Anda di halaman 1dari 17

Petunjuk kegiatan

MENINGKATKAN
KETRAMPILAN
MEMILIH OBAT DENGAN
METODE CBIA
pembelajaran mandiri untuk
meningkatkan kualitas
swamedikasi

Sri Suryawati
1

Sejawat Yth..
Buku petunjuk kegiatan MENINGKATKAN KETRAMPILAN
MEMILIH OBAT DENGAN METODE CBIA ini diterbitkan untuk
membantu
menyebarluaskan
kegiatan
pemberdayaan
masyarakat agar lebih bijak memilih obat untuk swamedikasi.
Metode CBIA telah diuji coba dengan metodologi ilmiah dan
terbukti dapat meningkatkan ketrampilan memilih obat
secara bermakna. Namun demikian, mungkin metode ini
memerlukan beberapa modifikasi bila diterapkan pada suatu
kelompok masyarakat atau organisasi tertentu. Untuk itu
penyusun sangat mengharapkan masukan dari para Sejawat
yang telah menggunakan modul ini.
Salam hangat,
Sri Suryawati (suryawati.farklin@gmail.com)

Sri Suryawati 2012


Cetakan keenam
Cetakan
Cetakan
Cetakan
Cetakan
Cetakan

kelima, 2009
keempat, 2005
ketiga, 2003
kedua, 2000
pertama, 1995
3

A. Latar belakang
Swamedikasi (self-medication) merupakan upaya yang
paling banyak dilakukan masyarakat untuk mengatasi
keluhan atau gejala penyakit sebelum memutuskan
mencari pertolongan ke institusi/ petugas pelayanan
kesehatan. Lebih dari 60% masyarakat mempraktekkan
pengobatan-sendiri ini, dan lebih dari 80% di antara
mereka mengandalkan obat modern.1 Apabila dilakukan
dengan
benar,
maka
swamedikasi
merupakan
sumbangan yang sangat besar bagi pemerintah dalam
hal pemeliharaan kesehatan secara nasional.
Untuk melakukan pengobatan-sendiri secara benar,
masyarakat mutlak membutuhkan informasi yang jelas
dan bisa dipercaya, agar penentuan kebutuhan
jenis/jumlah obat dapat diambil berdasarkan alasan
yang rasional. Secara lebih rinci, selain mengetahui
gejala sakit agar dapat mendiagnosis penyakitnya,
pelaku pengobatan-sendiri harus mampu:2
1. Mengetahui jenis obat yang diperlukan untuk
mengatasi penyakitnya, sehingga dapat memilih
secara tepat dari sekian banyak merek dagang obat
yang tersedia di pasaran.
2. Mengetahui kegunaan dari tiap obat, sehingga dapat
mengevaluasi sendiri pengembangan sakitnya.
3. Menggunakan obat tersebut secara benar (cara,
aturan, lama pemakaian), dan tahu batas kapan
mereka harus menghentikan swamedikasi dan
segera minta pertolongan petugas kesehatan.
4. Mengetahui
efek
samping
sehingga
dapat
memperkirakan apakah suatu keluhan yang timbul
kemudian itu suatu penyakit baru, atau efek samping
obat.
5

5. Mengetahui siapa yang tidak boleh menggunakan


obat tersebut (kontraindikasi).
Sayangnya, pengetahuan di atas jarang sekali dikuasai
masyarakat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
dari skor maksimal 10, umumnya skor rata-rata yang
dicapai oleh pelaku swamedikasi hanya berkisar antara
3,5 5,5.3,4 Sedikit sekali pelaku pengobatan-sendiri
yang mengetahui isi obat yang ditelan, apalagi
mengenai efek samping maupun kontraindikasinya.
Padahal semua informasi ini telah tersedia di dalam
kemasan obat, atau pada lembaran informasi yang
disertakan dalam kemasan. Mengapa informasi tersebut
tidak dimanfaatkan?
Salah satu penyebab mungkin adalah terlalu gencarnya
iklan obat, yang telah diketahui merupakan jenis
informasi yang paling berkesan dan sangat mudah
ditangkap. Di lain pihak, informasi yang bersifat nonkomersiil dapat dikatakan sangat jarang diterima.
Kekurangan yang paling terasa dari iklan obat dan dapat
menyesatkan, adalah bahwa iklan tidak pernah
menyebutkan kandungan bahah aktif. Dengan demikian,
apabila hanya mengandalkan jenis informasi ini,
masyarakat akan kehilangan satu titik informasi
penting, yaitu jenis obat yang dibutuhkan untuk
mengatasi gejala sakitnya.
Akibat langsung dari kekurangan ini dapat dilihat pada
pola konsumsi obat di rumah tangga.3 Sering didapatkan
pemakaian beberapa nama dagang obat yang ternyata
isinya persis sama. Dipandang dari sisi ekonomi, hal ini
adalah suatu pemborosan, dan ironinya, banyak
penelitian yang justru mengungkapkan bahwa dorongan
melakukan swamedikasi umumnya adalah karena
6

