Pneumonia Dan Hiperbilirubin NICU
Pneumonia Dan Hiperbilirubin NICU
KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN PNEUMONIA NEONATAL DAN
HIPERBILIRUBINEMIA
Oleh :
PANJI ARIK INDRASWARA
NIM: 0810720050
MALANG
2012
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN PNEUMONIA NEONATAL
A.
1.
Definisi / Pengertian
Pneumonia adalah infeksi saluran napas bagian bawah. Penyakit ini adalah
infeksi akut jaringan paru oleh mikroorganisme ( Corwin, 2000 ).
2.
Epidemiologi/Insiden Kasus
Insiden Pneumonia neonatal diperkirakan 1% pada bayi cukup bulan, 10% pada
bayi kurang bulan, serta kejadian meningkat pada neonates yang dirawat di NICU.
3.
Penyebab/Faktor Predisposisi
Penyebab dari pneumonia neonatal adalah hampir sama dengan penyebab
Patofisiologi
Menurut pengelompokannya, patofisiologi dari pneumonia neonatal adalah:
a. Transplasenta (Kongenital Pneumonia):
Kuman/agent masuk melalui plasenta mengikuti sistem peredaran darah janin
(hematogen) sampai ke paru-paru janin menimbulkan gejala pneumonia yang disebut
juga Early Onset Pneumoni (pada umur 3 hari pertama).
b. Ascending Pneumonia (Post Amnionistis Pneumonia):
Kuman/agent dari flora vagina menular secara ascending menyebar ke chorionic plate
menimbulkan gejala amnionitis menyebabkan bayi aspirasi dan masuk ke paru-paru.
Predisposisi adalah persalinan premature, ketuban pecah sebelum persalinan,
persalinan memanjang dengan dilatasi serviks, atau pemeriksaan obstetri yang sering.
c. Transnatal Pneumonia:
Onsetnya berlangsung lambat, proses infeksi selalu terjadi pada paru-paru dan
penyebab terbanyak adalah grup B Streptokokus.
d. Nosokomial Pneumonia:
Pneumonia yang didapat selama perawatan di rumah sakit dengan factor predisposisi
antara lain BBL<1500 gram, dirawat lama, penyakit dasar berat, prosedur invasif
banyak, perawatan ventilator terkontaminasi.
Menurut Suriadi (2001) patofisiologi pada pneumonia dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Adanya gangguan pada terminal jalan nafas dan alveoli oleh mikroorganisme patogen
yaitu virus dan bakteri (Streptococcus Aureus, Haemophillus Influenzae dan
Streptococcus Pneumoniae).
b. Terdapat infiltrat yang biasanya mengenai pada multiple lobus, terjadinya destruksi sel
dengan meninggalkan debris cellular ke dalam lumen yang mengakibatkan gangguan
fungsi alveolar dan jalan nafas.
c. Pada kondisi anak ini dapat akut dan kronik misalnya : Cystic Fibrosis (CF), aspirasi
benda asing dan konginetal yang dapat meningkatkan resiko pneumonia.
Adanya etiologi seperti jamur dan inhalasi mikroba ke dalam tubuh manusia
melalui udara, aspirasi organisme, hematogen dapat menyebabkan reaksi inflamasi hebat
sehingga membran paru-paru meradang dan berlobang. Dari reaksi inflamasi akan timbul
panas, anoreksia, mual, muntah serta nyeri pleuritis. Selanjutnya RBC, WBC dan cairan
keluar masuk alveoli sehingga terjadi sekresi, edema dan bronkospasme yang
menimbulkan manifestasi klinis dyspnoe, sianosis dan batuk, selain itu juga menyebabkan
adanya partial oklusi yang akan membuat daerah paru menjadi padat (konsolidasi).
Konsolidasi paru menyebabkan meluasnya permukaan membran respirasi dan penurunan
rasio ventilasi perfusi, kedua hal ini dapat menyebabkan kapasitas difusi menurun dan
selanjutnya terjadi hipoksemia.
5.
