Anda di halaman 1dari 37

Radium

Sifat-Sifat Radium
Sifat Fisika
Radium (88Ra) merupakan unsur logam radioaktif dan berwujud padat

pada suhu kamar. Radium murni berwarna putih keperakan namun mudah
teroksidasi di udara menjadi hitam. Radium mempunyai tingkat radioaktivitas
yang tinggi dan dapat memancarkan cahaya (self-luminous). Radiasi yang
dipancarkan radium juga dapat menyebabkan bahan-bahan tertentu seperti fosfor
untuk mengeluarkan cahaya. Radium memiliki keradioaktifan sekitar satu juta kali
lipat dari keradioaktifan uranium dengan massa yang sama. Karena sangat
radioaktif, radium menjadi logam yang sangat berbahaya. Radiasi dari radium lah
yang menyebabkan Marie Curie meninggal dunia. Peluruhan dari radium ( 226Ra)
menghasilkan radon (222Rn) dan mengemisikan partikel alfa serta sebagian kecil
sinar gamma.
Sifat-sifat fisika radium yang lain adalah:

Konfigurasi elektron
Bilangan oksidasi
Massa jenis
Titik lebur
Titik didih
Kalor peleburan
Kalor penguapan
Jari-jari atom
Energi ionisasi
Elektronegativitas
Potensial oksidasi
Struktur kristal
Sifat magnetik

: 2, 8, 18, 32, 18, 8, 2


:2
: 5,5 g/cm3
: 973 K (700 oC)
: 2010 K (1737 oC)
: 8,5 kJ/mol
: 113 kJ/mol
: 215 pm
: pertama 509,3 kJ/mol ; kedua 979,0 kJ/mol
: 0,9 skala pauling
: + 2,90 volt
: cubic centered body
: non-magnetik

Sifat Kimia
Radium merupakan unsur alkali tanah yang paling berat. Sifat-sifat
kimianya hampir sama dengan unsur barium (Ba) sehingga sulit untuk

memisahkan radium dengan barium. Senyawa-senyawa dari radium memberikan


warna nyala api dari merah sampai keunguan. Radium bereaksi dengan udara,
reaksinya antara lain:
2 Ra (s) + O2 (g) 2 RaO (s)
Ra (s) + O2 (g) RaO2 (g)
3 Ra (s) + N2 (g) Ra3N2 (s)
Ra3N2 membuat warna radium menjadi kehitaman setelah bereaksi dengan udara.
Selain itu radium juga bereaksi hebat dengan air dan minyak membentuk
radium hidroksida yang larut serta gas hidrogen:
Ra(s) + 2 H2O(g) Ra(OH)2(aq) + H2(g)
Radium hidroksida lebih volatil (mudah menguap) jika dibandingkan dengan
barium hidroksida.
Ion radium dalam air tidak berwarna, membuat garamnya berwarna putih
saat awal terbentuk, kemudian warnanya menjadi kuning dan akhirnya berwarna
gelap akibat terdekomposisi dan memancarkan partikel alfa.
Isotop
Radium memiliki 25 isotop yang telah diketahui. Di antaranya hanya 4
isotop yang sering ditemukan di alam yaitu

223

Ra,

224

Ra,

226

Ra, dan

228

Ra. Isotop-

isotop tersebut dihasilkan dari peluruhan unsur Uranium (92U) dan Thorium (90Th).
226

Ra merupakan isotop yang paling melimpah dan memiliki waktu paruh paling

lama (1602 tahun) dihasilkan dari peluruhan

238

U. Selanjutnya

waktu paruh 5,8 tahun dihasilkan dari peluruhan

228

Ra memiliki

232

Th. Dua isotop lainnya

memiliki waktu paruh yang sangat pendek sekali sehingga jarang ditemukan, 223Ra
11,4 hari dan

224

Ra 3,7 hari.

228

Ra sering disebut sebagai mesothorium I,

223

Ra

sering disebut sebagai actinium X, dan 224Ra sering disebut sebagai thorium X.
Selain isotop yang terdapat di alam, radium juga memiliki isotop yang
merupakan hasil sintesis. Hingga sekarang terdapat 33 isotop radium yang
berhasil disintesis yang memiliki nomor massa 202-234. Isotop hasil sintesis

merupakan isotop yang sangat tidak stabil dan memiliki peluruhan yang sangat
cepat.
Radium kehilangan 1% dari aktivitasnya dalam 25 tahun, membuatnya
mengalami peluruhan menjadi unsur-unsur yang lebih ringan dengan produk akhir
sebagai timbal (Pb). Satuan internasional dari radioaktifitas adalah becquerel (Bq)
senilai dengan 1 dps (disintegration per second). Selain itu juga terdapat satuan
curie (bukan satuan standar) yang mendefinisikan radioaktifitas setara dengan laju
disintegrasi 1 gram Ra-226 (3,7 x 1010 disintegration per second atau 37 GBq).

Persenyawaan Radium
Dikarenakan

waktu

paruhnya

yang

pendek

serta

intensitas

radioaktifitasnya yang besar, senyawa radium cukup jarang ditemukan.


Kebanyakan senyawa radium terdapat dalam bijih uranium. Senyawa dari radium
yang paling banyak ditemukan dari bijih uranium (pitchblende) adalah radium
klorida.
Radium Klorida (RaCl2)
Radium

klorida

merupakan

padatan

berwarna

putih

dan

dapat

memancarkan cahaya berwarna biru-kehijauan. Kelarutannya dalam air lebih kecil


jika dibandingkan dengan senyawa klorida dari logam alkali tanah yang lain.
Padatan radium klorida biasanya diperoleh dalam bentuk radium klorida dihidrat,
RaCl2.2H2O. Untuk mendapatkan radium klorida anhidrat pelu dilakukan
pemanasan di udara pada suhu 100oC diikuti dengan pemanasan dalam gas argon
pada suhu 520oC selama 5 1/2 jam.
Kegunaan dari radium klorida adalah untuk pemisahan logam radium dari
logam barium dengan memanfaatkan kelarutannya yang rendah. Pada bidang
kesehatan, digunakan untuk memproduksi gas radon yang dulunya digunakan
untuk pengobatan kanker.

Selain

radium

klorida,

radium

juga

ditemui

dalam

bentuk

persenyawaannya dengan halida lain seperti radium bromida (RaBr2) dan radium
iodida (RaI2), namun sifat-sifatnya serta kegunaannya masih belum banyak
diketahui. Senyawa radium oksida (RaO) dan radium nitrida (Ra 3N2) merupakan
senyawa yang dihasilkan jika radium terekspos di udara. Sedangkan senyawa
radium hidroksida (RaOH2) dihasilkan dari reaksinya dengan air. Radium
hidroksida lebih mudah larut jika dibandingkan dengan hidroksida dari alkali
tanah

lainnya,

membuatnya

dapat

dipisahkan

dengan

cara

presipitasi

menggunakan larutan amonia (NH3).


Senyawa radium halida, radium hidroksida, dan radium nitrida larut dalam
air. Sedangkan senyawa atau garam lainnya yang dihasilkan dari radium
merupakan garam yang sukar larut, diantaranya adalah radium sulfat (RaSO4),
radium kromat (RaCrO4) dan radium karbonat (RaCO3).
3

Penggunaan Radium
Pada awalnya radium bersama fosfor digunakan sebagai cat pada jam

dinding,

jam

tangan,

dan

tombol

pada

alat-alat

instrumental

dengan

memanfaatkan sifatnya yang dapat menyala dalam gelap. Namun pada


pertengahan tahun 1920 terjadi kasus kematian 5 orang gadis yang mengenakan
jam radium tersebut (radium girl), sehingga pamakaiannya dihentikan.
Radium juga pernah digunakan sebagai zat aditif pada beberapa produk,
seperti pasta gigi, krim rambut, dan bahkan pada makanan, karena dianggap dapat
menyembuhkan (seperti air radium atau radithor). Namun penggunaan radium
tersebut tidak bertahan lama dan banyak negara melarang penggunannya karena
telah terungkap dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang serius.
Pada akhir tahun 1940 an penyinaran radium digunakan pada anak-anak
untuk mengatasi masalah pendengaran dan mencegah pembesaran tonsil/amandel.
Setelah itu radium banyak digunakan pada bidang medis atau kesehatan untuk
memproduksi gas radon untuk proses radioterapi dalam mengobati kanker.

