengan
akibat yang ditimbulkan.

aa.

Jadi kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang

melawan hukum itu; antara lain kerugian-kerugian dan perbuatan itu harus ada hubungannya
yang langsung; kerugian itu disebabkan karena kesalahan pembuat.

h.

186

Kitab Undang-undang Hukum

Perdata

i.

187

Op.Cit,

R.Subekti

dan

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

ab.

Kesalahan adalah apabila pada pelaku ada kesengajaan atau kealpaan (kelalaian).
Perbuatan melawan hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga dalam
tidak berbuat sesuatu. Dalam KUH Perdata ditentukan pula bahwa setiap orang tidak
saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena perbuatannya
sendiri, tetapi juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orangorang yang ditanggungnya, atau karena barang-barang yang berada dibawah
pengawasannya.188

ac.

Jadi seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum


atas dasar kesalahannya pribadi bahkan atas kesalahan atau kelalaian orang lain yang
berada di bawah pengawasnya (Pasal 1367 KUHPerdata) yaitu : 189

1. orang tua atau wali,


2. majikan dan bawahan,
3. guru atau tukang-tukang,
4. termasuk benda dan hewan-hewan yang berada di bawah pengawasannya.
ad.

Maka berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum menurut hukum perdata

seorang majikan atau rumah sakit dapat diminta pertanggungjawabannya, namun jika
menyangkut masalah pemberian layanan kesehatan di rumah sakit masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Misalnya mengenai tenaga dokter yang terdapat di rumah sakit, masih
harus dilihat dahulu statusnya. Harus dibedakan antara status dokter karyawan (employee)
dan independent contractor (dokter tamu). Perbedaan ini

j.

188

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

ae.

penting, karena seorang independent contractor bekerja secara mandiri dan bebas. Ia

bekerja tidak untuk dan atas nama rumah sakit. Tidak dibawah pengawasaan atau perintah
majikan (rumah sakit) dalam arti cara bagaimana harus melakukan sesuatu. Kecuali jika
sebelumnya ditentukan di dalam suatu perjanjian dan biasanya juga hanya menyangkut halhal dalam garis-garis besar saja, dan tidak ada jam kerja tetap. Seorang dokter tamu hanya
datang ke rumah sakit jika ada pasien pribadinya yang dirawat. Atau seorang dokter tamu ahli
bedah yang datang ke rumah sakit untuk melakukan operasi atas pasien pribadinya.

af.

Lain halnya dengan dokter karyawan rumah sakit yang pada jam kerja harus

datang dan menjalankan tugasnya. Ia terikat kepada dan harus mentaati peraturan kerja
rumah sakit. Ia bertindak untuk dan atas nama rumah sakit. Ia harus melakukan segala
perintah yang diberikan oleh atasannya dan menyediakan waktu tertentu (jam kerja) untuk
pelaksanaan pekerjaannya.
ag.

Sehubungan dengan penjelasan diatas maka dikenal dengan sebutan Doktrin

Captain of the ship.190

ah. 1. Sejak dahulu yang dianut adalah doktrin "captain of the ship" dalam arti bahwa dokter
ahli bedah yang mengepalai dan bertanggung jawab penuh atas segala sesuatu yang
terjadi selama pembedahan berlangsung, termasuk segala tindakan atau kelalaian dari
seluruh tenaga yang membantu.

l.

190

Op.Cit, J.Guwandi,

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

ai. Didalam buku Guwandi ada beberapa ketentuan tentang pembagian beban tanggung
jawab menurut bidang keahlian masing-masing tenaga kesehatan/medik, yaitu:

a. Dokter Ahli Anestesi Doktrin "Captain of the ship" tidak berlaku terhadap dokter ahli
anestesi yang pada umumnya dianggap bertanggung jawab penuh sendiri atas segala
tindakan atau kelalaiannya.

b. Dalam Hubungan Team Ada variasi lain dimana dalam pembedahan ada terdapat suatu
team dokter dengan keahlian masing-masing. Maka ada perubahan dimulai sejak adanya
Nuboer-Arrest (Aresst Hoge Raad tanggal 31 Mei 1968 No.328). Menurut keputusan ini
diartikan "bekerja sama di dalam suatu team" adalah jika kerja sama ini terjadi pada
berbagai ahli bidang masing-masing, sehingga masing ahli bertanggung jawab penuh atas
tindakannya sendiri atau kesalahan masing-masing.

aj.

Ada beberapa negara yang dapat dijadikan contoh tentang penggunaan

Doktrin Vicarious Liablity yaitu191 :

ak. 1. Di Negara Inggris, seorang dokter secara pribadi bertanggung jawab terhadap kerugian
pasien yang disebabkan karena kelalaiannya (neglience). Namun pasien rumah sakit
masih dapat menuntut rumah sakitnya apabila dokter itu sendiri

m.

19

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

al. mempunyai kewajiban merawat (duty of due care) dan tidak dapat mengelakkan diri
dengan memakai tenaga kontrak lepas.

2. Di Belanda, jika pasien itu dirawat di rumah sakit, maka selain dokternya, rumah sakit
juga turut bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu yang merugikan pasien. Hal ini
dilaksanakannya dengan menambahkan satu bab baru pada Burgerlijk Wetboek yang
dinamakan perjanjian tentang pelayanan medik (De overeenkomst in zake geneeskundige
behandeling).

3. Di Amerika Serikat, pendirian tentang hubungan dokter di dalam rumah sakit berdasarkan
doktrin vicarious liability/respondent superior ternyata tidak berbeda. Rumah sakit pada
umumnya dianggap bertanggung jawab terhadap tindakan non tindakan dokter
karyawannya. Hal ini tercermin dalam beberapa yurisprudensi yaitu Bing v. Thuning,
New York.

am.

Apabila seorang profesional yang diperkerjakan oleh rumah sakit telah melakukan

suatu tindakan malpraktik, maka rumah sakit dapat dianggap bertanggung jawab atas doktrin
respondent superior. Di Amerika rumah sakit juga bisa dianggap bertanggung jawab atas
dasar vicorius liability yang ditafsirkan lebih luas, yaitu dengan memakai doktrin ostensible
agency.

an.

Sebagaimana diterangkan di depan tentang doktrin Respondent Superior

(Vicarious Liability), maka rumah sakit dan perawat sebagai karyawan terdapat hubungan
majikan dan karyawan, berdasarkan KUH Perdata pasal 1367 jo 1365,

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

ao. 1366 maka rumah sakit secara perdata bertanggung jawab terhadap kerugian yang
diderita pasien yang disebabkan oleh tindakan atau kelalaian perawatnya.

ap.

Dewasa ini fungsi dan kedudukan rumah sakit telah mengalami perubahan

besar. Rumah sakit tidak hanya menyediakan tempat tidur dan makanan, tetapi juga ditambah
dengan banyak fungsi penunjang: pemberian pelayanan perawatan yang terdidik dan
terampil, prosedur diagnosis yang khusus (ultra-sonograf, CT-scan, MRI, ECG,
echokardografi), perawatan pra dan pasca bedah, pelayanan perawatan intensif (ICU, ICCU),
terapi khusus (ESWL, haemodialisis).
aq.

Makin lama makin banyak fungsi yang dibebankan kepada rumah sakit

dalam memberikan pelayanan perawatan dan pengobatan terhadap pasien. Hal ini tidak
menimbulkan lebih banyak pembebanan tanggung jawab terhadap seluruh tenaga yang
bekerja di rumah sakit, tetapi juga mengakibatkan kecenderungan timbulnya suatu doktrin
yang dinamakan corporate liablity. Doktrin ini sebenarnya tidak lain adalah doktrin
vicarious liabilty yang diperluas. Berbagai tanggung jawab kini disatukan sehingga yang
pertama-tama dianggap bertanggungjawab adalah rumah sakit. 192

ar.

Jadi jelas bahwa rumah sakit sebagai suatu badan atau organisasi hanya bisa

bertindak melalui tenaga-tenaga yang diperkerjakannya. Secara yuridis rumah sakit sebagai
suatu kegiatan dari suatu badan yang bertanggungjawab apabila ada pelayanan cure and care
yang tidak lazim atau dibawah standard. Di dalam rumah sakit yang dimintakan tingkat

n.

192

Op.Cit,

kehati-hatian yang tinggi adalah pada bagian farmasi

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

as.

dan pemberian obat-obatan, termasuk juga pemberian transfusi darah karena

kesalahan bisa membawa akibat yang fatal bagi pasien.


at.

Namun suatu ketentuan bahwa rumah sakit yang mempunyai duty of care

terhadap pasiennya harus menjaga agar fungsi tersebut dijalankan berdasarkan: 193

1. standard profesi medik oleh para dokter;


2. standard profesi keperawatan oleh para perawat;
3. standard profesi kebidanan oleh para bidan;
4. standard profesi lainnya;
5. standard peralatan rumah sakit.
au.

Doktrin respondent superior melihat tanggung jawab itu dari segi pelakunya

yang merupakan karyawan rumah sakit, tetapi yang bertanggungjawab adalah rumah sakitnya
sebagai "Bosnya". Dianggap adanya suatu kelalaian institusi (corporate neglience) yang
akhir-akhir ini berkembang melalui doktrin corporate liability yang ternyata juga melanda
diberbagai negara. Menurut doktrin ini rumah sakit sebagai institusi yang menyediakan diri
untuk memberikan pelayanan perawatan dan pengobatan

(cure and care) juga

bertanggungjawab atas segala peristiwa yang terjadi di rumah sakitnya. Tegasnya yang
pertama-tama bertanggungjawab adalah rumah sakitnya dahulu, namun bila ada
kesalahan/kelalaian yang tidak wajar dilakukan oleh seorang dokter, bisa saja rumah sakit
kemudian menggunakan hak regresnya (memerintahkan digantikan lagi) kepada dokternya.
Kadangkala langsung kedua-

o.

193

Levey dan Loomba, 1973. Dalam Azrul Azwar, Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan,
(Jakarta: Sinar Harapan, 1996), hal.12

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

av. duanya, rumah sakit dan dokter sekaligus dituntut. Alasan lain dari timbulnya doktrin
corporate liability adalah bahwa pasien tidak bisa mengetahui yang mana dokter
karyawan dan yang mana hanya dokter tamu yang diberi izin untuk merawat pasien
pribadinya dan mempergunakan fasilitas rumah sakit.
aw.
ax.

ay. 2. Prinsip Tanggung Jawab Rumah Sakit sebagai Pelaku Usaha di Bidang Jasa
Pelayanan Kesehatan

az.

Setiap orang berhak dan wajib mendapatkan kesehatan dalam derajat yang

optimal. Itu sebabnya, peningkatan derajat kesehatan harus terus menerus diupayakan untuk
memenuhi hidup yang sehat. Pernahkah konsumen atau pasien berpikir ke dokter atau ke
rumah sakit walaupun tidak merasa sakit, demi memperbaiki mutu kesehatan? Atau
pernahkah konsumen malah menjadi sakit setelah ke dokter atau ke rumah sakit? 194 Dan
ingatlah bahwa dokter adalah penolong dalam bidang kesehatan, mereka telah bersumpah
tidak akan membahayakan pasiennya. Pergi ke dokter adalah

ba.

195

bb. tempat untuk sembuh.


bc. Berhubungan dengan masalah tanggung jawab, dalam Pasal 53 ayat (4) UndangUndang Kesehatan mengamatkan dibentuknya Peraturan Pemerintah tentang Standar
Profesi. Ketiadaan standard profesi medik ini menyebabkan adanya rasa tidak aman
di kalangan dokter di dalam menjalankan profesi/pekerjaannya sebaliknya pasien
merasakan belum adanya jaminan pelayanan kesehatan yang standard.

p.
q.
r.

Op. Cit, Yusuf Shopie, hal.110


Charles Moser, Perawatan Kesehatan Tanpa Rasa Malu, (Jakarta:Pustakarya,

195

1999),
hal.xi

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

bd.

Sedangkan sistem pertanggungjawaban rumah sakit didasarkan pada konsep


corporation liability. Seperti yang telah disebutkan diatas, konstruksi hukum perdata
pada ketentuan pasal 1366 jo 1367 KUH Perdata berlaku dalam hubungan
kepala/direktur rumah sakit dengan para tenaga kesehatan. 196

be. Jaminan yang diberikan Pasal 55 Undang-Undang Kesehatan akan sekedar huruf
mati kalau tidak diikuti deregulasi doktrin perbuatan melawan hukum (Pasal 1365
KUH Perdata). Untuk kepentingan si pasien atau konsumen yang hanya dapat
menuntut ganti rugi berdasarkan ketentuan ini. Ia harus membuktikan unsur-unsur
perbuatan melawan hukum:

a. adanya perbuatan melawan hukum oleh pengelola atau penyedia jasa kesehatan;
b. adanya kesalahan atau kelalaian pengelola atau jasa kesehatan;
c. adanya kerugian yang dialami konsumen/pasien;
d. adanya hubungan kausalitas (sebab-akibat) antara perbuatan melawan hukum dengan
kerugian.

bf.

Jika dibandingkan dengan doktrin liability, penggugat tidak perlu

membuktikan unsur kedua tersebut. Ada tidak unsur itu pada kasus yang bersangkutan
menjadi kewajiban pengelola atau penyedia jasa layanan kesehatan.

197

Tergugat dianggap

telah bersalah, kecuali ia mampu membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan kelalaian
atau kesalahan.

s.
t.

1%

Op. Cit, Yusuf Shofie, hal. 113.


Johannes Gunawan, "Product liability" dalam Hukum Bisnis Indoneisa, orasi Pada dies
natalis XIX Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Januari 1994.
197

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

bg.

Hendaknya disadari bahwa pengajuan tuntutan ganti kerugian bukanlah

untuk mencari-cari kesalahan atau kelalaian penyedia jasa kesehatan. Kita mencoba
menyelami perspektif rasa keadilan (perasaan) si korban atau pihak orang tua korban yang
menyaksikan anak atau bapak mereka tergolek seumur hidup.
bh.

Tanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian oleh pelaku usaha, dapat
diwujudkan dengan pengembalian uang, atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 198 Pemberian
ganti kerugian tersebut dilaksanakan dalam waktu tenggang waktu 7 hari setelah
tanggal transaksi.199 Tetapi pemberian ganti kerugian tersebut tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai
adanya unsur kesalahan.200

bi. Mengingat bahwa rumah sakit juga dapat dikategorikan sebagai pelaku usaha,
berdasarkan Pasal 61 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
dinyatakan bahwa: "Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha
dan/atau pengurusnya".

bj.

Lebih lanjut Pasal 62 ayat (3) menyatakan bahwa :

bk.
"Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat
tetap, atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku."

u.
v.

198

Lihat Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Perlindungan


Konsumen
199
Pasal 19 ayat (3) Undang-undang Perlindungan
Konsumen

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

bl.

Dari ketentuan Pasal 61 dan Pasal 62 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen

tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa rumah sakit sebagai pelaku usaha yang memberikan
jasa pelayanan kesehatan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atau dengan kata lain
merupakan subyek hukum dalam lalu lintas hukum pidana.
bm.

Untuk itu ada beberapa tipe rumah sakit yang pada dasarnya dapat

dikelompokkan ke dalam tiga hal yang prinsipil, yaitu :201

1. Didasarkan pada kepemilikannya (ownership);


2. Didasarkan pada lamanya waktu tinggal (length of stay);
3. Didasarkan pada j enis pelayanan yang diberikan (type of service provided)
bn.

Dari beberapa penjelasan diatas maka prinsip pertanggungjawaban rumah

sakit ini dapat dibedakan dalam dua hal yaitu berdasarkan doktrin strict liability, corporate
liability dan juga vicarious liability. Pertanggungjawaban rumah sakit berdasarkan asas strict
liability dapat dibedakan karena defective products dan injuries suffered by the patients.202
bo.

Sifat dasar dari pertanggungjawaban rumah sakit dapat dikemukakan sebagai

berikut:203

bp. a. Supplies, medication and food (peralatan rumah sakit, persediaan, pengobatan dan
makanan);

x. Hermin Hadiati, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1992), hal.61.
202
y.
Op.Cit, J.Guwandi, hal.98.
203
z.
Ibid

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

bq. Menurut sifat dasar dari rumah sakit bertanggungjawab terhadap peralatan yang
dipergunakan, persediaan obat dan makanan yang memadai sesuai standard pelayanan
yang baik

b. Hospital environment (lingkungan rumah sakit);


br. Lingkungan rumah sakit yang harus diperhatikan, karena lingkungan rumah sakit yang
sehat akan sangat berpengaruh terhadap upaya penyembuhan penyakit pasien.

c. Safety Procedure (prosedur yang aman);


bs. Rumah sakit harus melakukan prosedur-prosedur operasional yang berkaitan dengan
pelayanan media yang dilakukan memberikan rasa aman kepada pasien dengan peralatan
yang baik dan standar,

d. Selection retention of employees and confernal of staff previlage (seleksi dan kemampuan
pekerja serta memberikan perlindungan kepada staff);

bt. Rumah sakit melakukan seleksi kepada pekerja berdasarkan kemampuan sehingga
memberikan pelayanan kesehatan yang baik. Disamping rumah sakit harus memberikan
perlindungan kepada pegawainya yang telah melaksanakan kewajibannya dengan
memberikan pelayanan medis dengan baik.

e. Responsibilty for supervision of patient care (bertanggungjawab untuk mengawasi


perawatan pasien);

bu. Rumah sakit bertanggung jawab dengan melakukan pengawasan terhadap berbagai
tindakan medis dalam rangka perawatan terhadap pasien.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

bv.

Tugas rumah sakit adalah memberikan pelayanan kesehatan dengan

mengutamakan kegiatan penyembuhan penderita dan pemulihan keadaan cacat badan


dan jiwa yang dilakukan secara terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta
melakukan upaya rujukan. Dari penjelesan yang telah diuraikan penulis dan dengan
memperhatikan pendapat Joseph H.King, tentang dua sistem pertanggungjawaban
korporasi, maka rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan medis yang dapat
mengakibatkan kerugian kepada pasien dapat dikonstruksikan sebagai berikut: 1

bw. 1. Pertanggungj awaban berdasarkan vicarious liability.


bx. Doktrin ini mengandung arti, bahwa seorang majikan bertanggungjawab atas
kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh orang-orang/karyawan yang berada di bawah
pengawasannya. Latar belakang dasar pemikiran ini adalah bahwa tak akan mungkin atau
setidak-tidaknya sangat sulit untuk memperoleh ganti kerugian kepada karyawan

aa. Dalam konteks hukum kedokteran, doktrin

vicarious liability

ini timbul secara

khusus dalam doktrin captain of the ship yang berlaku terhadap dokter spesialis
yang melakukan tindakan medis tertentu di suatu rumah sakit. Ia dianggap
bertanggungjawab atas kesalahan atau kelalaian para staff pembantunya,
termasuk penata rontgen dan perawat. Dalam hal ini tenaga medis sebagai
borrowed servant kepada dokter spesialis tersebut, walaupun paramedis tersebut
secara struktural adalah tenaga organik yang digaji oleh rumah sakit.

tersebut.

1 Ibid
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

by. 2. Pertanggungjawaban berdasarkan strict liability.


bz. Doktrin ini mengandung arti bahwa pertanggungjawaban tanpa memperhatikan
adanya pembuktian unsur kesalahan dari pelaku usaha, yang paling penting bahwa
tindakan yang dilakukan itu telah menimbulkan kerugian pasien baik cacat fisik atau
mati.

ca. Rumah sakit juga dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan asas ini apabila dalam
melakukan tindakan medis tertentu tersebut peralatan yang dipergunakan tidak dalam
keadaan standard, sehingga akan menimbulkan kerugian pada pasien tanpa harus
dibuktikan adanya kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit
tersebut.

cb.

Sehubungan dengan kasus yang terjadi pada Oktober 2007 yang telah

disinggung pada Bab I tepatnya di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan. Dalam kasus ini
rumah sakit digugat oleh pasien karna masalah pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai
dengan standar pelayanan kesehatan. Namun disayangkan bahwa pihak manajemen Rumah
Sakit Santa Elisabeth tidak bersedia untuk dilakukan wawancara berkaitan kasus ini dengan
alasan bahwa berdasarkan keputusan direksi rumah sakit, penelitian/penelusuran lebih lanjut
mengenai kasus yang diselesaikan oleh Badan penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Medan ini tidak dapat dikabulkan2.

cc.

Dari uraian di atas, maka rumah sakit sebagai suatu badan hukum dapat

dimintai pertanggungjawabannya sebagai pelaku usaha yang dalam hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU No.8 Tahun 1999, yaitu :

2 Tanggapan permohonan izin penelitian Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan, 8 Juni 2009.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

cd.

"Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum begara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha berbagai bidang ekonomi".
Maka rumah sakit sebagai pelaku usaha di bidang pelayanan kesehatan, tunduk

ce. kepada ketentuan Pasal 19 UU No.8 Tahun 1999 yang mengatur tentang tanggung
cf. jawab sebagai pelaku usaha. Jadi rumah sakit sebagai pelaku usaha
cg. bertanggungjawab untuk memberikan ganti rugi atas kerugian yang dirasakan oleh
ch. pasien sebagai akibat buruknya pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan pada
ci. rumah sakit tempat mereka bekerja.

cj.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

ck. BAB III


cl.

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (PASIEN)


DI RUMAH SAKIT

cm.

cn. A. Ketentuan Umum Tentang Penyelesaian Sengketa Konsumen


co.

Pada dasarnya tidak seorang pun yang menginginkan adanya atau terjadinya

sengketa dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu tujuan perlindungan konsumen di Indonesia
adalah untuk meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen.3

cp.

Hak konsumen diantaranya adalah hak untuk mendapatkan advokasi,

perlindungan dan/atau upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.


Dalam rangka menjamin penegakan dan pelaksanaan hak konsumen tersebut di atas, UndangUndang Perlindungan Konsumen telah mengatur perihal penyelesaian sengketa konsumen
dalam bab khusus, yaitu Bab X dengan "Penyelesaian Sengketa" dari Pasal 45 sampai dengan
Pasal 48. Penegakan hukum perlindungan konsumen, terutama yang menyangkut hak-hak
konsumen, sangat berkaitan erat dengan sarana yang dapat digunakan untuk mempertahankan
dan melindungi hak-hak konsumen tersebut khususnya apabila terjadi sengketa antara
konsumen dengan pelaku usaha.
cq.

Menurut ketentuan Pasal 45 ayat (1) UUPK dapat diketahui bahwa untuk

menyelesaikan sengketa konsumen, terdapat 2 pilihan, yaitu : 4

3 Pasal 3 butir (c) Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
4 Loc.Cit, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, hal.224.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

1. Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha;

2. Melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.


cr.

Pasal 45 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa penyelesaian sengketa

konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan
sukarela para pihak yang bersengketa. Penjelesan pasal tersebut pada dasarnya menegaskan
bahwa penyelesaian sengketa konsumen yang dimaksud di sini tidak menutup kemungkinan
penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan
untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
Sedangkan yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa secara damai adalah penyelesaian
yang dilakukan oleh kedua pihak yang bersengketa tanpa melalui pengadilan atau Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

cs.

Jadi ada dua hal yang terkandung dalam rumusan Pasal 45 ayat (2) UUPK,

ct.
cu.

208

yaitu:

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

cv. 1. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan dan diluar
ab. Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan dilingkup peradilan umum.
Dalam menyelesaikan sengketa di pengadilan, para pihak yang bersengketa
diberikan berbagai upaya hukum, baik yang bersifat biasa maupun yang bersifat
luar biasa, dalam rangka mempertahankan dan/atau melindungi kepentingannya.
Selain itu, 208 Ibid, hal.226.

pengadilan.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

cw. lembaga peradilan memiliki tingkat-tingkatan tertentu dalam memeriksa dan


memutus suatu perkara atau sengketa, mulai dari tingkat pertama di Pengadilan
Negeri, selanjutnya di tingkat banding pada Pengadilan Tinggi dan terakhir di tingkat
kasasi dan peninjauan kembali pada Mahkamah Agung. Adanya berbagai upaya
hokum dan tingkatan tersebut, ditambah lagi dengan biaya yang tidak sedikit,
membuat lembaga peradilan menjadi kurang atau tidak efektif dan memakan waktu
serta biaya yang cukup besar. Dalam penyelesaian sengketa di pengadilan, prinsipnya
gugatan/tuntutan perdata yang diajukan ke pengadilan tidak memerlukan persetujuan
dari pihak tergugat. 2. Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan berdasarkan
pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Apakah yang dimaksud dengan pilihan
sukarela para pihak yang bersengketa dan apakah penentuan lembaga atau badan
yang akan menyelesaikan suatu sengketa harus didasarkan atas persetujuan atau
kesepakatan para pihak (konsumen dan pelaku usaha), dimana bila salah satu pihak
menolak atau tidak setuju, maka lembaga yang dipilih oleh pihak lain itu tidak
berwenang

menyelesaikan

sengketa

tersebut,

tetapi

undang-undang

tidak

menjelaskan hal tersebut diatas. Akhirnya, mulai dikembangkan berbagai lembaga


atau sistem penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dapat menyelesaikan
suatu sengketa secara lebih efektif, sederhana, cepat dan biaya yang relatif lebih
ringan. Lembaga pertama yang terbentuk adalah lembaga arbitrase, yang kemudian
berkembang lagi berbagai bentuk dari alternatif penyelesaian sengketa, seperti

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

cx.

konsiliasi, mediasi, dan lain sebagainya. 5 Lembaga seperti itulah yang akan
digunakan oleh BPSK dalam menangani dan menyelesaikan sengketa antara
konsumen dengan pelaku usaha. Namun, lembaga alternatif penyelesaian sengketa
(Alternative Dispute Resolution/ ADR) ini hanya dapat diterapkan dalam lingkungan
hukum perdata dan tidak berlaku dalam lingkungan hukum pidana. 6 Pihak konsumen
yang diberi hak mengajukan gugatan menurut Pasal 46 UUPK adalah: 7

1) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;


2) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
3) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

4) Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak
sedikit.

5 Yahya Harahap, Berbagai Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, cet.I (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1997), hal.225-230.

6 Mas Achmad Santosa, "Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen", (Makalah disampaikan pada Diskusi
Sehari: Kesiapan Lembaga Yuridis dalam pemberlakuan UUPK, Jakarta, September 1999), hal.2

7 Pasal 46 Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.


Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

5) Jika dilihat secara individual, nilai perkara antara konsumen dengan pelaku
usaha sangat kecil, tetapi secara komunal kegiatan kerugian yang ditimbulkan sangat
besar. Dalam kaitan dengan karakteristik ini, maka proses beracara dalam hukum
perlindungan konsumen mengenal antara lain adanya : a. Small Claim
6)

Sistem peradilan yang ada dewasa ini, belum dapat mengakomodasi

sengketa-sengketa yang nilai nominal kasusnya relatif kecil, termasuk sengketa konsumen.
Untuk itu, alternatif yang dapat ditempuh adalah dengan diperkenalkannya small claim court
dalam dunia peradilan di Indonesia. Secara sederhana, small claim court dapat didefenisikan
sebagai peradilan kilat, dengan hakim tunggal, prosedurnya sederhana, tidak ada keharusan
menggunakan pengacara, tidak ada upaya banding dan biaya ringan. 8
7)

Small Claim adalah jenis gugatan yang diajukan oleh konsumen, sekalipun

dilihat secara ekonomis, nilai gugatannya sangat kecil. Ada 3 alasan mengapa small claim
diizinkan dalam perkara konsumen yaitu :9

1) Kepentingan dari pihak penggugat (konsumen) tidak dapat diukur semata-mata dari nilai
uang kerugiannya,

2) Keyakinan bahwa pintu keadaan seharusnya terbuka bagi siapa saja, termasuk para
konsumen kecil dan miskin,

8 Erman Rajagukguk,dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung : Mandar Maju,2000), ha2l1.366.


9 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,2008), hal.198.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

3) 3) Untuk menjaga integritas badan-badan peradilan.


