Anda di halaman 1dari 27

PERLUASAN KONSEP FULLY-FUNCTIONING-PERSON DENGAN

KARAKTER TALUBA: KONSEPTUALISASI KONSELING BERPUSAT


PRIBADI DALAM MEWUJUDKAN KARAKTER HARAPAN
MASYARAKAT SUKU BANJAR
Rudi Haryadi
riddark@ymail.com
Program Pascasarjana Bimbingan dan Konseling
Universitas Negeri Semarang (UNNES)
ABSTRAK
Masyarakat suku Banjar memiliki karakter ideal yang diharapkan ada dalam seorang
individu, yaitu Taluba (baiman, bauntung, batuah). Konselor memiliki tantangan
untuk menjawab harapan ini melalui konseling. Pendekatan konseling yang juga
memiliki karakter ideal ini salah satunya adalah Konseling Berpusat Pribadi dengan
konsep Fully-functioning Person. Konsep Taluba dapat digunakan untuk memperluas
konsep Fully-functioning Person sebagai tujuan Konseling Berpusat Pribadi pada
konseli dari masyarakat suku Banjar. Guna mencapai tujuan tersebut, konselor sendiri
harus memiliki karakter yang baiman sehingga dapat membina hubungan terapeutik
yang baik dengan konseli dan membuktikan diri sebagai pribadi yang bauntung serta
batuah.
Kata Kunci: Taluba, Konseling Berpusat Pribadi, Fully-Functioning Person
PENDAHULUAN
Sesuai dengan kodrat yang dimiliki oleh manusia bahwa manusia diciptakan
sebagai individu dan mahkluk sosial. Sebagai individu, manusia diciptakan dengan
mempunyai ciri yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan
demikian, manusia atau individu dapat dikenali oleh orang lain dengan mengenal ciri
ciri tertentu yang dimilikinya.
Sebagai mahkluk sosial, manusia merupakan bagian dari masyarakat di
sekitarnya. Bagian lingkungan terkecil yang mempengaruhi pola kehidupan manusia
adalah keluarga (family). Setelah itu, individu tersebut mulai melakukan interaksi

dengan lingkungan yang lebih luas, yaitu lingkungan masyarakat sekitarnya. Hal ini
mengartikan bahwa seluruh tingkah laku manusia tidak akan lepas dari kehidupan
masyarakat yang ada di sekelilingnya. Hal ini mengartikan pula bahwa individu
tersebut hidup bersama dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.
Dalam keadaan hidup bersama ini masyarakat menciptakan sesuatu yang
dapat dijadikan sebagai pedoman hidup. Sesuatu yang diciptakan itu bisa berupa
benda-benda (artefak), peraturan dan nilai nilai yang dipakai secara kolektif. Dengan
mempergunakan kematangan dirinya, maka masyarakat tersebut menciptakan suatu
bentuk budaya tertentu. Spesifikasi budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu
akan berbeda dengan budaya yang dimiliki oleh masyarakat lainnya. Dengan
demikian, budaya akan dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengenal
masyarakat tertentu (Vontress, 2007).
Sejak lama persoalan tentang budaya ini selalu menjadi isu yang menarik
untuk dikaji, terutama dalam ilmu konseling. Seperti yang telah diketahui pada
umumnya bahwa ilmu konseling merupakan ilmu yang berasal dari negara barat.
Budaya barat cenderung mengedepankan cara berpikir yang rasional dan masuk akal
dalam upaya untuk menciptakan pribadi sehat. Hal ini tentu agak sedikit berbeda
dengan budaya timur yang masih banyak terdogma oleh nilai-nilai agama dan budaya
yang sangat kental. Perbedaan itu nampak dalam definisi konseling barat yang
dikemukakan oleh Gladding (2012) yaitu merupakan sebuah teka-teki yang rumit di
mana jalur-jalur pikiran bertemu dengan acak dan tepat untuk membuat masuk akal
dari yang tidak masuk akal. Berbeda dengan definisi konseling yang dikemukakan
oleh Prayitno dan Erman Amti (2009) yang menyebutkan bahwa konseling
merupakan proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling
oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu
masalah (konseli) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh
konseli. Dari kedua definisi tersebut terlihat bahwa konseling versi barat lebih
bertumpu pada pengubahan pola pikir yang tidak logis menjadi logis, irasional

menjadi rasional dan tidak masuk akal menjadi masuk akal. Sedangkan versi timur,
tidak menekankan proses rasionalisasi pikiran seeksplisit itu.
Kedua perbedaan tersebut selanjutnya menimbulkan berbagai macam
pertanyaan seperti apakah ilmu konseling cukup relevan untuk diterapkan secara
penuh di Indonesia? Bagaimana penerapan ilmu konseling dalam pelaksanaan
konseling terhadap konseli di Indonesia? Atau apakah konseling dapat benar-benar
menjawab harapan masyarakat budaya tertentu di Indonesia untuk mewujudkan
pribadi ideal versi mereka? Integrasi keilmuan konseling dengan budaya tentunya
dibutuhkan terutama dalam perkembangan profesi konseling di Indonesia. Sebab
kekuatan dan eksistensi suatu profesi muncul dari kepercayaan publik (public trust).
Masyarakat akan percaya bahwa pelayanan yang diperlukannya itu hanya dapat
diperoleh dari orang yang dipersepsikan sebagai orang yang berkompeten untuk
memberikan layanan itu. Public trust akan menentukan definisi profesi dan
memungkinkan anggota profesi berfungsi dalam cara-cara professional (Sunaryo
Kartadinata, 2005). Public trust ini dapat ditumbuhkan salah satunya dengan
terwujudnya kompetensi dan keahlian anggota profesi dalam hal memberikan
pelayanan yang akurat, efektif dan efisien kepada masyarakat. Artinya untuk
memberikan pelayanan yang sesuai dengan tiga kriteria tersebut, konselor sebagai
pelaksana profesi konseling perlu membumikan keilmuannya ke dalam nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakat. Sebab menurut Sue dan Sue (2003), konselor yang
efektif adalah konselor yang sadar akan nilai budaya dan mengintegrasikannya dalam
pelaksanaan konseling. Pendapat ini juga diperkuat oleh Permendiknas nomor 27
tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Konselor yang menyebutkan
dalam sub-kompetensi Pedagogik poin 1.3.,

konselor harus menguasai landasan

budaya dalam praksis pendidikan, kemudian juga pada sub-kompetensi Profesional


poin 12.4., menyebutkan bahwa konselor harus mampu mengaplikasikan pelayanan
bimbingan dan konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja. Ini dapat
dimaknai bahwa konselor dituntut untuk mampu menyesuaikan pelayanannya dengan
memasukkan unsur-unsur kebudayaan masyarakat setempat.

