Anda di halaman 1dari 6

Suku Kudangan Lamandau Bertalian Sejarah

dengan Minangkabau
Cerita Cenaka Burai (Asal Mula Bukit Sampuraga) versi Warga Kecamatan
Lamandau dan Kecamatan Belantikan Raya
Penyalin : Zamrolly Purnama Kawung, S.Pd
Diceritakanlah ada seorang putri di negeri Sarang Paruya yang yang cantik jelita namanya
Dayakng Ilukng. Masyarakat Kabupaten Lamandau meyakini Kerajaan Sarang Paruya tersebut
sekarang berada di wilayah Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah.

Rumah adat yang mirip dengan Rumah Gadang Minangkabau di Desa Kudangan,
Kecamatan

Delang,

Kabupaten

Lamandau

(hasil

pemekaran

dari Kabupaten

Kotawaringin Barat), Provinsi Kalimantan Tengah.


Dayakng Ilukng yang digambarkan memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona,
kulitnya lembut bagai sutra, rambutnya panjang ikal bak mayang mengurai, wajahnya elok
berseri bagaikan bulan purnama, pipinya bak pauh dilayang, bibirnya merah bagai buah
delima, alis matanyanya bagai semut beriring, kakinya indah bak padi bunting sungguhlah
sempurna sehingga banyak pemuda yang sangat mengaguminya.
Adalah seorang bangsawan muda yang tampan, gagah berani dan sering berlayar
menaklukan samudera dari sebuah kerajaan di Pagaruyung, Minangkabau namanya Patih Nan
Sebatang (tidak jelas apakah Patih Nan Sebatang ini sama dengan Datuk Perpatih Nan
Sebatang, tokoh legendaris masyarakat Minangkabau atau bukan).
Ia memiliki kesenangan berlayar sehingga pada suatu hari kapalnya diterpa badai dan
gelombang yang maha dahsyat. Ketika kapalnya luluh lantak dihantam gelombang dan badai,
dia terseret arus laut hingga terdampar di pesisir negeri Sarang Paruya, dia ditemukan dan
diselamatkan oleh warga sehingga tidak menjadi korban dalam peristiwa itu

Alkisah Patih Nan Sebatang tinggal di Negeri Sarang Paruya untuk pengobatan karena
tubuhnya terdapat banyak luka dan memar akibat terkena puing-puing kapalnya dan
hantaman batu-batu karang selama terdampar di laut.
Setelah sekian lama Patih Nan Sebatang dirawat warga setempat, akhirnya kondisi tubuhnya
berangsur membaik dan sembuh. Saat itu dia ingin pulang ke kampung halamannya di
Pagaruyung, namun dia sudah tidak punya kapal lagi, karena kapalnya sudah hancur
berkeping saat peristiwa naas menimpanya itu.
Dia akhirnya memutuskan tinggal di Negeri Sarang Paruya untuk beberapa waktu bekerja dan
membuat kapal lagi. Saat itulah dia mendengar tentang kecantikan Dayakng Ilukng, hal ini
membuat dia penasaran dan sangat ingin bertemu dengan putri yang didengarnya sangat
cantik jelita itu. Atas bantuan para pemuda-pemudi sahabatnya akhirnya dia dapat bertemu
dengan sang puteri yang cantik jelita tersebut.
Patih Nan Sebatang sangat terpesona kala melihat kecantikan Dayakng Ilukng dan ia pun
berniat mempersunting Dayakng Ilukng. Iapun mempersiapkan segala perlengkapan melamar
menurut adat setempat anatara lain adat Pinang Sekayu yang sekarang masih di terapkan di
lingkungan masyarakat adat Kabupaten Lamandau dan perlengkapan lainnya.
Ketika semuanya sudah siap Patih Nan Sebatang dengan meminta bantuan tetua adat
setempat datang meminang Dayakng Ilukng, sang puteri pun tak kuasa menolak lamaran
Patih Nan Sebatang karena diapun sangat terpesona dan jatuh cinta pada ketampanan dan
kesopanan pemuda tersebut saat pandangan pertamanya. Patih Nan Sebatang pun berlega
hati setelah mendengar lamarannya diterima.
Pernikahan pun dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam dengan sangat meriah, resmilah
sudah Patih Nan Sebatang dan Dayakng Ilukng menjadi pasangan suami isteri yang serasi,
Patih Nan Sebatang yang sangat tampan dan berbudi bahasa yang sopan dan bijaksana
didampingi Dayakng Ilukng yang cantik jelita dan bersahaja.
Setelah mereka menikah Dayakng Ilukng melahirkan seorang putra buah cintanya dengan
Patih Nan Sebatang dan mereka memberinya nama Cenaka Burai.
Cenaka Burai tumbuh besar layaknya anak seusianya, ketika usia Cenaka Burai menginjak
kurang dari 3 bulan Patih Nan Sebatang berencana membawa Cenaka Burai pulang ke tanah
kelahirannya di Pagaruyung, Minangkabau; untuk menengok keluarganya disana dan
memperkenalkan putera keduanya tersebut.