4)

Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, dibentuk satu unit yang

disebut Badan Perlindungan Konsumen Nasional, yang tidak memiliki kewenangan untuk
menggugat mewakili konsumen. Perwakilan untuk menampung gugatan-gugatan bernilai
kecil ini justru diserahkan kepada kelompok atau lembaga swadaya masyarakat yang disebut
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM). 10
5)
6)

7) b. Class Action
8)

Gugatan Perwakilan Kelompok atau Class Action adalah suatu tata cara

pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan
gugatan untuk diri atau diri mereka sendiri sekaligus mewakili sekelompok orang yang
jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok
atau anggota kelompok dimaksud.11

9)

Selain itu, ada juga yang memberikan pengertian bahwa class action hanya

sebagai suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan yang sejenis untuk
bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien. Dan, seseorang yang akan turut
serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada

10 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004),
hal.65.

11 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: FH
Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004), hal.211.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

10)

perwakilan. Untuk class action ini keterlibatan pengadilan sangat besar karena setiap
perwakilan untuk dapat maju ke pengadilan dengan memperhatikan: 12

1) class action merupakan tindakan yang paling baik untuk mengajukan gugatan,
2) mempunyai kesamaan tipe tuntutan yang sama,
3) penggugat sangat banyak, dan
4) perwakilan layak/patut. Saat ini di Indonesia, masyarakat sudah dapat mengajukan
gugatan dengan
11)

prosedur class action yang oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002
disebut dengan nama "gugatan perwakilan kelompok". Peraturan Mahkamah Agung
tersebut mengartikan class action sebagai suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam
mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri
sendiri atau mewakili kelompok untuk mengajukan gugatan bagi diri mereka sendiri
dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki
kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok
dimaksud.13

12)

Dahulu, seandainya gugatan ganti rugi dikabulkan dan putusan pengadilan

telah mempunyai kekuatan hukum tetap, hanya kepada korban yang secara formal yang ikut
menggugat yang akan mendapatkan ganti rugi. Sedangkan korban lain yang tidak ikut
menggugat, untuk mendapatkan ganti rugi, harus mengajukan gugatan baru.

12 Op.Cit, Erman Rajagukguk,dkk, hal.72.


13 Ibid, hal.67.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

13)

Maka dari itu ada gugatan kelompok dalam sistem peradilan Indonesia. Dengan
gugatan kelompok, terhadap mempunyai kekuatan hukum tetap, pihak korban
dimenangkan, maka korban lainnya yang secara formal tidak mengajukan gugatan
berdasar kepada putusan tersebut, langsung dapat meminta ganti rugi, tanpa harus
mengajukan gugatan baru.14
14)

Dalam Pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2002, ditentukan suatu perkara gugatan

hanya dapat diajukan dengan menggunakan prosedur gugatan perwakilan kelompok atau
class action apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: 15

1) Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien
apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu
gugatan.

2) Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang
bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok
dengan anggota kelompoknya.

3) Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan


anggota kelompok yang diwakilinya.

4) Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian


pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya.

14 Ibid, hal.66.
15 Pasal 2 PERMA No.1 Tahun 2002
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

5)

Umumnya class action wajib memenuhi 4 syarat sebagaimana juga

ditetapkan dalam Pasal 23 US Federal Rule of Civil Procedure. Syarat itu sebagai
berikut :16

1. Numerosity
6) Maksudnya, jumlah penggugat harus cukup banyak. Jika diajukan secara sendiri-sendiri
tidak lagi mencerminkan proses beracara yang efisien.

2. Commonality
7) Artinya, adanya kesamaan soal hukum (question of law) dan fakta (question of fact)
antara pihak yang diwakilkan (class members) dan pihak yang mewakilinya

8) (class representative).
3. Typicality
9) Adanya kesamaan jenis tuntutan hukum dasar dan dasar pembelaan yang digunakan
antara class members dan class representative.

4. Adequacy of representation Kelayakan class representative dalam mewakili kepentingan


class action. Ukuran kelayakan ini diserahkan kepada penilaian hakim.

10) Adapun manfaat menggunakan gugatan perwakilan kelompok (class action)


11)

ialah:17

1. Supaya proses perkara lebih ekonomis dan biaya lebih efisien.


2. Memberikan akses pada keadilan sehingga mengurangi hambatan-hambatan bagi
penggugat individual yang pada umumnya berposisi lemah.

16222210 Op.Cit, Shidarta, hal.67.


17 Susanti Adi Nugroho, Naskah Akademis Gugatan Perwakilan Kelompok, (Jakarta: Puslitbang Hukum dan
Peradilan Mahkamah Agung RI, 2003), hal.95.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

3. 3. Merubah sikap pelaku pelanggaran dan menumbuhkan sikap jerah bagi mereka yang
berpotensi untuk merugikan kepentingan masyarakat luas.
4.

Yang menjadi landasan hukum pengaturan gugatan perwakilan kelompok (class


action) ialah:18

1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup


2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
5.
6.

7. c.

Legal Standing

8.

Selain gugatan kelompok (class action), UUPK juga menerima kemungkinan

proses beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal standing. Subjek
penggugat, yaitu: Organisasi non-pernerintah/Ornop (nongovernmental organizations,
disingkat NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang
perlindungan konsumen. Rumusan legal standing dalam UUPK ditemukan dalam Pasal 46
ayat (1) huruf (c): "Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran menyebutkan
dengan tegas, tujuan didirikannya organisasi tersebut untuk kepentingan perlindungan
konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. 19

18223 Ibid, hal.95.


19 Pasal 46 ayat (1) huruf (c) Undang-undang No.8 Tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

9.

Untuk memilih legal standing tersebut LPKSM yang menjadi wakil

konsumen dilarang berstatus sebagai korban dalam perkara yang diajukan. Inilah perbedaan
pokok antara gugatan berdasarkan class action dengan NGO's legal standing. Oleh karena
itu, unsur commonality dan typicality tidak dipersyaratkan dalam NGO's legal standing.
Selanjutnya, syarat adequacy of representative dalam NGO's legal standing tidak lagi
diserahkan sepenuhnya kepada penilaian hakim, melainkan ada kondisi objektif, yaitu harus
memenuhi ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf(c) UUPK. 20

10.

11. B. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Pengadilan


12.

Pengadilan merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang telah lama

dikenal oleh masyarakat. Dasar hukum dibentuknya lembaga ini di Indonesia adalah UUD
1945 Pasal 24. Kemudian untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal
24 UUD 1945 itu diundangkanlah UU No. 14 Tahun 1970

13.

tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian dirubah dengan UU No.3 5

Tahun 1999. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman,
ditegaskan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan
peradilan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima,
memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

20 Op.Cit, hal.70.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

14.

Dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa konsumen atau sengketa

perlindungan konsumen melalui badan peradilan, lingkungan peradilan berwenang untuk


memeriksa dan mengadili sengketa konsumen yaitu peradilan umum diatur dalam UU No.2
tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam
Pasal 48 UUPK yang menentukan bahwa penyelesaian sengketa konsumen melalui
pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan
memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45 UUPK. Penunjukan Pasal 45 UUPK lebih banyak
tertuju pada ayat (4), yang artinya penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan
hanya dimungkinkan apabila :21

1. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,
atau;

2. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil


oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

15.
16.

Secara umum dikemukakan berbagai kritikan terhadap penyelesaian sengketa

melalui peradilan umum yaitu karena :22

17. 1. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat;


18. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang pada umumnya lambat atau disebut
buang waktu lama diakibatkan oleh proses pemeriksaan yang sangat

21 Op. Cit, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, hal.234.


22 Ibid, hal.235-236
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

19. formalistik dan sangat teknis. Di samping itu, arus perkara yang semakin deras
mengakibatkan pengadilan dibebani dengan beban yang terlampau banyak.

2. Biaya perkara yang mahal


20. Biaya perkara dalam proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan dirasakan
sangat mahal, lebih-lebih jika dikaitkan dengan lamanya penyelesaian sengketa, karena
semakin lama penyelesaian sengketa, semakin banyak pula biaya yang harus dikeluarkan.
Biaya ini akan semakin bertambah jika diperhitungkan biaya pengacara yang juga tidak
sedikit.

3. Pengadilan pada umumnya tidak responsif


21. Tidak responsif atau tidak tanggapnya pengadilan dapat dari kurang tanggapnya
pengadilan dalam membela dan melindungi kepentingan umum. Demikian pula
pengadilan dianggap sering berlaku tidak adil, karena hanya memberi pelayanan dan
kesempatan serta keleluasaan kepada "lembaga besar" atau "orang kaya". Dengan
demikian, timbul kritikan yang menyatakan bahwa "hukum menindas orang miskin", tapi
"orang berduit mengatur hukum".

4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah


22. Putusan pengadilan dianggap tidak menyelesaikan masalah, bahkan dianggap
semakin memperumit masalah karena secara objektif putusan pengadilan tidak mampu
memuaskan, serta tidak mampu memberikan kedamaian dan ketentraman para pihak.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

23. 5. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis


24. Para hakim dianggap mempunyai kemampuan terbatas, terutama dalam abad iptek
dan globalisasi sekarang, karena pengetahuan yang dimiliki hanya di bidang hukum,
sedangkan di luar itu pengetahuannya bersifat umum, bahkan awam. Dengan demikian,
sangat mustahil mampu menyelesaikan sengketa yang mengandung kompleksitas
berbagai bidang.

25.

Jadi berdasarkan kritikan tersebut, timbul usaha-usaha untuk memperbaiki

sistem peradilan, tapi usaha yang demikian tidak mudah, karena dalam memperbaiki sistem
peradilan, terlalu banyak aspek yang akan diselesaikan dan terlalu banyak yang akan
dilindungi, sementara kepentingan tersebut pada umumnya bertentangan.

26.

Sengketa konsumen merupakan perselisihan antara warga masyarakat yang

satu dengan warga masyarakat yang lain, yang mana sengketa seperti itu menjadi
kewenangan dari peradilan umum. Perihal prosedur atau tata cara penyelesaian sengketa
konsumen, melalui pengadilan diatur dan tercantum dalam hukum acara perdata. Dengan
demikian, prosedur atau hukum acara yang berlaku dalam penyelesaian sengketa konsumen
melalui pengadilan pada prinsipnya adalah semua ketentuan yang berlaku dalam hukum
acara perdata di Indonesia dalam HIR Pasal 163, Pasal 1865 KUH Perdata kecuali telah
diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Perihal pengecualian ini dimungkinkan
berdasarkan satu prinsip atau asas yang menyatakan bahwa suatu undang-undang yang
bersifat khusus menyampingkan

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

27. undang-undang yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis)23 Adapun
pengecualian-pengecualian terhadap asas ini adalah :

1. Gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat kedudukan konsumen; Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 23 UUPK yang pada intinya menyatakan bahwa pelaku usaha
dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan
peradilan di tempat kedudukan konsumen.

2. Beban pembuktian;
28. Dalam penyelesaian sengketa konsumen, undang-undang telah memberikan
penegasan pihak mana yang akan memikul beban pembuktian. Pasal 28 UUPK
menyatakan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 23 UUPK merupakan beban dan tanggung
jawab pelaku usaha. Dengan demikian pelaku usahalah yang diwajibkan membuktikan
bahwa ia tidak bersalah.

3. Gugatan kelompok;
29. UUPK mengatur Lembaga Class Action dalam Pasal 46 ayat (1) butir b,
yang pada intinya menyatakan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat
dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.

23221 Purbacaraka dan Soekanto, Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, cet.IV (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1993), hal.8.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

30. C. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar Pengadilan


31.

Pasal 47 UUPK menyatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya


ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulang kembali
kerugian yang diderita oleh konsumen.24
32.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang lebih dikenal dengan

Alternative Dispute Resolution (ADR) dapat ditempuh dengan berbagai cara. ADR tersebut
dapat berupa arbitrase, mediasi, konsiliasi, minitrial, summary jury trial, settlement
conference serta bentuk lainnya. Sedangkan dalam Pasal 1 Undang-undang No.30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase dibedakan dari
alternative penyelesaian sengketa, karena yang termasuk dalam alternatif penyelesaian
sengketa hanya konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli. 25

33.

Alternatif penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan cara: 26 1.

Konsiliasi

34. Pasal 1 angka (9) Kepmen Deperindag No.350/MPP/Kep/12/2001 menjelaskan


bahwa konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan
dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan pihak yang bersengketa, dan
penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Penyelesaian dengan cara ini
dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan

24 Pasal 47 Undang-undang Perlindungan Konsumen.


25 Op.Cit, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, hal.233.
26 Op.Cit, Celina Tri Siwi Kristiyanti, hal.199.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

35.

didampingi oleh majelis yang bertindak pasif sebagai konsiliator (Pasal 5

ayat (1) Kepmen ini).27


36.

Sebagai pemerantara antara pihak yang bersengketa, majelis BPSK bertugas

(Pasal 28 SK Menperidag No.350/MPP/Kep/12/2001):28

a. Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;


b. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;
c. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa
d. Menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan perundangundangan di bidang perlindungan konsumen.
37.

Prinsip tata cara Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara

konsiliasi, berdasarkan Pasal 29 SK Menperindag No.350/MPP/Kep/12/2001, terdiri atas: 29

38.

a. Proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun

jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan majelis BPSK

39.

bertindak pasif sebagai konsiliator. b. Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha

dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK.

27 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep/12/2001


28 Ibid
29 Ibid
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

40. 2. Mediasi
41.

Penyelesaian sengketa dengan cara mediasi berdasarkan Pasal 1 angka (10)

Kepmen Deperindag No.350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pengangkatan Pemberhentian


Anggota Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, menjelaskan bahwa mediasi
merupakan proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan
BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. 30
42.

