Anda di halaman 1dari 11

POTENSI FEROSEMEN UNTUK RUMAH TAHAN GEMPA

Masdar Helmi1

1. Pendahuluan
Ferosemen yang dibuat dari campuran semen, pasir, dan air yang diberi kawat jala halus
dan tulangan baja sebagai pengaku merupakan bahan alternative yang dapat digunakan
untuk konstruksi rumah. Teknik pengerjaan ferosemen tidak jauh berbeda dengan teknik
pengerjaan beton bertulang pada umumnya, namun ferosemen memerlukan volume
bahan yang relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan beton bertulang.Ferosemen
telah lama dikenal dan digunakan sebagai bahan konstruksi, baik pada konstruksi
bangunan maupun konstruksi-konstruksi maritim. Aplikasi ferosemen dapat dijumpai
pada konstruksi bangunan-bangunan arsitektur seperti kubah, atap pelat cangkang,
bangunan monumental, menara, dan bentuk-bentuk lain seperti bak air, perahu, dan
bangunan irigasi. Bahkan di beberapa negara bahan ferosemen ini telah digunakan
untuk membuat rumah tinggal dengan sistem pracetak.

Perkembangan ferosemen di Indonesia telah dilakukan lebih dari 25 tahun, yang


diawali dengan pembangunan struktur-struktur pantai (Djausal, 2001). Setelah
tahun 1978, teknologi ferosemen mulai mengalami perkembangan pada bentukbentuk tipikal masjid, struktur bangunan monumental, struktur irigasi dan pada
struktur perumahan-perumahan pracetak. Ferosemen sangat tepat dijadikan
material pembentuk perumahan karena ferosemen memiliki kelebihan yang
terletak pada kekuatan dan waktu pengerjaannya yang cepat. Jika ferosemen
digunakan sebagai panel pada bagian-bagian tertentu pada suatu
struktur/bangunan, maka proses pembuatannya tidak membutuhkan biaya yang
besar jika dibandingkan dengan struktur dinding bata secara konvensional
(Sun,N.C, dkk. 1985). Seperti pada pembangunan 450 dan 650 rumah yang
dibangun di 2 kota, yaitu Tabasco dan Sonora di negara Mexico (A. Olvera,
dkk.1998). Dan dari penelitian yang juga telah dilakukan terhadap apartemen
berlantai 4 (empat) di Republik of Cina, terlihat bahwa pengembangan
apartemen dengan sistem pracetak berbahan ferosemen jika dibandingkan
dengan
sistem konvensional, maka apartemen dengan sistem pracetak
berbahan ferosemen tersebut dapat menghemat biaya pekerjaan sampai dengan
25,2% (Sun,N.C, dkk. 1985). Hal ini akan sangat menguntungkan jika dilakukan
di negara-negara sedang berkembang yang memiliki jumlah penduduk sangat
besar seperti di Indonesia.

Dosen Fakultas Teknik Universitas Lampung dan Pengurus HAKI Komda Lampung

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

2.

