Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN
Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada kesehatan kerja di
berbagai negara, termasuk didalamnya adalah Indonesia. Secara umum bising adalah
bunyi yang tidak diinginkan.Bising secara Ilmu Kesehatan Masyarakat adalah suara
yang tidak diharapkan dan tidak menyenangkan yang menggangu atau suara yang
diinginkan namun berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan.Bahkan menurut
WHO, bising dikategorikan sebagai salah satu jenis polutan. (1)
Risiko kebisingan dapat digolongkan menjadi 2 kategori, yaitu auditory effect
dan non-auditory effect. Risiko auditorial banyak jenisnya dengan tingkat keparahan
yang beragam, mulai kehilangan pendengaran yang bersifat sementara dan dapat
disembuhkan atau sembuh dengan sendirinya sampai dengan permanen. Sementara
risiko non auditorial dapat menyebabkan gangguan sistem keseimbangan, tekanan darah
naik, denyut nadi meningkat, mudah letih saat bekerja di tempat kerja bising,
mengganggu kualitas tidur sampai dengan kondisi kejiwaan / stress. (1)
Salah satu faktor fisik di lingkungan kerja yang dapat mengganggu pekerja
adalah bising. Kebisingan merupakan stressor yang mengenai pendengaran (auditory
stressor) dan dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan baik secara langsung
maupun tidak langsung.(1) World Health Organization (WHO) tahun 2004, tingginya
kadar kebisingan kerja menjadi masalah di seluruh wilayah dunia, di Amerika Serikat
lebih dari 30 juta pekerja terpapar kebisingan berbahaya dan di Jerman 4-5 juta orang
(12-15% dari tenaga kerja) terpapar kebisingan. (2)
Situasinya membaik di negara-negara maju, seperti apresiasi lebih luas dari
bahaya telah menyebabkan pengenalan tindakan perlindungan. Data untuk negaranegara berkembang yang langka, namun bukti yang ada menunjukkan bahwa tingkat
kebisingan rata jauh di atas tingkat kerja direkomendasikan di banyak negara maju.
Tingkat kebisingan rata-rata di negara-negara berkembang dapat meningkat karena
industrialisasi tidak selalu disertai dengan perlindungan.(2)
Oleh karena itu ada beberapa alasan untuk menilai beban penyakit dari
kebisingan kerja di negara atau tingkat subnasional. Kebisingan kerja merupakan faktor
risiko yang luas, dengan dasar bukti yang kuat yang menghubungkan ke suatu hasil
kesehatan yang penting (gangguan pendengaran). Hal ini juga berbeda dari kebisingan
lingkungan, dalam hal ini adalah dengan definisi yang berhubungan dengan tempat
kerja, dan oleh karena itu merupakan tanggung jawab pengusaha maupun individu.
1

Penilaian beban penyakit yang berhubungan dengan kebisingan kerja dapat membantu
memandu kebijakan dan fokus penelitian tentang masalah ini. Hal ini sangat penting
mengingat fakta bahwa kebijakan dan langkah-langkah praktis dapat digunakan untuk
mengurangi paparan kebisingan kerja.(2)
Kebisingan di lingkungan kerja dapat menyebabkan gangguan kesehatan non
pendengaran dan pendengaran.Munculnya keluhan kesehatan seperti tuli akibat
kebisingan terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu berbulan-bulan sampai bertahuntahun.Hal ini sering tidak disadari oleh penderitanya, sehingga pada saat penderita
mulai mengeluh berkurang pendengarannya biasanya sudah dalam stadium irreversible.
Timbulnya gangguan pendengaran ini dipengaruhi oleh intensitas kebisingan, umur,
lama paparan, masa kerja dan penggunaan alat pelindung telinga. Semakin lama pekerja
tersebut terpapar bising tanpa menggunakan alat pelindung diri maka akan semakin
tinggi akumulasi trauma bising pada pekerja yang pada akhirnya akan menyebabkan
ketulian. (2)
Pengukuran paparan paling sesuai untuk kebisingan kerja adalah A-tertimbang
desibel, dB (A), biasanya rata-rata lebih dari satu hari kerja 8 jam. Ada hubungan yang
kuat antara parameter ini dan kemampuan bahaya kebisingan merusak pendengaran
manusia. Hal ini sering diukur di tempat kerja, dan juga yang paling umum digunakan
pengukuran epidemiologi paparan. Paparan awalnya diukur sebagai variabel kontinu,
dan secara teoritis dapat diperlakukan seperti itu di asessing beban penyakit. Ini tidak
praktis, namun, karena banyak survei melaporkan eksposur atas dan di bawah nilai
potongan, bukan sebagai distribusi. Misalnya, kategori berikut secara luas diterapkan
karena mereka sesuai dengan batas regulasi di negara berkembang (biasanya 85 dB (A))
dan banyak berkembang (biasanya 90 dB (A)) negara untuk hari 8 jam :
- Paparan kebisingan yang minimum: <85 dB (A)
- paparan kebisingan cukup tinggi: 85-90 dB (A)
- paparan kebisingan yang tinggi:> 90 dB (A) (2)
Oleh karena itu perlu dilakukan skrining pada pekerja. Uji skrining digunakan
untuk mengidentifikasi suatu penanda awal perkembangan penyakit sehingga intervensi
dapat diterapkan untuk menghambat proses penyakit. Selanjutnya, akan digunakan
istilah penyakit untuk menyebut setiap peristiwa dalam proses penyakit, termasuk
perkembangannya atau setiap komplikasinya. Pada umumnya, skrining dilakukan hanya
ketika syarat-syarat terpenuhi, yakni penyakit tersebut merupakan penyebab utama
kematian dan kesakitan, terdapat sebuah uji yang sudah terbukti dan dapat diterima
2

untuk mendeteksi individu-individu pada suatu tahap awal penyakit yang dapat
dimodifikasi, dan terdapat pengobatan yang aman dan efektif untuk mencegah penyakit
atau akibat-akibat penyakit.(2)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Telinga
Untuk

memahami

tentang

gangguan

pendengaran

dan

pemeriksaan

pendengaran, perlu diketahui mengenai anatomi telinga dan fisiologi pendengaran.


Telinga secara anatomis terdiri atas tiga bagian yaitu : telinga luar, telinga tengah dan
telinga dalam.(3)

Gambar 1 : Anatomi telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam (3)

1. Anatomi Telinga Luar


Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun
telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S,
dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian
dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2 - 3 cm. Pada sepertiga
bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasi kelenjar
keringat = kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit
liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen. (4)
Rambut dan serumen bersama-sama membantu menangkap benda asing dan objek
lainnya yang memasuki liang telinga dan mencegahnya mencapai membran timpani,
sehingga membran timpani dapat terhindar dari benda-benda yang dapat menimbulkan
4

masalah yang serius. Fungsi utama dari struktur telinga luar adalah menangkap
gelombang bunyi dan meneruskannya ke membran timpani.(3)
2. Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar : membran timpani, batas
depan : tuba eustachius, batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis), batas
belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis, batas atas : tegmen timpani
(mening/otak), batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis
horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round
window) dan promontorium.(3),(4)
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida
(membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria). Pars
flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan
bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars
tensa mempunyai satu lapisan lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat
kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radial dibagian luar dan sirkuler di
bagian dalam.(3)
Terdapat tiga tulang pendengaran di dalam telinga tengah yang saling
berhubungan, yakni maleus, inkus dan stapes. Prosesus longus maleus melekat pada
membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes
terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar
tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.(4),(6) Hubungan ini penting pada
proses penghantaran (konduksi) bunyi. Maleus yang melekat pada membran timpani
akan menerima getaran dari membran timpani secara langsung. Jadi ketika membran
timpani bergerak ke arah medial, maleus akan ikut bergerak ke arah medial akibat
getaran langsung ini. Kaput maleus melekat pada inkus seperti ball-in-socket. Tipe
persendian ini menciptakan pergerakan bebas dari maleus dan inkus. Pergerakan inkus
berlawanan arah dengan maleus, misalnya saat maleus bergerak ke arah medial, maka
inkus akan bergerak ke arah lateral. Proses ini merupakan salah satu komponen
mekanik yang penting yang terlibat dalam fungsi telinga tengah.(3)
Telinga tengah merupakan perluasan dari ruang udara respirasi dari hidung dan
sinus yang dilapisi dengan mukosa respirasi, tebal di sekitar tuba Eustachius dan tipis di
sekitar tulang mastoid. Mukosa ini dapat mensekresikan mukus seperti halnya mukosa
5

