Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

OTITIS MEDIA SUPURATIF AKUT STADIUM SUPURATIF AURIS


SINISTRA PADA PASIEN WANITA DI POLIKLINIK THT-KL
RSUD DOK II JAYAPURA
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mengikuti ujian akhir stase
Pada Bagian Ilmu Kesehatan THT Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura

Oleh :

Nanda Trivaldy (2019086016517)

Marsha P.M Mansa (2019086016413)

M. Wawan K. Saifullah (2019086016409)

Yussi Pratiwi T. Bandaso (201908601635)

Pembimbing :

dr. Rosmini, Sp.THT-KL

dr. Agustina, Sp.THT-KL

SMF ILMU KESEHATAN THT


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks (pendengaran
dan keseimbangan). Indera pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara
tergantung pada kemapuan mendengar.
Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Secara mudah, otitis media terbagi atas otitis
media supuratif (otitis media supuratif akut dan otitis media supuratif kronis) dan otitis media
non supuratif (otitis media serosa, otitis media sekretoria, otits media musinosa, dan otitis
media efusi/OME). Otitis media supuratif akut (OMSA) terjadi dalam waktu kurang dari 3
minggu.
Otitis media akut merupakan radang infeksi atau inflamasi pada telinga tengah oleh
bakteri atau virus dengan gejala klinik nyeri telinga, demam, bahkan hingga hilangnya
pendengaran, tinnitus dan vertigo.
Pada tahun 2010 WHO mendapatkan data sekitar 1045 orang setiap bulan datang ke
dokter THT untuk memeriksa peradangan pada telinga tengahnya, sedangkan di Indonesia
tercatat 65 orang perbulan datang untuk melakukan pemeriksaan dengan keluhan pada telinga
tengahnya.
Penyebab utama OMA adalah invasi bakteri piogenik ke dalam telinga tengah yang
normalnya adalah steril. Bakteri tersering penyebab OMA diantaranya Streptokokus
hemolitikus, Stafilokokus aureus, Pnemokokus. Selain itu kadang-kadang ditemukan juga
Haemofilus influenza, Escherichia coli, Streptokokus anhemolitikus, Proteus vulgaris dan
Pseudomonas aurogenosa. Haemofilus influenza sering ditemukan pada anak berusia
dibawah 5 tahun. Infeksi saluran napas atas yang berulang dan disfungsi tuba eustachii juga
menjadi penyebab terjadinya OMA pada anak dan dewasa.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Anatomi Telinga

Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah dan dalam. Telinga tengah berbentuk
kubus dengan perbatasan :

 Luar : membran timpani


 Depan : tuba eustachius
 Bawah : vena jugularis
 Belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
 Atas : tegmen timpani (meningen/ otak)
 Dalam : (dari atas ke bawah) kanalis semisirkularis horizontal, kanalis
fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan
promontorium.

Gambar 2.1. (A) Telinga dan pembagiannya, (B) Permukaan lateral Pinna, (C)
Kartilago aurikular(Dhingra, 2014)

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars
flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propia).
Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang
telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa
saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang
terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian
luar dan sirkuler di bagian dalam. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut
atik. Di tempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan
telinga tengah dengan antrum mastoid.

Gambar 2.2. Serat radier, sirkular, dan parabolik dari pars tensa(Dhingra, 2014)

Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut


sebagai umbo.Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke arah bawah
yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran timpani
kanan.Refleks cahaya ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran
timpani.Di membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkular dan radier.Serabut
inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang berupa kerucut itu.Secara
klinis refleks cahaya ini dinilai, misalnya bila letak refleks cahaya mendatar, berarti
terdapat gangguan pada tuba eustachius.

Gambar 2.3. Penampakan membran timpani kanan(Probst, 2006)


Membran timpani dibagi ke dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah
dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo,
sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah-
belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani.

Bila melakukan miringotomi atau parasentesis, dibuat insisi di bagian bawah


belakang membran timpani.Di daerah ini tidak terdapat tulang pendengaran.Di dalam
telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam,
yaitu maleus, inkus, stapes.

Gambar 2.4. Pembagian telinga tengah menjadi epi-, meso-, dan


hipotimpanum(Dhingra, 2014)

Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan.Prosesus


longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus
melekat pada stapes.Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan
koklea. Hubungan antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.