Radioterapi merupakan jenis terapi yang menggunakan radiasi tingkat tinggi


untuk menghancurkan sel-sel kanker.
Di Indonesia sendiri banyak menggunakan Radium-226 sebagai sumber
radiasi yang dipakai dalam brachyteraphy. Brachyteraphy adalah suatu radioterapi
dengan zat radioaktif sebagai sumber radiasinya. Brachyteraphy dilakukan dengan
cara penyinaran

pada jarak sangat dekat, bahkan pada kondisi tertentu sumber

radiasi dimasukkan kedalam tubuh pasien. Biasanya digunakan untuk terapi


kanker leher rahim.
Aplikasi radium dalam medis dan industri biasanya terbungkus dalam
platina, platina-iridium atau paduan lainnya dan bahkan kadang-kadang dalam
emas. Bentuk seperti ini biasanya disebut jarum atau kapsul tergantung dari
penggunaannya. Bentuk jarum mempunyai diameter 1,7 mm dan panjang 15 - 20
mm sedangkan kapsul mempunyai diameter 3 mm dan panjang 20 -25 mm. Untuk
penggunaan khusus dalam dunia medis dapat menggunakan jarum dengan ukuran
sampai 60 mm dan biasa disebut cell. Cell ini berisi jarum yang mempunyai
diameter 0,8 mm dan panjang 15 - 45 mm.
Untuk keperluan medis, radium yang digunakan mempunyai aktivitas
maksimum 4 GBq (100 mg) dengan aktivitas rata-rata sumber sekitar 200 MBq
(5,6 mg) untuk yang berbentuk jarum dan sekitar 260 MBq (7mg) untuk yang
berbentuk kapsul. Sedangkan untuk pemakaian non medis, radium digunakan
dalam aktivitas yang lebih tinggi, misalnya sumber neutron Ra-Be mempunyai
aktivitas sekitar 20 GBq (5000 mg) dan pemakaian lainnya sekitar 40 GBq (1000
mg).

Bahaya Radium
Radium adalah senyawa yang sangat radioaktif, jauh melebihi uranium.

Oleh karena itu bahayanya juga akan lebih besar daripada bahaya radiasi logam

uranium. Pada peluruhannya, radium mengemisikan partikel alfa yang dapat


merusak dan memutasi sel. Radium juga mengemisikan sinar gamma meskipun
hanya sedikit sekali.
Berdasarkan sumber, bahaya dari radium sebenarnya telah dirasakan sejak
pertama kali ditemukan. Pada tahun 1898 Becquerel mengantongi radium dalam
tabung yang telah disegel. Sebagai hasilnya dia mendapatkan luka bakar pada
dadanya yang kemudian meninggalkan bekas luka. Selain itu Marie Curie juga
mendapatkan luka yang sama setelah mengangkat kotak logam tipis yang berisi
tabung radium.
Pada tahun 1903, radiasi sinar gamma digunakan untuk sterilisasi
(pemandulan) kelinci dan babi. Efek tersebut juga berdampak sama terhadap
manusia, yaitu menyebabkan kemandulan bagi laki-laki dan mengurangi
kesuburan perempuan. Pada tahun 1904 terdapat lebih dari 100 kasus yang
menyebutkan radiasi radium menyebabkan katarak pada mata manusia.
Bahaya dari radiasi logam radium masih banyak sekali, diantaranya
merusak sel darah dan menyebabkan anemia, leukopenia maupun leukemia. Pada
awal tahun 1922 terdapat sekitar 100 kasus kematian ahli radiologi (radiologist)
akibat menderita kanker.
Pada tahun 1920an para dokter gigi menemukan fenomena Radium Jaw
beberapa ribu pekerja di pabrik cat radium. Gigi dari para pekerja itu rusak
dengan cepat, menjadi lunak dan keropos, dan kemudian pecah. Kemudian
seorang ahli forensik bernama Harrison Martland menyebutkan bahwa fenomena
Radium Jaw tersebut disebabkan oleh radium yang terdapat dalam pasta gigi.
Selain itu radium dapat menyebabkan kanker tulang. Hal itu disebabkan
oleh sifatnya yang menyerupai kalsium sehingga menggantikan posisi kalsium di
tulang yang mengakibatkan kanker.

Autopsi menunjukkan radium dapat

mengakibatkan kanker tulang dengan kadar 10 180 mikrogram di dalam tulang


(jumlah yang tidak tampak oleh mata).

Radium yang pernah dianggap sebagai obat dengan produk air radium
(radithor) juga telah berhasil membunuh konsumennya, yaitu Eben Byers pada
tahun 1927. Kejadian tersebut menimbulkan kecemasan publik, namun radium
masih tetap digunakan sebagai zat aditif makanan dan minuman pada saat itu.
Pada sekarang ini penggunaan radium hanya terbatas untuk radioterapi
para penderita kanker, karena daya rusaknya mampu menghancurkan sel-sel
kanker. Penggunaan radiasi tersebut juga dilakukan dengan intensitas tertentu
sesuai dengan jenis kanker yang diderita, sehingga tidak menimbulkan bahaya
bagi pasien. Meski begitu pengobatan dengan cara demikian masih menimbulkan
efek samping antara lain berupa kelelahan, reaksi kulit (kering, memerah, nyeri,
perubahan warna, dan ulserasi), penurunan sel darah, kehilangan nafsu makan,
diare mual, dan muntah. Kebotakan bisa saja terjadi tetapi hanya pada area yang
terkena radioterapi. Berbagai efek samping yang ditimbulkan tersebut masih
dinilai wajar, dikarenakan metode penyembuhan kanker yang dilakukan tersebut
melibatkan zat radioaktif yang sangat berbahaya, yaitu radium.

Pengelolaan Limbah Bekas Radium

Pengelolaan sumber bekas radium meliputi beberapa tahapan, seperti pada skema
yang disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Tahapan Pengelolaan Sumber Bekas Radium [2]


5.1. Preparasi Awal dan Pengepakan
Sumber bekas radium harus dipersiapkan (preparasi) terlebih dahulu untuk
pengangkutan ke fasilitas kondisioning. Preparasi meliputi kompilasi data sumber
bekas radium, kontrol penanganan dan pengepakan. Riwayat sumber bekas dapat
diperoleh dari pemilik sumber dan data ini diperlukan pada pengelolaan sumber
tersebut. Personil yang menangani preparasi dan pengangkutan harus memenuhi
kualifikasi dan pekerjaan yang dilakukan harus memenuhi standar jaminan mutu.
Adapun data-data penting dari sumber tersebut adalah [3]:

Pemasok sumber

Waktu produksi

Aktivitas radionuklida

Bentuk fisika dan kimia

Dimensi dan geometri sumber

Hasil dan waktu pengujian kebocoran

Pengguna sumber

Pengukuran dosis paparan radiasi

Detail shielding

Berat total (termasuk shielding)

Informasi dosis paparan radiasi pada jarak tertentu (biasanya 1 m) sangat penting.
Kontrol integritas sumber dapat dilakukan dengan inspeksi fisik dan monitoring
disekitar sumber terhadap emanasi gas radon dan kontaminasi permukaan.
Semua hal yang akan dilakukan terhadap sumber bekas tersebut harus telah
direncanakan

sebelum

dilakukan

penanganan.

