Definisi Pnemounia
Pneumonia adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang. Kantung-
kantung kemampuan menyerap oksigen menjadi kurang. Kekurangan oksigen
membuat sel-sel tubuh tidak bisa bekerja.Selain penyebaran infeksi ke seluruh
tubuh (Misnadiarly, 2008).
Pneumonia adalah keradangan parenkim paru dimana asinus terisi dengan
cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam
interstitium, menyebabkan sekumpulan gejala dan tanda khas biasanya dengan
gambaran infiltrat sampai konsolidasi pada foto rontgen dada. Gejala/tanda
tersebut antara lain, demam, sesak napas, batuk dengan dahak purulen kadang
disertai darah dan nyeri dada (Syahrir, 2008).
Jadi pneumonia adalah infeksi yang menyebabkan peradangan pada parenkim
paru. Terjadi penurunan kemampuan penyerapan oksigen dimana asinus terisi
dengan cairan radang. Kekurangan oksigen membuat sel-sel tubuh tidak bisa
bekerja. Hal ini menyebabkan sekumpulan gejala dan tanda khas biasanya
dengan gambaran infiltrat sampai konsolidasi pada foto rontgen dada, demam,
sesak napas, batuk dengan dahak purulen kadang disertai darah dan nyeri dada.
2. Klasifikasi Pneumonia
Klasifikasi pneumonia menurut Jeremy, dkk, (2007, Hal 76-78) :
1) Berdasarkan lingkungan dan pejamu
a. Pneumonia komunitas infeksi di masyarakat
b. Pneumonia nosokomial infeksi dari perawatan di RS
c. Pneumonia rekurens mempunyai dasar penyakit paru kronik
d. Pneumonia aspirasi komplikasi dari aspirasi paru
2) Berdasarkan bakteri penyebab:
a. Pneumonia Bakteri
Pneumonia bakterial sering diistilahkan dengan pneumonia akibat
kuman. Pneumonia jenis ini bisa menyerang siapa saja, dari bayi hingga
mereka yang telah lanjut usia. Pasien pascaoperasi, orang yang menderita
penyakit pernapasan lain atau yang mempunyai sistem kekebalan tubuh
rendah dan menjadi sangat rentan terhadap penyakit.
b. Pneumonia Akibat virus.
Penyebab utama pneumonia virus adalah virus influenza. Gejala awal
dari pneumonia akibat virus sama seperti gejala influenza, yaitu demam,
batuk kering, sakit kepala, nyeri otot, dan kelemahan. Dalam 12 hingga 36
jam penderita menjadi sesak dan berlendir. Terdapat panas tinggi disertai
membirunya bibir. (S. A. Price, 2005, Hal 804-814).
3) Berdasarkan morfologis infeksi:
Secara klinis, pneumonia dapat terjadi baik sebagai penyakit primer
maupun sebagai komplikasi dari beberapa penyakit lain. Secara morfologis
pneumonia dikenal sebagai berikut:
a. Pneumonia lobaris, melibatkan seluruh atau satu bagian besar dari satu
atau lebih lobus paru. Bila kedua paru terkena, maka dikenal sebagai
pneumonia bilateral atau “ganda”.
b. Bronkopneumonia, terjadi pada ujung akhir bronkiolus, yang tersumbat
oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak konsolidasi dalam
lobus yang berada didekatnya, disebut juga pneumonia loburalis.
c. Pneumonia interstisial, proses inflamasi yang terjadi di dalalm dinding
alveolar (interstisium) dan jaringan peribronkial serta interlobular (S. A.
Price, 2005, Hal 804-814)
4) Klasifikasi Berdasarkan Stadium (Bradley et.al., 2011):
a. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
`Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin
dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan
di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh
oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini
udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah
sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
3. Etiologi
a. Bakteri
Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi
sampai usia lanjut. Agen penyebab pneumonia di bagi menjadi organisme
gram-positif atau gramnegatif seperti: Steptococcus pneumoniae
(pneumokokus), Streptococcus piogenes, Staphylococcus aureus, Klebsiela
pneumonia. Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum
adalah Streptococcus pneumoniae sudah ada di kerongkongan manusia sehat.
Begitu pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia tua atau malnutrisi, bakteri
segera memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan. Balita yang terinfeksi
pneumonia akan panas tinggi, berkeringat, napas terengah-engah dan denyut
jantungnya meningkat cepat (Misnadiarly, 2008).
b. Virus
Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh
virus. Influenzae virus, Parainfluenzae virus, Respiratory, Syncytial
adenovirus, chicken-pox (cacar air), Rhinovirus, Sitomegalovirus, Virus
herpes simpleks, Virus insial pernapasan, hanta virus dan lain-lain. Virus
yang tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial
Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran
pernapasan bagian atas, pada balita gangguan ini bisa memicu
pneumonia.Tetapi pada umumnya sebagian besar pneumonia jenis ini
tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi terjadi
bersamaan dengan virus influenza, gangguan bisa berat dan kadang
menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008).
c. Mikoplasma
Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan
penyakit pada manusia. Mikoplasma tidak bisa diklasifikasikan sebagai virus
maupun bakteri, meski memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang
dihasilkan biasanya berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma
menyerang segala jenis usia, tetapi paling sering pada anak remaja dan usia
muda. (Misnadiarly, 2008).
d. Protozoa
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia
pneumosistis.Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis Carinii Pneumonia
(PCP). Pneumonia pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang premature.
Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa minggu sampai
beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam hitungan hari (Djojodibroto,
2009).
e. Fungi
Pneumonia fungi yang terjadi sering diakibatkan oleh adanya jamur
Aspergilus, Fikomisetes, Blastomises dermatitidis, histoplasma kapsulatum dan
lain-lain.
f. Bahan Lain Non Infeksi
Selain disebabkan oleh infeksi, pneumonia juga dapat diakibatkan oleh
adanya agen non infeksi seperti aspirasi lipid, zat-zat kimia, polutan, allergen
dan radiasi.Selain itu juga dapat diakibatkan oleh konsumsi obat seperti
nitofurantoin, busulfan dan metotreksat.
4. Patofisiologi (Terlampir)
5. Manifestasi Klinis
Temuan Subjektif Temuan Objektif
a. Dispnea a. Demam
b. Takipnea (laju pernafasan >60 b. Membebat hemotoraks yang sakit
kali/menit). c. Hipoksemia
c. Nyeri dada d. Bunyi pekak saat perkusi
d. Demam tinggi (suhu 39-40’C) e. Krakles
e. Menggigil f. Tidak ada bunyi napas pada bidang
f. Hemoptisis paru yang dakit
g. Batuk produktif dengan sputum g. Rongent dada mungkin
berbusa atau purulen menunjukkan infiltrat, konsolidasi,
atau opasifikasi
(Asih, Niluh., 2003)
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan ciri-ciri sebagai berikut :
Inspeksi
Retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping
hidung.
Distres pernapasan : retraksi dinding dada, penggunaan otot tambahan
yang terlihat; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Hal
ini disebabkan oleh tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama
inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi
bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan
ikat inter dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal.
Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat terlihat apabila
tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat
pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih
lemah dibandingkan anak yang lebih tua.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan
pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang
paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant,
kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat diamati dengan
jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan
area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain
pada “head bobbing”, adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan
adanya distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek
secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan
hidung memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi
jalan napas atas dan keseluruhan.Selain itu dapat juga menstabilkan jalan
napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.
Palpasi: Taktil fremitus masih ada
Perkusi: Tidak ditemukan kelainan.
Auskultasi:Ditemukan crackles sedang nyaring. Crackles dihasilkan oleh
gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan
napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
b. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkandiagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial
serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan
penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi,
misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh
Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan
infiltrat bilateralatau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas
kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
Pemeriksaan radiologi dapat memberikan gambaran yang bervariasi, di
antaranya :
Bercak konsolidasi merata pada bronkopneumonia
Bercak konsolidasi satu lobus pada pneumonia lobaris
Gambaran bronkopneumonia difua atau infiltrate interstitial pada pneumonia
staphylococcus
Bercak infiltrate alveolar menunjukkan pneumonia yang disebabkan oleh
\bakteri, virus maupun mycoplasma
Bercak infiltrate sirkular menunjukkan gambaran pneumonia pneumococcal
pada tahap awal
Bercak infiltrasi difus menunjukkan adanya infeksi M. pneumonia
Bercak konsolidasi lobus, plate like atelectasis,m nodular infiltration dan
hilar adenopathy juga menunjukkan adanya infeksi M. pneumonia
Bercak reticulonodular infiltrate yang mengarah ke infiltrate alveolar
menunjukkan pneumonia P. carinii
Hilar adenopathy menunjukkan adanya kecenderungan tuberculosis.
(Jadavji, dkk.1997)
c. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada
hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan
LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita
yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan
hikarbia,pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
a. Pemeriksaan gram/kultur, sputum dan darah: untuk dapat mengidentifikasi
semua organisme yang ada.
b. Pemeriksaan serologi: membantu dalam membedakan diagnosis
organisme khusus.
c. Pemeriksaan fungsi paru: untuk mengetahui paru-paru, menetapkan luas
berat penyakit dan membantu diagnosis keadaan.
d. Biopsi paru: untuk menetapkan diagnosis
e. Spirometrik static: untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi
f. Bronkoskopi: untuk menetapkan diagnosis dan mengangkat benda asing.
d. Penegakkan diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley et.al.,
2011):
Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding
dada
Hipertermi
Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan).