pertimbangan efisiensi biaya. Dampak lain yang tidak


dapat diukur dengan uang adalah risiko terhadap
kesehatan karena pemakaian obat secara salah dalam
waktu lama, dan risiko karena kontra-indikasi. Dengan
kata lain, tujuan baik dari swamedikasi dapat berubah
menjadi bencana, bila tidak dilakukan secara benar.
Dengan melihat aspek kebutuhan informasi untuk
meningkatkan kualitas swamedikasi maka diperlukan
suatu upaya untuk membekali masyarakat agar
mempunyai ketrampilan mencari informasi secara cepat
dan benar, dengan memanfaatkan sumber-sumber
informasi yang telah tersedia di masyarakat. Secara
lebih spesifik, diperlukan suatu modul intervensi
pendidikan bagi masyarakat, untuk melatih menelaah
informasi obat secara kritis.
Untuk itu, pilihan sumber informasi jatuh pada kemasan
obat dan package insert. Di Indonesia, jenis informasi ini
relatif dapat dipercaya, karena informasi yang ditulis
dalam kemasan atau lembaran informasi tersebut harus
mendapat persetujuan terlebih dulu oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan. Bila dimanfaatkan
semaksimal mungkin, masyarakat dapat memperoleh
informasi yang mencukupi dari kemasan obat tersebut.

B. Tujuan kegiatan
Kegiatan diskusi dengan metode CBIA bertujuan agar
para pengguna obat:
1. Mengerti bahwa informasi obat secara cepat dapat
diperoleh dari kemasan lembaran informasinya.
2. Mengenali bahwa berbagai nama dagang obat
7

sebenarnya mempunyai kandungan bahan aktif yang


sama atau hampir sama. Lebih jauh agar memahami,
mana kandungan utama dan mana kandungan
tambahan.
3. Mampu mencari informasi mengenai kandungan
bahan aktif, indikasi, cara pemakaian obat, efek
samping, dan kontra-indikasinya.
4. Mampu menelaah kualitas informasi obat.
Diharapkan bahwa penguasaan kemampuan di atas
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ketrampilan
memilih obat sesuai kebutuhan, disertai dengan upaya
efisiensi belanja obat.

C. Sasaran kegiatan
Kegiatan ini dapat dilakukan sebagai pengisi acara
pertemuan rutin suatu organisasi, atau pertemuan yang
diselenggarakan secara khusus. Peserta dapat terdiri
dari ibu-ibu saja, bapak-bapak saja, atau pemuda
(karang
taruna).
Namun
menurut
pengalaman
penyusun, forum yang paling ideal adalah yang terdiri
dari ibu dan bapak yang tinggal dalam lingkungan yang
berdekatan (misalnya di suatu RT), karena sesudah
kegiatan masih tetap dapat saling mengingatkan.

