Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)

(RSUD dr. Saiful Anwar, Malang)

HIDAYATURRAHMAN

16.6410.029

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

INSAN CENDEKIA MEDIKA

JOMBANG

2017

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan stase Kebutuhan Medikal Bedah (KMB) dengan


masalah Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) dan Rehabilitasi di Ruang
5A/Intermediate Ward RSUD dr. Saiful Anwar, Malang yang telah di susun oleh:

Nama : Hidayaturrahman, S.Kep


NIM : 16.6410.029

Ruang : 5A/IW

Sebagai syarat pemenuhan tugas program studi profesi ners, yang telah di teliti dan di sahkan pada:

Hari :

Tanggal :

Malang, 10 Mei 2017


Mahasiswa

(Hidayaturrahman,S.Kep)

Mengetahui

Pembimbing Akademik Pembimbing Ruangan

(..) ()

Kepala Ruang

(.)

Laporan Pendahuluan
Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi
Gagal jantung adalah pemberhentian sirkulasi normal darah dikarenakan kegagalan dari
ventrikel jantung untuk berkontraksi secara efektif pada saat systole. Akibat kekurangan
penyediaan darah, menyebabkan kematian sel dari kekurangan oksigen (Kasuari, 2002).
Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak mampu lagi memompakan darah
secukupnya dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi untuk metabolisme jaringan tubuh,
sedangkan tekanan pengisian ke dalam jantung masih cukup tinggi.
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap nutrien dan oksigen.
Gagal jantung adalah Suatu keadaan patofisiologi adanya kelainan fungsi jantung berakibat
jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau
kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri.

2. Etiologi
Terjadinya gagal jantung dapat disebabkan :
1) Disfungsi miokard (kegagalan miokardial)
Ketidakmampuan miokard untuk berkontraksi dengan sempurna mengakibatkan isi
sekuncup (stroke volume) dan curah jantung (cardiac output) menurun.
2) Beban tekanan berlebihan-pembebanan sistolik (systolic overload)
Beban sistolik yang berlebihan diluar kemampuan ventrikel (systolic overload)
menyebabkan hambatan pada pengosongan ventrikel sehingga menurunkan curah ventrikel
atau isi sekuncup.
3) Beban volum berlebihan-pembebanan diastolic (diastolic overload)
Preload yang berlebihan dan melampaui kapasitas ventrikel (diastolic overload) akan
menyebabkan volum dan tekanan pada akhir diastolic dalam ventrikel meninggi. Prinsip
Frank Starling ; curah jantung mula-mula akan meningkat sesuai dengan besarnya regangan
otot jantung, tetapi bila beban terus bertambah sampai melampaui batas tertentu, maka
curah jantung justru akan menurun kembali.
4) Peningkatan kebutuhan metabolic-peningkatan kebutuhan yang berlebihan (demand
overload)
Beban kebutuhan metabolic meningkat melebihi kemampuan daya kerja jantung di mana
jantung sudah bekerja maksimal, maka akan terjadi keadaan gagal jantung walaupun curah
jantung sudah cukup tinggi tetapi tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi tubuh.
5) Gangguan pengisian (hambatan input).
Hambatan pada pengisian ventrikel karena gangguan aliran masuk ke dalam ventrikel atau
pada aliran balik vena/venous return akan menyebabkan pengeluaran atau output ventrikel
berkurang dan curah jantung menurun.
6) Kelainan Otot Jantung
Gagal jantung paling sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, menyebabkan
menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot
mencakup arterosklerosis koroner, hipertensi arterial dan penyakit otot degeneratif atau
inflamasi.
7) Aterosklerosis Koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung.
Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium
(kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.
8) Hipertensi Sistemik / Pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertropi serabut
otot jantung.
9) Peradangan dan Penyakit Miokardium
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut
jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
10) Penyakit jantung
Penyakit jantung lain seperti stenosis katup semilunar, temponade perikardium, perikarditis
konstruktif, stenosis katup AV.
11) Faktor sistemik
Faktor sistemik seperti hipoksia dan anemia yang memerlukan peningkatan curah jantung
untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia atau anemia juga dapat
menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis dan abnormalitas elektrolit juga dapat
menurunkan kontraktilitas jantung.