Sumber

harus

ditangani

menggunakan gunting atau tang panjang dan jangan sekali-kali kontak dengan
tangan secara langsung Seluruh operasional penanganan sumber bekas harus
dilakukan didaerah yang terkontrol. Daerah sekitar sumber memerlukan
pengukuran kontaminasi selama dan setelah penanganan sumber bekas.
Jika didapati adanya kebocoran pada sumber bekas radium, maka sumber tersebut
harus segera dipindahkan kedalam kontainer yang sesuai sebelum kemudian
dilakukan pengepakan untuk pengangkutan. Disarankan sumber ditempatkan
dalam kapsul seperti wadah pada saat kondisioning nanti, kalau perlu disegel
untuk sementara.

Jika hal ini tidak memungkinkan, maka sebaiknya sumber ditempatkan dalam
kaleng metal yang sederhana yang kemudian disegel untuk mencegah penyebaran
kontaminan. Ukuran kaleng diupayakan seminimal mungkin.
5.2. Pengangkutan
Seringkali sumber-sumber bekas radium disimpan sementara ditempat pengguna
(rumah sakit, lembaga penelitian, industri dan sebagainya) dan kemudian harus
diangkut ke fasilitas kondisioning. Pengangkutan sumber harus dilakukan oleh
personil yang berpengalaman dalam bidang pengangkutan bahan radioaktif dan
harus memenuhi peraturan national dan internasional tentang pengangkutan.

Sebelum pengangkutan sumber bekas radium dilakukan harus dipastikan bahwa


tingkat radiasi dan kontaminasi berada dalam batas yang diperkenankan. Jika
pengangkutan dilakukan hanya dalam 1 negara maka peraturan pengangkutan
nasional yang harus dipakai sebagai acuan. Namun jika pengangkutan melibatkan
2 atau lebih negara maka peraturan setiap negara yang terkait harus
diakomodasikan. Sangat penting untuk memenuhi setiap persyaratan sebelum
dilakukan pengangkutan. [3]
5.3. Kondisioning
Dalam rangka meminimalkan pengangkutan bahan radioaktif akan lebih baik jika
kondisioning dan penyimpanan sementara sumber bekas radium dilakukan di
fasilitas yang sama. Kondisioning harus mempertimbangkan fakta bahwa kriteria
penerimaan pada pengelolaan sumber bekas radium yang telah terkondisioning
untuk masa depan belum spesifik. Oleh karena itu sebaiknya mempertimbangkan
ide retrievability dan reversibility, sehingga teknik kondisioning diupayakan tidak
menyulitkan penanganan suatu saat nanti, misalnya harus dihindari kesulitan atau
biaya yang tinggi untuk rekondisioning sumber bekas tersebut. Perlu dihindari
pengolahan sumber bekas radium dengan langsung imobilisasi dalam matriks
tertentu (semen) karena hal ini dirasa belum tentu kompatibel dengan langkah
pengolahan dimasa mendatang. Oleh karena itu kondisioning harus dilakukan
dengan prinsip kemudahan membongkar kembali sumber tersebut dimasa
mendatang.
Reduksi volume yang biasa dilakukan untuk pengelolaan sumber bekas yang
direkomendasikan secara praktis adalah dengan melepaskan sumber dari
tempatnya.
Kondisioning sumber bekas radium diperlukan sebelum penyimpanan jangka
panjang. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah lepasnya bahan radioaktif dan
untuk meminimalkan paparan radiasi. Direkomendasikan bahwa pengungkungan
sumber bekas tersebut dilakukan dengan enkapsulasi yang mempunyai tingkat

integritas yang tinggi sehingga dapat mengatasi masalah emanasi gas radon yang
timbul dari peluruhan Ra-226 tersebut. Paparan radiasi harus seminimal mungkin
dengan shielding yang tepat. Kontainer shielding harus didisain untuk
memaksimalkan keamanan sumber. Adapun proses kondisioning dilakukan
dengan tahapan seperti skema yang disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Skema Pengelolaan Sumber Bekas Ra-226 [1]


Proses kondisioning didalam fasilitas pengolahan limbah diawali dengan
pendataan dan inventarisasi sumber bekas Ra yang akan diolah. Sumber bekas Ra
dipindahkan dari tempat penyimpanan sementara limbah ke fasilitas pengolahan.
Di dalam glove box dilakukan pemilahan pemuatan sumber bekas Ra ke dalam
kapsul stainless steel. Disini dilakukan penimbangan setiap sumber bekas Ra yang
akan dimasukkan ke dalam kapsul sehingga terpenuhi persyaratan aktivitas atau
berat setiap kapsul. Dalam masa peluruhannya sumber bekas Ra akan
mengeluarkan gas Radon sehingga kapsul stainless steel harus dilas rapat. Untuk
meminimalkan paparan radiasi, pengelasan dilakukan dalam wadah Pb. Untuk

menjamin tidak ada kebocoran gas radon dari dalam kapsul maka dilakukan uji
kebocoran pada setiap kapsul yang berisi sumber bekas Ra dan yang telah dilas.
Media untuk pengujian kebocoran digunakan larutan glycol dengan sistem
vacuum. Kapsul yang lolos dari pengujian kebocoran selanjutnya dimasukkan ke
dalam Long Term Storage Shield (LTSS) yang terbuat dari Pb dengan maksud
untuk meminimalkan paparan radiasi yang cukup tinggi. Gambar 3 menyajikan
bentuk kapsul stainless steel, pengelasan kapsul dalam wadah Pb, LTSS dan
penempatan LTSS dalam shell drum 200 liter.[1]

Gambar 3. (A) Kapsul Stainless Steel, (B) Pengelasan Kapsul, (C) Long Term
Storage Shield (LTSS), (D) Penempatan LTSS dalam Shell Drum 200 Liter [1]
5.4. Penyimpanan Sementara
Penyimpanan sementara dapat dilakukan dengan 2 alternatif [3] :

Long Term Storage Shield dimasukkan dalam shell drum 200 liter
untuk kemudian disimpan di Tempat Penyimpanan Sementara Limbah
Aktivitas Rendah dan Sedang.

Long Term Storage Shield dimasukkan dalam drum stainless steel 60


liter untuk kemudian dimasukkan dalam lubang di Penyimpanan
Sementara Limbah Aktivitas Tinggi (PSLAT).

Pusat Penelitian Pengelolaan Limbah Radioaktif (P2PLR) telah melakukan


kondisioning sumber bekas radium. Sumber bekas radium berasal dari rumah
sakit yang merupakan bekas radioteraphy dan dari industri yang berasal dari bekas
pemakaian penangkal petir.. Berdasarkan atas saran expert IAEA penyimpanan
sementara hasil kondisioning dilakukan dengan mengambil alternatif pertama
yaitu memasukkan LTSS kedalam shell drum 200 liter dan kemudian disimpan
sementara di tempat Penyimpanan Sementara Limbah Radioaktif Aktivitas
Rendah dan Sedang.

Harus selalu dipertimbangkan ketahanan paket kondisioning termasuk tanda


identititas yang harus tetap jelas selama pereode penyimpanan atau lebih lama
lagi. Hal-hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa penyimpanan harus aman,
khususnya yang berkaitan dengan radiasi, kontaminasi, resiko kebakaran dan
keselamatan fisik lainnya dengan secara kontinyu dilakukan pengontrolan.
5.5. Pertimbangan Keselamatan

Pertimbangan faktor keselamatan senantiasa dilakukan dalam setiap langkah


pengelolaan limbah radioaktif termasuk pengelolaan sumber bekas radium -266,
yang dimulai sejak dari pengangkutan, proses kondisioning sampai dengan
penyimpanan sumber radiasi setelah kondisioning. Selama pengangkutan sumber
radiasi dan kontaminasi harus selalu berdasarkan pada batas yang aman sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam setiap langkah kegiatan, senantiasa dilakukan pembatasan radiasi sesuai
dengan prinsip ALARA. Oleh karena itu keberadaan shielding yang memadai
diperlukan selama kegiatan berlangsung. Penggunaan shielding dilakukan sejak
dari awal proses yaitu mulai dari preparasi sumber sampai penyimpanan sumber
setelah kondisioning. Pengelasan tabung yang berisi sumber bekas pada proses
kondisioning dilakukan dalam wadah Pb dngan ketebalan yang cukup dan setelah

selesai pengelasan, tabung ditempatkan dalam Long Term Storage Shield (LTSS)
yang juga terbuat dari Pb. Pembatasan paparan radiasi masih terus berlanjut
dengan penempatan LTSS pada shell drum yang juga berfungsi sebagai shielding
dari konkret. Hal ini semua dilakukan untuk meminimalkan paparan radiasi yang
ditimbulkan selama kegiatan. Shielding terhadap personil dilakukan dengan
pemakaian apron pada personil yang terlibat pada saat bekerja.

