Anda di halaman 1dari 25

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
BAB I
PENDAHULUAN
A. ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/
subaraknoid juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Hal hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis obat yang
digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen,
lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan,
dan penyebaran obat.
Pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf simpatis
dan parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan
dalam. Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar (vibratory
sense) dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu
kulit tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan
sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali akan pulih.
Di dalam cairan serebrospinal, hidrolisis anestetik lokal berlangsung lambat.
Sebagian besar anestetik lokal meninggalkan ruang subaraknoid melalui aliran darah
vena sedangkan sebagian kecil melalui aliran getah bening. Lamanya anestesi
tergantung dari kecepatan obat meninggalkan cairan serebrospinal.
B. INDIKASI.
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai
bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus
seperti bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul,
bedah obstetric, dan bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan
setelah bayi ditidurkan dengan anestesi umum.
C. KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi
lumbal, bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
intracranial. Kontraindikasi relatf meliputi neuropati, prior spine surgery, nyeri
punggung, penggunaan obat-obatan preoperasi golongan AINS, heparin subkutan
dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil, serta a resistant surgeon.
D. PERSIAPAN PASIEN
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed concent)
meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan
fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan
adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa
protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga
terdapat gangguan pembekuan darah.
E. PERLENGKAPAN
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan
operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan
resusitasi.
Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki
permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16G sampai
dengan 30G. obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain,
atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan
perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar
dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat
gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke
atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan. Pada suhu 37oC cairan serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1,008.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan duk
steril juga harus disiapkan. Jarum spinal. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis
yang ujungnya runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau
Greene) dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil
banyak digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan
spinal.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
F. TEKNIK ANESTESI SPINAL
Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain:
Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi termudah
untuk tindakan punksi lumbal. Pasien duduk di tepi meja operasi dengan kaki pada
kursi, bersandar ke depan dengan tangan menyilang di depan. Pada posisi dekubitus
lateral pasien tidur berbaring dengan salah satu sisi tubuh berada di meja operasi.
Posisi permukaan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu di daerah antara vertebrata
lumbalis (interlumbal). Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis kulit daerah
punggung pasien. Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada
bidang medial dengan sudut 10o-30o terhadap bidang horizontal ke arah cranial.
Jarum

lumbal

akan

menembus

ligamentum

supraspinosum,

ligamentum

interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater, dan lapisan subaraknoid.


Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar. Suntikkan obat anestetik
local yang telah disiapkan ke dalam ruang subaraknoid. Kadang-kadang untuk
memperlama kerja obat ditambahkan vasokonstriktor seperti adrenalin.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah hipotensi, nyeri saat penyuntikan,
nyeri punggung, sakit kepala, retensio urine, meningitis, cedera pembuluh darah dan
saraf, serta anestesi spinal total.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. HERNIA
Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau
bagian lemah dari dinding rongga yang bersangkutan / Locus Minoris Resistentiae
(LMR). Bagian-bagian hernia meliputi pintu hernia, kantong hernia, leher hernia dan
isi hernia.
Sedangkan dikatakan hernia inguinalis lateral apabila hernia tersebut melalui
annulus inguinalis abdominalis (lateralis/internus) dan mengikuti jalannya spermatid
cord di canalis inguinalis serta dapat melalui annulus inguinalis subcutan (externus)
sampai scrotum. Hernia inguinalis disebut juga hernia scrotalis bila isi hernia sampai
ke scrotum.
Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas hernia bawaan atau kongenital dan
hernia didapat atau akuisita. Hernia diberi nama menurut letaknya seperti diafragma,
inguinal, umbilikal, femoral.
Menurut sifatnya, hernia dapat disebut hernia reponibel bila isi hernia dapat
keluar masuk. Bila isi kantong hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam rongga
disebut hernia ireponibel. Hernia eksterna adalah hernia yang menonjol ke luar
melalui dinding perut, pinggang atau perineum. Hernia interna adalah tonjolan usus
tanpa kantong hernia melalui suatu lobang dalam rongga perut seperti Foramen
Winslow, resesus rektosekalis atau defek dapatan pada mesentrium umpamanya
setelah anastomosis usus.
Hernia disebut hernia inkarserata atau hernia strangulata bila isinya terjepit
oleh cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke
dalam rongga perut. Akibatnya, terjadi gangguan pasase atau vaskularisasi. Secara
klinis hernia inkarserata lebih dimaksudkan untuk hernia ireponibel dengan gangguan
pasase, sedangkan gangguan vaskularisasi disebut sebagai hernia strangulate.
Hernia yang melalui annulus inguinalis abdominalis (lateral/internus) dan
mengikuti jalannya spermatic cord di canalis inguinalis serta dapat melalui anulus
inguinalis subcutan (externus), sampai scrotum