3. Manifestasi Klinis
a. Peningkatan volume intravaskular (gambaran dominan)
b. Ortopnue yaitu sesak saat berbaring
c. Dipsneu on effort (DOE) yaitu sesak bila melakukan aktifitas
d. Paroxymal noctural dipsneu (PND) yaitu sesak nafas tiba-tiba pada malam hari disertai
batuk
e. Berdebar-debar
f. Lekas lelah
g. Batuk-batuk
h. Peningkatan desakan vena pulmonal (edema pulmonal) ditandai oleh batuk dan sesak nafas.
i. Peningkatan desakan vena sistemik seperti yang terlihat pada edema perifer umum dan
penambahan berat badan.

4. Patofisiologi
Kelainan pada otot jantung karena berbagai sebab dapat menurunkan kontraktilitas otot
jantung sehingga menurunkan isi sekuncup dan kekuatan kontraksi otot jantung sehingga terjadi
penurunan curah jantung. Demikian pula pada penyakit sistemik (misal : demam, tirotoksikosis,
anemia, asidosis) menyebabkan jantung berkompensasi memenuhi kebutuhan oksigen jaringan.
Bila terjadi terus menerus, pada akhirnya jantung akan gagal berkompensasi sehingga
mengakibatkan penurunan curah jantung. Penurunan curah jantung ini mempunyai akibat yang
luas yaitu:
a) Menurunkan tekanan darah arteri pada organ vital
- Pada jantung akan terjadi iskemia pada arteri koroner yang akhirnya menimbulkan
kerusakan ventrikel yang luas.
- Pada otak akan terjadi hipoksemia otak.
- Pada ginjal terjadi penurunan haluaran urine.
Semua hal tersebut akan menimbulkan syok kardiogenik yang merupakan stadium akhir
dari gagal jantung kongestif dengan manifestasi klinis berupa tekanan darah rendah, nadi
cepat dan lemah, konfusi dan agitasi, penurunan haluaran urine serta kulit yang dingin
dan lembab.
b) Menghambat sirkulasi dan transport oksigen ke jaringan sehingga menurunkan pembuangan
sisa metabolisme sehingga terjadi penimbunan asam laktat. Pasien akan menjadi mudah
lelah.
c) Tekanan arteri dan vena meningkat
Hal ini merupakan tanda dominan ADHF. Tekanan ini mengakibatkan peningkatan
tekanan vena pulmonalis sehingga cairan mengalir dari kapiler ke alveoli dan terjadilah
odema paru. Odema paru mengganggu pertukaran gas di alveoli sehingga timbul dispnoe dan
ortopnoe. Keadaan ini membuat tubuh memerlukan energy yang tinggi untuk bernafas
sehingga menyebabkan pasien mudah lelah. Dengan keadaan yang mudah lelah ini penderita
cenderung immobilisasi lama sehingga berpotensi menimbulkan thrombus intrakardial dan
intravaskuler. Begitu penderita meningkatkan aktivitasnya sebuah thrombus akan terlepas
menjadi embolus dan dapat terbawa ke ginjal, otak, usus dan tersering adalah ke paru-paru
menimbulkan emboli paru. Emboli sistemik juga dapat menyebabkan stroke dan infark
ginjal.
Odema paru dimanifestasikan dengan batuk dan nafas pendek disertai sputum berbusa
dalam jumlah banyak yang kadang disertai bercak darah. Pada pasien odema paru sering
terjadi Paroxysmal Nocturnal Dispnoe (PND) yaitu ortopnoe yang hanya terjadi pada malam
hari, sehingga pasien menjadi insomnia.

d) Hipoksia jaringan
Turunnya curah jantung menyebabkan darah tidak dapat mencapai jaringan dan organ
(perfusi rendah) sehingga menimbulkan pusing, konfusi, kelelahan, tidak toleran terhadap
latihan dan panas, ekstremitas dingin dan haluaran urine berkurang (oliguri). Tekanan perfusi
ginjal menurun mengakibatkan pelepasan renin dari ginjal yang pada gilirannya akan
menyebabkan sekresi aldosteron, retensi natrium dan cairan, serta peningkatan volume
intravaskuler.
e) Kegagalan ventrikel kanan mengosongkan volume darah, yang mengakibatkan beberapa efek
yaitu:
- Pembesaran dan stasis vena abdomen, sehingga terjadi distensi abdomen yang
menyebabkan terjadinya gerakan balik peristaltik, terjadi mual dan anoreksia.
- Pembesaran vena di hepar, menyebabkan nyeri tekan dan hepatomegali sehingga tekanan
pembuluh portal meningkat, terjadi asites yang juga merangsang gerakan balik
peristaltik.
- Cairan darah perifer tidak terangkut, sehingga terjadi pitting odema di daerah ekstrimitas
bawah.
5. Pathway
Aterosklerosis koroner, hipertensi atrial, Peningkatan laju metabolisme (demam, tirotoksikosis)
penyakit otot degenerative, inflamasi
Jantung berkompensasi untuk memenuhi kebutuhan O2 jaringan
Kelainan otot jantung

