1. Definisi / Pengertian
Pneumonia adalah infeksi saluran napas bagian bawah. Penyakit ini adalah infeksi
Pneumonia adalah peradangan alveoli atau pada parenchim paru yang terjadi pada
Pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat konsolidasi dan
terjadi pengisian rongga alveoli oleh eksudat yang dapat disebabkan oleh, bakteri,
(alveoli) yang bertanggung jawab menyerap oksigen dari atmosfer meradang dan
dalam beberapa jam kelahiran dan merupakan bagian yang dapat disamakan
dengan kumpulan gejala sepsis atau setelah tujuh hari dan terbatas pada paru-paru.
arah syok dan kematian. Infeksi dapat ditularkan melalui plasenta, aspirasi atau
2. Epidemiologi/Insiden Kasus
Insiden Pneumonia neonatal diperkirakan 1% pada bayi cukup bulan, 10% pada bayi
kurang bulan, serta kejadian meningkat pada neonates yang dirawat di NICU.
3. Penyebab/Faktor Predisposisi
Penyebab dari pneumonia neonatal adalah hampir sama dengan penyebab pneumonia pada
umumnya, yaitu:
a. Bakteri: Grup B Streptokokus, Stapilokokus Aureus, Stapilokokus Epidermidis, E. Coli,
sampai ke paru-paru janin menimbulkan gejala pneumonia yang disebut juga Early Onset
lain BBL<1500 gram, dirawat lama, penyakit dasar berat, prosedur invasif banyak, perawatan
ventilator terkontaminasi.
Menurut Suriadi (2001) patofisiologi pada pneumonia dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Adanya gangguan pada terminal jalan nafas dan alveoli oleh mikroorganisme patogen yaitu
Pneumoniae).
b. Terdapat infiltrat yang biasanya mengenai pada multiple lobus, terjadinya destruksi sel dengan
meninggalkan debris cellular ke dalam lumen yang mengakibatkan gangguan fungsi alveolar
c. Pada kondisi anak ini dapat akut dan kronik misalnya : Cystic Fibrosis (CF), aspirasi benda
Adanya etiologi seperti jamur dan inhalasi mikroba ke dalam tubuh manusia melalui udara,
aspirasi organisme, hematogen dapat menyebabkan reaksi inflamasi hebat sehingga membran paru-
paru meradang dan berlobang. Dari reaksi inflamasi akan timbul panas, anoreksia, mual, muntah
serta nyeri pleuritis. Selanjutnya RBC, WBC dan cairan keluar masuk alveoli sehingga terjadi
sekresi, edema dan bronkospasme yang menimbulkan manifestasi klinis dyspnoe, sianosis dan
batuk, selain itu juga menyebabkan adanya partial oklusi yang akan membuat daerah paru menjadi
padat (konsolidasi). Konsolidasi paru menyebabkan meluasnya permukaan membran respirasi dan
penurunan rasio ventilasi perfusi, kedua hal ini dapat menyebabkan kapasitas difusi menurun dan
5. Klasifikasi
a. Intrapartum pneumonia
2) Intrapartum pneumonia dapat diperoleh melalui transmisi hematogenous, atau aspirasi dari
ibu yang terinfeksi, atau terkontaminasi cairan atau dari mekanik, atau gangguan iskemik
dari permukaan mukosa yang telah baru saja dijajah dengan ibu invasif organisme yang
3) Bayi yang aspirasi benda asing, seperti mekonium atau darah, dapat mewujudkan tanda-
4) Proses infeksi sering memiliki periode beberapa jam sebelum invasi yang memadai,
b. Pneumonia pascalahir
1) Pasca kelahiran pneumonia dalam 24 jam pertama kehidupan berasal setelah bayi lahir.
2) Pasca kelahiran radang paru-paru dapat diakibatkan dari beberapa proses yang sama seperti
3) Yang sering menggunakan antibiotik spektrum luas yang dihadapi dalam banyak pelayanan
obstetri dan bayi baru lahir unit perawatan intensif (NICU) sering mengakibatkan
kecenderungan dari bayi untuk kolonisasi oleh organisme resisten pathogenicity yang tidak
biasa. Terapi invasif yang diperlukan dalam oleh bayi sering menyebabkan mikroba
Selang makanan mungkin lebih lanjut dapat mempengaruhi gastroesophageal reflux dan
6. Gejala Klinik
Gejala klinis tergantung pada lokasi, tipe kuman dan tingkat berat penyakit
c. Perekrutan otot aksesori pernapasan, seperti cuping hidung dan retraksi di subcostal,
d. Sekresi saluran napas dapat bervariasi secara substansial dalam kualitas dan kuantitas, tetapi
yang paling sering sedalam-dalamnya dan kemajuan dari serosanguineous untuk penampilan
yang lebih bernanah, putih, kuning, hijau, atau perdarahan warna dan tekstur krim atau
chunky tidak jarang terjadi. Jika aspirasi mekonium, darah, atau cairan properadangan lainnya
e. Rales, rhonchi, dan batuk adalah semua diamati lebih jarang pada bayi dengan radang paru-
paru daripada individu yang lebih tua. Jika ada, mereka mungkin disebabkan oleh proses
menyebabkan peradangan, seperti gagal jantung kongestif, kondensasi dari gas humidified
alternatif penjelasan yang mungkin, temuan ini akan dimintakan pertimbangan cermat
f. Sianosis pusat jaringan, menyiratkan deoxyhemoglobin konsentrasi sekitar 5 g/dL atau lebih
dan konsisten dengan kerusakan pertukaran gas dari disfungsi paru berat seperti radang paru-
hipertensi pulmonal (dengan atau tanpa parenkim terkait lainnya penyakit paru-paru) harus
dipertimbangkan.