pada saluran pernapasan. Tuba Eustachius merupakan struktur yang menghubungkan


daerah nasofaring dengan telinga tengah. Tuba Eustachius terdiri dari tulang pada
sepertiga bagian luar (dekat dengan telinga) dan dua pertiga bagian dalamnya terdiri
dari kartilago dan otot. Normalnya tuba ini dalam keadaan tertutup. Kontraksi otot m.
tensor veli palatini dan m. levator veli palatini secara aktif membuka tuba misalnya
pada proses menguap, menelan dan mengunyah, dan berfungsi menyamakan tekanan
udara di telinga tengah dan hidung.(3)(4)
Fungsi dari struktur yang terdapat di telinga tengah adalah mengkonversi energi
akustik menjadi energi mekanik akibat pergerakan membran timpani dan tulang-tulang
pendengaran dari bunyi yang diterima oleh aurikula (pinna) dan diteruskan menuju
membran timpani.(3)
3. Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau
puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan
skala vestibuli.(3)
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibulidi
sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus kokleans) di
antaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfa, sedangkan skala
limfa berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan
endolimfa. Hal ini penting untuk proses pendengaran. Dasar skala vestibuler disebut
sebagai membran vestibuli (Reissners Membrane) sedangkan dasar skala media adalah
membran basalis. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel
rambut dalam, sel rambut luar, dan kanalis corti, yang membentuk organ corti(3),(4)

Gambar 2. Potongan melintang koklea (4)


B. Perkembangan Auditorik Pada Manusia
Perkembangan auditorik pada manusia sangat erat hubungannya dengan
perkembangan otak. Neuron dibagian korteks mengalami proses pematangan dalam
waktu 3 tahun pertama kehidupan, dan masa 12 bulan pertamba kehidupan terjadi
perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, upaya
untuk melakukan deteksi gangguan pendengaran harus dilakukan sedini mungkin agar
habilitas pendengaran sudah dapat di mulai pada saat perkembangan otak masih
berlangsung. (5)
Telah diteliti bahwa koklea mencapai fungsi normal seperti orang dewasa
setelah usia gestasi 20 minggu. Pada masa tersebut janin dalam kandungan telah dapat
memberikan respon terhadap suara yang ada disekitarnya, namun reaksi janin masih
bersifat refleks seperti refleks moro, terhentinya aktivitas (cessation reflex) dan refleks
auropalpebral yang konsisten pada janin normal usia 24-25 minggu. (5)
C. Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membran timpani dteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian
tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang
pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. (5)
Amplitudo gerakan bidang depan stapes di setiap getaran suara, hanya tiga
perempat dari amplitudo tangkai maleus. Oleh karena itu, sistem pengungkit tulang
7

pendengaran tidak memperbesar jarak pergerakan dari stapes, seperti yang umumnya
diyakini, sebaliknya, sistem tersebut sebenarnya mengurangi jarak tetapi meningkatkan
tenaga pergerakan sekitar 1,3 kalinya. Selain itu, daerah permukaan membran timpani
adalah sekitar 55mm2, sedangkan luas permukaan stapes rata-rata 3,2 mm2. Rasio
perbedaan yang 17 kali lipat ini dikali dengan rasio 1,3 kali dari sistem pengungkit
menyebabkan penekanan total sekitar 22 kali lipat yang diberikan pada cairan koklea,
seperti yang diberikan gelombang suara terhadap membran timpani. Karena cairan
mempunyai inersia yang jauh lebih besar daripada udara, mudah dimengerti bahwa
peningkatan jumlah tekanan diperlukan untuk menimbulkan getaran pada cairan. Oleh
karena itu, membran timpani dan sistemu tulang pendengaran memberikan kesesuaian
impedansi adalah sekitar 50-75% dari sempurna untuk frekuensi suara antara 300 dan
3000 siklus per detik, sehingga hampir semua energi digunakan untuk gelombang suara
yang datang.(6)
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Jika
kaki stapes bergerak ke dalam menghadap fenstra ovalis, fenestra rotundum harus
menonjol keluar, karena semua sisi koklea dikelilingi oleh dinding yang bertulang.
Koklea adalah suatu sistem tuba yang melingkar-lingkar. Koklea terdiri dari tiga tuba
melingkar yang saling bersisian : skala vestibuli, skala media, dan skala timpani. Skala
vestibuli dan skala media dipisahkan satu sama lain oleh mebran reissner atau membran
vestibular. Skala timpani dan skala media dipisahkan satu sama lain oleh membran
basilar. Pada permukaan membran basilar terletak organ korti yang mengandung
serangkaian sel yang sensitif secara elektromekanik, yaitu sel sel rambut. Sel ini
merupakan organ reseptif akhir yang membangkitkan impuls saraf sebagai respon
terhadap getaran suara. (6)
Getaran suara memasuki skala vestibuli dari bidang depan stapes pada fenestra
ovalis. Bidang depan akan menutupi fenestra ini dan dihubungkan dengan tei fenestra
oleh ligamentum anularis yang longgar, sehingga fenestra dapat bergerak ke dalam dan
keluar bersama getaran suara. Pergerakan ke dalam menyebabkan cairan bergerak ke
dalam skala vestibuli dan skala media, dan pergerakan keluar menyebabkan cairan
keluar ke arah sebaliknya.

Gambar 3. Perjalanan gelombang suara di dalam telinga (5)

Efek awal dari gelombang suara yang masuk ke fenestra ovalis adalah untuk
menyebabkan membran basilar pada basis koklea menekuk ke arah fenestra rotundum.
Namun, tegangan elastik yang dibentuk dalam serabut basilar pada waktu serabut
menekuk ke arah fenestra rotundum, mencetuskan gelombang cairan yang berjalan di
sepanjang membran basilar menuju arah helikotrema. Pergerakan gelombang di
sepanjang membran basilar sebanding dengan pergerakan gelombang tekanan di
sepanjang dinding arteri. (6)
Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa,
sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran
tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan
ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan inni menimbulkan proses depolarisasi sel
rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius
sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.(5)
D. Gangguan Pendengaran pada Pekerja
Gangguan pendengaran adalah hal yang lazim kita temui saat ini.Salah satunya
adalah gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) atau dalam istilah asing disebut
Noise Induce Hearing Lost (NIHL).Dengan semakin bertambah majunya teknologi,
maka semakin mudah dan nyaman hidup manusia.Tetapi dibalik itu tersimpan ancaman
yang sering tersamar dan tidak kita sadari. GPAB ini merupakan salah satu ancaman
kemajuan tersebut.(5)

Bising dan penuaan merupakan dua hal utama penyebab hilangnya pendengaran
permanen. Sayangnya kelainan ini tidak dapat dikoreksi baik menggunakan obat-obatan
maupun tindakan operatif, tetapi GPAB dapat dicegah.(5)
Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan.Bising secara Ilmu
Kesehatan Masyarakat adalah suara yang tidak diharapkan dan tidak menyenangkan
yang menggangu, atau suara yang diinginkan namun berpotensi menyebabkan
gangguan kesehatan. Bahkan menurut WHO, bising dikategorikan sebagai salah satu
jenis polutan2 . Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB).(10) atau lebih dapat
menyebabkan rusaknya reseptor pendengaran pada telinga dalam. Bising dapat kita
temui juga dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak hanya bising di tempat kerja, tetapi
dapat juga bersumber dari alat rumah tangga, alat elektronik, pemutar musik, pusat
perbelanjaan sampai tempat bermain anak-anak.(5)
Pada tahun 1900, angka rata-rata harapan hidup di dunia hanya sebesar 47
tahun.Pada saat itu, kehilangan pendengaran karena penuaan bukan suatu masalah yang
banyak ditemukan. Bandingkan dengan saat ini, rata-rata usia harapan hidup sudah
meningkat tajam3. Usia harapan hidup di Jepang adalah yang tertinggi, mencapai usia
80 tahun. Negara maju seperti Australia, Kanada, Swiss dan lainnya memiliki angka
rata-rata harapan hidup yang mencapai 79 tahun8. Saat usia rata-rata semakin tua, maka
mulai muncullah akumulasi masalah kesehatan. Tidaklah mengherankan jika pada saat
ini kejadian kehilangan pendengaran semakin sering terjadi.(5)
Gangguan pendengaran akibat bising adalah tuli akibat terpapar bising yang
cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama.Tuli ini merupakan jenis ketulian
sensorineural yang paling banyak ditemui setelah presbiakusis. Sejalan dengan
berkembangnya gaya hidup masyarakat, kejadian kehilangan pendengaran semakin
banyak ditemukan. Selain paparan suara bising, ada banyak faktor lain yang
menyebankan gangguan pendengaran seperti hipertensi, diabetes, obat-obatan, dan
paparan substansi yang dapat merusak telinga merupakan penyebab dari berkurangnya
pendengaran.(3)
Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada kesehatan kerja di
berbagai negara.Sedikitnya 7 juta orang (35% dari populasi industri di Amerika dan
Eropa) terpajan bising 85 dB atau lebih

