Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KLIEN DENGAN DIAGNOSA ATRIAL FIBRILASI

Oleh:
LEVINA DIAN ANDRIANIS
(NIM. 14401.15.16018)

PRODI D-III KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HAFSHAWATY
PESANTREN ZAINUL HASAN
PROBOLINGGO
2018
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN
DIAGNOSA ATRIAL FIBRILASI

A. Definisi
Atrial fibrilasi (AF) adalah suatu gangguan pada jantung yang paling umum
(ritme jantung abnormal) yang ditandai dengan irama denyut jantung iregular dan
peningkatan frekuensi denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit. Pada
dasarnya atrial fibrilasi merupakan suatu takikardi supraventrikuler dengan
aktivasi atrial yang tidak terkoordinasi sehingga terjadi gangguan fungsi mekanik
atrium. Keadaan ini menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa
darah jantung.
Dari gambaran elektrokardiogram AF dapat dikenali dengan absennya
gelombang P, yang diganti oleh fibrilasi atau oskilasi antara 400-700 permenit
dengan berbagai bentuk, ukuran, jarak dan waktu timbulnya yang dihubungkan
dengan respon ventrikel yang cepat dan tidak teratur bila konduksi AV masih utuh.
Irama semacam ini sering disebut sebagai gelombang.

B. Anatomi jantung
Jantung adalah organ berotot dan berongga yang berfungsi
memompa darah melalui pembuluh darah dengan frekuensi denyut yang ritmik.
Jantung manusia dewasa mempunyai berat yang hampir sama antara satu orang
dengan orang yang lain, yaitu kurang lebih sekitar 300-350 gr. Jantung secara
normal terletak didalam rongga toraks, yang berada diantara sternum di sebelah
anterior dan vertebra di sebelah posterior, sedangkan pada bagian inferior berbatasan
dengan diafragma Anatomi jantung dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu
anatomi eksternal dan anatomi internal.
1. Anatomi Eksternal
Anatomi eksternal jantung dapat dikatakan sebagai bagian lapisan-
lapisan pada jantung. Pada dasarnya terdapat tiga bagian lapisan pada jantung, yaitu
pericardium,miokardiumdan endocardium Lapisan perikardium merupakan lapisan
jantung bagian luar yang terbuat oleh jaringan ikat yang tebal. Lapisan ini terdiri
dari 2 lapisan yaitu perikardium parietal yang berada dibagian luar dan perikardium
visceral yang berada dibagian dalam. Ruangan diantara perikardium parietal dan
perikardium visceral dinamakan rongga perikardial yang berisi cairan perikardium
encer. Fungsi rongga tersebut adalah sebagai ruang kompsensasi pergerakan
jantung. Lapisan kedua adalah lapisan miokardium, yang merupakan lapisan paling
tebal dan lapisan yang terdiri atas otot-otot jantung.
Lapisan ini terdiri dari 3 macam otot, yaitu otot atrium, otot ventrikel dan
otot serat khusus. Otot atrium mempunyai karakteristik otot yang lebih tipis
dibandingkan dengan otot ventrikel, hal ini lebih banyak dipengaruhi oleh fungsi
kontraktilitas jantung berkaitan dengan fungsi pompa darah ke seluruh tubuh. Otot
atrium dan otot ventrikel mempunyai kinerja kontraksi yang sama, sedangkan otot
serat khusus lebih tergantung dari rangsang konduksi jantung. Lapisan yang terakhir
adalah lapisan endokardium. Lapisan ini adalah suatu lapisan yang terdiri dari
membran tipis di bagian luar yang membungkus jantung. Lapisan ini terdiri dari
jaringan epitel (endotel) dan berhubungan langsung dengan jantung
2. Anatomi Internal
Jantung terdiri dari 4 ruang, yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel
kanan dan ventrikel kiri. Bagian kanan (atrium dan ventrikel kanan) dan kiri
(atrium dan ventrikel kiri) jantung dipisahkan oleh suatu sekat yang dinamakan
septum cordis. Disamping itu, jantung juga mempunyai 4 buah katup jantung, yang
terdiri dari katup trikuspidalis, katup mitral/bikuspidalis, katup semilunar pulmonalis
dan katup semilunar aorta.
a. Atrium Kanan
Atrium kanan merupakan ruang pada jantung yang berfungsi untuk
menampung darah vena yang mengalir melalui vena kava inferior dan vena kava
superior. Kedua vena kava bermuara pada tempat yang berbeda, vena kava
superior bermuara pada dinding Katup Atrio-ventrikuler terdiri dari dua katup,
yaitu katup trikuspidalis dan katup bikuspidalis atau mitral. Katup trikuspidalis
terdiri dari tiga daun katup yang berbeda ukuran pada setiap daun bagian
supero-posterior atrium kanan, sedangkan vena kava inferior bermuara pada
dinding bagian infero-latero-posterior atrium kanan.
b. Ventrikel Kanan
Ventrikel kanan merupakan ruangan setelah atrium kanan. Darah vena
akan dialirkan dari atrium kanan ke ventrikel kanan, yang sebelumnya melewati
katup atrio-ventrikular kanan atau triskupidalis.
c. Atrium Kiri
Atrium kiri merupakan ruangan yang menerima darah (bersih) yang
berasal dari paru-paru. Atrium kiri menerima darah dari empat vena pulmonalis
yang bermuara pada dinding postero-posterior atau postero-lateral.
d. Ventrikel Kiri
Ventikel kiri merupakan bagian ruangan pada jantung yang berfungsi
memompa darah ke seluruh bagian organ tubuh. Ventrikel kiri mempunyai tebal
lapisan sebesar 2-3 kali lipat dibandingkan dengan ventrikel kanan. Hal ini
dipengaruhi oleh fungsi pompa darah ventrikel kanan dan kiri.
e. Katup Semilunar
Katup semilunar terdiri dari dua katup, yaitu katup semilunar pulmonalis
dan katup semilunar aorta. Kedua katup ini mempunyai bentuk katup yang sama,
tetapi secara antomis katup semilunar aorta lebih tebal dibandingkan dengan
katup semilunar pulmonalis. Katup semilunar pulmonalis berfungsi sebagai sekat
antara ventrikel kanan dengan paru-paru, sedangkan katup semilunar aorta
berfungsi sebagai sekat antara ventrikel kiri dengan aorta. Setiap katup terdiri
dari tiga daun katup, untuk katup semilunar pulmonalis terdiri dari daun
katup anterior, dekstra dan sinistra. Sedangkan katup semilunar aorta terdiri dari
daun katup koroner dekstra, koroner sinistra dan non-koroner.

Gambar 1. Anatomi Jantung

3. Persarafan Jantung
Jantung dipersarafi oleh sistem saraf otonom, yaitu serabut saraf
simpatis dan serabut saraf parasimpatis. Serabut saraf simpatis mempersarafi
daerah atrium, ventrikel dan pembuluh darah koroner. Sedangkan serabut saraf
parasimpatis mempersarafi nodus sino-atrial, atrio-ventrikuler dan otot-otot atrium.
Persarafan simpatis eferen preganglionik berasal dari medulla spinalis
torakal III-VI dan diperantarai oleh norepinefrin. Sedangkan persarafan
parasimpatis berasal dari pusat nervus vagus di medulla oblongata dan diperantarai
oleh asetilkolin. Secara fungsional, saraf simpatis mempengaruhi kinerja dari otot
ventrikel, sedangkan saraf parasimpatis lebih berperan dalam mengontrol irama dan
menurunkan laju denyut jantung.

C. Pembuluh Darah Jantung


Pendarahan otot jantung berasal dari aorta melalui dua pembuluh koroner,
yaitu arteri koroner kanan dan arteri koroner kiri. Kedua arteri ini, baik arteri
koroner kanan atau arteri koroner kiri keluar dari sinus valsava aorta. Arteri koroner
kiri akan bercabang menjadi arteri sirkumfleks kiri dan arteri desendens anterior kiri
yang memperdarahi sebagian besar bagian proksimal RBB (right bundle branch),
LBB (left bundle branch) dan fasikulus anterior LBB. Sedangkan arteri koroner
kanan akan bercabang menjadi arteri atrium anterior kanan yang memperdarahi
nodus sino-atrial dan arteri koroner desendens posterior yang memperdarahi nodus
atrio-ventrikuler dan fasikulus posterior LBB. Pembuluh darah balik dari otot
jantung adalah vena koroner. Vana koroner ini berjalan berdampingan dengan arteri
koroner yang akan masuk atau bermuara ke dalam atrium kanan melalui sinus
koronarius.

Gambar 2. Pembuluh Darah Jantung

D. Fisiologi dan sistem konduksi jantung


Fisiologi jantung
Jantung berkontraksi atau berdenyut dengan irama yang ritmik, akibat
adanya potensial aksi (otoritmisitas). Terdapat dua jenis khusus sel otot
jantung, yaitu 99% sel-sel kontraktil yang melakukan kerja
mekanik.(kontraksi), tetapi tidak menghasilkan potensial aksi dan 1 % sel-sel
otoritmik yang tidak melakukan kerja mekanik (tidak berkontraksi), tetapi
mempunyai fungsi dalam mencetuskan dan menghantarkan potensial aksi.
Aksi potensial otot jantung yang memicu suatu proses kontraksi mekanik
jantung dinamakan excitation contraction coupling. Kontraksi otot jantung dimulai
dengan adanya aksi potensial pada sel-sel otoritmik. Potensial aksi dimulai dari
proses dopalarisasi, proses plateau dan proses repolarisasi. Ketiga proses ini
merupakan rangkaian proses potensial aksi yang harus ada untuk memicu kontraksi
otot jantung.
Potensial aksi dimulai dari proses depolarisasi, dimana terjadi

pembukaan saluran Na+ secara cepat. Proses masuknya ion Na+ menyebabkan
perubahan potensial membran sel-sel otoritmik, mulai dari -70 mv hingga +30 mv.