7. Penatalaksanaan Pneumonia
Menurut International Child Health (Review Collaboration) (2012), tatalaksana
pneumonia pada anak yaitu :
Terapi Antibiotik
Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), yang
harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi
respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi
dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/
kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang
berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan
berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8
jam).
Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan
pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali
sehari).
Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan buat foto
dada.
Apabila diduga pneumonia stafilokokal (dijelaskan di bawah untuk
pneumonia stafilokokal), ganti antibiotik dengan gentamisin (7.5 mg/kgBB IM
sekali sehari) dan kloksasilin (50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau
klindamisin (15 mg/kgBB/hari –3 kali pemberian). Bila keadaan anak
membaik, lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin) secara oral 4 kali sehari
sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara
oral selama 2 minggu.
Terapi Oksigen
Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat
Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi
oksigen (berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila tersedia
oksigen yang cukup). Lakukan periode uji coba tanpa oksigen setiap
harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi
tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna
Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.
Penggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk menghantarkan
oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau masker kepala tidak
direkomendasikan. Oksigen harus tersedia secara terus-menerus setiap
waktu.
Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat atau napas > 70/menit)
tidak ditemukan lagi.
Perawatan Penunjang
Bila anak disertai demam (> 39º C) yang tampaknya menyebabkan
distres, beri parasetamol.
Bila ditemukan adanya wheeze, beri bronkhodilator kerja cepat
Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan
oleh anak, hilangkan dengan alat pengisap secara perlahan.
Pastikan anak memperoleh kebutuhan cairan rumatan sesuai umur anak
tetapi hati-hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi.
Berikan anak sakit cairan dalam jumlah yang lebih banyak daripada jumlah
di atas jika terdapat demam (tambahkan cairan sebanyak 10% setiap 1°C
demam)
8. Komplikasi
Dalam Buku Saku Dasar Patologis Penyakit (Corwin, 2009), komplikasi
pneumonia terdiri atas:
Pembentukan abses (pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang)
Empiema (penyebaran infeksi ke dalam rongga pleura dan berisi nanah)
Pneumotoraks (pengumpulan udara dan gas diantara paru dan toraks)
Gagal napas
Pengorganisasian eksudat menjadi jaringan parut fibrotic
Efusi pleura (terjadi pengumpulan cairan di rongga pleura)
Hipoksemia
Pneumonia kronik
Atelektasis (pengembangan paru yang tidak sempurna/bagian paru-paru yang
diserang tidak mengandung udara dan kolaps)
Komplikasi sistemik (meningitis)
Endokarditis (peradangan pada setiap katup endocardial)
Osteomielitis
Delirium terjadi karena hipoksia
Asidosis metabolic
Dehidrasi
Bakterimia :merupakan komplikasi dari pneumonia pneumokokus yang paling
serius. Kejadian ini meningkatkan kemungkinan kematian secara bermakna.
Supurasi yang terkait dengan nekrosis likuefaktif alveolus menyebabkan
daerah paru yang rusak digantikan oleh nanah.
Pneumonia bakteri nekrotikan: kelainan ini merupakan komplikasi yang jarang
terjadi, dicirikan oleh nekrosis paru sangat berat yang berkaitan dengan
penyakit progresif cepat dan angka kematian yang tinggi.
9. Pencegahan Pneumonia
Mengingat Pneumonia adalah penyakit beresiko tinggi yang tanda
awalnya sangat mirip dengan flu, sebaiknya para orang tua tetap waspada
dengan memperhatikan cara berikut ini (Misnadiarly, 2008) :
a. Menghindarkan bayi atau anak dari paparan asap rokok, pousi udara,
dan tempat keramaian yang berpotensi penularan.
b. Menghindarkan bayi atau anak dari kontak dengan penderita ISPA
c. Membiasakan membarikan ASI
d. Segera berobat jika mendapati anak mengalami panas, batuk, pilek.
Terlebih jika disertai suara serak, sesak nafas, dan adanya tarikan pada
otot diantara rusuk (retraksi).
e. Periksakan kembali jika dalam dua hari belum menampakkan
perbaikan. dan segera ke rumah sakit jika kondisi anak memburuk.
f. Imunisasi, untuk meningkatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit
infeksi seperti imunisasi DPT.
a. Anamnesa:
b. Pemeriksaan fisik
Breathing
Frekuensi napas cepat dan dangkal, gerakan dinding toraks dapat berkurang pada
daerah yang terkena, perkusi normal atau redup, retraksi sternum dan intercostal
space. Pada pemeriksaan auskultasi paru dapat terdengar suara nafas utama
melemah atau mengeras, suara nafas tambahan berupa ronkhi basah halus di
lapangan paru yang terkena, kadang disertai dengan sputum.
