Masdar Helmi1
1. Pendahuluan
Ferosemen yang dibuat dari campuran semen, pasir, dan air yang diberi kawat jala halus
dan tulangan baja sebagai pengaku merupakan bahan alternative yang dapat digunakan
untuk konstruksi rumah. Teknik pengerjaan ferosemen tidak jauh berbeda dengan teknik
pengerjaan beton bertulang pada umumnya, namun ferosemen memerlukan volume
bahan yang relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan beton bertulang.Ferosemen
telah lama dikenal dan digunakan sebagai bahan konstruksi, baik pada konstruksi
bangunan maupun konstruksi-konstruksi maritim. Aplikasi ferosemen dapat dijumpai
pada konstruksi bangunan-bangunan arsitektur seperti kubah, atap pelat cangkang,
bangunan monumental, menara, dan bentuk-bentuk lain seperti bak air, perahu, dan
bangunan irigasi. Bahkan di beberapa negara bahan ferosemen ini telah digunakan
untuk membuat rumah tinggal dengan sistem pracetak.
Dosen Fakultas Teknik Universitas Lampung dan Pengurus HAKI Komda Lampung
2.
Ferosemen
Bahan pengikat atau matrik dalam ferosemen dikenal sebagai adukan semen atau biasa
disebut mortar, yang umumnya terdiri dari semen dan pasir silika biasa. Menurut
Naaman et. al. (2001) semen yang digunakan sebagai bahan pembuatan ferosemen
harus terbebas dari lumpur dan benda asing lain serta ditempatkan dalam kondisi kering
selama jangka waktu yang pendek. Pasir menempati 70% sampai dengan 95% dari
volume mortar, oleh sebab itu penggunaan agregat untuk ferosemen haruslah dengan
mutu yang baik agar didapat mutu mortar yang baik pula.
Pasir yang digunakan harus kuat dan dapat menghasilkan adukan yang baik dengan
perbandingan air semen minimum untuk mencapai penetrasi yang baik ke dalam
anyaman kawat jala. Umumnya yang digunakan adalah pasir alam yang terdiri dari
silika, batuan basalt atau koral halus. Penggunaan/pemilihan pasir haruslah berhati-hati,
karena pasir yang jelek dapat rusak akibat abrasi dan reaksi kimia bahkan pasir yang
porous dapat menyebabkan kelembaban masuk ke dalam penampang yang tipis,
sehingga mempengaruhi ketahanan dan bentuk struktur ferosemen. Selain itu, pasir
yang digunakan harus bersih dan bebas dari bahan-bahan organik dan relatif bebas dari
lempung dan lanau.
Tulangan baja yang digunakan berfungsi sebagai rangka untuk memperoleh bentuk
yang diinginkan dan sebagai tempat untuk memasang kawat anyam jala dan tulangan
baja tersebut tidak berfungsi sebagai tulangan struktur tetapi berfungsi sebagai
pembentuk konstruksi. Ukuran tulangan baja bervariasi antara 0,165 in (4,20 mm)
sampai 0,375 in (9,5 mm) untuk diameternya. Sedangkan yang lebih umum digunakan
adalah diameter 0,25 in (6,25 mm) dan dapat pula menggunakan diameter yang lebih
kecil secara bersamaan.
Kawat jala yang digunakan dalam berbagai macam ukuran dan bentuk, ada yang
digalvanisir (diberi lapisan anti karat) sebelum dianyam atau sesudah dianyam. Ukuran
kekuatan, kekakuan, cara membuat dan mengolah ferosemen sangat mempengaruhi
sifat dan kekuatan ferosemen yang akan terbentuk. Ferosemen menggunakan kawat
jala sebagai penahan mortar pada saat masih basah dan penahan beban tarik setelah
kering. Macam-macam bentuk kawat jala (wiremesh) tersebut adalah kawat jala segi
enam (kawat ayam), kawat jala las, kawat anyam persegi, dan kawat jala berbentuk
wajik.
2.3 Sifat Mekanik Ferosemen
A. Kuat Tekan
Kuat tekan ferosemen biasanya dikontrol dengan menggunakan kuat tekan mortar
penyusun ferosemen tersebut. Kuat tekan mortar dapat dipengaruhi oleh beberapa
parameter seperti perbandingan antara pasir dengan semen dan perbandingan air
dengan semen.
Untuk desain ferosemen secara umum kuat tekan ferosemen dianggap sama dengan
kuat tekan mortar penyusunnya. Kekuatan batas tekan dapat ditentukan dengan
mengabaikan sumbangan kekuatan serat karena cenderung serat tertekuk (Djausal,
2004). Sedangkan menurut Naaman (2000) untuk konstruksi ferosemen yang menahan
beban tekuk (buckling), kuat tekan ferosemen diambil sebesar 80% dari kuat tekan
mortar penyusunnya.