Menurunnya kontraktilitas Peningkatan curah jantung, tekanan arteri meningkat

Palpitasi dan takikardi


Menurunnya isi
Menurunnya kekuatan
sekuncup Kegagalan jantung berkompensasi
kontraksi otot jantung

Penurunan curah jantung


Gagal ventrikel kiri
Gagal ventrikel kanan
Kongesti paru
Penurunan sirkulai O2 ke
Kongesti visera & jaringan perifer
Cairan darah perifer jaringan & meningkatnya
Cairan terdorong ke
tidak terangkut energy yang digunakan untuk
dalam paru
Pembesaran vena di hepar bernafas

Pembesaran & sasis vena Hepatomegali Kelebihan Penimbunan


Mudah Edema pada
abdomen volume cairan cairan dalam
lelah & bronkus
alveoli
letih
Distensi abdomen Batuk
Edema paru
Intoleransi
Acites aktifitas Bersihan jalan
nafas tidak efektif Dispneu & ortopneu

Kerusakan
pertukaran gas
6. Pemeriksaan Penunjang
1) EKG (elektrokardiogram): untuk mengukur kecepatan dan keteraturan denyut
jantung
EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia san
kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia mis : takhikardi, fibrilasi atrial.
Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah imfark miokard
menunjukkan adanya aneurime ventricular.
2) Echokardiogram: menggunakan gelombang suara untuk mengetahui ukuran dan
bentuk jantung, serta menilai keadaan ruang jantung dan fungsi katup jantung.
Sangat bermanfaat untuk menegakkan diagnosis gagal jantung.
3) Foto rontgen dada: untuk mengetahui adanya pembesaran jantung, penimbunan
cairan di paru-paru atau penyakit paru lainnya.
4) Tes darah BNP: untuk mengukur kadar hormon BNP (B-type natriuretic peptide)
yang pada gagal jantung akan meningkat.
5) Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam
fungsi/struktur katub atau area penurunan kontraktilitas ventricular.
6) Skan jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan
dinding.
7) Kateterisasi jantung : Tekanan normal merupakan indikasi dan membantu
membedakan gagal jantung sisi kanan verus sisi kiri, dan stenosi katup atau
insufisiensi, juga mengkaji potensi arteri kororner. Zat kontras disuntikkan kedalam
ventrikel menunjukkan ukuran bnormal dan ejeksi fraksi/perubahan kontrktilitas

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gagal jantung kongestif dengan sasaran :
1) Untuk menurunkan kerja jantung
2) Untuk meningkatkan curah jantung dan kontraktilitas miokard
3) Untuk menurunkan retensi garam dan air.
a) Tirah Baring
Tirah baring mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung
dan menurunkan tekanan darah dengan menurunkan volume intra vaskuler
melalui induksi diuresis berbaring.
b) Oksigen
Pemenuhan oksigen akan mengurangi demand miokard dan membantu
memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.
c) Diet
Pengaturan diet membuat kerja dan ketegangan otot jantung minimal. Selain itu
pembatasan natrium ditujukan untuk mencegah, mengatur, atau mengurangi
edema.
d) Revaskularisasi koroner
e) Transplantasi jantung
f) Kardoimioplasti