Tindakan pencegahan terhadap kontaminasi airborne yang kemungkinan dapat


masuk kedalam pernafasan, maka kegiatan kondisioning dilakukan dalam suatu
glove box yang berada dalam ruangan yang dilengkapi dengan hepa filter. Hal ini
dilakukan karena dalam masa peluruhannya sumber radium akan mengeluarkan
gas radon yang cukup berbahaya bagi kesehatan. Terkait dengan hal ini, maka
setiap personil yang terlibat pada kegiatan ini selalu menggunakan masker.

Monitoring personil dan daerah kerja selalu dilakukan sejak awal hingga akhir
kegiatan. Monitoring personil dilakukan dengan pemakaian dosimeter (film badge
maupum cincin) yang segera dievaluasi diakhir kegiatan. Seluruh kegiatan
dilakukan dalam daerah yang terkontrol yang selalu dilakukan monitoring
terhadap paparan radiasi maupun kontaminasinya. Smear test dan sampling udara
dilakukan untuk mengevaluasi kontaminasi dan airborne yang kemungkinan
timbul selama kegiatan.

Penyimpanan sementara sumber bekas radium yang telah terkondisioning


dilakukan ditempat penyimpanan sementara limbah radioaktif. Daerah ini didisain
termasuk dalam daerah yang terkontrol guna membatasi kemungkinan penyebaran
kontaminasi radioaktif dan meminimalkan paparan radiasi pengion, yang secara
tetap dan kontinyu dilakukan monitoring tingkat radiasi dan kontaminasinya..
Deteksi airborne dan kontaminasi permukaan dilakukan untuk mengetahui
kemungkinan adanya kebocoran sumber. Setiap personil yang memasuki daerah

ini diharuskan selalu memakai pelindung seperti baju kerja, shoe cover, dosimeter
maupun masker). Keamanan tempat penyimpanan antara lain dilakukan dengan
memasang monitor dan alarm dan penempatan sumber radiasi pada lubang yang
berada pada kedalaman sekitar 6 meter, sedangkan limbah radioaktif yang telah
terkondisioning ditemepatkan pada shell drum atau shell beton yang cukup berat.

Penyimpanan lestari sumber bekas radium sesuai dengan konsep penyimpanan


tanah dalam (underground repository) yang dapat berada pada kedalaman 500 1000 meter dibawah tanah.

Inilah pertimbangan keselamatan yang diupayakan IPLR dalam pengelolaan


limbah radioaktif maupun sumber radiasi bekas dengan harapan dapat melindungi
pekerja dan masyarakat terhadap pemanfaatan teknologi nuklir baik generasi saat
ini maupun generasi mendatang..

Uranium
Martin Klaproth adalah seorang kimiawan Jerman yang pertama kali
menemukan uranium pada tahun 1789 (Kidd, 2009). Uranium adalah unsur
terberat dari seluruh unsur alami, memiliki titik leleh yaitu 1132 oC dan tergolong
sebagai logam putih keperakan. Simbol kimia uranium adalah U (Cothern dan
Rebers, 1991). Uranium memiliki nomor atom 92, proton 92, elektron 92 dan
elektron valensi 6. Inti uranium mengikat 141 sampai 146 neutron.
Uranium alami yang ditemukan di kerak bumi terdiri dari tiga buah isotop
yaitu U-238 (99,275%), U-235 (0,720%) dan U-234 (0,005%). Dari ketiga isotop
tersebut yang memiliki sifat fisil adalah Uranium-235 (Kidd, 2009). Sedangkan
uranium-238 bersifat fertil, namun dapat pula bersifat fisil dengan cara
ditransmutasi menjadi plutonium-239. Uranium yang terkandung dalam batuan
phosphate diperkirakan 22 juta ton dan di air laut 4200 juta ton (Husna, 1998).
Uranium merupakan sumber energi dengan kelimpahan yang sangat besar. Meski
bukan termasuk energi yang terbarukan, uranium banyak digunakan sebagai
bahan bakar reaktor nuklir yang kemudian dimanfaatkan untuk produksi senjata
nuklir kemudian berkembang untuk pembangkit listrik.
1. Penambangan, Pemurnian dan Pengayaan
Uranium yang digunakan sebagai bahan bakar nuklir ditambang dalam
bentuk bijih uranium, kemudian dimurnikan untuk menghasilkan uranium alam.
Dalam uranium alam terkandung uranium dapat belah atau U-235 sebanyak 0,7%.
Agar reaksi berantai dapat berlangsung di dalam reaktor nuklir, dibutuhkan
uranium diperkaya yang mengandung U-235 sebesar 3-5%. Oleh karena itu,
uranium harus diproses di fasilitas pengayaan. Uranium heksafluorida (UF6)
merupakan salah satu senyawa uranium berbentuk gas pada temperatur kamar
yang digunakan sebagai bahan baku pada fasilitas pengayaan. Uranium berbentuk
padat pada suhu kamar harus dikonversi atau diubah menjadi UF6 . Konversi UF6
yang telah diperkaya menjadi UO2 untuk bahan bakar yang digunakan di reaktor
nuklir disebut konversi ulang.

2. Fabrikasi Bahan Bakar


Uranium dalam bentuk UO2 dimampatkan menjadi pelet. Selanjutnya pelet
UO2 ini disusun dan dimasukkan ke dalam kelongsong logam. Beberapa
kelongsong disusun menjadi bundel bahan bakar. Proses ini disebut fabrikasi
bahan bakar. Bundel bahan bakar dimasukkan ke dalam reaktor nuklir sebagai
bahan bakar.
3. Sifat Bahan Bakar Dalam Reaktor Nuklir
Di dalam reaktor nuklir, U-235 bereaksi dengan neutron termal dan
membelah menjadi inti lain dengan membebaskan 2-3 neutron baru dan
menghasilkan panas. Pada reaktor daya, panas yang dihasilkan digunakan untuk
mendidihkan air, uap yang dihasilkan digunakan untuk menggerakkan turbingenerator sehingga menghasilkan listrik. Neutron baru hasil pembelahan inti akan
bereaksi dengan inti U-235 lainnya dan seterusnya menimbulkan reaksi berantai.
Neutron yang bereaksi dengan U-238 akan membentuk plutonium (Pu-239).
Plutonium ini memiliki sifat yang sama dengan U-235, yaitu dapat membelah
setelah bereaksi dengan neutron untuk menghasilkan energi atau panas.
Unsur hasil belah semakin lama semakin banyak, hal ini akan berakibat
pada penurunan jumlah reaksi berantai karena mempunyai sifat menyerap
neutron. Untuk mencegah penurunan reaksi berantai dibutuhkan penggantian
bahan bakar. Proses penggantian dilakukan dengan mengeluarkan bahan bakar
lama kemudian diganti dengan bahan bakar baru. Bahan bakar yang telah
dikeluarkan dari dalam reaktor disebut bahan bakar bekas.
4. Bahan Bakar Bekas
Bahan bakar bekas disimpan di dalam kolam pendingin untuk jangka waktu
tertentu, kemudian dikirim ke fasilitas olah-ulang menggunakan wadah khusus.
Pengiriman bahan bakar bekas ke tempat penyimpanan antara lain dapat
menggunakan kapal laut yang didesain secara khusus.