Dengan status Indonesia sebagai sebuah negara mutikultural, tentu tidak


mudah bagi konselor hanya menggunakan teori-teori konseling konvensional. Apalagi
karena hampir seluruh teori konseling dicetuskan oleh barat, tentunya tidak ada
satupun teori konseling yang memiliki konsep berkaitan dengan budaya-budaya keIndonesia-an. Untuk itu diperlukan adanya konseptualisasi antara teori-teori
konseling konvensional dengan nilai-nilai budaya masyarakat setempat untuk
menciptakan konseling yang efektif. Kemampuan untuk menerapkan konseling model
barat dengan pendekatan budaya setempat akan membuat konselor memiliki
awareness terhadap unsur budaya konseli (Eka Heriyani & Ahmad Yunus, 2016).
Sehingga diharapkan ini akan membentuk hubungan terapeutik yang lebih baik antara
konselor dan konseli serta dapat berbagi cara pandang dengan konseli mengenai
berbagai hal terutama terkait dengan harapan atas adanya konseling.
Konseli sebagai bagian dari masyarakat berbudaya, memiliki harapan atas
adanya pelayanan konseling (Corey, 2013), baik itu harapan pribadi maupun harapan
yang terkait dengan nilai-nilai kebudayaan yang dianut. Jika dilihat dari sudut
pandang budaya yang dianut oleh konseli, seringkali suatu budaya memiliki kriteria
tentang karakteristik yang diharapkan dari seorang manusia. Contohnya dalam
tatanan masyarakat Banjar yang mayoritas mendiami daerah Kalimantan Selatan,
terdapat pandangan mengenai karakteristik manusia yang ideal, biasanya harapan ini
sering diucapkan dalam doa-doa orang tua kepada anaknya atau nasehat-nasehat
orang yang dituakan. Oleh masyarakat Banjar, karakteristik ini disebut sebagai
Taluba (Tiga Ba) yang umumnya dijabarkan dalam tiga istilah yaitu Baiman,
Bauntung, Batuah (Sarbaini, 2014). Adanya karakteristik pribadi ideal budaya Banjar
ini menjadi tantangan tersendiri bagi konselor yang bekerja di daerah Kalimantan
Selatan. Untuk mendapatkan public trust masyarakat setempat akan profesi
konseling, berarti konselor harus mampu menjawab harapan ini dengan membantu
mewujudkan masyarakat Banjar yang Taluba melalui konseling.
Sebenarnya beberapa konsep teori konseling barat sendiri memiliki asumsi
tentang pribadi sehat yang ideal. Salah satu teori pendekatan konseling yang memiliki

asumsi tersebut adalah pendekatan Konseling Berpusat Pribadi atau Person-Centered


Therapy. Dalam pendekatan ini, Carl Rogers (dalam Corey, 2013) sebagai
pencetusnya mengemukakan konsep pribadi yang berfungsi penuh (fully-functioning
person) sebagai bentuk pribadi sehat yang ideal. Pribadi ini menjadi tujuan yang
diharapkan akan tercapai dalam pembinaan hubungan antara konselor dan konseli
pada pendekatan Person-Centered Therapy.
Hal yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan mewujudkan
fully-functioning person berarti konselor juga telah mewujudkan karakteristik sesuai
yang diharapkan oleh masyarakat Banjar? Pencarian jawaban akan pertanyaan itulah
yang membawa kepada keinginan adanya konseptualisasi pendekatan konseling
berpusat pribadi dengan nilai-nilai karakteristik Taluba pada masyarakat Banjar.
Sehingga dengan pemahaman yang dihasilkan dari konseptualisasi tersebut, akan
dapat membawa profesi konseling mendapatkan tempat di hati dan pikiran
masyarakat Banjar sebagai profesi yang bermartabat dan dibutuhkan secara luas.
KAJIAN TEORITIS
A. Konsep Dasar Person Centered Therapy
Pandangan tertentu tentang sifat manusia terimplisit dalam konseling
berpusat pribadi adalah manusia pada dasarnya baik. Manusia secara
karakteristikpositif, bergerak maju, konstruktif, realistik dan dapat diandalkan.
Setiap orang sadar, terarah, dan maju ke arah aktualisasi diri sejak masa kanakkanak (Glading 2012).
Menurut Rogers, aktualisasi diri merupakan penggerak yang paling umum
dan memotivasi keberadan, serta mencakup tindakan yang mempengaruhi orang
tersebut

secara

keseluruhan.

Makhluk

hidup

mempunyai

satu

dasar

kecenderungan dan perjuangan yaitu aktualisasi diri, mempertahankan, dan


meningkatkan si makhluk yang merasakannya tersebut. Para ahli teori konseling
berpusat pada pribadi yakin bahwa masing-masing indivudu mampu menemukan

arti diri dan tujuan dalam kehidupan. Disfungsionalitas sesungguhnya adalah


kegagalan untuk belajar dan berubah.
Rogers memandang individu dari perspektif fenomenological: yang
penting adalah persepsi manusia mengenai realita dibanding peristiwa yang
terjadi itu sendiri. Cara memandang manusia ini mirip dengan teori Adler. Konsep
diri adalah gagasan lain yang dimiliki oleh Adler dan juga Rogers. Tetapi pada
Rogers konsep tersebut adalah inti dari teorinya sehingga gagasannya sering
disebut teori diri. Diri adalah hasil dari pengalaman yang dialami seseorang, dan
suatu kesadaran akan diri dapat membantu orang membedakan dirinya dari orang
lain.
Agar muncul diri yang sehat, seseorang membutuhkan perhatian positif,
cinta, kehangatan, kasih sayang, respek, dan penerimaan. Akan tetapi di masa
kanak-kanak, dan di masa kehidupan berikutnya, seseorang sering kali menerima
perhatian berpamrih dari orang tua dan orang lain. Rasa berharga berkembang
jika seseorang berperilaku dalam cara tertentu karena penerimaan dengan pamrih
mengajarkan pada orang tersebut bahwa dirinya dihargai hanya jika berkompromi
dengan keinginan orang lain. Jadi, seseorang terkadang harus menyangkal atau
membelokkan persepsi ketika seseorang yang menjadi tempatnya bergantung
memandang situasinya secara berbeda. Individu yang terjebak di dalam dilema
semacam itu akan menyadari adanya ketidaksamaan antara persepsi pribadi dan
pengalaman. Jika seseorang tidak melakukan seperti apa yang diinginkan orang
lain, dia tidak akan diterima dan dihargai. Namun, jika dia melakukan kompromi,
dia membuka jurang pemisah antara idealisme diri (sosok yang ingin ia tiru) dan
realita diri (diri orang tersebut apa adanya). Semakin jauh idealisme diri dengan
realita diri, semakin asing dan menyimpang orang tersebut.
Sehingga pada intinya, tujuan dalam konseling berpusat pribadi berkisar
pada konseli sebagai manusia, bukan permasalahan yang dihadapinya. Rogers
menekankan bahwa orang perlu bantuan untuk belajar bagaimana menghadapi
berbagai situasi. Salah satu cara adalah membantu konseli menjadi orang yang
6

