PENDAHULUAN
Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada kesehatan kerja di
berbagai negara, termasuk didalamnya adalah Indonesia. Secara umum bising adalah
bunyi yang tidak diinginkan.Bising secara Ilmu Kesehatan Masyarakat adalah suara
yang tidak diharapkan dan tidak menyenangkan yang menggangu atau suara yang
diinginkan namun berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan.Bahkan menurut
WHO, bising dikategorikan sebagai salah satu jenis polutan. (1)
Risiko kebisingan dapat digolongkan menjadi 2 kategori, yaitu auditory effect
dan non-auditory effect. Risiko auditorial banyak jenisnya dengan tingkat keparahan
yang beragam, mulai kehilangan pendengaran yang bersifat sementara dan dapat
disembuhkan atau sembuh dengan sendirinya sampai dengan permanen. Sementara
risiko non auditorial dapat menyebabkan gangguan sistem keseimbangan, tekanan darah
naik, denyut nadi meningkat, mudah letih saat bekerja di tempat kerja bising,
mengganggu kualitas tidur sampai dengan kondisi kejiwaan / stress. (1)
Salah satu faktor fisik di lingkungan kerja yang dapat mengganggu pekerja
adalah bising. Kebisingan merupakan stressor yang mengenai pendengaran (auditory
stressor) dan dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan baik secara langsung
maupun tidak langsung.(1) World Health Organization (WHO) tahun 2004, tingginya
kadar kebisingan kerja menjadi masalah di seluruh wilayah dunia, di Amerika Serikat
lebih dari 30 juta pekerja terpapar kebisingan berbahaya dan di Jerman 4-5 juta orang
(12-15% dari tenaga kerja) terpapar kebisingan. (2)
Situasinya membaik di negara-negara maju, seperti apresiasi lebih luas dari
bahaya telah menyebabkan pengenalan tindakan perlindungan. Data untuk negaranegara berkembang yang langka, namun bukti yang ada menunjukkan bahwa tingkat
kebisingan rata jauh di atas tingkat kerja direkomendasikan di banyak negara maju.
Tingkat kebisingan rata-rata di negara-negara berkembang dapat meningkat karena
industrialisasi tidak selalu disertai dengan perlindungan.(2)
Oleh karena itu ada beberapa alasan untuk menilai beban penyakit dari
kebisingan kerja di negara atau tingkat subnasional. Kebisingan kerja merupakan faktor
risiko yang luas, dengan dasar bukti yang kuat yang menghubungkan ke suatu hasil
kesehatan yang penting (gangguan pendengaran). Hal ini juga berbeda dari kebisingan
lingkungan, dalam hal ini adalah dengan definisi yang berhubungan dengan tempat
kerja, dan oleh karena itu merupakan tanggung jawab pengusaha maupun individu.
1
Penilaian beban penyakit yang berhubungan dengan kebisingan kerja dapat membantu
memandu kebijakan dan fokus penelitian tentang masalah ini. Hal ini sangat penting
mengingat fakta bahwa kebijakan dan langkah-langkah praktis dapat digunakan untuk
mengurangi paparan kebisingan kerja.(2)
Kebisingan di lingkungan kerja dapat menyebabkan gangguan kesehatan non
pendengaran dan pendengaran.Munculnya keluhan kesehatan seperti tuli akibat
kebisingan terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu berbulan-bulan sampai bertahuntahun.Hal ini sering tidak disadari oleh penderitanya, sehingga pada saat penderita
mulai mengeluh berkurang pendengarannya biasanya sudah dalam stadium irreversible.
Timbulnya gangguan pendengaran ini dipengaruhi oleh intensitas kebisingan, umur,
lama paparan, masa kerja dan penggunaan alat pelindung telinga. Semakin lama pekerja
tersebut terpapar bising tanpa menggunakan alat pelindung diri maka akan semakin
tinggi akumulasi trauma bising pada pekerja yang pada akhirnya akan menyebabkan
ketulian. (2)
Pengukuran paparan paling sesuai untuk kebisingan kerja adalah A-tertimbang
desibel, dB (A), biasanya rata-rata lebih dari satu hari kerja 8 jam. Ada hubungan yang
kuat antara parameter ini dan kemampuan bahaya kebisingan merusak pendengaran
manusia. Hal ini sering diukur di tempat kerja, dan juga yang paling umum digunakan
pengukuran epidemiologi paparan. Paparan awalnya diukur sebagai variabel kontinu,
dan secara teoritis dapat diperlakukan seperti itu di asessing beban penyakit. Ini tidak
praktis, namun, karena banyak survei melaporkan eksposur atas dan di bawah nilai
potongan, bukan sebagai distribusi. Misalnya, kategori berikut secara luas diterapkan
karena mereka sesuai dengan batas regulasi di negara berkembang (biasanya 85 dB (A))
dan banyak berkembang (biasanya 90 dB (A)) negara untuk hari 8 jam :
- Paparan kebisingan yang minimum: <85 dB (A)
- paparan kebisingan cukup tinggi: 85-90 dB (A)
- paparan kebisingan yang tinggi:> 90 dB (A) (2)
Oleh karena itu perlu dilakukan skrining pada pekerja. Uji skrining digunakan
untuk mengidentifikasi suatu penanda awal perkembangan penyakit sehingga intervensi
dapat diterapkan untuk menghambat proses penyakit. Selanjutnya, akan digunakan
istilah penyakit untuk menyebut setiap peristiwa dalam proses penyakit, termasuk
perkembangannya atau setiap komplikasinya. Pada umumnya, skrining dilakukan hanya
ketika syarat-syarat terpenuhi, yakni penyakit tersebut merupakan penyebab utama
kematian dan kesakitan, terdapat sebuah uji yang sudah terbukti dan dapat diterima
