Anda di halaman 1dari 14

Pendahuluan

Sebelum ditemukannnya virus hepatitis C (HVC), dunia medis mengenal 2 jenis virus
sebagai penyebab hepatitis, yaitu : virus hepatitis A (VHA) dan virus hepatitis B (VHB).
Namun demikian terdapat juga peradangan hati yang tidak disebabkan oleh kedua virus ini
dan tidak dapat dikenal pada saat itu sehingga dinamakan hepatitis Non-A, Non-B (hepatitis
NANB).
Hepatitis NANB mempunyai sifat yang menyerupai hepatitis B, yaitu didapatkan
umumnya pasca tranfusi darah. Diketahui bahwa penyakit hepatitis tersebut dapat timbul
dengan menyuntikan serum dari pasien pada hewan percobaan (simpanse) sehingga diduga
keras penyebabnya adalah satu jenis virus. Pencarian penyebab hepatitis itu kemudian
dilakukan oleh banyak institusi sampai kemudian Choo dan kawan-kawan dengan cara
amlifikasi dan identifikasi genetik berhasil mendapatkan virus penyebab hepatitis yang baru
ini. Virus baru ini kemudian dinamakan virus hepatitis C (VHC). Infeksi VHC merupakan
masalah yang besar karena pada sebagian besar kasus menjadi hepatitis kronik yang dapat
membawa pasien pada sirosis hati dan kanker hati/hepatoma.1

A. Pemeriksaan
1. Anamnesis
Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui riwayat
penyakit dan menegakkan diagnosis. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, teratur
dan lengkap karena sebagian besar data yang diperlukan dari anamnesis untuk
menegakkan diagnosis. Sistematika yang lazim dalam anamnesis, yaitu identitas,
riwayat penyakit, dan riwayat perjalanan penyakit. 2

Identitas : nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa, pendidikan,

pekerjaan.
Riwayat penyakit
Keluhan utama yang menyebabkan pasien dibawa berobat. Keluhan utama tidak

harus sejalan dengan diagnosis utama.


Riwayat perjalanan penyakit
Riwayat perjalanan penyakit mencakup:
Cerita kronologis, rinci dan jelas tentang keadaan pasien sebelum ada keluhan
sampai dibawa berobat.
Pengobatan sebelumnya dan hasilnya.
Tindakan sebelumnya.
Perkembangan penyakit gejala sisa atau cacat.
Riwayat penyakit lain yang pernah diderita sebelumnya dan pengobatan apa
yang sudah pernah diterima saat itu.
1

Untuk pasien hepatitis dapat pula ditanyakan, hal-hal sebagai berikut:


Apakah kulit kuning (ikterus/jaundice).
Apakah ada demam serta merasa lelah, lesu, lemah, nyeri otot, sakit
kepala, perasaan mual, muntah.
Apakah mengalami hematemesis-melena.
Adakah sakit perut dikuadran kanan atas.
Adakah bengkak-edema dikaki, perut membuncit (asites), berat badan
turun, gatal-gatal.
Apakah warna urin pasien gelap seperti air teh pekat dan warna tinja
seperti dempul/putih.
Apakah pernah menggunakan narkoba suntikan, kapan terakhir kali
menggunakannya.
Apakah pernah mendapat transfusi darah sebelumnya, kapan terakhir kali

mendapat transfusi darah sebelumnya.


Riwayat imunisasi.2
Pada anamnesis pasien didapat hasil sebagai berikut : pria berusia 50 tahun,
datang dengan keluhan lesu dan lemah. Penderita tidak pernah menggunakan
narkoba suntik, pernah mendapat transfusi darah 25 tahun yang lalu waktu
menjalani suatu pembedahan dan 10 tahun yang lalu pernah mendapat imunisasi
hepatitis B.

2. Pemeriksaan fisik
Karena sebagian besar hati (hepar) dilindungi oleh dinding iga, pemeriksaannya sulit
dilakukan. Namun, besar serta bentuk hati dapat diperkirakan melalui perkusi dan
mungkin pula palpasi.

Perkusi
Ukur rentang vertikal pekak hati pada midklavikularis kanan. Dimulai pada
ketinggian dibawah umbilikus, lakukan perkusi ringan kearah atas menuju
kedaerah hati (margo inferior hepar) pada linea midklavikularis tersebut.
Selanjutnya, kenali tepi atas daerah pekak hati pada linea midklavikularis
kanan. Lakukan perusi mulai dari daerah sonor paru kebawah menuju daerah
pekak hati. Kini, ukur dalam satuan sentimeter jarak antara dua titik yang
ditemukan, jarak ini merupakan rentang vertikal pekak-hati (liver dullness). Jika
hati tampak membesar, tentukan tepi bawah hati dengan melakukan perkusi pada
daerah lainnya.3