(11).

Di Indonesia penelitian tentang gangguan

pendengaran akibat bising telah banyak dilakukan. Seperti penelitian yang dilakukan
oleh Sundari (1994) yang menemukan 31,55% pekerja pabrik peleburan besi di Jakarta
menderita tuli akibat bising dengan intensitas bising antara 85-105 dB, dengan masa
10

kerja rata-rata 8,99 tahun11. Penelitian lain dilakukan oleh Lusianawaty (1998) yang
menemukan bahwa 7 dari 22 pekerja (31,8%) di perusahaan kayu lapis Jawa Barat
mengalami tuli akibat bising dengan intensitas bising lingkungan antara 84,9-108,2
dB11. Penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising ini tidak hanya dilakukan
di tempat kerja, tetapi juga di lingkungan, seperti yang dilakukan oleh Hendarmin dan
Hadjar tahun 1971, mendapatkan bising jalan raya (jl. M.H Thamrin, Jakarta) sebesar
95 dB lebih pada jam sibuk.(11)
Fakta bahwa paparan bising yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan
pendengaran mulai dikenali sejak abad kedelapan belas. Pada awal abad keduapuluh,
gangguan pendengaran akibat bising ini dikenal dengan nama Boilermakers Deafness.
Istilah ini muncul mungkin karena pada saat itu ketulian ini ditemukan pada para
pekerja pabrik yang bising.Jika kita tetap menginginkan untuk terus menikmati kualitas
hidup sehat, maka menjaga alat indera terutama pendengaran adalah kuncinya. Tulisan
ini mencoba untuk menjelaskan apa itu gangguan pendengaran akibat bising,
patofisiologi, menegakkan diagnosis dan cara pencegahannya.
E. Indikasi Pemeriksaan Skrining Pendengaran
Siapa saja yang terpapar oleh bising akan memiliki resiko. Semakin tinggi level
bising dan semakin panjang anda terpapar terhadap itu, semakin anda beresiko
menderita efek sakit dari bising. Beberapa warning sign yang mungkin beresiko, jika:

Tidak mendengar seseorang bicara 3 meter jauhnya


Merasa kepenuhan di telinga setelah meninggalkan area berbising
Mendengar dering atau dengung (tinnitus) di telinga segera setelah terpapar

bising
Tiba-tiba sulit mengerti pembicaraan setelah terpaparbising; bisa mendengar

orang berbicara tetapi anda sulit mengerti mereka


Bising yang membosankan seperti vacuum cleaner ;
Riwayat bekerja di industri penuh bising seperti konstruksi bangunan
bising yang disebabkan oleh bunyi-bunyian seperti palu. (7)
Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss) bisa juga

disebabkan oleh suara bising yang sangat besar, seperti suara tembakan senjata atau
ledakan, yang bisa membuat membran timpani rupture atau membahayakan tulang
pendengaran telinga tengah. Jenis NIHL ini bisa segera dan permanen.(8)
Paparan bising yang keras juga bisa menyebabkan tinnitus- dering, dengung,
bergemuruh di telinga atau kepala. Tinnitus mungkin mereda seiring waktu, tetapi
11

terkadang bisa berlanjut terus atau untuk sepanjang hidup seseorang.Gangguan


pendegaran dan tinnitus bisa terjadi pada satu atau kedua telinga. (8) (9)
Terkadang paparan terhadap impuls atau bising keras kontinyu menyebabkan
gangguan pendengaran temporer yang hilang 16 48 jam kemudian.(7)
Beberapa contoh tipe level bising, seperti : (10)

Perpustakaan
Percakapan
Ruang kelas
Traktor
Bor motor
Klub malam

:
:
:
:
:
:

30 dB
60 dB
70 dB
80 dB
90 dB
100 dB

F. Batas Bising Lingkungan yang Ditoleransi


Di bawah ini adalah nilai ambang batas kebisingan menurut Keputusan Menteri
Tenaga Kerja Nomor Kep.51/MEN/1999, adalah sebagai berikut (11) :
Waktu pemaparan
sehari

Waktu Intensitas

kebisingan (NAB)

Jam
Jam
Jam
Jam
Menit

3
85
88
91
94
97
100
103
106
109
112

1
8
4
2
1
30
1.5
7.5
3.75
1.88
0.94

Menit
Menit
Menit
Menit
Menit

Catatan :Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dBA, walaupun sesaat.

Sedangkan, nilai ambang batas kebisingan menurut Occupational Safety and


Healthy Administration, adalah sebagai berikut(12) :
Durasi per hari (jam)

level suara dB(A)

8
6
4
3
2
1
1

90
92
95
97
100
102
105
110
12

or less

115

G. Prosedur Skrining Pemeriksaan Pendengaran


1. Skrining Pemeriksaan Pendengaran
Identitas pekerja
Informed consent
Rencana pemeriksaan
Persiapan sebelum tindakan
2. Persiapan Pemeriksan
Dilakukan pada ruangan yang kedap suara < 40 dB dengan menggunakan

sound level meter


Persiapan alat yang akan digunakan seperti :
- Otoskop
- Garpu Tala
- OAE (bila tersedia)
- Audiometer Skrining (yang sudah kalibrasi)
Persiapan sebelum pemeriksaan pekerja harus bebas bising minimal 16 jam

sebelumnya. (ASHA)
3. Prosedur Pemeriksaan
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan telinga dengan menggunakan otoskop
Bila terdapat kelainan (serumen, OE, OMSK dan lain-lain) pemeriksaan

ditunda dan dilakukan penatalaksanaan yang sesuai


Pemeriksaan garpu tala (512 Hz)
Pemeriksaan OAE minimal menggunakan 4 frekuensi dengan kriteria Pass

Refer (bila alat tersedia)


Pemeriksaan audiometer pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz
Pemeriksaan area bising dengan menggunakan Soud Level Meter (Menghitung

rata-rata kebisingan di tempat kerja)


Interpretasi hasil skrining pendengaran
Algoritma Skrining Pendengaran
Informed consent
Anamnesis

Pemeriksaan fisik, Otoskopi, Garpu Tala, Audiometri (+OAE)

Perlu Tindak Lanjut

Tidak Ada Gangguan

13

Keterangan : Pemeriksaan audiometri tidak dilakukan pada pekerja yang terdapat tandatanda infeksi (OMSK aktif, OE, serumen dan lain-lain)
H. Jenis Pemeriksaan Pendengaran Pada Pekerja
1. Tes Garpu Tala
Tes garpu tala adalah suatu tes untuk mengevaluasi fungsi pendengaran individu
secara kualitatif dengan menggunakan alat berupa seperangkat garpu tala frekuensi
rendah sampai tinggi 128 HZ-2048 Hz. (19), (20)
Satu perangkat garpu tala memberikan skala pendengaran dari frekuensi rendah
hingga tinggi akan memudahkan survei kepekaan pendengaran. Cara menggunakan
garpu tala yaitu garpu tala di pegang pada tangkainya, dan salah satu tangan garpu tala
dipukul pada permukaan yang berpegas seperti punggung tangan atau siku. Perhatikan
jangan memukulkan garpu tala pada ujung meja atau benda keras lainnya karena akan
menghasilkan nada berlebihan, yang adakalanya kedengaran dari jarak yang cukup jauh
dari garpu tala dan bahkan dapat menyebabkan perubahan menetap pada pola getar
garpu tala(19), (20)
Ada 6 jenis tes garpu tala , yaitu: (19), (20)
1

Tes batas atas dan batas bawah

Tes Rinne

Tes Weber

Tes Schwabach

Tes Bing

Tes Stenger

Tes-tes ini memiliki tujuan khusus yang berbeda dan saling melengkapi.