D.Metode kegiatan
Metode yang digunakan diapdosi dari metode belajar
mengajar yang dahulu digunakan untuk sekolah dasar di
Indonesia, dan untuk mudahnya dinamakan CBIA (Cara
Belajar Ibu Aktif). Metode ini telah diuji coba, dan
terbukti
sangat
efektif
dalam
meningkatkan
8

pengetahuan dan ketrampilan memilih obat. Lebih jauh,


metode ini ternyata dapat mengurangi konsumsi jenis
obat keluarga per bulan, yang secara langsung
menunjukkan efisiesi penggunaan obat di rumah
tangga.5 Pada mulanya modul ini memang disiapkan
khusus untuk para ibu, karena ibu umumnya berfungsi
sebagai pengelola kesehatan di rumah tangga. Namun
pada pelaksanaannya kemudian, ternyata para bapak
dan remaja pria juga menyukai dan merasakan
manfaatnya, sehingga namanya diubah menjadi Cara
Belajar Insan Aktif, walaupun singkatannya tetap CBIA.
Setelah CBIA digunakan di negara-negara lain, nama
CBIA sering dipanjangkan menjadi Community-Based
Interactive Approach.
Metode intervensi ini didasarkan pada proses belajar
mandiri (self-learning process). Tutor berfungsi sebagai
fasilitator diskusi, dan bila perlu menunjukkan cara/jalan
untuk mendapatkan jawaban atas suatu masalah. Tutor
dianjurkan tidak mendominasi diskusi.

E. Sarana kegiatan
1. Format diskusi dan Jumlah peserta
Kegiatan ini berupa diskusi kelompok kecil, dan diakhiri
dalam
kelompok
besar.
Untuk
itu
diperlukan
pembentukan kelompok yang terdiri atas 6-8 orang.
Tiap
kelompok
memerlukan
tutor,
yang
akan
memfasilitasi jalannya diskusi kelompok. Jumlah
kelompok untuk tiap kegiatan sebaiknya tidak lebih dari
6 kelompok, sehingga jumlah peserta keseluruhan tidak
lebih dari 50 orang per kegiatan. Bila jumlah peserta
lebih dari 60, sebaiknya kegiatan dilakukan secara
bertahap.

2.Tutor
Tutor adalah para peserta yang secara sukarela bersedia
memfasilitasi jalannya diskusi kelompok. Tutor perlu
berlatih dahulu dan memahami Buku Petunjuk Kegiatan
ini, sehingga dapat mengarahkan peserta dalam
berdiskusi. Tutor juga bertugas menyimpulkan temuantemuan penting dari diskusi, untuk kemudian
dipaparkan kepada kelompok lain dalam sesi pleno di
akhir kegiatan.
3. Alat bantu
Kegiatan ini memerlukan alat bantu berupa berbagai
macam obat yang dijual bebas, dan petunjuk kegiatan.
Tiap kelompok diskusi memerlukan 1 set obat-obatan,
yang terdiri dari 40 obat yang masih lengkap dalam
kemasan aslinya, dilengkapi dengan label atau tulisan
harga dari toko. Jenis obat dibatasi beberapa macam
saja, misalnya antipiretika/analgetika, vitamin/mineral,
obat batuk,obat gangguan lambung. Untuk tiap jenis
diperlukan 10 nama dagang. Daftar nama obat yang
dianjurkan dipakai untuk latihan dapat dilihat pada
Lampiran 1. Obat-obat ini seyogyanya disediakan oleh
penyelenggara kegiatan. Untuk memperkaya diskusi,
peserta juga dapat diminta membawa berbagai obat
yang dipunyai di rumah. Dengan demikian, untuk
menyelenggarakan kegiatan CBIA diperlukan 6 set obat,
atau sesuai jumlah kelompoknya.
4. Tempat
Idealnya kegiatan dilakukan di tempat yang cukup luas
sehingga tiap kelompok dapat mengatur duduk
melingkar.

