Sifat-Sifat Radium
Sifat Fisika
Radium (88Ra) merupakan unsur logam radioaktif dan berwujud padat
pada suhu kamar. Radium murni berwarna putih keperakan namun mudah
teroksidasi di udara menjadi hitam. Radium mempunyai tingkat radioaktivitas
yang tinggi dan dapat memancarkan cahaya (self-luminous). Radiasi yang
dipancarkan radium juga dapat menyebabkan bahan-bahan tertentu seperti fosfor
untuk mengeluarkan cahaya. Radium memiliki keradioaktifan sekitar satu juta kali
lipat dari keradioaktifan uranium dengan massa yang sama. Karena sangat
radioaktif, radium menjadi logam yang sangat berbahaya. Radiasi dari radium lah
yang menyebabkan Marie Curie meninggal dunia. Peluruhan dari radium ( 226Ra)
menghasilkan radon (222Rn) dan mengemisikan partikel alfa serta sebagian kecil
sinar gamma.
Sifat-sifat fisika radium yang lain adalah:
Konfigurasi elektron
Bilangan oksidasi
Massa jenis
Titik lebur
Titik didih
Kalor peleburan
Kalor penguapan
Jari-jari atom
Energi ionisasi
Elektronegativitas
Potensial oksidasi
Struktur kristal
Sifat magnetik
Sifat Kimia
Radium merupakan unsur alkali tanah yang paling berat. Sifat-sifat
kimianya hampir sama dengan unsur barium (Ba) sehingga sulit untuk
223
Ra,
224
Ra,
226
Ra, dan
228
Ra. Isotop-
isotop tersebut dihasilkan dari peluruhan unsur Uranium (92U) dan Thorium (90Th).
226
Ra merupakan isotop yang paling melimpah dan memiliki waktu paruh paling
238
U. Selanjutnya
228
Ra memiliki
232
memiliki waktu paruh yang sangat pendek sekali sehingga jarang ditemukan, 223Ra
11,4 hari dan
224
Ra 3,7 hari.
228
223
Ra
sering disebut sebagai actinium X, dan 224Ra sering disebut sebagai thorium X.
Selain isotop yang terdapat di alam, radium juga memiliki isotop yang
merupakan hasil sintesis. Hingga sekarang terdapat 33 isotop radium yang
berhasil disintesis yang memiliki nomor massa 202-234. Isotop hasil sintesis
merupakan isotop yang sangat tidak stabil dan memiliki peluruhan yang sangat
cepat.
Radium kehilangan 1% dari aktivitasnya dalam 25 tahun, membuatnya
mengalami peluruhan menjadi unsur-unsur yang lebih ringan dengan produk akhir
sebagai timbal (Pb). Satuan internasional dari radioaktifitas adalah becquerel (Bq)
senilai dengan 1 dps (disintegration per second). Selain itu juga terdapat satuan
curie (bukan satuan standar) yang mendefinisikan radioaktifitas setara dengan laju
disintegrasi 1 gram Ra-226 (3,7 x 1010 disintegration per second atau 37 GBq).
Persenyawaan Radium
Dikarenakan
waktu
paruhnya
yang
pendek
serta
intensitas
klorida
merupakan
padatan
berwarna
putih
dan
dapat
Selain
radium
klorida,
radium
juga
ditemui
dalam
bentuk
persenyawaannya dengan halida lain seperti radium bromida (RaBr2) dan radium
iodida (RaI2), namun sifat-sifatnya serta kegunaannya masih belum banyak
diketahui. Senyawa radium oksida (RaO) dan radium nitrida (Ra 3N2) merupakan
senyawa yang dihasilkan jika radium terekspos di udara. Sedangkan senyawa
radium hidroksida (RaOH2) dihasilkan dari reaksinya dengan air. Radium
hidroksida lebih mudah larut jika dibandingkan dengan hidroksida dari alkali
tanah
lainnya,
membuatnya
dapat
dipisahkan
dengan
cara
presipitasi
Penggunaan Radium
Pada awalnya radium bersama fosfor digunakan sebagai cat pada jam
dinding,
jam
tangan,
dan
tombol
pada
alat-alat
instrumental
dengan
Bahaya Radium
Radium adalah senyawa yang sangat radioaktif, jauh melebihi uranium.
Oleh karena itu bahayanya juga akan lebih besar daripada bahaya radiasi logam
Radium yang pernah dianggap sebagai obat dengan produk air radium
(radithor) juga telah berhasil membunuh konsumennya, yaitu Eben Byers pada
tahun 1927. Kejadian tersebut menimbulkan kecemasan publik, namun radium
masih tetap digunakan sebagai zat aditif makanan dan minuman pada saat itu.