2
untuk mendeteksi individu-individu pada suatu tahap awal penyakit yang dapat
dimodifikasi, dan terdapat pengobatan yang aman dan efektif untuk mencegah penyakit
atau akibat-akibat penyakit.(2)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Telinga
Untuk
memahami
tentang
gangguan
pendengaran
dan
pemeriksaan
Gambar 1 : Anatomi telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam (3)
masalah yang serius. Fungsi utama dari struktur telinga luar adalah menangkap
gelombang bunyi dan meneruskannya ke membran timpani.(3)
2. Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar : membran timpani, batas
depan : tuba eustachius, batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis), batas
belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis, batas atas : tegmen timpani
(mening/otak), batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis
horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round
window) dan promontorium.(3),(4)
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida
(membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria). Pars
flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan
bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars
tensa mempunyai satu lapisan lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat
kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radial dibagian luar dan sirkuler di
bagian dalam.(3)
Terdapat tiga tulang pendengaran di dalam telinga tengah yang saling
berhubungan, yakni maleus, inkus dan stapes. Prosesus longus maleus melekat pada
membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes
terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar
tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.(4),(6) Hubungan ini penting pada
proses penghantaran (konduksi) bunyi. Maleus yang melekat pada membran timpani
akan menerima getaran dari membran timpani secara langsung. Jadi ketika membran
timpani bergerak ke arah medial, maleus akan ikut bergerak ke arah medial akibat
getaran langsung ini. Kaput maleus melekat pada inkus seperti ball-in-socket. Tipe
persendian ini menciptakan pergerakan bebas dari maleus dan inkus. Pergerakan inkus
berlawanan arah dengan maleus, misalnya saat maleus bergerak ke arah medial, maka
inkus akan bergerak ke arah lateral. Proses ini merupakan salah satu komponen
mekanik yang penting yang terlibat dalam fungsi telinga tengah.(3)
Telinga tengah merupakan perluasan dari ruang udara respirasi dari hidung dan
sinus yang dilapisi dengan mukosa respirasi, tebal di sekitar tuba Eustachius dan tipis di
sekitar tulang mastoid. Mukosa ini dapat mensekresikan mukus seperti halnya mukosa
5
pendengaran tidak memperbesar jarak pergerakan dari stapes, seperti yang umumnya
diyakini, sebaliknya, sistem tersebut sebenarnya mengurangi jarak tetapi meningkatkan
tenaga pergerakan sekitar 1,3 kalinya. Selain itu, daerah permukaan membran timpani
adalah sekitar 55mm2, sedangkan luas permukaan stapes rata-rata 3,2 mm2. Rasio
perbedaan yang 17 kali lipat ini dikali dengan rasio 1,3 kali dari sistem pengungkit
menyebabkan penekanan total sekitar 22 kali lipat yang diberikan pada cairan koklea,
seperti yang diberikan gelombang suara terhadap membran timpani. Karena cairan
mempunyai inersia yang jauh lebih besar daripada udara, mudah dimengerti bahwa
peningkatan jumlah tekanan diperlukan untuk menimbulkan getaran pada cairan. Oleh
karena itu, membran timpani dan sistemu tulang pendengaran memberikan kesesuaian
impedansi adalah sekitar 50-75% dari sempurna untuk frekuensi suara antara 300 dan
3000 siklus per detik, sehingga hampir semua energi digunakan untuk gelombang suara
yang datang.(6)
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Jika
kaki stapes bergerak ke dalam menghadap fenstra ovalis, fenestra rotundum harus
menonjol keluar, karena semua sisi koklea dikelilingi oleh dinding yang bertulang.
Koklea adalah suatu sistem tuba yang melingkar-lingkar. Koklea terdiri dari tiga tuba
melingkar yang saling bersisian : skala vestibuli, skala media, dan skala timpani. Skala
vestibuli dan skala media dipisahkan satu sama lain oleh mebran reissner atau membran
vestibular. Skala timpani dan skala media dipisahkan satu sama lain oleh membran
basilar. Pada permukaan membran basilar terletak organ korti yang mengandung
serangkaian sel yang sensitif secara elektromekanik, yaitu sel sel rambut. Sel ini
merupakan organ reseptif akhir yang membangkitkan impuls saraf sebagai respon
terhadap getaran suara. (6)
Getaran suara memasuki skala vestibuli dari bidang depan stapes pada fenestra
ovalis. Bidang depan akan menutupi fenestra ini dan dihubungkan dengan tei fenestra
oleh ligamentum anularis yang longgar, sehingga fenestra dapat bergerak ke dalam dan
keluar bersama getaran suara. Pergerakan ke dalam menyebabkan cairan bergerak ke
dalam skala vestibuli dan skala media, dan pergerakan keluar menyebabkan cairan
keluar ke arah sebaliknya.
Efek awal dari gelombang suara yang masuk ke fenestra ovalis adalah untuk
menyebabkan membran basilar pada basis koklea menekuk ke arah fenestra rotundum.
