Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN PNEUMONIA NEONATAL

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Definisi / Pengertian

 Pneumonia adalah infeksi saluran napas bagian bawah. Penyakit ini adalah infeksi

akut jaringan paru oleh mikroorganisme ( Corwin, 2000 ).

 Pneumonia adalah peradangan alveoli atau pada parenchim paru yang terjadi pada

anak. (Suriadi, 2001).

 Pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat konsolidasi dan

terjadi pengisian rongga alveoli oleh eksudat yang dapat disebabkan oleh, bakteri,

virus, jamur, dan benda-benda asing ( Muttaqin, 2009).

 Pneumonia adalah sebuah penyakit pada paru-paru dimana pulmonary alveolus

(alveoli) yang bertanggung jawab menyerap oksigen dari atmosfer meradang dan

terisi oleh cairan. ( Anonymous, 2009).

 Pneumonia neonatal adalah infeksi pada paru-paru, serangan mungkin terjadi

dalam beberapa jam kelahiran dan merupakan bagian yang dapat disamakan

dengan kumpulan gejala sepsis atau setelah tujuh hari dan terbatas pada paru-paru.

Tanda-tandanya mungkin terbatas pada kegagalan pernafasan atau berlanjut ke

arah syok dan kematian. Infeksi dapat ditularkan melalui plasenta, aspirasi atau

diperoleh setelah kelahiran (Caserta, 2009).

2. Epidemiologi/Insiden Kasus
Insiden Pneumonia neonatal diperkirakan 1% pada bayi cukup bulan, 10% pada bayi

kurang bulan, serta kejadian meningkat pada neonates yang dirawat di NICU.
3. Penyebab/Faktor Predisposisi
Penyebab dari pneumonia neonatal adalah hampir sama dengan penyebab pneumonia pada

umumnya, yaitu:
a. Bakteri: Grup B Streptokokus, Stapilokokus Aureus, Stapilokokus Epidermidis, E. Coli,

Pseudomonas, Serratia Marcescens, Klebsiella.


b. Virus: RSV, Adenovirus, Enterovirus, CMV.
c. Jamur: Candida.
4. Patofisiologi
Menurut pengelompokannya, patofisiologi dari pneumonia neonatal adalah:
a. Transplasenta (Kongenital Pneumonia):
Kuman/agent masuk melalui plasenta mengikuti sistem peredaran darah janin (hematogen)

sampai ke paru-paru janin menimbulkan gejala pneumonia yang disebut juga Early Onset

Pneumoni (pada umur 3 hari pertama).


b. Ascending Pneumonia (Post Amnionistis Pneumonia):
Kuman/agent dari flora vagina menular secara ascending menyebar ke chorionic plate

menimbulkan gejala amnionitis menyebabkan bayi aspirasi dan masuk ke paru-paru.


Predisposisi adalah persalinan premature, ketuban pecah sebelum persalinan, persalinan

memanjang dengan dilatasi serviks, atau pemeriksaan obstetri yang sering.


c. Transnatal Pneumonia:
Onsetnya berlangsung lambat, proses infeksi selalu terjadi pada paru-paru dan penyebab

terbanyak adalah grup B Streptokokus.


d. Nosokomial Pneumonia:
Pneumonia yang didapat selama perawatan di rumah sakit dengan factor predisposisi antara

lain BBL<1500 gram, dirawat lama, penyakit dasar berat, prosedur invasif banyak, perawatan

ventilator terkontaminasi.

Menurut Suriadi (2001) patofisiologi pada pneumonia dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Adanya gangguan pada terminal jalan nafas dan alveoli oleh mikroorganisme patogen yaitu

virus dan bakteri (Streptococcus Aureus, Haemophillus Influenzae dan Streptococcus

Pneumoniae).

b. Terdapat infiltrat yang biasanya mengenai pada multiple lobus, terjadinya destruksi sel dengan

meninggalkan debris cellular ke dalam lumen yang mengakibatkan gangguan fungsi alveolar

dan jalan nafas.

c. Pada kondisi anak ini dapat akut dan kronik misalnya : Cystic Fibrosis (CF), aspirasi benda

asing dan konginetal yang dapat meningkatkan resiko pneumonia.