Palpasi
2

Palpasi dimulai pada kuadaran kanan bawah abdomen pada linea midklavikularis
kanan menuju kuadran kanan atas abdomen, setiap kali tangan kita menekan maka
pasien harus menarik nafas (inspirasi). Jika terdapat pembesaran hepar maka harus
dilaporkan ukurannya, yaitu berapa jari dari tepi bawah arcus costae kanan dan
berapa jari dari tepi bawah prosesus xiphoideus, laporkan juga bagaimana tepinya
tajam (typhoid, amubiasis) atau tumpul (kelainan hati), bagaimana permukanya
licin (normal) atau berbenjol-benjol (CA/hepatoma), bagaimana konsistensinya
lunak (sirosis hepatis) atau keras (kelainan hati) serta adakah nyeri tekan atau

tidak.3
Adanya ikterus pada pasien selain ditanyakan pada saat melakukan anamnesis kita
dapat langsung melihat sendiri pada kulit pasien ataupun pada sklera mata pasien,
meskipun kemungkinan terdapatnya ikterus kecil pada VHC.

Pada pemeriksaan fisik pasien tersebut tidak ditemukan adanya ikterus, suhu
tubuh 37O C, nadi 78/menit, tekanan darah 120/80 mmHg, hati teraba membesar 1
jari bawah arcus costae.

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan enzim/ uji fungsi hati
Pemeriksaan enzim dilakukan untuk mengetahui apakah pasien menderita
penyakit hepatitis. Enzim-enzim yang dapat diperiksa antara lain :
Enzim transminase
Terdiri dari dua
a. Glutamic Oxaloacetic Transminase (GOT) atau Aspartat transminase
(AST)
Pada kerusakan hepar akut peningkatan AST lebih dari 5 kali batas atas

nilai normal puncaknya bisa terjadi pada masa prodromal.


Sedangkan pada penyakit hepar kronis peningkatan AST lebih rendah,

dapat berarti kerusakan hapatoselular berlanjut.


b. Glutamic Pyruvic Transminase (GPT) atau Alanin transminase (ALT)
Pada penyakit hepar kronis AST meningkat lebih tinggi dari pada ALT
Pada kerusakan hepatoselular peningkatan ALT lebih tinggi dari pada
AST4
Gama Glutamil Transferase (GGT) dan Alkali Fosfatase (AF)
a. Alkali fosfatase lebih sensitif dari pada GGT, tetapi GGT lebih spesifik
dari pada AF.
3

b. GGT dapat membedakan peningkatan AF karena kelainan tulang atau


hepar.
c. Pada kelainan hepar GGT dan AF meningkat
d. Pada kelainan tulang AF meningkat sedang GGT normal (GGT lebih
spesifik)4.

Pemeriksaan seromarker/serologi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adakah infeksi virus hepatitis B atau
C, dll. Karena umumnya VHC merupakan penyakit yang kronis maka infeksi oleh
VHC dapat diidentifikasi dengan memeriksa antibodi yang dibentuk oleh tubuh
terhadap VHC bila virus ini menginfeksi pasien. jika anti-HCV positif maka dapat
berarti ini adalah infeksi kronis atau infeksi masa lampau karena anti-HCV dapat
bertahan sampai 20 tahun, walaupun infeksi VHC dapat dihilangkan saat infeksi
akut terjadi, sehingga adanya antibodi ini tidak bersifat protektif bagi pasien. Jika
anti-HCV positif maka untuk menggambarkan infeksi yang sebenarnya kita harus
melakukan pemeriksaan selanjutnya terhadap HCV-RNA. Jika HCV-RNA positif
maka dapat dipastikan ini merukan infeksi kronis, yaitu terdapat virus dalam
tubuh pasien, sedangkan jika HCV-RNA negatif maka dapat dipastikan anti-HCV
yang positif adalah infeksi akut masa lampau.1

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil : uji fungsi hati (SGPT, SGOT dan
gamma GT) meningkat, serologi HbsAg (-), anti-HBs (+), anti-HBc (-), anti-HAV
(-), anti-HCV (+).

B. Diagnosis kerja
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang sudah
dilakukan maka diagnosis kerja yang diambil adalah hepatitis C kronis. Tetapi untuk
menetukan diagnosis pasti bagi bapak tersebut maka harus dilakukan pemeriksaan
terhadap HCV-RNA yang dapat memastikan apakah merupakan infeksi kronis jika HCVRNA positif atau infeksi masa lampau jika HCV-RNA negatif. Kepada bapak ini
disarankan untuk melekukan pemeriksaan lanjutan terhadapa HCV-RNA. Hepatitis C
merupakan penyakit peradangan hati yang disebabkan oleh virus hepatitis C (VHC).
C. Diangnosis banding
1. Hepatitis B (VHB)
Hapatitis B merupakan virus DNA circular, partially double stranded. Menyebar
melalui darah. Menyebar melalui darah yang terinfeksi dan juga ditemukan dalam
saliva, semen dan sekret vagina. Transmisi terjai melelui jarum yang terkontaminasi,
4