Gambar 2.5. Tulang pendengaran dan bagian-bagiannya(Dhingra, 2014)


2.2 Fisiologi pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui
rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya
ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan
tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes
yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli
bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong
endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan
membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan
terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis
yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke
nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.

2.3 Definisi

Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Banyak ahli membuat
pembagian dan klasifikasi otitis media. Otitis media akut merupakan inflamasi pada
telinga tengah dalam waktu 3 minggu pertama.

Otitis Media

Otitis Media Otitis Media Otitis Media


Akut (OMA) Sub Akut Kronik (OMK)

Risiko rendah, Tipe aman,


Risiko tinggi Tipe bahaya

Gambar 2.6. Skema Pembagian Otitis Media


Hal ini disebabkan oleh karena faktor pertahanan tubuh (silia mukosa tuba
Eustachius, enzim dan antibodi) terganggu yang mengakibatkan terganggunya proses
pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah sehingga kuman masuk ke dalam
telinga tengah dan terjadi peradangan.

OMA lebih sering terjadi pada anak-anak yang dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti posisi tuba Eustachius yang pendek, lebar dan letaknya agak
horizontal. Dan OMA juga lebih sering terjadi pada anak-anak yang sering terserang
ISPA.

2.4 Epidemiologi

OMA merupakan salah satu penyakit paling sering pada usia anak-anak. Satu
dari tiga kunjungan ke dokter akibat penyakit didiagnosis sebagai otitis media dan
hampir 75% kunjungan follow-up untuk otitis media. Sekitar 19% sampai 62% anak-
anak mengalami setidaknya 1 kali kejadian otitis media dalam 1 tahun usianya dan
sebanyak 85% mengalami 1 kali dalam 3 tahun usianya. Insiden paling tinggi pada
setengah tahun kedua dari usia pertama kelahirannya. Hingga usia 2 tahun, 70% dari
seluruh anak telah mengalami setidaknya 1 episode Otitis Media akut, dan sekitar 5 –
15% dari anak – anak tersebut mengalami 4 atau lebih episode setiap tahunnya.

Pada tahun 2010 WHO mendapatkan data sekitar 1045 orang setiap bulan
datang ke dokter THT untuk memeriksa peradangan pada telinga tengahnya,
sedangkan di Indonesia tercatat 65 orang perbulan datang untuk melakukan
pemeriksaan dengan keluhan pada telinga tengahnya.

2.5 Etiologi

Kuman penyebab utama dari OMA ialah bakteri piogenik seperti Streptokokus
hemolitikus, Stafilokokus aureus, Pneumokokus selain itu juga kadang-kadang
ditemukan Hemofilus influenza, Eschericia colli, Streptokokus anhemolitikus,
Proteus vulgaris dan Pseudomonas aurugenosa. Pada anak yang berusia di bawah 5
tahun Hemofillus influenza lebih sering ditemukan.

2.6 Faktor Resiko

Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor
genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu
formula, lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis
kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas,
disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain.
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA
pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak
matang atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status
imunologi anak juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-
laki lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Native
American, Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi
dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosioekonomi
juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang
terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga
mendorong terjadinya OMA pada anak-anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan
tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan ASI banyak menderita
OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih
signifikan dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang
sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA
juga meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah
terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita
penyakit telinga tengah. Infeksi saluran napas atas yang berulang (baik bakteri atau
virus) dan disfungsi tuba eustachii menjadi penyebab terjadinya OMA pada anak dan
dewasa.