14

a. Tes Batas Atas Batas Bawah

Tujuan :
Menentukan frekuensi garpu tala yang dapat didengar penderita melewati
hantaran udara bila dibunyikan pada intensitas ambang normal. (19), (20)

Cara Pemeriksaan :
Semua garpu tala (dapat dimulai dari frekuensi terendah berurutan sampai
frekuensi tertinggi atau sebaliknya) dibunyikan satu persatu, dengan cara
dipegang tangkainya kemudian kedua ujung kakinya dibunyikan dengan lunak
(dipetik dengan ujung jari kuku, didengarkan terlebih dahulu oleh pemeriksa
sampai bunyi hampir hilang untuk mencapa intensitas bunyi yang terendah bagi
orang normal/nilai ambang normal), kemudian diperdengarkan pada penderita
dengan meletakkan garpu tala di dekat MAE pada jarak 1-2 cm dalam posisi
tegak dan 2 kaki pada garis yang menghubungkan MAE kanan dan kiri. (19), (20)

Gambar 4. Garpu tala dari frekuensi terendah tertinggi (19)

Interpretasi :(19)

Normal : mendengar garpu tala pada semua frekuensi


15

Tuli Konduksi : batas bawah naik (frekunsi rendah tak terdengar)


Tuli sensori neural : batas atas turun (frekuensi tinggi tak terdengar)
Kesalahan terjadi bila garpu tala dibunyikan terlalu keras sehingga tidak dapat
mendeteksi pada frekuensi mana penderita tak mendengar. (19), (20)
b. Tes Rinne

Tujuan :
Membandingkan hantaran udara dan hantaran tulang pada satu telinga penderita.
(19), (20)

Cara Pemeriksaan :
Bunyikan garpu tala frekuensi 512 Hz, letakkan tangkainya tegak lurus pada
planum mastoid penderita (posterior dari MAE) sampai penderita tak mendengar,
kemudian cepat pindahkan ke depan MAE penderita. Apabila penderita masih
mendengar garpu tala di depan MAE disebut Rinne positif, bila tidak mendengar
disebut Rinne negatif. (19), (20)
Bunyikan garpu tala frekuensi 512 Hz, kemudian dipancangkan pada planum
mastoid, kemudian segera dipindahkan di dpan MAE, kemudian penderita
ditanyamana yang terdengar lebih keras. Bila lebih keras di depan disebut rinne
positif, bila lebih keras di belakang disebut rinne negatif. (19), (20)

16

Gambar 5. Skema penjalaran bunyi pada tes Rinne (19)

Interpretasi : (19)

Normal/ Tuli Sensorineural : Rinne positif


Artinya konduksi udara lebih panjang atau lebih keras dibanding dengan
konduksi tulang.

Tuli konduksi : Rinne negatif


Artinya konduksi tulang lebih panjang atau lebih keras dibanding dengan
konduksi udara.

Kadang-kadang terjadi false Rinne (pseudo positif atau pseudo negatif) terjadi bila
stimulus bunyi di tangkap oleh telinga yang tidak di tes, hal ini dapat terjadi bila
telinga yang tidak tes pendengarannya jauh lebih baik daripada yang di tes. (19),(20)
Kesalahan pada pemeriksaan ini dapat terjadi bila : (19),(20)
Garpu tala diletakkan dengan baik pada mastoid atau miring, terkena rambut, jaringan
lemak tebal sehingga penderita tidak mendengar atau getaran terhenti karena kaki garpu
tala tersentuh aurikulum, ataupun pemeriksa tidak meletakkan garpu tala tegak lurus.
17

Penderita terlambat memberi isyarat waktu garpu tala sudah tak terdengar lagi, sehingga
waktu di pindahkan di depan MAE getaran garpu tala sudah berhenti.
c. Tes Weber

Tujuan :
Membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga penderita.
Tes ini sangat bermanfaat pada kasus-kasus gangguan unilateral, namun dapat
meragukan bila terdapat gangguan koduktif maupun sensorineural (campuran),
atau bila hanya menggunakan penala frekuensi tunggal. (19),(20)

Cara Pemeriksaan : (19),(20)

Garpu tala frekuensi 512 Hz dibunyikan, kemudian tangkainya diletakkan tegak lurus di
garis median, biasanya di dahi (dapat pula pada vertex, dagu atau pada gigi insisivus)
dengan kedua kaki pada garis horisontal.
Penderita diminta untuk menunjukkan telinga mana yang tidak mendengar atau
mendengar lebih keras . Bila mendengar pada satu telinga disebut laterisasi ke sisi
telinga tersebut. Bila kedua telinga tak mendengar atau sama-sama mendengar berarti
tak ada laterisasi.

Gambar 6. Tes Weber (19)

18

Gambar 7. Skema penjalaran bunyi pada tes Weber (19)

Interpretasi : (19)

Normal : Tidak ada lateralisasi. Getaran dirasakan sama pada kedua sisi dan demikian
pula suara juga terdengar diantara telinga.
Tuli konduksi : Mendengar lebih keras di telinga yang sakit. Hal ini dikarenakan energi
getaran yang kurang baik di transmisikan dari koklea sampai telinga tengah sehingga
suara sulit menjangkau koklea.
Tuli sensorineural : Mendengar lebih keras pada telinga yang sehat
Karena menilai kedua telinga sekaligus maka kemungkinannya dapat lebih dari
satu. (19),(20)
Contoh : lateralisasi ke kanan, telinga kiri normal, dapat diinterpretasikan : (19),(20)
Tuli konduksi kanan, telinga kiri normal
Tuli konduksi kanan dan kiri, tetapi kanan lebih berat
Tuli sensorineural kiri, telinga kanan normal
Tuli sensorineural kanan dcan kiri, tetapi kiri lebih berat
Tuli konduksi kanan dan sensori neural kiri.

19

d. Tes Schwabach

Tujuan :
Membandingkan hantaran lewat tulang antara penderita dengan pemeriksa (19),(20)

Cara pemeriksaan : (19),(20)

Garpu tala frekuensi 512 Hz dibunyikan kemudian tangkainya diletakkan tegak


lurus pada planum mastoid pemeriksa, bila pemeriksa sudah tidak mendengar,
secepatnya garpu tala dipindahkan ke mastoid penderita.

Bila penderita masih mendengar maka schwabach memanjang, tetapi bila


penderita tidak mendengar, terdapat 2 kemungkinan yaitu Schwabah
memendek atau normal.

Untuk membedakan kedua kemungkinan ini maka tes dibalik, yaitu tes pada
penderita dulu baru ke pemeriksa. Garpu tala 512 dibunyikan kemudian
diletakkan tegak lurus pada mastoid penderita, bila penderita sudah tidak
mendengar maka secepatnya garpu tala dipindahkan pada mastoid pemeriksa,
bila pemeriksa tidak mendengar berarti sam-sama normal, bila pemeriksa
masih masih mendengar berarti schwabach penderita memendek.

Gambar 8. Tes Schwabach (19)

Interpretasi : (19)

20

Normal

Schwabach

normal.

Bila

pasien

dan

pemeriksa

sama-

samamendengarnya.

Tuli konduksi : Schwabach memanjang. Bila pasien masih bisa mendengar


bunyi.

Tuli sensorineural : Schwabach memendek. Bila pemeriksa masi dapat


mendengar.