berfungsi penuh (fully-functioning person), yang tidak perlu menerapkan


mekanisme pertahanan diri untuk menghadapi pengalaman sehari-hari.
Bagi konselor yang menggunakan pendekatan berpusat pada pribadi,
kualitas hubungan konseling jauh lebih penting daripada teknik yang digunakan.
Rogers (dalam Corey, 2013) percaya bahwa ada tiga kondisi yang penting dan
perlu pada konseling:
1. Empati
Empati dapat subjektif, antarpribadi, atau objektif. Sering kali empati
adalah kombinasi ketiganya. Dalam situasi terapi, empati adalah kemampuan
konselor untuk menyatu dengan konseli dan memantulkan pemahaman ini
kembali kepada mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara tetapi
empati secara esensial adalah suatu upaya untuk berfikir dengan, alih-alih
untuk atau mengenai, konseli dan untuk menyerap komunikasi, maksud, dan
pengertian konseli tersebut.
2. Penghargaan Positif Tanpa Syarat
Bisa juga dikenal sebagai penerimaan, merupakan kasih sayang yang
tulus dan dalam bagi konseli sebagai seorang manusia yaitu menghargai
manusia sebagai seorang manusia. Merupakan penerimaan dan merawat
anggota kelompok.
Ketika konselor menampilkan sikap positif yang tidak menghakimi,
sikap menerima terhadap konseli mereka, perubahan terapeutik lebih mungkin
terjadi. Hal positif melibatkan komunikasi sebuah kepedulian yang tanpa
kondisi dan yang tidak terkontaminasi oleh evaluasi atau penilaian perasaan
konseli dan pikiran. Dengan menghargai dan menerima pengalaman konseli
tanpa menempatkan ketentuan dan harapan pada penerimaan ini, para
konselor mengurangi pembelaan konseli dan memungkinkan konseli untuk
lebih terbuka kepada semua pengalaman mereka dan lebih terlibat dalam
terapi mereka (Corey, 2013).

3. Kongruensi
Merupakan kondisi transparan di dalam hubungan terapi dengan
menghilangkan aturan dan penghalang. Ini adalah kesiapan konselor untuk
mengesampingkan kepedulian dan kesibukan pribadi dan ada serta terbuka di
dalam hubungan dengan konselinya.
Dengan kata lain, konselor asli tidak berpura-pura menjadi tertarik
ketika mereka tidak, tidak perhatian palsu atau pemahaman, jangan
mengatakan apa yang mereka tidak berarti, dan tidak mengadopsi perilaku
yang dirancang untuk memenangkan persetujuan. Mereka dapat melakukan
fungsi profesional mereka tanpa bersembunyi di balik peran profesional
mereka (Corey, 2013).
Tujuan dasar Person-centered sebagaimana dinyatakan oleh Seligman
(2006) adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu konseli
untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan
terapeutik tersebut, konselor perlu mengusahakan agar konseli bisa memahami
hal-hal yang ada di balik topeng yang dikenakannya. Konseli seringkali
mengembangkan kepura-puraan dan bertopeng sebagai pertahanan terhadap
ancaman saat konseling. Sandiwara yang dimainkan oleh konseli menghambatnya
untuk tampil utuh di hadapan oranglain dan dalam usahanya menipu orang lain, ia
menjadi asing terhadap dirinya sendiri. Apabila dinding itu runtuh selama proses
konseling berlangsung, maka tujuan akhir dari pendekatan berpusat pada pribadi
ini akan terwujud. Tujuan tersebut adalah membuat konseli menjadi pribadi yang
berfungsi penuh (Fully-Functioning Person). Rogers (dalam Corey 2013)
menguraikan ciri-ciri Fully-Functioning Person yaitu:
1. Keterbukaan pada pengalaman
Keterbukaan pada pengalaman perlu memandang kenyataan tanpa
mengubah bentuknya supaya sesuai dengan struktur diri yang tersusun lebih
dulu.

Sebagai

lawan

kebertahanan,

keterbukaan

pada

pengalaman

menyiratkan menjadi lebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan


8

itu hadir diluar dirinya. Hal ini juga berarti bahwa kepercayaan-kepercayaan
orang tidak kaku; ia dapat tetap terbuka terhadap pengetahuan lebih lanjut dan
pertumbuhan serta bisa menoleransi kehawatiran. Orang memiliki kesadaran
atas diri sendiri pada saat sekarang dan kesanggupan mengalami dirinya
dengan cara-cara yang baru.

2. Kepercayaan terhadap sendiri


Salah satu tujuan terapi adalah membantu konseli dalam membangun
rasa percaya terhadap diri sendiri. Acap kali, pada tahap-tahap permulaan,
kepercayaan konseli terhadap diri sendiri dan terhadap putusan-putusannya
sendiri sangat kecil. Mereka secara khas mencari saran dan jawaban-jawaban
dari luar karena pada dasarnya mereka tidak mempercayai kemampuankemampuan

dirinya

untuk

mengarahkan

hidupnya

sendiri.

Dengan

meningkatnya keterbukaan konseli pada pengalaman-pengalamannya sendiri,


kepercayaan konseli kepada dirinya sendiripun mulai timbul.

3. Tempat evaluasi internal


Tempat evaluasi internal yang berkaitan dengan kepercayaan diri,
berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalahmasalah keberadaannya. Orang semakin menaruh perhatian pada pusat dirinya
daripada mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari luar. Ia mengganti
persetujuan universal dari orang lain dengan persetujuan dari diri sendiri. Ia
menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri
dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.

4. Kesediaan untuk Berproses


Konsep tentang diri dalam proses merupakan lawan dari konsep
tentang diri sebagai produk, dengan kata lain individu menyadari bahwa
perumbuhan, perubahan yang terjadi pada dirinya merupakan bagian daripada
proses yang berkesinambungan, dalam hal ini individu berada dalam
pengujian persepsi-persepsi dirinya tentang hal yang lalu, sedang dan akan