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
Hernia yang paling sering terjadi (sekitar 75% dari hernia abdominalis) adalah
hernia inguinalis. Hernia inguinalis dibagi menjadi: hernia inguinalis indirek
(lateralis), di mana isi hernia masuk ke dalam kanalis inguinalis melalui locus minoris
resistence (annulus inguinalis internus); dan hernia inguinalis direk (medialis), di
mana isi hernia masuk melalui titik yang lemah pada dinding belakang kanalis
inguinalis. Hernia inguinalis lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita,
sementara hernia femoralis lebih sering terjadi pada wanita.
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab
yang didapat. Faktor yang dipandang berperan kausal adalah prosesus vaginalis yang
terbuka, peninggian tekanan di dalam rongga perut, dan kelemahan otot dinding perut
karena usia. Tekanan intra abdomen yang meninggi secara kronik seperti batuk
kronik, hipertrofi prostat, konstipasi dan asites sering disertai hernia inguinalis.

Gambar. Hernia Inguinalis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
Hernia juga mudah terjadi pada individu yang kelebihan berat badan, sering
mengangkat benda berat, atau mengedan. Jika kantong hernia inguinalis lateralis
mencapai scrotum maka disebut hernia skrotalis. Hernia ini harus dibedakan dari
hidrokel atau elefantiasis skrotum. Testis yang teraba dapat dipakai sebagai pegangan
untuk membedakannya.

Gambar . Hernia scrotalis yang berasal dari hernia inguinalis indirek

B. PENYEBAB
Masih menjadi kontroversi mengenai apa yang sesungguhnya menjadi
penyebab

timbulnya

hernia

inguinalis.

Disepakati

adanya

faktor

yang

mempengaruhi terjadinya hernia inguinalis yaitu meliputi:


1. Processus vaginalis persistent
Hernia mungkin sudah tampak sejak bayi tapi kebanyakan baru
terdiagnosis sebelum pasien mencapai usia 50 tahun. Sebuah analisis dari statistik
menunjukkan bahwa 20% laki-laki yang masih mempunyai processus vaginalis
hingga saat dewasanya merupakan predisposisi hernia inguinalis
2. Naiknya tekanan intra abdominal secara berulang
Naiknya tekanan intra abdominal biasa disebabkan karena batuk atau
tertawa terbahak-bahak, partus, prostat hipertrofi, vesiculolitiasis, carcinoma