Ferosemen

2.1. Sejarah Ferosemen


Perkembangan ferosemen tak bisa lepas dari peranan Jean Louis Lambot (1845) dan
Pier Luigi Nervi (1940) dengan percobaan-percobaannya sehingga ferosemen tidak
diragukan lagi untuk dapat diterima sebagai bahan dalam terapan konstruksi bersamaan
dengan bahan lainnya. Sejarah ferosemen dimulai pada tahun 1845 ketika Jean Louis
Lambot tuan tanah dari Perancis membuat beberapa perahu dayung, pot bunga, tempat
duduk dan beberapa benda lainnya dari bahan yang disebutnya Ferciment yang
kemudian dipatenkan pada tahun 1852. Menurut Lambot, ferosemen adalah suatu
produk baru yang menggantikan kayu. Lambot membuat dua perahu dayung pada tahun
1848 dengan panjang sekitar 3,6 meter dan 3 meter, lebar 1,3 meter dan tebal
dindingnya 38 mm. Setelah itu, baru pada tahun 1940-an, Pier Luigi Nervi seorang
insinyur arsitek dari Italia berusaha untuk membangkitkan kembali konsep dasar dari
ferosemen dengan menganjurkan menggunakan ferosemen sebagai bahan pembuat
perahu penangkap ikan. Nervi menyebutkan bahwa distribusi tulangan kawat dalam
beton dapat menghasilkan material yang memiliki keseragaman sifat mekanik, dan
mampu untuk menahan beban kejut yang tinggi. Seusai Perang Dunia II, Nervi
menggunakan ferosemen untuk konstruksi bangunan, kemudian angkatan laut Italia
menerima ferosemen sebagai bahan untuk keperluan maritim dan membuat sejumlah
kapal. Nervi juga membuat kapal laut bermotor seberat 160 ton Irene menggunakan
ferosemen dengan ketebalan dinding kapal 35 mm. Pada tahun 1948 Nervi melanjutkan
pengembangan teknologi ferosemen dalam bidang arsitektur dengan membuat gudang
penyimpanan dari ferosemen dan sebuah gedung pameran Turin yang terkenal dengan
sistem atapnya yang mempunyai bentang 91 meter. Ferosemen semakin berkembang
pada tahun 1960-an di Inggris, New Zealand, Kanada dan Australia. Kemudian tahun
1968, FAO memulai proyek Ferrocement Boat Building di Asia, Afrika, dan Amerika Latin
yang mengenalkan ferosemen kepada negara-negara berkembang (Naaman, 2000).
Untuk menyatukan pendapat mengenai ferosemen, disadari perlu adanya suatu
organisasi yang memberikan informasi yang benar mengenai ferosemen. Pada tahun
1976, The International Ferrocement Information Centre (IFIC) didirikan di Asian Institute
of Technology (AIT) di Bangkok, Thailand dan tahun 1991 dibentuk lagi The
International Ferrocement Society sebagai organisasi pusat ferosemen.
Pada tahun 1980 dibentuklah komisi 549 oleh American Concrete Institute (ACI) tentang
ferosemen yang bertujuan untuk mempelajari dan melaporkan pelaksanaan konstruksi,
sifat teknis, dan terapan praktis dari ferosemen dan bahan yang serupa, kemudian
mengembangkan standar dan petunjuk untuk konstruksi ferosemen Definisi ferosemen
menurut ACI Committee 549 yang disetujui oleh Ferrocement Model Code yang
dikeluarkan oleh International Ferrocement Society (IFS), ferosemen adalah suatu
konstruksi beton bertulang tipis, dimana biasanya menggunakan semen hydraulis yang
ditulangi dengan lapisan-lapisan kawat anyam jala yang bergaris tengah kecil dan
menerus. Lapisan kawat anyam jala tersebut dapat terbuat dari bahan metal atau
bahan lain yang cocok untuk digunakan. Kehalusan matriks dan komposisi mortar harus
selaras dengan jarak dan kekencangan dari sistem kawat jala. Matriks mortar
merupakan campuran homogen yang terdiri dari semen Portland, pasir dan air.
Campuran ini dapat juga ditambahkan dengan bahan addmixtures kimia dan tambahan
mineral lainnya (additif) yang berfungsi meningkatkan kekuatan ferosemen (Naaman,
2001).