transfusi, kontak seksual, infeksi maternal-neonatal. Setelah masa inkubasi yang


panjang selama 6 minggi sampai 6 bulan, timbul onset bertahap gejala latergi,
anoreksia, rasa tidak enak pada perut, ikterus dan hepatomegali. Hepatitis kolestatis
sangat jarang terjadi, sekitar 1 % berkembang menjadi gagal hati fulminan. Terjadi
hepatitis kronis, sirosis dan kanker hati primer.
Virus hepatitis B memiliki tiga antigen berbeda, antigen surface (HBsAg),
antigen core (HBcAg), antigen envelope (HBeAg). HbsAg muncul dalam darah
sekitar 6 minggu setelah infeksi akut dan biasnya menghilang dalam 3 bulan. HbeAg
muncul pada saat yang sama dan menunjukan tingginya infektivitas. HbcAg biasanya
hanya ditemukan dalam hati. Berkembangnya antibodi terhadap HbsAg biasanya
terjadi setelah injfeksi akut dan merupakan tanda imunitas. Pada sekitar 5% kasus
antibodi tidak muncul dan HbsAg menetap dalam darah disebut sebagai kerier.5
2. Hepatits D (VHD)
Merupakan virus RNA yang tidak sempuran yang replikasinya tergantung hepatitis G.
Virus ini menyebabkan hepatitis kronis agresif pada pasien dengan HbsAg positif.
Infeksi kronis biasanya berhubungan dengan penyakit hati progesif.5
D. Gejala klinis VHC
Umumnya infeksi akut VHC tidak memberi gejala atau hanya bergejala minimal. Hanya
20-30% kasus saja yang menunjukan tanda-tanda/ simtomatik hepatitis akut 7-8 minggu
(berkisar 2-26 minggu) setelah terjadinya paparan. Walaupun demikian, infeksi akut
sangat sukar dikenal karena pada umumnya tidak terdapat gejala sehingga susah dalam
menentukan perjalanan penyakit akibat infeksi VHC. Dari beberapa laporan yang berhasil
mengidentifikasi pasien dengan infeksi hepatitis C akut, didapatkan adanya gejala
malaise, mual-mual dan ikterus seperti halnya hepatitis akut akibat infeksi virus-virus
hepatitis lainnya. Hepatitis fulminan sangat jarang terjadi. ALT meninggi sampai
beberapa kali diatas batas nilai normal tetapi umumnya tidak sampai lebih dari 1000 U/L.
umumnya, berdasarkan gejala klinis dan laboratorik saja tidak dapat dibedakan antara
infeksi oleh virus hepatitis A, B maupun C.
Infeksi akan menjadi kronis pada 70-90% kasus dan seringkali tidak menimbulkan
gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Hilangnya VHC setelah
terjadi hepatitis kronis sangat jarang terjadi. Diperlukan waktu 20-30 tahun untuk
terjadinya sirosis hati yang akan terjadi pada 15-20% pasien hepatitis C kronis.
Kerusakan hati akibat infeksi kronis tidak dapat tergambar pada pemeriksaan fisik
maupun laboratorik kecuali bila sudah terjadi sirosis hati. Pada pasien dimana kadar ALT
selalu normal, 18-20% sudah terdapat kerusakan hati yang bermakna, sedangkan diantara
5

pasien dengan peningkatan ALT, hampir semuanya sudah mengalami kerusakan hati
sedang sampai berat. Progresifitas hepatitis kronis menjadi sirosis hati tergantung
beberapa faktor risiko, yaitu :
1. Asupan alkohol
2. Ko-infeksi VHC dengan virus hepatitis B (VHB)
3. Ko-infeksi VHC dengan Human Imunnodeficiency Virus (HIV)
4. Jenis kelamin laki-laki
5. Usia tua saat terjadinya infeksi
Ko-infeksi VHC dengan HIV diketahui menjadi masalah karenan dapat
memperburuk perjalanan penyakit hati yang kronis, mempercepat terjadinya sirosis hati
dan mungkin pula mempercepat penurunan sistem kekebalan tubuh, terutama infeksi oleh
VHc genotipe 1. Ko-infeksi VHC dengan VHB juga memperburuk perjalanan penyakit
pasien. Dilaporkan kejadian sirosis hati relaitif lebih banyak ditemukan pada mereka yang
menderita ko-infeksi VHC-VHB dibandingkandengan VHC atau VHB saja. Selain itu,
risiko terjadinya kanker hati meningkat menjadi amat tinggi pada mereka yang menderita
ko-infeksi ini dibandingkan hanya terinfeksi salah satu virus tersebut saja. Super infeksi
oleh virus hepatitis A (VHA) pada pasien yang telah terinfeksi VHC dilaporkan dapat
menjadi hepatitis akut yang berat atau hepatitis fulminan. Untuk itu, pasien VHC yang
belum pernah terinfeksi VHA (anti HAV total negatif) dianjurkan untuk vaksinasi
terhadap infeksi VHA.
Selain gejala-gejala gangguan hati, dapat pula timbul manifestasi ekstra hepatik,
antara lain :
1. Krioglobulinemia dengan komplikasi-komplikasinya (glomerulopati, kelemahan,
vaskulitis, purpura atau artralgia).
2. Porphyria cutanea tarda
3. Sicca syndrome
4. Lichen planus
Patofisiologi gangguan-gangguan ekstra hepatik ini belum diketahui pasti, namun
dihubungkan dengan kemampuan VHC untuk menginfeksi sel-sel limfoid sehingga
mengganggu respons sistem imunnologis. Sel-sel limfoid yang terinfeksi dapat berubah
sifatnya menjadi ganas karena dilaporkan tingginya angka kejadian limfoma nonHodgkin pada pasien dengan infeksi VHC.1,6
E. Patofisiologi VHC
Studi mengenai mekanisme kerusakan sel-sel hati VHC masih sulit dilakukan karena
terbatasnya kultur sel untuk VHC dan tidak adanya hewan model kecuali simpanse yang
dilindungi. Kerusakan sel hati akibat VHC secara langsung masih belum jelas, tapi perlu
diingat bahwa target utama dari VHC adalah sel-sel hati dan mungkin juga sel limfosit B
melalui reseptor yang mungkin sekali serupa dengan CD81 yang terdapat di sel-sel hati
6