Setelah mencapai ambang batas perubahan potensial, saluran Na+ akan segera

menutup yang kemudian diikuti pembukaan saluran Ca2+. Pembukaan saluran

Ca2+ terjadi secara lambat, yang menyebabkan proses plateau dan influks Ca2+
dari ekstraseluler ke dalam intraseluler atau sel-sel otoritmik. Setelah beberapa

saat, saluran Ca 2+ akan menutup dan terjadi pembukaan saluran K +. Pembukaan

saluran K+ menyebabkan terjadinya proses repolarisasi, yang ditandai dengan

keluarnya atau effluks K+ ke ekstraseluler. .

Gambar 3. Fisiologi Potensial Aksi Jantung


Proses kontraktilitas otot jantung terjadi pada fase plateau proses

potensial aksi, dimana terjadi penutupan saluran Na 2+ dan pembukaan

saluran Ca2+ secara lambat. Proses kontraktilitas otot jantung ini terjadi akibat

influks Ca2+ atau kenaikan konsentrasi Ca2+ bebas intraseluler. Pada dasarnya

terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan hal tersebut, yaitu Ca2+

ekstraseluler berdifusi kedalam intraseluler akibat pembukaan saluran Ca2+

selama fase plateu pada potensial aksi jantung dan Ca2+ yang dikeluarkan dari

cadangan intraseluler (sarcoplamic reticulum) akibat rangsangan masuknya Ca2+


yang berasal dari ekstraseluler.

Peningkatan Ca2+ dalam intraseluler mengakibatkan adanya ikatan

Ca2+ dengan troponin. Ikatan antara Ca2+dengan troponin, mengakibatkan


kontraksi otot-otot jantung. Selama kontraksi otot jantung, filamen-filamen tebal
(miosin) dan tipis (aktin) akan saling menggeser untuk memperpendek tiap

sarkomer. Berkurangnya ikatan antara Ca 2+ dengan troponin akan menyebabkan

stimulasi proses relaksasi otot jantung. Pada fase ini, Ca 2+ yang tidak berikatan
dengan troponin akan disimpan kembali di dalam sarcoplamic reticulum dan

sebagian Ca2+ keluar ke ekstraseluler. Proses keluarnya Ca2+ ke ekstraseluler

terjadi karena adanya pertukaran dengan ion Na2+ yang berada di

ekstraseluler. Kemudian ion Na + yang telah masuk kedalam intraseluler akan

bertukaran secara aktif dengan ion K + melalui proses Na+- K+-ATPase 9,1

Gambar 4. Fisiologi kontraksi dan Relaksasi Otot Jantung


Pada dasarnya yang menyebabkan adanya potensial aksi hingga
menimbulkan kontraktilitas otot jantung adalah adanya impuls atau rangsangan
elektrik. Sistem konduksi jantung terdiri dari nodus sino-atrial, nodus atrio-
ventrikuler, berkas his, berkas cabang kanan-kiri dan serabut purkinje. Rangsangan
atau sinyal elektrik pertama jantung berawal di nodus sino-atrial (Nodus SA)
yang berada di latero-superior atrium kanan. Terjadinya sinyal elektrik pada
nodus SA menyebabkan kontraksi dari atrium, baik atrium kanan ataupun atrium
kiri. Kontraksi yang bersamaan antara atrium kanan dan kiri dipengaruhi oleh
penjalaran rangsangan elektrik melalui traktus inter-atrial yang merupakan cabang
dari nodus SA. Nodus SA memiliki kemampuan mencetuskan potensial elektrik
(pacemaker) tercepat bila dibandingkan dengan sistem konduksi jantung yang lain,
yaitu sebesar 60-100 potensial aksi/menit. Kemampuan ini menyebabkan nodus
SA sebagai pengontrol utama rangsangan elektrik jantung (overdrive pacemaker)
dan mengendalikan sistem konduksi jantung.
Sistem penjalaran rangsangan elektrik harus terkoordinasi dengan baik
untuk menimbulkan proses mekanik atau pemompaan yang efisien. Penjalaran
sinyal elektrik harus memenuhi tiga kriteria, diantaranya adalah :
1. Rangsangan dan kontraksi atrium harus sudah selesai sebelum kontraksi
ventrikel dimulai
2. Rangsangan otot-otot jantung dikoordinasi untuk memastikan setiap
pasangan atrium dan pasangan ventrikel berkontraksi sebagai satu
kesatuan
3. Pasangan atrium dan ventrikel harus saling terkoordinasi sebagai satu
sinsitium. Sinyal elektrik dari nodus SA kemudian akan diteruskan ke nodus
atrio-ventrikuler (nodus AV). Rangsangan elektrik ini dihantarkan melalui
traktus internodal (internodal anterior, posterior dan medial). Nodus AV
merupakan satu-satunya penghubung sistem konduksi antara atrium dengan
ventrikel. Disamping itu, nodus AV juga mempunyai kemampuan mencetuskan
potensial elektrik (pacemaker) kedua tercepat, yaitu sebesar 40-60 potensial
aksi/menit. Hal ini memungkinkan nodus SA sebagai pengontrol dan
pengendali sistem konduksi jantung apabila terjadi blok pada rangsangan
elektrik nodus SA. Secara fisiologis, nodus AV sebenarnya memiliki
keterlambatan penjalaran sinyal elektrik, yaitu sebesar 0,08-0,12 detik.
Keterlambatan ini sebenarnya mempunyai fungsi dalam memberikan waktu
atrium untuk berkontraksi sempurna dan memberikan waktu dalam proses
mengosongkan voleme atrium ke dalam ventrikel (memberi waktu pengisian
ventrikel), sebelum ventrikel terdepolarisasi dan berkontraksi.
Sistem konduksi setelah nodus AV adalah berkas his. Berkas his
sebenarnya dapat dikatakan sebagai sekelompok serabut purkinje yang berasal
dari nodus AV, yang berjalan sepanjang septum interventrikuler menuju ke
ventrikel. Berkas his akan bercabang menjadi dua bagian, yaitu berkas cabang
kanan dan berkas cabang kiri. Berkas cabang kanan (RBB/right bundle branch)
merupakan percabangan dari berkas his. RBB bercabang sebagai struktur tunggal
di lapisan subendokardium di sisi bagian kanan. Kemudian RBB akan terbagi
menjadi tiga cabang, yaitu RBB cabang anterior, posterior dan lateral. Bagian
RBB lateral akan berjalan menuju dinding lateral ventrikel kanan dan menuju
bagian bawah septum interventrikuler, yang kemudian akan membentuk anyaman
purkinje atau serabut purkinje. Berbeda dengan RBB, berkas cabang kiri
(LBB/left bundle branch) mempunyai dua struktur percabangan. Kedua struktur
percabangan LBB ini berjalan di subendokardium di sisi bagian kiri dan
kemudian masing- masing percabangan akan membentuk suatu struktur
bangunan seperti pada percabangan RBB, yaitu serabut purkinje. Penjalaran
sinyal elektrik menuju ventrikel melewati berkas his dan serabut purkinje
berjalan sangat cepat. Disamping itu, serabut purkinje juga mempunyai peran
dalam menjaga keseimbangan koordinasi kontraktilitas (sinsitium) antara
ventrikel kanan dan ventrikel kiri.
Gambar 5. Sistem Konduksi Jantung

E. Etiologi
Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor-

faktor, diantaranya adalah1,2 :


1. Peningkatan tekanan/resistensi atrium
a) Penyakit katup jantung
b) Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
c) Hipertrofi jantung
d) Kardiomiopati
e) Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor
pulmonal chronic)
f) Tumor intracardiac
2. Proses infiltratif dan inflamasi
a) Pericarditis/myocarditis
b) Amiloidosis dan sarcoidosis
c) Faktor peningkatan usia
3. Proses infeksi : Demam dan segala macam infeksi
4. Kelainan Endokrin
a) Hipertiroid
b) Feokromositoma
5. Neurogenik
a) Stroke
b) Perdarahan subarachnoid
6. Iskemik Atrium (Infark myocardial)

F. KLASIFIKASI
Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial
fibrilasi dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu :
1. AF deteksi pertama
Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi pertama.
Tahap ini merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi AF sebelumnya
dan baru pertama kali terdeteksi.
2. Paroksismal AF
AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai episode
pertama kali kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal AF. AF jenis
ini juga mempunyai kecenderungan untuk sembuh sendiri dalam waktu kurang
dari 24 jam tanpa bantuan kardioversi.
3. Persisten AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi kurang dari
7 hari. Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu penggunaan dari
kardioversi untuk mengembalikan irama sinus kembali normal.
4. Kronik (permanen AF)
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari. Pada permanen AF,
penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti, karena dinilai cukup sulit untuk
mengembalikan ke irama sinus yang normal. Disamping klasifikasi menurut
AHA (American Heart Association), AF juga sering diklasifikasikan menurut
lama waktu berlangsungnya, yaitu AF akut dan AF kronik. AF akut
dikategorikan menurut waktu berlangsungnya atau onset yang kurang dari 48
jam, sedangkan AF kronik sebaliknya, yaitu AF yang berlangsung lebih dari
48 jam. Berdasarkan ada tidaknya penyakit yang mendasari, AF dapat dibedakan
menjadi :
a. AF primer terjadi bila tidak disertai penyakit jantung atau penyakit
sistemik lainnya.
b. AF sekunder disertai adanya penyakit jantung atau penyakit sistemik
seperti gangguan tiroid. Berdasarkan bentuk gelombang P AF dibedakan atas:
AF coarse (kasar), AF fine (halus) Interpretasi EKG fibrilasi atrium, sebgai
berikut :
1) Frekuensi : frekuensi atrium 350 sampai 600 denyut per menit; respon
ventrikuler biasanya 120 sampai 200 denyut per menit.
2) Gelombang P : tidak terdapat gelombang P yang jelas; tampak undulasi yang
ireguler, dinamakan gelombang fibrilasi atau gelombang f, interval PR tidak
dapat diukur.
3) Kompleks QRS : biasanya normal.
4) Hantaran : biasanya normal melalui ventrikel. Ditandai oleh respon
ventrikel ireguler, karena nodus AV tidak berespons terhadap frekuensi
atrium yang cepat, maka impuls yang dihantarkan menyebabkan ventrikel
berespons ireguler.
5) .Irama : ireguler dan biasanya cepat, kecuali bila terkontrol. Iregularitas
irama diakibatkan oleh perbedaan hantaran pada nodus AV.
G. Manifestasi Klinis
AF dapat simptomatik dapat pula asimptomatik. Gejala-gejala AF sangat
bervariasi tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel, lamanya FA, penyakit
yang mendasarinya. Fibrilasi atrium (AF) biasanya menyebabkan ventrikel
berkontraksi lebih cepat dari biasanya. Ketika ini terjadi, ventrikel tidak
memiliki cukup waktu untuk mengisi sepenuhnya dengan darah untuk memompa
ke paru-paru dan tubuh. Atrial fibrilasi sering tanpa disertai gejala, tapi kebanyakan
penderita mengalami palpitasi (perasaan yang kuat dari denyut jantung yang cepat
atau "berdebar" dalam dada), nyeri dada terutama saat beraktivitas, pusing atau
pingsan, sesak napas, cepat lelah, laju denyut jantung meningkat, intoleransi
terhadap olahraga, sinkop atau gejala tromboemboli, atau dapat disertai gejala-
gejala gagal jantung (seperti rasa lemah, sakit kepala berat, dan sesak nafas),
terutama jika denyut ventrikel yang sangat cepat (sering 140-160 denyutan/menit).
Pasien dapat juga disertai tanda dan gejala stroke akut atau kerusakan organ tubuh
lainnya yang berkaitan dengan emboli systemic. AF dapat mencetuskan gejala
iskemik pada AF dengan dasar penyakit jantung koroner. Fungsi kontraksi atrial
yang sangat berkurang pada AF akan menurunkan curah jantung dan dapat
menyebabkan terjadi gagal jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi ventrikel
kiri .