5. Penyimpanan Sementara
Fasilitas penyimpanan sementara dibuat dengan tujuan untuk pengelolaan
bahan bakar bekas yang bersifat sementara sampai dilakukan proses olah-ulang.
Model penyimpanan bahan bakar bekas ada dua macam yakni cara basah (di
dalam air) dan cara kering (di dalam aliran gas helium atau udara). Penyimpanan
cara basah sudah dilakukan selama puluhan tahun dan teknologi ini sudah terbukti
aman, walaupun biaya operasi masih cukup besar. Untuk mengatasi masalah ini,
telah dikembangkan penyimpanan cara kering. Cara kering dibagi menjadi dua
macam bergantung pada lokasi penyimpanan, yaitu penyimpanan bahan bakar
bekas di dalam PLTN atau disebut At Reactor Storage (ARS) dan di luar PLTN
atau disebut Away From Reactor Storage (AFRS).
6. Fasilitas Olah-ulang
Bahan bakar bekas yang telah dikirim ke fasilitas olah-ulang disimpan di
dalam kolam penyimpanan selama jangka waktu tertentu (kira-kira 180 hari).
Bundel bahan bakar dilepas dan setiap kelongsong dipotong menjadi beberapa
sentimeter, kemudian potongan dikirim ke bagian lain untuk dilarutkan dengan
asam sulfat. Larutan yang terbentuk dipisahkan menjadi larutan yang mengandung
unsur hasil belah, uranium dan plutonium. Larutan yang mengandung unsur hasil
belah diproses sebagai limbah. Larutan yang mengandung uranium dan plutonium
dipisahkan dan masing-masing larutan dimurnikan di fasilitas pemurnian.
Kemudian larutan yang mengandung uranium dijadikan serbuk UO3 dan larutan
yang mengandung plutonium diubah menjadi larutan plutonium sulfat, dan
menjadi produk akhir fasilitas olahulang. Uranium dan plutonium yang dihasilkan
dari proses olah-ulang bahan bakar bekas di dalam fasilitas olahulang disebut
Uranium hasil olah-ulang dan Plutonium hasil olah-ulang.
7. Pemanfaatan Uranium
Hasil olah-ulang Uranium hasil olah-ulang mempunyai tingkat pengayaan
U-235 sekitar 0,8-1%, dan disebut pengayaan rendah karena masih mendekati
kadar U-235 dalam uranium alam. Untuk melakukan pengayaan UO2 hasil olah-

ulang diperlukan konversi ke UF6 sebagai bahan baku pengayaan. UF6 hasil
konversi, meskipun berkadar U-235 rendah tetapi biaya pengayaan masih lebih
rendah dibanding bahan baku uranium alam, sehingga sangat ekonomis.
Rangkaian proses pemanfaatan uranium hasil olah-ulang menjadi bahan bakar
baru disebut Daur Bahan Bakar Nuklir Tertutup.
8. Pemanfaatan Plutonium
Hasil olah-ulang Untuk memperoleh campuran Uranium Plutonium Oksida,
larutan plutonium sulfat dicampur dengan larutan uranium sulfat dan dipanaskan
menggunakan gelombang mikro. Campuran oksida kemudian dibuat menjadi
pelet dengan penekanan dan disusun ke dalam tabung kelongsong bahan bakar.
Kelongsong disusun menjadi bundel bahan bakar. Bahan bakar jenis ini disebut
dengan Bahan Bakar Campuran Uranium Plutonium Oksida (bahan bakar Mixed
Oxide/MOX). Bahan bakar MOX dapat digunakan sebagai bahan bakar reaktor
pembiak cepat (fast breeder reactor/FBR) dan untuk reaktor air ringan jenis
Plutonium-thermal.
9. Pengiriman Bahan Nuklir
Uranium diperkaya untuk kebutuhan percobaan di laboratorium dalam
jumlah kecil, dikirim dalam bentuk logam uranium atau plutonium oksida.
Uranium alam dikirim dalam bentuk yellow cake (serbuk kuning). Pengiriman
bahan bakar bekas hasil olah-ulang dapat dilakukan dengan menggunakan kapal
laut yang didesain secara khusus.
10. Proses Limbah Radioaktif
Limbah radioaktif yang dimaksud di sini adalah limbah yang dihasilkan dari
proses daur bahan bakar nuklir. Limbah radioaktif yang termasuk dalam
klasifikasi aktivitas tinggi dihasilkan dari pelarutan bahan bakar selama proses
olah-ulang. Kandungan utama limbah tersebut adalah larutan campuran bahan
nuklir dan unsur hasil belah. Setelah dipisahkan, larutan hanya mengandung unsur
hasil belah. Larutan kemudian dicampur dengan natrium boron oksida untuk

dipadatkan menjadi gelas melalui proses pemanasan dan pendinginan (vitrifikasi),


untuk selanjutnya disimpan selama 30-50 tahun di fasilitas penyimpanan
sementara, kemudian disimpan di tempat penyimpanan limbah lestari (Geological
Disposal).

Gambar 4. Daur Bahan Bakar Nuklir

Thorium
1. Sejarah Penemuan Thorium
Jons Berzelius adalah seorang kimiawan Swedia yang menemukan thorium
dalam bentuk kecil diantara batu dan tanah pada tahun 1828. Thorium adalah
logam alami yang bersifat radioaktif dengan kelimpahan yang besar yaitu tiga kali
lipat lebih banyak dari uranium. Pada keadaan murni thorium merupakan logam
putih keperakan yang berkilau. Apabila terkontaminasi oksigen, thorium perlahan
akan memudar di udara menjadi abu-abu kemudian hitam.
2. Pemanfaatan Thorium
Thorium merupakan sumber energi yang dapat digunakan sebagai bahan
bakar nuklir meskipun tidak bersifat fisil (Kidd, 2009). Thorium yang bersifat
fertil akan terlebih dahulu menyerap neutron lambat untuk menghasilkan
uranium-233 yang besifat fisil. Uranium-233 menghasilkan jumlah energi yang
sama dengan U-235 yaitu 200 M eV (Husna, 1998).
Penggunaan thorium sebagai bahan bakar nuklir lebih murah, lebih ramah
lingkungan dan lebih aman. Thorium lebih murah karena jumlah kelimpahannya
yang banyak dibanding uranium. Bahan bakar thorium lebih ramah lingkungan
karena mengurangi emisi gas CO2 dari sektor energi listrik (Wilson et al., 2008)
serta memiliki limbah radioaktif yang lebih sedikit dari uranium. Thorium
menghasilkan 0,5 kg plutonium sementara uranium menghasilkan 230 kg
Plutonium dari reaktor dengan kapasitas 1 GWe selama satu tahun beroperasi
(Kamei dan Hakami, 2011) dan lebih aman karena tidak memiliki isotop yang
bersifat fisil sehingga tidak cocok untuk produksi senjata nuklir (Wilson et al.,
2008).

3. Pengolahan Limbah Thorium


Thorium merupakan radionuklida berumur paro panjang dan dalam
peluruhannya menghasilkan gas thoron yang berbahaya bagi manusia, oleh karena
itu pengelolaan pradisposal limbah ini harus dilakukan dengan benar.
Kondisioning merupakan salah satu tahapan pradisposal yang dipilih untuk
pengolahan

limbah

yang

mengandung

thorium.