Adanya etiologi seperti jamur dan inhalasi mikroba ke dalam tubuh manusia melalui udara,

aspirasi organisme, hematogen dapat menyebabkan reaksi inflamasi hebat sehingga membran paru-

paru meradang dan berlobang. Dari reaksi inflamasi akan timbul panas, anoreksia, mual, muntah
serta nyeri pleuritis. Selanjutnya RBC, WBC dan cairan keluar masuk alveoli sehingga terjadi

sekresi, edema dan bronkospasme yang menimbulkan manifestasi klinis dyspnoe, sianosis dan

batuk, selain itu juga menyebabkan adanya partial oklusi yang akan membuat daerah paru menjadi

padat (konsolidasi). Konsolidasi paru menyebabkan meluasnya permukaan membran respirasi dan

penurunan rasio ventilasi perfusi, kedua hal ini dapat menyebabkan kapasitas difusi menurun dan

selanjutnya terjadi hipoksemia.

5. Klasifikasi

Klasifikasi Pneumonia Neonatal dapat dibagi menjadi :

a. Intrapartum pneumonia

1) Pneumonia Intrapartum diperoleh selama perjalanan melalui jalan lahir.

2) Intrapartum pneumonia dapat diperoleh melalui transmisi hematogenous, atau aspirasi dari

ibu yang terinfeksi, atau terkontaminasi cairan atau dari mekanik, atau gangguan iskemik

dari permukaan mukosa yang telah baru saja dijajah dengan ibu invasif organisme yang

sesuai potensi dan virulensinya.

3) Bayi yang aspirasi benda asing, seperti mekonium atau darah, dapat mewujudkan tanda-

tanda paru segera setelah atau sangat segera setelah lahir.

4) Proses infeksi sering memiliki periode beberapa jam sebelum invasi yang memadai,

replikasi, dan respon inflamasi telah terjadi menyebabkan tanda-tanda klinis.

b. Pneumonia pascalahir

1) Pasca kelahiran pneumonia dalam 24 jam pertama kehidupan berasal setelah bayi lahir.

2) Pasca kelahiran radang paru-paru dapat diakibatkan dari beberapa proses yang sama seperti

yang dijelaskan di atas, tetapi infeksi terjadi setelah proses kelahiran.

3) Yang sering menggunakan antibiotik spektrum luas yang dihadapi dalam banyak pelayanan

obstetri dan bayi baru lahir unit perawatan intensif (NICU) sering mengakibatkan

kecenderungan dari bayi untuk kolonisasi oleh organisme resisten pathogenicity yang tidak

biasa. Terapi invasif yang diperlukan dalam oleh bayi sering menyebabkan mikroba

masuk ke dalam struktur yang biasanya tidak mudah diakses.


4) Enteral menyusui dapat mengakibatkan peristiwa aspirasi peradangan signifikan potensial.

Selang makanan mungkin lebih lanjut dapat mempengaruhi gastroesophageal reflux dan

aspirasi pada bayi.

6. Gejala Klinik

Gejala klinis tergantung pada lokasi, tipe kuman dan tingkat berat penyakit

Adapun gejala klinis dari pneumonia yaitu :

a. Tachypnea (laju pernafasan >60 kali/menit).

b. Dengkur ekspirasi mungkin terjadi.

c. Perekrutan otot aksesori pernapasan, seperti cuping hidung dan retraksi di subcostal,

interkostal, atau situs suprasternal, dapat terjadi.

d. Sekresi saluran napas dapat bervariasi secara substansial dalam kualitas dan kuantitas, tetapi

yang paling sering sedalam-dalamnya dan kemajuan dari serosanguineous untuk penampilan

yang lebih bernanah, putih, kuning, hijau, atau perdarahan warna dan tekstur krim atau

chunky tidak jarang terjadi. Jika aspirasi mekonium, darah, atau cairan properadangan lainnya

dicurigai, warna dan tekstur lain bisa dilihat.

e. Rales, rhonchi, dan batuk adalah semua diamati lebih jarang pada bayi dengan radang paru-

paru daripada individu yang lebih tua. Jika ada, mereka mungkin disebabkan oleh proses

menyebabkan peradangan, seperti gagal jantung kongestif, kondensasi dari gas humidified

diberikan selama ventilasi mekanik, atau tabung endotracheal perpindahan. Meskipun

alternatif penjelasan yang mungkin, temuan ini akan dimintakan pertimbangan cermat

pneumonia dalam diagnosis diferensial.