g. Peningkatan pernapasan seperti peningkatan menghirup oksigen konsentrasi, ventilasi tekanan
positif, atau tekanan saluran udara positif terus menerus umumnya diperlukan sebelum
pemulihan dimulai.
h. Bayi dengan pneumonia dapat bermanifestasi asimetri suara napas dan dada yang menyatakan
kebocoran udara atau perubahan emphysematous sekunder obstruksi jalan napas parsial.
Selain gejala klinis di atas, dapat juga muncul gambaran klinis APGAR Score rendah,
segera setelah lahir terjadi distress nafas, perfusi perifir rendah, letargi, tidak mau minum, tidak
mau minum, distensi abdomen, suhu tidak stabil, asisdosis metabolik, DIC.
7. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda-tanda konsolidasi paru berupa perkusi paru
pekak, auskultasi terdapat ronchi nyaring dan suara pernapasan bronchial, inspirasi rales dan
8. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a. Pemeriksaan radiology (Chest X-Ray) :
Teridentifikasi adanya penyebaran (misal lobus dan bronchial), menunjukkan multiple
pneumonia tinggi).
c. Pemeriksaan fungsi paru-paru :volume mungkin menurun, tekanan saluran udara meningkat,
9. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Penegakan diagnosis dibuat dengan pengarahan kepada terapi empiris, mencakup bentuk
dan luas penyakit, tingkat berat penyakit dan perkiraan jenis kuman penyebab infeksi. Dugaan
1) Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 % berdasarkan
pemeriksaan AGD.
3) Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya dengan clapping dan vibrasi.
4) Pengaturan cairan: pada pasien pneumonia, paru menjadi lebih sensitif terhadap
6) Ventilasi mekanis : indikasi intubasi dan pemasangan ventilator dilakukan bila terjadi
hipoksemia persisten, gagal napas yang disertai peningkatan respiratoy distress dan
respiratory arrest.
a. Anamnesa:
1) Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nomor RM, Nama penanggung jawab,
2) Riwayat antenatal: pemeriksaan selama hamil (ANC), hari pertama haid terakhir (HPHT),
3) Riwayat intranatal: perdarahan, ketuban pecah, gawat janin, demam, keputihan, riwayat
terapi.
4) Riwayat penyakit ibu: DM, Asma, Hepatitis B, TB, Hipertensi, jantung dan lainnya.
6) KU bayi saat persalinan: activity tonus reflex (ATR), tangisan, nadi, pernafasan, kelainan
fisik, berat badan, panjang badan, lingkar lengan, lingkar dada, APGAR score.
b. Pemeriksaan fisik
1) Breathing
Frekuensi napas cepat dan dangkal, gerakan dinding toraks dapat berkurang pada daerah
yang terkena, perkusi normal atau redup, retraksi sternum dan intercostal space. Pada
pemeriksaan auskultasi paru dapat terdengar suara nafas utama melemah atau mengeras,
suara nafas tambahan berupa ronkhi basah halus di lapangan paru yang terkena, kadang
2) Blood
Denyut nadi perifer melemah, tekanan darah biasanya normal, batas jantung tidak
mengalami pergeseran, akral dingin, sianosis, kulit pucat, icterus, CRT memanjang (>3
det).
3) Brain
sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Perlu dikaji tingkat kesadaran,
4) Bladder
Pengukuran volume output dan intake cairan, oleh karena itu perawat perlu memonitor
adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Dikaji pula kelainan
5) Bowel
Dikaji apakah ada distensi pada abdomen, bising usus, bagaimana pola eliminasi alvi,
6) Bone
Didapatkan kelemahan dan kelelahan secara fisik, dikaji pula adakah kelainan pada tulang
yang kemungkinan karena trauma persalinan atau kongenital, bagaimana ATR (activity
tonus respon).