maupun limfosit sel B atau reseptor LDL (LDLR). Namun beberapa bukti menunjukan
adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan sel-sel hati. Protein core
misalnya ditenggarai dapat menimbulkan reaksi pelepasan radikal oksigen pada
mitokondria. Selain itu, protein ini pula mampu berinteraksi pada mekanisme signaling
dalam inti sel terutama berkaitan dengan penekanan regulasi dan apoptosis. Adanya buktibukti ini menyebabkan kontroversi apakah VHC bersifat sitotoksik atau tidak, terus
berlangsung.
Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya
eliminasi menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi kronis, reaksi CTL yang relatif
lemah masih mampu merusak sel-sel hati (sel-sel hati yang terdapat VHC) dan
melibatkan respon inflamasi di hati tetapi tidak bisa menghilangkan virus maupun
menekan evolusi genetik VHC sehingga kerusakan sel hati berlangsung terus menerus.
Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan aktivitas limfosit sel T-helper (Th)
spesifik VHC. Adanya pergeseran dominasi aktivitas Th1 menjadi Th2 berakibat pada
reaksi toleransi dan melemahnya respons CTL.
Reaksi inflamasi yang dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti
TNF-, TGF-1, akan menyebabkan rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan
menyebabkan aktivasi sel-sel stelata di ruang disse hati. Sel-sel yang khas ini sebelumnya
dalam keadaan tenang kemudian berproliferasi dan menjadi aktif menjadi sel-sel
miofibroblas yang dapat menghasilkan matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dan
berperan aktif dalam menghasilkan sitokin-sitokin pro-inflamasi. Mekanisme ini dapat
timbul terus menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak berhenti sehingga fibrosis
semakin lama semakin banyak dan sel-sel hati yang ada semakin sedikit. Proses ini dapat
menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosis hati.
Pada gambaran histopatologis pasien hepatitis C kronis dapat ditemukan proses
inflamasi kronis berupa nekrosis gerigit maupun lobular, disertai dengan fibrosis didaerah
portal yang lebih lanjut dapat masuk kelobulus hati (fibrosis septal) dan kemudian dapat
menyebabkan nekrosis dan fibrosis jembatan (bridging necrosis/fibrosis). Gambaran yang
agak khas pada untuk infeksi VHC adalah agregat limfosit di lobulus hati namun tidak
didapatkan pada semua kasus inflamasi akibat VHC.1
F. Etiologi VHC
VHC adalah virus RNA yang digolongkan dalam Flavivirus, virus ini beruntai tunggal
dengan polaritas positif dan berdiameter 30-60 nm. Panjang genom berkisar 10 kilobasa
dengan daerah open reading frame (ORF) diapit oleh susunan nukleotida yang tidak
ditranslasikan (untranslated region atau UTR) pada masing-masing ujung 5 dan 3.
7