f. Sianosis pusat jaringan, menyiratkan deoxyhemoglobin konsentrasi sekitar 5 g/dL atau lebih

dan konsisten dengan kerusakan pertukaran gas dari disfungsi paru berat seperti radang paru-

paru, meskipun penyakit jantung bawaan struktural, hemoglobinopathy, polisitemia, dan

hipertensi pulmonal (dengan atau tanpa parenkim terkait lainnya penyakit paru-paru) harus

dipertimbangkan.
g. Peningkatan pernapasan seperti peningkatan menghirup oksigen konsentrasi, ventilasi tekanan

positif, atau tekanan saluran udara positif terus menerus umumnya diperlukan sebelum

pemulihan dimulai.

h. Bayi dengan pneumonia dapat bermanifestasi asimetri suara napas dan dada yang menyatakan

kebocoran udara atau perubahan emphysematous sekunder obstruksi jalan napas parsial.

Selain gejala klinis di atas, dapat juga muncul gambaran klinis APGAR Score rendah,

segera setelah lahir terjadi distress nafas, perfusi perifir rendah, letargi, tidak mau minum, tidak

mau minum, distensi abdomen, suhu tidak stabil, asisdosis metabolik, DIC.

7. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda-tanda konsolidasi paru berupa perkusi paru

pekak, auskultasi terdapat ronchi nyaring dan suara pernapasan bronchial, inspirasi rales dan

terdapat penggunaan otot aksesori.

8. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a. Pemeriksaan radiology (Chest X-Ray) :
Teridentifikasi adanya penyebaran (misal lobus dan bronchial), menunjukkan multiple

abses/infiltrat, empiema (Staphylococcus), penyebaran atau lokasi infiltrasi (bacterial),

penyebaran/extensive nodul infiltrat (viral).


b. Pemeriksaan laboratorium:
1) DL, Serologi, LED: leukositosis menunjukkan adanya infeksi bakteri, menentukan

diagnosis secara spesifik, LED biasanya meningkat.


2) Elektrolit : Sodium dan Klorida menurun, bilirubin biasanya meningkat.
3) Analisis gas darah dan Pulse oximetry menilai tingkat hipoksia dan kebutuhan O2.
4) Pewarnaan Gram/Cultur sputum dan darah: untuk mengetahui oganisme penyebab.
5) Analisa cairan lambung, bila leukosit (+) menunjukkan adanya inflamasi amnion (risiko

pneumonia tinggi).
c. Pemeriksaan fungsi paru-paru :volume mungkin menurun, tekanan saluran udara meningkat,

kapasitas pemenuhan udara menurun dan hipoksemia.

9. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Penegakan diagnosis dibuat dengan pengarahan kepada terapi empiris, mencakup bentuk

dan luas penyakit, tingkat berat penyakit dan perkiraan jenis kuman penyebab infeksi. Dugaan

mikrorganisme penyebab infeksi mengarahkan pada pemilihan antibiotika yang tepat.

10. Therapy/Tindakan Penanganan


a. Terapi antibiotika, merupakan terapi utama pada pasien pneumonia dengan manifestasi

apapun, yang dimaksudkan sebagai terapi kausal terhadap kuman penyebabnya.

b. Terapi suportif umum:

1) Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 % berdasarkan

pemeriksaan AGD.

2) Humidifikasi dengan nebulizer untuk mengencerkan dahak yang kental.

3) Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya dengan clapping dan vibrasi.

4) Pengaturan cairan: pada pasien pneumonia, paru menjadi lebih sensitif terhadap

pembebanan cairan terutama pada pneumonia bilateral.

5) Pemberian kortikosteroid, diberikan pada fase sepsis.

6) Ventilasi mekanis : indikasi intubasi dan pemasangan ventilator dilakukan bila terjadi

hipoksemia persisten, gagal napas yang disertai peningkatan respiratoy distress dan

respiratory arrest.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian

a. Anamnesa:

1) Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nomor RM, Nama penanggung jawab,

hubungan dengan pasien, alamat.

2) Riwayat antenatal: pemeriksaan selama hamil (ANC), hari pertama haid terakhir (HPHT),

tapsiran partus (TP).

3) Riwayat intranatal: perdarahan, ketuban pecah, gawat janin, demam, keputihan, riwayat

terapi.

4) Riwayat penyakit ibu: DM, Asma, Hepatitis B, TB, Hipertensi, jantung dan lainnya.