H. Patofisiologi
Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan
multiple wavelet reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses depolarisasi
tunggal atau depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal, fokus ektopik yang
dominan adalah berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa
juga berasal dari atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus
ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik yang mempengaruhi potensial aksi pada
atrium dan menggangu potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus SA .Sedangkan
multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang dan
melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry tidak
tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi lokal, tetapi
lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi
depolarisasi. Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik
dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium dan
kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium
biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan penurunan
kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebutlah yang akan meningkatkan sinyal
elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya AF.
Aktivasi fokal fokus diawali biasanya dari daerah vena pulmonalis timbulnya
gelombang yang menetap dari Multiple wavelet reentry depolarisasi atrial atau
wavelets yang dipicu oleh depolarisasi atrial premature atau aktivitas aritmogenik
dari fokus yang tercetus secara cepat. Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan
mekanisme fibrilasi ventrikel kecuali bila prosesnya ternyata hanya di massa otot
atrium dan bukan di massa otot ventrikel.
Penyebab yang sering menimbulkan fibrilasi atrium adalah pembesaran
atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah atrium mengosongkan isinya secara
adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat kegagalan ventrikel dengan pembendungan
darah yang banyak di dalam atrium. Dinding atrium yang berdilatasi akan
menyediakan kondisi yang tepat untuk sebuah jalur konduksi yang panjang demikian
juga konduksi lambat, yang keduanya merupakan faktor predisposisi bagi fibrilasi
atrium. Fibrilasi atrium dapat juga disebabkan oleh gangguan katup jantung pada
demam reumatik, atau gangguan aliran darah seperti yang terjadi pada penderita
aterosklerosis Pada AF aktivitas sitolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi
penurunan atrial flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri dan
memudahkan terbentuknya trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus pada
atrium kiri lebih banyak dijumpai pada pasien AF dengan stroke emboli
dibandingkan dengan AF tanpa stroke emboli. 2/3 sampai ¾ stroke iskemik yang
terjadi pada pasien dengan AF non valvular karena stroke emboli.Beberapa
penelitian menghubungkan AF dengan gangguan hemostasis dan thrombosis.
Kelainan tersebut mungkin akibat dari statis atrial tetapi mungkin juga sebagai
kofaktor terjadinya tromboemboli pada AF.
PATHWAY
Faktor usia, obat-obatan Kardiomiopati, tumor Pericarditis,miocarditi
(alkohol), intracardiac s
keturunan/genetik Pericarditis,miocarditis
Kelainan katup atrium

Resistensi atrium dextra


palpitasi

Suplai O2 otak menurun Vol. Atrium meningkat


Sesak nafas
Sinkop Pengosongan atrium
inadekuat Pola nafas tidak efektif
ADL menurun
Atrium fibrilasi (AF)

Tachicardi supraventrikel dextra

Suplai darah jaringan


Renal flow Pengisian darah ke paru-paru
menurun
menurun menurun
RAA meningkat Atrial flow velocities Metabolisme anaerob
menurun
Aldosteron Asidosis metabolik
Trombus atrium sinistra
meningkat
ADH meningkat Disfungsi ventrikel Penimbunan as. Laktat &
sinistra ATP menurun
Retensi Na+ + H2O
Penurunan curah jantung
Fatigue
Kelebihan vol.
cairan Gagal jantung kongesti
Intoleransi aktivitas
I. Komplikasi
Dampak penyakit ini, selain berdebar-debar dan mudah sesak bila naik
tangga atau berjalan cepat, juga dapat menyebabkan emboli, bekuan darah yang
lepas yang bisa menyumbat pembuluh darah di otak, menyebabkan stroke atau
bekuan darah di bagian tubuh yang lain Kelainan irama jantung (disritmia) jenis atrial
fibrilasi seringkali menimbulkan masalah tambahan bagi yang mengidapnya, yaitu
serangan gangguan sirkulasi otak (stroke). Ini terjadi karena atrium jantung yang
berkontraksi tidak teratur menyebabkan banyak darah yang tertinggal dalam atrium
akibat tak bisa masuk ke dalam ventrikel jantung dengan lancar. Hal ini
memudahkan timbulnya gumpalan atau bekuan darah (trombi) akibat stagnasi dan
turbulensi darah yang terjadi. Atrium dapat berdenyut lebih dari 300 kali per menit
padahal biasanya tak lebih dari 100. Makin tinggi frekuensi denyut dan makin besar
volume atrium, makin besar peluang terbentuknya gumpalan darah. Sebagian dari
gumpalan inilah yang seringkali melanjutkan perjalanannya memasuki sirkulasi otak
dan sewaktu-waktu menyumbat sehingga terjadi stroke penyakit katup jantung,
terutama bila katup yang menghubungkan antara atrium dan ventrikel tak dapat
membuka dengan sempurna, maka volume atrium akan bertambah, dindingnya akan
membesar dan memudahkan timbulnya rangsang yang tidak teratur. Sekitar 20
persen kematian penderita katup jantung seperti ini disebabkan oleh sumbatan
gumpalan darah dalam sirkulasi otak. Fibrilasi atrium (kontraksi otot atrium yang
tidak terorganisasi dan tidak terkoordinasi) biasanya berhubungan dengan
penyakit jantung aterosklerotik, penyakit katup jantung, gagal jantung kongestif,
tirotoksikosis, cor pulmonale, atau penyakit jantung kongenital.

J. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis atrial fibrilasi, antara lain :
1. Anamnesis :
Dapat diketahui tipe AF dengan mengetahui lama timbulnya (episode pertama,
paroksismal, persisten, permanen). Menentukan beratnya gejala yang menyertai:
berdebar-debar, lemah, sesak napas terutama saat aktivitas, pusing, gejala yang
menunjukkan adanya iskemia atau gagal jantung kongestif Penyakit jantung yang
mendasari, penyebab lain dari FA misalnya hipertiroid
2. Pemeriksaan fisik
Tanda vital : denyut nadi berupa kecepatan dan regularitasnya, tekanan darah
Tekanan vena jugularis Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat
gagal jantung kongestif Irama gallop s3 pada auskultasi jantung
menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif, terdapatnya bising
pada auskultasi kemungkinan adanya penyakit katup jantung
 Hepatomegali : kemungkinan terdapat gagal jantung kanan
 Edema perifer : kemungkinanterdapat gagal jantung kongestif
3. Laboratorium : hematokrit (anemia), TSH (penyakit gondok), enzim jantung
bila dicurigai terdapat iskemia jantung
4. Pemeriksaan EKG : dapat diketahui antara lain irama (verifikasi FA),
hipertropi ventrikel kiri, pre-eksitasi ventrikel kiri, sindroma pre-eksitasi
(sindroma WPW), identifikasi adanya iskemia)
5. Foto rontgen toraks
6. Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran dari atrium
dan ventrikel, hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow
dan TEE (Trans Esopago Echocardiography) untuk melihat thrombus di atrium
kiri
7. Pemeriksaan fungsi tiroid. Pada AF episode pertama bila laju irama ventrikel
sulit dikontrol
8. Uji latih : identifikasi iskemia jantung, menentukan adekuasi dari kontrol laju
irama jantung.
9. Pemeriksaa lain yang mungkin diperlukan adalah holter monitoring, studi
elektrofisiologi.
K. Prognosis
Penelitian epidemiologi telah menunjukan bahwa pasien dengan irama sinus
hidup lebih lama dibandingkan dengan seseorang kelainan atrium. Penelitian juga
menunjukkan penggunaan antikoagulan dan pengontrolan secara rutin bertuJuan
untuk asimtomatik pada pasien usia lanjut. Hasil penelitian tersebut menunjukan
bahwa terapi medis yang ditujukan untuk mengendalikan irama jantung tidak
menghasilkan keuntungan keberhasilan dibandingkan dengan terapi kontrol rate dan
antikoagulan. Terapi AF secara keseluruhan memberikan prognosis yang lebih
baik pada kejadian tromboemboli terutama stroke. AF dapat mencetuskan takikardi
cardiomiopati bila tidak terkontrol dengan baik. Terbentuknya AF dapat
menyebabkan gagal jantung pada individu yang bergantung pada komponen atrium
dari cardiac output dimana pasien dengan penyakit jantung hipertensi dan pada
pasien dengan penyakit katup jantung termasuk dalam resiko tingi akan terjadinya
gagal jantung saat terjadi AF.