F. Urutan kegiatan
10

Kegiatan memakan waktu 1-2 jam, tergantung dari


dinamika kelompok. Makin tinggi tingkat dinamika,
makin besar gairah untuk berdiskusi sehingga waktu
makin lama. Namun kegiatan dalam kelompok ini
sebaiknya maksimal 2 jam.
Kegiatan diawali dengan pengarahan oleh narasumber
atau salah satu tutor, mengenai manfaat swamedikasi
dan problematikanya. Bahan dapat diambil dari Bab A
(Latar belakang) buku ini. Kemudian peserta dibagi
dalam kelompok. Kegiatan dibagi dalam 3 tahap, dan
kemudian diteruskan secara mandiri di rumah.
Kegiatan 1 (kelompok)
Kepada masing-masing kelompok dibagikan 1 set obat.
Kemudian klompok diminta:
1. Mengamati
di
bagian
mana
dari
kemasan
dicantumkan nama bahan aktif (bahan/komponen
utama suatu obat).
2. Mengenali bagaimana cara menuliskan bahan aktif
dan kekuatannya, dan kalau obatnya kombinasi,
mengenali mana bahan utama dan mana bahan
tambahannya.
3. Mengelompokkan obat-obat tersebut berdasarkan
jenis
bahan
aktifnya
(bukan
berdasarkan
indikasinya).
4. Mendiskusikan hasil-hasil temuan di atas.
Dengan difasilitasi tutor, diskusi diharapkan dapat
mengungkapkan hal- hal berikut :
1. Bahwa ternyata berbeda dengan iklan, kemasan obat
selalu mencantumkan bahan aktif. Dengan demikian
apabila dijumpai kekurangjelasan atau keraguan
11

2.

3.

4.

5.

12

terhadap iklan, informasi dapat dicek langsung ke


kemasan obat yang diiklankan tersebut.
Bahwa ternyata berbagai obat ditawarkan, baik sirup
atau tablet, sebagian besar isi bahan aktifnya sama
atau hampir sama. Dengan demikian, bila gejala
sakit yang diderita memerlukan jenis obat tertentu,
perlu diperiksa dulu persediaan obat di rumah,
apakah jenis obat tersebut sudah dimiliki, apapun
nama dagangnya.
Peserta dapat mengenali perbedaan/persamaan
kandungan zat aktif antara sediaan untuk orang
dewasa dan anak-anak. Namun sediaan dagang
untuk dewasa dan anak seringkali mirip (misalnya
Bodrex-Bodrexin,
Inza-Inzana,
Mixagrip-Minigrip),
namun kandungan zat aktifnya sering berbeda
walaupun indikasinya sama. Peserta perlu diingatkan
hati-hati dengan perbedaan tersebut. Selain itu
peserta juga diharapkan dapat mengenali perbedaan
dosis antara anak dan dewasa.
Bahwa harga obat bisa sangat bervariasi, walaupun
kandungan isinya sama. Sirup umumnya jauh lebih
mahal dari pada tablet. Merek dengan nama Forte,
Plus, dsb perlu dipelajari perbedaannya dengan yang
biasa. Diskusi kemudian bisa dikembangkan ke arah
upaya efisiensi biaya.
Bahwa untuk tujuan promotif, seringkali nama bahan
aktif
ditulis dengan nama sinonim yang jarang
diketahui awam, padahal tersedia nama yang lazim.
Sebagai contoh, pencantuman 1,3,7 trimetilxanthin
untuk mengganti nama kafein, acetaminophen dan
para-aminophenol untuk mengganti parasetamol,
para-hidroksibenzamid untuk salisilamid. Kandungan
vitamin B1 dalam produk Pil Sehat dahulu ditulis
dengan nama kimia yang sangat panjang. Juga
pernah dijumpai pencantuman nama patent untuk

bahan aktif yang sebenarnya sudah umum diketahui,


misalnya
Silentium
sebagai
nama
patent
dekstrometorfan dalam kemasan lama obat batuk
Vicks-Formula 44 dan lain-lain. Makin banyak obat
yang disediakan untuk kegiatan ini, makin dijumpai
keanehan-keanehan dari produk, yang dalam
rutinitas sehari-hari mungkin kurang mendapat
perhatian.
Kegiatan 2 (kelompok)
Tahap ini merupakan kegiatan untuk mengumpulkan
informasi yang diperlukan sebagai dasar melakukan
pengobatan-sendiri, yaitu (a) nama bahan aktif, (b)
indikasi, (c) aturan penggunaan, (d) efek samping, dan
(e) kontraindikasi.
Dengan dipimpin tutor kelompok masing-masing,
pencarian informasi dilakukan secara bersama-sama,
sambil membandingkan kelengkapan informasi dari satu
nama dagang dengan nama dagang yang lain. Dengan
demikian, sambil mencatat informasi, peserta sekaligus
juga diharapkan dapat menelaah kelengkapan dan
kejelasan informasi yang disajikan di tiap kemasan.
Tahap kegiatan ini juga bertujuan agar peserta berlatih
mencari informasi dari kemasan, dengan cara meneliti
setiap tulisan yang tercantum dalam kemasan maupun
lembaran informasi yang diselipkan dalam kemasan.
Peran tutor dalam tahap ini cukup besar, untuk
mendorong agar semua kebutuhan informasi, yakni 5
komponen utama informasi ditemukan secara lengkap.
Kegiatan 3 (merangkum diskusi)