Penyelesaian dengan cara ini dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa
dengan didampingi oleh majelis yang bertindak aktif sebagai mediator (Pasal 5 ayat 2
Kepmen Deperindag No.350/MPP/Kep/12/2001). Keaktifan majelis BPSK sebagai
pemerantara dan penasehat Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara
mediasi terlihat dari tugas Majelis BPSK ,yaitu: 31

a. Memanggil konsumen dan pelaku usaha bila diperlukan;


b. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;
c. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
d. Secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
e. Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.

30 Ibid
31 Op.Cit, Celina Tri Siwi Kristiyanti, hal.200.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

f.

Prinsip tata cara Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan mediasi

ada 2 (berdasarkan Pasal 31 SK Menperindag No.350/MPP/Kep/12/2001) : 32

a. Proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti


rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan Majelis BPSK bertindak
aktif sebagai mediator dengan memberi nasehat, petunjuk, saran dan upaya-upaya
lain dalam menyelesaikan sengketa.

b. Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan
BPSK
g.
h.

i. 3. Arbitrase
j.

Lain dengan cara konsiliasi dan mediasi, berdasarkan Pasal 1 angka (11) SK Menperindag
No.350/MPP/Kep/12/2001, arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya
penyelesaiannya kepada BPSK untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen
yang terjadi.33

k.

Cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase ini berbeda

dengan dua cara sebelumnya. Dalam cara arbitrase, badan atau majelis yang dibentuk BPSK
bersikap aktif mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa jika tidak tercapai kata sepakat
diantara mereka. Cara pertama yang dilakukan adalah badan ini memberikan penjelasan
kepada pihak-pihak yang bersengketa perihal perundang

32 Op.Cit, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep/12/2001.


33 Ibid
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

l.

undangan yang berkenaan dengan hukum perlindungan konsumen. Lalu, masing-

masing pihak yang bersengketa diberikan kesempatan yang sama untuk menjelaskan apa saja
yang dipersengketakan. Nantinya, keputusan yang dihasilkan dalam penyelesaian sengketa
ini adalah menjadi wewenang penuh badan yang dibentuk BPSK tersebut.
m.

Proses pemilihan majelis BPSK dengan cara arbitrase ditempuh melalui 2 tahap
berdasarkan Pasal 32 SK Menperindag No.350/MPP/Kep/12/2001, yaitu :34

a. Para pihak memilih arbitor dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan
konsumen sebagai anggota majelis BPSK

b. Arbitor yang dipilih para pihak tersebut kemudian memilih arbitor ketiga dari anggota
BPSK dari unsur pemerintah sebagai Ketua Majelis BPSK. Jadi unsur pemerintah selalu
dipilih menjadi Ketua Majelis.35

n.

Untuk mengatasi keberlikuan proses pengadilan, UUPK memberi jalan

alternatif dengan menyediakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pasal 45 ayat (4)
UUPK menyebutkan, apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Ini berarti
penyelesaian di pengadilan juga tetap dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan
sengketa diluar pengadilan.

34 Ibid
35 Ibid, hal.201.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

o.

Pasal 54 ayat (3) UUPK menegaskan bahwa putusan majelis dari BPSK itu bersifat
final dan mengikat. Kata "final" diartikan sebagai tidak adanya upaya banding dan
kasasi. Yang ada adalah "keberatan" yang dapat disampaikan kepada pengadilan
negeri dalam waktu 14 hari kerja setelah pihak berkepentingan menerima
pemberitahuan putusan tersebut. Jika pihak yang "dikalahkan" tidak menjalankan
putusan BPSK, maka putusan itu akan diserahkan oleh BPSK kepada penyidik untuk
dijadikan bukti permulaan yang cukup, dalam melakukan penyidikan UUPK sama
sekali tidak memberikan kemungkinan lain bagi BPSK, kecuali menyerahkan
putusan itu kepada penyidik. Terhadap putusan Pengadilan Negeri pun, meskipun
dikatakan bahwa UUPK hanya memberikan hak kepada pihak yang Agung, namun
dengan mengingat akan relativitas dan tidak merasa puas, peluang untuk mengajukan
kasasi sebenarnya terbuka bagi setiap pihak dalam perkara. Selain itu UUPK juga
telah memberikan jangka waktu yang pasti bagi penyelesaian perselisihan konsumen
yang timbul, yakni 21 hari untuk proses pada tingkat Pengadilan Negeri, dan 30 hari
untuk diselesaikan di Mahkamah Agung, dengan jeda masing-masing 14 hari untuk
mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri maupun Kasasi ke Mahkamah Agung. 36

p.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga

khusus yang dibentuk oleh pemerintah di tiap-tiap Daerah Tingkat II untuk penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun

36 Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal.78.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

q.

2001 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen baru dibentuk. Didalamnya

diatur keanggotaan BPSK yang terdiri dari unsur-unsur pemerintah, unsur konsumen, dan
unsur pelaku usaha dengan ketentuan bahwa setiap unsur diwakili oleh sedikit-dikitnya 3
(tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang. 37 Pengangkatan dan pemberhentian
anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

r.

Dalam

menangani

dan

menyelesaikan

sengketa

konsumen,

BPSK

membentuk majelis, dengan jumlah anggota yang harus berjumlah ganjil, yaitu terdiri dari
sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur, dan dibantu oleh seorang
panitera. Menurut Ketentuan Pasal 54 ayat (4) UUPK, ketentuan teknis dari pelaksanaan
tugas majelis BPSK yang akan menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen akan
diatur tersendiri oleh Menteri Perindustrian dan Perdangangan. Yang jelas BPSK diwajibkan
untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang diserahkan kepadanya dalam jangka waktu 21
(dua puluh satu) hari terhitung sejak gugatan diterima oleh BPSK.

s.

Lembaga penyelesaian konsumen diluar pengadilan, yang dilaksanakan oleh

BPSK ini memang dikhususkan bagi konsumen perorangan yang berselisih dengan pelaku
usaha tertentu. Sifat penyelesaian sengketanya sebenarnya bersifat cepat, murah, dan adil.
Terhadap keputusan BPSK ini masih memungkinkan adanya keberatan yang diajukan melalui
kasasi ke MA. Jadi penyelesaian sengketa konsumen tersebut dapat dilakukan melalui
pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan

37 Pasal 49 Undang-undang Perlindungan Konsumen.


Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

t. pilihan sukarela dari pihak yang bersengketa (UUPK Pasal 45 ayat (2)). Artinya
dibuka kesempatan untuk menyelesaikan sengketa konsumen pada koridor
Alternative Dispute Resolution (ADR). Alternatif penyelesaian sengketa kemudian
diatur dalam Pasal 52 UUPK mengenai tugas dan wewenang BPSK yaitu
melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui
mediasi, konsiliasi atau arbitrase.

u. Menurut ketentuan Pasal 4 butir (e) UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, salah satu hak konsumen adalah hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan secara patut. Lebih
lanjut, salah satu kewajiban pelaku usaha adalah memberikan kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan (UUPK Pasal 7 butir f). Kewajiban
tersebut ada bila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian. Jika hal tersebut tidak dilakukan oleh pelaku usaha, maka UUPK
mengaturnya dalam ketentuan Pasal 23 UUPK yaitu pelaku usaha yang menolak
dan/atau tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas
tuntutan hukum, dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau
mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

v.

Cara penyelesaian sengketa konsumen dalam pelayanan kesehatan di rumah

w. sakit, pada prinsipnya dapat mengacu pada ketentuan Pasal 45 UUPK yaitu melalui
x. 242
y. cara:
1. Pihak konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK);

2. Pihak konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan melalui peradilan yang
berada di lingkungan peradilan umum;

3. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar


pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

z. Alternatif dalam penyelesaian sengketa konsumen yang sering terjadi dalam praktek
saat ini dilakukan oleh suatu badan khusus bidang pelayanan kesehatan, yaitu
Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI). Dalam sengketa
yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha UUPK menyediakan 3 (tiga)
alternative yang bisa dipilih konsumen yaitu penyelesaian melalui pengadilan, diluar
pengadilan atau melalui BPSK. Ketiga alternatif ini dipilih oleh konsumen dengan
terlebih dahulu mempertimbangkan waktu, biaya dan prosedur yang diperlukan
untuk masing-masing pilihan dibandingkan dengan nilai kerugian konsumen. Dari
data yang ada di BPSK kasus pengaduan konsumen kesehatan biasanya diselesaikan
secara mediasi dan BPSK bertindak sebagai mediator.38 Cara mediasi ini ditempuh
untuk meringankan biaya, waktu dan prosedur yang panjang di

a. 242Pasal 45 Undang-undang Perlindungan


38 Wawancara dengan Dharma Bakti Nasution dari BPSK Medan, tanggal 20 Juni 2009.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

aa. pengadilan. Jadi badan ini hanya melakukan mediasi, dengan mediasi pun ternyata
efektif karena 90% bisa selesai.
ab.

Tuntutan hukum akibat kelalaian medik tampaknya memang tidak dapat

dihindarkan, maka wajar jika kemudian rumah sakit di Indonesia merasa cemas. Oleh karena
itu dibuat seperangkat peraturan atau kaidah yang mengikat kedua pihak. Perangkat tersebut
dinamakan hospital by laws39, yang dirumuskan dalam bentuk peraturan rumah sakit, surat
keputusan, standard operation procedure (SOP), surat ketetapan, surat penugasan,
pemberitahuan dan pengumuman.40

ac.

Apabila ada kasus kesehatan maka harus ditelaah terlebih dahulu. Misalnya

apakah dokter sudah mentaati SOP, jika sudah mentaati SOP maka untuk sulit
menyalahkannya. Mengenai kasus yang melibatkan pihak dokter dan rumah sakit, maka
diselesaikan terlebih dahulu oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Majelis etik
kodekteran Indonesia ditetapkan dengan Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia No.l70/PB/A-II/1989 dan disahkan dalam Muktamar Ikatan Dokter Indonesia Ke21 tahun 1991 di Yogyakarta.41 Pembentukan MKEK adalah untuk membimbing, mengawasi,
dan menilai perilaku para dokter dalam menjalankan tugas mereka memelihara kesehatan
para konsumen. Majelis inilah yang berwenang menerapkan ketentuan-ketentuan kode etik
terhadap

39 Hospital by laws adalah seperangkat peraturan yang mengatur berbagai bentuk pola hubungan dan tanggung
jawab pihak-pihak terkait. http://els.bappenas.go.id/upload/other/Banyak%20Rumah%20Sakit%20tidak
%20Memiliki-MI.htm, diakses tanggal 17 Juni 2009.

40 Ida Cynthia.S, Ada Kesalahan, Ada Sanksi, Ada Hukuman, (Jakarta: Samaritan, Agustus-Oktober 2001) hal.7.
41 Op.Cit, Az.Nasution, hal.214
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

ad.

para dokter dan setiap tenaga kesehatan. Tugas MKEK ini dirancang untuk

menangani setiap perilaku atau tindakan (pelayanan kedokteran, pendidikan atau


penyelidikan kedokteran), yang menyimpang dari kode etik kedokteran oleh dokter pada
waktu menyelenggarakan pengabdian profesi kedokteran. Penanganan ini dilakukan apabila
dipenuhi persyaratan sebagai berikut:42

1. Ada pengaduan yang disampaikan kepada MKEK;


2. Atas permintaan penguins IDI;
3. MKEK menduga adanya pelanggaran etik kedokteran.
ae. Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap seorang dokter pelanggar kode etik tergantung
dari berat ringannya pelanggaran yang dilakukan.

af.

Kadang-kadang terdapat kasus yang mengandung unsur malpraktek tetapi

ketua MKEK tidak mempunyai imunitas untuk meneruskan kasus ini ke pengadilan, karna
hal ini pernah diancam oleh dokter yang berpekara. Sehingga mengakibatkan masyarakat
mendapat kesan, etika kedokteran merupakan tabir untuk menutupi kesalahan dokter. <,

ag.

Dari kasus antara Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan dengan Badan

Penyelesaian Sengketa (BPSK) Medan diselesaikan dengan cara arbitrase. Namun dari
beberapa kasus yang ada, lebih baik dilaksanakan dengan cara alternatif penyelesaian
sengketa dengan mediasi.43 Hal mana cara ini lebih efektif, karena jika dilaksanakan di
pengadilan mengingat kondisi pasien (konsumen) sangat tidak

42 Ibid
43 Wawancara dengan Dharma Bakti Nasution dari BPSK Medan, tanggal 20 Juni 2009.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

ah. memungkinkan untuk beracara di pengadilan, apalagi pasien tersebut orang yang
tidak mampu.
ai.

Menurut UU Perlindungan Konsumen BPSK bertugas memberikan

konsultasi perlindungan konsumen. Bentuk konsultasinya sebagai berikut : 44

a. Memberikan penjelasan kepada konsumen atau pelaku usaha tentang hak dan
kewajibannya masing-masing;

b. Memberikan penjelasan tentang bagaimana menuntut ganti kerugian atas kerugian yang
diderita oleh konsumen dan juga pelaku usaha;

c. Memberikan penjelasan tentang bagaimana memperoleh pembelaan dalam hal


penyelesaian sengketa konsumen;

d. Memberikan penjelasan tentang bagaimana bentuk dan tata cara penyelesaian sengketa
konsumen;
aj.

BPSK dibentuk oleh pemerintah untuk menyelesaikan sengketa konsumen di

luar pengadilan. Kedudukan badan ini berada di daerah kota dan/atau daerah kabupaten.
Susunan pengurusan BPSK dibentuk oleh gubernur masing-masing provinsi dan diresmikan
oleh Menteri Perdagangan. Untuk pertama kali Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) dibentuk pada setiap Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat,
Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota
Malang, dan Kota Makasar.45

44 Op.Cit, Happy Susanto, hal.83.


45 Ibid, hal.85.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

ak.

