Perluasan Konsep Fully-Functioning-Person Dengan Karakter Taluba: Konseptualisasi Konseling Berpusat Pribadi Dalam Mewujudkan Karakter Harapan Masyarakat Suku Banjar
Perluasan Konsep Fully-Functioning-Person Dengan Karakter Taluba: Konseptualisasi Konseling Berpusat Pribadi Dalam Mewujudkan Karakter Harapan Masyarakat Suku Banjar
dengan lingkungan yang lebih luas, yaitu lingkungan masyarakat sekitarnya. Hal ini
mengartikan bahwa seluruh tingkah laku manusia tidak akan lepas dari kehidupan
masyarakat yang ada di sekelilingnya. Hal ini mengartikan pula bahwa individu
tersebut hidup bersama dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.
Dalam keadaan hidup bersama ini masyarakat menciptakan sesuatu yang
dapat dijadikan sebagai pedoman hidup. Sesuatu yang diciptakan itu bisa berupa
benda-benda (artefak), peraturan dan nilai nilai yang dipakai secara kolektif. Dengan
mempergunakan kematangan dirinya, maka masyarakat tersebut menciptakan suatu
bentuk budaya tertentu. Spesifikasi budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu
akan berbeda dengan budaya yang dimiliki oleh masyarakat lainnya. Dengan
demikian, budaya akan dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengenal
masyarakat tertentu (Vontress, 2007).
Sejak lama persoalan tentang budaya ini selalu menjadi isu yang menarik
untuk dikaji, terutama dalam ilmu konseling. Seperti yang telah diketahui pada
umumnya bahwa ilmu konseling merupakan ilmu yang berasal dari negara barat.
Budaya barat cenderung mengedepankan cara berpikir yang rasional dan masuk akal
dalam upaya untuk menciptakan pribadi sehat. Hal ini tentu agak sedikit berbeda
dengan budaya timur yang masih banyak terdogma oleh nilai-nilai agama dan budaya
yang sangat kental. Perbedaan itu nampak dalam definisi konseling barat yang
dikemukakan oleh Gladding (2012) yaitu merupakan sebuah teka-teki yang rumit di
mana jalur-jalur pikiran bertemu dengan acak dan tepat untuk membuat masuk akal
dari yang tidak masuk akal. Berbeda dengan definisi konseling yang dikemukakan
oleh Prayitno dan Erman Amti (2009) yang menyebutkan bahwa konseling
merupakan proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling
oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu
masalah (konseli) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh
konseli. Dari kedua definisi tersebut terlihat bahwa konseling versi barat lebih
bertumpu pada pengubahan pola pikir yang tidak logis menjadi logis, irasional
menjadi rasional dan tidak masuk akal menjadi masuk akal. Sedangkan versi timur,
tidak menekankan proses rasionalisasi pikiran seeksplisit itu.
Kedua perbedaan tersebut selanjutnya menimbulkan berbagai macam
pertanyaan seperti apakah ilmu konseling cukup relevan untuk diterapkan secara
penuh di Indonesia? Bagaimana penerapan ilmu konseling dalam pelaksanaan
konseling terhadap konseli di Indonesia? Atau apakah konseling dapat benar-benar
menjawab harapan masyarakat budaya tertentu di Indonesia untuk mewujudkan
pribadi ideal versi mereka? Integrasi keilmuan konseling dengan budaya tentunya
dibutuhkan terutama dalam perkembangan profesi konseling di Indonesia. Sebab
kekuatan dan eksistensi suatu profesi muncul dari kepercayaan publik (public trust).
Masyarakat akan percaya bahwa pelayanan yang diperlukannya itu hanya dapat
diperoleh dari orang yang dipersepsikan sebagai orang yang berkompeten untuk
memberikan layanan itu. Public trust akan menentukan definisi profesi dan
memungkinkan anggota profesi berfungsi dalam cara-cara professional (Sunaryo
Kartadinata, 2005). Public trust ini dapat ditumbuhkan salah satunya dengan
terwujudnya kompetensi dan keahlian anggota profesi dalam hal memberikan
pelayanan yang akurat, efektif dan efisien kepada masyarakat. Artinya untuk
memberikan pelayanan yang sesuai dengan tiga kriteria tersebut, konselor sebagai
pelaksana profesi konseling perlu membumikan keilmuannya ke dalam nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakat. Sebab menurut Sue dan Sue (2003), konselor yang
efektif adalah konselor yang sadar akan nilai budaya dan mengintegrasikannya dalam
pelaksanaan konseling. Pendapat ini juga diperkuat oleh Permendiknas nomor 27
tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Konselor yang menyebutkan
dalam sub-kompetensi Pedagogik poin 1.3.,
secara
keseluruhan.
