OCTAVIANI DEFI
NIM. 1301470030
1; Definisi / Pengertian
Pneumonia adalah infeksi saluran napas bagian bawah. Penyakit ini
adalah infeksi akut jaringan paru oleh mikroorganisme (Corwin, 2009).
Pneumonia adalah peradangan alveoli atau pada parenchim paru yang
terjadi pada anak (Suriadi, 2011).
Pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat
konsolidasi dan terjadi pengisian rongga alveoli oleh eksudat yang
dapat disebabkan oleh, bakteri, virus, jamur, dan benda-benda asing
(Muttaqin, 2010).
Pneumonia neonatal adalah infeksi pada paru-paru, serangan mungkin
terjadi dalam beberapa jam kelahiran dan merupakan bagian yang dapat
disamakan dengan kumpulan gejala sepsis atau setelah tujuh hari dan
terbatas pada paru-paru. Tanda-tandanya mungkin terbatas pada
kegagalan pernafasan atau berlanjut ke arah syok dan kematian. Infeksi
dapat ditularkan melalui plasenta, aspirasi atau diperoleh setelah
kelahiran (Caserta, 2009).
2; Penyebab/Faktor Predisposisi
Penyebab dari pneumonia neonatal adalah hampir sama dengan penyebab
pneumonia pada umumnya (Muttaqin, 2010), yaitu:
Bakteri: Grup B Streptokokus, Stapilokokus Aureus, Stapilokokus
Epidermidis, E. Coli, Pseudomonas, Serratia Marcescens, Klebsiella.
Virus: RSV, Adenovirus, Enterovirus, CMV.
Jamur: Candida.
3; Patofisiologi
Menurut pengelompokannya, patofisiologi dari pneumonia neonatal
(Muttaqin, 2010), sebagai berikut:
a; Transplasenta (Kongenital Pneumonia):
Kuman/agent masuk melalui plasenta mengikuti sistem peredaran darah janin
(hematogen) sampai ke paru-paru janin menimbulkan gejala pneumonia yang
disebut juga Early Onset Pneumoni (pada umur 3 hari pertama).
b; Ascending Pneumonia (Post Amnionistis Pneumonia):
Kuman/agent dari flora vagina menular secara ascending menyebar ke
chorionic plate menimbulkan gejala amnionitis menyebabkan bayi aspirasi
dan masuk ke paru-paru.
Predisposisi adalah persalinan premature, ketuban pecah sebelum persalinan,
persalinan memanjang dengan dilatasi serviks, atau pemeriksaan obstetri yang
sering.
c; Transnatal Pneumonia:
Onsetnya berlangsung lambat, proses infeksi selalu terjadi pada paru-paru dan
penyebab terbanyak adalah grup B Streptokokus.
d; Nosokomial Pneumonia:
Pneumonia yang didapat selama perawatan di rumah sakit dengan factor
predisposisi antara lain BBL<1500 gram, dirawat lama, penyakit dasar berat,
prosedur invasif banyak, perawatan ventilator terkontaminasi.
a; Adanya gangguan pada terminal jalan nafas dan alveoli oleh mikroorganisme
patogen yaitu virus dan bakteri (Streptococcus Aureus, Haemophillus
Influenzae dan Streptococcus Pneumoniae).
c; Pada kondisi anak ini dapat akut dan kronik misalnya : Cystic Fibrosis (CF),
aspirasi benda asing dan konginetal yang dapat meningkatkan resiko
pneumonia.
4; Klasifikasi
Klasifikasi Pneumonia Neonatal dapat dibagi menjadi (Caserta, 2009):
a; Intrapartum pneumonia
1; Pneumonia Intrapartum diperoleh selama perjalanan melalui jalan lahir.
2; Intrapartum pneumonia dapat diperoleh melalui transmisi hematogenous,
atau aspirasi dari ibu yang terinfeksi, atau terkontaminasi cairan atau dari
mekanik, atau gangguan iskemik dari permukaan mukosa yang telah baru
saja dijajah dengan ibu invasif organisme yang sesuai potensi dan
virulensinya.
3; Bayi yang aspirasi benda asing, seperti mekonium atau darah, dapat
mewujudkan tanda-tanda paru segera setelah atau sangat segera setelah
lahir.