datang, persepsi tersebut dapat membuka kepercayaan akan dirinya serta


merevisi pengalaman-pengalaman barunya.
B. Karakter Taluba sebagai Karakteristik Harapan Masyarakat Banjar
Di dalam kehidupan masyarakat Banjar, terutama di daerah perdesaan
yang masih kental budaya Banjar, pada saat ditanyakan kepada orang tua dari
suku Banjar, doa apakah yang dipanjatkan kepada Allah SWT, oleh orang tua
kepada anaknya, maka doa yang dipanjatkan biasanya adalah "Mudahan anakku
manjadi urang nang Baiman, Bauntung wan Batuah, panjang umur, murah
razaki, hidup baiman wan mati baiman". Doa tersebut, biasanya muncul pada saat
seorang ibu, mendoakan kepada anak-anaknya, atau seorang nini (nenek) kepada
cucunya.
Doa dengan ucapan " Mudahan Baiman, Bauntung dan Batuah" selama ini
hanya terbatas sebagai doa yang meluncur dari hati seorang ibu kepada anaknya,
atau nenek mendoakan kepada cucunya, saat mendendangkan untuk tidur di
ayunan, maupun meninabobokan di tempat tidur. Kosakata "Baiman, Bauntung
dan Batuah" (Taluba, Tiga Ba) jika digali lebih dalam merupakan salah bentuk
dari kearifan lokal dalam pendidikan anak.
Istilah Baiman, Bauntung dan Batuah merupakan gambaran tentang nilainilai luhur tentang karakter manusia yang diharapkan oleh masyarakat Banjar dan
tentang bagaimana hendaknya praktik pendidikan dilakukan berbasis kearifan
lokal. Konsepsi dan praktik pendidikan terhadap anak merupakan khasanah nilainilai luhur masyarakat Banjar sebagai manifestasi pengetahuan yang dihasilkan,
disimpan, diterapkan, dikelola dan diwariskan oleh leluhur masyarakat Banjar
kepada keturunannya (Sarbaini, 2014).
1. Baiman
Baiman maknanya adalah orang yang beriman. Orang beriman berarti
harus paling tidak mengetahui apa rukun iman dan dasar-dasar ketauhidan.
Iman menjadi fondasi bagi kehidupan orang Banjar. Untuk menjadi orang
yang beriman, maka setiap orang tua mendidik anak-anaknya agar belajar
membaca Al Qur'an, belajar bacaan sholat, belajar sholat, belajar membaca

10

doa-doa, sedikitnya hafal doa selamat (doa mohon keselamatan), belajar


membaca syair-syair Maulud (Sarafal Anam, Barzanji, atau Habsyi), dan
Burdah. Jika tidak diajari oleh orangtuanya, maka orang tua memasukkan
anak-anaknya ke pondok-pondok pesantren, sekolah diniyah (waktu sore
setelah sekolah di SD), dan TPA, maupun belajar dengan Guru Mengaji di
rumah dan di langgar. Di rumah urang Banjar bahari selalu terdapat Kitab
Parukunan, Kitab Surah Yasin, dan Al Qur,an, hiasan kaligrafi Allah dan
Muhammad, dan Ayat Kursi. Cita-cita terakhir dalam kehidupan orang
Banjar adalah naik haji ke tanah suci Mekkah. Dengan fondasi baiman,
diharapkan dalam kehidupan si anak dapat menjadi manusia yang bauntung.
2. Bauntung
Bauntung maknanya adalah bermanfaat atau berguna, bukan hanya
sekedar untung saja. Untung dalam bahasa Banjar berarti bernasib baik.
Dengan berbasis pada iman, dan dibekali ilmu keagamaan, maka insya Allah
kehidupannya akan membawa manfaat dan berguna bagi dirinya sendiri,
orang lain, masyarakat, dan lingkungan. Jika asas manfaat dan berguna ini
dengan landasan iman dan digunakan menurut proses keilmuan, maka
kehidupannya insya Allah akan bernasib baik. Jadi nasib baik, bukan karena
keberuntungan semata, tetapi berbasis keimanan dan berada dalam dalam
koridor nilai-nilai keagamaan yang menjadi acuan dari proses keilmuan
untuk pemanfaatan dirinya, untuk masyarakat dan lingkungannya, menuju
keberuntungan dalam perspektif dunia-material dan akhirat-spiritual.
3. Batuah
Batuah maknanya adalah menjadi manusia yang mempunyai harkat
dan martabat, bahkan dalam taraf tertentu bisa menjadi karamah. Namun
secara awam manusia yang diharapkan paling tidak memiliki martabat yang
mulia baik di dunia maupun di akhirat. Tahap ketiga ini memadukan antara
kebermanfaatan manusia dalam konteks amaliah dunia dan amaliah akhirat
berbasis iman yang kuat dan keilmuan yang mumpuni. Jika dapat disodorkan
11

sosok yang demikian, dapat dijadikan referensi untuk sosok Urang Banua
adalah Muhammad Arsyad al Banjari yang diberi gelar Datu Kalampayan.
DISKUSI
Tujuan dasar Person-Centered Therapy sebagaimana dinyatakan oleh
Seligman (2006) adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu
konseli untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh. Dalam hal ini konselor
memiliki tugas untuk memandirikan konseli sehingga dirinya dapat menjadi pribadi
yang berdayaguna dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul di
kehidupannya. Untuk itu Rogers mengemukakan kriteria pribadi yang berfungsi
penuh sebagai pribadi yang memiliki keterbukaan pada pengalaman, percaya pada
diri sendiri, mengevaluasi diri secara internal dan kesediaan untuk berproses.
Di sisi lain, masyarakat suku Banjar percaya bahwa karakteristik yang
seharusnya dicapai oleh individu adalah menjadi pribadi yang baiman, bauntung dan
batuah (Sarbaini, 2014). Tiga kriteria tersebut lebih cenderung dapat disebut sebagai
sebuah proses yang dimulai dari menjadi pribadi baiman, untuk menjadi individu
yang batuah atau bermartabat di mata masyarakat sekitarnya.
Karakter baiman disebutkan sebagai karakter yang pertama harus dicapai oleh
masyarakat Banjar karena suku Banjar merupakan masyarakat yang menjunjung
tinggi nilai-nilai religius keislaman. Hal ini terbukti dari sensus penduduk yang
dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Kota Banjarmasin dalam proyeksi penduduk
tahun 2010-2020 yang menyebutkan bahwa Masyarakat Kota Banjarmasin adalah
masyarakat yang mayoritas penduduknya penganut agama Islam. Ada sekitar 597.556
orang beragama Islam (BPS Kota Banjarmasin, 2010). Karenanya merupakan hal
yang lazim apabila orang tua berharap dan mendoakan anak-anak mereka agar
menjadi pribadi yang memiliki keimanan dan ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Esa.
Keimanan ini akan menjadi fondasi yang kuat bagi individu dalam berpikir, merasa
dan bersikap di kehidupan sehari-harinya. Maka dari itu apabila seseorang sudah
baiman, maka insya Allah dirinya akan menjadi pribadi yang bauntung.
12