Makhluk
hidup
mempunyai
satu
dasar
3. Kongruensi
Merupakan kondisi transparan di dalam hubungan terapi dengan
menghilangkan aturan dan penghalang. Ini adalah kesiapan konselor untuk
mengesampingkan kepedulian dan kesibukan pribadi dan ada serta terbuka di
dalam hubungan dengan konselinya.
Dengan kata lain, konselor asli tidak berpura-pura menjadi tertarik
ketika mereka tidak, tidak perhatian palsu atau pemahaman, jangan
mengatakan apa yang mereka tidak berarti, dan tidak mengadopsi perilaku
yang dirancang untuk memenangkan persetujuan. Mereka dapat melakukan
fungsi profesional mereka tanpa bersembunyi di balik peran profesional
mereka (Corey, 2013).
Tujuan dasar Person-centered sebagaimana dinyatakan oleh Seligman
(2006) adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu konseli
untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan
terapeutik tersebut, konselor perlu mengusahakan agar konseli bisa memahami
hal-hal yang ada di balik topeng yang dikenakannya. Konseli seringkali
mengembangkan kepura-puraan dan bertopeng sebagai pertahanan terhadap
ancaman saat konseling. Sandiwara yang dimainkan oleh konseli menghambatnya
untuk tampil utuh di hadapan oranglain dan dalam usahanya menipu orang lain, ia
menjadi asing terhadap dirinya sendiri. Apabila dinding itu runtuh selama proses
konseling berlangsung, maka tujuan akhir dari pendekatan berpusat pada pribadi
ini akan terwujud. Tujuan tersebut adalah membuat konseli menjadi pribadi yang
berfungsi penuh (Fully-Functioning Person). Rogers (dalam Corey 2013)
menguraikan ciri-ciri Fully-Functioning Person yaitu:
1. Keterbukaan pada pengalaman
Keterbukaan pada pengalaman perlu memandang kenyataan tanpa
mengubah bentuknya supaya sesuai dengan struktur diri yang tersusun lebih
dulu.
Sebagai
lawan
kebertahanan,
keterbukaan
pada
pengalaman
itu hadir diluar dirinya. Hal ini juga berarti bahwa kepercayaan-kepercayaan
orang tidak kaku; ia dapat tetap terbuka terhadap pengetahuan lebih lanjut dan
pertumbuhan serta bisa menoleransi kehawatiran. Orang memiliki kesadaran
atas diri sendiri pada saat sekarang dan kesanggupan mengalami dirinya
dengan cara-cara yang baru.
dirinya
untuk
mengarahkan
hidupnya
sendiri.
Dengan
10
sosok yang demikian, dapat dijadikan referensi untuk sosok Urang Banua
adalah Muhammad Arsyad al Banjari yang diberi gelar Datu Kalampayan.
DISKUSI
Tujuan dasar Person-Centered Therapy sebagaimana dinyatakan oleh
Seligman (2006) adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu
konseli untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh. Dalam hal ini konselor
memiliki tugas untuk memandirikan konseli sehingga dirinya dapat menjadi pribadi
yang berdayaguna dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul di
kehidupannya. Untuk itu Rogers mengemukakan kriteria pribadi yang berfungsi
penuh sebagai pribadi yang memiliki keterbukaan pada pengalaman, percaya pada
diri sendiri, mengevaluasi diri secara internal dan kesediaan untuk berproses.
Di sisi lain, masyarakat suku Banjar percaya bahwa karakteristik yang
seharusnya dicapai oleh individu adalah menjadi pribadi yang baiman, bauntung dan
batuah (Sarbaini, 2014). Tiga kriteria tersebut lebih cenderung dapat disebut sebagai
sebuah proses yang dimulai dari menjadi pribadi baiman, untuk menjadi individu
yang batuah atau bermartabat di mata masyarakat sekitarnya.