Kedua ujung gen VHC yang tidak ditranslasikan ini diketahui sangat terpelihara.
Sehingga saat ini dipakai untuk identifikasi adanya infeksi VHC, terutama pada ujung 5.
Regio ini juga sedang diteliti untuk digunakan dalam terapi hepatitis C karena berperan
dalam replikasi virus ini.
Translasi protein VHC dilakukan oleh ribosom sel hati yang akan mulai membaca
RNA VHC dari satu bagian spesifik yang terdapat diregio 5UTR. Daerah ORF akan
menghasilkan satu poliprotein yang terdiri dari 3011 asam amino. Asam-asam amino
yang dihasilkan oleh ORF ini akan diproses oleh peptidase sel hati untuk protein-protein
struktural VHC (dari core dan envelope region) dan protease-preotease yang dikode oleh
VHC untuk protein-protein regulator dari regio nonstruktural (NS region). Sampai saat ini
telah dikenal tiga macam protein struktural (core, E1 dan E2) yang dikode oleh 5UTR
maupun tujuh protein non struktural (NS2, NS3, p7, NS4a, NS4b, NS5a dan NS5b) yang
dikode oleh 3UTR.
Protein core dalam proses pengemasan virus setelah keluar dari sel akan
membungkus RNA VHC untai tunggal positif di retikulum endoplasma. Protein ini juga
ditemukan dalam nukleus sel hati dan mungkin bertanggung jawab dalam timbulnya
kerusakan sel hati atau dalam fungsi penekanan imunoregulasi dan apotosis sel hati yang
terinfeksi VHC.
Dua bagian dari regio E2 dikenal sebagai hypervariable region (HVR1 dan
HVR2) karena susunan nukleotidanya sangat bervariasi dan merupakan hasil interaksi
antara virus dengan sistem imunologik yang khas untuk VHC. Regio E2 mentranslasikan
CD81 yang berperan sebagai reseptor virus untuk infeksi kedalam sel. Antibodi terhadap
E2 ini sangat sensitif terhadap percobaan dengan simpanse. Regio E2 ini juga memuat
sequence yang identik dengan tempat fosforilasi protein kinase interferon yang mungkin
berperan dalam kerentanan VHC dalam terapi interferon. Regio NS2,3 dan 4A
menghailkan protease, NS3 menghasilkan helikase dan NS5B menghasilkan RNAdependent RNA polymerase.1
Virus ini bereplikasi melalui RNA-dependent RNA polymerase yang akan
menghasilkan salinan RNA virus tanpa mekanisme proof reading (mekanisme yang akan
menghancurkan salinan nukleotida yang tidak persis sama dengan aslinya). Kondisi ini
akan menyebabkan timbulnya banyak salinan-salinan RNA VHC yang sedikit berbeda
namun masih berhubungan satu sama lain pada satu orang pasien yang disebut sebagai
quasispecies. Perbedaan nukleotida diantara quasispecies yang tidak lebih dari dari 10%
namun menimbulkan masalah pada pengenalan sisitem imunologik pasien terhadap virus

ini karena perbedaan struktur antigen yang diekspresikan oleh VHC dan sangat
mempersulit upaya pengembangan vaksin VHC.1,6
Kecepatan replikasi yang sangat besar, melebihi HIV maupun VHB. Data yang
ada menunjukan replikasi VHC terjadi dalam sitoplasma sel hati dengan membuat salinan
RNA-dependent RNA polymerase; protein yang dikode oleh regio NS5B pada gen VHC.
Melalui salinan RNA negatif ini dibuat salinan-salinan RNA positif. Untuk kegiatankegiatan replikasi ini, VHC memerlukan semua aktivitas enzim-enzimnya, gen p7 dan
susunan ujung 3 yang tepat. Untai ganda RNA ini akan diurai oleh helikase VHC (hasil
translasi NS3) dan dalam proses pengeluaran virus dari sel, untai RNA positif tunggal
yang dimasukkan dalam protein C (core) dan E (envelope). Susunan gen-gen yang
berbeda pada regio 5UTR, core maupun NS5B diketahui dapat menggolongkan VHC
dalam beberapa genotip dan subtipe. Saat ini telah diidentifikasi 6 genotipe yang berbeda
dengan subtipe yang banyak dan setiap saat bertambah terus. Di Indonesia, Amerika
Serikat dan Eropa barat terbanyak adalah genotipe 1a dan 1b. Genotip mempunyai arti
tidak saja dalam menentukan penyebaran VHC secara geografis tetapi juga bermanfaat
dalam menentukan prognosis perjalanan penyakit dan efektifitas pengobatan dengan
interferon.1
Seperti HBV, maka HCV diyakini terutama ditularkan melalui jalur parenteral dan
kemungkinan melalui pemakaian obat intravena (penggunaan narkotika suntik > 80% dan
dapat koinfeksi dengan HIV juga > 80%) dan tranfusi darah (pasien hemodialisis, 70%).
Kemungkinan kecil terdapat risiko penularan melalui hubungan seksual. Infeksi yang
berkaitan dengan VHC (maupun VHB) tidak lagi menjadi masalah utama karena semua
darah menjalani pemeriksaan sebelum tranfusi. Namun, VHC merupakan penyebab
sebagian besar kasus hepatitis yang berkaitan dengan tranfusi. Dilaporkan pula terjadi
infeksi VHC pada tindakan-tindakan medis seperti endoskopi, perawatan gigi, maupun
operasi. VHC dapat bertransmisi melalui luka tusukan jarum namun diketahui risikonya
relatif lebih kecil dari VHB.1,7
G. Epidemiologi VHC
Infeksi VHC didapatkan diseluruh dunia. Dilaporkan lebih kurang 170 juta orang
diseluruh dunia terinfeksi virus ini. Prevalensi VHC berbeda-beda diseluruh dunia. Di
Indonesia belum ada data resmi mengenai infeksi VHC tapi dari laporan lembaga
transfusi darah didapatkan lebih kurang 2% positif terinfeksi oleh VHC. Pada studi
populasi umum di Jakarta prevalensi VHC lebih kurang 4%. Umumnya transmisi
terbanyak berhubungan dengan transfusi darah terutama yang didapatkan sebelum
9