Pada sekarang ini penggunaan radium hanya terbatas untuk radioterapi
para penderita kanker, karena daya rusaknya mampu menghancurkan sel-sel
kanker. Penggunaan radiasi tersebut juga dilakukan dengan intensitas tertentu
sesuai dengan jenis kanker yang diderita, sehingga tidak menimbulkan bahaya
bagi pasien. Meski begitu pengobatan dengan cara demikian masih menimbulkan
efek samping antara lain berupa kelelahan, reaksi kulit (kering, memerah, nyeri,
perubahan warna, dan ulserasi), penurunan sel darah, kehilangan nafsu makan,
diare mual, dan muntah. Kebotakan bisa saja terjadi tetapi hanya pada area yang
terkena radioterapi. Berbagai efek samping yang ditimbulkan tersebut masih
dinilai wajar, dikarenakan metode penyembuhan kanker yang dilakukan tersebut
melibatkan zat radioaktif yang sangat berbahaya, yaitu radium.
Pengelolaan sumber bekas radium meliputi beberapa tahapan, seperti pada skema
yang disajikan pada Gambar 1.
Pemasok sumber
Waktu produksi
Aktivitas radionuklida
Pengguna sumber
Detail shielding
Informasi dosis paparan radiasi pada jarak tertentu (biasanya 1 m) sangat penting.
Kontrol integritas sumber dapat dilakukan dengan inspeksi fisik dan monitoring
disekitar sumber terhadap emanasi gas radon dan kontaminasi permukaan.
Semua hal yang akan dilakukan terhadap sumber bekas tersebut harus telah
direncanakan
sebelum
dilakukan
penanganan.
Sumber
harus
ditangani
menggunakan gunting atau tang panjang dan jangan sekali-kali kontak dengan
tangan secara langsung Seluruh operasional penanganan sumber bekas harus
dilakukan didaerah yang terkontrol. Daerah sekitar sumber memerlukan
pengukuran kontaminasi selama dan setelah penanganan sumber bekas.
Jika didapati adanya kebocoran pada sumber bekas radium, maka sumber tersebut
harus segera dipindahkan kedalam kontainer yang sesuai sebelum kemudian
dilakukan pengepakan untuk pengangkutan. Disarankan sumber ditempatkan
dalam kapsul seperti wadah pada saat kondisioning nanti, kalau perlu disegel
untuk sementara.
Jika hal ini tidak memungkinkan, maka sebaiknya sumber ditempatkan dalam
kaleng metal yang sederhana yang kemudian disegel untuk mencegah penyebaran
kontaminan. Ukuran kaleng diupayakan seminimal mungkin.
5.2. Pengangkutan
Seringkali sumber-sumber bekas radium disimpan sementara ditempat pengguna
(rumah sakit, lembaga penelitian, industri dan sebagainya) dan kemudian harus
diangkut ke fasilitas kondisioning. Pengangkutan sumber harus dilakukan oleh
personil yang berpengalaman dalam bidang pengangkutan bahan radioaktif dan
harus memenuhi peraturan national dan internasional tentang pengangkutan.
integritas yang tinggi sehingga dapat mengatasi masalah emanasi gas radon yang
timbul dari peluruhan Ra-226 tersebut. Paparan radiasi harus seminimal mungkin
dengan shielding yang tepat. Kontainer shielding harus didisain untuk
memaksimalkan keamanan sumber. Adapun proses kondisioning dilakukan
dengan tahapan seperti skema yang disajikan pada Gambar 2.
menjamin tidak ada kebocoran gas radon dari dalam kapsul maka dilakukan uji
kebocoran pada setiap kapsul yang berisi sumber bekas Ra dan yang telah dilas.
Media untuk pengujian kebocoran digunakan larutan glycol dengan sistem
vacuum. Kapsul yang lolos dari pengujian kebocoran selanjutnya dimasukkan ke
dalam Long Term Storage Shield (LTSS) yang terbuat dari Pb dengan maksud
untuk meminimalkan paparan radiasi yang cukup tinggi. Gambar 3 menyajikan
bentuk kapsul stainless steel, pengelasan kapsul dalam wadah Pb, LTSS dan
penempatan LTSS dalam shell drum 200 liter.[1]
Gambar 3. (A) Kapsul Stainless Steel, (B) Pengelasan Kapsul, (C) Long Term
Storage Shield (LTSS), (D) Penempatan LTSS dalam Shell Drum 200 Liter [1]
5.4. Penyimpanan Sementara
Penyimpanan sementara dapat dilakukan dengan 2 alternatif [3] :
Long Term Storage Shield dimasukkan dalam shell drum 200 liter
untuk kemudian disimpan di Tempat Penyimpanan Sementara Limbah
Aktivitas Rendah dan Sedang.
selesai pengelasan, tabung ditempatkan dalam Long Term Storage Shield (LTSS)
yang juga terbuat dari Pb. Pembatasan paparan radiasi masih terus berlanjut
dengan penempatan LTSS pada shell drum yang juga berfungsi sebagai shielding
dari konkret. Hal ini semua dilakukan untuk meminimalkan paparan radiasi yang
ditimbulkan selama kegiatan. Shielding terhadap personil dilakukan dengan
pemakaian apron pada personil yang terlibat pada saat bekerja.