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
kolon, sirosis dengan asites, splenomegali massif merupakan factor resiko
terjadinya hernia inguinalis.
Pada asites, keganasan hepar, kegagalan fungsi jantung, penderita yang
menjalani peritoneal dialisa menyebabkan peningkatan tekanan intra abdominal
sehingga membuka kembali processus vaginalis sehingga terjadi hernia indirect.
3. Lemahnya otot-otot dinding abdomen
C. PEMERIKSAAN HERNIA
Inspeksi Daerah Inguinal dan Femoral
Meskipun hernia dapat didefinisikan sebagai setiap penonjolan viskus, atau
sebagian daripadanya, melalui lubang normal atau abnormal, 90% dari semua hernia
ditemukan di daerah inguinal. Biasanya impuls hernia lebih jelas dilihat daripada
diraba.
Pasien disuruh memutar kepalanya ke samping dan batuk atau mengejan.
Lakukan inspeksi daerah inguinal dan femoral untuk melihat timbulnya benjolan
mendadak selama batuk, yang dapat menunjukkan hernia. Jika terlihat benjolan
mendadak, mintalah pasien untuk batuk lagi dan bandingkan impuls ini dengan
impuls pada sisi lainnya. Jika pasien mengeluh nyeri selama batuk, tentukanlah lokasi
nyeri dan periksalah kembali daerah itu.
Pemeriksaan Hernia Inguinalis
Palpasi hernia inguinal dilakukan dengan meletakan jari pemeriksa di dalam
skrotum di atas testis kiri dan menekan kulit skrotum ke dalam. Harus ada kulit
skrotum yang cukup banyak untuk mencapai cincin inguinal eksterna. Jari harus
diletakkan dengan kuku menghadap ke luar dan bantal jari ke dalam. Tangan kiri
pemeriksa dapat diletakkan pada pinggul kanan pasien untuk sokongan yang lebih
baik.
Telunjuk kiri pemeriksa harus mengikuti korda spermatika di lateral masuk ke
dalam kanalis inguinalis sejajar dengan ligamentum inguinalis dan digerakkan ke atas
ke arah cincin inguinal eksterna, yang terletak superior dan lateral dari tuberkulum
pubikum. Cincin eksterna dapat diperlebar dan dimasuki oleh jari tangan.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
Dengan jari telunjuk ditempatkan pada cincin eksterna atau di dalam kanalis
inguinalis, mintalah pasien untuk memutar kepalanya ke samping dan batuk atau
mengejan. Seandainya ada hernia, akan terasa impuls tiba-tiba yang menyentuh ujung
atau bantal jari penderita. Jika ada hernia, suruh pasien berbaring terlentang dan
perhatikanlah apakah hernia itu dapat direduksi dengan tekanan yang lembut dan
terus-menerus pada massa itu. Jika pemeriksaan hernia dilakukan dengan perlahanlahan, tindakan ini tidak akan menimbulkan nyeri.
Setelah memeriksa sisi kiri, prosedur ini diulangi dengan memakai jari
telunjuk kiri untuk memeriksa sisi kanan. Sebagian pemeriksa lebih suka memakai
jari telunjuk kanan untuk memeriksa sisi kanan pasien, dan jari telunjuk kiri untuk
memeriksa sisi kiri pasien. Cobalah kedua teknik ini dan lihatlah cara mana yang anda
rasakan lebih nyaman.
Jika ada massa skrotum berukuran besar yang tidak tembus cahaya, suatu
hernia inguinal indirek mungkin ada di dalam skrotum. Auskultasi massa itu dapat
dipakai untuk menentukan apakah ada bunyi usus di dalam skrotum, suatu tanda yang
berguna untuk menegakkan diagnosis hernia inguinal indirek.
Transluminasi Massa Skrotum
Jika anda menemukan massa skrotum, lakukanlah transluminasi. Di dalam
suatu ruang yang gelap, sumber cahaya diletakkan pada sisi pembesaran skrotum.
Struktur vaskuler, tumor, darah, hernia dan testis normal tidak dapat ditembus sinar.
Transmisi cahaya sebagai bayangan merah menunjukkan rongga yang mengandung
cairan serosa, seperti hidrokel atau spermatokel.
D. PENATALAKSANAAN PADA HERNIA
Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia inguinalis
yang rasional. Tujuan dari operasi adalah reposisi isi hernia, menutup pintu hernia
untuk menghilangkan LMR, dan mencegah residif dengan memperkuat dinding perut.
Prinsip dasar operasi hernia terdiri dari herniotomy, hernioraphy, dan hernioplasty.
Pada herniotomy dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya,
kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan, kemudian direposisi
ke cavum abdomen seperti semula. Kantong hernia dijahit-ikat setinggi mungkin lalu

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
dipotong. Pada hernioraphy leher hernia diikat dan digantungkan pada conjoint
tendon (pertemuan m. transverses internus abdominis dan m. obliqus intenus
abdominis). Pada hernioplastik dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis
internus dan memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis.
Pada bayi dan anak-anak dengan hernia kongenital lateral yang faktor
penyebab adanya prosesus vaginalis yang tidak menutup sedangkan anulus inguinalis
internus cukup elastis dan dinding belakang kanalis cukup kuat, hanya dilakukan
herniotomi tanpa hernioplastik.
Pada operasi hernia inguinalis, ada 3 prinsip yang harus diperhatikan, yaitu
eksisi kantong hernia, ligasi tinggi kantong hernia, dan repair dinding kanalis
inguinalis.
Tehnik operasi

Insisi inguinal 2 jari medial SIAS sejajar ligamentum inguinal ke tuberculum


pubicum

Insisi diperdalam sampai tampak aponeurosis MOE tampak crus medial dan
lateral yg merupakan annulus eksternus

Aponeurosis MOE dibuka kecil dengan pisau, dengan bantuan pinset anatomis
dan gunting dibuka lebih lanjut ke cranial sampai annulus internus dan ke kaudal
sampai membuka annulus inguinal eksternus.

Funiculus dibersihkan, kemudian digantung dengan kain kasa dibawa ke medial,


sehingga tampak kantong peritoneum

Peritoneum dijepit dengan 2 pinset dibuka usus didorong ke cavum


abdomen dengan melebarkan irisan ke proksimal sampai leher hernia. Kantong
sebelah distal dibiarkan

Leher hernia dijahit dengan kromik ditanamkan di bawah conjoint tendon dan
digantungkan.