Saat ia menyampaikan maksudnya kepada Dayakng Ilukng, Dayakng Ilukng sangat bersedih
namun ia pun akhirnya merestui kepergian suami tercinta dan anak sematawayangnya
Cenaka Burai yang sangat dikasihinya itu karena ketika dahulu kala ada kepercayaan yang
diyakini oleh warga setempat kalau perempuan baru melahirkan tidak boleh melangkah
lautan, Dayakng Ilukng pun akhirnya tak turut serta dengan mereka.
Sebelum mereka berangkat Dayakng Ilukng memeras air susunya sebanyak 7 (tujuh) Roga
Topaian (Guci tempat menyimpan beras/membuat Tuak minuman keras dari Kab.Lamandau).
Dayakng Ilukng hanya bisa menangis ketika mereka hendak berangkat menaiki kapal yang
membawa Patih Nan Sebatang dan Cenaka Burai berlayar.
Dayakng Ilukng berpesan kepada Patih Nan Sebatang agar menjaga dan selalu memberi susu
yang dia bekalkan agar kesehatan anaknya selalu dijaga, Cenaka Burai anak kita yang
kuharapkan dapat menemui aku apabila kita tak bisa berjumpa diwaktu nanti, jagalah dia dan
besarkan dia agar menjadi kuat sepertimu.
Kalau kau tidak membawanya pulang segera ajarilah dia berlayar agar suatu saat nanti kita
tidak dapat bertemu anak kita Cenaka Burai lah yang datang kesini menemuiku untuk
menebus kerinduanku padamu. Bawalah cincin pernikahan ku ini agar nanti menjadi bukti dan
meyakinkan dia bahwa akulah ibunyahu..hu..hu. ucap Dayakng Ilukng menangis
menjadi-jadi sembari menyerahkan cincinnya kepada suaminya Patih Nan Sebatang.
Patih Nan Sebatang berjanji akan memelihara Cenaka Burai seperti pesan isterinya, ia pun
meminta Dayakng Ilukng agar selalu sabar menunggu kedatangan mereka kembali, Patih Nan
Sebatang juga meninggalkan bendera Tirai Serampun (Belum diketahui apakah bendera kapal
atau kerajaan) pada isterinya. Mereka pun berlayar dan setelah berapa minggu berlayar
sampailah mereka di kampung halamannya Pagaruyung, Minangkabau.
Selain membawa buah cintanya yaitu Cenaka Burai, satu-satunya kenang-kenangan yang
mempersatukan cinta mereka adalah cincin pernikahan yang selalu disimpan baik oleh Patih
Nan Sebatang. Ketika kerinduan dengan kampung halamannya sudah terobati Patih Nan
Sebatang hendak membawa Cenaka Burai kembali ke negeri Sarang Paruya, dia membuat
sebuah kapal yang besar yang indah dan megah diberi nama Sampuraga.
Ketika mereka hendak berangkat cuaca lautan sangat buruk dan tidak memungkinkan
mereka berangkat, keadaan cuaca tersebut berlangsung sangat lama bahkan bertahun-tahun
sehingga tak terasa Cenaka Burai semakin bertambah besar dan menjadi pemuda yang
gagah perkasa. Patih Nan Sebatang selama menunggu cuaca yang tidak menentu itu mulai
mengajari anaknya berlayar di lautan kecil di sekitar Pagaruyung, memang Cenaka Burai
adalah anak yang pemberani dan tangguh iapun sangat cepat menguasai tekhnik berlayar.