B. Kuat Tarik
Kuat tarik ferosemen ini dipengaruhi oleh tipe kawat jala, arah pembebanan pada kawat
jala tersebut dan mutu kawat itu sendiri. Kuat tarik ferosemen merupakan besaran yang
didapat dari pengujian benda uji yang diberi beban tarik pada kedua ujungnya (Naaman,
2000).
Keterangan gambar :
1. Pada posisi OA, ferosemen masih bersifat elastis. Hal ini ditunjukkan dari bentuk
grafik yang masih linier, yang berarti belum terjadi keretakan dan pada titik A sudah
mulai terjadi retak. Pada rentang ini, bila beban dihilangkan panel ferosemen dapat
kembali lagi ke bentuk semula.
2. Pada posisi AB retak baru terbentuk seiring dengan bertambahnya beban tetapi tidak
linier sampai pada titik B.
3. Pada posisi BC, retak bertambah besar secara linier sampai titik C yang mulai terjadi
leleh, karena retak maka kemiringan yang terjadi lebih kecil dibandingkan sebelum
retak.
4. Akibat bertambahnya beban yang diberikan, maka akan tercapai tegangan puncak
(nominal) dan pada akhirnya ferosemen akan runtuh.
C. Kuat Lentur
Kuat lentur ferosemen didapat dari pengujian benda uji ferosemen berpenampang
persegi dengan dimensi panjang 500 mm, lebar 150 mm, dan tebal 20 mm, diuji dengan
prinsip Third Point Loading. Kuat lentur ferosemen ini dipengaruhi oleh beberapa
parameter seperti tipe kawat, ukuran kawat dan volume fraksi tulangan serta jumlah
lapisan kawat dalam struktur ferosemen.
Keterangan gambar :
1. Pada bagian OA, respon ferosemen terhadap lentur masih bersifat linier yang
menunjukkan belum terjadi retak.
2. Retak mulai terjadi pada titik A dengan nilai momen tetap (bagian AB).
3. Bagian BC masih bersifat linier elastis tetapi sudah terjadi retak dan mulai terjadi
leleh pada titik C.
4. Posisi CD menunjukkan respon ferosemen bersifat non-linier dan berada pada posisi
plastis.
5. Akibat penambahan beban, akhirnya momen maksimum tercapai pada titik D.
Setelah momen nominal tercapai, ferosemen akan mengalami keruntuhan di titik E.
Gambar 5 menunjukkan grafik variasi lebar retak dalam fungsi jumlah perulangan untuk
pengujian lentur akibat beban berulang. Laju lebar retak cenderung landai pada
perulangan beban pertama hingga kurang lebih 70 % dari umur layan. Setelah batas ini
terlampaui, kecepatan lebar retak menjadi semakin besar hingga keruntuhan total benda
uji.
3.
Rumah Ferosemen
ferosemen akibat gempa sudah dilakukan oleh Fernandez and Cano (2001). Bangunan
ferosemen satu lantai seluas 16 m2 diletakkan di atas pelat beton tipis yang dapat
berotasi terhadap ke arah vertical. Dengan bantuan hidrolic jack dan batang kayu
sebagai pengungkit, bangunan dimiringkan 15 derajat ke arah Selatan dan kemudian
dikembalikan secara bertahap. Setiap kemiringan 2,5 derajat, deformasi yang terjadi
diukur dengan micrometer. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pengujian masih
dalam batas elastis. Hal ini menunjukkan bahwa bangunan ferosemen ini tahan
terhadap beban gempa.
Ketahanan ferosemen terhadap beban dinamis juga telah dibuktikan di negara bagian
Florida U.S.A berupa rumah kubah ferosemen yang tahan terhadap beban angin taufan
(Adajar et. Al. 2006). Menurutnya kesatuan struktur ferosemen dan kemudahan dalam
perbaikannya memungkinkan ferosemen digunakan untuk bahan pembuatan rumah di
Florida yang sering terjadi angin taufan.
berpenampang kanal.. Dengan jumlah tenaga 350 orang yang telah dilatih selama 15
hari, panel yang diproduksi sebanyak 350 unit perhari atau setara dengan 4 rumah
setiap harinya. Setelah 22 tahun konstruksi, rumah tersebut masih berfungsi dan masih
layak digunakan.
Menurut Osorio and Rivas (1998) teknologi diperlukan untuk produksi panel ferosemen
mulai dari pencetakan hingga perangkaiannya. Dengan terapan teknologi maka
konstruksi rumah ferosemen pracetak jauh lebih ekonomis. Sebagai perbandingan untuk
membangun lantai seluas 88 m2 dengan 6 orang tenaga dan dibantu alat pengaduk
beton, maka dibandingkan terhadap konstruksi beton bertulang, konstruksi ferosemen
pracetak jauh lebih ekonomis dengan rincian : baiaya total 73 %, lama konstruksi 33 %,
berat total 39 %, volume material 40 %, dan berat total baja 71 %. Dengan demikian
teknologi panel pracetak ferosemen cukup murah, ramah lingkungan, memerlukan
tenaga sedikit, tidak kaku, ringan, sederhana, dan mudah dipindahkan. Teknologi ini
memiliki nilai kompetitif dan sangat cocok untuk negara berkembang.