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

2.2. Bahan Pembentuk Ferosemen


Bahan dan cara penulangan ferosemen dilakukan sedemikian rupa sehingga terbentuk
bahan komposit yang memberikan sifat-sifat yang berbeda dengan beton bertulang
biasa. Dari penelitian yang dilakukan sebelumnya, menunjukkan bahwa ferosemen
memiliki ketahanan terhadap beban impak yang tinggi, awet dan kedap air. Terhadap
gaya tarik, karena tulangan kawat jala yang dimiliki oleh ferosemen lebih rapat dan
merata maka didapat permukaan spesifik yang lebih besar sehingga retak yang terjadi
halus dan tersebar. Sedangkan terhadap gaya tekan, karena yang digunakan adalah
mortar dengan kekuatan tinggi maka memberikan kekuatan tekan yang tinggi pula.
Terhadap kuat lentur, perilaku keruntuhan pada ferosemen adalah tidak menunjukkan
pola keruntuhan seketika.
Ferosemen dapat dibentuk sebagai bidang yang tipis (kurang dari 2,5 cm/1 inchi),
dengan selimut semen mortar diatas lapisan tulangan. Struktur ferosemen yang
direncanakan akan mempunyai keuntungan dalam pembuatan produk dan akan mudah
dibentuk dalam kesatuan konstruksi. Ferosemen terbentuk dari susunan adukan mortar
dan beberapa lapisan kawat jala (wiremesh) serta dapat juga ditambahkan tulangan
sebagai rangka pembentuk. Susunan tersebut membentuk suatu bahan komposit seperti
yang terlihat pada Gambar 1.

(a) Dengan Tulangan Baja

(b) Tanpa Tulangan Baja

Gambar 1 Penampang Ferosemen

Bahan pengikat atau matrik dalam ferosemen dikenal sebagai adukan semen atau biasa
disebut mortar, yang umumnya terdiri dari semen dan pasir silika biasa. Menurut
Naaman et. al. (2001) semen yang digunakan sebagai bahan pembuatan ferosemen
harus terbebas dari lumpur dan benda asing lain serta ditempatkan dalam kondisi kering
selama jangka waktu yang pendek. Pasir menempati 70% sampai dengan 95% dari
volume mortar, oleh sebab itu penggunaan agregat untuk ferosemen haruslah dengan
mutu yang baik agar didapat mutu mortar yang baik pula.
Pasir yang digunakan harus kuat dan dapat menghasilkan adukan yang baik dengan
perbandingan air semen minimum untuk mencapai penetrasi yang baik ke dalam
anyaman kawat jala. Umumnya yang digunakan adalah pasir alam yang terdiri dari
silika, batuan basalt atau koral halus. Penggunaan/pemilihan pasir haruslah berhati-hati,
karena pasir yang jelek dapat rusak akibat abrasi dan reaksi kimia bahkan pasir yang
porous dapat menyebabkan kelembaban masuk ke dalam penampang yang tipis,
sehingga mempengaruhi ketahanan dan bentuk struktur ferosemen. Selain itu, pasir
yang digunakan harus bersih dan bebas dari bahan-bahan organik dan relatif bebas dari
lempung dan lanau.
Tulangan baja yang digunakan berfungsi sebagai rangka untuk memperoleh bentuk
yang diinginkan dan sebagai tempat untuk memasang kawat anyam jala dan tulangan
baja tersebut tidak berfungsi sebagai tulangan struktur tetapi berfungsi sebagai
pembentuk konstruksi. Ukuran tulangan baja bervariasi antara 0,165 in (4,20 mm)
sampai 0,375 in (9,5 mm) untuk diameternya. Sedangkan yang lebih umum digunakan