Namun, tegangan elastik yang dibentuk dalam serabut basilar pada waktu serabut
menekuk ke arah fenestra rotundum, mencetuskan gelombang cairan yang berjalan di
sepanjang membran basilar menuju arah helikotrema. Pergerakan gelombang di
sepanjang membran basilar sebanding dengan pergerakan gelombang tekanan di
sepanjang dinding arteri. (6)
Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa,
sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran
tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan
ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan inni menimbulkan proses depolarisasi sel
rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius
sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.(5)
D. Gangguan Pendengaran pada Pekerja
Gangguan pendengaran adalah hal yang lazim kita temui saat ini.Salah satunya
adalah gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) atau dalam istilah asing disebut
Noise Induce Hearing Lost (NIHL).Dengan semakin bertambah majunya teknologi,
maka semakin mudah dan nyaman hidup manusia.Tetapi dibalik itu tersimpan ancaman
yang sering tersamar dan tidak kita sadari. GPAB ini merupakan salah satu ancaman
kemajuan tersebut.(5)
Bising dan penuaan merupakan dua hal utama penyebab hilangnya pendengaran
permanen. Sayangnya kelainan ini tidak dapat dikoreksi baik menggunakan obat-obatan
maupun tindakan operatif, tetapi GPAB dapat dicegah.(5)
Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan.Bising secara Ilmu
Kesehatan Masyarakat adalah suara yang tidak diharapkan dan tidak menyenangkan
yang menggangu, atau suara yang diinginkan namun berpotensi menyebabkan
gangguan kesehatan. Bahkan menurut WHO, bising dikategorikan sebagai salah satu
jenis polutan2 . Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB).(10) atau lebih dapat
menyebabkan rusaknya reseptor pendengaran pada telinga dalam. Bising dapat kita
temui juga dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak hanya bising di tempat kerja, tetapi
dapat juga bersumber dari alat rumah tangga, alat elektronik, pemutar musik, pusat
perbelanjaan sampai tempat bermain anak-anak.(5)
Pada tahun 1900, angka rata-rata harapan hidup di dunia hanya sebesar 47
tahun.Pada saat itu, kehilangan pendengaran karena penuaan bukan suatu masalah yang
banyak ditemukan. Bandingkan dengan saat ini, rata-rata usia harapan hidup sudah
meningkat tajam3. Usia harapan hidup di Jepang adalah yang tertinggi, mencapai usia
80 tahun. Negara maju seperti Australia, Kanada, Swiss dan lainnya memiliki angka
rata-rata harapan hidup yang mencapai 79 tahun8. Saat usia rata-rata semakin tua, maka
mulai muncullah akumulasi masalah kesehatan. Tidaklah mengherankan jika pada saat
ini kejadian kehilangan pendengaran semakin sering terjadi.(5)
Gangguan pendengaran akibat bising adalah tuli akibat terpapar bising yang
cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama.Tuli ini merupakan jenis ketulian
sensorineural yang paling banyak ditemui setelah presbiakusis. Sejalan dengan
berkembangnya gaya hidup masyarakat, kejadian kehilangan pendengaran semakin
banyak ditemukan. Selain paparan suara bising, ada banyak faktor lain yang
menyebankan gangguan pendengaran seperti hipertensi, diabetes, obat-obatan, dan
paparan substansi yang dapat merusak telinga merupakan penyebab dari berkurangnya
pendengaran.(3)
Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada kesehatan kerja di
berbagai negara.Sedikitnya 7 juta orang (35% dari populasi industri di Amerika dan
Eropa) terpajan bising 85 dB atau lebih
(11).
pendengaran akibat bising telah banyak dilakukan. Seperti penelitian yang dilakukan
oleh Sundari (1994) yang menemukan 31,55% pekerja pabrik peleburan besi di Jakarta
menderita tuli akibat bising dengan intensitas bising antara 85-105 dB, dengan masa
10
kerja rata-rata 8,99 tahun11. Penelitian lain dilakukan oleh Lusianawaty (1998) yang
menemukan bahwa 7 dari 22 pekerja (31,8%) di perusahaan kayu lapis Jawa Barat
mengalami tuli akibat bising dengan intensitas bising lingkungan antara 84,9-108,2
dB11. Penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising ini tidak hanya dilakukan
di tempat kerja, tetapi juga di lingkungan, seperti yang dilakukan oleh Hendarmin dan
Hadjar tahun 1971, mendapatkan bising jalan raya (jl. M.H Thamrin, Jakarta) sebesar
95 dB lebih pada jam sibuk.(11)
Fakta bahwa paparan bising yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan
pendengaran mulai dikenali sejak abad kedelapan belas. Pada awal abad keduapuluh,
gangguan pendengaran akibat bising ini dikenal dengan nama Boilermakers Deafness.
Istilah ini muncul mungkin karena pada saat itu ketulian ini ditemukan pada para
pekerja pabrik yang bising.Jika kita tetap menginginkan untuk terus menikmati kualitas
hidup sehat, maka menjaga alat indera terutama pendengaran adalah kuncinya. Tulisan
ini mencoba untuk menjelaskan apa itu gangguan pendengaran akibat bising,
patofisiologi, menegakkan diagnosis dan cara pencegahannya.
E. Indikasi Pemeriksaan Skrining Pendengaran
Siapa saja yang terpapar oleh bising akan memiliki resiko. Semakin tinggi level
bising dan semakin panjang anda terpapar terhadap itu, semakin anda beresiko
menderita efek sakit dari bising. Beberapa warning sign yang mungkin beresiko, jika:
bising
Tiba-tiba sulit mengerti pembicaraan setelah terpaparbising; bisa mendengar
disebabkan oleh suara bising yang sangat besar, seperti suara tembakan senjata atau
ledakan, yang bisa membuat membran timpani rupture atau membahayakan tulang
pendengaran telinga tengah. Jenis NIHL ini bisa segera dan permanen.(8)
Paparan bising yang keras juga bisa menyebabkan tinnitus- dering, dengung,
bergemuruh di telinga atau kepala. Tinnitus mungkin mereda seiring waktu, tetapi
11
Perpustakaan
Percakapan
Ruang kelas
Traktor
Bor motor
Klub malam
:
:
:
:
:
:
30 dB
60 dB
70 dB
80 dB
90 dB
100 dB
Waktu Intensitas
kebisingan (NAB)
Jam
Jam
Jam
Jam
Menit
3
85
88
91
94
97
100
103
106
109
112
1
8
4
2
1
30
1.5
7.5
3.75
1.88
0.94
Menit
Menit
Menit
Menit
Menit
Catatan :Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dBA, walaupun sesaat.