Karakter baiman disebutkan sebagai karakter yang pertama harus dicapai oleh
masyarakat Banjar karena suku Banjar merupakan masyarakat yang menjunjung
tinggi nilai-nilai religius keislaman. Hal ini terbukti dari sensus penduduk yang
dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Kota Banjarmasin dalam proyeksi penduduk
tahun 2010-2020 yang menyebutkan bahwa Masyarakat Kota Banjarmasin adalah
masyarakat yang mayoritas penduduknya penganut agama Islam. Ada sekitar 597.556
orang beragama Islam (BPS Kota Banjarmasin, 2010). Karenanya merupakan hal
yang lazim apabila orang tua berharap dan mendoakan anak-anak mereka agar
menjadi pribadi yang memiliki keimanan dan ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Esa.
Keimanan ini akan menjadi fondasi yang kuat bagi individu dalam berpikir, merasa
dan bersikap di kehidupan sehari-harinya. Maka dari itu apabila seseorang sudah
baiman, maka insya Allah dirinya akan menjadi pribadi yang bauntung.
12
14
15
makhluk lain. Manusia juga memiliki kemampuan dalam hal mengubah apa
yang ada dalam diri mereka. Allah menegaskan secara tersirat bahwa dengan
usahanya sendiri, manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang ia inginkan.
3. Mengevaluasi diri secara internal
Terkait dengan evaluasi diri secara internal, Rogers mengemukakan
bahwa seseorang lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri
bagi masalah-masalah keberadaannya. Orang semakin menaruh perhatian
pada pusat dirinya daripada mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari
luar. Ia mengganti persetujuan universal dari orang lain dengan persetujuan
dari diri sendiri. Ia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke
dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan
bagi hidupnya (Corey, 2013). Hal ini juga telah diperintahkan kepada orang
yang beriman melalui surah Al-Hasyr ayat 18 yang artinya sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya
untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dari ayat ini dapat dimaknai bahwa Allah memerintahkan kepada
orang-orang yang beriman untuk mengevaluasi dirinya sendiri terutama
terkait dengan apa yang sudah dilakukannya. Artinya orang yang beriman
hendaknya tidak bergantung pada penilaian-penilaian orang lain dalam
mengevaluasi dirinya, akan tetapi perlu mengembangkan self-talk untuk
menemukan penilaian tentang dirinya sendiri. Sehingga selanjutnya ia akan
membuat pilihan-pilihan baru yang akan dilakukannya untuk memperbaiki
dirinya.
4. Kesediaan untuk berproses
Dalam Islam, kesediaan untuk berproses ini dimaknai sebagai
kesediaan manusia dlam menghadapi setiap cobaan dan ujian dalam
kehidupannya untuk menjadikan dirinya sebagai golongan orang-orang yang
16
benar-benar beriman dan bertaqwa kepada Allah. Hal ini ditegaskan dalam
surah Ali-Imran ayat 186 yang artinya adalah:
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu.
Dan (juga) kamu benar-benar akan mendengar dari orang-orang yang
diberi al-Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang
mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan
hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang
demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.
Ayat ini mengungkapkan bahwa orang yang akan diutamakan oleh
Allah adalah orang-orang yang mampu sabar dalam menghadapi segala ujian
dan cobaan yang diberikan dalam hidupnya. Kata diutamakan di sana dapat
dimaknai bahwa orang-orang tersebut akan diberikan derajat yang lebih tinggi
dari sebelumnya, atau dapat juga dikatakan mendapatkan kualitas-kualitas
pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan kata lain, orang yang sabar
dalam menghadapi ujian dan cobaan merupakan orang yang menghargai suatu
proses. Hal ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Rogers (dalam
Corey, 2013) bahwa individu menyadari perumbuhan, perubahan yang terjadi
pada dirinya merupakan bagian daripada proses yang berkesinambungan,
dalam hal ini individu berada dalam pengujian persepsi-persepsi dirinya
tentang hal yang lalu, sedang dan akan datang, persepsi tersebut dapat
membuka kepercayaan akan dirinya serta merevisi pengalaman-pengalaman
barunya.