Kondisioning

termasuk

didalamnya imobilisasi limbah, pewadahan limbah dalam kontainer. Oleh karena


itu, sebaiknya mempertimbangkan ide retrievability dan reversibility, sehingga
teknik kondisioning diupayakan tidak menyulitkan penanganan suatu saat nanti.
Perlu dihindari juga pengolahan limbah dengan imobilisasi langsung dalam
matriks tertentu karena hal ini belum tentu kompatibel dengan langkah
pengolahan dimasa mendatang. Oleh karena itu, konsep kondisioning dilakukan
dengan mempertimbangkan fakta bahwa sampai dengan saat ini belum ada
kriteria yang spesifik dalam pradisposal limbah yang mengandung thorium,
sehingga kondisioning harus dilakukan dengan prinsip kemudahan membongkar
kembali kemasan limbah tersebut di masa mendatang. Kondisioning limbah
diperlukan sebelum disposal, hal ini dimaksudkan untuk mencegah lepasnya
bahan radioaktif ke lingkungan dan untuk meminimalkan paparan radiasi. Pusat
Teknologi Limbah Radioaktif telah melakukan kondisioning limbah yang
mengandung thorium dengan cara memasukkan limbah ke dalam drum polietilena
yang selanjutnya drum polietilena yang telah berisi limbah yang mengandung
thorium dimasukkan kedalam drum baja karbon. Rongga diantara drum
polietilena dan drum baja karbon diisi dengan beton dan dibagian atas drum
polietilena diberi arang aktif kemudian ditutup dan disimpan dalam tempat
penyimpanan sementara. Perlu diperhatikan degradasi kontainer limbah pada
penyimpan sementara. Berdasarkan hasil pemantauan dosis radiasi eksterna dan
interna serta pemantauan lingkungan terkait dengan pengelolaan pradisposal
limbah yang mengandung thorium ini, dapat disimpulkan bahwa keselamatan
pekerja terhadap bahaya radiasi masih dalam batas yang selamat (Aisyah, 2011).

Gambar 5. Skema proses pengelolaan limbah thorium


Proses kondisioning diawali dengan proses prakondisioning yaitu dengan
melakukan karakterisasi limbah seperti konsentrasi dan kandungan radionuklida
dalam limbah, kemudian penimbangan limbah dan penyiapan dokumen limbah.
Dilakukan juga penyiapan peralatan proteksi radiasi seperti Dosimeter
Termoluminesensi (TLD), masker, sarung tangan, shoecover dan lainnya, Hal ini
untuk memantau paparan radiasi yang diterima pekerja pada saat proses
kondisioning limbah thorium. Proses kondisioning dilakukan dengan cara
memasukkan limbah thorium dalam drum polietilena volume 120 liter, kemudian
drum polietilena yang telah berisi limbah thorium dimasukkan kedalam drum baja
karbon volume 200 liter. Rongga diantara drum polietilen dan drum baja karbon
ditambahkan lapisan beton (campuran pasir, semen dan koral) dan dibagian atas
drum polietilena diberi arang aktif dengan tebal sekitar 34 cm, kemudian drum
volume 200 liter baru ditutup. Arang aktif berfungsi untuk menyerap gas thoron
yang timbul dari peluruhan radionuklida thorium dalam limbah sehingga tidak
terlepas ke lingkungan. Pengelolaan limbah thorium dengan cara kondisioning

seperti ini masih dimungkinkan dan mudah untuk ditindak lanjuti dengan proses
lain jika ada kerusakan wadah atau jika ada teknik kondisioning lain.

Iodium-131 ( I-131 )
Iodium-131 ( I-131 ) merupakan salah satu dari sekian banyak isotop
radioaktif yang ada di bumi ini. I-131 merupakan radioisotop yang penting dari
unsur iodium. Radioisotop ada yang terdapat di alam yang disebut radioisotop
alami dan ada juga yang tidak ada di alam. Beberapa radioisotop tidak ada di alam
disebabkan waktu paro yang dimiliki terlalu singkat. Sedangkan, Iodium-131
merupakan radioisotop buatan karena isotop ini dapat dibuat di dalam
laboratorium (reaktor) dengan reaksi inti. Radioisotop ini dibuat di dalam suatu
reaktor nuklir yang mempunyai kerapatan (fluks) neutron tinggi dengan
mereaksikan antara inti atom tertentu dengan neutron. Selain itu, radioisotop dapat
juga diproduksi menggunakan akselerator melalui proses reaksi antara inti atom
tertentu dengan suatu partikel, misalnya alpha, neutron, proton atau partikel
lainnya.
1. Pemanfaatan Iodium-131
Bidang Kesehatan
Dalam ilmu kedokteran, I-131 digunakan untuk mendeteksi kerusakan pada
kelenjar gondok karena I-131 dapat diserap oleh kelenjar gondok tersebut. Pada
umumnya, I-131 juga digunakan dalam terapi pengobatan terhadap penyakit
"thyrotoxicosis" dan beberapa tipe kanker pada kelenjar gondok yang menyerap
iodium. Dari semua kegunaan I-131 dalam ilmu kedokteran, isotop ini dapat
merusak jaringan tubuh dengan memancarkan sinar beta dan sinar gamma. Iodium
yang terdapat dalam makanan akan diserap oleh tubuh kita dan akan
terkonsentrasi di kelenjar gondok, dimana Iodium sangat diperlukan dalam
menjalankan fungsi dari kelenjar tersebut. Apabila I-131 terdapat dalam jumlah
berlebih dalam lingkungan yang berasal dari kebocoran unsur radioaktif, zat
tersebut dapat mengkontaminasi makanan, dan juga akan menumpuk pada
kelenjar gondok. Dan saat zat tersebut meluruh, dapat merusak kelenjar gondok.
Resiko utama dari kehadiran I-131 dalam jumlah yang sangat banyak adalah dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit kanker pada kelenjar gondok di

kemudian hari. Ada metode yang dapat digunakan untuk mencegah penyakit yang
ditimbulkan oleh I-131, yaitu dengan mengonsumsi makanan yang mengandung
unsur nonradioaktif I-127 (Iodium stabil). Metode ini dapat digunakan untuk
mencegah kelenjar gondok kita untuk menyerap I-131.
Isotop I-131 digunakan sebagai terapi radioisotop langsung untuk
mengobati hipertiroidisme karena penyakit Grave's, dan nodul tiroid hiperaktif
(jaringan tiroid aktif abnormal yang tidak ganas). Penggunaan terapi ini untuk
mengobati hipertiroidisme dari penyakit Grave pertama kali dilaporkan oleh Hertz
Saul pada tahun 1941.
Isotop I-131 juga digunakan sebagai label radioaktif untuk radiofarmasi
tertentu

yang

dapat

metaiodobenzylguanidine

digunakan
(131

untuk

terapi,

misalnya

I-MIBG)

untuk

pencitraan

I-131dan

pheochromocytoma mengobati dan neuroblastoma. Dalam semua keperluan


terapeutik, I-131 menghancurkan jaringan dengan range radiasi beta-pendek.
Sekitar 90% dari kerusakan radiasi untuk jaringan adalah melalui radiasi beta, dan
sisanya terjadi melalui radiasi gamma (pada jarak yang lebih jauh dari radioisotop
tersebut). Hal ini dapat dilihat dalam scan diagnostik setelah digunakan sebagai
terapi, karena I-131 juga merupakan emittor-gamma.
Bidang hidrologi
Dalam bidang hidrologi, kebocoran dam serta pipa penyalur yang terbenam
dalam tanah dapat dideteksi menggunakan radioisotop Iodium-131 dalam bentuk
senyawa CH3I. I-131 digunakan sebagai perunut untuk mencari kebocoran pada
bendungan dan saluran irigasi, mempelajari pergerakan air dan lumpur pada
daerah pelabuhan dan bendungan, laju alir, serta laju pengendapan. Pada I-131,
radiasi neutronbanyak juga digunakan untuk mengukur kelembaban permukaan
tanah.

Bidang industri
Radioisotop dapat digunakan sebagai perunut (untuk mengikuti unsur dalam
suatu proses yang menyangkut senyawa atau sekelompok senyawa), sebagai
sumber radiasi atau sumber sinar dan sebagai sumber tenaga. Pengunaan
radioisotop sebagai perunut didasarkan pada ikatan bahwa isotop radioaktif
mempunyai sifat kimia yang sama dengan isotop stabil. Oleh karena radioisotop
mempunyai sifat kimia yang sama seperti isotop stabilnya, maka radioisotop dapat
digunakan untuk menandai suatu senyawa sehingga perpindahan perubahan
senyawa itu dapat dipantau.