8
6
4
3
2
1
1
90
92
95
97
100
102
105
110
12
or less
115
sebelumnya. (ASHA)
3. Prosedur Pemeriksaan
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan telinga dengan menggunakan otoskop
Bila terdapat kelainan (serumen, OE, OMSK dan lain-lain) pemeriksaan
13
Keterangan : Pemeriksaan audiometri tidak dilakukan pada pekerja yang terdapat tandatanda infeksi (OMSK aktif, OE, serumen dan lain-lain)
H. Jenis Pemeriksaan Pendengaran Pada Pekerja
1. Tes Garpu Tala
Tes garpu tala adalah suatu tes untuk mengevaluasi fungsi pendengaran individu
secara kualitatif dengan menggunakan alat berupa seperangkat garpu tala frekuensi
rendah sampai tinggi 128 HZ-2048 Hz. (19), (20)
Satu perangkat garpu tala memberikan skala pendengaran dari frekuensi rendah
hingga tinggi akan memudahkan survei kepekaan pendengaran. Cara menggunakan
garpu tala yaitu garpu tala di pegang pada tangkainya, dan salah satu tangan garpu tala
dipukul pada permukaan yang berpegas seperti punggung tangan atau siku. Perhatikan
jangan memukulkan garpu tala pada ujung meja atau benda keras lainnya karena akan
menghasilkan nada berlebihan, yang adakalanya kedengaran dari jarak yang cukup jauh
dari garpu tala dan bahkan dapat menyebabkan perubahan menetap pada pola getar
garpu tala(19), (20)
Ada 6 jenis tes garpu tala , yaitu: (19), (20)
1
Tes Rinne
Tes Weber
Tes Schwabach
Tes Bing
Tes Stenger
Tes-tes ini memiliki tujuan khusus yang berbeda dan saling melengkapi.
14
Tujuan :
Menentukan frekuensi garpu tala yang dapat didengar penderita melewati
hantaran udara bila dibunyikan pada intensitas ambang normal. (19), (20)
Cara Pemeriksaan :
Semua garpu tala (dapat dimulai dari frekuensi terendah berurutan sampai
frekuensi tertinggi atau sebaliknya) dibunyikan satu persatu, dengan cara
dipegang tangkainya kemudian kedua ujung kakinya dibunyikan dengan lunak
(dipetik dengan ujung jari kuku, didengarkan terlebih dahulu oleh pemeriksa
sampai bunyi hampir hilang untuk mencapa intensitas bunyi yang terendah bagi
orang normal/nilai ambang normal), kemudian diperdengarkan pada penderita
dengan meletakkan garpu tala di dekat MAE pada jarak 1-2 cm dalam posisi
tegak dan 2 kaki pada garis yang menghubungkan MAE kanan dan kiri. (19), (20)
Interpretasi :(19)
Tujuan :
Membandingkan hantaran udara dan hantaran tulang pada satu telinga penderita.
(19), (20)
Cara Pemeriksaan :
Bunyikan garpu tala frekuensi 512 Hz, letakkan tangkainya tegak lurus pada
planum mastoid penderita (posterior dari MAE) sampai penderita tak mendengar,
kemudian cepat pindahkan ke depan MAE penderita. Apabila penderita masih
mendengar garpu tala di depan MAE disebut Rinne positif, bila tidak mendengar
disebut Rinne negatif. (19), (20)
Bunyikan garpu tala frekuensi 512 Hz, kemudian dipancangkan pada planum
mastoid, kemudian segera dipindahkan di dpan MAE, kemudian penderita
ditanyamana yang terdengar lebih keras. Bila lebih keras di depan disebut rinne
positif, bila lebih keras di belakang disebut rinne negatif. (19), (20)
16
Interpretasi : (19)
Kadang-kadang terjadi false Rinne (pseudo positif atau pseudo negatif) terjadi bila
stimulus bunyi di tangkap oleh telinga yang tidak di tes, hal ini dapat terjadi bila
telinga yang tidak tes pendengarannya jauh lebih baik daripada yang di tes. (19),(20)
Kesalahan pada pemeriksaan ini dapat terjadi bila : (19),(20)
Garpu tala diletakkan dengan baik pada mastoid atau miring, terkena rambut, jaringan
lemak tebal sehingga penderita tidak mendengar atau getaran terhenti karena kaki garpu
tala tersentuh aurikulum, ataupun pemeriksa tidak meletakkan garpu tala tegak lurus.
17
Penderita terlambat memberi isyarat waktu garpu tala sudah tak terdengar lagi, sehingga
waktu di pindahkan di depan MAE getaran garpu tala sudah berhenti.
c. Tes Weber
Tujuan :
Membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga penderita.
Tes ini sangat bermanfaat pada kasus-kasus gangguan unilateral, namun dapat
meragukan bila terdapat gangguan koduktif maupun sensorineural (campuran),
atau bila hanya menggunakan penala frekuensi tunggal. (19),(20)
Garpu tala frekuensi 512 Hz dibunyikan, kemudian tangkainya diletakkan tegak lurus di
garis median, biasanya di dahi (dapat pula pada vertex, dagu atau pada gigi insisivus)
dengan kedua kaki pada garis horisontal.