dilakukannya penapisan/screening donor darah untuk VHC oleh PMI. Umumnya genotip
yang didapatkan di Indonesia adalah genotip 1 (lebih kurang 60-70%) diikuti oleh genotip
2 dan genotip 3.1
H. Penatalaksanaan VHC
Tujuan terapi VHC adalah eradikasi infeksi VHC, yaitu mencegah terjadinya infeksi VHC
kronis dan lanjutannya/akibatnya. Terapi VHC sangat perlu karena sebagian besar infeksi
VHC akut berkembang menjadi infeksi kronis. Indikasi terapi pada hepatitis C kronis
adalah :
1. Pasien VHC kronis yang belum diobati
2. Pemeriksaan VHC RNA positif
3. Apabila didapatkan peningkatan ALT lebih dari batas atas nilai normal biasanya
menunjukan adanya fibrosis yang nyata bila dilakukan biopsi hati
4. Bila nilai ALT tetap normal, biopsi hati perlu dilakukan agar dapat lebih jelas
diketahui fibrosis yang sudah terjadi.
Nilai fibrosis pada tingkat menengah atau tinggi, sudah merupakan indikasi untuk terapi
sedangkan apabila sudah terdapat sirosis hati, maka pemberian interferon harus berhatihati karena dapat menimbulkan penurunan fungsi hati secara bermakna.
Pengobatan VHC kronis adalah dengan menggunakan interferon alfa dan
ribavirin. Umumnya disepakati bila genotip VHC adalah genotip1 dan 4, maka terapi
diberikan selama 48 minggu (1 tahun), genoti 2 dan 3 terap cukup diberikan 24 minggu (6
bulan). Kontra indikasi terapi adalah berkaitan dengan pengggunaan interferon dan
ribavirin tersebut. Pasien yang berumur lebih dari 60 tahun, Hb , 10 g/dL, lekosit darah <
2500/L, trombosit < 100.000/L, gangguan jiwa berat dan hipertiroid tidak
diindikasikan menggunakan interferon dan ribavirin. Pasien dengan gangguan ginjal tidak
diindikasikan menggunakan ribavirin karena dapat memperberat gangguan ginjal yang
terjadi.
Untuk interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2 hari atau 3 kali
seminggu degan dosis 3 juta unit persubkutan. Sedangkan Peg-Interferon diberikan setiap
minggu dengan dosis 1,5 ug//kgBB/kali (Peg-Interferon 12 KD) atau 180ug (Peg-Intron
40 KD).
Pemberian interferon diikuti dengan pemberian ribavirin dengan dosis pada pasien
dengan berat badan < 50 kg 800 mg setiap hari, 50-70 kg 1000 mg setiap hari dan > 70 kg
1200 mg setiap hari dibagi dalam dua kali pemberian.
Pada akhir terapi dengan interferon dan ribavirin, perlu dilakukan pemeriksaan
RNA VHC secara kualitatif untuk mengetahui apakah VHC resisten terhadap pengobatan
dengan interferon yang tidak akan bermanfaat untuk memberikan terapi lanjutan dengan
interferon dan tidak memerlukan periksaan RNA VHC 6 bulan kemudiaan. Keberhasilan
10

terapi dinilai setelah 6 bulan kemudain. Keberhasilan terapi dinilai 6 bulan setelah
pengobatan dihentikan dengan memeriksa RNA VHC kualitatif. Bila RNA VHC tetap
negatif, maka pasien dianggap mempunyai respon virologik yang menetap (sustained
virological response atau SVR) dan RNA VHC kembali positif, pasien dianggap kambuh.
Mereka yang kambuh dapat kembali diberikan interferon dan ribavirin nantinya dengan
dosis yang lebih besar aatau bila sebelumnya menggunakan interferon konvensional, PegInterferon mungkin akan bermanfaat. Beberapa peneliti menganjurkan pemeriksaan RNA
VHC kuantitatif 12 minggu setelah terapi dimulai untuk menentukan prognosis
keberhasilan terapi dimana prognosis dikatakan baik bila RNA VHC turun > 2 log.
Efek samping penggunaan interferon adalah demam dan gejala-gejala menyerupai
flu (myalgia, malaise, anoreksia), depresi dan gangguan emosi, kerontokan rambut lebih
dari normal, depresi susum tulang, hiperurisemia, kadang-kadang timbul tiroiditis.
Sedangkan

penggunaan

ribavirin

dapat

menyebabkan

penurunan

Hb.