Blood
Denyut nadi perifer melemah, tekanan darah biasanya normal, batas jantung tidak
mengalami pergeseran, akral dingin, sianosis, kulit pucat, icterus, CRT memanjang (>3
det).
Brain
Bladder
Pengukuran volume output dan intake cairan, oleh karena itu perawat perlu memonitor
adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Dikaji pula
kelainan pada genetalia dan pola eliminasi urine.
Bowel
Dikaji apakah ada distensi pada abdomen, bising usus, bagaimana pola eliminasi alvi,
adakah kelainan pada anus.
Bone
Didapatkan kelemahan dan kelelahan secara fisik, dikaji pula adakah kelainan pada
tulang yang kemungkinan karena trauma persalinan atau kongenital, bagaimana ATR
(activity tonus respon).
2. Asuhan Keperawatan
vital Monitor
kualitas dari nadi
-
5 Ketidakseimbangan NOC : NIC :
nutrisi kurang dari
Nutritional Status : food Nutrition
kebutuhan tubuh and Fluid Intake Management
Kriteria Hasil : - Kaji adanya
Definisi : Intake nutrisi tidak - Adanya peningkatan alergi makanan
cukup untuk keperluan berat badan sesuai - Kolaborasi
metabolisme tubuh. dengan tujuan dengan ahli gizi
- Berat badan ideal untuk
Batasan karakteristik : sesuai dengan tinggi menentukan
- Berat badan 20 % atau badan jumlah kalori
lebih di bawah ideal - Mampu mengidentifikasi dan nutrisi yang
- Dilaporkan adanya intake kebutuhan nutrisi dibutuhkan
makanan yang kurang - Tidak ada tanda tanda pasien.
dari RDA (Recomended malnutrisi - Anjurkan pasien
Daily Allowance) - Tidak terjadi penurunan untuk
- Membran mukosa dan berat badan yang meningkatkan
konjungtiva pucat berarti intake Fe
- Kelemahan otot yang - Anjurkan pasien
digunakan untuk untuk
menelan/mengunyah meningkatkan
- Luka, inflamasi pada protein dan
rongga mulut vitamin C
- Mudah merasa kenyang, - Berikan
sesaat setelah substansi gula
mengunyah makanan - Yakinkan diet
- Dilaporkan atau fakta yang dimakan
adanya kekurangan mengandung
makanan tinggi serat
- Dilaporkan adanya untuk mencegah
perubahan sensasi rasa konstipasi
- Perasaan - Berikan
ketidakmampuan untuk makanan yang
mengunyah makanan terpilih (sudah
- Miskonsepsi dikonsultasikan
steatorrhea kebutuhan
Faktor-faktor yang
berhubungan :
- Ketidakmampuan
pemasukan atau
mencerna makanan atau
mengabsorpsi zat-zat gizi
berhubungan dengan
faktor biologis, psikologis
atau ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Mansjoer, dkk., ( 2000 ), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica Aesculpalus,
FKUI, Jakarta.
Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah: Klien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: EGC.
Bradley, J.S., 2011. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants
and Children Older Than 3 Month of Age: Clinical Practice Guideline by the
Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious Diseases
Society of America. IDSA Guideline : Pediatric Community Pneumonia
Guideline., p. 1-44.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Ditjen P2PL Depkes RI 2007.Bimbingan penatalaksanaan pneumonia balita.
Djojodibroto, D. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC
Jadavji, dkk.1997.A Practical Guide for the Diagnosis and Treatment of Pediatric
Pneumonia.http://www.canadianmedicaljournal.ca/content/156/5/703.full.pd
f. Diakses tanggal 13 April 2018.Pukul 15.00 WIB.
Jeremy, dkk. 2007. At a Glance Sistem Respirasi, Edisi 2. Erlangga : Jakarta
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Nafas Pneumonia pada Anak,Orang
Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Obor Populer
Morgan, Geri. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik Edisi 2. Jakarta: EGC
Muscari, M.E. 2005. Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik. Eds : 3. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif, 2009, Pengantar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler, Jakarta: Salemba.
Narayanan, M., dan Falade, A.G., 2012, Clinical Risk Factor for Death in Children with
Pneumonia, viewed 25 Desember 2014, from International Child Health
Review Collaboration, www.ichrc.org/sites/default/files/riskpneumo.pdf .
Diakses pada Tanggal 14 April 2018 pukul 09.12 WIB.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia di Indonesia. Jakarta.
Price Anderson Sylvia, Milson McCarty Covraine. 2005. Patofisiologi Jilid 2, Edisi 4.
EGC : Jakarta.
Setyoningrum, R.A. 2006. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXVI :
Pneumonia. FK Unair RSUD Dr. Soetomo. Surabaya)
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC
Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika
Syahrir, Muhammad, dkk., 2008. Guideline Ilmu Penyakit Paru.Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.