Penderita diminta untuk menunjukkan telinga mana yang tidak mendengar atau
mendengar lebih keras . Bila mendengar pada satu telinga disebut laterisasi ke sisi
telinga tersebut. Bila kedua telinga tak mendengar atau sama-sama mendengar berarti
tak ada laterisasi.
18
Interpretasi : (19)
Normal : Tidak ada lateralisasi. Getaran dirasakan sama pada kedua sisi dan demikian
pula suara juga terdengar diantara telinga.
Tuli konduksi : Mendengar lebih keras di telinga yang sakit. Hal ini dikarenakan energi
getaran yang kurang baik di transmisikan dari koklea sampai telinga tengah sehingga
suara sulit menjangkau koklea.
Tuli sensorineural : Mendengar lebih keras pada telinga yang sehat
Karena menilai kedua telinga sekaligus maka kemungkinannya dapat lebih dari
satu. (19),(20)
Contoh : lateralisasi ke kanan, telinga kiri normal, dapat diinterpretasikan : (19),(20)
Tuli konduksi kanan, telinga kiri normal
Tuli konduksi kanan dan kiri, tetapi kanan lebih berat
Tuli sensorineural kiri, telinga kanan normal
Tuli sensorineural kanan dcan kiri, tetapi kiri lebih berat
Tuli konduksi kanan dan sensori neural kiri.
19
d. Tes Schwabach
Tujuan :
Membandingkan hantaran lewat tulang antara penderita dengan pemeriksa (19),(20)
Untuk membedakan kedua kemungkinan ini maka tes dibalik, yaitu tes pada
penderita dulu baru ke pemeriksa. Garpu tala 512 dibunyikan kemudian
diletakkan tegak lurus pada mastoid penderita, bila penderita sudah tidak
mendengar maka secepatnya garpu tala dipindahkan pada mastoid pemeriksa,
bila pemeriksa tidak mendengar berarti sam-sama normal, bila pemeriksa
masih masih mendengar berarti schwabach penderita memendek.
Interpretasi : (19)
20
Normal
Schwabach
normal.
Bila
pasien
dan
pemeriksa
sama-
samamendengarnya.
Garpu tala tidak di letakkan dengan benar, kakinya tersentuh sehingga bunyi
menghilang
Tragus telinga yang diperiksa ditekan sampai menutup liang telinga, sehingga
terdapat tuli konduktif kira-kira 30 dB. Garpu tala digetarkan dan diletakkan
pada pertengahan kepala (seperti pada tes Weber).
Interpretasi : (19),(20)
-
Bila terdapat lateralisasi ke telinga yang ditutup, berarti telinga tersebut normal.
Bila bunyi pada telinga yang ditutup tidak bertambah keras, berarti telinga
tersebut menderita tuli konduktif.
21
2. Timpanometri
Timpanometri adalah rekaman terus-menerus impedansi telinga tengah
sebagaimana tekanan udara di kanal telingasecara sistematis meningkat atau menurun.
Awalnya di pengujian, volume saluran telinga diperkirakan. Jika melebihi 2 cm 3,
kemungkinan perforasi dari membran timpani harus dipertimbangkan. Telinga tengah
dengan impedansi rendah (masuk tinggi) lebih mudah menerimaenergi akustik,
sedangkan telinga tengah dengan impedansi tinggi (masukrendah) cenderung untuk
menolak energi akustik. Dalam timpanogram itu, pemenuhan statis (kekakuan yang
resiprokal) dari komponen telinga tengah diplot sebagai fungsi dari tekanan dalam
saluran telinga. (18)
Pada pemeriksaan audiometri impedans diperiksa kelenturan membran timpani
dengan tekanan tertentu pada meatus akustikus eksterna. (16)
Didapatkan istilah: (16)
a. Timpanometri, yaitu untuk mengetahui keadaan dalam kavum timpani. Misalnya
ada cairan, gangguan rangkaian tulang pendengaran (ossicular chain), kekakuan
membrane timpani dan membran timpani yang sangat lentur.
b. Fungsi tuba Eustachius (Eustachian tubefunction), untuk mengetahui tuba
Eustachius terbuka atau tertutup.
c. Refleks stapedius. Pada telinga normal, refleks stapedius muncul pada rangsangan
70-80 dB di atas ambang dengar.
Pada lesi di koklea, ambang rangsang refleks stapedius menurun, sedangkan
pada lesi di retrokoklea, ambang itu naik. (4)
22
Tekanan kemudian diturunkan sampai titik di mana energi bunyi diserap dalam
jumlah tertinggi; keadaan ini menyatakan membran timpani dan untaian tulang
pendengaran dalam compliance yang maksimal. Pada saat compliance maksimal
ini dicapai, tekanan udara dalam rongga telinga tengah sama dengan tekanan udara
dalam liang telinga luar. Jadi tekanan dalam rongga telinga tengah diukur secara tak
langsung. (20)
Tekanan dalam liang telinga luar kemudian diturunkan lagi sampai -400 mmH 2O.
Dengan demikian akan terjadi lagi kekakuan dari membrana timpani dan untaian
tulang-tulang pendengaran, sehingga tak ada bunyi yang diserap, dan energi bunyi yang
dipantulkan akan meningkat lagi. (20)
Timpanometri merupakan salah satu dari 3 pengukuran imitans yang banyak
digunakan dalam menilai fungsi telinga tengah secara klinis, di samping imitans statik
dan ambang refleks akustik. (16)
Compliance
menunjukkan jumlah mobilitas di telinga tengah. Sebagai contoh, lebih banyak energi
yang kembali ke alat pemeriksaan, lebih sedikit energi yang diterima oleh membran
timpani. Hal ini menggambarkan suatu compliance yang rendah. Compliance yang
rendah menunjukkan kekakuan atau obstruksi pada telinga tengah. Data-data yang
didapat membentuk sebuah gambar 2 dimensi pengukuran mobilitas membran timpani.