5) Riwayat persalinan: cara persalinan (spontan, section, forceps) dan indikasinya

6) KU bayi saat persalinan: activity tonus reflex (ATR), tangisan, nadi, pernafasan, kelainan

fisik, berat badan, panjang badan, lingkar lengan, lingkar dada, APGAR score.

b. Pemeriksaan fisik
1) Breathing

Frekuensi napas cepat dan dangkal, gerakan dinding toraks dapat berkurang pada daerah

yang terkena, perkusi normal atau redup, retraksi sternum dan intercostal space. Pada

pemeriksaan auskultasi paru dapat terdengar suara nafas utama melemah atau mengeras,

suara nafas tambahan berupa ronkhi basah halus di lapangan paru yang terkena, kadang

disertai dengan sputum.

2) Blood

Denyut nadi perifer melemah, tekanan darah biasanya normal, batas jantung tidak

mengalami pergeseran, akral dingin, sianosis, kulit pucat, icterus, CRT memanjang (>3

det).

3) Brain

Klien dengan pneumonia berat biasanya mengalami penurunan kesadaran, didapatkan

sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Perlu dikaji tingkat kesadaran,

besar dan reflek pupil terhadap cahaya

4) Bladder

Pengukuran volume output dan intake cairan, oleh karena itu perawat perlu memonitor

adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Dikaji pula kelainan

pada genetalia dan pola eliminasi urine.

5) Bowel

Dikaji apakah ada distensi pada abdomen, bising usus, bagaimana pola eliminasi alvi,

adakah kelainan pada anus.

6) Bone

Didapatkan kelemahan dan kelelahan secara fisik, dikaji pula adakah kelainan pada tulang

yang kemungkinan karena trauma persalinan atau kongenital, bagaimana ATR (activity

tonus respon).

2. Diagnosa Keperawatan (Yang Mungkin Muncul)

a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi bronchial, pembentukan

edema, dan penumpukan sekret.


b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak efektif.

c. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan transportasi oksigen.

d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan rasio ventilasi dan difusi parenkim

paru ditandai dengan sianosis jaringan perifer.

3. Rencana Tindakan

a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan inflamasi bronchial, pembentukan edema, dan

penumpukan sekret. .

Tujuan: jalan napas bersih dan efektif.

Kriteria evaluasi:

1) Bunyi napas bersih, tidak ada bunyi napas tambahan.

2) Tanda vital dalam batas normal terutama frekuensi napas < 60x/menit.

3) Batuk efektif.

4) Sianosis tidak ada.

5) Tidak ada retraksi sternum dan intercostal space.

6) Nafas cuping hidung tidak ada.

Rencana intervensi

1) Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan pergerakan dada.

Rasional: takipnea, pernafasan dangkal sering terjadi karena ketidaknyamanan.

2) Auskultasi area paru, catat penurunan atau tak ada aliran udara dan bunyi napas.

Rasional: penurunan aliran darah terjadi pada area konsolidasi dengan cairan, krakels

terdengar sebagai respon terhadap pengumpulan cairan/secret.

3) Penghisapan sesuai indikasi.

Rasional: merangsang batuk atau pembersihan jalan nafas secara mekanik pada pasien

yang tidak mampu melakukan batuk efektif karena adanya penurunan tingkat kesadaran.

4) Evaluasi status mental, catat adanya kebingungan, disorientasi.

Rasional: menurunnya perfusi otak dapat menyebabkan perubahan sensorium

5) Kolaborasi dalam pemberian obat mukolitik, bronkodilator


Rasional: obat mukolitik membantu untuk mengencerkan sekret, bronkodilator mengurangi

edema dan sebagai vaso dilatasi bronkus.

b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak efektif Tujuan: pola

nafas efektif.

Kriteria evaluasi:

1) Pernafasan teratur (RR 30-40 kali/menit).

2) Tanda vital dalam batas normal (nadi 100-130 kali/menit).

3) Tidak ada penggunaan otot bantu napas.

4) Napas cuping hidung tidak ada.

Rencana intervensi:

1) Evaluasi frekuensi dan kedalaman pernapasan. Catat adanya upaya pernapasan seperti

dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan.

Rasional: kecepatan dan upaya mungkin meningkat karena nyeri, penurunan volume

sirkulasi. Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi abnormal dapat mencegah komplikasi.

2) Tinggikan kepala tempat tidur, letakkan pada posisi tinggi bila tidak ada kontraindikasi. .