2.7 Patofisiologi

Patofisiologi dari OMA dimulai dari adanya iritasi dan inflamasi dari mukosa
telinga tengah yang disebabkan oleh multifaktorial, diantaranya infeksi yang dapat
disebabkan oleh virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh
turun, lingkungan dan sosial ekonomi. Kemungkinan penyebab terpenting mudahnya
anak mendapat infeksi telinga tengah adalah struktur tuba pada anak yang berbeda
dengan dewasa dan kekebalan tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga bila
terjadi infeksi jalan napas atas, maka lebih mudah terjadi infeksi telinga tengah
berupa Otitis Media Akut (OMA).
Terjadi akibat terganggunya faktor pertahanan tubuh yang bertugas menjaga
kesterilan telinga tengah. Faktor penyebab utama adalah sumbatan tuba eustachius
sehingga pencegahan invasi kuman terganggu. Pencetusanya adalah infeksi saluran
nafas atas. Infeksi saluran nafas bagian atas menyebabkan penyumbatan pada tuba
eustachius sehingga terjadi gangguan ventilasi tuba yang menyebabkan terjadinya
tekanan negative pada telinga tengah akibat absorpsi udara oleh mukosa telinga
tengah, yang menyebabkan retraksi dari membran timpani lalu terjadi pula respon
inflamasi yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah di membrane timpani,
protein plasma keluar dan terkumpulnya cairan yang menyebabkan efusi serta
edema dan selanjutnya bila fungsi tuba tetap terganggu dan adanya infiltrasi kuman
pathogen dari nasofaring dan rongga hidung akan menimbulkan supurasi. Akumulasi
cairan yang terus menerus menyebabkan membrane timpani menonjol lama
kelamaan membrane timpani bisa perforasi.

2.8 Manifestasi Klinik dan Stadium

Gejala klinik otitis media akut tergantung pada stadium penyakit dan umur
pasien. Keluhan yang biasanya timbul adalah otalgia, otorea, pendengaran
berkurang, rasa penuh di telinga, demam. Pada anak-anak biasanya timbul keluhan
demam, anak gelisah dan sulit tidur, diare, kejang, kadang-kadang anak memegang
telinga yang sakit. Stadium otitis media akut berdasarkan perubahan mukosa telinga
tengah terdiri dari:

1) Stadium Oklusi Tuba Eustachius

Tanda adanya oklusi tuba eustachius ialah adanya gambaran retraksi


membran timpani akibat tekanan negatif didalam telinga tengah, karena
adanya absorpsi udara. Posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks
cahaya juga berkurang, edema yang terjadi pada tuba eustachius juga
menyebabkannya tersumbat. Kadang-kadang membrane timpani tampak
normal atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tetapi tidak
dapat dideteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa
yang disebabkan oleh virus atau alergi.

Membrane Timpani Retraksi


2. Stadium Hiperemis (presupurasi)

Pada stadium ini tampak seluruh membrane timpani hiperemis serta


edem. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang
serosa sehingga sukar terlihat1. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang
berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik.
Proses inflamasi terjadi di telinga tengah dan membran timpani menjadi
kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan
pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran
mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari
cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara
yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas
jam sampai dengan satu hari.

Membran Timpani Hiperemis

A. Stadium Supuratif

Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel
superficial, serta terbentuknya sekret eksudat yang purulen di cavum
timpani menyebabkan membrane timpani menonjol (bulging) ke arah liang
telinga luar.

Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat,
serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Apabila tekanan nanah di cavum
timpani tidak berkurang maka terjadi iskemia akibat tekanan pada kapiler-
kapiler, kemudian timbul tromboflebitis pada vena-vena kecil serta nekrosis
pada mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membrane timpani terlihat
sebagai daerah yang lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot. Di
tempat ini akan terjadi rupture.
Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

B. Stadium perforasi

Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika atau


virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran timpani
dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. sekret
yang keluar terlihat seperti berdenyut. Anak-anak yang tadinya gelisah
sekarang menjadi tenang, suhu badan turun dan anak-anak dapat tidur
nyenyak.

Membra Timpani Perforasi

C. Stadium resolusi

Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani


perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi maka
secret akan berkurang dan akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik
maka atau virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi meskipun
tanpa pengobatan. Otitis media akut dapat menimbulkan gejala sisa
(sequele) berupa otitis media serosa bila secret menetap di cavum timpani
tanpa terjadinya perforasi. Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka
akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium
ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar
secara terus-menerus atau hilang timbul.