L. Penatalaksanaan menurut PERKI ( 2014 )


Penaksiran resiko stroke dan perdarahan
Secara umum risiko stroke pada FA adalah 15% per tahun yaitu berkisar 1,5%
pada kelompok usia 50 sampai 59 tahun dan meningkat hingga 23,5% pada kelompok
usia 80 sampai 89 tahun. Sedangkan rerata insiden stroke dan emboli sistemik lain
adalah 5% (berkisar 3-4%). Oleh karena itu, penting sekali mengidentifikasi pasien
FA yang memiliki risiko tinggi stroke dan tromboemboli. Akan tetapi pada praktik
sehari-hari yang lebih penting justru identifikasi pasien FA yang benar-benar risiko
rendah mengalami stroke agar risiko yang tidak perlu akibat pemberian antikoagulan
dapat dihindari. Terapi antitrombotik tidak direkomendasikan pada pasien FA yang
berusia <65 tahun dan FA sorangan karena keduanya termasuk benar-benar risiko
rendah dengan tingkat kejadian stroke yang sangat rendah.
Dengan demikian panduan stratifikasi risiko stroke pada pasien FA harus
bersikap lebih inklusif terhadap berbagai faktor risiko stroke yang umum sehingga
akan mencakup seluruh spektrum pasien FA. Skor CHA2 DS2 VASc mencakup
faktor-faktor risiko umum yang sering ditemukan pada praktik klinik sehari-hari.
CHA2 DS2 VASc masing-masing hurufnya merupakan awal dari kata tertentu yaitu
Congestive heart failure, Hypertension, Age =75 years (skor 2), Diabetes mellitus,
Stroke history (skor 2), peripheral Vascular disease, Age between 65 to 74 years, Sex
Category (female). Riwayat gagal jantung bukan merupakan faktor risiko stroke,
tetapi yang dimaksud dengan huruf ‘C” pada skor CHA2 DS2 VASc adalah adanya
disfungsi ventrikel kiri sedang hingga berat (Left Ventricular Ejection Fraction/LVEF
= 40%). atau pasien gagal jantung baru yang memerlukan rawat inap tanpa
memandang nilai fraksi ejeksi.
Hipertiroid juga bukan merupakan faktor risiko independen stroke pada
analisis multivariat. Jenis kelamin perempuan meningkatkan risiko stroke secara
independen, tetapi perempuan yang berusia <65 tahun dan menderita FA sorangan
tidak meningkatkan risiko stroke sehingga tidak memerlukan terapi antikoagulan.
Skor CHA2 DS2 VASc sudah divalidasi pada berbagai studi kohor dan menunjukkan
hasil yang lebih baik untuk mengidentifikasi pasien pasien FA yang benar-benar
risiko rendah tetapi juga sebaik atau mungkin lebih baik dari skor CHADS2 untuk
identifikasi pasien FA yang akan mengalami stroke dan tromboemboli. Skor
CHA2DS2 VASc juga memperbaiki penaksiran risiko pada FA risiko rendah
pascaablasi.
Keputusan pemberian tromboprofilaksis perlu diseimbangkan dengan risiko
perdarahan akibat antikoagulan, khususnya perdarahan intrakranial yang bersifat fatal
atau menimbulkan disabilitas. Skor HAS-BLED yang merupakan kependekan dari
Hypertension, Abnormal renal or liver function, history of Stroke, history of
Bleeding, Labile INR value, Elderly, dan antithrombotic Drugs and alcohol telah
divalidasi pada banyak studi kohor berkorelasi baik dengan perdarahan intrakranial.
Evaluasi risiko perdarahan pada setiap pasien FA harus dilakukan dan jika skor HAS-
BLED =3 maka perlu perhatian khusus, pengawasan berkala dan upaya untuk
mengoreksi faktor-faktor risiko yang dapat diubah. Skor HAS-BLED tidak digunakan
untuk melakukan eksklusi pemakaian antikoagulan tetapi sebagai panduan sistematis
dalam menaksir risiko perdarahan dan memikirkan faktor-faktor risiko yang dapat
dikoreksi seperti tekanan darah yang belum terkontrol, penggunaan aspirin atau non-
steroid anti-inflammatory drugs (NSAIDs), dsb.
Hal yang penting untuk diperhatikan bahwa pada skor HAS-BLED yang
sama, risiko perdarahan intrakranial dan perdarahan mayor dengan pemberian aspirin
atau warfarin sama saja. Penggabungan skor CHA2 DS2 VASc dan HAS-BLED
sangat bermanfaat dalam keputusan tromboprofilaksis pada praktik sehari-hari.
TERAPI ANTI TROMBOTIK
Terapi antitrombotik yang dipergunakan untuk prevensi stroke pada pasien
FA meliputi antikoagulan (antagonis vitamin K dan antikoagulan baru), dan
antiplatelet. Jenis antitrombotik lain yaitu trombolitik tidak digunakan untuk prevensi
stroke pasien FA.
Antagonis vitamin K (AVK)
Antagonis vitamin K (warfarin atau coumadin) adalah obat antikoagulan yang
paling banyak digunakan untuk pencegahan stroke pada FA. Telaah lima penelitian
acak yang membandingkan AVK dengan plasebo mendapatkan penurunan insiden
stroke iskemik dari 4,5% jadi 1,4% per tahun (relative risk reduction [RRR] 68%;
95% CI, 50% s/d 79%; P<0.001). Angka perdarahan mayor akibat AVK adalah 1,3%
per tahun dibandingkan hanya 1% pada plasebo. Suatu analisis-meta terhadap 26
studi baru-baru ini mendapatkan RRR 64% (95% CI, 49% s/d 74%) untuk
pencegahan sekunder stroke iskemik dan hemoragik. Angka absolute risk reduction
(ARR) 2,7% per tahun pada studi-studi prevensi primer dan 8,4% per tahun pada
studi-studi prevensi sekunder. Terdapat peningkatan mortalitas signifikan dengan
AVK yaitu ARR 1,6% per tahun. Bukti tambahan menunjukkan bahwa pencegahan
stroke oleh AVK hanya efektif bila time in therapeutic range (TTR) baik yaitu >70%.
TTR adalah proporsi waktu ketika INR 2-3 tercapai dibandingkan keseluruhan lama
waktu mengkonsumsi AVK. Oleh karena itu, upaya pengaturan dosis yang terus-
menerus harus dilakukan untuk memperoleh nilai target INR 2-3. Kesulitan
pemakaian AVK di Indonesia ialah tidak tersedianya fasilitas pemeriksaan INR di
daerah-daerah perifer. Dalam kaitan ini perlu juga diperhatikan adanya faktor genetik
pada etnis Indonesia yang berkaitan dengan sensitivitas individu terhadap warfarin.
Antikoagulan Baru (AKB)
Saat ini terdapat 3 jenis AKB yang bukan merupakan AVK di pasaran
Indonesia, yaitu dabigatran, rivaroxaban, dan apixaban. Dabigatran bekerja dengan
cara menghambat langsung thrombin sedangkan rivaroxaban dan apixaban keduanya
bekerja dengan cara menghambat faktor Xa.
Dabigatran Etexilate
Studi RE-LY (Randomized Evaluation of Long-term anticoagulant therapY
with dabigatran etexilate), suatu studi acak dengan tiga lengan yaitu membandingkan
2 jenis dosis dabigatran etexilate [110 mg b.i.d. (D110) atau 150 mg b.i.d. (D150)]
dengan adjusteddose warfarin (target INR of 2–3). Untuk primary efficacy endpoint
berupa stroke dan emboli sistemik, D150 lebih superior dari warfarin, tanpa
perbedaan signifikan dalam hal primary safety endpoint berupa perdarahan mayor.
D110 non-inferior terhadap warfarin, dengan 20% lebih sedikit kejadian perdarahan
mayor. Angka stroke hemoragik dan perdarahan intrakranial lebih rendah pada kedua
dosis dabigatran tetapi perdarahan gastrointestinal meningkat bermakna dengan
D150. Terdapat penurunan signifikan stroke iskemik, terdapat kecenderungan
penurunan mortalitas segala sebab (P=0,051) dan penurunan signifikan mortalitas
vaskular (P=0,04) dengan D150. Angka berhenti minum obat lebih tinggi pada D150
(20,7%) dan D110 (21,2%), di banding dengan warfarin (16,6%) pada pengamatan 2
tahun. Efikasi dan keamanan dabigatran konsisten pada seluruh strata skor CHADS2
dan sama efeknya baik pada bekas pemakai maupun belum pernah memakai AVK.
Berdasarkan hasil studi RE-LY, dabigatran etexilate telah disetujui Food and Drug
Administration (FDA) dan European Medicines Agency (EMA), juga oleh beberapa
badan otoritas obat dan makanan berbagai negara lain, untuk pencegahan stroke dan
tromboemboli. European Medicines Agency menetapkan indikasi pemakaian
dabigatran untuk FA non-valvular dengan paling tidak satu faktor risiko berikut:
riwayat stroke, transient ischaemic attack (TIA) atau emboli sistemik; LVEF <40%;
gagal jantung simtomatik; dan usia =75 tahun atau =65 tahun tetapi disertai salah satu
dari diabetes, penyakit jantung koroner atau hipertensi. FDA menyetujui dosis 150
mg b.i.d., dan dosis 75 mg b.i.d. bila terjadi gangguan ginjal berat, sedangkan EMA
menyetujui baik dosis 110 mg b.i.d. maupun 150 mg b.i.d.
Rivaroxaban
Studi buta ganda ROCKET-AF terhadap 14264 pasien FA risiko tinggi yang
diberikan rivaroxaban 20 mg o.d. (15 mg o.d. bila kreatinin klirens hitung 30–49
mL/min) dibandingkan dengan warfarin. Subjek pada studi ini mempunyai risiko
yang lebih tinggi untuk stroke dibandingkan studi AKB lain tetapi rerata TTR hanya
55% yang lebih rendah dibanding semua studi AKB lain. Didapatkan hasil bahwa
rivaroxaban non-inferior dibanding warfarin untuk primary endpoint berupa stroke
dan emboli sistemik. Tidak terdapat penurunan angka mortalitas atau stroke iskemik
tetapi terdapat penurunan bermakna stroke hemoragik dan perdarahan intrakranial.
Tidak ada perbedaan pada primary safety endpoint yaitu gabungan perdarahan mayor
dan perdarahan yang relevan secara klinis tetapi terdapat penurunan perdarahan fatal
pada kelompok rivaroxaban. Lebih sering terjadi diskontinuitas terapi pada
rivaroxaban (23,9%) dibanding warfarin (22,4%). Rivaroxaban juga telah disetujui
oleh FDA dan EMA untuk prevensi stroke pada FA non-valvular, sebagaimana juga
di beberapa negara lain.
Apixaban
Studi AVERROES terhadap 5599 pasien FA yang tidak cocok atau tidak
ingin mendapat terapi AVK diberikan apixaban [5 mg b.i.d. dengan penyesuaian
dosis jadi 2,5 mg b.i.d. bila usia =80 tahun, berat badan =60kg atau kreatinin serum
=1,5 mg/dL (133mmol/L)] atau diberikan aspirin (81-324 mg/hari, dengan 91%