4; Proses infeksi sering memiliki periode beberapa jam sebelum invasi yang
memadai, replikasi, dan respon inflamasi telah terjadi menyebabkan tanda-
tanda klinis.
b; Pneumonia pascalahir
1; Pasca kelahiran pneumonia dalam 24 jam pertama kehidupan berasal
setelah bayi lahir.
2; Pasca kelahiran radang paru-paru dapat diakibatkan dari beberapa proses
yang sama seperti yang dijelaskan di atas, tetapi infeksi terjadi setelah
proses kelahiran.
3; Yang sering menggunakan antibiotik spektrum luas yang dihadapi dalam
banyak pelayanan obstetri dan bayi baru lahir unit perawatan intensif
(NICU) sering mengakibatkan kecenderungan dari bayi untuk kolonisasi
oleh organisme resisten pathogenicity yang tidak biasa. Terapi invasif
yang diperlukan dalam oleh bayi sering menyebabkan mikroba masuk ke
dalam struktur yang biasanya tidak mudah diakses.
4; Enteral menyusui dapat mengakibatkan peristiwa aspirasi peradangan
signifikan potensial. Selang makanan mungkin lebih lanjut dapat
mempengaruhi gastroesophageal reflux dan aspirasi pada bayi.
5; Gejala Klinik
Gejala klinis tergantung pada lokasi, tipe kuman dan tingkat berat penyakit
Adapun gejala klinis dari pneumonia (Suriadi, 2011), yaitu :
a; Tachypnea (laju pernafasan >60 kali/menit).
b; Dengkur ekspirasi mungkin terjadi.
c; Perekrutan otot aksesori pernapasan, seperti cuping hidung dan retraksi di
subcostal, interkostal, atau situs suprasternal, dapat terjadi.
d; Sekresi saluran napas dapat bervariasi secara substansial dalam kualitas dan
kuantitas, tetapi yang paling sering sedalam-dalamnya dan kemajuan dari
serosanguineous untuk penampilan yang lebih bernanah, putih, kuning, hijau,
atau perdarahan warna dan tekstur krim atau chunky tidak jarang terjadi. Jika
aspirasi mekonium, darah, atau cairan properadangan lainnya dicurigai, warna
dan tekstur lain bisa dilihat.
e; Rales, rhonchi, dan batuk adalah semua diamati lebih jarang pada bayi
dengan radang paru-paru daripada individu yang lebih tua. Jika ada, mereka
mungkin disebabkan oleh proses menyebabkan peradangan, seperti gagal
jantung kongestif, kondensasi dari gas humidified diberikan selama ventilasi
mekanik, atau tabung endotracheal perpindahan. Meskipun alternatif
penjelasan yang mungkin, temuan ini akan dimintakan pertimbangan cermat
pneumonia dalam diagnosis diferensial.
f; Sianosis pusat jaringan, menyiratkan deoxyhemoglobin konsentrasi sekitar 5
g/dL atau lebih dan konsisten dengan kerusakan pertukaran gas dari disfungsi
paru berat seperti radang paru-paru, meskipun penyakit jantung bawaan
struktural, hemoglobinopathy, polisitemia, dan hipertensi pulmonal (dengan
atau tanpa parenkim terkait lainnya penyakit paru-paru) harus
dipertimbangkan.
6; Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda-tanda konsolidasi paru
berupa perkusi paru pekak, auskultasi terdapat ronchi nyaring dan suara
pernapasan bronchial, inspirasi rales dan terdapat penggunaan otot aksesori
(Muttaqin, 2010).
7; Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a; Pemeriksaan radiology (Chest X-Ray) :
Teridentifikasi adanya penyebaran (misal lobus dan bronchial),
menunjukkan multiple abses/infiltrat, empiema (Staphylococcus), penyebaran
atau lokasi infiltrasi (bacterial), penyebaran/extensive nodul infiltrat (viral).
b; Pemeriksaan laboratorium:
1; DL, Serologi, LED: leukositosis menunjukkan adanya infeksi bakteri,
menentukan diagnosis secara spesifik, LED biasanya meningkat.
2; Elektrolit : Sodium dan Klorida menurun, bilirubin biasanya meningkat.
3; Analisis gas darah dan Pulse oximetry menilai tingkat hipoksia dan
kebutuhan O2.
4; Pewarnaan Gram/Cultur sputum dan darah: untuk mengetahui oganisme
penyebab.