Resolusi, sekret (-)

2.9 Diagnosis
Kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut, yaitu:
A. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
B. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di
telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda
berikut, seperti menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas
atau tidak ada gerakan pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di
belakang membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.
C. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan
dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau
erythema pada membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang
mengganggu tidur dan aktivitas normal.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang cermat. Gejala yang timbul dapat bervariasi tergantung pada stadium dan
usia pasien. Pada umunya anak-anak dengan OMA mengeluhkan rasa nyeri pada
telinga dan disertai adanya demam. Biasanya terdapat riwayat infeksi saluran napas
atas sebelumnya. Keluhan yang dirasakan oleh orang dewasa dapat berupa nyeri
telinga, gangguan pendengaran dan terasa penuh pada telinga. Gejala sulit tidur,
diare, demam tinggi, gelisah, dan sering memegang telinga adalah gejala khas yang
dapat ditemukan pada bayi dengan OMA.
Otitis media akut dapat ditegakkan dengan pemeriksaan fisik. Beberapa teknik
pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan otoskop, otoskop
pneumatik, timpanometri, dan timpanosintesis. Dengan menggunakan otoskop dapat
dilihat adanya perubahan warna pada membran timpani, penonjolan (bulging)
membran timpani dan sekret yang berada di liang telinga. Apabila diperlukan
konfirmasi dari hasil pemeriksaan otoskop, maka dilakukan pemeriksaan dengan
otoskop pneumatik. Otoskop pneumatik dapat digunakan untuk menilai gerakan
membran timpani. Selain dengan menggunakan otoskop pneumatik, timpanometri
juga dapat digunakan untuk menilai secara objektif pergerakan membran timpani.

2.10 Diagnosis Banding

A. Otitis eksterna sirkumskripta


Terjadi karena adanya infeksi pada pilosebaseus sehingga menyebebakan
terjadinya furunkel. Gejalanya ialah rasa nyeri yang hebat yang tidak sesuai
dengan besar bisul (kuli liang telinga tidak mengandung jaringan longgar
dibawahnya, sehingga rasa nyeri timbul karena adanya penekanan
perikondrium). Dapat juga terjadi gangguan pendengaran bila furunkel besar
dan menyumbat liang telinga.
B. Otitis media supuratif akut stadium oklusi tuba
Gejalanya ialah gambaran retraksi membrane timpani akibat terjadinya
tekanan negative di dalam telinga tengah, akibat absorbs udara. Kadang-
kadang membrane timpani tampak normal (tidak ada kelainan) atau
berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tapi tidak dapat dideteksi.
Dapat juga menyebabkan otalgia, telinga terasa penuh dan penurunan
pendengaran
C. Otitis media efusi
OMA dapat dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai
OMA. Efusi telinga tengah (middle ear effusion) merupakan tanda yang ada
pada OMA dan otitis media dengan efusi. Efusi telinga tengah dapat
menimbulkan gangguan pendengaran dengan 0-50 decibels hearing loss.

Perbedaan Antara Gejala dan Tanda Antara OMA dan Otitis Media Dengan Efusi
2.11 Penatalaksanaan

Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Tujuan


pengobatan yaitu menghilangkan tanda dan gejala penyakit, eradikasi
infeksi, pencegahan komplikasi.

A. Stadium oklusi

Tujuan utama pengobatan untuk membuka kembali tuba Eustachius


sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Untuk ini diberikan obat
tetes hidung. HCl efedrin 0.5% dalam larutan fisiologis (anak < 12 tahun)
atau HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik (anak > 12 tahun dan orang
dewasa)

B. Stadium hiperemis

Pada stadium ini diberikan antibiotik, obat tetes hidung, dan analgetika.
Bila membran timpani sudah terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan
miringotomi. Antibiotik yang dianjurkan ialah dari golongan penisilin dan
ampisilin. Pemberian antibiotic dianjurkan minimal selama 7 hari. Bila
pasien alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin. Pada anak-
anak, ampisilin diberikan 50 – 100 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 4 dosis,
atau amoksisilin 40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, atau eritromisin 40
mg/kgBB/hari.
C. Stadium supurasi
Selain pemberian antibiotic, decongestan, dan analgetik, idealnya harus
disertai dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan
miringiotomi gejala-gejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat
dihindari.

D. Stadium perforasi

Pada stadium ini sering terlihat banyak sekret yang keluar dan kadang
terlihat secret keluar secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan
adalah obat cuci telinga H2O2 3% selama 3 – 5 hari serta antibiotik yang
adekuat. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali
dalam waktu 7 -10 hari.