Menurut UU Perlindungan Konsumen Pasal 52, tugas dan wewenang BPSK

sebagai berikut :46

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui


mediasi atau arbitrase;

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen.;


c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undangundang ini;

e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;


g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;

al. i.Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli,
atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak
bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;

b. penyelidikan dan/atau pemeriksaan; k. Memutuskan dan menetapkan ada


tidak adanya kerugian pihak konsumen;

46 Pasal 52 Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen


Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

am. j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

an. l. Memberitahukan putusan pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap


ao. perlindungan konsumen; m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha
yang melanggar ketentuan

ap. undang-undang ini.


aq.

Dalam

menangani

dan

menyelesaikan

sengketa

konsumen,

BPSK

membentuk majelis. Jumlah anggota majelis hams ganjil dan sedikit-dikitnya tiga orang yang
mewakili unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha (dibantu oleh seorang panitera).

ar. Secara teknis peradilan semu (quasi rechtspraak), permohonan Penyelesaian


Sengketa Konsumen (PSK) diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 17 SK
Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Bentuk permohonan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (PSK) diajukan secara tertulis atau lisan ke Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) melalui Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) setempat oleh konsumen.
as.

Dalam hal konsumen yang tidak dapat mengajukan gugatan :47

1. Meninggal dunia;
2. Sakit atau telah lanjut usia (manula);
3. Belum dewasa;
4. Orang asing (warga negara asing), maka permohonan dapat diajukan oleh ahli waris atau
kuasanya.

47 Op.Cit, Yusuf Shofie, hal.30.


Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

5.

Isi permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) harus memuat

secara benar dan lengkap (Pasal 16 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001): 48

1. Identitas konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri;


2. Nama dan alamat pelaku usaha;
3. Barang atau j asa yang diadukan;
4. Bukti perolehan, keterangan tempat, waktu dan tanggal perolehan barang atau jasa yang
diadukan;

5. Saksi-saksi yang mengetahui perolehan barang atau jasa, foto-foto barang atau kegiatan
pelaksanaan jasa, bila ada.

6.
7.

254

Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) ditolak, jika:

1. Tidak memuat persyaratan-persyaratan isi permohonan Penyelesaian Sengketa


Konsumen (PSK) tersebut;

2. Permohonan gugatan bukan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen


(BPSK).
8.

Dari segi administratif, permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(PSK) dicatat Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sesuai format
yang disediakan. Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dibubuhi tanggal dan
nomor registrasi serta diberikan bukti tanda terima. 49

1. 2
5
48 Op.Cit, Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep/12/2001.
49 Ibid, hal.31.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

9.

BPSK dalam menangani/menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara

mediasi, konsiliasi atau arbitrase disertai jangka waktu penyelesaian yang singkat yaitu 21
hari kerja. Dalam waktu paling lambat 7 hari kerja sejak menerima putusan BPSK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UUPK, pelaku usaha wajib melaksanakan putusan
tersebut. Sekalipun putusan BPSK bersifat final dan mengikat (Pasal 53 ayat (3)), tetapi
keberatan atas keputusan tersebut masih dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri (PN)
dalam tenggang waktu 14 hari sejak putusan BPSK disampaikan. PN wajib memutusnya
dalam jangka waktu 21 hari (Pasal 58 ayat (1)). Selanjutnya terhadap putusan PN dapat
diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam tenggang waktu 14 hari sejak putusan PN
diterima. Mahkamah Agung wajib memutus perkara dalam jangka waktu 30 hari sejak saat
permohonan kasasi diajukan (Pasal 58 ayat(3)). Pengadilan mengacu pada ketentuan proses
peradilan umum yang berlaku dan harus memperhatikan ketentuan Pasal 45 Undang-undang
No.8 Tahun 1999.
10.
11.

12. D. Sanksi bagi Pelaku Usaha


13. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan di dalam UndangUndang No.8 Tahun 1999, dapat dikenakan sanksi. Sanksi yang dijatuhkan tersebut
baik yang berupa sanksi administratif maupun sanksi pidana. 1. Sanksi administrasi,
sanksi ini dijatuhkan kepada pelaku usaha yang melanggar Pasal-Pasal: 19 ayat (2),
dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26. Sanksi

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

14. administrasi tersebut berupa penetapan ganti kerugian dengan jumlah paling banyak
Rp.200.000.000,- 50 2. Sanksi pidana

a. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2),
Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, serta ayat (2), dan Pasal
18 dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak
Rp.2.000.000.000,-51

b. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal
14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan f, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,- 52

c. Terhadap pelanggaran oleh pelaku usaha yang mengakibatkan luka berat, sakit berat,
cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku, yaitu
berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.53

50 Pasal 60 Undang-undang Perlindungan Konsumen


51 Pasal 62 ayat (1) Undang-undang Perlindungan Konsumen
52 Pasal 62 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen
53 Pasal 62 ayat (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

d. E. Lembaga Penunjang Perlindungan Konsumen


e. Di Indonesia pada saat ini ada beberapa lembaga penunjang perlindungan konsumen.
Pendirian lembaga-lembaga penunjang itu bertujuan untuk membantu penegakan
hukum dalam bidang perlindungan konsumen serta memberikan pendidikan dan
menumbuhkan kesadaran kepada konsumen.
f.
g.

h. 1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional


i.

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) berkedudukan di Ibukota

Negara dan bertanggung jawab kepada Presiden. BPKN memiliki kedudukan yang kuat di
dalam mengembangkan upaya perlindungan konsumen dimana badan ini tidak dapat
diintervensi oleh pihak departemen di dalam pelaksanaan tugasnya. Kedudukannya
independent dan bertanggungjawab kepada Presiden.54
j.

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) bertugas mengembangkan upaya


perlindungan konsumen yang bersifat advisory yang bukan merupakan executing
agency yang diperlukan untuk upaya penegakan hukum (UU). Badan ini diatur dalam
Pasal 31 sampai dengan Pasal 43 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, dibentuk dalam
rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen. Badan Perlindungan
Konsumen Nasional bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan memiliki
fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya
mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.55

54 Op. Cit, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, hal.196


55 Ibid
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

k.

Berdasarkan Pasal 34 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, Badan Perlindungan


Konsumen Nasional (BPKN) mempunyai tugas :56

a. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan


kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;

b. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan yang berlaku di bidang


perlindungan konsumen;

c. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan


konsumen;

d. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;


e. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan
memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;

f. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga


perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pelaku usaha;

g. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.


l.

Sebelumnya tugas ini dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

(YLKI). Kehadiran Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang bertanggung jawab


langsung kepada Presiden, merupakan bentuk perlindungan dari arus atas (top-down).
Sementara arus bawah (bottom-up) dalam hal ini diperankan oleh lembaga

56 Pasal 34 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

m.

perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang representatif dapat menampung


dan memperjuangkan aspirasi konsumen.57

n.

Perlindungan konsumen akan efektif jika secara stimultan dilakukan dalam

dua level/arus sekaligus , yaitu dari arus bawah ada lembaga konsumen yang kuat dan
terisolasi secara luas di masyarkat dan sekaligus secara repsentatif dapat menampung dan
memperjuangkan aspirasi konsumen. Sebaliknya dari arus atas, ada bagian dalam struktur
kekuasaan yang secara khusus mengurusi perlindungan konsumen. Semakin tinggi bagian
tersebut semakin besar pula power yang dimiliki dalam melindungi kepentingan konsumen.
Jadi efektif tidaknya perlindungan konsumen suatu negara tidak semata-mata tergantung pada
lembaga konsumen, tapi juga kepedulian pemerintah, khususnya melalui institusi yang

a. konsu

b.

dibentuk untuk melindungi


o.
p.
q.
r.

s. 2. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)


t.

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) adalah

lembaga non-Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai
kegiatan menangani perlindungan konsumen.58 Lembaga ini didirikan khusus untuk

57 Op. Cit, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, hal.199


58 Pasal 1 ayat (9) Undang-undang Perlindungan Konsumen
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

c.

26
4

melindungi kepentingan konsumen dari perilaku para pelaku usaha yang menjalankan
kegiatannya tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga dapat menimbulkan kerugian
pada harta, keselamatan tubuh maupun jiwa konsumen.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

u.

Adapun tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat berdasarkan


Pasal 44 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 meliputi :59

a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban
dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau

v. jasa;
b. Memberikan nasehat kepada konsumen yang memerlukannya;
c. Bekerjasama dengan instansi terkait untuk mewujudkan perlindungan konsumen;
d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan hak-haknya;
e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan
perlindungan konsumen;

f. Penyebaran informasi sebagaimana yang disebutkan diatas meliputi penyebarluasan


berbagai pengetahuan mengenai perlindungan konsumen termasuk peraturan-peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah perlindungan konsumen. Adapun
informasi yang dimaksud misalnya hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan mengenai
proses produksi, standar, label, promosi dan periklanan, klausula baku, dan lain-lain.
Sedangkan penyebaran informasi yang dilakukan LPKSM dapat dilaksanakan melalui
kegiatan: pendidikan, pelatihan, penyuluhan, pelayanan informasi, dan lain-lain. 60

w.

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) selain

diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen juga diatur dalam Peraturan

59 Pasal 44 Undang-undang Perlindungan Konsumen


60 Op.Cit, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, hal.217-218.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

x.

Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen


Swadaya Masyarakat, yang dalam Pasal 2 menentukan bahwa :61

1. Pemerintah mengakui LPKSM yang memenuhi syarat, yakni terdaftar pada Pemerintah
Kabupaten/Kota dan bergerak di bidang perlindungan konsumen sebagaimana tercantum
dalam anggaran dasarnya. Pendaftaran tersebut hanya dimaksudkan sebagai pencatatan
dan bukan merupakan perizinan. Demikian pula, bagi LPKSM yang membuka kantor
perwakilan atau cabang di daerah lain, cukup melaporkan kantor perwakilan atau cabang
tersebut kepada Pemerintah Kabupaten/Kota setempat dan tidak perlu melakukan
pendaftaran di tempat kedudukan kantor perwakilan atau cabang tersebut.

2. LPKSM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat melakukan kegiatan perlindungan
konsumen di seluruh Indonesia.

y.

Dalam membantu konsumen untuk memperjuangkan haknya, LPKSM dapat

melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar mampu memperjuangkan haknya


secara mandiri, baik secara perorangan maupun kelompok. Pengawasan perlindungan
konsumen oleh LPKSM bersama pemerintah dan masyarakat dilakukan atas barang dan/atau
jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei dilakukan
terhadap barang dan/atau jasa yang diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan,
kenyamanan dan keselamatan konsumen.

z.

Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, LPKSM dapat bekerjasama dengan

organisasi atau lembaga lainnya, baik yang bersifat nasional maupun internasional.

61 Ibid, hal.215.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

aa.

LPKSM melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Pemerintah Kabupaten/Kota


setiap tahun. Laporan tersebut dinamakan sebagai sarana komunikasi antara
Pemerintah

Kabupaten/Kota

dengan

LPKSM.

Sedangkan

dalam

rangka

penyelenggaraan perlindungan konsumen secara nasional, menteri dapat meminta


laporan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota mengenai LPKSM yang ada di
wilahnya.62

ab.

Di Indonesia, gerakan perlindungan konsumen ditandai dengan berdirinya

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tanggal 11 Mei 1973. YLKI ini
didirikan dengan tujuan untuk membantu Indonesia agar tidak dirugikan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa.63 Ada beberapa lembaga atau yayasan yang melakukan
atau bergerak dibidang perlindungan konsumen seperti YLKI (umum), YPKKI (khusus
bidang kesehatan) dan WALHI (bergerak dibidang lingkungan hidup).

ac.

Namun menurut data di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI),

kasus berupa keluhan kesehatan belum pernah dilaporkan ke yayasan ini karena sudah ada
yayasan khusus yang menangani masalah kesehatan yaitu YPKKI (Yayasan Pemberdayaan
Konsumen Kesehatan Indonesia)64.

ad.

Apabila pasien di rumah sakit mengalami kerugian atas pelayanan di rumah

sakit, maka pasien dapat mengajukan keluhannya. Hak pasien adalah mendapatkan

6227" Ibid, hal.219.


63 C.Tantri D dan Sulastri, Gerakan Organisasi Konsumen, Sen Panduan Konsumen, (Jakarta : Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia-The Asia Foundation, 1995), hal.9-10.

64 Ibid, hal 12
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

ae. ganti rugi apabila pelayanan yang diterima tidak sebagaimana mestinya. Masyarakat
sebagai konsumen dapat menyampaikan keluhannya kepada pihak rumah sakit
sebagai upaya perbaikan interen rumah sakit dalam pelayanannya atau kepada
lembaga yang memberi perhatian kepada konsumen kesehatan. Sebagai dasar hukum
dari gugatan pasien atau konsumen/penerima jasa pelayanan kesehatan terhadap
dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata.
af.

Keluarga pasien yang merasakan dirugikan dengan kasus praktik medik

dokter dapat melayangkan gugatan terhadap Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), maka
majelis ini akan menyelesaikan pengaduan dari pasien atau keluarga pasien. Di samping itu
dapat diajukan ke pengadilan karena merasa di rugikan dan di perlakukan tidak manusiawi.
Maka dapat menggugat ganti rugi kepada pihak dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit
karena telah melakukan perbuatan melawan hukum, dengan menimbulkan kerugian
diakibatkan oleh kelalaian/kesalahan dalam melakukan tindakan medik maupun pelayanan
yang diberikan tidak sesuai standar kesehatan. 65

ag.

Dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit dapat dimintakan tanggungjawab

hukum, apabila melakukan kelalaian/kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien


sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Pasien dapat menggugat tanggungjawab hukum
kedokteran (medical liability), dalam hal dokter berbuat kesalahan/kelalaian. Dokter tidak
dapat berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak

65 Ibid, hal 13
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

ah.

sengaja, sebab kesalahan/kelalaian dokter yang menimbulkan kerugian terhadap

pasien menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi. 66

ai.