Selanjutnya dilakukan hernioplasty secara:

Ferguson
Funiculus spermaticus ditaruh disebelah dorsal MOE dan MOI abdominis MOI
dan transverses dijahitkan pada ligamentum inguinale dan meletakkan funiculus di
dorsalnya, kemudian aponeurosis MOE dijahit kembali, sehingga tidak ada lagi
kanalis inguinalis.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
Bassini
MOI dan transverus abdominis dijahitkan pada ligamentum inguinal, funiculus
diletakkan disebelah ventral aponeurosis MOE tidak dijahit, sehingga kanalis
inguinalis tetap ada. Kedua musculus berfungsi memperkuat dinding belakang canalis
sehingga LMR hilang
Halsted
Dilakukan penjahitan MOE, MOI dan m. transverses abdominis, untuk
memperkuat / menghilangkan LMR. Funiculus spermaticus diletakkan di subkutis.
Tehnik operasi terbaru pada hernia inguinalis adalah menggunakan mesh,
suatu materi prostese yang digunakan untuk memperkuat otot-otot di region inguinalis
sehingga mengurangi timbulnya residif.
Keuntungan pemakaian mesh antara lain:

Aman, terutama pada pasien dengan penyakit penyerta kronik

Efektif dan kuat

Penyembuhan berlangsung lebih cepat

Nyeri pasca operasi minimal

Jarang menimbulkan komplikasi

E. ANESTESI PADA HERNIORAPHY


Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal /
subaraknoid juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah,
panggul, dan perineum. Hernia pada dinding perut merupakan penyakit yang sering
dijumpai dan memerlukan suatu tindakan pembedahan. Hernia inguinalis lateralis
sering dijumpai pada pria. Pada kasus ini seorang pria 60 tahun datang dengan
keluhan timbul benjolan di selangkangan sejak 1 bulan yang lalu yang lalu tidak bisa
dimasukkan dan terasa sedikit nyeri. Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien
didiagnosis menderita hernia inguinalis lateralis sinistra dan akan dilakukan
hernioraphy dengan anestesi spinal.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain:
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang
punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4 atau
L4-5. Tusukan pada L1-2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan , misalnya dengan lidokain 1-2 % 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23 G atau
25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk kecil 27 G atau 29 G,
dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa
semprit 10 cc. Tusukkan introducer sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah
sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel)
harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel
mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat
berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,
mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan
obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya
untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal
pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90 0 biasanya
likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa 6
cm.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
Pada tindakan anestesi diberikan premedikasi berupa ondansetron 4 mg i.v ,
pada induksi anastesi disuntikan secara SAB pada vertebra lumbal 3-4 obat yang
digunakan adalah bupivacain 20mg, kemudian untuk menjaga oksigenasi diberikan
O2 3L/m. Ondancentron adalah suatu antagonis 5-HT3, diberikan dengan tujuan
mencegah mual dan muntah pasca operasi agar tidak terjadi aspirasi dan rasa tidak
nyaman. Induksi anastesi pada kasus ini adalah dengan menggunakan anastesi lokal
yaitu bupivacain 20 mg , bupivacain merupakan obat anastesi lokal yang
mekanismenya adalah mencegah terjadinya depolarisasi pada membran sel saraf pada
tempat suntikan obat tersebut, sehingga membran akson tidak dapat bereaksi dengan
asetil kolin sehingga membran tetap semipermeabel dan tidak terjadi perubahan
potensial. Hal ini menyebabkan aliran impuls yang melewati saraf tersebut berhenti
sehingga segala macam rangsang atau sensasi tidak sampai ke sistem saraf pusat. Hal
ini menimbulkan parestesia, sampai analgesia, paresis sampai paralisis dan
vasodilatasi pembuluh darah pada daerah yang terblock. Pemberian O2 3 liter/menit
adalah untuk menjaga oksigenasi pasien.
Komplikasi tindakan pada analgesia spinal berupa hipotensi berat akibat blok
simpatis sehingga terjadi venous pooling, bradikardia, hipoventilasi akibat paralisis
saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali napas, trauma pembuluh darah

F. PENGAWASAN SELAMA DAN SETELAH PEMBEDAHAN


Kemajuan dalam bidang mikro-elektronik dan bio-enjinering memungkinkan
pengawasan lebih efektif dan dapat mengetahui peringatan awal dari masalah
potensial, sehingga dapat dengan cepat mengerjakan hal-hal yang perlu untuk
mengembalikan fungsi organ vital sefisiologis mungkin. Pengawasan selama operasi
merupakan hal yang bertujuan untuk meniadakan atau mengurangi efek samping dari
obat atau tindakan anestesi.
Selain itu, dengan melakukan pengawasan yang legeartis juga memiliki tujuan
untuk memperoleh informasi mengenai fungsi organ selama anestesi berlangsung.
Pengawasan yang lengkap dan baik meningkatkan mutu pelayanan terhadap
penderita, akan tetapi tidak menjamin tidak akan terjadi sesuatu. Perlengkapan dalam

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
pengawasan minimal yaitu meliputi stetoskop, manset tekanan darah, EKG,
oksimeter, dan termometer.
Sedangkan hal-hal minimal yang harus diawasi antara lain meliputi:
1. Tekanan Darah
2. Nadi
3. Jantung
4. Keadaan cairan
5. Suhu tubuh
Pada pengawasan pasca operasi sebenarnya memiliki prinsip-prinsip:

Mencegah kekurangan oksigen

Memberikan antidotum, apabila ada kemungkinan masih adanya pengaruh obatobat relaksasi otot

Pipa endotrakea masih terpasang apabila dinilai pernapasan masih belum cukup
baik

Posisi penderita harus diperhatikan misalnya penderita dimiringkan untuk


mencegah terjadinya sumbatan oleh lidah atau muntahan

Perdarahan selama operasi haru segera diganti terutama apabila perdarahan


melebihi 10%

Usahakan menjaga temperatur penderita.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama

: Ahmad H

No CM

: XXXXX

Umur

: 60 tahun

Jenis kelamin

: Laki-Laki

BB

: 58 kg

Agama

: Islam

Alamat

: Minggiran MJ II, Suryodiningratan, Mantrijeron, Yogyakarta

Tanggal masuk

: 22 Agustus 2016

B. ANAMNESIS
Riwayat penyakit
1. Keluhan utama

: Benjolan di selangkangan kiri

2. Keluhan tambahan

:-

3. Riwayat penyakit sekarang

: Pasien datang ke Poli Bedah RSUD Jogja tanggal 22

Agustus 2016 dengan keluhan terdapat benjolan pada selangkangan kiri. Benjolan ini
muncul sejak 1 bulan yang lalu dan tidak dapat masuk kembali. Pasien mengeluhkan
sedikit nyeri apabila melakukan posisi jongkok saat buang air besar, buang air kecil
lancar. Tidak ada gangguan lain yang menyangkut keluhan pasien.
4. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat penyakit asma disangkal
Riwayat penyakit alergi obat disangkal
Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal
Riwayat penyakit hipertensi disangkal
Riwayat operasi dan pembiusan disangkal

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
C. PEMERIKSAAN FISIK
1.

Status Generalis
Keadaan umum

: Sedang

Kesadaran

: Compos Mentis; GCS: E4 V5 M6

Vital sign

: TD

: 120/70 mmhg

Nadi : 82 x/menit reguler, isi dan tegangan cukup


RR

: 24x/menit

Suhu : 36, 8 C
Antropometri

: TB

: 158

BB

: 48

IMT : 19,27 (Normal)


Primary survey :
A : clear, MP I
B : spontan, SD vesikuler Rbk -/-, Rbh -/-, Wh -/-, RR 24x/menit
C : N : 82 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, TD : 120/70 mmHg, S1>S2
murmur (-) gallop (-)
D : GCS E4M6V5
2.

Pemeriksaan kepala
Bentuk :

: Mesochepal, simetris, rambut warna hitam, tersebar

merata, dan tidak mudah dicabut


Mata

: Conjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-. RC +/+


Pupil isokor, 3mm

Telinga

: NCH ( - ), discharge ( - )

Hidung

: Discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum (-).

Mulut

: Sianosis ( - ), bibir kering (-),pembesaran tonsil (-)

3.

Pemeriksaan leher

: Simetris, tidak ada deviasi trakea, pembesaran

KGB (-)
4.

Pemeriksaan dada
Paru

: SD.vesikuler , wheezing -/- , rhonki -/-

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
Jantung

: S1>S2.reguler , murmur ( - ) , gallop ( - )

Dinding dada

: simetris , destruksi ( - )

5.

6.

Pemeriksaan abdomen
Dinding perut

: Supel, datar

Hepar/lien

: Tidak teraba

Usus

: Bising usus ( + ) Normal


Pemeriksaan punggung

Columna vertebra

: Tidak Ada Kelainan

Ginjal

: Nyeri ketok ginjal (+)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 22 Agustus 2016
PARAMETER

HASIL

HEMATOLOGI
Leukosit
8,7
Eritrosit
3,94
Hemoglobin
12,0
Hematokrit
36,3
MCV
92,2
MCH
30,5
MCHC
33,0
Trombosit
248
Differential Telling Mikroskopis
Neutrofil%
58,9
Lymposit%
14,7
Monosit%
5,1
Eosinofil%
1,0
Basofil%
0,3
Neutrofil#
7,55
Lymposit#
3,33
Monosit#
0,32
Eosinofil#
0,21
Basofil#
0,03
Golongan Darah
O
Rhesus
Positif
Masa Perdarahan
300
Masa Penjendalan
900
KIMIA
Glukosa Darah
86

NILAI
RUJUKAN

UNIT

4.0-10
4.00-5.50
11.0-16.0
32-44
81-99
27-31
33-37
150-450

10e3/ul
10e3/ul
gr/dl
%
Fl
Pg
Gr/dl
10e3/ul

50-70
20-40
3-12
0,5-5,0
0-1
2-7
0,8-4
0,12-1,2
0,02-0,50
0-1

%
%
%
%
%
10e3/ul
10e3/ul
10e3/ul
10e3/ul
10e3/ul

<6
<12
70-140

mg/dl

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
Sewaktu
E. KESIMPULAN KONSUL ANESTESI
- Status fisik ASA I
- Acc. Anestesi
F. LAPORAN ANESTESI PASIEN
Dilakukan pemasangan monitor tekanan darah, nadi dan saturasi
a) Diagnosis pra-bedah