Karakter bauntung didefinisikan sebagai beruntung, berguna, dan bermanfaat


bagi orang lain. Karakter ini merupakan proses yang diharapkan terjadi oleh
masyarakat suku Banjar setelah seseorang dianggap telah memiliki keimanan yang
mumpuni. Menurut suku Banjar (dalam Sarbaini, 2014), apabila seseorang telah
beriman secara kaffah, dalam artian mengikuti ajaran-ajaran agama dengan baik,
maka ia akan menjadi pribadi yang bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Sebab,
ajaran agama Islam mengajarkan seseorang untuk senantiasa memiliki sifat-sifat
positif seperti kebaikan, kejujuran, kerja keras, tanggung jawab, dan keikhlasan
dalam kehidupan (Anwar Sutoyo, 2015). Dimensi-dimensi tersebut tentu merupakan
hal yang sangat didambakan kehadirannya dalam masyarakat, terutama suku Banjar.
Dengan begitu ketika seorang individu yang beriman mengaktualisasikan dirinya di
masyarakat, ia tidak akan menjadi pribadi yang merugikan orang lain dan selalu
mendatangkan manfaat bagi orang lain. Selain itu, dengan menjadi baiman, seseorang
akan menjadi lebih beruntung. Dalam artian bahwa hidupnya akan tenang dan
nyaman. Sebuah studi yang dilakukan oleh Krause dan Bastida (2011)
mengungkapkan bahwa ada hubungan antara kepuasan hidup di masa tua dengan
ketaatan beragama seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang taat beragama,
dalam hidupnya tidak pernah merasa kurang, atau dengan kata lain selalu puas.
Meskipun masalah selalu ada, akan tetapi bagi orang yang beragama, hal itu bukanlah
sesuatu yang harus dipusingkan. Studi tersebut memperkuat anggapan masyarakat
Banjar bahwa bauntung akan didapatkan secara otomatis ketika seseorang telah
baiman.
Setelah baiman dan bauntung, karakter selanjutnya adalah batuah. Batuah di
sini berarti memiliki harkat dan martabat yang mulia di masyarakat (Sarbaini, 2014).
Karakter batuah ini adalah tujuan akhir dari kepribadian ideal yang diharapkan oleh
masyarakat suku Banjar. Orang yang memiliki keimanan dan ketaatan pada agamanya
disertai dengan manfaat yang ia bawa di masyarakat tentulah akan memunculkan
kewibawaan tersendiri. Orang itu akan tampak memiliki nilai yang lebih ketimbang
orang-orang biasa dan akan dihormati oleh masyarakat sekitarnya.
13

Jika dibandingkan dengan konsep fully-functioning person yang dikemukakan


oleh Rogers, konsep karakteristik Taluba memiliki orientasi tidak hanya bermanfaat
untuk diri individu pribadi, akan tetapi juga bermanfaat untuk orang lain dan
lingkungan sekitarnya. Jika dijabarkan, konsep fully-functioning person dan karakter
baiman ini berada pada ruang lingkup pribadi, sedangkan karakter bauntung dan
batuah berada pada lingkup sosial yang lebih luas. Ini mengisyaratkan bahwa hanya
menjadi fully-functioning person saja masih belum cukup untuk mewujudkan harapan
masyarakat suku Banjar, akan tetapi konsep fully-functioning person dapat menjadi
pijakan awal untuk menuju kepada pribadi yang bauntung dan batuah.
Seluruh kriteria dalam pribadi yang berfungsi penuh menurut Rogers, pada
dasarnya sudah tercakup dalam karakteristik Baiman seperti yang dikemukakan oleh
masyarakat suku Banjar. Sebab seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, menjadi
baiman, berarti mengikuti segala hal yang ditetapkan oleh Tuhan, mengikuti tuntunan
Rasul dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah beberapa
dalil agama Islam yang terkait dengan empat konsep fully-functioning person milik
Rogers:
1. Keterbukaan dengan Pengalaman.
Q.S. Al-Araf ayat 56-58 menyebutkan bahwa:
Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan)
dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh
harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang
berbuat kebaikan. Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa
kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga
apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu
daerh yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian
Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan.
Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudahmudahan kamu mengambil pelajaran. Dan tanah yang baik, tanamantanamannya subur dengan izin Tuhan; dan tanah yang buruk, tanamantanamannya yang tumbuh merana. Demikianlah kami menjelaskan
berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang
bersyukur.

14

Ayat ini memberikan pemahaman implisit bahwa Allah menyediakan


manusia berbagai macam pengalaman hidup di bumi, baik itu yang berasal
dari dalam individu maupun dari luar individu. Pengalaman-pengalaman
tersebut dimaksudkan agar manusia dapat belajar darinya. Terbuka pada
pengalaman secara akurat mensimbolisasikan pengalaman-pengalaman
tersebut dalam kesadaran daripada melakukan penyangkalan dan distorsi.
Bagi orang-orang yang terbuka terhadap pengalaman, stimulus-stimulus yang
datang dari dalam organism tersebut atau dari lingkungan luar lebih diterima
secara bebas bagi dirinya (Feist & Feist, 2014). Ini bermakna bahwa dengan
adanya keterbukaan pada pengalaman, individu akan selalu memperkaya diri
mereka dengan bentuk-bentuk pengalaman baru, entah itu pengalaman baik
ataupun buruk, individu akan tetap menerima pengalaman tersebut tanpa
merasa tertekan atau keberatan dan mempergunakannya untuk menghadapi
pengalaman yang baru.
2. Percaya pada diri sendiri
Rogers (dalam Feist & Feist, 2014) menjabarkan kepercayaan diri
sebagai orang-orang yang tidak akan bergantung pada orang lain untuk
mengarahkan mereka, karena menyadari bahwa pengalaman mereka adalah
kriteria terbaik dalam mengambil keputusan. Hal ini juga diajarkan oleh AlQuran dalam ayat berikut:
Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih
hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya),
jika kamu orang-orang yang beriman (Ali Imran: 139).
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali
kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka (ArRad: 11).
Kedua ayat ini mengajarkan pada manusia bahwa diri mereka adalah
orang yang tinggi derajatnya. Tingginya derajat manusia dapat bermakna
sebagai memiliki potensi untuk berdayaguna dan tidak bergantung pada

15

makhluk lain. Manusia juga memiliki kemampuan dalam hal mengubah apa
yang ada dalam diri mereka. Allah menegaskan secara tersirat bahwa dengan
usahanya sendiri, manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang ia inginkan.
3. Mengevaluasi diri secara internal
Terkait dengan evaluasi diri secara internal, Rogers mengemukakan
bahwa seseorang lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri
bagi masalah-masalah keberadaannya. Orang semakin menaruh perhatian
pada pusat dirinya daripada mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari
luar. Ia mengganti persetujuan universal dari orang lain dengan persetujuan
dari diri sendiri. Ia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke
dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan
bagi hidupnya (Corey, 2013). Hal ini juga telah diperintahkan kepada orang
yang beriman melalui surah Al-Hasyr ayat 18 yang artinya sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya
untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dari ayat ini dapat dimaknai bahwa Allah memerintahkan kepada
orang-orang yang beriman untuk mengevaluasi dirinya sendiri terutama
terkait dengan apa yang sudah dilakukannya. Artinya orang yang beriman
hendaknya tidak bergantung pada penilaian-penilaian orang lain dalam
mengevaluasi dirinya, akan tetapi perlu mengembangkan self-talk untuk
menemukan penilaian tentang dirinya sendiri. Sehingga selanjutnya ia akan
membuat pilihan-pilihan baru yang akan dilakukannya untuk memperbaiki
dirinya.
4. Kesediaan untuk berproses
Dalam Islam, kesediaan untuk berproses ini dimaknai sebagai
kesediaan manusia dlam menghadapi setiap cobaan dan ujian dalam
kehidupannya untuk menjadikan dirinya sebagai golongan orang-orang yang