8. Komplikasi
1. Trombosis vena dalam, karena pembentukan bekuan vena karena stasis darah.
2. Syok kardiogenik akibat disfungsi nyata
3. Toksisitas digitalis akibat pemakaian obat-obatan digitalis.
B. REHABILITASI
1. Definisi
Rehabilitasi kardiovaskular adalah suatu upaya membantu penderita penyakit
jantung dan pembuluh darah untuk mengembalikan status kesehatan fisik, medis,
psikologis, sosial, emosional, seksual, vokasional, dan ekonomi ke kondisi yang
optimal. Program rehabilitasi ini dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat
komprehensif, antara lain edukasi dan konseling, pengontrolan faktor risiko, dan
program latihan fisik.
Tindakan pencegahan (prevensi) penyakit kardiovaskular meliputi: tindakan
pencegahan primer yang ditujukan bagi individu normal agar tidak terkena penyakit
kardiovaskular, dan tindakan pencegahan sekunder bagi pasien penyakit
kardiovaskular agar tidak terjadi kekambuhan maupun komplikasi yang lebih berat.
Tindakan intervensi dilakukan terhadap faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular
melalui perubahan gaya hidup atau lingkungan yang mempengaruhinya, hingga
pemberian obat-obatan.
Dengan penggunaan mobil ambulan,tim resusitasi jantung-paru,dan ICCU,
penderita infark miokard sekarang mempunyai kesempatan hidup lebih baik
dibanding beberapa tahun yang lampau. Akan tetapi ternyata kesempatan hidup
(survival) saja bukanlah merupakan jawaban yang cukup.Yang penting adalah
bagaimana penderita-penderita penyakit jantung dapat kembali menjadi orang-orang
yang produktif di lingkungannya.
Diperlukan pendekatan baru sebagai metode tambahan yang dapat memperbaiki
perawatan penderita coronary prone, penderita pasca infark miokard, dan penderita
pasca bedah pintas koroner.Program pengobatan tambahan ini dikenal dengan
Cardiac Rehabilitation.
Hal ini tentu sangat sesuai dengan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang
menyatakan bahwa upaya kesehatan harus mencakup aspek-aspek promotif, preventif
dan kuratif, dan rehabilitatif.

2. Konsep dini
Dewasa ini telah dikenal rehabilitasi dini (early rehabilitation programme)
yang memang masih relatif baru di dunia kedokteran khususnya di Indonesia. Nama-
nama seperti Wenger, Blocker, Peterson, Hofman dan Pool barangkali belum begitu
dikenal di negara kita. Padahal inilah tokoh besar di bidang rehabilitasi dini ini
dimana rehabilitasi pasca serangan jantung haruslah dilaksanakan sedini mungkin (as
early as possible) dan selama mungkin (as long as possible) melalui kegiatan
rehabilitasi yang terpadu yang melibatkan berbagai penyaki jantung Ilmu
Keperawatan. Ilmu Fisioteraphi, Ilmu Psikologi, Ilmu Gizi, Ilmu Sosial dan
sebagainya. Pendekatan inilah yang dikenal dengan istilah pendekatan secara tim
rehabilitasi.