minum =162 mg/hari). Setelah masa pengamatan 1,1 tahun, studi\ dihentikan lebih
awal karena didapatkan penurunan signifikan 55% pada primary endpoint berupa
stroke atau emboli sistemik pada kelompok apixaban dibanding aspirin, tanpa
perbedaan kejadian perdarahan mayor dan intrakranial. Apixaban ditoleransi lebih
baik daripada aspirin dengan angka penghentian minum obat 17,9% dibandingkan
aspirin yang mencapai 20,5% (p=0,03). Sementara itu studi ARISTOTLE
membandingkan apixaban [5 mg b.i.d. dengan penyesuaian dosis jadi 2,5 mg b.i.d
bila =80 tahun, berat badan =60kg atau dengan kreatinin serum =1,5 mg/dL
(133mmol/L)] dengan warfarin dosis disesuaikan untuk memperoleh nilai INR 2–3
pada 18201 pasien FA non-valvular. Terdapat penurunan bermakna primary efficacy
outcome berupa stroke atau emboli sistemik hingga 21% pada kelompok apixaban
dibanding warfarin, penurunan 31% kejadian perdarahan mayor dan penurunan
signifikan 11% mortalitas segala sebab (tetapi bukan mortalitas kardiovaskular).
Angka kejadian stroke hemoragik dan perdarahan intrakranial lebih rendah secara
bermakna pada kelompok apixaban tetapi tidak demikian untuk stroke iskemik.
Apixaban ditoleransi lebih baik daripada warfarin dengan lebih sedikit diskontinuitas
dini (25,3% vs 27,5%). Apixaban juga sudah mendapat persetujuan EMA dan FDA
untuk indikasi prevensi stroke pada FA non-valvular.
Penutupan aurikel atrium kiri (AAK)
Aurikel atrium kiri merupakan tempat utama terbentuknya trombus yang bila
lepas dapat menyebabkan stroke iskemik pada A. Dikatakan hampir 90% trombus
pada FA terbentuk di AAK. Angka stroke yang rendah didapatkan pada pasien yang
dilakukan pemotongan AAK pada saat operasi jantung. Baru-baru ini suatu teknik
invasif epikard dan teknik intervensi transeptal telah dikembangkan untuk menutup
AAK. Teknik ini dapat merupakan alternatif terhadap antikoagulan oral bagi pasien
FA dengan risiko tinggi stroke tetapi kontraindikasi pemberian antikoagulan oral
jangka lama. Saat ini dua jenis alat penutup AAK yang dapat mengembang sendiri
yaitu WATCHMAN (Boston Scientific, Natick, MA, USA) dan Amplatzer Cardiac
Plug (St. Jude Medical, St Paul, MN, USA), yang ditempatkan di AAK secara
transeptal sudah mulai dipakai di Eropa. tudi WATCHMAN LAA system for embolic
PROTECTion in patients with Atrial Fibrillation (PROTECT AF) melakukan
randomisasi 707 pasien FA untuk membandingkan pemakaian WATCHMAN dengan
warfarin (nilai INR 2 3; n kontrol = 244). Pasien yang dipasang WATCHMAN
diberikan juga warfarin selama 45 hari pascaprosedur kemudian dilanjutkan dengan
dual antiplatelet selama 6 bulan lalu aspirin saja sebagai terapi jangka panjang. Angka
primary efficacy event (gabungan antara stroke, kematian kardiovaskular, dan emboli
sistemik) pada kelompok AAK non-inferior dibandingkan kelompok warfarin.
Terdapat angka efek samping yang tinggi pada kelompok AAK terutama akibat
komplikasi periprosedur. Tetapi kejadian komplikasi makin berkurang dengan
learning curve. Studi lainya, PREVAIL (Prospective Randomized EVAluation of the
Watchman LAA closure device In patients with atrial fibrillation vs. Long-term
warfarin therapy) menunjukkan penutupan AAK memakai WATCHMAN makin
aman bahkan jika dilakukan oleh seorang operator pemula sekalipun. Sementara itu
penutupan AAK memakai Amplatzer Cardiac Plug dapat dilakukan dengan angka
kesuksesan 96% dengan angka komplikasi serius mencapai 7%. Suatu studi
prospektif acak Amplatzer Cardiac Plug Trial saat ini sedang berlangsung.
Sekalipun konsep penutupan AAK masuk akal tetapi bukti-bukti yang ada
belum cukup untuk direkomendasikan terhadap setiap pasien FA tetapi hanya terbatas
bagi pasien yang kontraindikasi pemakaian antikoagulan oral jangka lama. Hal lain
yang perlu diperhatikan bahwa pasca-pemasangan penutup AAK masih diperlukan
konsumsi aspirin seumur hidup sementara itu risiko perdarahan karena aspirin cukup
signifikan sehingga hal ini akan menjadi faktor yang melemahkan pemakaian penutup
AAK.
Panduan praktis obat antikoagulan
Obat antikoagulan baru terbukti non-inferior disbanding warfarin dengan
tingkat keamanan yang lebih baik. Atas dasar ini AKB lebih disarankan daripada
warfarin pada mayoritas pasien FA nonvalvular. Karena belum ada perbandingan
langsung Antar berbagai AKB maka sulit untuk mengatakan mana yang paling baik.
Perbandingan tak langsung tidak menunjukkan perbedaan yang kentara efikasi antar
berbagai AKB itu, tetapi dalam hal angka perdarahan mayor dabigatran 110 mg b.i.d
dan apixaban lebih rendah. Pertimbangkan ciri-ciri pasien, toleransi obat, dan biaya
dalam memilih antikoagulan. Data studi cost effective dabigatran pada beberapa jenis
layanan kesehatan menunjukkan dabigatran cost-effective untuk kebanyakan pasien,
kecuali pada pasien yang sangat baik kontrol INRnya. Semua AKB tidak memiliki
antidot yang spesifik. Berdasarkan survei nasional di Denmark untuk melihat
keseimbangan antara stroke dan perdarahan intrakranial didapatkan bila skor CHA2
DS2-VASc 1 hanya apixaban dan kedua dosis dabigatran (110 mg b.i.d. dan 150 mg
b.i.d.) yang memberikan manfaat klinis yang lebih baik dari warfarin; tetapi bila skor
CHA2 DS2 -VASc =2 seluruh AKB lebih superior dibanding warfarin. Bila akan
mengubah dari AVK ke AKB maka harus dicapai nilai INR =2 terlebih dahulu.
Sebaliknya, bila akan mengganti dari AKB ke AVK maka AVK harus dimulai secara
tumpang tindih dengan AKB dalam periode yang tergantung pada jenis AKB dan
fungsi ginjal. AKB dihentikan ketika INR >2. Misalnya, bila memakai dabigatran
dibutuhkan tumpang tindih AVK 2-3 hari karena awitan kerja AVK membutuhkan
beberapa hari untuk mencapai efek terapi.
Penaksiran fungsi ginjal (memakai klirens kreatinin hitung) wajib dilakukan
pada pemberian AKB karena seluruh obat tersebut sedikit banyak diekskresi melalui
ginjal. Pada pasien dengan nilai awal klirens kreatinin normal (=80 mL/min) atau
gangguan ginjal ringan (klirens kreatinin 50–79 mL/min) dilakukan pemeriksaan
klirens kreatinin 1 kali per tahun sedangkan pada pasien dengan gangguan ginjal
sedang (klirens kreatinin 30-49 mL/ min) maka dianjurkan pemeriksaan klirens
kreatinin 2-3 kali per tahun. Dabigatran dapat menyebabkan dyspepsia yang dapat
dihindari dengan cara minum obat berbarengan dengan makanan atau dengan
pemberian inhibitor pompa proton. Semua AKB tidak direkomendasikan pada
gangguan ginjal berat (klirens kreatinin <30 mL/ min). Berbeda dengan AVK, AKB
tidak memerlukan penyesuaian dosis.
Walaupun terdapat tes koagulasi non-spesifik untuk memeriksa efek
antikoagulansi AKB, tetapi hal itu tidak dipergunakan untuk penyesuaian dosis.
Sebagai contoh, Ecarin clotting time dan thrombin time, yang menggambarkan
inhibisi langsung trombin, digunakan untuk pemeriksaan efek dabigatran, sedangkan
pengujian anti-Xa dapat dipergunakan untuk memeriksa efek antikoagulan
rivaroxaban dan apixaban. Antikoagulan baru tidak memiliki antidot spesifik oleh
karena itu bila terjadi perdarahan maka tata laksananya terutama bersifat suportif
dengan pertimbangan bahwa AKB memiliki waktu paruh yang pendek. Tata laksana
peribedah pada pasien dengan antikoagulan oral merupakan suatu area yang
memerlukan pertimbangan khusus. Dabigatran memiliki awitan dan offset yang
cepat, sehingga tidak memerlukan terapi antara low molecular weight heparin
(LMWH). Pascabedah AKB dapat segera diberikan lagi setelah hemostasis efektif
tercapai. Efek AKB sudah akan diperoleh dalam beberapa jam saja pascapemberian
dosis pertama. Kardioversi elektif dapat dilakukan denga aman setelah diberikan
dabigatran selama minggu dan dilanjutkan minggu kemudian pascakardioversi.
Kejadian komplikasi kardioversi elektif dengan atau tanpa panduan ETE tidak
berbeda. Belum ada data yang kuat tentang perbedaan efek penghentian sementara
AKB pada pasien FA yang akan menjalani ablasi. Ablasi ketika masih dalam AKB
bisa jadi secara teoritis akan menimbulkan risiko jika terjadi perdarahan mayor
karena tidak adanya antidot spesifik.
Tata Laksana pada Fase Akut
Kendali laju fase akut
Pada pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat yang dapat
mengontrol respon ventrikel. Pemberian penyekat beta atau antagonis kanal kalsium
non-dihidropiridin oral dapat digunakan pada pasien dengan hemodinamik stabil.
Antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin hanya boleh dipakai pada pasien dengan
fungsi sistolik ventrikel yang masih baik. Obat intravena mempunyai respon yang
lebih cepat untuk mengontrol respon irama ventrikel. Digoksin atau amiodaron
direkomendasikan untuk mengontrol laju ventrikel pada pasien dengan FA dan gagal
jantung atau adanya hipotensi. Namun pada FA dengan preeksitasi obat terpilih
adalah antiaritmia kelas I (propafenon, disopiramid, mexiletine) atau amiodaron. Obat
yang menghambat NAV tidak boleh digunakan pada kondisi FA dengan preeksitasi
karena dapat menyebabkan aritmia letal. Pada fase akut, target laju jantung adalah 80-
100 kpm. Rekomendasi obat intravena yang dapat digunakan pada kondisi akut dapat
dilihat di tabel 5. Pada layanan kesehatan primer yang jauh dari pusat rujukan
sekunder/tersier, untuk sementara kendali laju dapat dilakukan dengan pemberian
obat antiaritmia oral. Diharapkan laju jantung akan menurun dalam waktu 1-3 jam