Untuk

mengantisipasi timbulnya efek tersebut, pemantauan pasien mutlak perlu dilakukan. Pada
awal pemberian interferon dan ribavirin dilakukan pemantauan klinis, labolatoris (Hb,
leukosit, trombosit, asam urat dan ALT) setiap 2 minggu kemudian dapat dilakukan setiap
bulan. Terapi tidak boleh dilanjutkan bila Hb < 8 g/dL, lekosit < 1500/uL, netrofil <
500/uL, trombosit < 50.000/uL, depresi berat yang tidak teratasi dengan pengobatan antidepresi atau timbul gejala-gejala tiroiditis yang tidak teratasi.
Keberhasilan terapi dengan interferon dan ribavirin untuk eradikasi VHC lebih
kurang 60%. Tingkat keberhasilan terapi tergantung pada beberapa hal. Pada pasien
dengan genotip 1 hanya 40% pasien yang berhasil dieradikasi sedangkan untuk genotip
lain, tingkat keberhasilan terapi dapat mencapai lebih dari 70%. Peg-Interferon dilaporkan
mempunyai tingkat keberhasilan terapi yang lebih baik daripada interferon konvensional.
Hal lain juga berpengaruh dalam kurangnya keberhasilan respon terapi dengan interferon
adalah semakin tua umur, semakin lama infeksi terjadi, jenis kelamin laki-laki, berat
badan berlebih dan tingkat fibrosis hati yang berat.
Pada hepatitis C akut, keberhasilan terapi dengan interferon labih baik dari pada
pasien hepatitis C kronik hingga mencapai 100%. Pada kelompok pasien ini interferon
dapat digunakan secara monoterapi tanpa Ribavirin dan lama terapi pada satu laporan
hanya 3 bulan. Namun sulit untuk menentukan infeksi akut VHC kareana pada umumnya
tidak ada gejala, sehingga tidak diketahui adanya waktu yang pasti adanya infeksi.
Apabila jelas infeksi akut itu terjadi misalnya pada tenaga medis yang secara rutin
dilakukan pemeriksaan anti-HCV dengan hasil negatif dan kemudian setelah tertusuk
jarum anti-HCV menjadi positif maka monoterapi denan interferon dapat diberikan.
11

Pada ko-infeksi VHC-HIV, terapi dengan interferon dan ribavirin dapat diberikan
bial jumlah CD4 pasien ini > 200 sel/mL. Bila CD4 kurang dari nilai tersebut, respon
terapi sangat tidak memuaskan.
Untuk pasien dengan kio-infeksi VHC-VHB, dosis pemberian interferon untuk
VHC sudah sekaligus mencukupi untuk terapi VHB sehingga kedua virus dapat diterapi
bersama-sama sehingga tidak diperlukan nukleosida analog yang khusus untuk VHB.1
I. Prognosis VHC
Kejadiannya merupakan 20-30% hepatitis C akut, 70-90% hepatitis C kronis dan sekitar
20% penderita hepatitis C kronis berkembang menjadi sirosis hati, 1-5% pertahun akan
menjadi karsinoma hepatoselular kemudian meninggal. Prognosis juga ditentukan oleh
keberhasilan terapi yang dinilai 6 bulan setelah pengobatan dihentikan dengan memeriksa
RNA VHC kualitatif. Bila RNA VHC tetap negatif, maka pasien dianggap mempunyai
respon virologik yang menetap, prognosis baik.1
J. Preventif VHC
Penjegahan bertujuan untuk menurunkan risiko infeksi, risiko ko-infeksi dan keparahan
infeksi VHC. Karena penularan utama VHC melalui parenteral maka tidak boleh
menggunakan narkotika suntik, darah transfusi harus diperiksa dahulu sebelum digunakan
dengan screening, bagi petugas medis berhati-hati dalam bekerja agar tidak tertusuk
jarum yang terkontaminasi oleh VHC, meski kemungkinannya kecil untuk terinfeksi.
Semua pasien VHC kronis harus mendapat vaksinasi hepatitis A dan B, menjaga
kesehatan umum yang baik, berhenti merokok dan menghindari alkohol sebab toksik bagi
hati.1,7

Saran
Disarankan agar dilakukan pemeriksaan serologi terhadap HCV-RNA, untuk menegakkan
diagnosis pasti.

Kesimpulan
Hepaitis C merupakan peradanagan hati yang disebabkan oleh virus hepatitis C yang
merupakan virus RNA yang digolongkan dalam Flavivirus, virus ini beruntai tunggal dengan
polaritas positif. HCV terutama ditularkan melalui jalur parenteral dan kemungkinan melalui
pemakaian obat intravena (penggunaan narkotika suntik > 80% dan dapat koinfeksi dengan
HIV juga > 80%) dan tranfusi darah (pasien hemodialisis, 70%). Kemungkinan kecil terdapat
risiko penularan melalui hubungan seksual. Infeksi yang berkaitan dengan VHC (maupun
VHB) tidak lagi menjadi masalah utama karena semua darah menjalani pememeriksaan
12