Alternatif bentuk struktur ferosemen pracetak untuk rumah murah dikemukakan oleh
Machado (1998) berupa panel tipe sandwich dimana pada 2 permukaan panel berupa
ferosemen dan pada bagian tengahnya berupa gabus kaku (polyurethane rigid foam).
Hubungan antar panel menggunakan ferosemen pracetak dengan penampang sesuai
kebutuhan ( sambungan T, sambungan menerus, sambungan sudut, atau sambungan
menyilang). Prototipe rumah yang dari panel jenis ini berukuran 24,5 m2 yang dibentuk
dari 44 unit panel sandwich dan 50 unit sambungan. Konstruksi rumah dengan system
panel sandwich ini memungkinkan untuk berkembang ke arah horizontal sesuai dengan
kebutuhan ruang.
Rumah ferosemen pracetak juga dikembangkan Adajar et. al. (2006) di Florida U.S.A.
Dinding rumah dan penutup atap digunakan ferosemen pracetak sedangkan lantai dan
kerangka atap dibuat ditempat tanpa cetakan.
10
4. Daftar Pustaka
1. Adajar,J.C., Hogue,T., and Jordan, C. 2006. Ferrocement for Hurricane Prone State
of Florida. Paper on Structural Fault+Repair-2006 Conference. Edinbourg-Scotland
UK. June 13-15.
2. Committee 549. 1993. State-of-the-Art Report on Ferrocement. American Concrete
Institute (ACI) 549R-93.
3. Djausal, A., Sukardi, S., Alami, F., and Helmi, M. 2001. Ferrocement in Indonesia:
Its Aplication and potentials. Journal of Ferrocement . IFIC Bangkok, Vol. 31 No.4 ,
October. pp 311-318
4. El Debs, M.K., Machado, E.F. Jr., Hanai, J.B. and Takeya,T. 1998. Ferrocement
Sandwich Walls : Research Projects By The Sao Carlos Group (Brazil). Proceeding
of the Sixth International Symposium on Ferrocement. University of Michigan,
Michigan, USA. June. pp. 493 506.
5. Fernandez, A. and Cano, F. 2001. Seismic Characteristic Of Low-Cost Ferrocement
Monolithic Housing. Journal of Ferrocement . IFIC Bangkok, Vol. 31 No.2 , April. pp
137-142.
6. Helmi, M., dan Alami, F. 2006a. Potensi Struktur Ferosemen untuk Rumah Pracetak.
Proceeding Seminar Nasional Teknologi Beton dalam Rekayasa Konstruksi. Bandar
Lampung, Maret.
7. Helmi, M., dan Alami, F. 2006b. Sifat Mekanika Panel Ferosemen Akibat Gaya
Tekan dan Gaya Lentur. Laporan Penelitian Dosen Muda. Dikti.
8. Machado, E.F Jr.. 1998. Building System For Low-Cost Ferrocement Housing.
Proceeding of the Sixth International Symposium on Ferrocement, Edited by A.E.
Naaman. University of Michigan, Michigan, USA. June. pp. 129 138.
9. Naaman, A.E. 2000. Ferrocement & Laminated Cementitious Composites . First
edition. Techno Press 3000. Michigan. P 372.
10. Naaman,AE., Balaguru,P., Nassif,H.,Pama,R., Tatsa,E., Austriaco,LR., Hanai,JB.,
Nedwell,P., and Paramasivam,P. 2001. Ferrocement Model Code. IFIC. Bangkok.
87 pp.
11. Olvera L.A., Olvera. F., Martinez. R., Almeida. F., Olvera A.E., and Gallo G., 1998.
Application of Prefabricated Ferrocement Housing in Mexico. Proceeding of the
Sixth International Symposium on Ferrocement, University of Michigan, Michigan,
USA. June. pp. 95 108.
12. Osorio S.M., and Rivas H.W. 1998. Technology for Fabrication and Assembling of
Light Ferrocement Panels. Proceeding of the Sixth International Symposium on
Ferrocement, University of Michigan, Michigan, USA. June. pp. 119 128.
13. Rahooja, E.R. 2006. Alternate and Low Cost Construction Materials & Techniques
Developed Through R&D Efforts at Council for Works and Housing Research.
Proceeding of the 2nd International Conference on Construction Industry-ICCI.
Pakistan. August 29.
14. Sun. N.C, dkk 1985. Development of A Prefabricated Ferrocement Housing
System. Proceeding of the Second International Symposium on Ferrocement.
Bangkok, Thailand.
11