3. Dasar Pemikiran
Konsep pendekatan secara tim yang terdiri dari para pakar berbagai cabang
disiplin ilmu yang telah dikemukakan di atas, adalah bersumber dari pendapat
Peterson (1993) ahli rehabilitasi jantung terkemuka di Amerika Serikat, bahwa selain
(otot jantung dll) setiap penderita serangan jantung juga mengalami 5 jenis gangguan
lainnya, Yaitu: Adanya kemunduran fisiologi (Phisiology deconditioning), merupakan
suatu kemunduran kemampuan fisiologis dan fisik penderita pasca bedah jantung
(bedah pasca koroner) akibat tirah baring yang selama penderita di rumah sakit.
Timbulnya gangguan-gangguan psikologi. Tidak jarang penderita pasca serang
jantung dan pasca bedah jantung mengalami trauma psikologis karena dihinggapi
perasaan khawatir terhadap kelanjutan penyakitnya, serta adanya perasaan ketakutan
yang irasional pada diri penderita.
Ganguan nutrisi seringkali pada penderita kelainan jantung terdapat juga
berbagai ragam persoalan gizi seperti faktor kegemukan, kencing manis, kadar
kolestrol darah meningkat dsb, yang memerlukan pengaturan gizi secara tepat dan
benar.
Efek obat-obatan, obat-obatan yang didapat penderita, sering kali juga
memberi efek samping yang justru merugikan seperti munculnya keluhan-keluhan
pusing, penurunan denyut nadi dapat juga timbul gejala samping berupa turunya
potensi/libido penderita.
Kelainan lainnya, pada beberapa pendertia sering juga menemui adanya
berbagai bentuk gangguan lain seperti misalnya penyakit-penyakit di luar jantung
antara lain adanya kelainan organ tubuh lainnya yang dapat mempersulit kondisi
kesehatan penderita.
4. Pelaksanaan Latihan
Sesuai dengan konsep rehabilitasi dini maka bagi penderita pasca serangan
jantung dan pasca bedah jantung tanpa komplikasi akan dilaksanakan program latihan
sedini mungkin. Penderita akan didatangi tim rehabilitasi untuk menjelaskan maksud
latihan yuang akan dilaksanakan.
Pada pelaksanaanya dirumah sakit program latihan ini dilakukan pada hari ke
2 dan ke 3 dengan memberikan jenis latihan ringan dengan dibantu oleh instruktur
sehingga disebut sebagai latihan pasif (passive exercise program) yang akan
dilanjutkan dengan latihan secara aktif oleh penderita sendiri berupa kegiatan senam
ditempat tidur, dikursi, latihan lengan dan tangkai yang tujuannya untuk mencegah
terjadinya berbagai penyakit akibat posisi tidur yang lama. Latihan dilanjutkan di
ruang rawat berupa latihan jalan di ruangan, keluar ruangan serta dilanjutkan dengan
berlatih di ruang gymnasium dengan tetap melakukan pengawasan terhadap
perubahan nadi, tekanan darah serta keluhan pernafasan (hemodinamik) dari penderita
dan khusus di ruang gymnasium dilakukan monitoring perubahan rekaman
elektrokardiografi jarak jauh (tele monitor). Penilaian ini amat bermanfaat dalam
menentukan respons latihan terhadap penderita, sebelum dipulangkan ke rumah
dilakukan tes evaluasi kemampuan fisik penderita dengan mempergunakan treadmill
(jentera lari) selanjutnya bagi penderita setelah dipulangkan ke rumah.
Semua jenis latihan ini dikenal sebagai program latihan rehabilitasi fase I.
Program latihan bagi penderita selanjutnya setelah dipulangkan dari rumah sakit
merupakan program latihan Fase II yang dilaksanakan paling sedikit selama 1-2
bulan, berupa latihan dengan meningkatkan program secara bertahap dengan
berpedoman kepada hasil treadmill yang telah dilaksanakan.
Latihan Fase II ini mencakup latihan penafasan, latihan ketahanan, latihan alat
serta latihan relaksasi yang sebaiknya dilaksanakan secara bersama-sama dengan
penderita lain di ruangan (indoor programme) yang telah dipersiapkan dengan
berbagai perlengkapan di bawah pengawasan ketat dari dokter rehabilitasi dan staf.
Penilaian terhadap hasil latihan ini sangat bermanfaat bagi penentuan ramalan
perjalanan penyakti (jantung) dan penderita selanjutnya serta untuk menilai perlukah
dilaksanakan intervensi operative terhadap penderita. Selama menjalani program fase
II ini terhadap penderita dilaksanakan upaya-upaya rehabilitasi lainya berupa
penilaian terhadap kondisi gizi, psikologis, masalah psikologis dsb, serta memberikan
bimbingan khusus terhadap hal-hal di atas melalui kegiatan pendidikan terhadap
penderita dan keluarga (patient and family aducation) secara group.
Pada akhirnya latihan fase II ini dilaksanakan lagi pengujian ulang
kemampuan fisik pendertita dengan tes treadmil atau tes ergocycle (sepeda statis)
guna penyusunan program selanjutnya (fase III).
Program latihan fase III adalah merupakan program latihan lanjutan bagi
penderita yang dilaksanakan selama 3 s/d 6 bulan pasca serangan jantung.
Latihan disini merupakan program pemantapan terhadap latihan fase II.
Karena merupakan latihan lanjutan Fase III ini dilaksanakan di tempat yang lebih luas
dan terbuka sehingga disebut sebagai program out door. Disini penderita dilatih secara
lebih mendalam guna persiapan mereka untuk sendiri di rumah, karena sesudah
latihan III ini biasanya penderita sudah diizinkan untuk kembali bekerja ke
pekerjaannya semula atau pekerjaan barunya (return to work) dan berlatih di rumah
sendiri (program rehabilitasi fase IV) atau bergabung dengan klub-klub jantung yang
berada di lokasi perumahan masing-masing. Ada beberapa hal yang mempersulit
penderita pasca serangan jantung ataupun pascabedah jantung untuk dapat kembali
kepada kehidupan normalnya seperti lainnya pada bukan penderita antara lain:
Aspek Psikologis
Aspek ini menyangkut tentang pemulihan penderita pada lingkungan
kehidupan sehari-hari. Hal ini menyangkut sikap keluarga, sikap masyarakat di
lingkungan tempat tinggal penderita sering menilai berat secara berlebihan terhadap
penyakit jantung.
Kenyataannya tidak jarang penderita pasca serangan jantung tidak boleh
melakukan kegiatan fisik, tertentu di rumah, seperti misalnya keluarga melarang
penderita melaksanakan tugas-tugas seperti biasanya seperti mengurus sendiri
keperluan pakaian, hobi dan kebiasaan bahkan jalanpun harus dipapah.