E. Stadium resolusi

Pada stadium ini membran timpani akan berangsur normal kembali,


secret tidak ada lagi dan perforasi membrane timpani menutup. Namun bila
tidak terjadi resolusi biasanya secret akan tampak mengalir di liang telinga
luar melalui perforasi di membrane timpani. Keadaan ini disebabkan karena
berlanjutnya edema mukosa telinga tengah.

Pada keadaan demikian antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu.


Bila 3 minggu setelah pengobatan sekret masih tetap banyak kemungkinan
telah terjadi mastoiditis.

Bila OMA berlanjut dengan keluarnya secret dari telinga tengah lebih
dari 3 minggu maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Bila
perforasi menetap dan sekret tetap keluar lebih dari 1 setengah bulan maka
keadaan ini disebut otitis media supuratif kronis (OMSK).

2.12 Prognosa dan Komplikasi

Prognosis otitis media akut adalah dubia ad bonam, biasanya gejala


membaik dalam 24 jam dan dapat sembuh dalam 3 hari dengan pengobatan
yang adekuat. Peradangan telinga tengah (OMA) yang tidak diberikan terapi
secara benar dan adekuat dapat menyebar ke jaringan sekitar telinga tengah
termasuk ke otak, namun hal ini sudah jarang terjadi setelah adanya pemberian
antibiotik. Komplikasi yang ditimbulkan adalah abses sub-periosteal,
mastoiditis dan komplikasi yang berat yaitu meningitis dan abses otak.
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas

Nama : Nn. A.P.S

Umur : 20 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Mahasiswa

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Entrop

Tanggal pemeriksaan : 25 Mei 2021

No.RM : 18 23 64

B. Anamnesis

1. Keluhan Utama :

Nyeri pada telinga kiri

2. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke poli THT RSUD Dok II Jayapura dengan keluhan nyeri
telinga kiri berdenyut sejak ±1minggu sebeleum masuk rumah sakit. Nyeri
dirasakan seperti di tusuk tusuk. Nyeri dirasakan terus menerus. Pasien juga
mengeluhkan telinga terasa penuh serta penurunan fungsi pendengaran sejak ±
3 hari bersamaan dengan awal nyeri telinga, Cairan yang keluar dari telinga (-).
Flu (+) ± 1 minggu. Demam (+) sejak ± 1 hari lalu sebelum pasien dating ke
RS, sakit kepala (-), pusing (-) gatal (-), batuk (-), Sebelumnya pasien belum
pernah mengalami nyeri serupa.

3. Riwayat penyakit dahulu


 Pasien mengatakan tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnya.
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat trauma : disangkal
 Riwayat mengorek telinga : disangkal
4. Riwayat penyakit keluarga

Pasien menyangkal adanya anggota keluarga yang pernah mengalami gejala


yang sama.

5. Riwayat sosial ekonomi

Pasien merupakan seorang mahasiswa dan tinggal Bersama kedua orang tua.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 128/83 mmHg
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 37,3 0C
Nadi : 136 x/menit
a. Satus Generalis

1. Kepala : DBN.
2. Mata :DBN
3. Pemeriksaan Leher DBN
4. Pemeriksaan Thorax
 Jantung : DBN
 Paru : DBN
5. Pemeriksaan Abdomen : DBN
6. Pemeriksaan Ekstremitas : DBN

b. Pemeriksaan THT
Organ Dextra Sinistra
A. Telinga
Preaurikular
1. Kel - -
ainan congenital - -
2. Ra - -
dang dan tumor
3. Tra
uma

Auricula
4. Kel - -
ainan congenital - -
5. Ra - -
dang dan tumor
6. Tra
uma
Retroaurikular
7. Ede - -
m - -
8. Hip - -
eremis - -
9. Nye - -
ri tekan - -
10. Sik
atriks
11. Fist
el
12. Nye
ri tekan tragus
Kanalis Akustikus
Eksterna
13. Kelainan congenital - -
14. Kulit Tenang Tenang
15. Secret - -
16. Serumen - -
17. Edem - -
18. Jaringan granulasi - -
19. Mas - -
sa - -
20. Cholesteatoma
Membran timpani
21. Warna Keabu-abuan, hiperemis
mengkilat
22. Refl + +
ek cahaya - +
23. Ede - +
m - -
24. Hip - +
eremis - -
25. Retr - -
aksi - +
26. Bul
ging
27. Perf
orasi
28. Bul
a
29. Sekret
Gambar Otoendoskopi Telinga Kiri Pasien

