Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN PADA BAYI ASPIRASI PNEUMONIA

DI RUANG PERINATAL RSUD BANGIL


PASURUAN

OCTAVIANI DEFI
NIM. 1301470030

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MALANG KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI D-IV KEPERAWATAN LAWANG
APRIL 2017
LAPORAN PENDAHULUAN
ASPIRASI PNEUMONIA

A; KONSEP DASAR PENYAKIT

1; Definisi / Pengertian
Pneumonia adalah infeksi saluran napas bagian bawah. Penyakit ini
adalah infeksi akut jaringan paru oleh mikroorganisme (Corwin, 2009).
Pneumonia adalah peradangan alveoli atau pada parenchim paru yang
terjadi pada anak (Suriadi, 2011).
Pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat
konsolidasi dan terjadi pengisian rongga alveoli oleh eksudat yang
dapat disebabkan oleh, bakteri, virus, jamur, dan benda-benda asing
(Muttaqin, 2010).
Pneumonia neonatal adalah infeksi pada paru-paru, serangan mungkin
terjadi dalam beberapa jam kelahiran dan merupakan bagian yang dapat
disamakan dengan kumpulan gejala sepsis atau setelah tujuh hari dan
terbatas pada paru-paru. Tanda-tandanya mungkin terbatas pada
kegagalan pernafasan atau berlanjut ke arah syok dan kematian. Infeksi
dapat ditularkan melalui plasenta, aspirasi atau diperoleh setelah
kelahiran (Caserta, 2009).

2; Penyebab/Faktor Predisposisi
Penyebab dari pneumonia neonatal adalah hampir sama dengan penyebab
pneumonia pada umumnya (Muttaqin, 2010), yaitu:
Bakteri: Grup B Streptokokus, Stapilokokus Aureus, Stapilokokus
Epidermidis, E. Coli, Pseudomonas, Serratia Marcescens, Klebsiella.
Virus: RSV, Adenovirus, Enterovirus, CMV.
Jamur: Candida.

3; Patofisiologi
Menurut pengelompokannya, patofisiologi dari pneumonia neonatal
(Muttaqin, 2010), sebagai berikut:
a; Transplasenta (Kongenital Pneumonia):
Kuman/agent masuk melalui plasenta mengikuti sistem peredaran darah janin
(hematogen) sampai ke paru-paru janin menimbulkan gejala pneumonia yang
disebut juga Early Onset Pneumoni (pada umur 3 hari pertama).
b; Ascending Pneumonia (Post Amnionistis Pneumonia):
Kuman/agent dari flora vagina menular secara ascending menyebar ke
chorionic plate menimbulkan gejala amnionitis menyebabkan bayi aspirasi
dan masuk ke paru-paru.
Predisposisi adalah persalinan premature, ketuban pecah sebelum persalinan,
persalinan memanjang dengan dilatasi serviks, atau pemeriksaan obstetri yang
sering.
c; Transnatal Pneumonia:
Onsetnya berlangsung lambat, proses infeksi selalu terjadi pada paru-paru dan
penyebab terbanyak adalah grup B Streptokokus.
d; Nosokomial Pneumonia:
Pneumonia yang didapat selama perawatan di rumah sakit dengan factor
predisposisi antara lain BBL<1500 gram, dirawat lama, penyakit dasar berat,
prosedur invasif banyak, perawatan ventilator terkontaminasi.

Menurut Suriadi (2001) patofisiologi pada pneumonia dapat dijelaskan


sebagai berikut:

a; Adanya gangguan pada terminal jalan nafas dan alveoli oleh mikroorganisme
patogen yaitu virus dan bakteri (Streptococcus Aureus, Haemophillus
Influenzae dan Streptococcus Pneumoniae).

b; Terdapat infiltrat yang biasanya mengenai pada multiple lobus, terjadinya


destruksi sel dengan meninggalkan debris cellular ke dalam lumen yang
mengakibatkan gangguan fungsi alveolar dan jalan nafas.

c; Pada kondisi anak ini dapat akut dan kronik misalnya : Cystic Fibrosis (CF),
aspirasi benda asing dan konginetal yang dapat meningkatkan resiko
pneumonia.