Pada telinga normal, kurva yang timbul menyerupai gambaran lonceng. (16)
Penghantaran bunyi melalui telinga tengah akan maksimal bila tekanan udara
sama pada kedua sisi membran timpani.
tekanan udara di dalam liang telinga sama dengan tekanan udara di dalam kavum
timpani, imitans dari sistem getaran telinga tengah normal akan berada pada puncak
optimal dan aliran energi yang melalui sistem ini akan maksimal. Tekanan telinga
24
tengah dinilai dengan bermacam-macam tekanan pada liang telinga yang ditutup probe
sampai sound pressure level (SPL) berada pada titik minimum. Hal ini menggambarkan
penghantaran bunyi yang maksimum melalui telinga tengah. Tetapi bila tekanan udara
dalam salah satu liang telinga lebih dari (tekanan positif) atau kurang dari (tekanan
negatif) tekanan dalam kavum timpani, imitans sistem akan berubah dan aliran energi
berkurang. Dalam sistem yang normal, begitu tekanan udara berubah sedikit di bawah
atau di atas dari tekanan udara yang memproduksi imitans maksimum, aliran energi
akan menurun dengan cepat sampai nilai minimum. (16)
Pada tekanan yang bervariasi di atas atau di bawah titik maksimum, SPL nada
pemeriksaan di dalam liang telinga bertambah, menggambarkan sebuah penurunan
dalam penghantaran bunyi yang melalui telinga tengah. (16)
b. Interpretasi
Timpanogram adalah suatu penyajian berbentuk grafik dari kelenturan relative
sistem timpanoosikular sementara tekanan udara liang telinga diubah-ubah. Kelenturan
maksimal diperoleh pada tekanan udara normal, dan berkurang jika tekanan udara
ditingkatkan atau diturunkan. Individu dengan pendengaran normal atau dengan
gangguan sensoneural akan memperlihatkan sistem timpani-osikular yang normal.
(Adams,1997). (16)
Liden (1969) dan Jerger (1970) mengembangkan suatu klasifikasi timpanogram.
Tipe-tipe klasifikasi yang diilustrasikan adalah sebagai berikut(Adams,1997): (16)
1. Tipe A
25
Kelenturan maksimal terjadi pada atau dekat tekanan udara sekitar, tapi
kelenturan lebih rendah daripada tipe A. Fiksasi atau kekauan sistem osikular
seringkali dihubungkan dengan tipe As.
Kelenturan maksimum yang sangat tinggi terjadi pada tekanan udara sekitar,
dengan peningkatan kelenturan yang amat cepat saat tekanan diturunkan
mencapai tekanan udara sekitar normal. Tipe Ad dikaitkan dengan diskontinuitas
sitem osikular atau suatu membrana timpani mono metrik.
27
Terdapat pada keadaan membran timpani yang retraksi dan malfungsi dari tuba
Eustachius.
nada
dengan
frekuensi
yang
lebih
tinggi
sebelum
dapat
didemonstrasikan. (16),(18)
28
pemeriksaan yaitu pass atau refer. Jika terdapat gelombang OAE maka bayi dapat
melewati tes OAE (pass), berarti bayi tersebut tidak mengalami gangguan pendengaran.
Jika tidak ditemukan gelombang OAE berarti ada gangguan pendengaran (refer), maka
harus dilakukan tes lanjutan(1),(2)
Cara kerja alat ini dengan memberikan stimulus bunyi yang masuk ke liang
telinga melalui insert probe, dengan bagian luarnya dilapisi karet lunak (probe tip) yang
ukurannya dapat dipilih sesuai besarnya liang telinga, menggetarkan gendang telinga,
selanjutnya melalui telinga tengah akan mencapai koklea. Saat stimulus bunyi mencapai
OHC koklea yang sehat, OHC akan memberikan respon dengan memancarkan emisi
akustik yang akan dipantulkan ke arah luar (echo) menuju telinga tengah dan liang
telinga. Emisi akustik yang tiba di liang telinga akan direkam oleh mikrofon mini yang
juga berada dalam insert probe, selanjutnya diproses oleh mesin OAE sehingga hasilnya
dapat ditampilkan pada layar monitor mesin OAE. Kerusakan pada OHC misalnya
akibat virus, obat-obat ototoksik, kuranganya oksigenasi dan perfusi yang menuju
koklea menyebabkan OHC tidak dapat memproduksi gelombang OAE. OAE tidak
muncul pada hilangnya pendengaranlebih dari 30-40 dB. Pemeriksaan OAE dapat
menentukan penilaian klinik telinga perifer/jalur preneural, namun tidak dapat
memeriksa adanya gangguan saraf pendengaran atau respon otak/jalur neural terhadap
suara. OAE dipengaruhi oleh verniks kaseosa, debris, dan kondisi telinga tengah
(cavum tympani). Neonatus usia kurang dari 24 jam liang telinga terisi verniks kaseosa
yang akan keluar dalam 24-48 jam setelah lahir, sehingga hasil refer 5-20% bila
skrining dilakukan 24 jam setelah lahir. Angka refer <3% dicapai bila skrining
dilakukan usia 24-48 jam karena perjalanan stimulus bunyi menuju koklea maupun
emisi akustik yang dipancarkan oleh koklea ke liang telinga harus melewati telinga
tengah; maka sebelum pemeriksaan OAE harus dipastikan bahwa telinga tengah dalam
kondisi normal dengan pemeriksaan timpanometri. Kelainan pada telinga tengah akan