Monitoring personil dan daerah kerja selalu dilakukan sejak awal hingga akhir
kegiatan. Monitoring personil dilakukan dengan pemakaian dosimeter (film badge
maupum cincin) yang segera dievaluasi diakhir kegiatan. Seluruh kegiatan
dilakukan dalam daerah yang terkontrol yang selalu dilakukan monitoring
terhadap paparan radiasi maupun kontaminasinya. Smear test dan sampling udara
dilakukan untuk mengevaluasi kontaminasi dan airborne yang kemungkinan
timbul selama kegiatan.
ini diharuskan selalu memakai pelindung seperti baju kerja, shoe cover, dosimeter
maupun masker). Keamanan tempat penyimpanan antara lain dilakukan dengan
memasang monitor dan alarm dan penempatan sumber radiasi pada lubang yang
berada pada kedalaman sekitar 6 meter, sedangkan limbah radioaktif yang telah
terkondisioning ditemepatkan pada shell drum atau shell beton yang cukup berat.
Uranium
Martin Klaproth adalah seorang kimiawan Jerman yang pertama kali
menemukan uranium pada tahun 1789 (Kidd, 2009). Uranium adalah unsur
terberat dari seluruh unsur alami, memiliki titik leleh yaitu 1132 oC dan tergolong
sebagai logam putih keperakan. Simbol kimia uranium adalah U (Cothern dan
Rebers, 1991). Uranium memiliki nomor atom 92, proton 92, elektron 92 dan
elektron valensi 6. Inti uranium mengikat 141 sampai 146 neutron.
Uranium alami yang ditemukan di kerak bumi terdiri dari tiga buah isotop
yaitu U-238 (99,275%), U-235 (0,720%) dan U-234 (0,005%). Dari ketiga isotop
tersebut yang memiliki sifat fisil adalah Uranium-235 (Kidd, 2009). Sedangkan
uranium-238 bersifat fertil, namun dapat pula bersifat fisil dengan cara
ditransmutasi menjadi plutonium-239. Uranium yang terkandung dalam batuan
phosphate diperkirakan 22 juta ton dan di air laut 4200 juta ton (Husna, 1998).
Uranium merupakan sumber energi dengan kelimpahan yang sangat besar. Meski
bukan termasuk energi yang terbarukan, uranium banyak digunakan sebagai
bahan bakar reaktor nuklir yang kemudian dimanfaatkan untuk produksi senjata
nuklir kemudian berkembang untuk pembangkit listrik.
1. Penambangan, Pemurnian dan Pengayaan
Uranium yang digunakan sebagai bahan bakar nuklir ditambang dalam
bentuk bijih uranium, kemudian dimurnikan untuk menghasilkan uranium alam.
Dalam uranium alam terkandung uranium dapat belah atau U-235 sebanyak 0,7%.
Agar reaksi berantai dapat berlangsung di dalam reaktor nuklir, dibutuhkan
uranium diperkaya yang mengandung U-235 sebesar 3-5%. Oleh karena itu,
uranium harus diproses di fasilitas pengayaan. Uranium heksafluorida (UF6)
merupakan salah satu senyawa uranium berbentuk gas pada temperatur kamar
yang digunakan sebagai bahan baku pada fasilitas pengayaan. Uranium berbentuk
padat pada suhu kamar harus dikonversi atau diubah menjadi UF6 . Konversi UF6
yang telah diperkaya menjadi UO2 untuk bahan bakar yang digunakan di reaktor
nuklir disebut konversi ulang.
5. Penyimpanan Sementara
Fasilitas penyimpanan sementara dibuat dengan tujuan untuk pengelolaan
bahan bakar bekas yang bersifat sementara sampai dilakukan proses olah-ulang.
Model penyimpanan bahan bakar bekas ada dua macam yakni cara basah (di
dalam air) dan cara kering (di dalam aliran gas helium atau udara). Penyimpanan
cara basah sudah dilakukan selama puluhan tahun dan teknologi ini sudah terbukti
aman, walaupun biaya operasi masih cukup besar. Untuk mengatasi masalah ini,
telah dikembangkan penyimpanan cara kering. Cara kering dibagi menjadi dua
macam bergantung pada lokasi penyimpanan, yaitu penyimpanan bahan bakar
bekas di dalam PLTN atau disebut At Reactor Storage (ARS) dan di luar PLTN
atau disebut Away From Reactor Storage (AFRS).