Adanya etiologi seperti jamur dan inhalasi mikroba ke dalam tubuh


manusia melalui udara, aspirasi organisme, hematogen dapat menyebabkan reaksi
inflamasi hebat sehingga membran paru-paru meradang dan berlobang. Dari
reaksi inflamasi akan timbul panas, anoreksia, mual, muntah serta nyeri pleuritis.
Selanjutnya RBC, WBC dan cairan keluar masuk alveoli sehingga terjadi sekresi,
edema dan bronkospasme yang menimbulkan manifestasi klinis dyspnoe, sianosis
dan batuk, selain itu juga menyebabkan adanya partial oklusi yang akan membuat
daerah paru menjadi padat (konsolidasi). Konsolidasi paru menyebabkan
meluasnya permukaan membran respirasi dan penurunan rasio ventilasi perfusi,
kedua hal ini dapat menyebabkan kapasitas difusi menurun dan selanjutnya terjadi
hipoksemia.

4; Klasifikasi
Klasifikasi Pneumonia Neonatal dapat dibagi menjadi (Caserta, 2009):
a; Intrapartum pneumonia
1; Pneumonia Intrapartum diperoleh selama perjalanan melalui jalan lahir.
2; Intrapartum pneumonia dapat diperoleh melalui transmisi hematogenous,
atau aspirasi dari ibu yang terinfeksi, atau terkontaminasi cairan atau dari
mekanik, atau gangguan iskemik dari permukaan mukosa yang telah baru
saja dijajah dengan ibu invasif organisme yang sesuai potensi dan
virulensinya.
3; Bayi yang aspirasi benda asing, seperti mekonium atau darah, dapat
mewujudkan tanda-tanda paru segera setelah atau sangat segera setelah
lahir.
4; Proses infeksi sering memiliki periode beberapa jam sebelum invasi yang
memadai, replikasi, dan respon inflamasi telah terjadi menyebabkan tanda-
tanda klinis.
b; Pneumonia pascalahir
1; Pasca kelahiran pneumonia dalam 24 jam pertama kehidupan berasal
setelah bayi lahir.
2; Pasca kelahiran radang paru-paru dapat diakibatkan dari beberapa proses
yang sama seperti yang dijelaskan di atas, tetapi infeksi terjadi setelah
proses kelahiran.
3; Yang sering menggunakan antibiotik spektrum luas yang dihadapi dalam
banyak pelayanan obstetri dan bayi baru lahir unit perawatan intensif
(NICU) sering mengakibatkan kecenderungan dari bayi untuk kolonisasi
oleh organisme resisten pathogenicity yang tidak biasa. Terapi invasif
yang diperlukan dalam oleh bayi sering menyebabkan mikroba masuk ke
dalam struktur yang biasanya tidak mudah diakses.
4; Enteral menyusui dapat mengakibatkan peristiwa aspirasi peradangan
signifikan potensial. Selang makanan mungkin lebih lanjut dapat
mempengaruhi gastroesophageal reflux dan aspirasi pada bayi.

5; Gejala Klinik
Gejala klinis tergantung pada lokasi, tipe kuman dan tingkat berat penyakit
Adapun gejala klinis dari pneumonia (Suriadi, 2011), yaitu :
a; Tachypnea (laju pernafasan >60 kali/menit).
b; Dengkur ekspirasi mungkin terjadi.
c; Perekrutan otot aksesori pernapasan, seperti cuping hidung dan retraksi di
subcostal, interkostal, atau situs suprasternal, dapat terjadi.
d; Sekresi saluran napas dapat bervariasi secara substansial dalam kualitas dan
kuantitas, tetapi yang paling sering sedalam-dalamnya dan kemajuan dari
serosanguineous untuk penampilan yang lebih bernanah, putih, kuning, hijau,
atau perdarahan warna dan tekstur krim atau chunky tidak jarang terjadi. Jika
aspirasi mekonium, darah, atau cairan properadangan lainnya dicurigai, warna
dan tekstur lain bisa dilihat.
e; Rales, rhonchi, dan batuk adalah semua diamati lebih jarang pada bayi
dengan radang paru-paru daripada individu yang lebih tua. Jika ada, mereka
mungkin disebabkan oleh proses menyebabkan peradangan, seperti gagal
jantung kongestif, kondensasi dari gas humidified diberikan selama ventilasi
mekanik, atau tabung endotracheal perpindahan. Meskipun alternatif
penjelasan yang mungkin, temuan ini akan dimintakan pertimbangan cermat
pneumonia dalam diagnosis diferensial.
f; Sianosis pusat jaringan, menyiratkan deoxyhemoglobin konsentrasi sekitar 5
g/dL atau lebih dan konsisten dengan kerusakan pertukaran gas dari disfungsi
paru berat seperti radang paru-paru, meskipun penyakit jantung bawaan
struktural, hemoglobinopathy, polisitemia, dan hipertensi pulmonal (dengan
atau tanpa parenkim terkait lainnya penyakit paru-paru) harus
dipertimbangkan.