16

benar-benar beriman dan bertaqwa kepada Allah. Hal ini ditegaskan dalam
surah Ali-Imran ayat 186 yang artinya adalah:
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu.
Dan (juga) kamu benar-benar akan mendengar dari orang-orang yang
diberi al-Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang
mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan
hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang
demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.
Ayat ini mengungkapkan bahwa orang yang akan diutamakan oleh
Allah adalah orang-orang yang mampu sabar dalam menghadapi segala ujian
dan cobaan yang diberikan dalam hidupnya. Kata diutamakan di sana dapat
dimaknai bahwa orang-orang tersebut akan diberikan derajat yang lebih tinggi
dari sebelumnya, atau dapat juga dikatakan mendapatkan kualitas-kualitas
pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan kata lain, orang yang sabar
dalam menghadapi ujian dan cobaan merupakan orang yang menghargai suatu
proses. Hal ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Rogers (dalam
Corey, 2013) bahwa individu menyadari perumbuhan, perubahan yang terjadi
pada dirinya merupakan bagian daripada proses yang berkesinambungan,
dalam hal ini individu berada dalam pengujian persepsi-persepsi dirinya
tentang hal yang lalu, sedang dan akan datang, persepsi tersebut dapat
membuka kepercayaan akan dirinya serta merevisi pengalaman-pengalaman
barunya.
Dari sini dapat terlihat bahwa konsep fully-functioning person jika dikaitkan
dengan karakteristik Taluba, maka hanya mewakili sampai pada kriteria pribadi yang
baimanwalaupun konsep pribadi yang baiman lebih luas dari itu. Baiman memang
merupakan karakteristik pribadi yang paling awal, akan tetapi karakter baiman ini
menjadi fondasi yang harus kokoh agar seseorang dapat mencapai dua karakter
selanjutnya, yaitu bauntung dan batuah. Untuk memperjelas, berikut adalah diagram

17

sederhana untuk menggambarkan konseptualisasi perluasan konsep fully-functioning


person dengan karakter Taluba.

Baiman
Bauntung
FullyFunctioning
Person

Batuah

Gambar 1
Dari diagram tersebut dapat dikatakan bahwa apabila konselor berhasil
mewujudkan konseli yang berfungsi secara penuh, maka artinya konselor telah
mampu membuat kemajuan dalam upaya menumbuhkan karakter baiman.
Selanjutnya karakter baiman yang telah terbentuk itu akan menjadi modal bagi
konseli untuk melangkah menuju pencapaian aktualisasi pada karakter yang
bauntung, dimana dirinya akan bermanfaat bagi orang banyak dan selanjutnya
menjadi batuah, dimana dirinya akan mendapatkan respect dari masyarakat
lingkungan tempat dirinya tinggal serta menjadi bermartabat.

IMPLIKASI
Guna mencapai fully-functioning person sebagai tujuan konseling berpusat
pribadi, Rogers menekankan pada pentingnya hubungan antara konselor dan konseli
dalam proses konseling. Hubungan tersebut haruslah dilandaskan pada empati,
penghargaan positif tanpa syarat dan kongruensi (Corey, 2013).

18

Dengan tidak ditetapkannya teknik-teknik khusus dalam pendekatan konseling


berpusat pribadi, membuat pendekatan ini memiliki kelebihan untuk dapat diterapkan
untuk konseli yang berasal dari budaya manapun. Sebagaimana studi yang dilakukan
oleh Cornelius-White (2005) menemukan bahwa pendekatan berpusat pada pribadi
ternyata efektif dalam meningkatkan konseling multikultural. Sebab pendekatan ini
sendiri

sangat

fleksibel

untuk

digunakan

dalam

menyelesaikan

berbagai

permasalahan manusia yang beragam dengan menganggap bahwa seluruh manusia


memiliki potensi yang sama dalam mengentaskan permasalahan di hidupnya.
Konsep dasar teori Rogers ini hingga kini menjadi dasar atas pelaksanaan
konseling secara konvensional. Penekanan lebih dalam pada hubungan yang harus
dibina oleh konselor menjadi titik fokus pada pelaksanaan attending dalam konseling
(Sofyan S. Willis, 2007). Tujuannya tidak lain adalah agar konseli merasa dirinya
dihargai dan bermakna dalam pelaksanaan konseling, sehingga tidak ada lagi unsur
topeng atau kebohongan saat konseli mengutarakan masalahnya kepada konselor.
Adanya topeng atau kebohongan pada diri konseli menandakan bahwa dirinya
mengalami kesenjangan antara ideal self dengan real self-nya (Sharf, 2012).
Konselor yang bekerja dalam lingkup masyarakat suku Banjar perlu
memahami dinamika ini. Terutama dengan perlakuan hubungan yang harus dibina
dalam konseling dengan melibatkan empati, penerimaan positif dan kongruensi, ini
merupakan syarat penting yang perlu dibangun dalam konseling terhadap konseli
yang berasal dari masyarakat Banjar. Terlebih jika mengingat bahwa masyarakat suku
Banjar pada dasarnya merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
religius keislaman. Maka sangat penting dalam konseling, konselor mengupayakan
hubungan yang sifatnya mengangkat harkat dan martabat konseli sebagai manusia
yang merupakan makhluk berdayaguna ciptaan Allah yang sempurna. Di sini
konselor tidak menganggap konseli sebagai manusia yang sakit, akan tetapi sebagai
manusia yang sedang memerlukan pertolongan kepada manusia lainnya dalam
hakikat tolong menolong sesama makhluk yang setara.