13

Kegiatan ini merupakan diskusi pleno, dipimpin salah


satu tutor. Tiap kelompok diminta memaparkan
pengalaman dan temuan penting selama diskusi
kelompok.
Setiap
temuan
penting
dipuji
dan
digarisbawahi. Tutor kemudian merangkum kembali
temuan-temuan penting dan memberikan pesan-pesan
untuk menyebarluaskan pengetahuan dan ketrampilan
memilih obat yang telah diperoleh dalam kegiatan CBIA
ini.
Pertemuan
ditutup
dengan
meminta
peserta
melanjutkan mencari informasi untuk obat-obat yang
ada di rumah masing-masing. Kegiatan ini bertujuan
untuk memupuk keberanian peserta mencari informasi
secara mandiri. Bila diperlukan, dapat diselenggarakan
pertemuan lagi untuk membahas hasil kegiatan mandiri
tersebut.

F. Daftar Pustaka
1. Flora
KT
(1991)
Hubungan
antara
Tingkat
Pengetahuan Ibu Rumah Tangga tentang Obat
dengan Pengobatan Sendiri. KaryaTulis Ilmiah S1,
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
2. Suryawati S (1992) Dampak promosi obat terhadap
kualitas
self-medication.
Proceedings
Seminar
Promosi Obat dan Informed Consent. Fakultas
kedokteran UGM, Yogyakarta.
3. Suryawati S & Santoso B (1992). Meningkatkan
pengetahuan dan Ketrampilan ibu memilih obat
dengan metode CBIA (Cara Belajar Ibu Aktif) hasil
uji coba modul Majalah Farmakologi dan Terapi
Indonesia 9(2):47.
14

4. Rustamaji, Hidayati S, Triharnoto, Aryanti R &


Suryawati S. (1993). Tingkat pengetahuan yang
diperlukan untuk mendukung pengobatan sendiri
pada berbagai kelompok masyarakat (belum
dipublikasikan). Perpustakaan Bagian Farmakologi
Klinik Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta.
5. Suryawati S (2003) CBIA: improving the quality of
self-medication through mothers active learning.
Essential Drugs Monitor 23:22-23.

Lampiran 1.
Contoh obat-obatan yang dapat digunakan sebagai
bahan diskusi*

15

Analgetika/antipirektika
Bodrex tablet
Bodrex Forte kapsul
Bodrexin tablet
Bodrexin sirup
Mixagrip tablet
Minigrip tablet
Inza tablet
Inzana tablet
Ferminax tablet
Esepuluh tablet
Refagan tablet
Aspirin Bayer tablet
Biogesic tablet
Ultraflu tablet
Sanaflu tablet, dll.
Obat gangguan lambung
Neosanmag tablet
Promag tablet
Magazida tablet
Alumy tablet
Alumy sirup
Mylanta tablet
Mylanta sirup, dll.

Vitamin, mineral,
penyegar
Cerebrovit kapsul
Cerebrofort sirup
Pil Sehat
Ultracap
Vitamin C ICI tablet
Enervon C tablet
Calcium D Redoxon
tablet
Vitamin B1 ICI tablet
Neurobion
Viliron tablet
Engran tablet
Ercevit Sirup
Calcivit sirup
Sakatonik Liver
Tonikum Bayer, dll.
Obat batuk
Mextril tablet
Boska tablet
Komix sirup
Vicks Formula 44 sirup
Allerin sirup
Laserin sirup, dll.
*

*Nama-nama obat dalam Lampiran ini hanya dimaksudkan sebagai


contoh semata, tidak ada pesan sponsor dalam pemilihannya, dan
tak ada maksud promosi apapun

16

Diterbitkan oleh
Pusat Studi Farmakologi Klinik dan Kebijakan Obat
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta

17

Anda mungkin juga menyukai