5; Analisa cairan lambung, bila leukosit (+) menunjukkan adanya inflamasi
amnion (risiko pneumonia tinggi).
c; Pemeriksaan fungsi paru-paru :volume mungkin menurun, tekanan saluran
udara meningkat, kapasitas pemenuhan udara menurun dan hipoksemia
(Muttaqin, 2010).
8; Therapy/Tindakan Penanganan
a; Terapi antibiotika, merupakan terapi utama pada pasien pneumonia dengan
manifestasi apapun, yang dimaksudkan sebagai terapi kausal terhadap kuman
penyebabnya.
b; Terapi suportif umum:
1; Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 %
berdasarkan pemeriksaan AGD.
2; Humidifikasi dengan nebulizer untuk mengencerkan dahak yang kental.
3; Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya dengan clapping dan
vibrasi.
4; Pengaturan cairan: pada pasien pneumonia, paru menjadi lebih sensitif
terhadap pembebanan cairan terutama pada pneumonia bilateral.
5; Pemberian kortikosteroid, diberikan pada fase sepsis.
6; Ventilasi mekanis : indikasi intubasi dan pemasangan ventilator dilakukan
bila terjadi hipoksemia persisten, gagal napas yang disertai peningkatan
respiratoy distress dan respiratory arrest (Corwin, 2009).
9. Komplikasi
1; Pneumotoraks atau pneumomediastinum
2; Infeksi sekunder (Muttaqin, 2010).
PATHWAY
masuk ke
masuk mll plasenta mll sal nafas menyebar ke paru Chorionic Plate
RBC,WBC, cairan
keluar masuk alveoli Hipertermi
Rencana intervensi
1; Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan pergerakan dada.
Rasional: takipnea, pernafasan dangkal sering terjadi karena
ketidaknyamanan.
2; Auskultasi area paru, catat penurunan atau tak ada aliran udara dan bunyi
napas.
Rasional: penurunan aliran darah terjadi pada area konsolidasi dengan
cairan, krakels terdengar sebagai respon terhadap pengumpulan
cairan/secret.
3; Penghisapan sesuai indikasi.
Rasional: merangsang batuk atau pembersihan jalan nafas secara mekanik
pada pasien yang tidak mampu melakukan batuk efektif karena adanya
penurunan tingkat kesadaran.
4; Evaluasi status mental, catat adanya kebingungan, disorientasi.
Rasional: menurunnya perfusi otak dapat menyebabkan perubahan
sensorium
5; Kolaborasi dalam pemberian obat mukolitik, bronkodilator
Rasional: obat mukolitik membantu untuk mengencerkan sekret,
bronkodilator mengurangi edema dan sebagai vaso dilatasi bronkus.
2; Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak efektif
Tujuan: pola nafas efektif.
Kriteria evaluasi:
1; Pernafasan teratur (RR 30-40 kali/menit).
2; Tanda vital dalam batas normal (nadi 100-130 kali/menit).
3; Tidak ada penggunaan otot bantu napas.
4; Napas cuping hidung tidak ada.
Rencana intervensi:
1; Evaluasi frekuensi dan kedalaman pernapasan. Catat adanya upaya
pernapasan seperti dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan.
Rasional: kecepatan dan upaya mungkin meningkat karena nyeri,
penurunan volume sirkulasi. Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi
abnormal dapat mencegah komplikasi.
2; Tinggikan kepala tempat tidur, letakkan pada posisi tinggi bila tidak ada
kontraindikasi. .
Rasional: merangsang ekspansi paru. efektif pada pencegahan dan
perbaikan kongesti paru.
3; Berikan oksigen dengan head box atau sesuai indikasi
Rasional: meningkatkan pengiriman oksigen ke paru untuk kebutuhan
sirkulasi.
4; Kaji ulang laporan foto dada dan pemeriksaan laboratorium ( AGD ).
Rasional: untuk memantau kefektifan terapi pernapasan dan mencatat
terjadinya komplikasi.
3. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan transportasi O2.
Tujuan: pertukaran gas efektif.
Kriteria evaluasi:
1; Hasil AGD dalam batas normal. .
2; Sianosis tidak ada.
3; Pasien tidak pucat.
Rencana intervensi:
1; Kaji frekuensi dan kedalaman pernapasan. Catat adanya upaya pernapasan
seperti dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan.