19

Konselor yang berada di tengah masyarakat Banjar artinya perlu


mengintegrasikan nilai-nilai religius keislaman untuk bisa melaksanakan konseling
yang dapat menyentuh insight konseli dari suku Banjar. Sikap tersebut bisa dikatakan
juga sejalan dengan karakteristik yang diharapkan oleh masyarakat suku Banjar yang
pertama, yaitu Baiman. Dengan menjadi konselor yang baiman, maka ia akan
membentuk sikap empati, penerimaan positif tanpa syarat dan kongruensi dengan
sendirinya. Sebab Islam sebenarnya telah mengajarkan nilai-nilai positif ini dalam
hubungan sesama manusia (hablumminannaas).
Dalam hal empati dan penerimaan positif tanpa syarat misalnya, hal tersebut
telah diperintahkan dalam firman Allah dalam Al-Quran surah Al-Maidah ayat 6 yang
artinya adalah:
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaanNya".
Tolong-menolong dalam kebaikan sebagai sarana menumbuhkan empati
dalam jiwa muslim menjadi wujud dari kesetiakawanan sosial yang akan kembali
kepada diri kita sendiri. Seorang muslim diajarkan untuk selalu berbagi dalam kedaan
lapang maupun sempit, sebab pelajaran berempati tidak mungkin kita dapatkan dari
sekolah formal. Ia diajarkan oleh Allah SWT langsung melalui kuasa-Nya yang hanya
dapat kita tangkap dengan mata hati dan perasaan yang ikhlas.
Bahkan sejarah telah membuktikan bahwa rasa empati sesama muslim mampu
menembus kegelapan peradaban dunia sehingga syiar Islam dapat menerangi cahaya
di seluruh bumi. Ini pernah dilakukan oleh kaum Anshar yang merupakan penduduk
Madinah dengan menerima kedatangan tamu kaum Muhajirin secara terbuka dan
penuh kasih sayang. Sikap empati yang ditunjukkan kaum Anshar kepada kaum
pendatang Muhajirin di buktikan dengan mengikhlaskan rumah-rumah tempat tinggal
mereka untuk ditempati oleh kaum Muhajirin tanpa ada sedikit pun perasaan

20

khawatir, padahal sebelumnya mereka tidak kenal sama sekali. Tanpa sikap empati
yang besar persaudaraan antara mereka tidak akan pernah terjalin.
Melapangkan penderitaan sesama muslim dengan mampu menyelami keadaan
jiwanya dapat membuat hati saudara kita menjadi tenang. Ketenangan hati ini akan
membawa pada kejernihan jiwa dalam memandang sebuah permasalahan sehingga
hati kita akan semakin menyadari banyak hikmah yang menjadi misteri dibalik
penderitaan ini mampu merasakan apa yang dirasa oleh saudara kita yang kurang
beruntung. Ini juga dapat menjadi cerminan pribadi seorang muslim yang sempurna
selaras dengan tujuan Islam. Penderitaan sebesar apapun yang menimpa saudara kita,
jika kita menunjukkan sikap berempati denganya akan dapat meringankan beban
pikirannya, ibarat oase di tengah padang pasir yang akan selalu ditunggu (Didin
Sirojuddin, 2007). Jika hal ini dikaitkan dengan konseling, maka hanya dengan
berempati, setidaknya konselor sudah dapat membantu konseli dalam menghadapi
masalahnya. Konseli akan merasa bahwa dalam menghadapi permasalahannya, ia
tidak sendiri. Akan tetapi ada orang lain yang mau peduli dan berjalan bersama untuk
menuntaskan masalah tersebut.
Lebih lanjut penerimaan positif tanpa syarat juga menyiratkan nilai-nilai
keikhlasan dalam membantu. Seperti halnya sikap yang dicontohkan dalam Al-Quran
surah Al-Insaan ayat 8-9 yang artinya berbunyi:
"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin,
anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan
kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak
menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih."
Ayat ini bermaksud menunjukkan pada kita bahwa dalam hakikat membantu orang
lain, manusia seharusnya bersikap ikhlas dan hanya mengharapkan ridha Allah
semata. Ini bermakna bahwa ketika memberikan bantuan, konselor hendaknya tidak
mengharapkan imbalan apapun dari konselinya, baik itu dalam bentuk materil
maupun moril. Konselor yang baiman tidak melakukan pelayanan dengan
mengharapkan pujian, atau ucapan terima kasih dari konseli atau pihak lain, akan
21

tetapi benar-benar murni untuk membantu memandirikan konseli dan berharap


dengan perubahan yang terjadi pada konseli akan membuat Allah meridhai
pekerjaannya.
Kemudian dalam hal kongruensi, Rogers mendefinisikan hal ini sebagai
keaslian konselor, dimana dirinya tidak berpura-pura menjadi tertarik ketika mereka
tidak, tidak memberikan perhatian atau pemahaman palsu, tidak mengatakan apa
yang tidak berarti untuk mereka, dan tidak mengadopsi perilaku yang dirancang
untuk memenangkan persetujuan (Corey, 2013). Konsep ini sama kaitannya dengan
konsep kejujuran dalam Islam. Seperti yang dikemukakan oleh Mustafha Murad
(dalam Anwar Sutoyo, 2015), jujur merupakan kesesuaian antara ucapan dengan
kenyataan. Konselor sebagai seorang penolong tentu perlu memiliki kejujuran ini,
sebab kejujuran ini lah yang akan membawa dirinya menjadi seseorang yang
dipercaya oleh orang banyak. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW,
Sesungguhnya kejujuran itu akan membimbing kepada kebaikan, dan
kebaikan itu akan membimbing ke surga. Seseorang yang senantiasa berlaku
jujur, maka ia akan dicatat sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta
itu akan mengantarkan pada kejahatan, dan kejahatan itu akan menggiring ke
neraka. Seseorang yang memelihara kedustaan dia akan dicatat sebagai
pendusta.

Dari ketiga aspek penting dalam hubungan konseling berpusat pribadi


tersebut, semuanya merupakan aspek-aspek yang akan terealisasi apabila konselor
adalah seorang yang baiman menurut karakteristik masyarakat suku Banjar.
Selanjutnya menurut karakteristik harapan orang Banjar, seseorang yang baiman akan
menghasilkan pribadi yang juga bauntung dan pada akhirnya batuah (Sarbaini, 2014).
Ini artinya seorang konselor ketika dirinya telah mencapai keimanan yang baik dalam
agamanya, maka ia akan menunjukkan atau mungkin terlihat dengan sendirinya akan
kebermanfaatannya terhadap orang lain, dengan kata lain menjadi bauntung.

22

Sebagai pribadi yang baiman, konselor akan menjalankan perintah-perintah


agamanya dalam pelaksanaan proses konseling dan pembinaan hubungan dengan
konselinya seperti bersikap empati, ikhlas dan jujur apa adanya. Hal itu akan
membuat konseli lebih merasa diberdayakan dan dimanusiakan oleh konselor.
Hubungan ini bermanfaat bagi konseli untuk dapat mengembangkan pribadi yang
positif tanpa adanya dusta dan topeng selama proses konseling. Kepercayaan pun
akan tumbuh dalam diri konseli kepada konselor sehingga konseli tidak keberatan
untuk mengungkapkan permasalahannya kepada konselor. Konselor akan lebih
mudah masuk dalam internal frame of reference konseli dengan tidak adanya topeng,
sehingga konselor dapat lebih memahami bagaimana cara konseli berpikir (Sharf,
2012). Setelah itu konselor hanya tinggal memberikan dukungan pada konseli agar
dapat menyadari potensi organismiknya dalam menyelesaikan masalah-masalah di
hidupnya sehingga konseli akan mencapai predikat fully-functioning person.
Konselor yang bauntung, dalam artian bermanfaat dan beruntung karena telah
berhasil memandirikan konseli tentunya akan menumbuhkan public trust terutama
dari konseli yang merupakan bagian dari masyarakat berbudaya. Kepercayaan
tersebut akan terus menyebar di kalangan masyarakat luas, hingga pada akhirnya
profesi konseling akan mendapatkan tempat di hati dan pikiran masyarakat dan
semakin bermartabat. Hal ini berarti konselor telah mewujudkan pribadi diri yang
batuah dalam konsep karakteristik masyarakat suku Banjar.
Berikut adalah diagram untuk memperjelas konsep konselor dalam hubungan
untuk menjadikan konseli yang Taluba.