Hidung (Tidak dilakukan)


Tenggorok (Tidak dilakukan)
Kelenjar getah bening leher
 Kelenjar getah bening : tidak teraba pembesaran KGB
 Massa : tidak ada

D. Diagnosis kerja
Otitis media supuratif akut stadium supuratif auris sinistra

E. Diagnosis banding
Otitis eksterna sirkumkripta
Otitis media supuratif akut stadium oklusi tuba
Otitis media efusi

F. Terapi
Ciprofoxasin tab 2 x 500 mg
Cetirizine tab 2 x 10 mg
Natrium diklofenak tab 2 x 50 mg
Metil prednisolone tab 3 x 4 mg

G. Follow Up
Tanggal 31/ 05 / 2021 (kontrol, Kembali di poli THT)
1) Anamnesa
Pasien masih mengeluhkan telinga berdenging (+), rasa berdenyut (+),
penurunan pendengaran (+), nyeri kepala (+), pusing (-)
2) Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum : Tampak sakit ringan
 Kesadaran : Compos mentis
 Tanda-tanda vital
 Tekanan darah : 128/83 mmHg
 Pernafasan : 20 x/menit
 Suhu : 36,3 0C
 Nadi : 100 x/menit
3) Status Generalis (DBN)
 Kepala : DBN
 Mata : DBN
 Pemeriksaan Leher : DBN
 Pemeriksaan Thorax
- Jantung : DBN
- Paru : DBN
 Pemeriksaan Abdomen : DBN
 Pemeriksaan Ekstremitas : DBN
4) Pemeriksaan THT

Organ Dextra Sinistra


B. Telinga
Preaurikular
30. Kel - -
ainan congenital - -
31. Rad - -
ang dan tumor
32. Tra
uma
Auricula
33. Kel - -
ainan congenital - -
34. Rad - -
ang dan tumor
35. Tra
uma
Retroaurikular
36. Ede - -
m - -
37. Hip - -
eremis - -
38. Nye - -
ri tekan - -
39. Sika
triks
40. Fist
el
41. Nye
ri tekan tragus
Kanalis Akustikus
Eksterna
42. Kelainan congenital - -
43. Kulit Tenang Tenang
44. Secret - -
45. Serumen - -
46. Edem - -
47. Jaringan granulasi - -
48. Mas - -
sa - -
49. Cholesteatoma
Membran timpani
50. Warna Keabu-abuan, hiperemis
mengkilat
51. Refl + -
ek cahaya - +
52. Ede - +
m - -
53. Hip - -
eremis - -
54. Retr - -
aksi - -
55. Bul
ging
56. Perf
orasi
57. Bula
58. Sekret
Gambar Otoendoskopi Telinga Kiri Pasien

Hidung (Tidak dilakukan)


Tenggorok (Tidak dilakukan)
Kelenjar getah bening leher
 Kelenjar getah bening : tidak teraba pembesaran KGB
 Massa : tidak ada

5) Diagnosis kerja
Otitis media supuratif akut stadium hiperemis auris sinistra

6) Terapi
Ciprofoxasin tab 2 x 500 mg
Natrium diklofenak tab 2 x 50 mg
Metil prednisolone tab 3 x 4 mg
Cetirizin tab 2 x 10 mg

7) Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
BAB IV

PEMBAHASAN

1. Apakah diagnosa pada kasus ini sudah tepat?

Kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut, yaitu:


1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan
cairan di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara
tanda berikut, seperti menggembungnya membran timpani atau bulging,
terbatas atau tidak ada gerakan pada membran timpani, terdapat bayangan
cairan di belakang membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari
telinga.
3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang
dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti
kemerahan atau erythema pada membran timpani, nyeri telinga atau otalgia
yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.

Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan


fisik yang cermat. Gejala yang timbul dapat bervariasi tergantung pada stadium
dan usia pasien. Pada pemeriksaan fisik. teknik pemeriksaan yang dapat
dilakukan adalah dengan menggunakan otoskop.