Rasional: kecepatan dan upaya mungkin meningkat karena nyeri,
penurunan volume sirkulasi. Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi
abnormal dapat mencegah komplikasi.
2; Pertahankan pemberian oksigen Head box sesuai indikasi.
Rasional: meningkatkan pengiriman oksigen ke otak untuk kebutuhan
sirkulasi.
3; Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium ( AGD ).
Rasional: untuk memantau kefektifan terapi pernapasan dan mencatat
terjadinya komplikasi.
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan rasio ventilasi dan
difusi parenkim paru ditandai dengan sianosis jaringan perifer, akral dingin,
pucat, CRT<3 detik.
Tujuan : mempertahankan perfusi jaringan.
Kriteria hasil:
1; Suara nafas bersih, wheezing tidak ada, ronkhi tidak ada.
2; Tanda vital dalam batas normal, denyut nadi teraba jelas.
3; Tidak sianosis, kulit tidak pucat, CRT<3 detik.
4; Akral hangat.
5; Tidak terjadi penurunan kesadaran.
Rencana intervensi:
1; Kaji frekuensi, kedalaman bernapas dan suara nafas.
Rasional: takipnea, pernapasan yang dangkal sering terjadi karena
ketidaknyamanan gerakan dinding dada dan atau cairan paru.
2; Tempatkan pasien dalam incubator.
Rasional: mempertahankan suhu tubuh pasien, mencegah hipotermia,
memperbaiki metabolisme jaringan.
3; Pantau tanda vital.
Rasional : abnormalitas tanda vital terus menerus memerlukan evaluasi
lebih lanjut dan mengetahuai perubahan sesegera mungkin.
4; Pantau tingkat kesadaran .
Rasional: kekurangan aliran oksigen ke otak dapat menyebabkan hipoksia
sel-sel otak, kematian jaringan otak dan terjadinya penurunan tingkat
kesadaran .
5; Pantau tanda-tanda sianosis, warna kulit, akral perifer.
Rasional: sianosis, kulit pucat, akral dingin adalah salah satu tanda
hipoksia jaringan yang berat akibat perfusi yang tidak adekuat.
6; Kolaborasi: pertahankan pemberian O2 sesuai indikasi (Head box 5-10
lt/mnt).
Rasional : mempertahankan PaO2 di atas 90 mmHg.
7; Kolaborasi pemeriksaan darah lengkap.
Rasional: Hb yang rendah (<10 gr/dl) mempengaruhi suplay oksigen ke
jaringan.
LAPORAN PENDAHULUAN
HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS
Ikterus merupakan suatu gejala yang sering ditemukan pada Bayi Baru
Lahir (BBL). Menurut beberapa penulis kejadian ikterus pada BBL berkisar 50 %
pada bayi cukup bulan dan 75 % pada bayi kurang bulan (Suriadi & Yuliani.
2011).
KONSEP DASAR
A. Definisi
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah
Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987):
Timbul pada hari kedua-ketiga
Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
Ikterus hilang pada 10 hari pertama
Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu
2. Ikterus Patologis / Hiperbilirubinemia
Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu
nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan
yang patologis. Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin
mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan.
Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg% (Suriadi & Yuliani. 2011).
3. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada
otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus,
Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV (Suriadi &
Yuliani. 2011).
B. Etiologi
1. Peningkatan produksi :
Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan
ABO.
Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik
yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
Defisiensi G6PD ( Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase ).
Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20
(beta) , diol (steroid).
Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin
Indirek meningkat misalnya pada berat badan lahir rendah.
Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya
pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya
Sulfadiasine.
3. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti
infeksi , Toksoplasmosis, Siphilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif
(Ngastiyah, 2007).
C. Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah
Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air)
di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis
dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site).
Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan
menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum
Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis (Ngastiyah, 2007).
D. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin
plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat
terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia,
Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah
apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami
gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat
sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan
terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus
sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada
umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan
timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar
Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada
keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak
apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan
Hipoglikemia (Price & Wilson, 2012).
E. Penatalaksanaan Medis
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan
Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari
Hiperbilirubinemia (Price & Wilson, 2012). Pengobatan mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum Albumin
4. Menurunkan Serum Bilirubin
DAFTAR PUSTAKA