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

adalah diameter 0,25 in (6,25 mm) dan dapat pula menggunakan diameter yang lebih
kecil secara bersamaan.
Kawat jala yang digunakan dalam berbagai macam ukuran dan bentuk, ada yang
digalvanisir (diberi lapisan anti karat) sebelum dianyam atau sesudah dianyam. Ukuran
kekuatan, kekakuan, cara membuat dan mengolah ferosemen sangat mempengaruhi
sifat dan kekuatan ferosemen yang akan terbentuk. Ferosemen menggunakan kawat
jala sebagai penahan mortar pada saat masih basah dan penahan beban tarik setelah
kering. Macam-macam bentuk kawat jala (wiremesh) tersebut adalah kawat jala segi
enam (kawat ayam), kawat jala las, kawat anyam persegi, dan kawat jala berbentuk
wajik.
2.3 Sifat Mekanik Ferosemen
A. Kuat Tekan
Kuat tekan ferosemen biasanya dikontrol dengan menggunakan kuat tekan mortar
penyusun ferosemen tersebut. Kuat tekan mortar dapat dipengaruhi oleh beberapa
parameter seperti perbandingan antara pasir dengan semen dan perbandingan air
dengan semen.
Untuk desain ferosemen secara umum kuat tekan ferosemen dianggap sama dengan
kuat tekan mortar penyusunnya. Kekuatan batas tekan dapat ditentukan dengan
mengabaikan sumbangan kekuatan serat karena cenderung serat tertekuk (Djausal,
2004). Sedangkan menurut Naaman (2000) untuk konstruksi ferosemen yang menahan
beban tekuk (buckling), kuat tekan ferosemen diambil sebesar 80% dari kuat tekan
mortar penyusunnya.
B. Kuat Tarik
Kuat tarik ferosemen ini dipengaruhi oleh tipe kawat jala, arah pembebanan pada kawat
jala tersebut dan mutu kawat itu sendiri. Kuat tarik ferosemen merupakan besaran yang
didapat dari pengujian benda uji yang diberi beban tarik pada kedua ujungnya (Naaman,
2000).

Gambar 2 Diagram tegangan regangan uji tarik ferosemen

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

Keterangan gambar :
1. Pada posisi OA, ferosemen masih bersifat elastis. Hal ini ditunjukkan dari bentuk
grafik yang masih linier, yang berarti belum terjadi keretakan dan pada titik A sudah
mulai terjadi retak. Pada rentang ini, bila beban dihilangkan panel ferosemen dapat
kembali lagi ke bentuk semula.
2. Pada posisi AB retak baru terbentuk seiring dengan bertambahnya beban tetapi tidak
linier sampai pada titik B.
3. Pada posisi BC, retak bertambah besar secara linier sampai titik C yang mulai terjadi
leleh, karena retak maka kemiringan yang terjadi lebih kecil dibandingkan sebelum
retak.
4. Akibat bertambahnya beban yang diberikan, maka akan tercapai tegangan puncak
(nominal) dan pada akhirnya ferosemen akan runtuh.
C. Kuat Lentur
Kuat lentur ferosemen didapat dari pengujian benda uji ferosemen berpenampang
persegi dengan dimensi panjang 500 mm, lebar 150 mm, dan tebal 20 mm, diuji dengan
prinsip Third Point Loading. Kuat lentur ferosemen ini dipengaruhi oleh beberapa
parameter seperti tipe kawat, ukuran kawat dan volume fraksi tulangan serta jumlah
lapisan kawat dalam struktur ferosemen.

Gambar 3 Respon ferosemen terhadap lentur

Keterangan gambar :
1. Pada bagian OA, respon ferosemen terhadap lentur masih bersifat linier yang
menunjukkan belum terjadi retak.
2. Retak mulai terjadi pada titik A dengan nilai momen tetap (bagian AB).
3. Bagian BC masih bersifat linier elastis tetapi sudah terjadi retak dan mulai terjadi
leleh pada titik C.
4. Posisi CD menunjukkan respon ferosemen bersifat non-linier dan berada pada posisi
plastis.
5. Akibat penambahan beban, akhirnya momen maksimum tercapai pada titik D.
Setelah momen nominal tercapai, ferosemen akan mengalami keruntuhan di titik E.

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

D. Ketahanan Ferosemen terhadap Fatigue


Perilaku mendasar fatigue suatu material biasanya dengan beban berulang pada
amplitudo beban konstan.
Hasilnya dinyatakan dalam grafik tegangan-jumlah
perulangan bila tegangannya dibatasi atau dalam bentuk grafik deformasi-jumlah
perulangan bila deformasinya yang dibatasi. Pengujian fatigue panel ferosemen akibat
beban lentur dengan tegangan tetap (Gambar 4) menunjukkan indikasi terjadinya
kehilangan kekakuan (rigidity) benda uji sejalan dengan perulangan beban. Ketahanan
ferosemen terhadap fatigue dipengaruhi oleh ketahanan fatigue dari kawat jala
penyusunnya (Naaman,2000).