g; Peningkatan pernapasan seperti peningkatan menghirup oksigen konsentrasi,


ventilasi tekanan positif, atau tekanan saluran udara positif terus menerus
umumnya diperlukan sebelum pemulihan dimulai.
h; Bayi dengan pneumonia dapat bermanifestasi asimetri suara napas dan dada
yang menyatakan kebocoran udara atau perubahan emphysematous sekunder
obstruksi jalan napas parsial.
Selain gejala klinis di atas, dapat juga muncul gambaran klinis APGAR
Score rendah, segera setelah lahir terjadi distress nafas, perfusi perifir rendah,
letargi, tidak mau minum, tidak mau minum, distensi abdomen, suhu tidak stabil,
asisdosis metabolik, DIC.

6; Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda-tanda konsolidasi paru
berupa perkusi paru pekak, auskultasi terdapat ronchi nyaring dan suara
pernapasan bronchial, inspirasi rales dan terdapat penggunaan otot aksesori
(Muttaqin, 2010).

7; Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a; Pemeriksaan radiology (Chest X-Ray) :
Teridentifikasi adanya penyebaran (misal lobus dan bronchial),
menunjukkan multiple abses/infiltrat, empiema (Staphylococcus), penyebaran
atau lokasi infiltrasi (bacterial), penyebaran/extensive nodul infiltrat (viral).
b; Pemeriksaan laboratorium:
1; DL, Serologi, LED: leukositosis menunjukkan adanya infeksi bakteri,
menentukan diagnosis secara spesifik, LED biasanya meningkat.
2; Elektrolit : Sodium dan Klorida menurun, bilirubin biasanya meningkat.
3; Analisis gas darah dan Pulse oximetry menilai tingkat hipoksia dan
kebutuhan O2.
4; Pewarnaan Gram/Cultur sputum dan darah: untuk mengetahui oganisme
penyebab.
5; Analisa cairan lambung, bila leukosit (+) menunjukkan adanya inflamasi
amnion (risiko pneumonia tinggi).
c; Pemeriksaan fungsi paru-paru :volume mungkin menurun, tekanan saluran
udara meningkat, kapasitas pemenuhan udara menurun dan hipoksemia
(Muttaqin, 2010).
8; Therapy/Tindakan Penanganan
a; Terapi antibiotika, merupakan terapi utama pada pasien pneumonia dengan
manifestasi apapun, yang dimaksudkan sebagai terapi kausal terhadap kuman
penyebabnya.
b; Terapi suportif umum:
1; Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 %
berdasarkan pemeriksaan AGD.
2; Humidifikasi dengan nebulizer untuk mengencerkan dahak yang kental.
3; Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya dengan clapping dan
vibrasi.
4; Pengaturan cairan: pada pasien pneumonia, paru menjadi lebih sensitif
terhadap pembebanan cairan terutama pada pneumonia bilateral.
5; Pemberian kortikosteroid, diberikan pada fase sepsis.
6; Ventilasi mekanis : indikasi intubasi dan pemasangan ventilator dilakukan
bila terjadi hipoksemia persisten, gagal napas yang disertai peningkatan
respiratoy distress dan respiratory arrest (Corwin, 2009).

9. Komplikasi
1; Pneumotoraks atau pneumomediastinum
2; Infeksi sekunder (Muttaqin, 2010).

PATHWAY

Kuman Inhalasi mikroba, jamur Kuman dari


(bakteri, virus) mell : udara, aspirasi flora vagina

masuk ke
masuk mll plasenta mll sal nafas menyebar ke paru Chorionic Plate

secara hematogen masuk Aspirasi


ke paru-paru

Reaksi Inflamasi hebat masuk Paru


Membran paru meradang dan berlobang Panas

RBC,WBC, cairan
keluar masuk alveoli Hipertermi

Edema, bronkospasme Dyspnoe, tahipnea Pola nafas tdk efektif


Sianosis

Konsolidasi paru Sekret Bersihan jalan nafas


tdk efektif

Penurunan rasio ventilasi & difusi Kerusakan


pertukaran gas

Hipoksemia Gangguan perfusi jaringan

Gambar 1.1 Pahtway aspirasi pneumonia (Muttaqqin, 2010).

B; KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1; Pengkajian
a; Anamnesa:
1; Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nomor RM, Nama
penanggung jawab, hubungan dengan pasien, alamat.
2; Riwayat antenatal: pemeriksaan selama hamil (ANC), hari pertama haid
terakhir (HPHT), tapsiran partus (TP).
3; Riwayat intranatal: perdarahan, ketuban pecah, gawat janin, demam,
keputihan, riwayat terapi.
4; Riwayat penyakit ibu: DM, Asma, Hepatitis B, TB, Hipertensi, jantung dan
lainnya.
5; Riwayat persalinan: cara persalinan (spontan, section, forceps) dan
indikasinya
6; KU bayi saat persalinan: activity tonus reflex (ATR), tangisan, nadi,
pernafasan, kelainan fisik, berat badan, panjang badan, lingkar lengan,
lingkar dada, APGAR score.
b. Pemeriksaan fisik
1; Breathing
Frekuensi napas cepat dan dangkal, gerakan dinding toraks dapat
berkurang pada daerah yang terkena, perkusi normal atau redup, retraksi
sternum dan intercostal space. Pada pemeriksaan auskultasi paru dapat
terdengar suara nafas utama melemah atau mengeras, suara nafas
tambahan berupa ronkhi basah halus di lapangan paru yang terkena,
kadang disertai dengan sputum.
2; Blood
Denyut nadi perifer melemah, tekanan darah biasanya normal, batas
jantung tidak mengalami pergeseran, akral dingin, sianosis, kulit pucat,
icterus, CRT memanjang (>3 det).
3; Brain
Klien dengan pneumonia berat biasanya mengalami penurunan kesadaran,
didapatkan sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Perlu
dikaji tingkat kesadaran, besar dan reflek pupil terhadap cahaya
4; Bladder
Pengukuran volume output dan intake cairan, oleh karena itu perawat perlu
memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari
syok. Dikaji pula kelainan pada genetalia dan pola eliminasi urine.
5; Bowel
Dikaji apakah ada distensi pada abdomen, bising usus, bagaimana pola
eliminasi alvi, adakah kelainan pada anus.
6; Bone
Didapatkan kelemahan dan kelelahan secara fisik, dikaji pula adakah
kelainan pada tulang yang kemungkinan karena trauma persalinan atau
kongenital, bagaimana ATR (activity tonus respon) (Doenges, dkk: 2008).
2; Diagnosa Keperawatan (Yang Mungkin Muncul)
1; Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi
bronchial, pembentukan edema, dan penumpukan sekret.
2; Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak
efektif.
3; Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan transportasi
oksigen.
4; Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan rasio ventilasi
dan difusi parenkim paru ditandai dengan sianosis jaringan perifer.
3; Rencana Tindakan
1; Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan inflamasi bronchial,
pembentukan edema, dan penumpukan sekret. .
Tujuan: jalan napas bersih dan efektif.
Kriteria evaluasi:
1; Bunyi napas bersih, tidak ada bunyi napas tambahan.
2; Tanda vital dalam batas normal terutama frekuensi napas < 60x/menit.
3; Batuk efektif.
4; Sianosis tidak ada.
5; Tidak ada retraksi sternum dan intercostal space.
6; Nafas cuping hidung tidak ada.