setelah pemberian antagonis kanal kalsium (diltiazem 30 mg atau verapamil 80 mg),
penyekat beta (propanolol 20-40 mg, bisoprolol 5 mg, atau metoprolol 50 mg).
Dalam hal ini penting diperhatikan untuk menyingkirkan adanya riwayat dan gejala
gagal jantung. Kendali laju yang efektif tetap harus dengan pemberian obat
antiaritmia intravena di layanan kesehatan sekunder/tersier. Fibrilasi atrium dengan
respon irama ventrikel yang lambat, biasanya membaik dengan pemberian atropin
(mulai 0,5 mg intravena). Bila dengan pemberian atropin pasien masih simtomatik,
dapat dilakukan tindakan kardioversi atau pemasangan pacu jantung sementara.
Kendali irama fase akut
Respon irama ventrikel yang terlalu cepat akan menyebabkan gangguan
hemodinamik pada pasien FA. Pasien yang mengalami hemodinamik tidak stabil
akibat FA harus segera dilakukan kardioversi elektrik untuk mengembalikan irama
sinus. Pasien yang masih simtomatik dengan gangguan hemodinamik meskipun
strategi kendali laju telah optimal, dapat dilakukan kardioversi farmakologis dengan
obat antiaritmia intravena atau kardioversi elektrik. Saat pemberian obat antiaritmia
intravena pasien harus dimonitor untuk kemungkinan kejadian proaritmia akibat obat,
disfungsi nodus sinoatrial (henti sinus atau jeda sinus) atau blok atrioventrikular.
Obat intravena untuk kardioversi farmakologis yang tersedia di Indonesia adalah
amiodaron. Kardioversi dengan amiodaron terjadi beberapa jam kemudian setelah
pemberian.
Terapi pil dalam saku (pildaku)
Pemberian propafenon oral (450-600 mg) dapat mengonversi irama FA
menjadi irama sinus. Efektivitas propafenon oral tersebut mencapai 45% dalam 3
jam. Strategi terapi ini dapat dipilih pada pasien dengan simtom yang berat dan FA
jarang (sekali dalam sebulan). Oleh karena itu, propafenon (450-600 mg) dapat
dibawa dalam saku untuk dipergunakan sewaktu-waktu pasien memerlukan (pil
dalam saku – pildaku).
Tata laksana jangka panjang
Strategi terapi FA
Tata laksana FA mencakup beberapa hal yaitu terapi optimal penyakit
kardiovaskuler yang menyertai, pemilihan strategi kendali irama atau kendali laju,
pencegahan tromboemboli, dan terapi upstream. Studi terbesar tentang pemilihan
strategi terapi FA adalah studi The Atrial Fibrillation Follow-up Investigation of
Rhythm Management (AFFIRM) yang melibatkan 4060 pasien. Studi ini
menunjukkan tidak terdapat perbedaan mortalitas secara umum antara pemilihan
strategi kendali laju atau kendali irama pada pasien FA. Beberapa studi lain juga telah
dilakukan dan didapatkan bahwa kendali laju tidak inferior dibandingkan dengan
kendali irama untuk pencegahan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular. Namun
kebanyakan studi tersebut mengeluarkan pasien dengan usia muda (<65 tahun)
dengan FA persisten, pasien tanpa kelainan jantung struktural, dan pasien dengan
gagal jantung berat. Pada pasien tersebut, pemilihan strategi kendali irama masih
dapat dipertimbangkan. Secara umum strategi kendali laju dihubungan dengan angka
perawatan rumah sakit yang lebih rendah, efek samping obat antiaritmia yang lebih
minimal dan biaya yang lebih ringan dibandingan dengan strategi kendali irama.
Kendali laju jangka panjang
Simtom akibat FA adalah hal penting untuk menentukan pemilihan kendali
laju atau irama. Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah FA yang sudah lama,
usia tua, penyakit kardiovaskular berat, penyakit lain yang menyertai, dan besarnya
atrium kiri. Pada pasien dengan FA simtomatik yang sudah terjadi lama, terapi yang
dipilih adalah kendali laju. Namun, apabila pasien masih ada keluhan dengan strategi
kendali laju, kendali irama dapat menjadi strategi terapi selanjutnya. Kendali laju
dipertimbangkan sebagai terapi awal pada pasien usia tua dan keluhan minimal (skor
EHRA 1). Kendali irama direkomendasikan pada pasien yang masih simtomatik (skor
EHRA =2) meskipun telah dilakukan kendali laju optimal. Kendali laju yang optimal
dapat menyebabkan keluhan berkurang dan memperbaiki hemodinamik dengan
memperpanjang waktu pengisian ventrikel dan mencegah kardiomiopati akibat
takikardia. Kendali laju dapat dilakukan secara longgar atau ketat. Studi RAte
Control Efficacy in permanent atrial fibrillation (RACE) II menunjukkan bahwa
kendali laju ketat tidak lebih baik dari kendali laju longgar. Pada kendali laju longgar,
target terapi adalah respon ventrikel <110 kpm saat istirahat. Apabila dengan target
ini pasien masih merasakan keluhan, dianjurkan untuk melakukan kendali laju ketat
yaitu dengan target laju saat istirahat < 80 kpm. Evaluasi monitor Holter dapat
dilakukan untuk menilai terapi dan memantau ada tidaknya bradikardia. Penyekat
beta direkomendasikan sebagai terapi pilihan pertama pada pasien FA dengan gagal
jantung dan fraksi ejeksi yang rendah atau pasien dengan riwayat infark miokard.
Apabila monoterapi tidak cukup, dapat ditambahkan digoksin untuk kendali laju.
Digoksin tidak dianjurkan untuk terapi awal pada pasien FA yang aktif, dan
sebaiknya hanya diberikan pada pasien gagal jantung sistolik yang tidak memiliki
aktivitas tinggi. Hal ini disebabkan karena digoksin hanya bekerja pada parasimpatis.
Amiodaron untuk kendali laju hanya diberikan apabila obat lain tidak optimal untuk
pasien.
Kendali irama jangka panjang
Utama strategi kendali irama adalah mengurangi simtom. Strategi ini dipilih
pada pasien yang masih mengalami simtom meskipun terapi kendali laju telah
dilakukan secara optimal. Pilihan pertama untuk terapi dengan kendali irama adalah
memakai obat antiaritmia. Pengubahan irama FA ke irama sinus (kardioversi) dengan
menggunakan obat paling efektif dilakukan dalam 7 hari setelah terjadinya FA.
Kardioversi farmakologis kurang efektif pada FA persisten.Terapi pengembalian
irama ke sinus mempunyai kelebihan mengurangi risiko tromboemboli, memperbaiki
hemodinamik dengan mengembalikan ‘atrial kick’, mencegah terjadinya respon
ventrikel cepat yang dapat menginduksi kardiomiopati akibat takikardia, serta
mencegah remodelling atrium yang dapat meningkatkan ukuran atrium dan
menyebabkan kardiomiopati atrium. Kendali irama harus dipertimbangkan pada
pasien gagal jantung akibat FA untuk memperbaiki keluhan, pasien muda yang
simptomatik, atau FA sekunder akibat kelainan yang telah dikoreksi (iskemia,
hipertiroid). Kondisi klinis yang dapat mempengaruhi tingginya rekurensi FA antara
lain ukuran atrium kiri >50 mm, durasi FA >6 bulan, gagal jantung dengan NYHA
>II, gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri (Ejection Fraction (EF) <40%), disfungsi
nodus sinoatrial, dan riwayat kardioversi sebelumnya (1-2 kali dalam 2 tahun
sebelumnya). Beberapa obat antiaritmia untuk mengubah irama ke sinus juga
memiliki efek samping dan seringkali membutuhkan perawatan di rumah sakit untuk
inisiasinya. Keberhasilan kardioversi farmakologis juga tidak terlalu tinggi. Obat
antiaritmia yang ada di indonesia untuk kardioversi farmakologis adalah amiodaron
dan propafenon. Namun amiodaron dalam penggunaan jangka panjang mempunyai
efek toksik Propafenon tidak boleh diberikan pada pasien dengan penyakit jantung
koroner atau gagal jantung sistolik. Efektivitas obat antiaritmia untuk mengembalikan
irama ke sinus hanyalah untuk mengurangi namun tidak menghilangkan kekambuhan
FA. Obat antiaritmia tidak jarang mempunyai efek pro-aritmia dan efek samping
lainnya di luar jantung.
Kardioversi elektrik (direct current cardioversion)
Kardioversi elektrik adalah salah satu strategi kendali irama. Keberhasilan
tindakan ini pada FA persisten mencapai angka 80-96%, dan sebanyak 23% pasien
tetap sinus dalam waktu setahun dan 16% dalam waktu dua tahun. Amiodaron adalah
antiaritmia yang paling kuat mencegah terjadinya rekurensi FA setelah keberhasilan
kardioversi. Kebanyakan rekurensi FA terjadi dalam 3 bulan pascakardioversi.
Beberapa prediktor terjadinya kegagalan kardioversi atau rekurensi FA adalah berat
badan, durasi FA yang lebih lama (>1-2 tahun), gagal jantung dengan penurunan
fraksi ejeksi, peningkatan dimensi atrium kiri, penyakit jantung rematik, dan tidak
adanya pengobatan dengan antiaritmia. Ekokardiografi transtorakal harus dilakukan
untuk identifikasi adanya trombus di ruang-ruang jantung. Bila trombus tidak terlihat
dengan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal, maka ekokardiografi transesofagus
harus dikerjakan apabila FA diperkirakan berlangsung >48 jam sebelum dilakukan
tindakan kardioversi. Apabila tidak memungkinkan dilakukan ekokardiografi
transesofagus, dapat diberikan terapi antikoagulan (AVK atau dabigatran) selama 3
minggu sebelumnya. Antikoagulan dilanjutkan sampai dengan 4 minggu
pascakardioversi (target INR 2-3 apabila menggunakan AVK). Kardioversi elektrik
dengan arus bifasik lebih dipilih dibandingkan arus monofasik karena membutuhkan
energi yang lebih rendah dan keberhasilan lebih tinggi. Posisi anteroposterior
mempunyai keberhasilan lebih tinggi dibanding posisi anterolateral. Komplikasi yang
dapat terjadi adalah tromboemboli (1-2%), aritmia pascakardioversi, dan risiko
anestesi umum. Pemberian obat antiaritmia sebelum kardioversi, misalnya obat
amiodaron, meningkatkan keberhasilan konversi irama FA ke irama sinus.