memberikan hasil positif palsuFaktor lain yang mempengaruhi hasil tes OAE yaitu
ukuran probe (harus sesuai dengan ukuran liang telinga), posisi penempatan probe
(tidak ada kebocoran atau celah udara dan posisi probe harus lurus ke arah gendang
telinga) serta kebisingan eksternal maupun internal(1)
30
OAE dapat timbul tanpa adanya stimulus bunyi, namum tidak semua manusia memiliki
Spontan OAE sehingga manfaat klinisnya tidak diketahui. Evoked OAE adalah OAE
yang terjadi pasca pemberian stimulus, dibedakan menjadi Stimulus Frequency OAE
(SFOAE), Transient Evoked OAE (TEOAE) dan Distortion Product OAE (DPOAE). (13)
c. SFOAE
Merupakan respon yang dibangkitkan oleh nada murni yang panjang dan terus
menerus, jenis ini tidak mempunyai arti klinis, dan jarang digunakan. (13)
d. TEOAE
Untuk memperoleh emisi TEOAE digunakan stimulus bunyi click yang onsetnya
sangat cepat (milidetik) dengan intensitas sekitar 40 desibel. Secara otomatis akan
diperiksa 46 jenis frekuensi. Spektrum frekuensi yang dapat diperiksa TEOAE adalah
500 - 4500 Hz untuk orang dewasa dan 50006000 Hz pada bayi. TEOAE tidak
terdeteksi pada ketulian >40 dB. Bila TEOAE pass berarti tidak ada ketulian kohlea,
31
sebaliknya bila TEOAE reffer berarti ada ketulian kohlea lebih dari 40 dB. Umumnya
hanya digunakan untuk skrining pendengaran bayi/anak. (13)
e. DPOAE
Mempergunakan 2 buah stimulus bunyi nada murni sekaligus, yang berbeda
frekuensi maupun intensitasnya. Spektrum frekuensi yang dapat diperiksa lebih luas
dibandingkan dengan TEOAE, dapat mencapai frekuensi tinggi (10.000 Hz). DPOAE
(+BERA) digunakan untuk mendiagnosis auditori neuropati, monitoring pemakain obat
ototoksik dan pemaparan bising,menentukan prognosis tuli mendadak (sudden
deafness) dan gangguan pendengaran lainnya yang disebabkan oleh kelainan koklea.(13)
4. Tes PTA (Pure Tone Audiometry)
Skrining yang dapat dilakukan untuk mendetesi gangguan pendengaran pada
pekerjaadalah dengan audiometri. Tes ini dilakukan dengan nada murni (Pure Tone
Audiometry)
denganfrekuensi
yang
berbedadandilakukanuntuktelinga
kiridan
dengan menambahkan ambang dengar 4000 Hz dengan ketiga ambang dengar di atas,
kemudian dibagi 4. (5)
Dapat dihitung ambang dengar hantaran udara (AC) atau hantaran tulang (BC).
Pada interpretasi audiogram (a) telinga yang mana, (b) apa jenis ketuliannya, (c)
bagaimana derajat ketuliannya, misalnya : telinga kiri tuli campur sedang. (5)
Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar dengan
hantaran udaranya (AC) saja. (5)
Derajat ketulian IS0 : (5)
0 25 dB
: normal
> 25 40 dB
: tuli ringan
> 40 55 dB
: tuli sedang
> 55 70 dB
> 70 90 dB
: tuli berat
> 90 dB
33
Penatalaksanaan
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan ke
lingkungan kerja yang lebih aman. Bila sudah terdapat gangguan pendengaran yang
menetap maka dilakukan rehabilitasi(7)
Pada skrining bila tidak ditemukan gangguan pendengaran, maka perlu dilakukan:
Penyuluhan tentang lokasi bising
Penyuluhan tentang pengaruh bising pada pendengaran
Pentingnya penggunaan alat pelindung telinga
Dilakukan pemeriksaan skrining pendengaran minimal satu kali dalam satu tahun
Bila ditemukan gangguan pendengaran, maka dilakukan:
Penyuluhan tentang lokasi bising
Penyuluhan tentang pengaruh bising pada pendengaran
Pentingnya penggunaan alat pelindung telinga
Rehabilitasi dengan menggunakan alat bantu dengar dan terapi wicara (bila
diperlukan)
Pemeriksaan skrining pendengaran minimal satu kali dalam satu tahun
34
- Ear muff/valve, dapat menutup sendiri bila ada suara yang keras, dan membuka
sendiri bila suara kurang kerasnya.
- Helmet, suatu penutup kepala yang melindungi kepala sekaligus sebagai
pelindung telinga.
e. Edukasi tentang bahaya bising.
Program ini harus dapat mencapai hasil agar masyarakat mengerti serta rela
mengusahakan perlindungan terhadap bising. Pemasangan poster dan tanda pada
daerah bising adalah salah satu usaha yang dapat dilakukan.
f. Penyelidikan dan penelitian terhadap bising.
Agar ditemukan teknik perlindungan baru yang lebih menjamin keamanan para
pekerja dan masyarakat dari gangguan bising.
2). Pengukuran pemeriksaan pendengaran para pekerja dengan audiometri nada murni,
yang terdiri atas:
a.Pengukuran pendengaran sebelum karyawan diterima bekerja di lingkungan bising
(pre employment hearing test). Termasuk masyarakat yang berada di lingkungan
bising diperiksa pendengarannya.
b.Pengukuran pendengaran secara berkala dan teratur, misalnya 6 bulan sekali.
Agar didapatkan gambaran-gambaran dasar dari kemampuan pendengaran pekerja
dan masyarakat di lingkungan bising.