Rencana intervensi
1; Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan pergerakan dada.
Rasional: takipnea, pernafasan dangkal sering terjadi karena
ketidaknyamanan.
2; Auskultasi area paru, catat penurunan atau tak ada aliran udara dan bunyi
napas.
Rasional: penurunan aliran darah terjadi pada area konsolidasi dengan
cairan, krakels terdengar sebagai respon terhadap pengumpulan
cairan/secret.
3; Penghisapan sesuai indikasi.
Rasional: merangsang batuk atau pembersihan jalan nafas secara mekanik
pada pasien yang tidak mampu melakukan batuk efektif karena adanya
penurunan tingkat kesadaran.
4; Evaluasi status mental, catat adanya kebingungan, disorientasi.
Rasional: menurunnya perfusi otak dapat menyebabkan perubahan
sensorium
5; Kolaborasi dalam pemberian obat mukolitik, bronkodilator
Rasional: obat mukolitik membantu untuk mengencerkan sekret,
bronkodilator mengurangi edema dan sebagai vaso dilatasi bronkus.
2; Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak efektif
Tujuan: pola nafas efektif.
Kriteria evaluasi:
1; Pernafasan teratur (RR 30-40 kali/menit).
2; Tanda vital dalam batas normal (nadi 100-130 kali/menit).
3; Tidak ada penggunaan otot bantu napas.
4; Napas cuping hidung tidak ada.
Rencana intervensi:
1; Evaluasi frekuensi dan kedalaman pernapasan. Catat adanya upaya
pernapasan seperti dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan.
Rasional: kecepatan dan upaya mungkin meningkat karena nyeri,
penurunan volume sirkulasi. Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi
abnormal dapat mencegah komplikasi.
2; Tinggikan kepala tempat tidur, letakkan pada posisi tinggi bila tidak ada
kontraindikasi. .
Rasional: merangsang ekspansi paru. efektif pada pencegahan dan
perbaikan kongesti paru.
3; Berikan oksigen dengan head box atau sesuai indikasi
Rasional: meningkatkan pengiriman oksigen ke paru untuk kebutuhan
sirkulasi.
4; Kaji ulang laporan foto dada dan pemeriksaan laboratorium ( AGD ).
Rasional: untuk memantau kefektifan terapi pernapasan dan mencatat
terjadinya komplikasi.
3. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan transportasi O2.
Tujuan: pertukaran gas efektif.
Kriteria evaluasi:
1; Hasil AGD dalam batas normal. .
2; Sianosis tidak ada.
3; Pasien tidak pucat.
Rencana intervensi:
1; Kaji frekuensi dan kedalaman pernapasan. Catat adanya upaya pernapasan
seperti dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan.
Rasional: kecepatan dan upaya mungkin meningkat karena nyeri,
penurunan volume sirkulasi. Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi
abnormal dapat mencegah komplikasi.
2; Pertahankan pemberian oksigen Head box sesuai indikasi.
Rasional: meningkatkan pengiriman oksigen ke otak untuk kebutuhan
sirkulasi.
3; Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium ( AGD ).
Rasional: untuk memantau kefektifan terapi pernapasan dan mencatat
terjadinya komplikasi.
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan rasio ventilasi dan
difusi parenkim paru ditandai dengan sianosis jaringan perifer, akral dingin,
pucat, CRT<3 detik.
Tujuan : mempertahankan perfusi jaringan.
Kriteria hasil:
1; Suara nafas bersih, wheezing tidak ada, ronkhi tidak ada.
2; Tanda vital dalam batas normal, denyut nadi teraba jelas.
3; Tidak sianosis, kulit tidak pucat, CRT<3 detik.
4; Akral hangat.
5; Tidak terjadi penurunan kesadaran.
Rencana intervensi:
1; Kaji frekuensi, kedalaman bernapas dan suara nafas.
Rasional: takipnea, pernapasan yang dangkal sering terjadi karena
ketidaknyamanan gerakan dinding dada dan atau cairan paru.
2; Tempatkan pasien dalam incubator.
Rasional: mempertahankan suhu tubuh pasien, mencegah hipotermia,
memperbaiki metabolisme jaringan.
3; Pantau tanda vital.
Rasional : abnormalitas tanda vital terus menerus memerlukan evaluasi
lebih lanjut dan mengetahuai perubahan sesegera mungkin.
4; Pantau tingkat kesadaran .
Rasional: kekurangan aliran oksigen ke otak dapat menyebabkan hipoksia
sel-sel otak, kematian jaringan otak dan terjadinya penurunan tingkat
kesadaran .
5; Pantau tanda-tanda sianosis, warna kulit, akral perifer.
Rasional: sianosis, kulit pucat, akral dingin adalah salah satu tanda
hipoksia jaringan yang berat akibat perfusi yang tidak adekuat.
6; Kolaborasi: pertahankan pemberian O2 sesuai indikasi (Head box 5-10
lt/mnt).
Rasional : mempertahankan PaO2 di atas 90 mmHg.
7; Kolaborasi pemeriksaan darah lengkap.
Rasional: Hb yang rendah (<10 gr/dl) mempengaruhi suplay oksigen ke
jaringan.