Rasional: merangsang ekspansi paru. efektif pada pencegahan dan perbaikan kongesti paru.

3) Berikan oksigen dengan head box atau sesuai indikasi

Rasional: meningkatkan pengiriman oksigen ke paru untuk kebutuhan sirkulasi.

4) Kaji ulang laporan foto dada dan pemeriksaan laboratorium ( AGD ).

Rasional: untuk memantau kefektifan terapi pernapasan dan mencatat terjadinya

komplikasi.

3. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan transportasi O 2.

Tujuan: pertukaran gas efektif.

Kriteria evaluasi:

1) Hasil AGD dalam batas normal. .

2) Sianosis tidak ada.

3) Pasien tidak pucat.


Rencana intervensi:

1) Kaji frekuensi dan kedalaman pernapasan. Catat adanya upaya pernapasan seperti dispnea,

penggunaan otot bantu pernapasan.

Rasional: kecepatan dan upaya mungkin meningkat karena nyeri, penurunan volume

sirkulasi. Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi abnormal dapat mencegah komplikasi.

2) Pertahankan pemberian oksigen Head box sesuai indikasi.

Rasional: meningkatkan pengiriman oksigen ke otak untuk kebutuhan sirkulasi.

3) Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium ( AGD ).

Rasional: untuk memantau kefektifan terapi pernapasan dan mencatat terjadinya

komplikasi.

d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan rasio ventilasi dan difusi parenkim

paru ditandai dengan sianosis jaringan perifer, akral dingin, pucat, CRT<3 detik.

Tujuan : mempertahankan perfusi jaringan.

Kriteria hasil:

1) Suara nafas bersih, wheezing tidak ada, ronkhi tidak ada.

2) Tanda vital dalam batas normal, denyut nadi teraba jelas.

3) Tidak sianosis, kulit tidak pucat, CRT<3 detik.

4) Akral hangat.

5) Tidak terjadi penurunan kesadaran.

Rencana intervensi:

1) Kaji frekuensi, kedalaman bernapas dan suara nafas.

Rasional: takipnea, pernapasan yang dangkal sering terjadi karena ketidaknyamanan

gerakan dinding dada dan atau cairan paru.

2) Tempatkan pasien dalam incubator.

Rasional: mempertahankan suhu tubuh pasien, mencegah hipotermia, memperbaiki

metabolisme jaringan.

3) Pantau tanda vital.


Rasional : abnormalitas tanda vital terus menerus memerlukan evaluasi lebih lanjut dan

mengetahuai perubahan sesegera mungkin.

4) Pantau tingkat kesadaran .

Rasional: kekurangan aliran oksigen ke otak dapat menyebabkan hipoksia sel-sel otak,

kematian jaringan otak dan terjadinya penurunan tingkat kesadaran .

5) Pantau tanda-tanda sianosis, warna kulit, akral perifer.

Rasional: sianosis, kulit pucat, akral dingin adalah salah satu tanda hipoksia jaringan yang

berat akibat perfusi yang tidak adekuat.

6) Kolaborasi: pertahankan pemberian O2 sesuai indikasi (Head box 5-10 lt/mnt).

Rasional : mempertahankan PaO2 di atas 90 mmHg.

7) Kolaborasi pemeriksaan darah lengkap.

Rasional: Hb yang rendah (<10 gr/dl) mempengaruhi suplay oksigen ke jaringan.

4. Evaluasi
Sesuai dengan kriteria hasil yaitu bersihan jalan nafas efektif, pola nafas efektif, tidak

terjadi kerusakan pertukaran gas, perfusi jaringan adekuat, tidak terjadi hipertermi.

PATHWAY

Kuman Inhalasi mikroba, jamur Kuman dari

(bakteri, virus) mell : udara, aspirasi flora vagina

masuk ke

masuk mll plasenta mll sal nafas menyebar ke paru Chorionic Plate

secara hematogen masuk Aspirasi


ke paru-paru

Reaksi Inflamasi hebat masuk Paru

Membran paru meradang dan berlobang Panas

RBC,WBC, cairan

keluar masuk alveoli Hipertermi

Edema, bronkospasme Dyspnoe, tahipnea Pola nafas tdk efektif

Sianosis

Konsolidasi paru Sekret Bersihan jalan nafas

tdk efektif

Kerusakan
Penurunan rasio ventilasi & difusi pertukaran gas

Hipoksemia Gangguan perfusi jaringan


LAPORAN PENDAHULUAN
HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS

Ikterus merupakan suatu gejala yang sering ditemukan pada Bayi Baru Lahir (BBL).