Klasifikasi
Klasifikasi Pneumonia Neonatal dapat dibagi menjadi :
a. Intrapartum pneumonia
1) Pneumonia Intrapartum diperoleh selama perjalanan melalui jalan lahir.
2) Intrapartum pneumonia dapat diperoleh melalui transmisi hematogenous, atau
aspirasi dari ibu yang terinfeksi, atau terkontaminasi cairan atau dari mekanik, atau
gangguan iskemik dari permukaan mukosa yang telah baru saja dijajah dengan ibu
invasif organisme yang sesuai potensi dan virulensinya.
3) Bayi yang aspirasi benda asing, seperti mekonium atau darah, dapat mewujudkan
tanda-tanda paru segera setelah atau sangat segera setelah lahir.
4) Proses infeksi sering memiliki periode beberapa jam sebelum invasi yang memadai,
replikasi, dan respon inflamasi telah terjadi menyebabkan tanda-tanda klinis.
b. Pneumonia pascalahir
1) Pasca kelahiran pneumonia dalam 24 jam pertama kehidupan berasal setelah bayi
lahir.
2) Pasca kelahiran radang paru-paru dapat diakibatkan dari beberapa proses yang
sama seperti yang dijelaskan di atas, tetapi infeksi terjadi setelah proses kelahiran.
3) Yang sering menggunakan antibiotik spektrum luas yang dihadapi dalam banyak
pelayanan obstetri dan bayi baru lahir unit perawatan intensif (NICU) sering
mengakibatkan kecenderungan dari bayi untuk kolonisasi oleh organisme resisten
pathogenicity yang tidak biasa. Terapi invasif yang diperlukan dalam oleh bayi
sering menyebabkan mikroba masuk ke dalam struktur yang biasanya tidak mudah
diakses.
4) Enteral menyusui dapat mengakibatkan peristiwa aspirasi peradangan signifikan
potensial.
Gejala Klinik
Gejala klinis tergantung pada lokasi, tipe kuman dan tingkat berat penyakit
Adapun gejala klinis dari pneumonia yaitu :
a. Tachypnea (laju pernafasan >60 kali/menit).
b. Dengkur ekspirasi mungkin terjadi.
c. Perekrutan otot aksesori pernapasan, seperti cuping hidung dan retraksi di subcostal,
interkostal, atau situs suprasternal, dapat terjadi.
d. Sekresi saluran napas dapat bervariasi secara substansial dalam kualitas dan kuantitas,
tetapi yang paling sering sedalam-dalamnya dan kemajuan dari serosanguineous untuk
penampilan yang lebih bernanah, putih, kuning, hijau, atau perdarahan warna dan
tekstur krim atau chunky tidak jarang terjadi. Jika aspirasi mekonium, darah, atau
cairan properadangan lainnya dicurigai, warna dan tekstur lain bisa dilihat.
e. Rales, rhonchi, dan batuk adalah semua diamati lebih jarang pada bayi dengan radang
paru-paru daripada individu yang lebih tua. Jika ada, mereka mungkin disebabkan
oleh proses menyebabkan peradangan, seperti gagal jantung kongestif, kondensasi dari
gas humidified diberikan selama ventilasi mekanik, atau tabung endotracheal
perpindahan.
Pemeriksaan Fisik
Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Penegakan diagnosis dibuat dengan pengarahan kepada terapi empiris, mencakup
bentuk dan luas penyakit, tingkat berat penyakit dan perkiraan jenis kuman penyebab
infeksi. Dugaan mikrorganisme penyebab infeksi mengarahkan pada pemilihan antibiotika
yang tepat.
10.
Therapy/Tindakan Penanganan
a. Terapi antibiotika, merupakan terapi utama pada pasien pneumonia dengan manifestasi
apapun, yang dimaksudkan sebagai terapi kausal terhadap kuman penyebabnya.
b. Terapi suportif umum:
1) Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 % berdasarkan
pemeriksaan AGD.
2) Humidifikasi dengan nebulizer untuk mengencerkan dahak yang kental.
3) Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya dengan clapping dan vibrasi.
4) Pengaturan cairan: pada pasien pneumonia, paru menjadi lebih sensitif terhadap
pembebanan cairan terutama pada pneumonia bilateral.
5) Pemberian kortikosteroid, diberikan pada fase sepsis.
a. Anamnesa:
1) Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nomor RM, Nama penanggung
jawab, hubungan dengan pasien, alamat.
2) Riwayat antenatal: pemeriksaan selama hamil (ANC), hari pertama haid terakhir
(HPHT), tapsiran partus (TP).
3) Riwayat intranatal: perdarahan, ketuban pecah, gawat janin, demam, keputihan,
riwayat terapi.
4) Riwayat penyakit ibu: DM, Asma, Hepatitis B, TB, Hipertensi, jantung dan lainnya.
5) Riwayat persalinan: cara persalinan (spontan, section, forceps) dan indikasinya
6) KU bayi saat persalinan: activity tonus reflex (ATR), tangisan, nadi, pernafasan,
kelainan fisik, berat badan, panjang badan, lingkar lengan, lingkar dada, APGAR
score.
b. Pemeriksaan fisik
1) Breathing
Frekuensi napas cepat dan dangkal, gerakan dinding toraks dapat berkurang pada
daerah yang terkena, perkusi normal atau redup, retraksi sternum dan intercostal
space.
melemah atau mengeras, suara nafas tambahan berupa ronkhi basah halus di
lapangan paru yang terkena, kadang disertai dengan sputum.
2) Blood
Denyut nadi perifer melemah, tekanan darah biasanya normal, batas jantung tidak
mengalami pergeseran, akral dingin, sianosis, kulit pucat, icterus, CRT memanjang
(>3 det).
3) Brain
Klien dengan pneumonia berat biasanya mengalami penurunan kesadaran,
didapatkan sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Perlu dikaji
tingkat kesadaran, besar dan reflek pupil terhadap cahaya
4) Bladder
Pengukuran volume output dan intake cairan, oleh karena itu perawat perlu
memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok.
Dikaji pula kelainan pada genetalia dan pola eliminasi urine.
5) Bowel
Dikaji apakah ada distensi pada abdomen, bising usus, bagaimana pola eliminasi
alvi, adakah kelainan pada anus.
6) Bone
Didapatkan kelemahan dan kelelahan secara fisik, dikaji pula adakah kelainan pada
tulang yang kemungkinan karena trauma persalinan atau kongenital, bagaimana
ATR (activity tonus respon).
2.
Rencana Tindakan
Rasional: penurunan aliran darah terjadi pada area konsolidasi dengan cairan,
krakels terdengar sebagai respon terhadap pengumpulan cairan/secret.
3) Penghisapan sesuai indikasi.
Rasional: merangsang batuk atau pembersihan jalan nafas secara mekanik pada
pasien yang tidak mampu melakukan batuk efektif karena adanya penurunan
tingkat kesadaran.
4) Evaluasi status mental, catat adanya kebingungan, disorientasi.
Rasional: menurunnya perfusi otak dapat menyebabkan perubahan sensorium
5) Kolaborasi dalam pemberian obat mukolitik, bronkodilator
Rasional: obat mukolitik membantu untuk mengencerkan sekret, bronkodilator
mengurangi edema dan sebagai vaso dilatasi bronkus.
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak efektif Tujuan:
pola nafas efektif.
Kriteria evaluasi:
1)
2)
3)
4)
Rencana intervensi:
1) Evaluasi frekuensi dan kedalaman pernapasan. Catat adanya upaya pernapasan
seperti dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan.
Rasional: kecepatan dan upaya mungkin meningkat karena nyeri, penurunan
volume sirkulasi. Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi abnormal dapat
mencegah komplikasi.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, letakkan pada posisi tinggi bila tidak ada
kontraindikasi. .
Rasional: merangsang ekspansi paru. efektif pada pencegahan dan perbaikan
kongesti paru.