6. Fasilitas Olah-ulang
Bahan bakar bekas yang telah dikirim ke fasilitas olah-ulang disimpan di
dalam kolam penyimpanan selama jangka waktu tertentu (kira-kira 180 hari).
Bundel bahan bakar dilepas dan setiap kelongsong dipotong menjadi beberapa
sentimeter, kemudian potongan dikirim ke bagian lain untuk dilarutkan dengan
asam sulfat. Larutan yang terbentuk dipisahkan menjadi larutan yang mengandung
unsur hasil belah, uranium dan plutonium. Larutan yang mengandung unsur hasil
belah diproses sebagai limbah. Larutan yang mengandung uranium dan plutonium
dipisahkan dan masing-masing larutan dimurnikan di fasilitas pemurnian.
Kemudian larutan yang mengandung uranium dijadikan serbuk UO3 dan larutan
yang mengandung plutonium diubah menjadi larutan plutonium sulfat, dan
menjadi produk akhir fasilitas olahulang. Uranium dan plutonium yang dihasilkan
dari proses olah-ulang bahan bakar bekas di dalam fasilitas olahulang disebut
Uranium hasil olah-ulang dan Plutonium hasil olah-ulang.
7. Pemanfaatan Uranium
Hasil olah-ulang Uranium hasil olah-ulang mempunyai tingkat pengayaan
U-235 sekitar 0,8-1%, dan disebut pengayaan rendah karena masih mendekati
kadar U-235 dalam uranium alam. Untuk melakukan pengayaan UO2 hasil olah-
ulang diperlukan konversi ke UF6 sebagai bahan baku pengayaan. UF6 hasil
konversi, meskipun berkadar U-235 rendah tetapi biaya pengayaan masih lebih
rendah dibanding bahan baku uranium alam, sehingga sangat ekonomis.
Rangkaian proses pemanfaatan uranium hasil olah-ulang menjadi bahan bakar
baru disebut Daur Bahan Bakar Nuklir Tertutup.
8. Pemanfaatan Plutonium
Hasil olah-ulang Untuk memperoleh campuran Uranium Plutonium Oksida,
larutan plutonium sulfat dicampur dengan larutan uranium sulfat dan dipanaskan
menggunakan gelombang mikro. Campuran oksida kemudian dibuat menjadi
pelet dengan penekanan dan disusun ke dalam tabung kelongsong bahan bakar.
Kelongsong disusun menjadi bundel bahan bakar. Bahan bakar jenis ini disebut
dengan Bahan Bakar Campuran Uranium Plutonium Oksida (bahan bakar Mixed
Oxide/MOX). Bahan bakar MOX dapat digunakan sebagai bahan bakar reaktor
pembiak cepat (fast breeder reactor/FBR) dan untuk reaktor air ringan jenis
Plutonium-thermal.
9. Pengiriman Bahan Nuklir
Uranium diperkaya untuk kebutuhan percobaan di laboratorium dalam
jumlah kecil, dikirim dalam bentuk logam uranium atau plutonium oksida.
Uranium alam dikirim dalam bentuk yellow cake (serbuk kuning). Pengiriman
bahan bakar bekas hasil olah-ulang dapat dilakukan dengan menggunakan kapal
laut yang didesain secara khusus.
10. Proses Limbah Radioaktif
Limbah radioaktif yang dimaksud di sini adalah limbah yang dihasilkan dari
proses daur bahan bakar nuklir. Limbah radioaktif yang termasuk dalam
klasifikasi aktivitas tinggi dihasilkan dari pelarutan bahan bakar selama proses
olah-ulang. Kandungan utama limbah tersebut adalah larutan campuran bahan
nuklir dan unsur hasil belah. Setelah dipisahkan, larutan hanya mengandung unsur
hasil belah. Larutan kemudian dicampur dengan natrium boron oksida untuk
Thorium
1. Sejarah Penemuan Thorium
Jons Berzelius adalah seorang kimiawan Swedia yang menemukan thorium
dalam bentuk kecil diantara batu dan tanah pada tahun 1828. Thorium adalah
logam alami yang bersifat radioaktif dengan kelimpahan yang besar yaitu tiga kali
lipat lebih banyak dari uranium. Pada keadaan murni thorium merupakan logam
putih keperakan yang berkilau. Apabila terkontaminasi oksigen, thorium perlahan
akan memudar di udara menjadi abu-abu kemudian hitam.