Dari sini dapat terlihat bahwa konsep fully-functioning person jika dikaitkan
dengan karakteristik Taluba, maka hanya mewakili sampai pada kriteria pribadi yang
baimanwalaupun konsep pribadi yang baiman lebih luas dari itu. Baiman memang
merupakan karakteristik pribadi yang paling awal, akan tetapi karakter baiman ini
menjadi fondasi yang harus kokoh agar seseorang dapat mencapai dua karakter
selanjutnya, yaitu bauntung dan batuah. Untuk memperjelas, berikut adalah diagram
17
Baiman
Bauntung
FullyFunctioning
Person
Batuah
Gambar 1
Dari diagram tersebut dapat dikatakan bahwa apabila konselor berhasil
mewujudkan konseli yang berfungsi secara penuh, maka artinya konselor telah
mampu membuat kemajuan dalam upaya menumbuhkan karakter baiman.
Selanjutnya karakter baiman yang telah terbentuk itu akan menjadi modal bagi
konseli untuk melangkah menuju pencapaian aktualisasi pada karakter yang
bauntung, dimana dirinya akan bermanfaat bagi orang banyak dan selanjutnya
menjadi batuah, dimana dirinya akan mendapatkan respect dari masyarakat
lingkungan tempat dirinya tinggal serta menjadi bermartabat.
IMPLIKASI
Guna mencapai fully-functioning person sebagai tujuan konseling berpusat
pribadi, Rogers menekankan pada pentingnya hubungan antara konselor dan konseli
dalam proses konseling. Hubungan tersebut haruslah dilandaskan pada empati,
penghargaan positif tanpa syarat dan kongruensi (Corey, 2013).
18
sangat
fleksibel
untuk
digunakan
dalam
menyelesaikan
berbagai
19
20
khawatir, padahal sebelumnya mereka tidak kenal sama sekali. Tanpa sikap empati
yang besar persaudaraan antara mereka tidak akan pernah terjalin.
Melapangkan penderitaan sesama muslim dengan mampu menyelami keadaan
jiwanya dapat membuat hati saudara kita menjadi tenang. Ketenangan hati ini akan
membawa pada kejernihan jiwa dalam memandang sebuah permasalahan sehingga
hati kita akan semakin menyadari banyak hikmah yang menjadi misteri dibalik
penderitaan ini mampu merasakan apa yang dirasa oleh saudara kita yang kurang
beruntung. Ini juga dapat menjadi cerminan pribadi seorang muslim yang sempurna
selaras dengan tujuan Islam. Penderitaan sebesar apapun yang menimpa saudara kita,
jika kita menunjukkan sikap berempati denganya akan dapat meringankan beban
pikirannya, ibarat oase di tengah padang pasir yang akan selalu ditunggu (Didin
Sirojuddin, 2007). Jika hal ini dikaitkan dengan konseling, maka hanya dengan
berempati, setidaknya konselor sudah dapat membantu konseli dalam menghadapi
masalahnya. Konseli akan merasa bahwa dalam menghadapi permasalahannya, ia
tidak sendiri. Akan tetapi ada orang lain yang mau peduli dan berjalan bersama untuk
menuntaskan masalah tersebut.
Lebih lanjut penerimaan positif tanpa syarat juga menyiratkan nilai-nilai
keikhlasan dalam membantu. Seperti halnya sikap yang dicontohkan dalam Al-Quran
surah Al-Insaan ayat 8-9 yang artinya berbunyi:
"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin,
anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan
kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak
menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih."
Ayat ini bermaksud menunjukkan pada kita bahwa dalam hakikat membantu orang
lain, manusia seharusnya bersikap ikhlas dan hanya mengharapkan ridha Allah
semata. Ini bermakna bahwa ketika memberikan bantuan, konselor hendaknya tidak
mengharapkan imbalan apapun dari konselinya, baik itu dalam bentuk materil
maupun moril. Konselor yang baiman tidak melakukan pelayanan dengan
mengharapkan pujian, atau ucapan terima kasih dari konseli atau pihak lain, akan
21
22
Konselor
Baiman
Baiman
Konseli
23
Bauntung
Konselor
Bauntung
Konselor
Batuah
Batuah
Public Trust
Profesi Konseling
Gambar 2
KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagai bentuk kearifan
lokal, nilai-nilai Taluba (baiman, bauntung, batuah) yang merupakan wujud
24
REFERENSI
Anwar Sutoyo. 2015. Menjadi Penolong. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
25
26
27