Cenaka Burai yang merindukan dan sangat ingin berjumpa dengan sang ibu akhirnya
mengutarakan niatnya kepada ayahnya. Patih Nan Sebatang yang telah bertambah tua sering
sakit-sakitan namun karena kerinduannya dengan isteri dan usia yang telah merenggut
keperkasaannya, iapun memanggil Cenaka Burai dan berkata Cenaka Burai anakku,
engkaulah satu-satunya yang menjadi kebanggaan ayah. Sekarang engkau berangkatlah
berlayar menemui ibumu ke negeri Sarang Paruya katakanlah pada ibumu bahwa aku tidak
bisa kesana dengan keadaanku seperti ini. Sampaikanlah rindu dendamku kepada ibumu,
sampaikan permohonan maafku ucap Patih Nan Sebatang dengan suara yang serak
memendam rindu ingin bertemu dengan isteri tercinta Dayakng Ilukng dan sejuta penyesalan
karena usia dan penyakit sehingga dia tak bisa ikut berlayar bersama anaknya.
Lalu Cenaka Burai menyiapkan perlengkapan berlayar karena diapun sangat ingin bertemu
ibunya yang selalu diceritakan ayahnya sangat cantik dan rupawan.
Setelah persiapan selesai ia kembali menemui ayahnya dan bertanya Ayah..!! aku siap
berlayar! Tapi bagaiamana aku mengenali ibu, sedangkan aku tidak pernah bertemu
dengannya ucap Cenaka Burai penuh semangat namun ragu apakah bisa mengenali ibunya.
Patih Nan Sebatang teringat pesan isterinya dan cincin pernikahan yang diberikan isterinya
ketika mereka hendak berpisah kala ia membawa anaknya pulang, ia pun menyerahkan cincin
tersebut kepada Cenaka Burai sembari berkata Bawalah cincin ini anakku, pakaikanlah
dijarinya yang lentik itu. Rupa wajahnya seperti yang sering ayah ceritakan kepadamu nak.
Maka berangkatlah Cenaka Burai dengan rindu dendam dirinya dan ayahnya kepada ibunya
yang telah lama berpisah. Dibekali dengan cincin pernikahan yang diberikan ayahnya, Cenaka
Burai pergi berlayar sampai ke negeri Sarang Paruya.
Sesampainya disana dia pun bertanya kepada masyarakat disana dimanakah rumah ibunya,
masyarakat membawanya menemui sang ibu yang sudah tua. Dayakng Ilukng yang juga
sudah tua seperti suaminya ketika mengetahui kedatangan buah hatinya yang telah
bertahun-tahun lamanya berpisah bukan main senangnya.
Ketika mereka berhadapan hampir saja ia memeluk Cenaka Burai, tapi Cenaka Burai
mendorong ibunya hingga terjerembab ke tanah.
Jangan menyentuhku, kau bukan ibuku..!!; Kata ayah ibuku sangat cantik bukan seperti
kamu jelek dan keriput nenek tua hardik Cenaka Burai sambil bertolak pinggang.
Dia tidak percaya bahwa wanita asing di depannya tersebut adalah ibunya sendiri. Ayahnya
telah menceritakan kecantikan sang ibu. Bagaimana mungkin wanita yang tua renta tersebut
adalah puteri cantik yang diceritakan sang ayah?