Peran radioisotop sebagai pencari jejak tidak terlepas dari sifat-sifat khas yang
dimilikinya, antara lain:
1. Radioisotop senantiasa memancarkan radiasi di manapun dia berada dan
mudah dideteksi.
2. Laju peluruhan tiap satuan waktu (radioaktivitas) hanya merupakan fungsi
jumlah atom radioisotop yang ada, tidak dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan baik temperatur, tekanan, pH dan sebagainya.
3. Intensitas radiasi ini tidak bergantung pada bentuk kimia atau senyawa
yang disusunnya.
4. Radioisotop memiliki konfigurasi elektron yang sama dengan isotop lain
sehingga sifat kimia yang dimiliki radioisotop sama dengan isotop-isotop
lain dari unsur yang sama.
5. Radiasi yang dipancarkan, utamanya radiasi gamma, memiliki daya
tembus yang besar. Lempengan logam setebal beberapa sentimeter pun
dapat ditembus oleh radiasi gamma, utamanya gamma dengan energi
tinggi. Sifat ini mempermudah dalam pendeteksian.
Kemampuan untuk mengukur radioaktivitas dalam jumlah yang sangat kecil
telah

memungkinkan

pemakaian

radioisotop

sebagai

perunut

dengan

menambahkan sejumlah kecil radioisotop pada bahan yang digunakan dalam


berbagai proses. Teknik ini memungkinkan untuk mempelajari pencampuran dan

laju alir dari berbagai macam bahan, termasuk cairan, bubuk dan gas. Teknik
perunut juga dapat digunakan untuk mendeteksi tempat terjadinya kebocoran.
Radioisotop I-131 digunakan juga sebagai perunut misalnya untuk menguji
kebocoran cairan/gas dalam pipa serta membersihkan pipa, yang dapat dilakukan
dengan menggunakan radioisotop Iodium-131 dalam bentuk senyawa CH3-I.
2. Pembuatan Radioisotop Iodium-131
Kebanyakan I-131 diperoleh dari hasil penyinaran partikel neutron pada
reaktor nuklir terhadap Tellurium alami. Penyinaran terhadap Tellurium alami
hampir seluruhnya menghasilkan I-131, dimana kebanyakan isotop dari Tellurium
yang lebih ringan berubah menjadi isotop stabil yang lebih berat. Nuklida
Tellurium alami yang terberat, Te-130 menyerap sebuah partikel neutron dan
memancarkan sinar beta untuk menghasilkan Te-131, yang akan meluruh menjadi
I-131 dengan waktu paruh 25 menit. I-131 juga dapat meluruh dengan waktu
paruh 8,02 hari dengan memancarkan sinar beta dan sinar gamma. Dalam proses
peluruhan ini, I-131 akan berubah menjadi Xe-131.
Produksi radioisotop 1-131 telah dilakukan dengan cara iradiasi target
metal Te dengan fluks neutron di dalam teras reaktor nuklir. Irradiasi metal Te
dengan neutron memberikan reaksi inti sebagai berikut :
3. Pengelohan Limbah Iodium-131
Limbah Pembuatan
Secara umum, limbah radioaktif dengan aktivitas tinggi yang berasal dari
tempat reprocessing ditimbun dalam tangki di bawah tanah. Seringkali digunakan
sream jets untuk memindahkan limbah radioaktif tersebut dari satu tangki ke
tangki yang lain. Pada saat pemindahan tersebut mungkin terjadi percikan cairan
radioaktif dan ini dapat merupakan pencemaran zarah radioaktif ke udara dan ke
lingkungan. Apabila hal ini berlangsung dalam waktu cukup lama maka percikan
tersebut dapat menjadi tumpukan limbah yang dapat tertiup angin ke tempat yang
lebih jauh apabila tumpukan tersebut telah mengering. Proses insenerasi limbah

radioaktif dapat juga menimbulkan gas dan radioaktif. Particulate radioaktif


mungkin pula terhembus ke udara pada saat dilakukan pembersihan terhadap
abunya.
I-131 dibuat dari penyinaran terhadap Tellurium, telurium mempunyai sifat
toksik, limbah dari proses pembuatan ini bersifat asam sehingga harus diolah agar
tidak membahayakan manusia dan mencemari lingkungan. Pengolahan limbah ini
melalui netralisasi larutan dilanjutkan proses pengendapan dengan koagulasi dan
flokulasi menggunakan koagulan.
3.1. Netralisasi Limbah Dengan NaOH
- Netralisasi asam telurit
H2TeO3 + 2 NaOH Na2TeO3 + 2 H2O
-Netralisasi asam telurat
H2TeO4 + 2 NaOH Na2TeO4 + 2 H2O
3.2.

Koagulasi / pengendapan Telurium

Dengan koagulan BaCl2


TeO32- + BaCl2 BaTeO3

+ 2 CI-

Endapan putih
TeO42- + BaCI2 BaTeO4

+ 2 CI-

Endapan putih
3.3.

Flokulasi

Melalui pengadukan periahan-lahan, flokulasi terjadi karena partikelpartikel yang halus berhubungan dan kontak satu sarna lainnya membentuk
gumpalan yang lebih besar. Gumpalan yang tidak larut tersebut kemudian

mengendap dengan membawa serta material koloidal yang terdapat dalam larutan
dengan cara pengikatan secara mekanis, adsorpsi dari koloid dengan gumpalan,
dan netralisasi muatan listrik positip dari koloidal dengan muatan negatip dari
gumpalan.
3.4.

Limbah Penggunaan I-131

Dari semua kegunaan I-131 dalam ilmu kedokteran, isotop ini dapat
merusak jaringan tubuh dengan memancarkan sinar beta dan sinar gamma. Karena
dapat memicu penyakit kanker pada kelenjar gondok akibat pancaran sinar beta
dalam dosis kecil, I-131 sangat jarang dipakai untuk mendeteksi penyakit
(walaupun pada masa lampau sering digunakan karena merupakan jenis isotop
yang cukup mudah untuk diproduksi dan cukup hemat biaya). Penggunaan I-131
sebagai isotop dalam ilmu kedokteran mendapat kritikan terhadap pembuangan
limbah secara rutin. Limbah tersebut dapat memasuki saluran pembuangan secara
langsung dan mencemari lingkungan. Limbah tersebut dapat berasal dari
pemakaian alat-alat kedokteran ataupun dari hasil ekskresi para pasien yang
menjalani pengobatan dengan unsur tersebut. Pada pasien yang mendapat
pengobatan dengan I-131, unsur tersebut akan diekskresi dari tubuhnya melalui
proses peluruhan, sebagian kecil akan diekskresikan melalui keringat dan
pembuangan urin.
Pada pasien yang mendapat penyinaran dengan I-131, maka I-131 akan
dihilangkan dari tubuh selama beberapa minggu berikutnya. Mayoritas kelebihan
I-131 akan dihilangkan dari tubuh dalam 3-5 hari melalui keringat dan
pembuangan sampah (buang air kecil), jumlah yang lebih kecil akan terus dirilis
selama beberapa minggu berikutnya, karena tubuh memproses hormon yang
dibuat dengan I-131. Untuk alasan ini, dianjurkan untuk secara teratur
membersihkan toilet, sink, seprei dan pakaian yang digunakan oleh orang yang
menerima pengobatan. Untuk pencegahan, disarankan untuk memakai sandal atau
kaus kaki setiap saat, dan menjaga diri / terisolasi dari orang lain. Ini akan
membantu mengurangi eksposur yang disengaja oleh anggota keluarga, terutama

anak-anak. Penggunaan dekontaminan, khusus dibuat untuk menghilangkan


yodium radioaktif. Sebaiknya tidak menggunakan solusi pemutih, atau pembersih
yang mengandung pemutih untuk membersihkan, karena gas yodium radioaktif
dapat dilepaskan. Airborne I-131 dapat menyebabkan risiko yang lebih besar yaitu
pemaparan yang dapat menyebarkan kontaminasi di daerah yang luas.