Pada stadium supuratif, edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan
hancurnya sel epitel superficial, serta terbentuknya sekret eksudat yang purulen
di cavum timpani menyebabkan membrane timpani menonjol (bulging) ke arah
liang telinga luar.

Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi meningkat dan suhu tubuh
meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Apabila tekanan nanah di
cavum timpani tidak berkurang maka terjadi iskemia akibat tekanan pada
kapiler-kapiler, kemudian timbul tromboflebitis pada vena-vena kecil serta
nekrosis pada mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membrane timpani
terlihat sebagai daerah yang lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot.
Di tempat ini akan terjadi rupture.

Pada kasus pasien mengeluhkan nyeri telinga kiri berdenyut sejak ±1minggu.
Nyeri dirasakan seperti berdenyut. Nyeri dirasakan terus-menerus. Pasien juga
mengeluhkan telinga terasa penuh serta penurunan fungsi pendengaran sejak ± 3
hari bersamaan dengan awal nyeri telinga, Cairan yang keluar dari telinga (-).
Flu (+) ± 1 minggu. Demam (+) sejak ± 1 hari lalu. sakit kepala (-), pusing (-)
gatal (-), batuk (-), Sebelumnya pasien belum pernah mengalami nyeri serupa.

Dari hasil anamesis didapatkan nyeri yang disebabkan reaksi radang pada
telinga tengah. Infeksi pada telinga tengah dengan tanda dan gejala lokal maupun
sistemik yang disebabkan oleh ganguan pertahanan tubuh pada silia mukosa tuba
eustachius (sumber utama) dan antibodi. Pada pasien didapatkan riwayat pilek
(ISPA). Keadaan ini dapat menyebabkan infeksi tersebut masuk melalui tuba
eustachius ke telinga. Sehingga terjadi proses radang dan merangsang reseptor
nyeri sehingga muncul nyeri akut.

Pemeriksaan fisik pada pasien dengan menggunakan otoskop didapatkan


membran timpani hiperemis, edem dan disertai adanya bulging. Hiperemis yang
terjadi pada membran timpani terjadi karena pelebaran pembuluh darah.

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik menggunakan otoskop,


diagnosa pada pasien ini sudah tepat yaitu otitis media supuratif akut stadium
supuratif auris sinistra.

2. Apakah penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat?

Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Tujuan


pengobatan yaitu menghilangkan tanda dan gejala penyakit, eradikasi
infeksi, pencegahan komplikasi. Pada stadium supuratif terapi terbaik
adalah dengan pemberian antibiotic dan analgetik. Pasien diberikan Ciprofoxasin
tab 2 x 500 mg, Natrium diklofenak tab 2 x 50 mg, Metil prednisolone tab 3 x 4
mg, Cetirizine 2 x 10mg.

Sebelum didapatkannya hasil uji sensitivitas, amoksisilin oral merupakan


antibiotik pilihan awal. Amoksisilin diberi dengan dosis 40 mg/kgbb/24 jam, 3
kali sehari selama 7 hari. Akan tetapi telah banyak kuman yang resisten terhadap
amoksisilin, khususnya penghasil Beta Laktamase, sehingga perlu kiranya
memberikan antibiotika dari kelas yang berbeda. Pilihan obat lainnya adalah
Eritromisin (50 mg/kgbb/24 jam) bersama dengan sulfonamid (100 mg/kgbb/24
jam trisulfa atau 150 mg/kgbb/24 jam sulfisoksazol) empat kali sehari,
trimetroprim-sulfametoksasol (8 dan 40 mg/kgbb/24 jam) diberi 2 kali sehari,
sefaklor (40 mg/kgbb/24 jam) 3 kali sehari, amoksisilin-klavulanat (40
mg/kgbb/24 jam) 3 kali sehari, atau cefixime (8 mg/kgbb/24 jam) sekali atau 2
kali sehari.

Natrium diklofenak termasuk dalam obat antiinflamasi nonsteroid


(OAINS). Obat ini bekerja dengan cara menghentikan produksi zat penyebab
rasa sakit. OAINS seperti natrium diklofenak juga memiliki efek lain seperti
pereda demam (antipiretik). Pada kasus diberikan Natrium diklofenak 2x50 mg
sebagai analgesic untuk mengurangi nyeri pada telinga pasien.

