REFRAT
Oleh:
A Annisa Ashliyatul A G99142047
Gisti Respati Riyanti G99142048
Pembimbing :
dr. Novi Primadewi, Sp.THT-KL, M.Kes
BAB I
2
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Otitis media merupakan peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga bagian tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid.
Otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif.
Masing-masing mempunyai bentuk akut dan kronis (Djaafar, 2007). Pada
beberapa penelitian, diperkirakan terjadinya otitis media yaitu 25% pada anak-
anak. Lebih sering terjadi pada anak-anak Indian Amerika dan Eskimo
dibanding anak kulit putih, dan sangat jarang pada anak kulit hitam. Infeksi
umumnya terjadi dua tahun pertama kehidupan dan puncaknya pada tahun
pertama masa sekolah (Paparella, 1997).
Gejala otitis media supuratif kronis secara umum antara lain otorrhoe
yang bersifat purulen atau mokoid, terjadi gangguan pendengaran, otalgia,
tinitus, rasa penuh di telinga dan atau vertigo (Djaafar, 2007).
2
3
B. Tujuan
Mengetahui etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis,
pemeriksaan penunjang, terapi dan prognosis dari otitis media supuratif kronik
(OMSK) tipe benigna.
C. Manfaat
1. Dalam bidang pendidikan dapat menambah pengetahuan tentang etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, pemeriksaan penunjang, terapi
dan prognosis dari otitis media supuratif kronik (OMSK) tipe benigna.
2. Dalam bidang pelayanan dapat digunakan sebagai asupan dalam upaya
pencegahan terjadinya infeksi pada telinga tengah.
3. Dalam bidang penelitian dapat digunakan sebagai titik tolak penelitian
selanjutnya.
D. Rumusan Masalah
Bagaimana etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis,
pemeriksaan penunjang, terapi dan prognosis dari otitis media supuratif kronik
(OMSK) tipe benigna.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI TELINGA
Telinga merupakan organ yang berfungsi sebagai indera
pendengaran dan fungsi keseimbangan tubuh (Fox , 2011). Telinga terdiri
atas tiga bagian dasar, yaitu telinga bagian luar, telinga bagian tengah dan
telinga bagian dalam. Setiap bagian telinga bekerja dengan tugas khusus
untuk mendeteksi dan menginterpretasikan bunyi. Struktur anatomi telinga
seperti diperlihatkan pada gambar (Fox , 2011).
4
5
yang memiliki ketebalan sekitar 0,1 cm dan luas sekitar 65mm2. Membran
ini menyalurkan getaran di udara ke tulang-tulang kecil telinga tengah
(Giancoli,2001; Sherwood, 2007). Secara normal, tuba ini tertutup tetapi
dapat dibuka dengan gerakan menguap, mengunyah dan menelan
(Sherwood, 2007). Area tekanan tinggi dan rendah pada gelombang suara
akan menyebabkan membran timpani bergetar ke dalam dan keluar. Suara
yang masuk 99,9% mengalami refleksi dan hanya 0,1% saja yang di
transmisi/diteruskan. Pada frekuensi kurang dari 400 Hz membran
6
luar (Liston, 1997; Moller, 2006). Sewaktu terbuka sesaat, saluran ini
memungkinkan tekanan di telinga tengah menjadi sama dengan tekanan
atmosfer. Penyamaan tekanan dapat terjadi secara spontan tanpa
gerakan rahang apabila tekanan udara sekitar berkurang.
C. MEKANISME PENDENGARAN
dyne/cm2 tingkat tekanan bunyi, rentang bunyi menjadi 500 sampai 5000
siklus per detik. Pada orang yang lebih tua rentang frekuensi yang bisa
didengarnya akan menurun dari pada saat seseorang berusia muda, frekuensi
pada orang yang lebih tua menjadi 50 sampai 8000 siklus perdetik atau kurang
(Guyton, 2006).
Kekerasan bunyi ditentukan oleh sistem pendengaran yang melalui
tiga cara. Cara yang pertama di mana ketika bunyi menjadi keras, amplitudo
getaran membran basiler dan sel-sel rambut menjadi meningkat sehingga akan
mengeksitasi ujung saraf dengan lebih cepat. Kedua, ketika amplitudo getaran
meningkat akan menyebabkan sel-sel rambut yang terletak di pinggir bagian
membran basilar yang beresonansi menjadi terangsang sehinga menyebabkan
penjumlahan spasial implus menjadi transmisi yang melalui banyak serabut
saraf. Ketiga, sel-sel rambut luar tidak akan terangsang secara bermakna
sampai dengan getaran membran basiler mencapai intensitas yang tinggi dan
perangsangan sel-sel ini tampaknya yang menggambarkan pada sistem
saraf bahwa tersebut sangat keras (Guyton, 2006).