2. Pemanfaatan Thorium
Thorium merupakan sumber energi yang dapat digunakan sebagai bahan
bakar nuklir meskipun tidak bersifat fisil (Kidd, 2009). Thorium yang bersifat
fertil akan terlebih dahulu menyerap neutron lambat untuk menghasilkan
uranium-233 yang besifat fisil. Uranium-233 menghasilkan jumlah energi yang
sama dengan U-235 yaitu 200 M eV (Husna, 1998).
Penggunaan thorium sebagai bahan bakar nuklir lebih murah, lebih ramah
lingkungan dan lebih aman. Thorium lebih murah karena jumlah kelimpahannya
yang banyak dibanding uranium. Bahan bakar thorium lebih ramah lingkungan
karena mengurangi emisi gas CO2 dari sektor energi listrik (Wilson et al., 2008)
serta memiliki limbah radioaktif yang lebih sedikit dari uranium. Thorium
menghasilkan 0,5 kg plutonium sementara uranium menghasilkan 230 kg
Plutonium dari reaktor dengan kapasitas 1 GWe selama satu tahun beroperasi
(Kamei dan Hakami, 2011) dan lebih aman karena tidak memiliki isotop yang
bersifat fisil sehingga tidak cocok untuk produksi senjata nuklir (Wilson et al.,
2008).
limbah
yang
mengandung
thorium.
Kondisioning
termasuk
seperti ini masih dimungkinkan dan mudah untuk ditindak lanjuti dengan proses
lain jika ada kerusakan wadah atau jika ada teknik kondisioning lain.
Iodium-131 ( I-131 )
Iodium-131 ( I-131 ) merupakan salah satu dari sekian banyak isotop
radioaktif yang ada di bumi ini. I-131 merupakan radioisotop yang penting dari
unsur iodium. Radioisotop ada yang terdapat di alam yang disebut radioisotop
alami dan ada juga yang tidak ada di alam. Beberapa radioisotop tidak ada di alam
disebabkan waktu paro yang dimiliki terlalu singkat. Sedangkan, Iodium-131
merupakan radioisotop buatan karena isotop ini dapat dibuat di dalam
laboratorium (reaktor) dengan reaksi inti. Radioisotop ini dibuat di dalam suatu
reaktor nuklir yang mempunyai kerapatan (fluks) neutron tinggi dengan
mereaksikan antara inti atom tertentu dengan neutron. Selain itu, radioisotop dapat
juga diproduksi menggunakan akselerator melalui proses reaksi antara inti atom
tertentu dengan suatu partikel, misalnya alpha, neutron, proton atau partikel
lainnya.
1. Pemanfaatan Iodium-131
Bidang Kesehatan
Dalam ilmu kedokteran, I-131 digunakan untuk mendeteksi kerusakan pada
kelenjar gondok karena I-131 dapat diserap oleh kelenjar gondok tersebut. Pada
umumnya, I-131 juga digunakan dalam terapi pengobatan terhadap penyakit
"thyrotoxicosis" dan beberapa tipe kanker pada kelenjar gondok yang menyerap
iodium. Dari semua kegunaan I-131 dalam ilmu kedokteran, isotop ini dapat
merusak jaringan tubuh dengan memancarkan sinar beta dan sinar gamma. Iodium
yang terdapat dalam makanan akan diserap oleh tubuh kita dan akan
terkonsentrasi di kelenjar gondok, dimana Iodium sangat diperlukan dalam
menjalankan fungsi dari kelenjar tersebut. Apabila I-131 terdapat dalam jumlah
berlebih dalam lingkungan yang berasal dari kebocoran unsur radioaktif, zat
tersebut dapat mengkontaminasi makanan, dan juga akan menumpuk pada
kelenjar gondok. Dan saat zat tersebut meluruh, dapat merusak kelenjar gondok.
Resiko utama dari kehadiran I-131 dalam jumlah yang sangat banyak adalah dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit kanker pada kelenjar gondok di
kemudian hari. Ada metode yang dapat digunakan untuk mencegah penyakit yang
ditimbulkan oleh I-131, yaitu dengan mengonsumsi makanan yang mengandung
unsur nonradioaktif I-127 (Iodium stabil). Metode ini dapat digunakan untuk
mencegah kelenjar gondok kita untuk menyerap I-131.
Isotop I-131 digunakan sebagai terapi radioisotop langsung untuk
mengobati hipertiroidisme karena penyakit Grave's, dan nodul tiroid hiperaktif
(jaringan tiroid aktif abnormal yang tidak ganas). Penggunaan terapi ini untuk
mengobati hipertiroidisme dari penyakit Grave pertama kali dilaporkan oleh Hertz
Saul pada tahun 1941.