: Hernia Inguinalis Lateralis sinistra

b) Diagnosis post-bedah

: Hernia Inguinalis Lateralis sinistra

c) Jenis pembedahan

: Hernioraphy

Persiapan Anestesi

: Informed concent
Puasa 8 jam sebelum Operasi

Jenis anestesi

: Regional Anestesi Sub Arakhnoid

Premedikasi anestesi

: - (microgram)

Medikasi

: Bupivacain Spinal 20 mg intratecal


Ketorolac 30mg intravena
Ondancetron 4mg intravena

Pemeliharaan anestesi

: O2 2,0 L/mnt

Teknik anestesi

: Spinal ; SAB L3 / L4

Pasien dalam posisi duduk dan kepala menunduk.

Desinfeksi di sekitar daerah tusukan yaitu di regio


L3-L4.

Blok dengan jarum spinal no.27 pada regio L3-L4.

LCS keluar (+) jernih.

Barbotage (+).

Respirasi

: Spontan

Posisi

: Supine

Infus durante operasi

: RL ditangan kanan

Status fisik

: ASA I

Induksi mulai

: 09.00 WIB

Operasi mulai

: 09.05 WIB

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
Operasi Selesai

: 10.15 WIB

Berat Badan

: 52 Kg

Lama Operasi

: 1 jam

Pasien puasa

: 8 jam

Input durante operasi

Ringer Laktat = 1500 cc


Tekanan darah dan frekuensi nadi :
Pukul (WIB)
09.00
09.05
09.10
09.15
09.20
09.25
09.30
09.35
09.40
09.45
09.50
09.55
10.00
10.05
10.10
10.15

Tekanan Darah (mmHg)


126/70
120/74
128/78
128/78
130/80
134/85
125/72
128/78
125/72
125/72
128/78
125/72
120/68
128/78
125/72
125/78

Nadi (kali/menit)
88
85
85
83
81
85
95
85
84
85
85
83
82
85
85
83

Monitoring Post Operatif (Ruang Pemulihan)


Pukul (WIB)
10.20
10.40

Tekanan Darah (mmHg)


119/82
125/85

Nadi (kali/menit)
86
85

G. PENATALAKSANAAN PASCA PEMBEDAHAN


Perawatan bangsal
Masuk Tanggal

: 23 Agustus 2016

Jam

: 12.00 WIB

Airway

: Clear

Breathing

: Spontan, SD vesikuler Rh -/- , Wh -/-

Circulation

: S1 > S2; Reguler, murmur ( - ), gallop ( - )

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
Disability

: GCS ; E4 V5 M6

Instruksi post operasi observasi : Selama 24 jam


1. Monitoring Kesadaran, tanda vital, dan keseimbangan cairan
2. Bed rest total 24 jam post op dengan bantal tinggi. Boleh miring kanan kiri, tak
boleh duduk
3. Ukur TD dan N tiap 15 menit selama 1 jam pertama. Bila TD < 90 beri efedrin 10
mg, bila N<60 beri SA 0,25 mg
4. bila tidak ada mual muntah boleh minum sedikit-sedikit
5. bila nyeri kepala hebat, konsul anestesi
Prognosis : Dubia ad Bonam
H. PEMANTAUAN ANESTESI
1. Preoperatif
Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan pada selangkangan kiri.
Benjolan ini tidak dapat masuk kembali sejak 1 bulan yang lalu. Pasien diputuskan
dirawat di bangsal Bugenville. Setelah keadaan umum pasien membaik, pasien
dipersiapkan untuk operasi tanggal 23 Agustus 2016
Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang meliputi
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan status
fisik ASA & risk. Diputuskan kondisi fisik pasien termasuk ASA I, serta ditentukan
rencana jenis anestesi yang dilakukan yaitu regional anestesi dengan teknik
SubArachoid Block.
Jenis anastesi yang dipilih adalah regional anastesi cara spinal. Anastesi
regional baik spinal maupun epidural dengan blok saraf setinggi L3-L4 memberikan
efek anastesi yang memuaskan dan kondisi operasi yang optimal bagi Hernioraphy.
Dibanding dengan general anastesi, regional anastesi dapat menurunkan insidens
terjadinya post-operative venous trombosis.
2. Durante operatif
Teknik anastesi yang digunakan adalah spinal anastesi dengan alasan
operasi yang dilakukan pada bagian tubuh inferior, sehingga cukup memblok bagian
tubuh inferior saja.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
Obat anastesi yang diberikan pada pasien ini adalah Bupivacaine Hcl 20
mg. Bupivacaine spinal dipilih karena durasi kerja yang lama. Bupivakain Hcl
merupakan anastesi lokal golongan amida. Bupivakain Hcl mencegah konduksi
rangsang saraf dengan menghambat aliran ion, meningkatkan ambang eksitasi
elekton, memperlambat perambatan rangsang saraf dan menurunkan kenaikan
potensial aksi. Durasi analgetik pada L3-L4 selama 2-4 jam, dan Bupivakain Hcl
spinal menghasilkan relaksasi muskular yang cukup pada ekstremitas bawah selama
2- 2,5 jam. Selain itu Bupivakain Hcl juga dapat ditoleransi dengan baik pada semua
jaringan yang terkena.
Sebagai analgetik digunakan Ketorolac 30 mg/ml sebanyak 1 ampul (1 ml)
disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi (AINS) yang bekerja
menghambat