Maka dibutuhkan perlindungan hukum bagi pasien (penerima jasa pelayanan

kesehatan) untuk mendapatkan perawatan kesehatan. Undang-undang No 23 tahun 1992


tentang Kesehatan memberikan perlindungan hukum, baik kepada pasien sebagai penerima
(konsumen) jasa pelayanan kesehatan dan pemberi (produsen) jasa pelayanan kesehatan,
diantaranya diatur dalam pasal 53, 54 dan 55 (UU No. 23/1992). 67 Jika terjadi sengketa antara
para pihak dalam pelayanan kesehatan, maka untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan
harus mengacu pada Undang-undang kesehatan dan Undang-undang perlindungan konsumen
serta prosesnya melalui lembaga pengadilan ataupun dengan jalur luar pengadilan misalnya
ke BPSK.
aj.
ak.

al. F. Analisis Kasus Rumah Sakit Elisabeth dengan Badan Penyelesaian Sengeta
Konsumen (BPSK)
am.

an. ESTHER TABITHA GULTOM (Konsumen) Lawan RUMAH SAKIT ELISABETH


MEDAN (Pelaku Usaha).

ao. Konsumen sebagai pasien mengajukan gugatan/pengaduannya tertanggal 09 Oktober


2007 melalui BPSK. BPSK merupakan alternatif penyelesaian sengketa di luar

66 Ibid, hal 14
67 Op.Cit, Happy Susanto, hal.90
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

pengadilan untuk memutus perkara konsumen yang merasa dirugikan dengan produk
barang/jasa dari pelaku usaha yang dikonsumsi.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

ap.

Adapun keluhan-keluhan yang disampaikan pasien kepada HUMAS rumah

sakit adalah sebagai berkut:

1. Keluarga pasien diminta oleh beberapa suster yang bertugas untuk menjaga agar pasien
tidak tertidur setelah menjalani operasi dan apabila hal itu benar maka seharusnya itu
adalah tugas suster dan bukan keluarga pasien. Informasi yang sebenarnya menyatakan
bahwa itu sebenarnya tidak masalah bila pasien tidur setelah operasi. Pasien sudah tidak
istirahat sebelum operasi dan sesudah operasi tidak diperbolehkan tidur.

2. Pihak rumah sakit mempekerjakan suster yang merawat pasien masih pelajar dan
seringnya masih semester 3 kebawah, sering seniornya tidak terlibat dalam
perawatan dengan penanganan yang kurang berpengalaman membuat pasien kesal
karena pada saat pasien dimandikan berulang kali diminta suster untuk memiringkan
badan dan berulang kali pasien harus menjelaskan pasien tidak dapat memiringkan
badan sendiri baik kekanan maupun kekiri karena tulang punggung pasien yang
sakit.

3. Infus yang sering isinya sudah habis didiamkan sehingga pada saat diganti terdapat
urat yang tersumbat oleh darah yang membeku. Bukan tugas pasien dan keluarga
pasien untuk setiap kali mengawasi kantong infus.

4. Waktu kunjungan dokter selalu singkat sehingga penagihan honor dokter sangat tidak
relefan. Dokter berkunjung tidak lebih dari 5 menit dan tidak setiap hari. Seingat
pasien selama opname hanya 3 kali saja.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

5. Dokter mengatakan agar pasien transfusi darah sebanyak 5 sak setelah melihat kulit
tangan yang pucat padahal sebenarnya warna kulit pasien memang begitu. Hb 8.2 dan
menurut informasi ilmu kedokteran Hb 8.2 itu masih pada batas yang wajar sehingga
tidak perlu tranfusi dan pasien membatalkan transfusi tersebut.

6. AC tidak berfungsi sampai hari ke 3.


7. Shower yang tidak berfungsi dalam menyalurkan air panas sehingga air panas untuk
mandi setiap pagi dan sore harus diantar oleh suster dengan ember dan sempat juga
dengan ember yang bocor.

8. Tidak adanya daftar keperluan pribadi yang harus dibawa pasien dari rumah untuk
penginapan di rumah sakit. Handuk yang hanya disiapkan pada awalnya saja dan
kami pun dipertayakan oleh beberapa suster kenapa pasien tidak membawa handuk,
baju tidur sendiri dari rumah.

9. Kamar mandi yang dibiarkan kotor diakibatkan oleh sepatu-sepatu suster yang kotor.
Pada saat suster mengambil air dingin, handuk dan sabun dari kamar mandi dengan
menggunakan sepatu yang kotor.

10. Petugas kebersihan memakai masker pada saat menyapu dan membersihkan ruangan dan
pasien harus menghirup debu yang naik dan dibiarkan tidak memakai masker.

11. Makanan yang tidak disesuaikan dengan permohonan pasien seperti halnya tidak
mengandung merica, bawang merah, putih, daun bawang, cabe santan. Sarapan pagi roti.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

12. 12. Pasien menerima tagihan sementara yang pertama dari rumah sakit dengan
jumlah

13. sekitar Rp.11 jutaan dengan status melahirkan dan rawat inap. Demikianlah
sejumlah keluhan yang diajukan oleh pasien kepada majelis BPSK.

14.

Sehubungan dengan pengaduan pasien bahwa pihak RS mempekerjakan

suster yang merawat pasien masih pelajar dan seringnya masih semester 3 kebawah dimana
seniornya tidak terlibat dalam perawatan dengan penanganan yang kurang berpengalaman.
Hal ini membuat pasien kesal karena pada saat pasien dimandikan berulang kali diminta
sama suster untuk memiringkan badan dan berulang kali pasien harus menjelaskan pasien
tidak dapat memiringkan badan sendiri baik kekanan maupun kekiri karena tulang punggung
pasien yang sakit. Ini termasuk kategori pelayanan menyangkut institusi baik berupa sarana
dan prasarana pemberi pelayanan kesehatan (aspek kelembagaan). Seharusnya rumah sakit
memperkerjakan tenaga kesehatan yang sesuai standar pelayanan rumah sakit swasta
bukannya dengan memakai suster di bawah 3 semester. Disamping itu, kondisi AC, shower
kamar mandi yang tidak berfungsi, kamar mandi yang kotor, makanan yang kurang lengkap,
sementara kamar pasien adalah VIP membuat pasien tidak nyaman dengan pelayanan rumah
sakit ini.

15. Ketidaknyamanan pasien dalam menerima pelayanan di rumah sakit harus dirubah,
karena pada dasarnya harapan pasien sebagai konsumen kesehatan yaitu: 68 1. Reliability
(kehandalan) : pemberian pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan;

68 Op.Cit, Happy Susanto, hal.92


Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

2. Responsiveness (daya tanggap) : membantu dan memberikan pelayanan dengan tanggap


tanpa membedakan unsur SARA (Suku, Agama, Ras, dan Golongan) pasien;

3. Assurance (jaminan) : jaminan keamanan, keselamatan, kenyamanan;


4. Emphaty (empati) : komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan konsumen/ pasien.
Dalam memperbaiki ketidaknyamanan pasien dalam pelayanan di rumah sakit, maka
pihak penyedia sarana kesehatan mempunyai kewajiban yaitu antara lain

276

1. Memberikan pelayanan kepada pasien tanpa membedakan suku, ras, agama, seks, dan
status sosial pasien;

2. Merawat pasien sebaik-baiknya, menjaga mutu perawatan dengan tidak membedakan


kelas perawatan;

3. Memberikan pertolongan pengobatan di UGD tanpa meminta jaminan materi


terlebih dahulu;

4. Merujuk pasien kepada rumah sakit lain apabila tidak memiliki sarana, prasarana,
peralatan, dan tenaga yang diperlukan;

5. Membuat rekam medis pasien rawat jalan dan inap.


Kewajiban rumah sakit harus disertai dengan tanggung jawab, agar rumah sakit dan
manajemennya mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan yang memuaskan.
Untuk tanggung rumah sakit swasta dapat diterapkan dengan Pasal
276

Ibid, hal 97

16.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

17. 1365 dan 1367 KUHPerdata karena rumah sakit swasta sebagai badan hukum
memiliki kekayaan sendiri dan dapat bertindak dalam hukum dan dapat dituntut
seperti halnya manusia.

18.

Namun, pelayanan kesehatan saat ini mengalami krisis, sistem pelayanan

kesehatan belum mampu berfungsi dengan baik, karena pelaku-pelaku dalam sistem ini
terkena dampak krisis nasional. Pelayanan kesehatan di rumah sakit mengalami penurunan
pendapatan yang tajam, karena pemanfaatan jasa rumah sakit oleh masyarakat berkurang.
Pasien lari ke pengobatan alternatif yang lebih murah. Tantangan dalam pelayanan kesehatan
adalah bagaimana memenuhi kebutuhan dan kepuasan pasien tentang tuntutan dan harapan
terhadap pelayanan kesehatan. Juga bagaimana meningkatkan daya saing agar dapat tetap
bertahan di era globalisasi.

19.

Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan antara lain mengatur

upaya kesehatan dan sumber daya kesehatan sebagai pendukung penyelenggaraan upaya
kesehatan, dengan pengertian sarana pelayanan kesehatan seperti kondisi kamar VIP
disesuaikan dengan tarif/ukuran yang ditetapkan tidak semata-mata mencari keuntungan,
seperti yang dikenakan rumah sakit Elisabeth pada pasien dengan status rawat inap dan
melahirkan, namun harus seimbang dengan pelayanan yang diberikan. Menurut Undangundang Kesehatan Pasal 71 ayat (1) bahwa masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan
serta dalam penyelenggaraan upaya kesehatan beserta sumber dayanya mulai dari
inventarisasi masalah, perencanaan, penilaian sampai berbentuk sumbangan pikiran, tenaga,
kelembagaan, sarana serta

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

20.

dana. Hal tersebut sulit dilaksanakan karena 27 Peraturan Pemerintah yang ditunjuk

UU Kesehatan, baru 3 Peraturan Pemerintah yang telah diterbitkan, selebihnya 24 Peraturan


Pemerintah belum dibuat.69 Akibatnya kepentingan pasien dalam pelayanan kesehatan
terhambat.
21.

Sehubungan dengan kasus antara Ester Tabitha Gultom dengan Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen kota Medan diselesaikan dengan jalur arbitrase, ternyata
penyelesaian dengan jalur alternatif penyelesaian sengketa ini mempunyai kelebihan.
Diantaranya waktu yang dibutuhkan untuk proses persidangan sampai putusan sekitar 21
hari, sedangkan dengan jalur pengadilan memakan waktu yang sangat lama. Disamping itu
biaya yang dibutuhkan hanya sekitar Rp. 0.00.- atau menghabiskan biaya yang sangat sedikit.
Dan majelis yang memutus sengketa konsumen lebih fokus dibanding hakim yang ada di
pengadilan.70

22. Jadi rumah sakit Elisabeth harus meningkatkan pelayanannya baik sarana prasarana
maupun manajerial rumah sakit dan menghapuskan aturan/kebijakan rumah sakit
yang menjadikan pasien sebagai objek bisnis serta rumah sakit harus menghargai
hak-hak konsumen yang telah diatur oleh undang-undang.

23. Dalam Bab I Pendahuluan pada latar belakang, telah disinggung bahwa kasus terbaru
mengenai kesehatan terjadi di rumah sakit Omni Internasional pada awal Juni 2009

69http://syukriy.wordpress.com/2009/06/02/kasus-prita-mulyasari-apa-yang-harus-kita-lakukan.html
70 Wawancara dengan Dharma Bakti Nasution dari BPSK Medan, tanggal 20 Juni 2009.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

dengan pasien bernama Prita Mulyasari. Bahwa Prita Mulyasari menjadi tersangka
kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional. Prita dijerat

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

24. dengan Pasal 27 ayat (3) Undang -undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik71, dengan sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau
denda maksimal 1 milyar rupiah. Prita dianggap melakukan tindak pidana setelah
menulis email di milis internet yang berisi keluhan pelayanan rumah sakit itu yang
dinilai buruk. Prita menjadi tahanan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang
Banten sejak 13 Mei 2009. Namun diperpanjang hingga 23 Juni 2009 untuk
menunggu proses hukumnya.
25.

Adapun isi keluhan Prita Mulyasari yang disebarkan melalui milis internet

yaitu Prita menyatakan bahwa kemewahan rumah sakit dan title internasional tidak menjamin
pelayanan yang diberikan pada pasien, karena semakin pintar dokter maka semakin sering
dilakukan uji coba pasien, penjualan, dan suntikan. Prita memasuki rumah sakit Omni
Internasional pada tanggal 7 Agustus 2008 dengan kondisi panas tinggi dan pusing, dia
berharap bahwa rumah sakit dengan standard internasional mempunyai ahli kedokteran dan
manajemen yang bagus. Dalam pemeriksaan darah, rumah sakit menyatakan bahwa
trombosit darahnya adalah 27.000 dengan kondisi normal adalah 200.000. Jadi, berdasarkan
hasil pemeriksaan lab, Prita dinyatakan positif demam berdarah dan wajib rawat inap. 72

71 Pasal 27 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa Setiap orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

72 Op.Cit, http://syukriy.wordpress.com/2009/06/02/kasus-prita-mulyasari-apa-yang-harus-kita-lakukan.html
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

26.

Namun keesokan harinya ketika dilakukan pemeriksaan ulang, ternyata

dokter menjelaskan bahwa ada revisi terhadap hasil lab, bahwa jumlah trombosit pasien
adalah 181.000, ditambah lagi dokter ahli menyarankan kepada para suster untuk memberi
suntikan dan obat-obatan pada pasien tanpa seizin pasien ataupun keluarga pasien. 73 Pihak
rumah sakit tetap tidak memberikan keterangan yang pasti mengenai penyakit yang diderita
pasien, sementara selama perawatan pasien diberi suntikan, obat-obatan untuk dimakan, dan
tangan pasien sudah mengalami pembengkakan karena suntikan infus. Berselang dua hari
kemudian kondisi pasien semakin parah, yang ditandai dengan pembengkakan di leher dan
suhu badan mencapai 39 derajat. Lalu Prita meminta dokter untuk memberi keterangan
mengenai penyakitnya, namun dokter belum juga memberi konfirmasi yang jelas. 74

27.