Isotop I-131 juga digunakan sebagai label radioaktif untuk radiofarmasi
tertentu
yang
dapat
metaiodobenzylguanidine
digunakan
(131
untuk
terapi,
misalnya
I-MIBG)
untuk
pencitraan
I-131dan
Bidang industri
Radioisotop dapat digunakan sebagai perunut (untuk mengikuti unsur dalam
suatu proses yang menyangkut senyawa atau sekelompok senyawa), sebagai
sumber radiasi atau sumber sinar dan sebagai sumber tenaga. Pengunaan
radioisotop sebagai perunut didasarkan pada ikatan bahwa isotop radioaktif
mempunyai sifat kimia yang sama dengan isotop stabil. Oleh karena radioisotop
mempunyai sifat kimia yang sama seperti isotop stabilnya, maka radioisotop dapat
digunakan untuk menandai suatu senyawa sehingga perpindahan perubahan
senyawa itu dapat dipantau.
Peran radioisotop sebagai pencari jejak tidak terlepas dari sifat-sifat khas yang
dimilikinya, antara lain:
1. Radioisotop senantiasa memancarkan radiasi di manapun dia berada dan
mudah dideteksi.
2. Laju peluruhan tiap satuan waktu (radioaktivitas) hanya merupakan fungsi
jumlah atom radioisotop yang ada, tidak dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan baik temperatur, tekanan, pH dan sebagainya.
3. Intensitas radiasi ini tidak bergantung pada bentuk kimia atau senyawa
yang disusunnya.
4. Radioisotop memiliki konfigurasi elektron yang sama dengan isotop lain
sehingga sifat kimia yang dimiliki radioisotop sama dengan isotop-isotop
lain dari unsur yang sama.
5. Radiasi yang dipancarkan, utamanya radiasi gamma, memiliki daya
tembus yang besar. Lempengan logam setebal beberapa sentimeter pun
dapat ditembus oleh radiasi gamma, utamanya gamma dengan energi
tinggi. Sifat ini mempermudah dalam pendeteksian.
Kemampuan untuk mengukur radioaktivitas dalam jumlah yang sangat kecil
telah
memungkinkan
pemakaian
radioisotop
sebagai
perunut
dengan
laju alir dari berbagai macam bahan, termasuk cairan, bubuk dan gas. Teknik
perunut juga dapat digunakan untuk mendeteksi tempat terjadinya kebocoran.
Radioisotop I-131 digunakan juga sebagai perunut misalnya untuk menguji
kebocoran cairan/gas dalam pipa serta membersihkan pipa, yang dapat dilakukan
dengan menggunakan radioisotop Iodium-131 dalam bentuk senyawa CH3-I.
2. Pembuatan Radioisotop Iodium-131
Kebanyakan I-131 diperoleh dari hasil penyinaran partikel neutron pada
reaktor nuklir terhadap Tellurium alami. Penyinaran terhadap Tellurium alami
hampir seluruhnya menghasilkan I-131, dimana kebanyakan isotop dari Tellurium
yang lebih ringan berubah menjadi isotop stabil yang lebih berat. Nuklida
Tellurium alami yang terberat, Te-130 menyerap sebuah partikel neutron dan
memancarkan sinar beta untuk menghasilkan Te-131, yang akan meluruh menjadi
I-131 dengan waktu paruh 25 menit. I-131 juga dapat meluruh dengan waktu
paruh 8,02 hari dengan memancarkan sinar beta dan sinar gamma. Dalam proses
peluruhan ini, I-131 akan berubah menjadi Xe-131.
Produksi radioisotop 1-131 telah dilakukan dengan cara iradiasi target
metal Te dengan fluks neutron di dalam teras reaktor nuklir. Irradiasi metal Te
dengan neutron memberikan reaksi inti sebagai berikut :
3. Pengelohan Limbah Iodium-131
Limbah Pembuatan
Secara umum, limbah radioaktif dengan aktivitas tinggi yang berasal dari
tempat reprocessing ditimbun dalam tangki di bawah tanah. Seringkali digunakan
sream jets untuk memindahkan limbah radioaktif tersebut dari satu tangki ke
tangki yang lain. Pada saat pemindahan tersebut mungkin terjadi percikan cairan
radioaktif dan ini dapat merupakan pencemaran zarah radioaktif ke udara dan ke
lingkungan. Apabila hal ini berlangsung dalam waktu cukup lama maka percikan
tersebut dapat menjadi tumpukan limbah yang dapat tertiup angin ke tempat yang
lebih jauh apabila tumpukan tersebut telah mengering. Proses insenerasi limbah
+ 2 CI-
Endapan putih
TeO42- + BaCI2 BaTeO4
+ 2 CI-
Endapan putih
3.3.