sintesis

prostaglandin

sehingga

dapat

menghilangkan

rasa

nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg mempunyai efek analgetik yang setara dengan


50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang lebih lama
serta lebih aman daripada analgetik opioid karena tidak ada evidence depresi nafas
pada clinicaal trial pemberian ketorolac dosis pakai ketorolac untuk pasien giatri (>
65 tahun) adalah titik lebih dari 60 mg/hari dipakai 30 mg karena ternyata bahwa 30
mg mrp dosis yang tepat dan memberikan terapeutik index yang lebih baik.
Semua pasien yang menghadapi pembedahan harus dimonitor secara ketat 4
aspek yakni : monitoring tanda vital, monitoring tanda anestesi, monitoring
lapangan operasi, dan monitoring lingkungan operasi.
3. Postoperatif
Perawatan pasien post operasi dilakukan di RR, setelah dipastikan pasien pulih
dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran, serta vital sign stabil pasien
dipindahkan ke bangsal, dengan anjuran untuk bed rest 24 jam, tidur terlentang
dengan 1 bantal, minum banyak air putih serta tetap diawasi vital sign selama 24
jam post operasi.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
BAB IV
PEMBAHASAN
Sebelum dilakukan operasi, kondisi penderita tersebut termasuk dalam ASA I karena
penderita berusia 60 tahun dan kondisi pasien tersebut sehat organik, fisiologik, psikiatrik,
dan biokimia. Rencana jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu anestesi regional dengan
blok spinal.
Ondansetron 4 mg/2 ml diberikan sebagai premedikasi. Ondansetron merupakan suatu
antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diindikasikan sebagai pencegahan dan
pengobatan mual dan muntah pasca bedah. Pelepasan 5HT3 ke dalam usus dapat merangsang
refleks muntah dengan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat reseptornya. Ondansetron
diberikan pada pasien ini untuk mencegah mual dan muntah yang bisa menyebabkan aspirasi.
Induksi anestesi pada kasus ini menggunakan anestesi lokal yaitu bupivacaine
sebanyak 1 ampul. Kerja bupivacain adalah dengan menghambat konduksi saraf yang
menghantarkan impuls dari saraf sensoris. Kebanyakan obat anestesi lokal tidak memiliki
efek samping maupun efek toksik secara berarti. Pemilihan obat anestesi lokal disesuaikan
dengan lama dan jenis operasi yang akan dilakukan.
Analgetika yang diberikan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri tanpa
mempengaruhi susunan saraf pusat atau menurunkan kesadaran juga tidak menimbulkan
ketagihan. Obat yang digunakan ketorolac, merupakan anti inflamasi non steroid (AINS)
bekerja pada jalur oksigenasi menghambat biosintesis prostaglandin dengan analgesic yang
kuat secara perifer atau sentral. Juga memiliki efek anti inflamasi dan antipiretik. Mula kerja
efek analgesia ketorolac mungkin sedikit lebih lambat namun lama kerjanya lebih panjang
dibanding opioid. Efek analgesianya akan mulai terasa dalam pemberian IV/IM, lama efek
analgesic adalah 4-6 jam.
Pada pengelolaan cairan selama 1 jam operasi, pasien diberikan cairan sebanyak 1500
cc yang terdiri dari 3 RL. Menurut perhitungan teoritis, pemberian cairan dilakukan
berdasarkan perhitungan pengeluaran cairan dan maintanance cairan. Berikut perincian pada
1 jam pertama :
1. Maintenance 2 cc/kgBB/jam