Konselor
Baiman

Baiman
Konseli

23

Bauntung

Konselor
Bauntung

Konselor
Batuah

Batuah

Public Trust
Profesi Konseling
Gambar 2

Secara sederhana, dalam upaya membentuk konseli sebagai individu yang


baiman, bauntung dan batuah, maka konselor sebelumnya haruslah menjadi pribadi
baiman terlebih dahulu yang mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan yang dianutnya
ke dalam hubungan konseling yang dibina. Melalui hubungan tersebut, konseli akan
dibimbing menuju kesadaran akan kemandirian diri sehingga mencapai pribadi yang
berfungsi penuh yang merupakan bagian dari pribadi yang baiman. Selanjutnya
konseli hanya perlu dipantau perkembangannya hingga pribadi yang bauntung dan
batuah muncul dalam dirinya. Dengan tercapainya karakter harapan masyarakat suku
Banjar tersebut, maka konselor dapat dikatakan juga menjadi pribadi yang bauntung
serta batuah bagi masyarakat suku Banjar.

KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagai bentuk kearifan
lokal, nilai-nilai Taluba (baiman, bauntung, batuah) yang merupakan wujud
24

karakteristik harapan masyarakat suku Banjar dapat diintegrasikan ke dalam


pelaksanaan konseling berpusat pribadi yang juga memiliki konsep pribadi ideal,
yaitu Fully-functioning Person. Bahkan konsep Taluba telah memperluas konsep
Fully-functioning Person yang semula hanya berorientasi pada perkembangan
kemampuan pribadi individu dalam keterbukaan pada pengalaman, kepercayaan pada
diri sendiri, mampu mengevaluasi diri secara internal dan kesediaan untuk berproses
menjadi dapat berorientasi sosial, yaitu dengan menunjukkan kebermanfaatan
pribadinya kepada orang lain (bauntung) sehingga mewujudkan pribadi yang
bermartabat di mata masyarakat (batuah).
Konsep Fully-functioning Person yang dikemukakan oleh Rogers, semuanya
termasuk dalam sebagian dari karakteristik Baiman yang diharapkan oleh masyarakat
Banjar. Akan tetapi masyarakat suku Banjar tidak menginginkan hanya cukup sampai
di situ, melainkan harus berlanjut hingga menjadi pribadi yang Bauntung dan Batuah.
Dalam menjawab harapan tersebut, konselor juga harus memiliki pribadi yang
baiman terlebih dahulu, mengembangkannya dalam hubungan konseling berpusat
pribadi yang berlandaskan pada empati, penghargaan positif tanpa syarat dan
kongruensi hingga karakter Taluba yang diharapkan dari konseli terbentuk. Barulah
kemudian konselor terbukti telah memberikan kebermanfaatan dan martabatnya
terhadap konseli serta masyarakat suku Banjar lebih luas sehingga profesi konseling
mendapatkan public trust dari masyarakat. Hal ini menjadikan konselor juga memiliki
pribadi yang baiman, bauntung dan batuah.

REFERENSI
Anwar Sutoyo. 2015. Menjadi Penolong. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
25

Corey, G. 2013. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (9 th edition).


California: Brooks/Cole.
Cornelius-White, J.H.D. 2005. Teaching Person-Centered Multicultural Counseling:
Collaborative Endeavors to Transcend Resistance and Increase Awareness.
The Journal of Humanistic Counseling, Education and Development. 44(2),
225 - 239.
Badan Pusat Statistik Kota Banjarmasin dan Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Kota Banjarmasin. 2010. Profil dan Analisis Hasil Sensus Penduduk
2010 dan Proyeksi Penduduk 2010-2020 Kota Banjarmasin. Banjarmasin:
BPS Kota Banjarmasin, 2010.
Departemen Agama Republik Indonesia. 2005. Al-Qur'an Terjemahan. Jakarta. PT.
Syamil Cipta Media.
Didin Sirojuddin. 2007. Bersikap Empati pada Orang Lain. Majalah Muzakki. 5, 12
13.
Eka Heriyani, & Ahmad Yunus. 2016. Model Konseling Kelompok Lintas Budaya:
Menumbuhkan Empati Budaya dalam Menyikapi Keberagaman. Prosiding
Konvensi Nasional ABKIN XIX. Banjarmasin: ABKIN.
Feist, J., & Feist, G.J. 2014. Teori Kepribadian (Buku Ke-2). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Gladding, S.T. 2012. Konseling: Profesi yang Menyeluruh. Jakarta: INDEKS.
Krause, N., & Bastida, E. 2011. Financial Strain, Religious Involvement, and Life
Satisfaction Among Older Mexican Americans. Journal of Author
Manuscripts. 33(4), 1-18.
Permendiknas nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi
Konselor.
Prayitno & Erman Amti. 2009. Dasar-Dasar Bimbingan Dan Konseling. Jakarta: PT.
Rineka cipta.
Sarbaini. 2014. Dari Wasaka Menuju Taluba: Konseptualisasi Nilai-Nilai Luhur Suku
Banjar Sebagai Sosok Karakter Harapan Urang Banua Perspektif
Etnopedagogi. Makalah untuk Seminar Internasional Pendidikan Karakter

26

dalam rangka Dies Natalis FKIP UNLAM ke-57. Banjarmasin: FKIP


UNLAM.
Selligman, L. 2006. Theories of Counseling and Psychotherapy (9th edition). New
Jersey: Merril Prentice Hall.
Sharf, R.S. 2012. Theories of Psychotherapy and Counseling: Concepts and Cases
(5th Edition). California: Brooks/Cole.
Sofyan S. Willis. 2007. Konseling Individual: Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta.
Sue, D.W., dan Sue, D. 2003. Counseling The Culturally Diverse Theory and
Practice. New York John Wiley and Sons, Inc.
Sunaryo Kartadinata. 2005. Arah dan Tantangan Bimbingan dan Konseling
Profesional; Historik-Futuristik. Bandung: Rizki Press.
Vontress, C. 2007. Online Readings in Psychology and Culture (Unit 10, Chapter 1),
(http://www.wwu.edu/~culture). Diakses tanggal 20 Mei.

27

Anda mungkin juga menyukai