sebelum tranfusi. Namun, VHC merupakan penyebab sebagian besar kasus hepatitis yang
berkaitan dengan tranfusi oleh sebab itu diagnosis banding VHC adalah VHB dan VHD.
Dilaporkan pula terjadi infeksi VHC pada tindakan-tindakan medis seperti endoskopi,
perawatan gigi, maupun operasi. VHC dapat bertransmisi melalui luka tusukan jarum namun
diketahui risikonya relatif lebih kecil dari VHB. Infeksi VHC didapatkan diseluruh dunia.
Dilaporkan lebih kurang 170 juta orang diseluruh dunia terinfeksi virus ini.
Harus dilakukan anamnesis yang teliti penting ditanyakan adakah riwayat transfusi
dan penggunaan obat suntikan, kapan terakhir dilakukan. Kemudian dilakukan pemeriksaan
fisik untuk melihat adanya pembesaran hati, bagaimana tepinya, permukaannya,
konsistensinya, serta ada nyeri tekan atau tidak, apakah ditemukan ikterus pada kulit atau
sklera pasien. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang untuk menilai adanya
peningkatan uji fungsi hati (SGPT, SGPT, gama GT) dan uji serologi untu menentukan virus
apa yang menginfeksi pasien, pada hepatitis C pemeriksaan serologi yang didapatkan adalah
anti-HCV positif ini menunjukan adanya infeksi kronis atau infeksi masa lampau, sehingga
perlu dilanjutkan dengan pemerikasaan HCV-RNA yang menggambarkan infeksi sebenarnya.
Umumnya infeksi akut VHC tidak memberi gejala atau hanya bergejala minimal.
Hanya 20-30% kasus saja yang menunjukan tanda-tanda/ simtomatik hepatitis akut 7-8
minggu (berkisar 2-26 minggu) setelah terjadinya paparan. Walaupun demikian, infeksi akut
sangat sukar dikenal karena pada umumnya terdapat gejala sehingga pula menentukan
perjalanan penyakit akibat infeksi VHC. Dari beberapa laopran yang berhasil
mengidentifikasi pasien dengan infeksi hepatitis C akut, didapatkan adanya gejala malaise,
mual-mual dan ikterus seperti halnya hepatitis akut akibat infeksi virus-virus hepatitis
lainnya. Hepatitis fulminan sangat jarang terjadi. Umumnya, berdasarkan gejala klinis dan
laboratorik saja tidak dapat dibedakan antara infeksi oleh virus hepatitis A, B maupun C.
Infeksi akan menjadi kronis pada 70-90% kasus dan seringkali tidak menimbulkan
gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Hilangnya VHC setelah terjadi
hepatitis kronis sangat jarang terjadi. Diperlukan waktu 20-30 tahun untuk terjadinya sirosis
hati yang akan terjadi pada 15-20% pasien hepatitis C kronis.
Tujuan terapi VHC adalah eradikasi infeksi VHC, yaitu mencegah terjadinya infeksi
VHC kronis dan lanjutannya/akibatnya. Terapi VHC sangat perlu karena sebagian besar
infeksi VHC akut berkembang menjadi infeksi kronis. Pengobatan VHC kronis adalah
dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin. Umumnya disepakati bila genotip VHC
adalah genotip1 dan 4, maka terapi diberikan selama 48 minggu (1 tahun), genoti 2 dan 3
terap cukup diberikan 24 minggu (6 bulan). Prognosis dapat ditentukan oleh keberhasilan
terapi yang dinilai 6 bulan setelah pengobatan dihentikan dengan memeriksa RNA VHC
13

kualitatif. Bila RNA VHC tetap negatif, maka pasien dianggap mempunyai respon virologik
yang menetap, prognosis baik.
Penjegahan bertujuan untuk menurunkan risiko infeksi, risiko ko-infeksi dan
keparahan infeksi VHC. Karena penularan utama VHC melalui parenteral maka tidak boleh
menggunakan narkotika suntik, darah transfusi harus diperiksa dahulu sebelum digunakan
dengan screening, bagi petugas medis berhati-hati dalam bekerja agar tidak tertusuk jarum
yang terkontaminasi oleh VHC, meski kemungkinannya kecil untuk terinfeksi. Semua pasien
VHC kronis harus mendapat vaksinasi hepatitis A dan B, menjaga kesehatan umum yang
baik, berhenti merokok dan menghindari alkohol sebab toksik bagi hati.

Daftar Pustaka
1. Gani RA. Hepatitis C. Ed 5th. Jilid I. Jakarta: InternaPublishing; 2009.662-7.
2. Supartondo, S Bambang. Anamnesis. Ed 5 th. Jilid I. Jakarta: InternaPublishing;
2009.25-7.
3. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates. Ed 8 th. Jakarta:
EGC; 2009.344-7.
4. Kosasih EN, Kosasih AS. Tafsiran hasil pemeriksaan laboratorium klinik. Jakarta:
KARISMA Publishing Group; 2008.303-6.
5. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Kedokteran klinis. Ed 6 th. Jakarta: Erlangga;
2007.243-4.
6. Robbins KC. Buku ajar patologi Robbins. Ed 7th. Vol II. Jakarta: EGC; 2007.677-8.
7. Lindseth GN. Gangguan hati, kandung empedu dan peankreas. Ed 6 th. Jakarta: EGC;
2005.489-90.

14

Anda mungkin juga menyukai