Plutonium
1. Sejarah Penemuan Thorium
Unsur 94 pertama kali disintesis oleh sekelompok ilmuwan yang dipimpin
oleh Glenn T. Seaborg dan Edwin McMillan di Universitas California, Berkeley pada
tahun 1940. McMillan kemudian menamai unsur baru tersebut plutonium (atas
nama Pluto). Penemuan plutonium kemudian menjadi bagian penting dalam Proyek
Manhattan untuk

mengembangkan

bom

atom

selama Perang

Dunia

II.Uji

nuklir pertama, "Trinity" (Juli 1945), dan bom atom kedua ("Fat Man") yang
digunakan untuk menghancurkan kota Nagasaki (Agustus 1945) memiliki inti Pu-239.

Plutonium adalah suatu unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki
lambang Pu dan nomor atom 94. Ia merupakan unsurradioaktif transuranium yang
langka dan merupakan logam aktinida dengan penampilan berwarna putih
keperakan. Ketika terpapar dengan udara, ia akan mengusam oleh karena
pembentukan plutonium (IV) oksida yang menutupi permukaan logam. Unsur ini
pada dasarnya memiliki enam alotrop dan empat keadaan oksidasi. Ketika
terpapar

dengan

kelembaban

udara,

ia

akan

membentuk oksida dan hidrida dengan volume 70% lebih besar dan menjadi
bubuk yang dapat menyala secara spontan. Ia juga merupakan racun
radiologis yang dapat berakumulasi dalam sumsum tulang. Oleh karena sifat-sifat
seperti inilah, proses penanganan plutonium cukup berbahaya, walaupun tingkat
toksisitas keseluruhan logam ini kadang-kadang terlalu dibesar-besarkan.
2. Pengolahan Limbah Thorium
Radionuklida plutonium mempunyai umur paroh sangat panjang yaitu
239Pu = 2,41 x 104 tahun. Di negara maju di bidang nuklir, limbah tersebut
terdapat dalam LCAT atau dalam limbah cair transuranium (LCTRU) yang
ditimbulkan dari kegiatan ujung belakang daur bahan bakar nuklir khususnya dari

proses olah ulang bahan bakar nuklir bekas (reprocessing). Di Indonesia, karena
menganut strategi daur bahan bakar nuklir terbuka maka tidak melakukan proses
olah ulang bahan bakar nuklir bekas, sehingga bahan bakar nuklir bekas
merupakan LAT yang langsung disimpan atau dikirim kembali ke negara asal. Di
Indonesia, LCAT dan LCTRU ditimbulkan dari fasilitas produksi radio isotop
99Mo (dari hasil belah uranium) dan dari fasilitas uji pasca iradiasi bahan bakar
nuklir. Proses pemisahan Pu dan U dari limbah cair radioaktif alfa (LCAT dan
LCTRU) perlu dilakukan untuk mereduksi volume limbah radioaktif alfa tersebut.
Proses pemisahan yang sekarang banyak dilakukan adalah dengan metode
ekstraksi, koagulasiflokulasi, penukar ion, dsb. Proses pemisahan dengan metode
tersebut menimbulkan limbah cair, padat atau semi padat seperti sludge (lumpur)
atau resin penukar ion bekas. Limbah radioaktif alfa tersebut kemudian dilakukan
proses imobilisasi melalui pemadatan (solidifikasi) menggunakan bahan matriks
polimer, aspal, atau synroc, dsb. Proses pengolahan dengan metode tersebut hanya
memberikan reduksi volume yang kecil. Untuk meningkatkan tingkat reduksi
volume limbah yang lebih besar, maka perlu dikembangkan alternatif proses
dengan metode lain yang lebih efektif dan efisien. Pengembangan proses
pengolahan dengan peningkatan reduksi volume limbah besar merupakan upaya
untuk menurunkan biaya dan penghematan lokasi tempat penyimpanan limbah
serta peningkatan faktor keselamatannya (Gunandjar, 2010).
Dalam makalah ini disajikan pengkajian proses pemisahan radionuklida Pu
dan U dari limbah cair radioaktif alfa dengan metode adsorpsi menggunakan
bahan adsorben serat anorganik (adsorben serat karbon aktif). Keunggulan bahan
tersebut adalah bahwa setelah digunakan untuk penyerapan Pu dan U (sebagai
adsorben limbah) kemudian dapat dilakukan proses pembakaran sehingga hanya
tersisa abu limbah yang mengandung Pu dan U dengan reduksi volume limbah
sangat tinggi, sehingga bisa mengurangi biaya penyimpanan. Hasil pengkajian ini
diharapkan dapat memberikan masukan alternatif proses pengolahan limbah cair
radioaktif alfa umur panjang yang mengandung plutonium dan uranium yang ada
di Indonesia. Teknologi ini merupakan salah satu alternatif teknologi yang

kemungkinan dapat diterapkan di Indonesia khususnya untuk pengolahan limbah


cair radioaktif alfa yang mengandung Pu dan U pada konsentrasi yang sangat
rendah. Di Indonesia, limbah cair radioakif tersebut ditimbulkan dari kegiatan
produksi radioisotop 99Mo yang merupakan radionuklida hasil belah yang
dihasilkan dari pembelahan uranium di Instalasi Produksi Radioisotop (IPR), dan
dari uji pasca iradiasi bahan bakar nuklir di Instalasi Radiometalurgi (IRM)
(Gunandjar, 2010).

Daftar Pustaka
Aisyah, 2011. Pengelolaan Pradisposal Limbah Pabrik Kaos Lampu
Petromaks yang Mengandung Thorium. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif,
Kawasan Puspitek, Tangsel.
Cothern, C., Richard, Rebers, P. 1991. Radon, Radium, and Uranium in
Drinkin Water. Lewis Publishers, Inc. In The United States of America. Page 159165.
Gunandjar, 2010. Pengolahan Limbah Cair Radioaktif Alfa yang
Mengandung Plutonium dan Uranium dengan Adsorpsi Menggunakan Adsorben
Serat Karbon Aktif dan Proses Pembakaran. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif,
Batan.
http://ansn.bapeten.go.id/files/PENGENALAN_DAUR_BAHAN_BAKAR_N
UKLIR_.pdf.
Husna, A.M. 1998. Prospek Bahan Bakar Maju U-Mo Berdensitas Tinggi
sebagai Bahan Bakar Reaktor Riset. Prosiding Presentasi Ilmiah Daur Bahan
Bakar Nuklir IV PEBN-BATAN. Jakarta. Page 252-258.
International Atomic Energy Agency,, Conditioning and Interim Storage of
Spent Radium Sources, IAEA-TECDOC-886, Vienna, June 1996.
International Atomic Energy Agency, Handling , Conditioning and Storage
of Spent Sealed Radioactive Sources , IAEA-TECDOC-1145, Vienna, 2000.
Kamei, T., & Hakami, S. 2011. Evaluation of Implementation of Thorium
Fuel Cycle with LWR and MASR. Journal of Proggres in Nuclear Energy. Volume
53. Page 820-824.
Kidd, S.W. 2009. Nuclar Fuel Resources. CRC Press. New York. Page 85,

M.Al-Mughrabi, Technical Manual For Conditioning of Spent Radium


Sources, IAEA, Vienna, 1998.
Strategies for Development of Fuel Cycle, INPB-D-005, Feasibility Study
of The First Nuclear Power Plant at Muria Peninsula Region, Newjec Inc, January
1994.
Wilson, J.N, A., Bidaud, N., Capellan, R., Chambon, S., David, P.,
Guillemin, E., Ivanov, A., Nuttin, O., Meplan. 2009. Economy of Uranium
Resources in a Thhhree Component Reactor Fleet With Mixed Thorium/Uranium
Fuel Cycles. Journal of Annals of Nuclear Energy. Volume 36. Page 404-408.

Anda mungkin juga menyukai