Ablasi atrium kiri


Keterbatasan terapi farmakologi dan kardioversi elektrik telah memunculkan
jenis terapi yang lain seperti ablasi frekuensi-radio (AFR).Strategi ablasi merupakan
salah cara untuk menyembuhkan FA pada beberapa populasi pasien. Evaluasi jangka
panjang pada pasien ini menunjukkan irama sinus bertahan lebih lama dibandingkan
pemakaian obat antiaritmia. Ablasi frekuensi-radio mempunyai keberhasilan 85%
dalam 1 tahun pertama dan 52% dalam 5 tahun. Secara umum, AFR
direkomendasikan pada pasien FA yang masih simtomatik meskipun telah dilakukan
terapi medikamentosa optimal atau pasien memilih strategi kendali irama karena
menolak mengonsumsi obat antiaritmia seumur hidup. Ostium VP yang terletak di
atrium kiri merupakan sumber fokus ektopik yang mempunyai peranan penting dalam
inisiasi dan mekanisme terjadinya FA. Ablasi frekuensi-radio pada fokus ektopik
tersebut dapat mengeliminasi episode FA. Strategi AFR yang direkomendasikan
adalah isolasi elektrik pada antrum VP dan AFR fokus ektopik. Beberapa efek
samping seperti tromboemboli, stenosis VP, fistula atrioesofageal, tamponade, dan
cedera saraf frenicus dapat terjadi pada pasien yang dilakukan AFR, sehingga
tindakan ini harus dilakukan di pusat yang berpengalaman (komplikasi 2-3%). Ablasi
frekuensi-radio direkomendasikan pada pasien dengan FA simtomatik yang refrakter
atau intoleran dengan =1 obat antiaritmia golongan 3(amiodaron).
Ablasi dan modifikasi nodus atrioventikular (NAV)
Ablasi NAV dilanjutkan dengan pemasangan pacu jantung permanen
merupakan terapi yang efektif untuk mengontrol respon ventrikel pada pasien FA.
Ablasi NAV adalah prosedur yang ireversibel sehingga hanya dilakukan pada pasien
dimana kombinasi terapi gagal mengontrol denyut atau strategi kendali irama dengan
obat atau ablasi atrium kiri tidak berhasil dilakukan.
Terapi tambahan (upstream therapy)
Terapi penunjang pada FA mencegah atau menghambat remodelling miokard
akibat hipertensi, gagal jantung, atau inflamasi. Beberapa terapi yang termasuk dalam
golongan ini adalah penghambat enzim konversi angiotensin (EKA), penyekat
reseptor angiotensin, antagonis aldosteron, statin, dan omega 3. Penghambat EKA
dan penyekat reseptor angiotensin menghambat efek aritmogenik angiotensin II,
termasuk mencegah fibrosis atrium dan hipertrofi, stress oksidatif, serta inflamasi.
Penggunaannya sebagai pencegahan primer terutama pada pasien dengan hipertensi,
gagal jantung, dan adanya factor risiko jantung koroner lainnya. Penghambat EKA
dan penyekat reseptor angiotensin sebaiknya digunakan pada pasien dengan FA yang
baru saja terjadi pada pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi dan
hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan hiperaldosteron primer
mempunyai risiko 12 kali lipat mengalami FA. Antagonis aldosteron pada studi
binatang dikatakan mampu menurunkan jumlah fibrosis atrium dan risiko terjadinya
FA. Studi yang lebih besar pada manusia masih berjalan. Pemberian statin pada FA
direkomendasikan pada pasien yang mengalami FA pascabedah pintas arteri koroner
(BPAK) atau pasien gagal jantung dengan FA baru. Efek statin terutama terhadap
proses aterosklerosis, anti inflamasi, dan antioksidan.
RINGKASAN Penatalaksanaan
Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol irama jantung
yang tidak teratur, menurunkan peningkatan denyut jantung dan mencegah terjadinya
komplikasi tromboembolisme. Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan
yang dapat dilakukan untuk AF. Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri adalah
suatu tata laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama dan
menurunkan denyut jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu
pengobatan farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik
(Electrical Cardioversion) .
1. Mencegah pembekuan darah (tromboembolisme) Pencegahan pembekuan darah
merupakan pengobatan untuk mencegah adanya komplikasi dari AF.Pengobatan
yang digunakan adalah jenis antikoagulan atau antitrombosis, hal ini dikarenakan
obat ini berfungsi mengurangi resiko dari terbentuknya trombus dalam pembuluh
darah serta cabang-cabang vaskularisasi. Pengobatan yang sering dipakai untuk
mencegah pembekuan darah terdiri dari berbagai macam, diantaranya adalah :
 Warfarin, termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi dalam proses
pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi atau mencegah koagulasi.
Warfarin diberikan secara oral dan sangat cepat diserap hingga mencapai puncak
konsentrasi plasma dalam waktu ± 1 jam dengan bioavailabilitas 100%. Warfarin
di metabolisme dengan cara oksidasi (bentuk L) dan reduksi (bentuk D), yang
kemudian diikuti oleh konjugasi glukoronidasi dengan lama kerja ± 40 jam.
 Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklo-oksigenase dari trombosit
(COX2) dengan cara asetilasi dari asam amino serin terminal. Efek dari COX2 ini
adalah menghambat produksi endoperoksida dan tromboksan (TXA2) di dalam
trombosit.Hal inilah yang menyebabkan tidak terbentuknya agregasi dari
trombosit.Tetapi, penggunaan aspirin dalam waktu lama dapat menyebabkan
pengurangan tingkat sirkulasi dari faktor-faktor pembekuan darah, terutama faktor
II, VII, IX dan X.
2. Mengurangi denyut jantung Terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan untuk
menurunkan peningkatan denyut jantung, yaitu obat digitalis, β-blocker dan
antagonis kalsium.Obat-obat tersebut bisa digunakan secara individual ataupun
kombinasi.
 Digitalis, Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan
menurunkan denyut jantung.Hal ini membuat kinerja jantung menjadi lebih
efisien.Disamping itu, digitalis juga memperlambat sinyal elektrik yang abnormal
dari atrium ke ventrikel.Hal ini mengakibatkan peningkatan pengisian ventrikel
dari kontraksi atrium yang abnormal.
 β-blocker, Obat β-blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem saraf
simpatis.Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk meningkatkan denyut jantung
dan kontraktilitas jantung. Efek ini akan berakibat dalam efisiensi kinerja jantung.
 Antagonis Kalsium Obat, antagonis kalsium menyebabkan penurunan
kontraktilitas jantung akibat dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam
intraseluler melewati Ca2+ channel yang terdapat pada membran sel.
3. Mengembalikan irama jantung Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan
yang dapat dilakukan untuk menteraturkan irama jantung. Menurut
pengertiannya, kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk
mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung. Pada
dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi
(Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik (Electrical
Cardioversion).
a. Pharmacological Cardioversion (Anti-aritmia)
 Amiodarone
 Dofetilide
 Flecainide
 Ibutilide
 Propafenone
 Quinidine
b. Electrical Cardioversion Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui
dua pelat logam (bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi listrik ini
adalah mengembalikan irama jantung kembali normal atau sesuai dengan NSR
(nodus sinus rhythm). Pasien AF hemodinamik yang tidak stabil akibat laju
ventrikel yang cepat disertai tanda iskemia, hipotensi, sinkop peru segera
dilakukan kardioversi elektrik. Kardioversi elektrik dimulai dengan 200 joule.Bila
tidak berhasil dapat dinaikkan menjadi 300 joule.Pasien dipuasakan dan
dilakukan anestesi dengan obat anestesi kerja pendek.
c. Operatif
 Catheter ablation Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan
membuatan sayatan pada daerah paha.Kemudian dimasukkan kateter kedalam
pembuluh darah utma hingga masuk kedalam jantung.Pada bagian ujung kateter
terdapat elektroda yang berfungsi menghancurkan fokus ektopik yang
bertanggung jawab terhadap terjadinya AF.
 Maze operation Prosedur maze operation hampeir sama dengan catheter
ablation, tetapi pada maze operation, akan mengahasilkan suatu “labirin” yang
berfungsi untuk membantu menormalitaskan system konduksi sinus SA.
 Artificial pacemaker Artificial pacemaker merupakan alat pacu jantung yang
ditempatkan di jantung, yang berfungsi mengontrol irama dan denyut jantung.
M. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji
Beberapa hal yang perlu dikaji pada klien dengan atrial fibrilasi diantaranya adalah:
1. Aktivitas /istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan umum dan karena kerja.
Tanda : Perubahan frekuensi jantung/TD dengan aktivitas/olahraga.
2. Sirkulasi
Gejala : Riwayat penyakit jantung sebelumnya, kardiomiopati, GJK, penyakit katup
jantung, hipertensi.
Tanda :
 Perubahan TD, contoh hipertensi atau hipotensi selama periode disritmia.
 Nadi : mungkin tidak teratur, contoh denyut kuat, pulsus altenan (denyut kuat
teratur/denyut lemah), nadi bigeminal (denyut kuat tak teratur/denyut lemah).
Defisit nadi (perbedaan antara nadi apical dan nadi radial).
 Bunyi jantung : irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun. Kulit : warna
dan kelembaban berubah, contoh pucat, sianosis, berkeringat (gagal jantung,
syok).
 Edema : dependen, umum, DVJ (pada adanya gagal jantung).
 Haluaran urine : menurun bila curah jantung menurun berat.
3. Integritas ego
Gejala :
 Perasaan gugup (disertai takiaritmia), perasaan terancam.
 Stressor sehubungan dengan masalah medik.
Tanda : Cemas, takut, menolak, marah, gelisah, menangis.
4. Makanan/cairan
Gejala :
 Hilang nafsu makan, anoreksia.
 Tidak toleran terhadap makanan (karena adanya obat).
 Mual/muntah Perubahan berat badan.
Tanda :
 Perubahan berat badan.
 Edema
 Perubahan pada kelembaban kulit/turgor
 Pernapasan krekels.
5. Neuro sensor
Gejala : Pusing, berdenyut, sakit kepala.
Tanda :
 Status mental/sensori berubah, contoh disorientasi, bingung, kehilangan memori,
perubahan pola bicara/kesadaran, pingsan, koma.
 Perubahan perilaku, contoh menyerang, letargi, halusinasi.
 Perubahan pupil (kesamaan dan reaksi terhadap sinar).
 Kehilangan refleks tendon dalam dengan disritmia yang mengancam hidup
(takikardia ventrikel , bradikardia berat).
6. Nyeri/ ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri dada, ringan sampai berat, dimana dapat atau tidak bisa hilang oleh
obat anti angina.
Tanda : Perilaku distraksi, contoh gelisah.
7. Pernapasan
Gejala :
 Penyakit paru kronis.
 Riwayat atau penggunaan tembakau berulang.
 Napas pendek.
 Batuk (dengan /tanpa produksi sputum).
Tanda :
 Perubahan kecepatan/kedalaman pernapasan selama episode disritmia.
 Bunyi napas : bunyi tambahan (krekels, ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan
komplikasi pernapasan, seperti pada gagal jantung kiri (edema paru) atau
fenomena tromboembolitik pulmonal.
8. Keamanan
Tanda :
 Demam. Kemerahan kulit (reaksi obat).
 Inflamasi, eritema, edema (trombosis superficial).
 Kehilangan tonus otot/kekuatan.

N. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan atrial fibrilasi
adalah:
1. Penurunan curah jantung b.d perubahan kontraktilitas miokardial/perubahan
inotropik, perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik, perubahan structural.
2. Nyeri akut b.d proses penyakit
3. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen,
kelemahan umum, tirah baring atau imobilisasi.
4. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan alveolar-kapiler.
5. Kelebihan volume cairan b.d menurunnya laju filtrasi glomerulus (menurunnya
curah jantung)/ meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air
6. Keletihan b.d fisiologis (status penyakit, peningkatan kelemahan fisik)

O. Intervensi Keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan; Perubahan kontraktilitas
kardial/perubahan intropik. Perubahan frekuensi irama dan konduksi listrik,
perubahan structural ditandai dengan:
 Peningkatan frekuensi jantung (takikardia) : disritmia, perubahan gambaran pola
EKG
 Perubahan tekanan darah (hipotensi/hipertensi).
 Bunyi ekstra (S3 & S4)
 Penurunan keluaran urine
 Nadi perifer tidak teraba
 Kulit dingin kusam
 Ortopnea,krakles, pembesaran hepar, edema dan nyeri dada.
Tujuan :
 Menunjukkan tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia terkontrol
atau hilang) dan bebas gejala gagal jantung,
 Melaporkan penurunan epiode dispnea, angina, Ikut serta dalam aktivitas yang
mengurangi beban kerja jantung.
Intervensi :
1) Auskultasi nadi apical ; kaji frekuensi, iram jantung
Rasional : Biasnya terjadi takikardi (meskipun pada saat istirahat) untuk
mengkompensasi penurunan kontraktilitas ventrikel.
2) Catat bunyi jantung Rasional : S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya
kerja pompa. Irama Gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai aliran darah ke
serambi yang disteni. Murmur dapat menunjukkan Inkompetensi/stenosis katup.
3) Palpasi nadi perifer
Rasional : Penurunan curah jantung dapat menunjukkan menurunnya nadi radial,
popliteal, dorsalis, pedis dan posttibial. Nadi mungkin cepat hilang atau tidak
teratur untuk dipalpasi dan pulse alternan.
4) Pantau TD
Rasional : Pada GJK dini, sedng atu kronis tekanan drah dapat meningkat. Pada
HCF lanjut tubuh tidak mampu lagi mengkompensasi danhipotensi tidak dapat
norml lagi.
5) Kaji kulit terhadp pucat dan sianosis
Rasional : Pucat menunjukkan menurunnya perfusi perifer ekunder terhadap tidak
dekutnya curh jantung; vasokontriksi dan anemia. Sianosis dapt terjadi sebagai
refrakstori GJK.Area yang sakit sering berwarna biru atu belang karena
peningkatan kongesti vena.
6) Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan obat sesuai indikasi
(kolaborasi)
Rasional : Meningkatkn sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard untuk melawan
efek hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat digunakan untuk meningkatkan volume
sekuncup, memperbaiki kontraktilitas dan menurunkan kongesti.
2. Aktivitas intoleran berhubungan dengan : Ketidak seimbangan antar suplai okigen.
Kelemahan umum, Tirah baring lama/immobilisasi.
Ditandai dengan :
Kelemahan, kelelahan, Perubahan tanda vital, adanya disrirmia, Dispnea, pucat,
berkeringat.
Tujuan /kriteria evaluasi :
Klien Berpartisipasi pada kreativitas yang diinginkan, memenuhi perawatan diri
sendiri, Mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan oelh
menurunnya kelemahan dan kelelahan.
Intervensi:
1) Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya bila klien
menggunakan vasodilator,diuretic dan penyekat beta.
Rasional : Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena efek obat
(vasodilasi), perpindahan cairan (diuretic) atau pengaruh fungsi jantung
2) Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, diritmia, dispnea
berkeringat dan pucat
Rasional : Penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan volume
sekuncup selama aktivitas dpat menyebabkan peningkatan segera frekuensi
jantung dan kebutuhan oksigen juga peningkatan kelelahan dan kelemahan.
3) Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas.
Rasional : Dapat menunjukkan peningkatan dekompensasi jantung daripada
kelebihan aktivitas.
4) Implementasi program rehabilitasi jantung/aktivitas (kolaborasi)
Rasional : Peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja
jantung/konsumsi oksigen berlebihan. Penguatan dan perbaikan fungsi jantung
dibawah stress, bila fungsi jantung tidak dapat membaik kembali,
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan : menurunnya laju filtrasi
glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH dan retensi
natrium/air. ditandai dengan :
 Ortopnea, bunyi jantung S3,
 Oliguria,
 edema,
 Peningkatan berat badan,
 hipertensi,
 Distres pernapasan,
 bunyi jantung abnormal.
 Tujuan /kriteria evaluasi
Klien akan :
 Mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan keseimbangan masukan
danpengeluaran,
 bunyi nafas bersih/jelas,
 tanda vital dalam rentang yang dapat diterima, berat badan stabil dan tidak ada
edema.,
 Menyatakan pemahaman tentang pembatasan cairan individual.
Intervensi :
1) Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi.
Rasional : Pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena penurunan perfusi
ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis sehingga pengeluaran urine dapat
ditingkatkan selama tirah baring.
2) Pantau/hitung keseimbangan pemaukan dan pengeluaran selama 24 jam
Rasional : Terapi diuretic dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-
tiba/berlebihan (hipovolemia) meskipun edema/asites masih ada
3) Pertahakan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler selama fase akut.
Rasional : Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi
ADH sehingga meningkatkan diuresis.
4) Pantau TD dan CVP (bila ada)
Rasional : Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan
dapat menunjukkan terjadinya peningkatan kongesti paru, gagal jantung
5) Kaji bising usus. Catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen dan konstipasi.
Rasional : Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu fungsi
gaster/intestinal.
DAFTAR PUSTAKA

Mappahya AA. Atrium Fibrilation Theraphy To Prevent Stroke: A Review. The


Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.8 April 2009 p. 477-
489.
Firdaus I. Fibrilasi Atrium Pada Penyakit Hipertiroidisme. Patogenesis dan
Tatalaksana. Jurnal Kardiologi Indonesia; September 2007: Vol. 28, No. 5
Smeltzer, SC. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8
Volume 2. Jakarta: EGC, 2001.
Narumiya T, Sakamaki T, Sato Y, Kanmatsuse. “Relationship between left atrial
appendage function and left atrial thrombus in patient with nonvalvular
chronic atrial fibrillation and atrial flutter”. Circulation Journal 67; January
2003.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi
IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
Nasution SA, Ismail D. Fibrilasi Atrial. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam Ed.3.
Jakarta: EGC, 2006.
Harrison. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3 Edisi 13. Jakarta: EGC,
2000.
Noer S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 1996.
Wattigney WA, Mensah GA, Croft JB. "Increased atrial fibrillation mortality: United
States, 1980-1998". Am. J. Epidemiol, 2002; 155 (9): 819–26.
Nurarif AH dan Kusuma H. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnose
Medis dan Nanda-NIC-NOC jilid 1 dan 2. Panduan Penyusunan Asuhan
keperawatan professional. Yogyakarta: Media Action, 2013.
Bulecheck, Gloria M, et al. Nursing Intervention Classification (NIC) Fifth Edition.
USA: Mosbie Elsevier, 2010.

Anda mungkin juga menyukai