Methylprednisolone, atau metilprednisolon, adalah obat jenis kortikosteroid


yang memiliki fungsi untuk mengurangi gejala peradangan (yang meliputi
pembengkakan, rasa nyeri) atau meredakan reaksi alergi. Methylprednisolone
merupakan golongan obat antiinflamasi yang bekerja dengan cara menekan
sistem kekebalan tubuh dan mengurangi reaksi peradangan. Obat ini
mencegah pelepasan zat dalam tubuh yang menyebabkan peradangan
(inflamasi) pada berbagai penyakit. Pada kasus diberikan metilprednisolon
2x4 mg untuk mengurangi peradangan/inflamasi yang terjadi pada membrane
timpani.

Ciprofloxasin merupakan obat antibiotic yang berperan aktif terhadap


infeksi bakteri gram positif dan gram negative. Seperti streptococcus
pneumonia, Streptokokus hemolitikus dan Stafilokokus aureus. Ciprofloxasin
merupakan kelompok golongan obat dari flourquinolone memiliki daya
antibakteri yang jauh lebih kuat dari golongan quinolone. Selain itu obat ini
diserap dengan baik pada pemberian oral dan beberapa derivatnya tersedia juga
dalam bentuk parenteral sehingga dapat digunakan dalam penanggulangan
infeksi berat.

Cetirizine adalah obat antihistamin yang dapat menghalangi atau


mengurangi efek histamin terhadap tubuh dengan memblok reseptor histamin.
Cetirizine merupakan metabolit aktif dari hidroksizin dengan efek kuat dan
Panjang kurang lebih (8-10 jam). Merupakan obat generasi kedua bersifat
hidrofil, dan tidak bekerja sedative juga tidak antikolinergik menghambat
migrasi dari eosinophil yang berperan pada reaksi alergi lambat. Efek anti
alergi pada obat ini, atau berkhasiat sebagai antihistamin juga mampu
menghambat sintesis mediator radang.
BAB V

PENUTUP

Diagnosa pada kasus ini sudah tepat yaitu otitis media supuratif akut
stadium supuratif auris sinistra. Dari anamnesa didapatkan keluhan nyeri telinga
kiri. telinga terasa penuh serta penurunan fungsi pendengaran, flu (+) Demam
(+). Dari Pemeriksaan fisik dengan menggunakan otoskop didapatkan membran
timpani hiperemis, edem dan retraksi disertai adanya bulging.

Faktor resiko terjadinya OMA pada kasus ini yaitu infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA). Penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat berdasarkan
stadium penyakit (stadium supuratif). Pasien di terapi dengan antibiotik,
analgesik, dekongestan, dan kortikosteroid. Tujuan pengobatan OMA yaitu
menghilangkan tanda dan gejala penyakit, eradikasi infeksi,
pencegahan komplikasi. Antibiotik digunakan dengan tujuan eradikasi
infeksi. Analgesik, dekongestan, dan kortikosteroid digunakan dengan tujuan
menghilangkan tanda dan gejala penyakit. Semuanya ini dimaksudkan
untuk mencegah perkembangan penyakit ke tahap selanjutnya
sehingga mencegah timbulnya komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adam, George L, Lawrence R.Boies, dan Peter A.Higler.


Embriologi Anatomi dan Fisiologi Telinga dan Penyakit
Telinga Tengah dan Mastoid.BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta :
EGC.1997
2. Broek P., F. Debruyne, L. Feenstra, H.A.M. Marres. Buku Saku Ilmu
Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga Edisi 12. Jakarta: Penerbit
Buku EGC. 2009.
3. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapius FKUI. 2014.
4. Munilson Jacky, Yan Edward, dan Yolazenia. Penatalaksanaan Otitis
Media AKut. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
(THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Padang: 2017.
5. Prof. dr. Soepardi E. A, dkk. Buku ajar ilmu kesehatan THT. Edisi VI.
Fakultas kedokteran UI. Jakarta: 2010.
6. Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr.
H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT & Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar,
Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2006.
7. Boies et all, Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC. 1997

Anda mungkin juga menyukai