Kesalahan terjadi bila : (19)

Garpu tala tidak di letakkan dengan benar, kakinya tersentuh sehingga bunyi
menghilang

Isyarat hilangnya bunyi tidak segera diberikan oleh penderita.

e. Tes Bing (Tes Oklusi)


Tes Bing adalah aplikasi dari apa yang disebut sebagai efek oklusi, dimana garpu tala
terdengar lebih keras bila telinga normal ditutup. Bila liang telinga ditutup dan
dibuka bergantian saat penala yang bergetar ditempelkan pada mastoid, maka telinga
normal akan menangkap bunyi yang mengeras dan melemah (bing positif). (19),(20)

Cara pemeriksaan : (19),(20)


-

Tragus telinga yang diperiksa ditekan sampai menutup liang telinga, sehingga
terdapat tuli konduktif kira-kira 30 dB. Garpu tala digetarkan dan diletakkan
pada pertengahan kepala (seperti pada tes Weber).

Interpretasi : (19),(20)
-

Bila terdapat lateralisasi ke telinga yang ditutup, berarti telinga tersebut normal.

Bila bunyi pada telinga yang ditutup tidak bertambah keras, berarti telinga
tersebut menderita tuli konduktif.
21

2. Timpanometri
Timpanometri adalah rekaman terus-menerus impedansi telinga tengah
sebagaimana tekanan udara di kanal telingasecara sistematis meningkat atau menurun.
Awalnya di pengujian, volume saluran telinga diperkirakan. Jika melebihi 2 cm 3,
kemungkinan perforasi dari membran timpani harus dipertimbangkan. Telinga tengah
dengan impedansi rendah (masuk tinggi) lebih mudah menerimaenergi akustik,
sedangkan telinga tengah dengan impedansi tinggi (masukrendah) cenderung untuk
menolak energi akustik. Dalam timpanogram itu, pemenuhan statis (kekakuan yang
resiprokal) dari komponen telinga tengah diplot sebagai fungsi dari tekanan dalam
saluran telinga. (18)
Pada pemeriksaan audiometri impedans diperiksa kelenturan membran timpani
dengan tekanan tertentu pada meatus akustikus eksterna. (16)
Didapatkan istilah: (16)
a. Timpanometri, yaitu untuk mengetahui keadaan dalam kavum timpani. Misalnya
ada cairan, gangguan rangkaian tulang pendengaran (ossicular chain), kekakuan
membrane timpani dan membran timpani yang sangat lentur.
b. Fungsi tuba Eustachius (Eustachian tubefunction), untuk mengetahui tuba
Eustachius terbuka atau tertutup.
c. Refleks stapedius. Pada telinga normal, refleks stapedius muncul pada rangsangan
70-80 dB di atas ambang dengar.
Pada lesi di koklea, ambang rangsang refleks stapedius menurun, sedangkan
pada lesi di retrokoklea, ambang itu naik. (4)

Gambar 9. Timpanometeri. (19)

22

Timpanometer adalah alat yang digunakan dalam pemeriksaan timpanometri.


Pada dasarnya alat pengukur impedans terdiri dari 4 bagian yang semuanya
dihubungkan ke liang telinga tengah oleh sebuah alat kedap suara, sebagai berikut: (16)
a. Oscilator : Alat yang menghasilkan/memproduksi bunyi/nada bolak-balik (biasanya
220 Hz), suara yang dihasilkan tersebut masuk ke earphone dan diteruskan ke liang
telinga.
b. Sebuah mikrofon dan meter pencatat sound pressure level dalam liang telinga.
c. Sebuah pompa udara dan manometer yang dikalibrasi dalam milimeter air (-600
mmH2O s.d +1.200 mmH2O). Suatu mekanisme untuk mengubah dan mengukur
tekanan udara dalam liang telinga
d. Compliancemeter : untuk menilai bunyi yang diteruskan melalui mikrofon.

Gambar 10. Skema Alat yang Digunakan untuk Pemeriksaan Timpanometri.(16)


a. Cara Pemeriksaan
Probe, setelah dipasangi tip yang sesuai, dimasukkan ke dalam liang telinga
sedemikian rupa sehingga tertutup dengan ketat. Mula-mula ke dalam liang telinga
yang tertutup cepat diberikan tekanan 200 mmH2O melalui manometer. Membrana
timpani dan untaian tulang-tulang pendengaran akan mengalami tekanan dan terjadi
kekakuan sedemikian rupa sehingga tak ada energi bunyi yang dapat diserap melalui
jalur ini ke dalam koklea. Dengan kata lain, jumlah energi bunyi yang dipantulkan
kembali ke dalam liang telinga luar akan bertambah. (20)
23

Tekanan kemudian diturunkan sampai titik di mana energi bunyi diserap dalam
jumlah tertinggi; keadaan ini menyatakan membran timpani dan untaian tulang
pendengaran dalam compliance yang maksimal. Pada saat compliance maksimal
ini dicapai, tekanan udara dalam rongga telinga tengah sama dengan tekanan udara
dalam liang telinga luar. Jadi tekanan dalam rongga telinga tengah diukur secara tak
langsung. (20)
Tekanan dalam liang telinga luar kemudian diturunkan lagi sampai -400 mmH 2O.
Dengan demikian akan terjadi lagi kekakuan dari membrana timpani dan untaian
tulang-tulang pendengaran, sehingga tak ada bunyi yang diserap, dan energi bunyi yang
dipantulkan akan meningkat lagi. (20)
Timpanometri merupakan salah satu dari 3 pengukuran imitans yang banyak
digunakan dalam menilai fungsi telinga tengah secara klinis, di samping imitans statik
dan ambang refleks akustik. (16)

a. Cara Kerja Impedans Meter


Cara kerja timpanometri adalah alat pemeriksaan (probe) yang dimasukkan ke
dalam liang telinga memancarkan sebuah nada dengan frekuensi 220 Hz. Alat lainnya
mendeteksi respon dari membran timpani terhadap nada tersebut. (16)
Secara bersamaan, probe yang menutupi liang telinga menghadirkan berbagai
jenis tekanan udara. Pertama positif, kemudian negatif ke dalam liang telinga. Jumlah
energi yang dipancarkan berhubungan langsung dengan compliance.

Compliance

menunjukkan jumlah mobilitas di telinga tengah. Sebagai contoh, lebih banyak energi
yang kembali ke alat pemeriksaan, lebih sedikit energi yang diterima oleh membran
timpani. Hal ini menggambarkan suatu compliance yang rendah. Compliance yang
rendah menunjukkan kekakuan atau obstruksi pada telinga tengah. Data-data yang
didapat membentuk sebuah gambar 2 dimensi pengukuran mobilitas membran timpani.
Pada telinga normal, kurva yang timbul menyerupai gambaran lonceng. (16)
Penghantaran bunyi melalui telinga tengah akan maksimal bila tekanan udara
sama pada kedua sisi membran timpani.

Pada telinga yang normal, penghantaran

maksimum terjadi pada atau mendekati tekanan atmosfir.

Itulah sebabnya ketika

tekanan udara di dalam liang telinga sama dengan tekanan udara di dalam kavum
timpani, imitans dari sistem getaran telinga tengah normal akan berada pada puncak
optimal dan aliran energi yang melalui sistem ini akan maksimal. Tekanan telinga
24

tengah dinilai dengan bermacam-macam tekanan pada liang telinga yang ditutup probe
sampai sound pressure level (SPL) berada pada titik minimum. Hal ini menggambarkan
penghantaran bunyi yang maksimum melalui telinga tengah. Tetapi bila tekanan udara
dalam salah satu liang telinga lebih dari (tekanan positif) atau kurang dari (tekanan
negatif) tekanan dalam kavum timpani, imitans sistem akan berubah dan aliran energi
berkurang. Dalam sistem yang normal, begitu tekanan udara berubah sedikit di bawah
atau di atas dari tekanan udara yang memproduksi imitans maksimum, aliran energi
akan menurun dengan cepat sampai nilai minimum. (16)
Pada tekanan yang bervariasi di atas atau di bawah titik maksimum, SPL nada
pemeriksaan di dalam liang telinga bertambah, menggambarkan sebuah penurunan
dalam penghantaran bunyi yang melalui telinga tengah. (16)

b. Interpretasi
Timpanogram adalah suatu penyajian berbentuk grafik dari kelenturan relative
sistem timpanoosikular sementara tekanan udara liang telinga diubah-ubah. Kelenturan
maksimal diperoleh pada tekanan udara normal, dan berkurang jika tekanan udara
ditingkatkan atau diturunkan. Individu dengan pendengaran normal atau dengan
gangguan sensoneural akan memperlihatkan sistem timpani-osikular yang normal.
(Adams,1997). (16)
Liden (1969) dan Jerger (1970) mengembangkan suatu klasifikasi timpanogram.
Tipe-tipe klasifikasi yang diilustrasikan adalah sebagai berikut(Adams,1997): (16)
1. Tipe A

terdapat pada fungsi telinga tengah yang normal.


mempunyai bentuk khas, dengan puncak imitans berada pada titik 0 daPa dan
penurunan imitans yang tajam dari titik 0 ke arah negatif atau positif. Kelenturan
maksimal terjadi pada atau dekat tekanan udara sekitar, memberi kesan tekanan
udara telinga tengah yang normal.