Dalam data medis, ternyata hasilnya yang diberikan fiktif. Prita dinyatakan

lancar buang air besar, padahal kenyataannya semenjak masuk rumah sakit pasien susah
buang air besar. Ditambah lagi hasil lab yang diberikan adalah 181.000, padahal suster
mengatakan bahwa trombosit pasien 27.000. Ketika pasien menyampaikan komplain ke
pihak manajemen rumah sakit, pihak rumah sakit tidak melayani dengan baik, yang ditandai
dengan pihak rumah sakit meminta pasien untuk memberikan keterangan kembali mengenai
kejadian yang terjadi pada pasien. Hal ini membuat pasien marah pada pihak manajemen
rumah sakit. Pasien kembali berobat ke rumah sakit lain, dan ternyata penyakit yang diderita
bukan demam berdarah,

73 Ibid
74 Ibid
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

28.

melainkan virus gondongan. Ketika Prita dan suaminya meminta kembali

hasil lab trombosit yang 27.000, ternyata pihak rumah sakit malah mengelak memberikan,
dan mengulur waktu-waktu. Kekecewaan sangat dirasakan Prita dengan hasil lab trombosit
dari 27.000 berubah menjadi 181.000 kemudian pada saat rawat inap pasien juga diberikan
suntikan-suntikan, obat-obatan dengan dosis tinggi yang mengakibatkan pasien sesak nafas. 75
29.

Hal ini menguatkan Prita bahwa manajemen rumah sakit Omni Internasional

tidak jelas pelayanannya. Rumah sakit yang tidak sesuai dengan standard internasional,
ditambah lagi tidak ada etika dokter yang bertanggungjawab terhadap hasil lab trombosit. 76

30.

Dari keluhan Prita di atas, jelas bahwa pihak rumah sakit tidak memberikan

dokumen rekam medis (DRM) yang merupakan hak pasien. Rumah sakit tidak memberikan
hasil pemeriksaan laboratorium untuk trombosit 27.000 itu. Kejanggalan lain dapat dilihat
bahwa manajer rumah sakit yang juga seorang dokter, meminta pasien (dalam keadaan sakit)
menceritakan kembali apa yang terjadi. Padahal dokter dapat membaca urutan kejadian dari
DRM. Daftar rekam medis berperan penting sebagai alat untuk evaluasi kinerja dokter,
perawat, bahkan petugas administrasi yang mendata identitas pasien. Dalam aspek hukum,
DRM menjadi alat bukti seluruh layanan yang diberikan rumah sakit terhadap pasien. Jika
Prita harus berhadapan dengan pengadilan, DRM dipakai sebagai bukti dan dibawa seorang
ahli medical

75 Ibid
76 Ibid
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

31.

record yang harus disumpah lebih dulu bahwa ia tidak menukar, mengurangi, atau

menambah data atau informasi dalam DRM.77


32.

Jadi pihak rumah sakit Omni Internasional yang tidak memberikan daftar rekam
medis (DRM) kepada pasien telah melanggar ketentuan Pasal 52 UU Praktik
Kedokteran No.29 Tahun 2004 dimana hak pasien yaitu:78

1. Mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis;


2. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
3. Mendapat pelayanan sesuai kebutuhan medis;
4. Menolak tindakan medis;
1. Mendapat isi rekam medis. Dalam World Medical Association mengeluarkan
deklarasi hak pasien dan
33.

American Hospital Association memiliki A Patients Bill of Rights, dalam UU itu


dinyatakan bahwa pasien memiliki hak yang harus dihormati ketika berhadapan
dengan penyedia layanan medis. Di samping itu, ada UU negara lain yang
menyebutkan bahwa hak pasien adalah memperoleh pelayanan tidak diskriminatif,
hak dihormati dan dilindungi privasinya, dan secapat mungkin mendapatkan solusi
atas keluhan terdapat penyedia layanan.79

77 Bisakah Rumah Sakit Belajar dari Kasus Prita,


http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/15/21114790/Bisakah.Rumah.Sakit.Belajar.dari.Kasus.Prit a

78 Pasal 52 Undang-undang Praktik Kedokteran


79281
Op.Cit,http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/15/21114790/Bisakah.Rumah.Sakit.Belajar.dari.Kasus.Prit a

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

34.

Kasus ini sebagian adalah dampak dari rumah sakit yang berbentuk

Perseroan Terbatas yang cenderung hanya lebih mementingkan fungsi usaha dan keuntungan,
padahal ada Peraturan Menteri Kesehatan No.378/Menkes/Per/V/1993 tentang Pelaksanaan
Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta, selain untuk mencari keuntungan sebagai perusahaan,
rumah sakit harus menjalankan fungsi sosial. Dalam peraturan Menteri Kesehatan tersebut,
rumah sakit wajib menjalankan fungsi sosial seperti pengaturan tarif pelayanan dengan
memberikan keringanan atau pembebasan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang kurang
mampu, dan pelayanan gawat darurat 24 jam tanpa mempersyaratkan uang muka, tetapi
mengutamakan kesehatan.80

35.

Suatu fakta bahwa pasien lebih memilih rumah sakit swasta daripada rumah

sakit pemerintah. Sebagian besar kelompok menengah ke atas merasa bahwa pelayanan oleh
rumah sakit swasta lebih bagus daripada layanan yang diusahakan oleh pemerintah.

36.

Adapun bentuk-bentuk rumah sakit swasta antara lain : 81

1. Perkumpulan

37. a) Tidak ada defenisi khusus tentang perkumpulan, kecuali mengacu pada Buku III
KUPerdata sebagai bagian dari hukum Perikatan, yaitu Pasal 1653 KUHPerdata. Tata
cara pendirian perkumpulan dan status badan hukum diatur dalam Staatblad 1870
No.64

80 Ibid
81 Evy Rachmawati, Menjamurnya Bisnis Kesehatan, Kompas 26 Juni 2009.
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

38. b) Jumlahnya paling sedikit dibandingkan RS swasta lain


2. Yayasan
39.

a) Berdasarkan UU Yayasan No.16/2001 yang diubah menjadi UU No.28 Tahun


40. 2004.
b) Sudah ada sejak 100 tahun yang lalu.
c) RS Yayasan dapat berbentuk milik lembaga keagamaan, milik lembaga kemanusiaan,
ataupun milik dokter.

3. Perseroan Terbatas
41.

a) Berdasarkan UU yang berkaitan dengan PT yaitu UU No.40 Tahun 2007, UU No.8


Tahun 1995, UU No.6 Tahun 1968 jo UU No. 12 Tahun 1970, UU No. 1 Tahun 1967
jo UU No. 11 Tahun 1970, danUUNo.9 Tahun 1968.

b) Merupakan persekutuan modal yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan.

c) Organ perseroan: RUPS, direksi, dewan komisaris.


d) Laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan dibagikan kepada
pemegang saham sebagai dividen, kecuali ditentukan lain dalam RUPS. Dividen ini
dibagikan jika perusahaan memiliki saldo laba positif.

e) Pertumbuhan jumlah paling tinggi selama 10 tahun terakhir.


f) 37,8 % berbentuk PT berada di Jakarta.
42. Berdasarkan bentuknya, rumah sakit dengan bentuk PT (perseroan terbatas) paling
banyak ditemukan dibandingkan bentuk lainnya, seperti yayasan dan

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

43.

perkumpulan. Tingginya minat mendirikan rumah sakit dalam bentuk PT karena


bentuk PT memungkinkan laba dibagikan pada pemegang saham lebih besar daripada
yayasan dan perkumpulan. Disamping itu dengan PT lebih memiliki landasan yang
kuat bagi pengelolanya. Rumah sakit berbentuk PT biasanya berada pada daerahdaerah yang perekonomiannya besar. Dan secara umum rumah sakit swasta masih
dikelola dengan berdasarkan UU PT, yayasan, peraturan perpajakan, dan aturan
lain.82
44.

Terkait dengan kasus di rumah sakit yang berlabel internasional ini, tampak

jelas bahwa masyarakat lebih memilih rumah sakit dengan standard internasional karena
adanya kepercayaan bahwa penamaan internasional akan memberikan pelayanan terbaik
dengan standard internasional. Keinginan memperoleh kepercayaan masyarakat mendorong
rumah sakit menggunakan nama internasional. Seperti kasus Prita Mulyasari dengan RS
Omni Internasional, menurut Departemen Kesehatan belum ada aturan tentang rumah sakit
internasional, yang ada hanyalah akreditasi nasional untuk pelayanan kesehatan di rumah
sakit. Diharapkan rumah sakit dengan nama internasional ini mempunyai beban untuk
menaikkan kualitas pelayanan. Jadi tidak sebatas permodalan asing tetapi standar akreditasi
internasional.83

45. Pencantuman label internasional ini harus disesuaikan dengan pelayanan berstandar
internasional, tidak hanya sekedar nama, ataupun menarik pemodal asing. Namun
belum ada sanksi yang dapat dikenakan pada rumah sakit berlabel

82 Op.Cit, Evy Rachmawati, Menjamurnya BisnisKesehatan, Kompas 26 Juni 2009.


83 Ibid
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

46.

internasional karena belum ada UU yang mengaturnya. Dan diharapkan RUU rumah

sakit yang saat ini dalam tahap pembahasan di DPR dapat mengatur rumah sakit berlabel
internasional.84

47.

Kasus Prita kini menjadi bumerang kepada rumah sakit Omni Internasional,

karena apabila awalnya pihak manajemen menanggapi keluhan Prita dengan baik tidak akan
menjadi masalah seperti sekarang ini. Dalam kasus Prita yang menjadi tersangka kasus
pencemaran nama baik rumah Sakit Omni Internasional dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebenarnya tidak bermaksud
menghina justru menyampaikan pesan kepada teman-temannya untuk berhati-hati dengan
pelayanan rumah sakit, tetapi pihak kepolisian justru menahan Prita sehingga menimbulkan
masalah hukum.

48.

Jadi, kasus yang dialami Prita Mulyasari mencerminkan lemahnya

perlindungan terhadap pasien. Pasien selama ini dimaknai sebagai objek industri kesehatan,
bukan subjek yang harus dibantu. Oleh karena itu, perlindungan terhadap pasien perlu
dimasukkan dalam bentuk undang-undang.85 Setiap dokter disumpah untuk memperlakukan
pasien seperti mereka memperlakukan diri mereka sendiri, sehingga dokter lebih
memperlakukan pasien dengan baik, dan diharapkan tidak menciptakan perselisihan diantara
pihak penyelenggara kesehatan dengan pasien.

49.

Perselisihan antara Prita Mulyasari dengan rumah sakit Omni Internasional

ini merupakan puncak dari kegagalan komunikasi antara pasien dengan dan penyedia

84 Ibid
85http:/property.kompas.com/read/xml/2009/06/03/14220877/kasus.prita.perlu.uu.perlindung an.pasien, diakses
tanggal 18 Juni 2009

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

50.

pelayanan kesehatan. Dalam praktiknya, hak pasien untuk mendapatkan informasi


sering kali tidak diberikan secara utuh. Hal ini terjadi karena ada kesenjangan
informasi atau pengetahuan antara pasien dan dokter. Sementara dokter dengan
otoritasnya masih dengan paradigma lama bahwa informasi medis tidak penting
diketahui oleh pasien. Maka, rumah sakit diharapkan memberi pelayanan yang
terbaik kepada pasiennya agar pasien merasa puas terhadap pelayanan yang
diterimanya.86
51.

Apabila pasien tidak puas terhadap pelayanan di rumah sakit maka jalur yang

dapat ditempuh adalah :87

1. Mengadukan masalah ke bagian pelayanan bagi konsumen di rumah sakit. Setiap


kasus terkait etika pelayanan kesehatan di rumah sakit ditangani oleh Komite etika
rumah sakit, yang anggotanya terdiri dari:
52.

a) Dokter rumah sakit;


b) Ahli etika;
c) Ahli hukum;
d) Ahli agama; dan
e) Tokoh masyarakat.
2. Dapat mengadukan ke Dinas Kesehatan setempat
3. Dapat mengadukan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia atau
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, apabila menyangkut dokter.

86 Ibid
87 Evy Rachmawaty, Saat pasien menuntut hak, Kompas Jumat 26 Juni 2009
Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

4. Dapat mengadukan ke lembaga swadaya masyarakat seperti Yayasan Lembaga


Konsumen Indonesia dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai alternatif
penyelesaian sengketa konsumen di luar jalur pengadilan.

5. Dapat mengadukan ke polisi untuk diajukan gugatan melalui jalur pengadilan.


4.

Suatu masukan bahwa meskipun ada jalur pengaduan, penyedia pelayanan

harus berbenah diri, hal tersebut harus diikuti dengan evaluasi tenaga medis yang sudah
berkompetensi dan menjalankan profesi sesuai dengan standar operasional. Evaluasi
pelayanan kesehatan dimulai sejak pendidikan bagi penyedia layanan. Salah satu cara
melindungi hak pasien adalah meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penyedia
layanan dengan adanya pengakuan bahwa rumah sakit telah terakreditasi. Sebelum rumah
sakit mendapat akreditasi harus mendapat izin operasional dari dinas kesehatan dan
Departemen Kesehatan. Proses akreditasi diantaranya adanya rekam medis, pelayanan gawat
darurat, apotek, kelayakan bangsal, keamanan gedung, dan infrastruktur rumah sakit.

5.

Rumah sakit di Indonesia juga telah diatur keberadaannya, tinggal

bagaimana para penyedia pelayanan kesehatan mengelola rumah sakit tersebut. Adapun
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan keberadaan rumah sakit
6.

adalah:88

7. 1. UUD 1945
8. Pasal-pasal yang mengatur tentang kesehatan lebih banyak dipaparkan di Amandemen
UUD 1945. Pada Pasal 28 H ayat 1 menyebutkan bahwa setiap

88 Menjamurnya Bisnis Kesehatan, Kompas 26 Juni 2009.


Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

9. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Dalam Amandemen UU Pasal 34 ayat 3 juga menyebutkan bahwa negara
bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan
umum yang layak.

2. UU No. 18 Tahun 1953


10. UU ini mengatur penunjukan rumah sakit partikelir untuk melayani orang miskin dan
orang yang kurang mampu. Pembiayaan rumah sakit ini diganti oleh negara.