Flokulasi
Melalui pengadukan periahan-lahan, flokulasi terjadi karena partikelpartikel yang halus berhubungan dan kontak satu sarna lainnya membentuk
gumpalan yang lebih besar. Gumpalan yang tidak larut tersebut kemudian
mengendap dengan membawa serta material koloidal yang terdapat dalam larutan
dengan cara pengikatan secara mekanis, adsorpsi dari koloid dengan gumpalan,
dan netralisasi muatan listrik positip dari koloidal dengan muatan negatip dari
gumpalan.
3.4.
Dari semua kegunaan I-131 dalam ilmu kedokteran, isotop ini dapat
merusak jaringan tubuh dengan memancarkan sinar beta dan sinar gamma. Karena
dapat memicu penyakit kanker pada kelenjar gondok akibat pancaran sinar beta
dalam dosis kecil, I-131 sangat jarang dipakai untuk mendeteksi penyakit
(walaupun pada masa lampau sering digunakan karena merupakan jenis isotop
yang cukup mudah untuk diproduksi dan cukup hemat biaya). Penggunaan I-131
sebagai isotop dalam ilmu kedokteran mendapat kritikan terhadap pembuangan
limbah secara rutin. Limbah tersebut dapat memasuki saluran pembuangan secara
langsung dan mencemari lingkungan. Limbah tersebut dapat berasal dari
pemakaian alat-alat kedokteran ataupun dari hasil ekskresi para pasien yang
menjalani pengobatan dengan unsur tersebut. Pada pasien yang mendapat
pengobatan dengan I-131, unsur tersebut akan diekskresi dari tubuhnya melalui
proses peluruhan, sebagian kecil akan diekskresikan melalui keringat dan
pembuangan urin.
Pada pasien yang mendapat penyinaran dengan I-131, maka I-131 akan
dihilangkan dari tubuh selama beberapa minggu berikutnya. Mayoritas kelebihan
I-131 akan dihilangkan dari tubuh dalam 3-5 hari melalui keringat dan
pembuangan sampah (buang air kecil), jumlah yang lebih kecil akan terus dirilis
selama beberapa minggu berikutnya, karena tubuh memproses hormon yang
dibuat dengan I-131. Untuk alasan ini, dianjurkan untuk secara teratur
membersihkan toilet, sink, seprei dan pakaian yang digunakan oleh orang yang
menerima pengobatan. Untuk pencegahan, disarankan untuk memakai sandal atau
kaus kaki setiap saat, dan menjaga diri / terisolasi dari orang lain. Ini akan
membantu mengurangi eksposur yang disengaja oleh anggota keluarga, terutama
Plutonium
1. Sejarah Penemuan Thorium
Unsur 94 pertama kali disintesis oleh sekelompok ilmuwan yang dipimpin
oleh Glenn T. Seaborg dan Edwin McMillan di Universitas California, Berkeley pada
tahun 1940. McMillan kemudian menamai unsur baru tersebut plutonium (atas
nama Pluto). Penemuan plutonium kemudian menjadi bagian penting dalam Proyek
Manhattan untuk
mengembangkan
bom
atom
selama Perang
Dunia
II.Uji
nuklir pertama, "Trinity" (Juli 1945), dan bom atom kedua ("Fat Man") yang
digunakan untuk menghancurkan kota Nagasaki (Agustus 1945) memiliki inti Pu-239.
Plutonium adalah suatu unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki
lambang Pu dan nomor atom 94. Ia merupakan unsurradioaktif transuranium yang
langka dan merupakan logam aktinida dengan penampilan berwarna putih
keperakan. Ketika terpapar dengan udara, ia akan mengusam oleh karena
pembentukan plutonium (IV) oksida yang menutupi permukaan logam. Unsur ini
pada dasarnya memiliki enam alotrop dan empat keadaan oksidasi. Ketika
terpapar
dengan
kelembaban
udara,
ia
akan
membentuk oksida dan hidrida dengan volume 70% lebih besar dan menjadi
bubuk yang dapat menyala secara spontan. Ia juga merupakan racun
radiologis yang dapat berakumulasi dalam sumsum tulang. Oleh karena sifat-sifat
seperti inilah, proses penanganan plutonium cukup berbahaya, walaupun tingkat
toksisitas keseluruhan logam ini kadang-kadang terlalu dibesar-besarkan.