25

Gambar 11. Timpanogram Normal. (16)


2. Tipe As.

Terdapat pada otosklerosis dan keadaan membran timpani yang berparut.

Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), di mana puncak berada atau


dekat titik 0 daPa, tapi dengan ketinggian puncak yang secara signifikan
berkurang. Huruf s di belakang A berarti stiffness atau shallowness.

Kelenturan maksimal terjadi pada atau dekat tekanan udara sekitar, tapi
kelenturan lebih rendah daripada tipe A. Fiksasi atau kekauan sistem osikular
seringkali dihubungkan dengan tipe As.

Gambar 12.Timpanogram Tipe A. (16)


3. Tipe Ad.
26

Terdapat pada keadaan membran timpani yang flaksid atau diskontinuitas


(kadang-kadang sebagian) dari tulang-tulang pendengaran.

Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), tetapi dengan puncak lebih


tinggi secara signifikan dibandingkan normal. Huruf d di belakang A berarti
deep atau discontinuity.

Kelenturan maksimum yang sangat tinggi terjadi pada tekanan udara sekitar,
dengan peningkatan kelenturan yang amat cepat saat tekanan diturunkan
mencapai tekanan udara sekitar normal. Tipe Ad dikaitkan dengan diskontinuitas
sitem osikular atau suatu membrana timpani mono metrik.

Gambar 13.Timpanogram Tipe Ad. (16)


4. Tipe B

Timpanogram tidak memiliki puncak melainkan pola cenderung mendatar, atau


sedikit membulat yang paling sering dikaitkan dengan cairan di telinga tengah
(kavum timpani), misalnya pada otitis media efusi. ECV dalam batas normal,
terdapat sedikit atau tidak ada mobilitas pada telinga tengah. Bila tidak ada
puncak tetapi ECV > normal, ini menunjukkan adanya perforasi pada membran
timpani.

27

Gambar 14.Timpanogram Tipe B. (16)


5. Tipe C

Terdapat pada keadaan membran timpani yang retraksi dan malfungsi dari tuba
Eustachius.

Tekanan telinga tengah dengan puncaknya di wilayah tekanan negatif di luar


-150 mm H2O indikatif ventilasi telinga tengah miskin karena tabung estachius
disfungsi. Pola timpanometrik, dalam kombinasidengan pola audiogram, ijin
diferensiasi antara dan klasifikasi gangguan telinga tengah.

Gambar 15.Timpanogram Tipe C. (16)


Suatu timpanogram berbentuk huruf W dihubungkan dengan parut atrofik pada
membrana timpani atau dapat pula suatu adhesi telinga tengah, namun biasanya
membutuhkan

nada

dengan

frekuensi

yang

lebih

tinggi

sebelum

dapat

didemonstrasikan. (16),(18)

28

3. Otoacoustic Emision (OAE)


Pemeriksaan OAE dilakukan untuk menilai apakah koklea berfungsi normal.
OAE merupakan respon akustik nada rendah terhadap stimulus bunyi dari luar yang tiba
di sel sel rambut luar (outer hair cells/ OHCs ) koklea. Telah diketahui bahwa koklea
berperan sebagai organ sensor bunyi dari dunia luar. Didalam koklea bunyi akan
dipilah-pilah berdasarkan frekuensi masing, setelah proses ini maka bunyi akan
diteruskan ke sistim saraf pendengaran dan batang otak untuk selanjutnya dikirim ke
otak sehingga bunyi tersebut dapat dipersepsikan. (1),(2)
Kerusakan yang terjadi pada sel-sel rambut luar, misalnya akibat infeksi virus,
obat obat ototoksik, kurangnya aliran darah yang menuju koklea menyebabkan OHCs
tidak dapat memproduksi OAE. OAE adalah suatu teknik pemeriksaan koklea yang
relatif baru, berdasarkan prinsip elektrofisiologik yang obyektif, cepat, mudah,otomatis,
non invasif, dengan sensitivitas mendekati 100%. Kelemahannya dipengaruhi oleh
bising lingkungan, kondisi telinga luar dan tengah, kegagalannya pada 24 jam pertama
kelahiran cukup tinggi, serta harga alat relatif mahal. (1),(2)
Analisa gelombang OAE dilakukan berdasarkan perhitungan statistik yang
menggunakan program komputer. Hasil pemeriksaan disajikan berdasarkan ketentuan
pass refer criteria, maksudnya pass bila terdapat gelombang OAE dan refer bila tidak
ditemukan gelombang OAE. Pemeriksaan OAE dapat dilakukan di ruang biasa yang
cukup tenang sehingga tidak memerlukan ruang kedap suara (sound proof room). Juga
tidak memerlukan obat penenang (sedatif) asalkan bayi/ anak tidak terlalu banyak
bergerak. (1),(2)

Gambar 16. OAE(1)


Prinsip pemeriksaan OAE adalah mengukur emisi yang dikeluarkan oleh telinga
saat suara menstimulasi koklea. Teknik ini sensitif untuk mengetahui kerusakan pada
OHC, dapat pula digunakan untuk memeriksa telinga tengah dan dalam. Kriteria hasil
29

pemeriksaan yaitu pass atau refer. Jika terdapat gelombang OAE maka bayi dapat
melewati tes OAE (pass), berarti bayi tersebut tidak mengalami gangguan pendengaran.
Jika tidak ditemukan gelombang OAE berarti ada gangguan pendengaran (refer), maka
harus dilakukan tes lanjutan(1),(2)
Cara kerja alat ini dengan memberikan stimulus bunyi yang masuk ke liang
telinga melalui insert probe, dengan bagian luarnya dilapisi karet lunak (probe tip) yang
ukurannya dapat dipilih sesuai besarnya liang telinga, menggetarkan gendang telinga,
selanjutnya melalui telinga tengah akan mencapai koklea. Saat stimulus bunyi mencapai
OHC koklea yang sehat, OHC akan memberikan respon dengan memancarkan emisi
akustik yang akan dipantulkan ke arah luar (echo) menuju telinga tengah dan liang
telinga. Emisi akustik yang tiba di liang telinga akan direkam oleh mikrofon mini yang
juga berada dalam insert probe, selanjutnya diproses oleh mesin OAE sehingga hasilnya
dapat ditampilkan pada layar monitor mesin OAE. Kerusakan pada OHC misalnya
akibat virus, obat-obat ototoksik, kuranganya oksigenasi dan perfusi yang menuju
koklea menyebabkan OHC tidak dapat memproduksi gelombang OAE. OAE tidak
muncul pada hilangnya pendengaranlebih dari 30-40 dB. Pemeriksaan OAE dapat
menentukan penilaian klinik telinga perifer/jalur preneural, namun tidak dapat
memeriksa adanya gangguan saraf pendengaran atau respon otak/jalur neural terhadap
suara. OAE dipengaruhi oleh verniks kaseosa, debris, dan kondisi telinga tengah
(cavum tympani). Neonatus usia kurang dari 24 jam liang telinga terisi verniks kaseosa
yang akan keluar dalam 24-48 jam setelah lahir, sehingga hasil refer 5-20% bila
skrining dilakukan 24 jam setelah lahir. Angka refer <3% dicapai bila skrining
dilakukan usia 24-48 jam karena perjalanan stimulus bunyi menuju koklea maupun
emisi akustik yang dipancarkan oleh koklea ke liang telinga harus melewati telinga
tengah; maka sebelum pemeriksaan OAE harus dipastikan bahwa telinga tengah dalam
kondisi normal dengan pemeriksaan timpanometri. Kelainan pada telinga tengah akan
memberikan hasil positif palsuFaktor lain yang mempengaruhi hasil tes OAE yaitu
ukuran probe (harus sesuai dengan ukuran liang telinga), posisi penempatan probe
(tidak ada kebocoran atau celah udara dan posisi probe harus lurus ke arah gendang
telinga) serta kebisingan eksternal maupun internal(1)