3) Berikan oksigen dengan head box atau sesuai indikasi
Rasional: meningkatkan pengiriman oksigen ke paru untuk kebutuhan sirkulasi.
4) Kaji ulang laporan foto dada dan pemeriksaan laboratorium ( AGD ).
Rasional: untuk memantau kefektifan terapi pernapasan dan mencatat terjadinya
komplikasi.
2)
3)
Rencana intervensi:
1) Kaji frekuensi dan kedalaman pernapasan. Catat adanya upaya pernapasan seperti
dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan.
Rasional: kecepatan dan upaya mungkin meningkat karena nyeri, penurunan
volume sirkulasi. Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi abnormal dapat
mencegah komplikasi.
2) Pertahankan pemberian oksigen Head box sesuai indikasi.
Rasional: meningkatkan pengiriman oksigen ke otak untuk kebutuhan sirkulasi.
3) Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium ( AGD ).
Rasional: untuk memantau kefektifan terapi pernapasan dan mencatat terjadinya
komplikasi.
d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan rasio ventilasi dan difusi
parenkim paru ditandai dengan sianosis jaringan perifer, akral dingin, pucat, CRT<3
detik.
Tujuan : mempertahankan perfusi jaringan.
Kriteria hasil:
1) Suara nafas bersih, wheezing tidak ada, ronkhi tidak ada.
2) Tanda vital dalam batas normal, denyut nadi teraba jelas.
3) Tidak sianosis, kulit tidak pucat, CRT<3 detik.
4) Akral hangat.
5) Tidak terjadi penurunan kesadaran.
Rencana intervensi:
1) Kaji frekuensi, kedalaman bernapas dan suara nafas.
Rasional:
takipnea,
pernapasan
yang
dangkal
sering
terjadi
karena
hipoksia
Evaluasi
Sesuai dengan kriteria hasil yaitu bersihan jalan nafas efektif, pola nafas efektif,
tidak terjadi kerusakan pertukaran gas, perfusi jaringan adekuat, tidak terjadi hipertermi.
PATHWAY
Kuman
(bakteri, virus)
masuk mll plasenta
Kuman dari
flora vagina
masuk ke
Chorionic Plate
Aspirasi
masuk Paru
RBC,WBC, cairan
keluar masuk alveoli
Edema, bronkospasme
Panas
Hipertermi
Dyspnoe, tahipnea
Sianosis
Konsolidasi paru
Sekret
Hipoksemia
LAPORAN PENDAHULUAN
HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS
Ikterus merupakan suatu gejala yang sering ditemukan pada Bayi Baru Lahir
(BBL). Menurut beberapa penulis kejadian ikterus pada BBL berkisar 50 % pada bayi
cukup bulan dan 75 % pada bayi kurang bulan.
KONSEP DASAR
A. Definisi
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah
Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987):
Timbul pada hari kedua-ketiga
Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada
serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase
yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.
D. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian
yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar
yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit,
Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau
pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar
Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang
mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air
tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel
otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada
otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat
tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah
tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada
keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi
terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( Markum,
1991).
E. Penatalaksanaan Medis
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia
diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia.
Pengobatan mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum Albumin
4. Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi
Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.
Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi
Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan
intensitas yang tinggi ( a bound of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light
spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar
Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal
ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi
menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan
ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin
berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke
Empedu dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa
proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch, 1984). Hasil Fotodegradasi
terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar
Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat
menyebabkan Anemia.
ilmuan
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2009, Pneumonia, Online, Available, www.wikipedia.id.org, diakses
tanggal 27 Mei 2010.
Anonymous. 2008, Pneumonia. Online, Availble, www.medicinenet.com, diakses tanggal
27 Mei 2010.
Caserta,
M.T.,
2009,
Neonatal
Pneumonia,
Online,
Availble,
26 Mei
2010.
Corwin, E.J., 2000, Buku Saku Patofisiologi, Jakarta: EGC.
Doenges, dkk., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman Untuk
Perencanaan
Sistem
Seto.