Dayakng

Ilukng

meyakinkan

Cenaka

Burai

bahwa

dialah

ibu

kandung

yang

telah

melahirkannya. Dayakng Ilukng tidak puas diapun kembali meyakinkan Cenaka Burai.
Aku inilah ibumu nak, karena usia dan kerinduanku padamu dan ayahmulah yang membuat
keadaanku seperti ini..huhuhu.. ucap Dayakng Ilukng sambil menangis.
Walaupun begitu Cenaka Burai tidak bergeming dan dia teringat cincin ibunya yang dititipkan
ayahnya, iapun ingin membuktikan lagi apa benar itu ibunya. Dikenakannya cincin pernikahan
ayahnya kepada wanita tua itu. Karena usia telah membuat tubuh Dayakng Ilukng lebih
kurus, cincin tersebut menjadi terlalu besar untuk melingkari jari-jarinya dan diapun semakin
yakin bahwa wanita itu bukan ibunya.
Cenaka Burai sangat marah dan kecewa karena tidak bisa bertemu dengan ibunya yang
cantik jelita seperti cerita ayahnya selama ini dan memutuskan untuk pulang. Dayakng Ilukng
kecewa lalu memeras air susunya dan berkata kepada anaknya penuh tangis.
Nak, kamu sudah meminum air susu ini dari tubuhku. Kalau kamu tidak mau mengakui aku
ini adalah ibumu dan kalau kamu memang Cenaka Burai anak yang telah lahir dari rahimku,
aku bersumpah demi langit dan demi bumi kamu akan terkena malapetaka yang maha
dahsyat, katanya.
Dengan amarah di dalam dada Cenaka Burai berlayar pulang dan tidak memperdulikan apa
yang dikatakan perempuan yang sebenarnya adalah ibunya itu. Dia tidak habis pikir, kenapa
ada wanita tua yang bersikeras meyakinkan bahwa dia adalah ibunya, padahal ayahnya
sudah jelas memberitahu ciri-ciri sang ibu.
Belum jauh kapal bernama Sampuraga tersebut meninggalkan Sarang Paruya, tiba-tiba langit
mendung hanya sebesar Timpa (tempat menjemur padi) lalu badai menghadang.
Kapalnya oleng diombang-ambingkan ombak besar. Ketika kapalnya hampir karam, Cenaka
Burai teringat kutukan wanita tua tersebut. Hati kecilnya tiba-tiba disadarkan bahwa dia baru
saja durhaka pada ibunya sendiri.
Diapun berteriak kepada ibunya, Ibu, ibu, aku telah jahat kepadamu, ternyata kau memang
ibuku! ucapnya memohon ampun.
Tiba-tiba terdengar suara ibunya, Nak, sudah jatuh terlampau. Tidak mungkin keputusan
ditarik kembali. Kutukan sudah terjadi.
Lalu halilintar menggelegar dan menghantam Cenaka Burai dan Kapal Sampuraga miliknya
tersebut hingga hancur berkeping-keping. Cenaka Burai berubah menjadi batu dan puing
Kapal Sampuraga miliknya berubah menjadi bukit batu pula yang sekarang dinamakan Bukit

Sampuraga, yang terletak di Desa Karang Besi, Kecamatan Belantikan Raya, Kabupaten
Lamandau.
Cenaka Burai adalah nama tokoh dalam cerita rakyat suku Dayak Tomun ini yang berasal dari
Kabupaten Lamandau, Propinsi Kalimantan Tengah, Indonesia.
Legenda Bukit Sampuraga dapat dilihat buktinya yang menurut warga Lamandau yaitu
sebuah bukit yang mirip reruntuhan kapal yang telah menjadi batu di desa Karang Besi,
Kabupaten Lamandau, tepatnya 2 kilometer dari tepian sungai Belantikan, dinamai menurut
legenda ini.
Bukit Sampuraga, demikian nama obyek wisata Pemerintah Kabupaten Lamandau tersebut,
diyakini memiliki bagian dek dan layar kapal Sampuraga.
Di sungai di daerah tersebut pun ada batu yang mirip tali, karung beras dan telur ayam. Di
Sungai Lamandau di Kelurahan Tapin Bini tidak jauh dari Desa Karang Besi terdapat Batu
Bangkai mirip manusia sedang tidur dengan panjang sekitar 10 m yang menurut orang tua
dulu adalah manusia yang menjadi batu kemungkinan awak Kapal Sampuraga milik Cenaka
Burai.
Cerita ini saya buat menurut versi masyarakat Lamandau di DAS Belantikan, Kecamatan
Belantikan Raya.
Karena penulis belum menggali sejarah versi dari desa Kudangan/Kudangan Badak Balai
Ruwai Topitn Tona Pongkalan Batu, Kecamatan Delang yang masih menyimpan bukti sebuah
bendera (TIRAI SERAMPUN) yang dimiliki Patih Nan Sebatang. ***
http://zamrolly.blogspot.co.id/2012/05/cerita-dongeng-cenaka-burai-asal-mula.html

Anda mungkin juga menyukai