Jaras persarafan pendengaran utama menunjukan bahwa serabut saraf
dari ganglion spiralis Corti memasuki nukleus koklearis dorsalis dan ventralis
yang terletak pada bagian atas medulla. Serabut sinaps akan berjalan ke
nukleus olivarius superior kemudian akan berjalan ke atas melalui lemnikus
lateralis. Dari lemnikus lateralis ada beberapa serabut yang berakhir di
lemnikus lateralis dan sebagian besar lagi berjalan ke kolikus inferior di mana
tempat semua atau hampir semua serabut pendengaran bersinaps. Jaras
berjalan dari kolikus inferior ke nukleus genikulum medial, kemudian jaras
berlanjut melalui radiasio auditorius ke korteks auditorik yang terutama
11
terletak pada girus superior lobus temporalis (Guyton, 2006). Jaras saraf
pendengaran ditampilkan pada gambar 4.
D. Gejala Klinis
1. Telinga berair (otorrhoe)
Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air
dan encer) tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus
dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan
mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang
tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa
telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya
sekret biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat
disebabkan infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang
telinga luar setelah mandi atau berenang. Pada OMSK stadium inaktif
tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret yang sangat bau,
berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan
produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil, berwarna
putih, mengkilap.
Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga
tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara
luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya
jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya
kolesteatom yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa
nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.
2. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang
pendengaran. Biasanya di jumpai tuli konduktif namun dapat pula
bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun
proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun
kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra
ovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20
db ini ditandai bahwa rantai tulang pendengaran masih baik.
Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang pendengaran menghasilkan
penurunan pendengaran lebih dari 30 db. Beratnya ketulian
16
E. Patogenesis
G. Diagnosis
2. Gangguan pendengaran
4. Vertigo
H. Penatalaksanaan
1. Konservatif
2. Operasi
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) merupakan masalah kesehatan
yang umum di seluruh dunia dan merupakan penyebab utama gangguan
pendengaran di kalangan anak-anak pada negara berkembang. Otitis
Media Supuratif Kronis (OMSK) secara klinis dapat didefinisikan sebagai
debit persisten pus melalui membran timpani yang perforasi selama lebih
dari dua minggu.
2. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) dapat disebabkan oleh faktor
lingkungan, genetik, adanya otitis media sebelumnya, adanya infeksi,
autoimun, alergi, dan gangguan fungsi tuba.
3. Gejala Klinis Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah telinga berair,
gangguan pendengaran, nyeri telinga dan vertigo
4. Prinsip penatalaksanaan pada OMSK adalah pembersihan liang telinga dan
kavum timpani serta pemberian antibiotik.
5. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah pencetus seperti
infeksi pada saluran nafas, dan apabila dilakukan kontrol yang baik pada
OMSK prognosisnya adalah baik.
B. Saran
Perburukan penyakit dan komplikasi akibat OMSK harus dihindari dengan
menegakkan diagnosis secara tepat dan dini, diikuti dengan penatalaksanaan
yang tepat pada penderita OMSK.
22
24
DAFTAR PUSTAKA
Glasscock III M.E, Shambaugh GE, (1990). Pathology and Clinical Course of
inflammatory Discase of the Middle Ear. In: Surgery of the Ear, 4th ed,
Philadelphia, WB. Saunders Company; h.184-187
Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Penterjemah: Irawati, Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2006.
Hafil AF, Sosialisman, Helmi. Kelainan telinga luar. In: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku ajar kesehatan
telinga, hidung, tenggorok, kepala & leher. Jakarta: Badan Penerbit FK UI,
23
25
2007:10-22.
Helmi. Komplikasi otitis media supuratif kronis dan mastoiditis. Dalam: Soepardi
EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI, 2007.
Kong K, Coates HL (2009). Natural history, definitions, risk factors and burden of
otitis media. Med J. 191(9)(Suppl):S39-S43.
Kumar S, (1996). Chronic Suppurative Otitis Media. In: Fundamenta of Ear, Nose
and Throat Disease and Head Neck Surgery, Calcuta, 6th ed; h.100-107
Liston L, Duvall AJ. Embriologi, anatomi dan fisiologi telinga. In: Adams GL,
Boies LR, Higler PA, editors. Buku ajar penyakit THT. Penterjemah:
Wiyaja C. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997:27-38.
Lutan R, Wajdi F. Pemakaian Antibiotik Topikal Pada Otitis Media Supuratif
Kronik Jinak Aktif. Cermin Dunia Kedokteran No. 132.2001.
Mackenzie I, Smith A (2009). Deafness–the neglected and hidden disability. Ann
Trop Med Parasitol. 103(7):565-571.
Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga tengah dan mastoid.
Dalam: Adams GL, Boies LR, Higler PA; alih bahasa: Wijaya C; editor:
Effendi H dan Santoso Randomised controlled trial of treatment of chronic
suppurative otitis media in Kenyan schoolchildren. Lancet. 348(9035):1128-
1133.