Dalam pemeriksaan audiometri perlu diperhatikan faktor-faktor:
Usia.
Lama kerja atau tinggal di lingkungan bising.
Lama kerja atau tinggal di lingkungan bising sebelumnya.
Kebiasaan sehari-hari, merokok, memakan obat menahun yang bersifat
ototoksik, minuman beralkohol.
3). Merubah tata cara kerja jika diperlukan dan dapat dilaksanakan seperti merubah
daftar-daftar kerja dan waktu bekerja pekerja digilir.
4). Rehabilitasi, tentu saja disesuaikan dengan kemampuan keuangan perusahaan. Tapi
penekanan bahwa mencegah ketulian adalah lebih tepat dan lebih mudah serta lebih
baik daripada mengobati suatu ketulian akibat bising yang sudah permanen.
36
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan pendengaran pada pekerja dapat disebabkan karena bising ditempat
kerja, oleh karena itu perlu dilakukan uji skrining. Skrining pendengaran merupakan
prosedur tes pendengaran secara missal, cepat, praktis, cost effective pada populasi
tertentu, berdasarkan hasil skrining dapat dibedakan kelompok tanpa gangguan
pendengaran dengan kelompok memerlukan tindak lanjut
Gangguan pendengaran pada pekerja dapat diperiksa dengan berbagai tes, salah
satunya auditometri. Tes ini dilakukan dengan nada murni dengan frekuensi yang
berbeda dan dilakukan untuk telinga kiri dan kanan secara terpisah. Hasilnya diplotke
sebuah audiogram. Audiometri ini dapat digunakan untuk menentukan jenis dan derajat
ketulian pada pekerja. Gangguan pendengaran ini adalah salah satu tipe gangguan
pendengaran yang benar-benar bisa dicegah.
37
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Indra Wisnu, Dody. Program Konservasi Pendengaran. [diakses tanggal 2
Oktober2015].
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/618/609
2. Marisol CB, Diarmid CL, Kyle S. Occupational noise. World Health
Organization. 2004. Geneva.
3. Hersh MA, Johnson MA. Anatomy and Physiology of Hearing, Hearing
Impairment and Treatment.
4. 29.Alberti PW. The Anatomy and Physiology of the Ear and Hearing. [diakses
tanggal 2 Oktober 2015]. Available from:
http://www.who.int/occupational_health/publications/noise2.pdf
5. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Gangguan Pendengaran Akibat
Bising (Noice Induced Hearing Loss). In: buku ajar ilmu kesehatan
telinga,hidung,tenggorok,kepala, dan leher FKUI ed. Ketujuh. Balai penerbit
FKUI : Jakarta.2012.
6. Guyton AC, Hall JE.Indera pendengaran.In : buku ajar fisiologi kedokteran
ed.11. EGC :Jakarta.2006
7. Fligor, Brian J.Your Guide To Prevention of Hearing Loss From Noise. Better
Hearing Institute.Washington : 2011. http://www.betterhearing.org
8. National Institute on Deafness and Other Communications Disorders. Noise
Induced Hearing Loss. Bethesda : 2014. http://www.nidcd.nih.gov
9. Azizi MH. Occupational Noise-induced Hearing Loss. International Journal of
Occupational and Environmental Medicine. Iran : 2010.
http://http://www.theijoem.com
10. Guide to the Safety, Health and Welfare at Work (General Application)
Regulations 2007. Chapter 1 of Part 5: Control of Noise at Work. Health and
Safety Authority. Ireland : 2007.
http://www.hsa.ie
11. Keputusan Menteri Tenaga Kerja NOMOR : KEP51/MEN/I999 tentang Nilai
Ambang Batas Faktor Fisika Di Tempat Kerja. Menteri Tenaga Kerja Republik
Indonesia. Jakarta : 1999.
12. Occupational Safety and Healthy Administration. Permissible Noise Exposures.
Washington : 2000. United States Department of Labor.
13. Claus Elberling, Kirsten Worsoe. Fading Sounds. Denmark:2005. p.19-47.
14. Hidayat, B. Hubungan Antara Gambaran Timpanometri dengan Letak dan
Stadium Tumor pada Penderita Karsinoma Nasofaring di Departemen THT-KL
RSUP H. Adam Malik Medan [online] 2009 [cited 2010 November 4 th].
Available from URL:
39
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6424/1/09E01722.pdf
15. Cummings CW, Flint PW, Harker LA, et al. Cummings Otolaryngology Head
& Neck Surgery Fourth Edition.
16. Snow JB. Diagnostic Audiology, Hearing Aids, and Habilitation Options. In:
Ballengers Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. BC
Decker. Hamilton. London. 2002. p. 3-4
17. Grason-Stadler.GSI TympStar Version 2 Middle-Ear Analyzer [online] 2010
[cited 2010 November 4th]. Available from URL:
http://www.msrwest.com/gsi/tstar.pdf
18. Khoriyatul. Timpanometri [online] 2010 [cited on November 9 th 2010].
Available from URL: http://khoriyatulj.multiply.com/journal
19. Sedjawidada R., Manukbua A.,Mangape D. Audiometri Impedans. Himpunan
Naskah Lokakarya Audiologi, Ujungpandang. Bagian THT FK-UH.1978.
20. Sedjawidada R. Uraian Singkat Audiologi. Bagian Ilmu Penyakit Telinga,
Hidung, dan Tenggorokan. Fakultas Kedokteran Unhas. Makassar. Hal 1-4,1316.
21. Munilson J, Yan Edward, Al Hafiz. Gangguan Pendengaran Akibat Bising:
Tinjauan Beberapa Kasus. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Hal 8-9.
40
41
42