2. Pengolahan Limbah Thorium
Radionuklida plutonium mempunyai umur paroh sangat panjang yaitu
239Pu = 2,41 x 104 tahun. Di negara maju di bidang nuklir, limbah tersebut
terdapat dalam LCAT atau dalam limbah cair transuranium (LCTRU) yang
ditimbulkan dari kegiatan ujung belakang daur bahan bakar nuklir khususnya dari
proses olah ulang bahan bakar nuklir bekas (reprocessing). Di Indonesia, karena
menganut strategi daur bahan bakar nuklir terbuka maka tidak melakukan proses
olah ulang bahan bakar nuklir bekas, sehingga bahan bakar nuklir bekas
merupakan LAT yang langsung disimpan atau dikirim kembali ke negara asal. Di
Indonesia, LCAT dan LCTRU ditimbulkan dari fasilitas produksi radio isotop
99Mo (dari hasil belah uranium) dan dari fasilitas uji pasca iradiasi bahan bakar
nuklir. Proses pemisahan Pu dan U dari limbah cair radioaktif alfa (LCAT dan
LCTRU) perlu dilakukan untuk mereduksi volume limbah radioaktif alfa tersebut.
Proses pemisahan yang sekarang banyak dilakukan adalah dengan metode
ekstraksi, koagulasiflokulasi, penukar ion, dsb. Proses pemisahan dengan metode
tersebut menimbulkan limbah cair, padat atau semi padat seperti sludge (lumpur)
atau resin penukar ion bekas. Limbah radioaktif alfa tersebut kemudian dilakukan
proses imobilisasi melalui pemadatan (solidifikasi) menggunakan bahan matriks
polimer, aspal, atau synroc, dsb. Proses pengolahan dengan metode tersebut hanya
memberikan reduksi volume yang kecil. Untuk meningkatkan tingkat reduksi
volume limbah yang lebih besar, maka perlu dikembangkan alternatif proses
dengan metode lain yang lebih efektif dan efisien. Pengembangan proses
pengolahan dengan peningkatan reduksi volume limbah besar merupakan upaya
untuk menurunkan biaya dan penghematan lokasi tempat penyimpanan limbah
serta peningkatan faktor keselamatannya (Gunandjar, 2010).
Dalam makalah ini disajikan pengkajian proses pemisahan radionuklida Pu
dan U dari limbah cair radioaktif alfa dengan metode adsorpsi menggunakan
bahan adsorben serat anorganik (adsorben serat karbon aktif). Keunggulan bahan
tersebut adalah bahwa setelah digunakan untuk penyerapan Pu dan U (sebagai
adsorben limbah) kemudian dapat dilakukan proses pembakaran sehingga hanya
tersisa abu limbah yang mengandung Pu dan U dengan reduksi volume limbah
sangat tinggi, sehingga bisa mengurangi biaya penyimpanan. Hasil pengkajian ini
diharapkan dapat memberikan masukan alternatif proses pengolahan limbah cair
radioaktif alfa umur panjang yang mengandung plutonium dan uranium yang ada
di Indonesia. Teknologi ini merupakan salah satu alternatif teknologi yang
Daftar Pustaka
Aisyah, 2011. Pengelolaan Pradisposal Limbah Pabrik Kaos Lampu
Petromaks yang Mengandung Thorium. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif,
Kawasan Puspitek, Tangsel.
Cothern, C., Richard, Rebers, P. 1991. Radon, Radium, and Uranium in
Drinkin Water. Lewis Publishers, Inc. In The United States of America. Page 159165.
Gunandjar, 2010. Pengolahan Limbah Cair Radioaktif Alfa yang
Mengandung Plutonium dan Uranium dengan Adsorpsi Menggunakan Adsorben
Serat Karbon Aktif dan Proses Pembakaran. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif,
Batan.
http://ansn.bapeten.go.id/files/PENGENALAN_DAUR_BAHAN_BAKAR_N
UKLIR_.pdf.
Husna, A.M. 1998. Prospek Bahan Bakar Maju U-Mo Berdensitas Tinggi
sebagai Bahan Bakar Reaktor Riset. Prosiding Presentasi Ilmiah Daur Bahan
Bakar Nuklir IV PEBN-BATAN. Jakarta. Page 252-258.
International Atomic Energy Agency,, Conditioning and Interim Storage of
Spent Radium Sources, IAEA-TECDOC-886, Vienna, June 1996.
International Atomic Energy Agency, Handling , Conditioning and Storage
of Spent Sealed Radioactive Sources , IAEA-TECDOC-1145, Vienna, 2000.
Kamei, T., & Hakami, S. 2011. Evaluation of Implementation of Thorium
Fuel Cycle with LWR and MASR. Journal of Proggres in Nuclear Energy. Volume
53. Page 820-824.
Kidd, S.W. 2009. Nuclar Fuel Resources. CRC Press. New York. Page 85,