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi bronchial, pembentukan
d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan rasio ventilasi dan difusi parenkim
3. Rencana Tindakan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan inflamasi bronchial, pembentukan edema, dan
penumpukan sekret. .
Kriteria evaluasi:
2) Tanda vital dalam batas normal terutama frekuensi napas < 60x/menit.
3) Batuk efektif.
Rencana intervensi
2) Auskultasi area paru, catat penurunan atau tak ada aliran udara dan bunyi napas.
Rasional: penurunan aliran darah terjadi pada area konsolidasi dengan cairan, krakels
Rasional: merangsang batuk atau pembersihan jalan nafas secara mekanik pada pasien
yang tidak mampu melakukan batuk efektif karena adanya penurunan tingkat kesadaran.
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak efektif Tujuan: pola
nafas efektif.
Kriteria evaluasi:
Rencana intervensi:
1) Evaluasi frekuensi dan kedalaman pernapasan. Catat adanya upaya pernapasan seperti
Rasional: kecepatan dan upaya mungkin meningkat karena nyeri, penurunan volume
sirkulasi. Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi abnormal dapat mencegah komplikasi.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, letakkan pada posisi tinggi bila tidak ada kontraindikasi. .
Rasional: merangsang ekspansi paru. efektif pada pencegahan dan perbaikan kongesti paru.
komplikasi.
Kriteria evaluasi:
1) Kaji frekuensi dan kedalaman pernapasan. Catat adanya upaya pernapasan seperti dispnea,
Rasional: kecepatan dan upaya mungkin meningkat karena nyeri, penurunan volume
sirkulasi. Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi abnormal dapat mencegah komplikasi.
komplikasi.
d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan rasio ventilasi dan difusi parenkim
paru ditandai dengan sianosis jaringan perifer, akral dingin, pucat, CRT<3 detik.
Kriteria hasil:
4) Akral hangat.
Rencana intervensi:
metabolisme jaringan.
Rasional: kekurangan aliran oksigen ke otak dapat menyebabkan hipoksia sel-sel otak,
Rasional: sianosis, kulit pucat, akral dingin adalah salah satu tanda hipoksia jaringan yang
4. Evaluasi
Sesuai dengan kriteria hasil yaitu bersihan jalan nafas efektif, pola nafas efektif, tidak
terjadi kerusakan pertukaran gas, perfusi jaringan adekuat, tidak terjadi hipertermi.
PATHWAY
masuk ke
masuk mll plasenta mll sal nafas menyebar ke paru Chorionic Plate
RBC,WBC, cairan
Sianosis
tdk efektif
Kerusakan
Penurunan rasio ventilasi & difusi pertukaran gas
Ikterus merupakan suatu gejala yang sering ditemukan pada Bayi Baru Lahir (BBL).
Menurut beberapa penulis kejadian ikterus pada BBL berkisar 50 % pada bayi cukup bulan dan 75
KONSEP DASAR
A. Definisi
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus
Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup
bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
3. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak
B. Etiologi
1. Peningkatan produksi :
• Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian
diol (steroid).
• Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek
dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi , Toksoplasmosis,
Siphilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif
C. Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut
dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah
konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan
Albumin (Albumin binding site). Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya
sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum
sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang
berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin
tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia,
Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya
Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi
mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila
Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut
Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan
timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar Bilirubin
melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin
Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir
E. Penatalaksanaan Medis
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia
diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan
mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum Albumin
4. Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti,
Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti
untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang
tinggi ( a bound of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan
menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara
memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang
diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut
difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati.
dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch, 1984). Hasil
urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin,
tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan
Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg /
dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi
Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan
Lahir Rendah.
Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
2. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
3. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
4. Tes Coombs Positif
5. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
6. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
7. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
8. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
9. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.
Bilirubin
2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan
antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus
Terapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang
meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada
ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan
penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi).
Bakteri)
• Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.
golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat
Hepar, sub kapsula dll). Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2009, Pneumonia, Online, Available, www.wikipedia.id.org, diakses tanggal
27 Mei 2010.
Anonymous. 2008, Pneumonia. Online, Availble, www.medicinenet.com, diakses tanggal
27 Mei 2010.
Caserta, M.T., 2009, Neonatal Pneumonia, Online, Availble,
http://www.merck.com/mmpe/sec19/ch279/ch279l.html, diakses tanggal 26 Mei 2010.
Corwin, E.J., 2000, Buku Saku Patofisiologi, Jakarta: EGC.
Doenges, dkk., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif, 2009, Pengantar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler, Jakarta: Salemba.
Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Price & Wilson, 1995, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4 Buku 1,
Jakarta: EGC.
Suriadi, Yuliani, 2001, Asuhan Keperawatan Pada Anak, Jakarta: CV Sagung Seto.