5. Kesimpulan
Rehabilitasi pasca serangan jantung jelas merupakan bagian penting dalam
upaya penanganan penderita dalam upaya mengembalikan kondisi penderita sama,
atau mendekati keadaan sebelum sakit sehingga mampu kembali kepada kehidupan
normalnya.
Terbukti rehabilitasi serangan jantung ini juga berperan sebagai usaha pencegahan
sekunder terhadap penyakit jantung. (Dr. Aulia Sani, SpJP(K), FJCC).
C. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN INTENSIF
1. PENGKAJIAN
a. Pengkajian Primer
1) Airway
Kepatenan jalan nafas meliputi pemeriksaan obstruksi jalan nafas, adanya
benda asing, adanya suara nafas tambahan.
2) Breathing
Frekuensi nafas, apakah ada penggunaan otot bantu nafas, retraksi dada,
adanya sesak nafas, palpasi pengembangan paru, auskultasi suara nafas, kaji
adanya suara nafas tambahan.
3) Circulation
Pengkajian mengenai volume darah dan cardiac output serta adanya
perdarahan. pengkajian juga meliputi status hemodinamik, warna kulit, nadi.
b. Pengkajian Sekunder
1. Aktivitas/istirahat
a. Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari, insomnia,
nyeri dada dengan aktivitas, dispnea pada saat istirahat.
b. Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi, tanda vital
berubah pada aktivitas.
2. Sirkulasi
a. Gejala : Riwayat HT, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya, penyakit
jantung, bedah jantung , endokarditis, anemia, syok septik, bengkak
pada kaki, telapak kaki, abdomen.
b. Tanda : TD ; mungkin rendah (gagal pemompaan), Tekanan Nadi ;
mungkin sempit, Irama Jantung ; Disritmia, Frekuensi jantung ;
Takikardia , Nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah, posisi
secara inferior ke kiri, Bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah diagnostik, S4
dapat, terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah, Murmur sistolik dan
diastolic, Warna ; kebiruan, pucat abu-abu, sianotik, Punggung kuku ;
pucat atau sianotik dengan pengisian, kapiler lambat, Hepar ;
pembesaran/dapat teraba, Bunyi napas ; krekels, ronkhi, Edema ;
mungkin dependen, umum atau pitting , khususnya pada ekstremitas.
3. Integritas ego
a. Gejala : Ansietas, kuatir dan takut. Stres yang berhubungan dengan
penyakit/keperihatinan finansial (pekerjaan/biaya perawatan medis)
b. Tanda : Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas, marah,
ketakutan dan mudah tersinggung.
4. Eliminasi
a. Gejala : Penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih malam
hari (nokturia), diare/konstipasi.
5. Nutrisi
a. Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambhan berat
badan signifikan, pembengkakan pada ekstremitas bawah,
pakaian/sepatu terasa sesak, diet tinggi garam/makanan yang telah
diproses dan penggunaan diuretic.
b. Tanda : Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen (asites)
serta edema (umum, dependen, tekanan dn pitting).
6. Higiene
a. Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas Perawatan
diri.
b. Tanda : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
7. Neurosensori
a. Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan.
b. Tanda : Letargi, kusut pikir, diorientasi, perubahan perilaku dan mudah
tersinggung.
8. Nyeri/Kenyamanan
a. Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas
dan sakit pada otot.
b. Tanda : Tidak tenang, gelisah, focus menyempit danperilaku
melindungi diri.
9. Pernapasan
a. Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan
beberapa bantal, batuk dengn/tanpa pembentukan sputum, riwayat
penyakit kronis, penggunaan bantuan pernapasan.
b. Tanda :
1) Pernapasan; takipnea, napas dangkal, penggunaan otot asesori
pernpasan.
Diagnosa Tujuan dan
No. Intervensi
keperawatan Kriteria hasil
1. Penurunan NOC : NIC :
1. Cardiac Pump Cardiac Care
curah jantung
1. Evaluasi adanya nyeri dada (intensitas,lokasi, durasi)
effectiveness
berhubungan 2. Catat adanya disritmia jantung
2. Circulation
3. Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac output
dengan
Status 4. Monitor status kardiovaskuler
Perubahan 3. Vital Sign Status 5. Monitor status pernafasan yang menandakan gagal jantung
6. Monitor abdomen sebagai indicator penurunan perfusi
kontraktilitas
Setelah diberikan 7. Monitor balance cairan
miokardial/peru 8. Monitor adanya perubahan tekanan darah
asuhan keperawatan 9. Monitor respon pasien terhadap efek pengobatan
bahan
selama .x. antiaritmia
inotropik.
diharapkan tanda 10. Atur periode latihan dan istirahat untuk menghindari