Gambar 4 Grafik beban-lendutan akibat beban berulang

Gambar 5 menunjukkan grafik variasi lebar retak dalam fungsi jumlah perulangan untuk
pengujian lentur akibat beban berulang. Laju lebar retak cenderung landai pada
perulangan beban pertama hingga kurang lebih 70 % dari umur layan. Setelah batas ini
terlampaui, kecepatan lebar retak menjadi semakin besar hingga keruntuhan total benda
uji.

Gambar 5 Lebar retak akibat beban berulang

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

3.

Rumah Ferosemen

3.1. Perkembangan Rumah Ferosemen


Ferosemen merupakan teknologi yang tepat untuk membangun perumahan di negaranegara berkembang, kelebihannya adalah kemudahan dalam membangun dan
terbentuk rumah ferosemen yang nyaman. Rumah ferosemen menggunakan material
lokal seperti kayu dan bambu sebagai pengganti tulangan baja, seperti yang sudah
dibangun di Bangladesh, Indonesia dan Papua New Guinea. Elemen ferosemen
pracetak untuk atap, dinding, dan pagar telah banyak digunakan di India, Philipina,
Malaysia, Brazil, Papua New Guinea, dan Venezuela. Di India, kubah piramid pada
bagian atas candi dan kubah masjid dapat dibangun dengan menggunakan ferosemen.
Pilihan ini didasarkan pada berat struktur ferosemen yang ringan, tidak memerlukan
bekisting, dan tidak membutuhkan tenaga ahli untuk mengerjakannya. Beberapa bentuk
rumah yang dibangun dengan ferosemen dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Bentuk rumah frosemen dengan system pelepaan ditempat

3.2. Ketahanan Rumah Ferosemen Terhadap Beban Dinamis


Olvera et al (1998) telah membangun rumah pracetak ferosemen berukuran 36 m2
sebanyak 450 unit di Tabasco dan 750 unit di Hermosillo (Sonora) Mexico dimana
daerah tersebut seringkali terjadi gempa bumi dengan intensitas lebih dari 5 SR. Setelah
22 tahun dibangun dan mengalami beberapa kali gempa bumi, rumah tersebut masih
berfungsi dan masih layak digunakan.
Penelitian tentang ketahanan bangunan

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

ferosemen akibat gempa sudah dilakukan oleh Fernandez and Cano (2001). Bangunan
ferosemen satu lantai seluas 16 m2 diletakkan di atas pelat beton tipis yang dapat
berotasi terhadap ke arah vertical. Dengan bantuan hidrolic jack dan batang kayu
sebagai pengungkit, bangunan dimiringkan 15 derajat ke arah Selatan dan kemudian
dikembalikan secara bertahap. Setiap kemiringan 2,5 derajat, deformasi yang terjadi
diukur dengan micrometer. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pengujian masih
dalam batas elastis. Hal ini menunjukkan bahwa bangunan ferosemen ini tahan
terhadap beban gempa.
Ketahanan ferosemen terhadap beban dinamis juga telah dibuktikan di negara bagian
Florida U.S.A berupa rumah kubah ferosemen yang tahan terhadap beban angin taufan
(Adajar et. Al. 2006). Menurutnya kesatuan struktur ferosemen dan kemudahan dalam
perbaikannya memungkinkan ferosemen digunakan untuk bahan pembuatan rumah di
Florida yang sering terjadi angin taufan.