30

Gambar 17 Hasil Tes Pemeriksaan OAE(1)


Pemeriksaan OAE sensitif untuk mengetahui adanya kerusakan pada disfungsi
outer haircell pada koklea. Pemeriksaan OAE juga cukup efektif sebagai alat screening
karena selain sensitif juga cukup murah. Minesota Newborn Hearing Screening
Program memakai OAE sebagai standar pemeriksaan awal, apabila didapatkan
abnormalitas baru diperiksa dengan ABR. Otoacoustic Emission atau OAE merupakan
skrining pendengaran secara obyektif, namun tidak dapat memberikan informasi
tentang derajat gangguan pendengaran seorang bayi atau anak. (1),(2)

Jenis Pemeriksaan OAE


Dikenal 2 jenis pemeriksaan OAE, yaitu Spontan dan Evoked OAE. Spontan

OAE dapat timbul tanpa adanya stimulus bunyi, namum tidak semua manusia memiliki
Spontan OAE sehingga manfaat klinisnya tidak diketahui. Evoked OAE adalah OAE
yang terjadi pasca pemberian stimulus, dibedakan menjadi Stimulus Frequency OAE
(SFOAE), Transient Evoked OAE (TEOAE) dan Distortion Product OAE (DPOAE). (13)
c. SFOAE
Merupakan respon yang dibangkitkan oleh nada murni yang panjang dan terus
menerus, jenis ini tidak mempunyai arti klinis, dan jarang digunakan. (13)
d. TEOAE
Untuk memperoleh emisi TEOAE digunakan stimulus bunyi click yang onsetnya
sangat cepat (milidetik) dengan intensitas sekitar 40 desibel. Secara otomatis akan
diperiksa 46 jenis frekuensi. Spektrum frekuensi yang dapat diperiksa TEOAE adalah
500 - 4500 Hz untuk orang dewasa dan 50006000 Hz pada bayi. TEOAE tidak
terdeteksi pada ketulian >40 dB. Bila TEOAE pass berarti tidak ada ketulian kohlea,
31

sebaliknya bila TEOAE reffer berarti ada ketulian kohlea lebih dari 40 dB. Umumnya
hanya digunakan untuk skrining pendengaran bayi/anak. (13)
e. DPOAE
Mempergunakan 2 buah stimulus bunyi nada murni sekaligus, yang berbeda
frekuensi maupun intensitasnya. Spektrum frekuensi yang dapat diperiksa lebih luas
dibandingkan dengan TEOAE, dapat mencapai frekuensi tinggi (10.000 Hz). DPOAE
(+BERA) digunakan untuk mendiagnosis auditori neuropati, monitoring pemakain obat
ototoksik dan pemaparan bising,menentukan prognosis tuli mendadak (sudden
deafness) dan gangguan pendengaran lainnya yang disebabkan oleh kelainan koklea.(13)
4. Tes PTA (Pure Tone Audiometry)
Skrining yang dapat dilakukan untuk mendetesi gangguan pendengaran pada
pekerjaadalah dengan audiometri. Tes ini dilakukan dengan nada murni (Pure Tone
Audiometry)

denganfrekuensi

yang

berbedadandilakukanuntuktelinga

kiridan

kanansecara terpisah. Hasilnya diplotke sebuah audiogram.(13)

Gambar 18. Grafik Audiogram(13)


Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal (N) atau tuli.Jenis
ketulian, tuli konduktif, tulis sensorineural (perpektif) atau campur. Derajat ketulian
menggunakan indeks Fletcher yaitu : (5)
Ambang dengar (AD) =

AD 500 Hz+ AD 1000 Hz+ AD 2000 Hz


3

Menurut kepustakaan terbaru frekuensi 4000 Hz berperan penting untuk


pendengaran, sehingga perlu turut diperhitungkan, sehingga derajat ketulian dihitung
32

dengan menambahkan ambang dengar 4000 Hz dengan ketiga ambang dengar di atas,
kemudian dibagi 4. (5)

Ambang dengar (AD) =

AD 500 Hz+ AD 1000 Hz+ AD 2000 Hz+ AD 4000 Hz


4

Dapat dihitung ambang dengar hantaran udara (AC) atau hantaran tulang (BC).
Pada interpretasi audiogram (a) telinga yang mana, (b) apa jenis ketuliannya, (c)
bagaimana derajat ketuliannya, misalnya : telinga kiri tuli campur sedang. (5)
Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar dengan
hantaran udaranya (AC) saja. (5)
Derajat ketulian IS0 : (5)
0 25 dB

: normal

> 25 40 dB

: tuli ringan

> 40 55 dB

: tuli sedang

> 55 70 dB

: tuli sedang berat

> 70 90 dB

: tuli berat

> 90 dB

: tuli sangat berat

33

Gambar 19. Interpretasi Grafik Audiogram(5)


1. pendengaran normal : (7)
- AC dan BC sama atau kurang dari 25 dB
- AC dan BC berimpit, tidak ada gap
2. tuli sensorineural : (7)
- AC dan BC lebih dari 25 dB
- AC dan BC berimpit, tidak ada gap (tidak boleh > 10)
3. tuli konduktif : (7)
- BC normal atau kurang dari 25 dB
- AC lebih dari 25 dB
- Antara AC dan BC terdapat gap
4. tuli campur : (5)
- BC lebih dari 25 dB
- AC lebih besar dari BC, terdapat gap
I.

Penatalaksanaan
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan ke
lingkungan kerja yang lebih aman. Bila sudah terdapat gangguan pendengaran yang
menetap maka dilakukan rehabilitasi(7)

Pada skrining bila tidak ditemukan gangguan pendengaran, maka perlu dilakukan:
Penyuluhan tentang lokasi bising
Penyuluhan tentang pengaruh bising pada pendengaran
Pentingnya penggunaan alat pelindung telinga
Dilakukan pemeriksaan skrining pendengaran minimal satu kali dalam satu tahun
Bila ditemukan gangguan pendengaran, maka dilakukan:
Penyuluhan tentang lokasi bising
Penyuluhan tentang pengaruh bising pada pendengaran
Pentingnya penggunaan alat pelindung telinga
Rehabilitasi dengan menggunakan alat bantu dengar dan terapi wicara (bila
diperlukan)
Pemeriksaan skrining pendengaran minimal satu kali dalam satu tahun
34

J. Pencegahan pada Gangguan Pendengaran Akibat Bising


Di Indonesia telah dibuat aturan tentang penetapan NAB ini yang dikeluarkan
oleh Menteri Tenaga Kerja nomor KEP-51/MEN/1999. Perlindungan pekerja
seharusnya lebih terjamin dengan adanya peraturan ini. Adanya sanksi terhadap
perusahaan yang kurang memperhatikan keselamatan pekerja termasuk pendengaran
merupakan hal yang harus dipertimbangkan. (21)
Sedangkan bagi pekerja baik yang belum atau sudah terpajan bising diberikan
perlindungan menurut tata cara medis berupa: (21)
1). Pengendalian analisa bising (control of noise exposure):
a. Program analisa bising/noise analysis
- Mengukur intensitas bising dan frekuensinya.
Tujuannya untuk mendapat catatan tentang keadaan maksimum, rata-rata,
minimum, fluktuasi jenis intermitensi dan ketetapan (steadiness) bising. Untuk
pengukuran bising dipakai alat Sound Level Meter (SLM). Ada yang dilengkapi
dengan Octave Band Analyser/OBA. Alat SLM dan OBA tersebut tidak dapat
dipergunakan untuk pengukuran-pengukuran impulse noise.
- Mencatat jangka waktu terkena bising (noise exposure time).
Makin tinggi intensitas bising, jangka waktu terkena yang diizinkan menjadi
semakin pendek. Seperti untuk sound level 115 dB, waktu terkena yang
diizinkan hanya 15 menit sehari. Bahkan untuk sound level 140 dB, tidak boleh
terpajan walaupun sesaat.
b. Pengurangan jumlah bising di sumber bising.
Di sini termasuk pengurangan bising di tahap perencanaan mesin dan bangunan,
di mana mesin di tempatkan (engineering control program).
c. Pengurangan jumlah bising yang dirambatkan melalui udara.
Pemasangan peredam, penyekat mesin dan bahan-bahan penyerap suara.
d. Alat-alat pelindung telinga (ear protector) untuk para karyawan:
- Yang paling sederhana adalah dengan menggunakan kapas. Kapas ini dapat
mengurangi 10-15 dB pada frekuensi 1.000-1.800 Hz.
- Ear plug/mold. Suatu alat yang dimasukkan ke dalam telinga, dapat dibuat dari
karet. Mold dapat mengurangi sebesar 30-40 dB, dicetak sesuai kontur telinga.
35