vital dalam batas kelelahan


11. Monitor toleransi aktivitas pasien
yang dapat diterima 12. Monitor adanya dyspneu, fatigue, tekipneu dan ortopneu
(disritmia terkontrol 13. Anjurkan untuk menurunkan stress
atau hilang) dan
bebas gejala gagal Vital Sign Monitoring
1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
jantung. 2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
Kriteria Hasil: 3. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri
1. Tanda Vital 4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah
dalam rentang
aktivitas
normal (Tekanan 6. Monitor kualitas dari nadi
darah, Nadi, 7. Monitor adanya puls paradoksus
8. Monitor adanya puls alterans
respirasi) 9. Monitor jumlah dan irama jantung
2. Dapat 10. Monitor bunyi jantung
mentoleransi 11. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
12. Monitor suara paru
aktivitas, tidak 13. Monitor pola pernapasan abnormal
ada kelelahan 14. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
3. Tidak ada edema 15. Monitor sianosis perifer
16. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar,
paru, perifer, dan
bradikardi, peningkatan sistolik)
tidak ada asites 17. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
4. Tidak ada
penurunan
kesadaran

2. Bersihan jalan NOC : NIC :


1. Respiratory Airway suction
nafas tidak
1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
status :
efektif 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning.
Ventilation 3. Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning
berhubungan
2. Respiratory 4. Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan.
dengan 5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk
status : Airway
penurunan memfasilitasi suksion nasotrakeal
patency
6. Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan
reflek batuk, 3. Aspiration
7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah
penumpukan Control
kateter dikeluarkan dari nasotrakeal
Setelah diberikan
secret.
2) Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus
menerus dengan/tanpa pemebentukan sputum.
3) Sputum ; Mungkin bersemu darah, merah muda/berbuih (edema
pulmonal)
4) Bunyi napas ; Mungkin tidak terdengar.
5) Fungsi mental; Mungkin menurun, kegelisahan, letargi.
6) Warna kulit ; Pucat dan sianosis.
10.Interaksi sosial
a. Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa
dilakukan.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan Perubahan kontraktilitas
miokardial/perubahan inotropik.
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan reflek batuk,
penumpukan secret.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan edema paru
d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi
glomerulus, meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan

3. INTERVENSI

4. IMPLEMENTASI
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang telah dilaksanakan.

5. EVALUASI
Dx 1 : tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia terkontrol atau hilang)
Dx 2 : kepatenan jalan nafas pasien terjaga
Dx 3 : dapat mempertahankan tingkat oksigen yang adekuat
Dx 4 : keseimbangan volume cairan dapat dipertahankan
Dx 5 : terjadi peningkatan toleransi pada klien
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius ;


2000

Kasuari, Asuhan Keperawatan Sistem Pencernaan dan Kardiovaskuler Dengan


Pendekatan Patofisiology, Magelang, Poltekes Semarang PSIK Magelang,
2002
Lynda Juall Carpenito. Handbook Of Nursing Diagnosis. Edisi 8. Jakarta : EGC ;
2001

Sandra M. Nettina , Pedoman Praktik Keperawatan, Jakarta, EGC, 2002

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarths Textbook of Medical Surgical
Nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC; 2000 (Buku asli
diterbitkan tahun 1996)

Suyono, S, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2001

Anda mungkin juga menyukai