Gambar 7 Rumah ferosemen berbentuk dome tahan terhadap angin taufan

3.3. Rumah Ferosemen Pracetak


Rumah ferosemen pracetak memiliki banyak keunggulan dibandingkan rumah
konvensional berbahan kayu atau dinding batu bata. Menurut Olvera et. al (1998) rumah
ferosemen pracetak bila ditinjau dari fisik struktur, lebih kuat karena diberi tulangan jala
(mesh) di seluruh bagian elemennya dan lebih ringan karena dimensi elemen yang tipis.
Bila dinding rumah dibuat dari ferosemen pracetak selain berfungsi sebagai pembatas
juga berfungsi menahan beban kombinasi antara beban aksial dan beban lentur (Helmi
dan Alami,2006b) Bila ditinjau dari waktu pelaksanaan, rumah ini lebih cepat untuk
didirikan karena pabrikasi elemen menggunakan mesin dan perangkaiannya
menggunakan sistem sambungan. Oleh karena itu rumah pracetak ini sangat cocok
untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal dalam waktu singkat seperti bagi para
pengungsi akibat bencana alam (Helmi dan Alami, 2006a).
Rumah ferosemen pracetak (RFP) sudah dikembangkan di beberapa negara. RFP
berukuran 36 m2 telah dibangun sebanyak 450 unit di Tabasco dan 750 unit di
Hermosillo (Sonora) Mexico (Olvera et al 1998). Rumah tersebut memiliki 2 kamar, 1
dapur, 1 kamar mandi, dan 1 ruang keluarga yang disusun dari 85 panel ferosemen

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

berpenampang kanal.. Dengan jumlah tenaga 350 orang yang telah dilatih selama 15
hari, panel yang diproduksi sebanyak 350 unit perhari atau setara dengan 4 rumah
setiap harinya. Setelah 22 tahun konstruksi, rumah tersebut masih berfungsi dan masih
layak digunakan.
Menurut Osorio and Rivas (1998) teknologi diperlukan untuk produksi panel ferosemen
mulai dari pencetakan hingga perangkaiannya. Dengan terapan teknologi maka
konstruksi rumah ferosemen pracetak jauh lebih ekonomis. Sebagai perbandingan untuk
membangun lantai seluas 88 m2 dengan 6 orang tenaga dan dibantu alat pengaduk
beton, maka dibandingkan terhadap konstruksi beton bertulang, konstruksi ferosemen
pracetak jauh lebih ekonomis dengan rincian : baiaya total 73 %, lama konstruksi 33 %,
berat total 39 %, volume material 40 %, dan berat total baja 71 %. Dengan demikian
teknologi panel pracetak ferosemen cukup murah, ramah lingkungan, memerlukan
tenaga sedikit, tidak kaku, ringan, sederhana, dan mudah dipindahkan. Teknologi ini
memiliki nilai kompetitif dan sangat cocok untuk negara berkembang.
Alternatif bentuk struktur ferosemen pracetak untuk rumah murah dikemukakan oleh
Machado (1998) berupa panel tipe sandwich dimana pada 2 permukaan panel berupa
ferosemen dan pada bagian tengahnya berupa gabus kaku (polyurethane rigid foam).
Hubungan antar panel menggunakan ferosemen pracetak dengan penampang sesuai
kebutuhan ( sambungan T, sambungan menerus, sambungan sudut, atau sambungan
menyilang). Prototipe rumah yang dari panel jenis ini berukuran 24,5 m2 yang dibentuk
dari 44 unit panel sandwich dan 50 unit sambungan. Konstruksi rumah dengan system
panel sandwich ini memungkinkan untuk berkembang ke arah horizontal sesuai dengan
kebutuhan ruang.
Rumah ferosemen pracetak juga dikembangkan Adajar et. al. (2006) di Florida U.S.A.
Dinding rumah dan penutup atap digunakan ferosemen pracetak sedangkan lantai dan
kerangka atap dibuat ditempat tanpa cetakan.

Gambar 8 Rumah ferosemen dengan system pracetak

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

3.4. Rumah Ferosemen Pracetak Unila (RFP Unila)


Model RFP Unila berbentuk rumah sederhana berukuran 6,84 m x 5,44 m dengan tata
ruang : 1 ruang tamu/keluarga, 2 kamar tidur, 1 km/wc, dan 1 dapur + ruang makan.
RFP Unila ini direncanakan akan menggunakan pondasi batu kali, dinding panel
ferosemen, kusen/daun untuk pintu/jendela dari kayu, dan atap berupa baja ringan
zincalume. RFP Unila dibangun secara bertahap seperti diilustrasikan pada Gambar 8.