= 48 x 2 cc

= 96 cc

2. Pengganti Puasa

= 8 x 96

= 768 cc

3. Stress operasi 6 cc/kgBB/jam

= 48 x 6 cc

= 288 cc

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
Jadi kebutuhan cairan jam I : = x768 +96+288= 768 cc 2 flab RL
Operasi berlangsung selama 1 jam, sehingga kebutuhan cairan pasien adalah sebanyak
768 cc. Kemudian setelah dilakukan operasi diketahui jumlah perdarahan pada kasus ini yaitu
sebanyak 100 cc. Menurut perhitungan, perdarahan yang lebih dari 20 % Estimated Blood
Volume (EBV) harus dilakukan tindakan pemberian transfusi darah. Pada pasien ini,
perkiraan perdarahan adalah 100 cc, dimana EBV-nya adalah 3360 cc.
EBV laki-laki dewasa = 70 cc/kgBB
= 48 x 70 cc

= 3360 cc

Sehingga didapatkan jumlah perdarahan (% EBV) adalah

2,9 %

% EBV = 100/3360 x 100 % = 2,9 %


Oleh karena perdarahan pada kasus ini kurang dari 20% EBV maka tidak diperlukan
tranfusi darah. Dengan pemberian cairan rumatan (koloid 1flab) sudah cukup untuk
menangani banyaknya perdarahan.
Untuk kebutuhan cairan di bangsal, perhitungannya adalah sebagai berikut :
1. Maintenance 2 cc/kgBB/jam

= 48 x 2 cc

= 96 cc/jam

2. Sehingga jumlah tetesan yang diperlukan jika mengunakan infuse 1 cc ~ 20 tetes adalah
96/60 x 20 tetes

= 32 tetes/menit

Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap dan
baik. Hingga kondisi penderita stabil dan tidak terdapat kendala-kendala yang berarti,
penderita kemudian dibawa ke bangsal Bougenville untuk dirawat dengan lebih baik. Yang
harus diperhatikan adalah :
a. Pasien berbaring dengan posisi terlentang selama minimal 12 jam pasca operasi
b. Jika pasien sadar penuh dan peristaltic (+) boleh minum / makan sedikit-sedikit setelah
operasi
c. Kontrol tekanan darah, nadi, dan respirasi setiap 1 jam
d. O2 2 liter/menit dengan menggunakan canul O2
e. Cairan infuse RL 30 tetes/menit
f. Jika ada mual muntah diberikan ondansetron 4 mg intravena
g. Jika pasien kesakitan diberikan ketorolac 30 mg intravena
h. Jika nadi < 60 kali/menit diberikan sulfas atropine 0,25 mg intravena
i. Jika tekanan darah sistolik <90 mmHg diberikan efedrin 10 mg intravena
j. Monitor balance cairan

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
BAB V
KESIMPULAN
1. Penderita usia tahun 60 tahun dengan Herni Inguinalis Lateralis Sinistra dan kondisi
pasien tersebut sehat organik, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia oleh karena itu
digolongkan seagai ASA I.
2. Premedikasi yang digunakan adalah ondansentron 1 ampul untuk mencegah mual dan
muntah
3. Induksi anestesi menggunakan Regivell dengan dosis 1 ampul intratecal
4. Selama perjalanan anestesi, pasien diberikan analgetik berupa ketorolac sebagai anti nyeri
5. Pemberian cairan saat operasi berjumlah 768 cc dan cairan di bangsal diberikan 32
tetes/menit
6. Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap dan baik
dan diberikan instruksi paska operasi, sebagai penanganan jika terjadi efek anestesi yang
masih tersisa.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS
DAFTAR PUSTAKA
Soenarjo, prof, dkk. Anastesiologi : Bagian anastesiologi dan terappi intensif fakultas
kedokteran undip/ RSUP Dr. Kariadi, 2013. Semarang
Mansjoer, Arif. dkk. Anestesi spinal. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran edisi III hal.261264. 2000. Jakarta.
Dobridnjov, I., etc. Clonidine Combined With Small-Dose Bupivacaine During Spinal
Anesthesia For Inguinal Herniorrhaphy: A Randomized Double-Blind Study. Anesth
Analg 2003;96:1496-1503.
Syarif, Amir. Et al. Kokain dan Anestetik Lokal Sintetik. Dalam: Farmakologi dan Terapi
edisi 5 hal.259-272. 2007. Gaya Baru, jakarta.
Latief, said. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: FKUI 2. Sari, Irma P. S. 2009.
Anestetika Lokal.
Desai,Arjun M.2010. Anestesi. Stanford University School of Medicine. Diakses dari:
http://emedicine.medcape.com
Hariyono, Siswo. 2006. Anetesi regional, aplikasi klinis dan manfaat. Diakses dari:
http://digilib.uns.ac.id

Yogyakarta, 24 Agustus 2016


Preceptor,

dr. Aryono Hendrasto, M.Si, Sp.An

Anda mungkin juga menyukai