- Ear muff/valve, dapat menutup sendiri bila ada suara yang keras, dan membuka
sendiri bila suara kurang kerasnya.
- Helmet, suatu penutup kepala yang melindungi kepala sekaligus sebagai
pelindung telinga.
e. Edukasi tentang bahaya bising.
Program ini harus dapat mencapai hasil agar masyarakat mengerti serta rela
mengusahakan perlindungan terhadap bising. Pemasangan poster dan tanda pada
daerah bising adalah salah satu usaha yang dapat dilakukan.
f. Penyelidikan dan penelitian terhadap bising.
Agar ditemukan teknik perlindungan baru yang lebih menjamin keamanan para
pekerja dan masyarakat dari gangguan bising.
2). Pengukuran pemeriksaan pendengaran para pekerja dengan audiometri nada murni,
yang terdiri atas:
a.Pengukuran pendengaran sebelum karyawan diterima bekerja di lingkungan bising
(pre employment hearing test). Termasuk masyarakat yang berada di lingkungan
bising diperiksa pendengarannya.
b.Pengukuran pendengaran secara berkala dan teratur, misalnya 6 bulan sekali.
Agar didapatkan gambaran-gambaran dasar dari kemampuan pendengaran pekerja
dan masyarakat di lingkungan bising.
Dalam pemeriksaan audiometri perlu diperhatikan faktor-faktor:
Usia.
Lama kerja atau tinggal di lingkungan bising.
Lama kerja atau tinggal di lingkungan bising sebelumnya.
Kebiasaan sehari-hari, merokok, memakan obat menahun yang bersifat
ototoksik, minuman beralkohol.
3). Merubah tata cara kerja jika diperlukan dan dapat dilaksanakan seperti merubah
daftar-daftar kerja dan waktu bekerja pekerja digilir.
4). Rehabilitasi, tentu saja disesuaikan dengan kemampuan keuangan perusahaan. Tapi
penekanan bahwa mencegah ketulian adalah lebih tepat dan lebih mudah serta lebih
baik daripada mengobati suatu ketulian akibat bising yang sudah permanen.

36

BAB III
KESIMPULAN
Gangguan pendengaran pada pekerja dapat disebabkan karena bising ditempat
kerja, oleh karena itu perlu dilakukan uji skrining. Skrining pendengaran merupakan
prosedur tes pendengaran secara missal, cepat, praktis, cost effective pada populasi
tertentu, berdasarkan hasil skrining dapat dibedakan kelompok tanpa gangguan
pendengaran dengan kelompok memerlukan tindak lanjut
Gangguan pendengaran pada pekerja dapat diperiksa dengan berbagai tes, salah
satunya auditometri. Tes ini dilakukan dengan nada murni dengan frekuensi yang
berbeda dan dilakukan untuk telinga kiri dan kanan secara terpisah. Hasilnya diplotke
sebuah audiogram. Audiometri ini dapat digunakan untuk menentukan jenis dan derajat
ketulian pada pekerja. Gangguan pendengaran ini adalah salah satu tipe gangguan
pendengaran yang benar-benar bisa dicegah.

37

38

DAFTAR PUSTAKA
1. Indra Wisnu, Dody. Program Konservasi Pendengaran. [diakses tanggal 2
Oktober2015].
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/618/609
2. Marisol CB, Diarmid CL, Kyle S. Occupational noise. World Health
Organization. 2004. Geneva.
3. Hersh MA, Johnson MA. Anatomy and Physiology of Hearing, Hearing
Impairment and Treatment.
4. 29.Alberti PW. The Anatomy and Physiology of the Ear and Hearing. [diakses
tanggal 2 Oktober 2015]. Available from:
http://www.who.int/occupational_health/publications/noise2.pdf
5. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Gangguan Pendengaran Akibat
Bising (Noice Induced Hearing Loss). In: buku ajar ilmu kesehatan
telinga,hidung,tenggorok,kepala, dan leher FKUI ed. Ketujuh. Balai penerbit
FKUI : Jakarta.2012.
6. Guyton AC, Hall JE.Indera pendengaran.In : buku ajar fisiologi kedokteran
ed.11. EGC :Jakarta.2006
7. Fligor, Brian J.Your Guide To Prevention of Hearing Loss From Noise. Better
Hearing Institute.Washington : 2011. http://www.betterhearing.org
8. National Institute on Deafness and Other Communications Disorders. Noise
Induced Hearing Loss. Bethesda : 2014. http://www.nidcd.nih.gov
9. Azizi MH. Occupational Noise-induced Hearing Loss. International Journal of
Occupational and Environmental Medicine. Iran : 2010.
http://http://www.theijoem.com
10. Guide to the Safety, Health and Welfare at Work (General Application)
Regulations 2007. Chapter 1 of Part 5: Control of Noise at Work. Health and
Safety Authority. Ireland : 2007.
http://www.hsa.ie
11. Keputusan Menteri Tenaga Kerja NOMOR : KEP51/MEN/I999 tentang Nilai
Ambang Batas Faktor Fisika Di Tempat Kerja. Menteri Tenaga Kerja Republik
Indonesia. Jakarta : 1999.
12. Occupational Safety and Healthy Administration. Permissible Noise Exposures.
Washington : 2000. United States Department of Labor.
13. Claus Elberling, Kirsten Worsoe. Fading Sounds. Denmark:2005. p.19-47.
14. Hidayat, B. Hubungan Antara Gambaran Timpanometri dengan Letak dan
Stadium Tumor pada Penderita Karsinoma Nasofaring di Departemen THT-KL
RSUP H. Adam Malik Medan [online] 2009 [cited 2010 November 4 th].
Available from URL:
39

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6424/1/09E01722.pdf
15. Cummings CW, Flint PW, Harker LA, et al. Cummings Otolaryngology Head
& Neck Surgery Fourth Edition.
16. Snow JB. Diagnostic Audiology, Hearing Aids, and Habilitation Options. In:
Ballengers Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. BC
Decker. Hamilton. London. 2002. p. 3-4
17. Grason-Stadler.GSI TympStar Version 2 Middle-Ear Analyzer [online] 2010
[cited 2010 November 4th]. Available from URL:
http://www.msrwest.com/gsi/tstar.pdf
18. Khoriyatul. Timpanometri [online] 2010 [cited on November 9 th 2010].
Available from URL: http://khoriyatulj.multiply.com/journal
19. Sedjawidada R., Manukbua A.,Mangape D. Audiometri Impedans. Himpunan
Naskah Lokakarya Audiologi, Ujungpandang. Bagian THT FK-UH.1978.
20. Sedjawidada R. Uraian Singkat Audiologi. Bagian Ilmu Penyakit Telinga,
Hidung, dan Tenggorokan. Fakultas Kedokteran Unhas. Makassar. Hal 1-4,1316.
21. Munilson J, Yan Edward, Al Hafiz. Gangguan Pendengaran Akibat Bising:
Tinjauan Beberapa Kasus. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Hal 8-9.

40

41

42

Anda mungkin juga menyukai