Menurut beberapa penulis kejadian ikterus pada BBL berkisar 50 % pada bayi cukup bulan dan 75

% pada bayi kurang bulan.

KONSEP DASAR
A. Definisi
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus

yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987):


• Timbul pada hari kedua-ketiga
• Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup

bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.


• Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
• Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
• Ikterus hilang pada 10 hari pertama
• Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu

2. Ikterus Patologis / Hiperbilirubinemia


Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai

yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak


ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis.

Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup

bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.

3. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak

terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus,


Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.

B. Etiologi
1. Peningkatan produksi :
• Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian

golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.


• Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
• Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang

terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .


• Defisiensi G6PD ( Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase ).
• Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta) ,

diol (steroid).
• Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek

meningkat misalnya pada berat badan lahir rendah.


• Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada

Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine.


3. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang

dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi , Toksoplasmosis,

Siphilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif

C. Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut

dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah

konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan

Albumin (Albumin binding site). Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya

sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum

Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.


D. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang

sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang

berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.

Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin

tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia,

Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila

ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya

sumbatan saluran empedu.


Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.

Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi

mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila

Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut

Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan

timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar Bilirubin

melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin

Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir

Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( Markum, 1991).

E. Penatalaksanaan Medis
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia

diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan

mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum Albumin
4. Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti,

Infus Albumin dan Therapi Obat.

Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti

untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang

tinggi ( a bound of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan

menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara

memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang

diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut

Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme

difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati.

Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk

dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch, 1984). Hasil

Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui

urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin,

tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan

Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg /

dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi

dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan

Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan

Lahir Rendah.

Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
2. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
3. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
4. Tes Coombs Positif
5. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
6. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
7. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
8. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
9. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.

Transfusi Pengganti digunakan untuk :


1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel

darah merah terhadap Antibodi Maternal.


2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
3. Menghilangkan Serum Bilirubin
4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan

Bilirubin

Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari

2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan

antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus

diperiksa setiap hari sampai stabil.

Terapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang

meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada

ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan

penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi).

Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga

menurunkan siklus Enterohepatika.

Penggolongan Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus:


1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya

kemungkinan dapat disusun sbb:


• Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
• Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang

Bakteri)
• Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan:


• Kadar Bilirubin Serum berkala.
• Darah tepi lengkap.
• Golongan darah ibu dan bayi.
• Test Coombs.
• Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar bila perlu.
2. Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.
• Biasanya Ikterus fisiologis.
• Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau

golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat

misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.


• Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.
• Polisetimia.
• Hemolisis perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis, pendarahan

Hepar, sub kapsula dll). Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat

maka pemeriksaan yang perlu dilakukan:


• Pemeriksaan darah tepi.
• Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
• Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
• Pemeriksaan lain bila perlu.
3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.
• Sepsis.
• Dehidrasi dan Asidosis.
• Defisiensi Enzim G6PD.
• Pengaruh obat-obat.
• Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.
4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:
• Karena ikterus obstruktif.
• Hipotiroidisme
• Breast milk Jaundice.
• Infeksi.
• Hepatitis Neonatal.
• Galaktosemia.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:
• Pemeriksaan Bilirubin berkala.
• Pemeriksaan darah tepi.
• Skrining Enzim G6PD.
• Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2009, Pneumonia, Online, Available, www.wikipedia.id.org, diakses tanggal
27 Mei 2010.
Anonymous. 2008, Pneumonia. Online, Availble, www.medicinenet.com, diakses tanggal
27 Mei 2010.
Caserta, M.T., 2009, Neonatal Pneumonia, Online, Availble,
http://www.merck.com/mmpe/sec19/ch279/ch279l.html, diakses tanggal 26 Mei 2010.
Corwin, E.J., 2000, Buku Saku Patofisiologi, Jakarta: EGC.
Doenges, dkk., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif, 2009, Pengantar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler, Jakarta: Salemba.
Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Price & Wilson, 1995, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4 Buku 1,
Jakarta: EGC.
Suriadi, Yuliani, 2001, Asuhan Keperawatan Pada Anak, Jakarta: CV Sagung Seto.

Anda mungkin juga menyukai