3. UUNo.9 Tahun 1960


11. Dalam Bab IV Pasal 14, pemerintah memberikan kesempatan kepada pihak swasta
untuk menjalankan usaha di sektor kesehatan dengan tetap mementingkan fungsi sosial
yang diemban dan tidak semata-mata mencari keuntungan.

4. UU No 7 Tahun 1987
12. Dalam UU yang mengatur tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan dalam
bidang kesehatan kepada daerah, pemerintah daerah bertugas mengawasi dan
memberikan ijin sementara untuk pendirian sarana kesehatan oleh departemen lain,
BUMN dan swasta.

5. UU No.23 Tahun 1992


13. Dalam UU tentang kesehatan ini, pemerintah memiliki tugas mengawasi semua
kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan, baik yang dilakukan
oleh pemerintah maupun masyarakat.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

14. 6. Rancangan UU tentang Rumah Sakit (2008)


15. Rancangan UU ini bertujuan agar rumah sakit dapat memberikan pelayanan yang
16. lebih bermutu dan terjangkau serta menghindari persaingan yang tidak sehat.
17. Dalam rancangan ini, diatur tugas, persyaratan, kewajiban, dan hak, baik rumah
18. sakit maupun pasien serta hal-hal lainnya.
19. Jadi dengan adanya undang - undang rumah sakit, diharapkan tidak ada lagi pasien
yang ditolak rumah sakit. Bila ada rumah sakit yang menolak pasien, dapat dijatuhi
sanksi, mulai dari peringatan sampai pencabutan izin.

20.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

21.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN


22.

23. A. Kesimpulan
24.

Dari uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat

ditarik kesimpulan, sebagai berikut:

1. Tanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan yang ada di rumah sakit adalah
terlebih dahulu terletak pada direktur rumah sakit sebagai pelaku usaha. Hal ini
sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 19 Undang-Undang No.8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan tentang tanggung jawab
pelaku usaha. Dalam kontek Hukum Kedokteran, doktrin vicarious liability
diterapkan kepada rumah sakit, sehingga timbul doktrin "Hospital Liability" dimana
sebuah rumah sakit dapat dimintakan pertanggungjawaban perdata (ganti rugi) yang
ditimbulkan orang dibawah perintahnya. Lebih jelasnya bahwa ada hubungan hukum
antara rumah sakit dan pasien. Semua tanggung jawab atas pekerjaan tenaga
kesehatan (paramedik dokter) adalah menjadi beban tanggung jawab rumah sakit
tempat mereka bekerja.

2. Alternatif penyelesaian sengketa yang dapat di tempuh oleh konsumen (pasien)


dengan pihak rumah sakit adalah melalui jalur pengadilan yaitu peradilan umum atau
diluar pengadilan.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

3. B. Saran
1. Sebaiknya pelayanan kesehatan di rumah sakit lebih ditingkatkan sebaik mungkin, agar
pasien (konsumen) yang berobat lebih merasa nyaman dan aman. Rumah sakit sebagai
penyelenggara pelayanan dibidang kesehatan tidak hanya berorientasi pada bisnis
sehingga melupakan fungsi rumah sakit itu sebagai lembaga sosial ekonomis. Begitu juga
bagi para medik dalam menjalankan tugasnya sebaiknya berusaha sesuai dengan standard
profesi dan sumpah yang telah ditetapkan.

2. Sebaiknya disahkan Rancangan Undang-undang Tentang Rumah Sakit tahun 2008


menjadi Undang-undang agar pasien lebih mendapat perlindungan hukum.

4.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

5. D
A
F
T
A
R
P
U
S
T
A
K
A
6.
7.
8.

9. A. Buku-Buku
10.

11. Achadiat, M.Chrisdiono, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan
Zaman, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.
12.

13. Alkatiri, Ali, Rumah Sakit Proaktif suatu pemikiran awal, Jakarta: Nimas Multimah,
1997.
14.

15. Amelyn,Fred, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta: Grafika Tama Jay a, 1991.
16.

17. Asshiddiqie, Jimmly dan M.Ali Safa'at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta :
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
18.

19. Azwar, Azrul, Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan, Jakarta : Sinar Harapan, 1996.
20.

21. Badrul Zaman, Mariam Dams, Perjanjian Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut
Perlindungan Konsumen (Standar) Dalam Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah
Perlindungan Konsumen, BPHN: Bina Cipta, 1986.
22.

23. Cyntia, Ida, Ada Kesalahan, Ada Sanksi, Ada Hukuman, Jakarta: Samaritan, 2001.
24.

25. Christiawan, Rio, Aspek Hukum Kesehatan Dalam Upaya Medis Transplantasi
Organ Tubuh, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003.
26.

27. Chandrawilala Supriadi, Wila, Hukum Kedokteran, Jakarta:CV Mandar Maju,


28.
2001.
29.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

30. Chazawi, Adami, Malpraktek Kedokteran, Malang: Bayumedia Publishing, 2007.


31.

32. Gunawan, Johannes, Tanggung Jawab Pelaku Usaha menurut Undang undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Hukum Bisnis.
33.

34. Guwandi,J, Dokter dan Rumah Sakit, Jakarta: FK UI, 1991.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

35.----------Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Produk, FK UI, 1993.


36.

37. Hadiati, Hermin, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Bandung: PT.Citra
Aditya Bakti, 1992.
38.

39. Head,W John, Pengantar Umum Hukum Ekonomi, Jakarta: FH UI, 1997.
40.

41. Hanafiah, Jusuf & Amri Amir, Etika Kedokteran&Hukum Kesehatan, Medan:
Penerbit Buku Kedokteran EGC,1998.
42.

43. Harahap, Yahya, Berbagai Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, cet.I, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
44.

45. Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalam lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius,
1995.
46.

47. Koeswadi, Hermien Hadiati, Hukum Kedokteran (Studi tentang Hubungan Hukum
dalam Nama Dokter sebagai Salah satu Pihak), Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.
48.

49. Komalawati, D Veronika, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta: Grafika Tama
Jaya, 1991.
50.

51. Kristiyanti, Celina Tri, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
52.

53. Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2004.
54.

55. Moleong, J.Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif,

Bandung:

PT.Remaja

Rosdakarya, 1998.
56.

57. Moser, Charles, Perawatan Kesehatan tanpa Rasa Malu, Jakarta: Pustakarya,
58. 1999.
59.

60. Nasution, AZ, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Widya,
1999.
61.

62.-------------Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta :


63. Diadit Media, 2007.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

64. Nasution, Bahder Johan, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta:


Rineka Cipta, 2005.
65.

66.

Nasution, Dini Handayani, Organisasi Perumahsakitan di Indonesia, Medan: FK


67. USU, 2007.

68.

69. Nugroho, Susanti Adi, Refleksi Praktek Gugatan Perwakilan Kelompok (Class
Action) Di Indonesia, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003.
70.

71. Purwacaraka, Purnadi & Soerjono Soekanto, Sendi-sendi Ilmu dan Tata Hukum,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989.
72.

73. Rajagukguk, Erman,dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Bandar Maju,


2000.
74.

75. Samsul, Inosentius, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung


Jawab Mutlak, Jakarta: Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004.
76.

77. Satrio, J, Hukum Perikatan ( Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian), Buku I, Cetakan
II, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2001.
78.

79.

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2000.

80.

81. Shofie Yusuf, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia,


Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2008.
82.

83.----------- Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya,


84. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
85.

86.----------- Sosok Peradilan Konsumen, Jakarta: Piramedia, 2004.


87.

88. Sianturi, R, Perlindungan konsumen dilihat dari sudut peraturan perundangundangan kesehatan, Jakarta: Bina Cipta.
89.

90. Soekanto, Soerjono, Aspek Hukum Kesehatan, cet.I, Jakarta : IND Hill-Co, 1989.
91.

92.

Soekanto, Soerjono, Segi-segi Hukum dan Kewajiban Pasien, Bandung: Mandar


93. Maju, 1990.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

94. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Rajawali, 1995.
95.

96. Soekanto, Soerjono dan Purwacaraka, Perundang-undangan dan Yurisprudensi,


cet.IV, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.
97.

98. Soekanto, Soerjono dan Muhammad Kartono, Aspek Hukum dan Etika
Kedokteran di Indonesia, Jakarta: Grafiti Pers, 1983.
99.

100.

Soewono Hendrojono, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktek


Dokter dalam Transaksi Terapeutik, Surabaya: Srikandi, 2005.

101.

102.

Subekti,R dan R Tjitrosudibio, Terjemahan Kitab Undang-undang Hukum


Perdata (Burgelijk Wetboek), Jakarta: Pranadya Paramitha, 2001.

103.

104.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers,

1998.
105.

106.

Suherman, Ade Maman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, cet.I,


Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.

107.

108.

Susanto, Happy, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Visimedia,

2008.
109.

110.

Susilo, K.Zumrotin, Hak-hak Konsumen, cet.I, Jakarta: Puspa Swara, 1996.

111.

112.

Sutedi, Adrian, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan


Konsumen, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2006.

113.

114.

Tantri C dan Sulastri, Gerakan Organisasi Konsumen, Jakarta: Yayasan


Lembaga Konsumen Indonesia, 1995.

115.

116.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan


Konsumen, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2003.

117.

118.
119.

Widjaja, Gunawan, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Raja Grafindo


Persada, 2001.

120.

121.

Zakaria, Adi Afif, vol.II, Manajemen Pemasaran; Analisis, Perencanaan


Implementasi, dan Pengendalian, Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 1993

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

122.

B. Majalah, Diktat, Internet

123.

124.

Brorosusilo, Agus, Instrumen/Aspek-aspek


Konsumen dalam Sistem di Indonesia, 1997.

Perlindungan

Terhadap

125.

126.

Budiarto, M, Laporan Akhir tim penyusunan peraturan perundangundangan tentang Hukum Disiplin Tenaga Kesehatan, 1991.

127.

128.

BPHN, Nakah Akademis Peraturan Perundang-undangan RUU tentang


Perdagangan Internasional, DepKehRI, 1999.

129.

130.

Gunawan, Johannes, diktat Pertanggujawaban Produk, Pascasarjana


Universitas Katolik Parahyangan, 1998.

131.

132.

Nasution Bismar & Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum,


Pascasarjana Ilmu Hukum, USU, 2008.

133.

134.

Picard, Ellen I. dan Gerald B Roberston, Legal Liability of Doctors and


Hospital in Canada, Third Edition, Canada: Carswell, 1984.

135.

136.

Rizal, Jufrina, Mengakomodasi Masalah Perlindungan terhadap Konsumen


dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia, 1997.

137.

138.

Saifuddin, Abdul Bari, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal


dan Neonatal, 2001.

139.

Shidarta, Arif, Aspek Yuridis Hubungan Rumah Sakit, Dokter, dan Pasien,

1989.

140.

Shofie, Yusuf, Pelayanan Kesehatan Tanggung Jawab Siapa

141.

Sirait, Ningrum Natasya, Diktat Kuliah Azas Kebebasan Berkontrak &

Perjanjian

142.

Baku, Pasca Hukum USU,2008.

143.

144.

Rachmawaty, Evy, Kompas, Jumat 26 Juni 2009.

145.

146.
dan
milis

Ichsan, Muhammad "Mengakhiri Kolusi Dokter


Perusahaan
Farmasi
dari
keluarga sejahtera"

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

147.

http://manikamanika.multiply.com/journal/item/37.com.html, diakses pada


tanggal 25 Maret 2009.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

148.

Keperawatan, http://httpyasirblogspotcom.blogspot.com/2009/02/hukumdan-etika-rumah-sakit.html, diakses tgl 21 Juli 2009.

149.

150.

Lubis, Sofyan, http://www.kantorhukum


lhs.com/details_artikel_hukum.php?id=15, diakses tangal 21 Juli 2009.

151.

152.

Rahayu, Siti, http://ayoe01.multiply.com/journal/item/1, diakses tanggal 21


Juli 2009.

153.

154.

Robert Imam Sutedja, " Peraturan perundang-undangan Rumah Sakit " ,


http://www.indographstudio.com.html diakses pada tanggal 23 Februari 2009.

155.

156.

Shaleh L.Seumawe, "Dokter dan Tanggung jawab Terhadap Pihak Ketiga",


http://www.modusaceh-news.com.html, diakses pada tanggal 25 Maret 2009.

157.

158.
159.

Henny Saida Flora,


http://mediasuakamediaperlindungankonsumendiindonesia.com/2009/04/per
a nan-pemerintah.html, diakses pada tanggal 4 April 2009

160.

161.
162.

Henny Saida Flora,


http://www.freewebs.com/pencegahanberspektifpasien/implikasihukum.html
, diakses 25 Maret 2009

163.

164.

Titiana Adinda, http://maleakhi.com/?=p98-peraturan-kesehatan.html ,


diakses tgl 1 Juni 2009

165.

166.
167.

Muhammad Rasyid,
http://els.bappenas.go.id/upload/other/Banyak%20Rumah%20Sakit%20tidak
%20Memiliki-MI.htm, diakses tanggal 17 Juni 2009

168.

169.

C. Peraturan Perundang-undangan

170.

Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Undang-undang No.29 Tahun


2004 Tentang Praktik Kedokteran Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 Tentang
Tenaga Kesehatan.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

171.

Keputusan Menteri Kesehatan No.l29/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar


Pelayanan Minimal Rumah Sakit.

172.

173.

Surat Edaran Menteri Kesehatan No.725/Menkes/E/VI/2004 Tentang Upaya


Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik.

174.

Keputusan Menteri Kesehatan Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial


No.l9l/Menkes-Kesos/SK/II/200l Tentang Rumah Sakit.

175.

176.

Keputusan Menteri Kesehatan No. 582/Menkes/SK/VI/1997 Tentang Pola Tarif


Rumah Sakit Pemerintah.

177.

178.

Keputusan MenteriPerindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep/12/2001


tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

179.

180.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

181.

182.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

183.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, 2009

Anda mungkin juga menyukai