LAPORAN PENDAHULUAN
HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS

Ikterus merupakan suatu gejala yang sering ditemukan pada Bayi Baru
Lahir (BBL). Menurut beberapa penulis kejadian ikterus pada BBL berkisar 50 %
pada bayi cukup bulan dan 75 % pada bayi kurang bulan (Suriadi & Yuliani.
2011).
KONSEP DASAR
A. Definisi
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah
Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987):
Timbul pada hari kedua-ketiga
Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
Ikterus hilang pada 10 hari pertama
Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu
2. Ikterus Patologis / Hiperbilirubinemia
Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu
nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan
yang patologis. Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin
mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan.
Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg% (Suriadi & Yuliani. 2011).
3. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada
otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus,
Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV (Suriadi &
Yuliani. 2011).

B. Etiologi
1. Peningkatan produksi :
Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan
ABO.
Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik
yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
Defisiensi G6PD ( Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase ).
Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20
(beta) , diol (steroid).
Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin
Indirek meningkat misalnya pada berat badan lahir rendah.
Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya
pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya
Sulfadiasine.
3. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti
infeksi , Toksoplasmosis, Siphilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif
(Ngastiyah, 2007).
C. Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah
Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air)
di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis
dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site).
Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan
menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum
Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis (Ngastiyah, 2007).

D. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin
plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat
terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia,
Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah
apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami
gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat
sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan
terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus
sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada
umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan
timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar
Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada
keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak
apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan
Hipoglikemia (Price & Wilson, 2012).

E. Penatalaksanaan Medis
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan
Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari
Hiperbilirubinemia (Price & Wilson, 2012). Pengobatan mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum Albumin
4. Menurunkan Serum Bilirubin

Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi


Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat (Price & Wilson, 1995).
Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi
Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya
dengan intensitas yang tinggi ( a bound of fluorencent light bulbs or bulbs in the
blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi
menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak
terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah
Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin.
Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme
difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke
Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam
Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery
dan Taeusch, 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi
Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar
Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat
menyebabkan Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4
-5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus
di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan
mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama
pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
1; Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
2; Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
3; Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam
pertama.
4; Tes Coombs Positif
5; Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
6; Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
7; Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
8; Bayi dengan Hidrops saat lahir.
9; Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
1; Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan)
terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
2; Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
3; Menghilangkan Serum Bilirubin
4; Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan
dengan Bilirubin
Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera
(kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak
mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar
Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.
Terapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang
meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik
diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum
melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan
karena efek sampingnya (letargi). Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan
mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.
Penggolongan Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus:
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya
kemungkinan dapat disusun sbb:
Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang
Bakteri)
Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan:


Kadar Bilirubin Serum berkala.
Darah tepi lengkap.
Golongan darah ibu dan bayi.
Test Coombs.
Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar
bila perlu.
2. Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.
; Biasanya Ikterus fisiologis.
Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau
golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat
misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.
Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.
; Polisetimia.
Hemolisis perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis, pendarahan
Hepar, sub kapsula dll). Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat
maka pemeriksaan yang perlu dilakukan:
Pemeriksaan darah tepi.
Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
Pemeriksaan lain bila perlu.
3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.
Sepsis.
Dehidrasi dan Asidosis.
Defisiensi Enzim G6PD.
Pengaruh obat-obat.
Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.
4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:
Karena ikterus obstruktif.
Hipotiroidisme
Breast milk Jaundice.
Infeksi.
Hepatitis Neonatal.
Galaktosemia.
5. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:
Pemeriksaan Bilirubin berkala.
Pemeriksaan darah tepi.
Skrining Enzim G6PD.
Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Caserta, M. T., 2009. Neonatal Pneumonia, Online, Availble, http://www. merck.


com/mmpe/sec19/ch279/ch279l.html, diakses tanggal 6 April 2017.
Corwin, E. J., 2009. Buku Saku Patofisiologi, Jakarta: EGC.
Doenges, dkk. 2008. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif, 2010, Pengantar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan
Sistem Kardiovaskuler, Jakarta: Salemba.
Ngastiyah. 2007. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Price & Wilson, 2012. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi
4 Buku 1, Jakarta: EGC.
Suriadi & Yuliani. 2011. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Jakarta: CV Sagung
Seto.

Anda mungkin juga menyukai