Gambar 9 Model Rumah Ferosemen Pracetak Unila

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

10

4. Daftar Pustaka
1. Adajar,J.C., Hogue,T., and Jordan, C. 2006. Ferrocement for Hurricane Prone State
of Florida. Paper on Structural Fault+Repair-2006 Conference. Edinbourg-Scotland
UK. June 13-15.
2. Committee 549. 1993. State-of-the-Art Report on Ferrocement. American Concrete
Institute (ACI) 549R-93.
3. Djausal, A., Sukardi, S., Alami, F., and Helmi, M. 2001. Ferrocement in Indonesia:
Its Aplication and potentials. Journal of Ferrocement . IFIC Bangkok, Vol. 31 No.4 ,
October. pp 311-318
4. El Debs, M.K., Machado, E.F. Jr., Hanai, J.B. and Takeya,T. 1998. Ferrocement
Sandwich Walls : Research Projects By The Sao Carlos Group (Brazil). Proceeding
of the Sixth International Symposium on Ferrocement. University of Michigan,
Michigan, USA. June. pp. 493 506.
5. Fernandez, A. and Cano, F. 2001. Seismic Characteristic Of Low-Cost Ferrocement
Monolithic Housing. Journal of Ferrocement . IFIC Bangkok, Vol. 31 No.2 , April. pp
137-142.
6. Helmi, M., dan Alami, F. 2006a. Potensi Struktur Ferosemen untuk Rumah Pracetak.
Proceeding Seminar Nasional Teknologi Beton dalam Rekayasa Konstruksi. Bandar
Lampung, Maret.
7. Helmi, M., dan Alami, F. 2006b. Sifat Mekanika Panel Ferosemen Akibat Gaya
Tekan dan Gaya Lentur. Laporan Penelitian Dosen Muda. Dikti.
8. Machado, E.F Jr.. 1998. Building System For Low-Cost Ferrocement Housing.
Proceeding of the Sixth International Symposium on Ferrocement, Edited by A.E.
Naaman. University of Michigan, Michigan, USA. June. pp. 129 138.
9. Naaman, A.E. 2000. Ferrocement & Laminated Cementitious Composites . First
edition. Techno Press 3000. Michigan. P 372.
10. Naaman,AE., Balaguru,P., Nassif,H.,Pama,R., Tatsa,E., Austriaco,LR., Hanai,JB.,
Nedwell,P., and Paramasivam,P. 2001. Ferrocement Model Code. IFIC. Bangkok.
87 pp.
11. Olvera L.A., Olvera. F., Martinez. R., Almeida. F., Olvera A.E., and Gallo G., 1998.
Application of Prefabricated Ferrocement Housing in Mexico. Proceeding of the
Sixth International Symposium on Ferrocement, University of Michigan, Michigan,
USA. June. pp. 95 108.
12. Osorio S.M., and Rivas H.W. 1998. Technology for Fabrication and Assembling of
Light Ferrocement Panels. Proceeding of the Sixth International Symposium on
Ferrocement, University of Michigan, Michigan, USA. June. pp. 119 128.
13. Rahooja, E.R. 2006. Alternate and Low Cost Construction Materials & Techniques
Developed Through R&D Efforts at Council for Works and Housing Research.
Proceeding of the 2nd International Conference on Construction Industry-ICCI.
Pakistan. August 29.
14. Sun. N.C, dkk 1985. Development of A Prefabricated Ferrocement Housing
System. Proceeding of the Second International Symposium on Ferrocement.
Bangkok, Thailand.

Seminar dan Pameran HAKI 2007 - KONSTRUKSI TAHAN GEMPA DI INDONESIA

11

Anda mungkin juga menyukai