Sindrom Stevens Johnson Akibat Alergi Obat: Pendahuluan
Sindrom Stevens Johnson Akibat Alergi Obat: Pendahuluan
102012311
102013032
102013085
102013194
102013271
102013299
102013469
102013483
Pendahuluan
Sindrom Stevens Johnson merupakan kelainan yang termasuk eritema multiforme mayor
yang mengenai kulit, selaput lendir atau mukosa di orifisium dan mata serta organ-organ
tubuh lain. Penyakit ini disertai dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai
berat. Sindrom Stevens Johnson tersebut mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan
kematian sel-sel kulit sehingga epidermis mengelupas. Sindrom ini dianggap sebagai
hipersensitivitas kompleks yang mempengaruhi kulit dan selaput lendir. Pada umumnya
kasus sindrom Stevens Johnson tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), biasanya penyebab
utama yang paling sering dijumpai adalah akibat dari alergi obat-obatan tertentu, infeksi virus
dan atau keduanya, pada kasus tertentu yang sangat jarang ditemukan sindrom ini
berhubungan dengan kanker. Bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian, oleh karena
itu perlu pentalaksanaan yang tepat dan cepat sehingga jiwa pasien dapat ditolong.
Di dalam makalah ini akan membahas sindrom Stevens Johnson dimulai dari anamnesis,
pemeriksaan
fisik,
penunjang,
diagnosis,
etiologi,
epidemiologi,
patofisiologi,
Sindrom Steven-Johnson
(SSJ) merupakan
suatu
kumpulan
gejala
klinis
erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat. Nama lain dari penyakit ini adalah sindrom de
Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom
muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Istilah eritema multiforme yang sering dipakai
sebetulnya hanya merujuk pada kelainan kulitnya saja.
Bentuk klinis SSJ berat jarang terdapat pada bayi, anak kecil atau orang tua. Lelaki
dilaporkan lebih sering menderita SSJ daripada perempuan. Tidak terdapat kecenderungan
rasial terhadap SSJ walaupun terdapat laporan yang menghubungkan kekerapan yang lebih
tinggi pada jenis HLA tertentu.
Anamnesis
Seorang dokter harus melakukan wawancara yang seksama terhadap pasiennya atau keluarga
dekatnya mengenai masalah yang menyebabkan pasien mendatangi pusat pelayanan
kesehatan. Wawancara yang baik seringkali sudah dapat mengarahkan masalah pasien ke
diagnosis penyakit tertentu. Wawancara terhadap pasien disebut anamnesis. Anamnesis dapat
langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarganya atau
pengantarnya (alo-anamnesis). Aloanamnesis biasanya dilakukan pada pasien di bawah umur
atau pasien yang tidak kompeten untuk menjawab pertanyaan dari dokter. Anamnesis yang
baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan sistem dan anamnesis pribadi.
Identitas. Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
nama orang tua atau suami isteri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku
bangsa dan agama.
Keluhan Utama. Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa
pasien pergi ke dokter atau mencari pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama harus
disertai dengan indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut. Seperti dalam
skenario anak laki-laki 13 tahun dibawa ke rumah sakit dengan kaluhan lepuh pada kedua
lengan, badan atas, bokong dan kedua paha sejak 2 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang. Riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang kronologis,
terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai
2
Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel dan bula. Eritema adalah kemerahan pada kulit
yang disebabkan pelebaran pembuluh darah yang reversibel sedangkan vesikel adalah
gelembung berisi cairan serum beratap berukurab kurang dari 0,5 cm garis tengah dan
mempunyai dasar dan bula adalah vesikel yang berukuran lebih besar. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu dapat juga terjadi
purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Jika terdapat leukositosis, ini menunjukkan
kemungkinan penyebabnya adalah infeksi. Bila diduga penyebabnya adalah infeksi, perlu
dilakukan pemeriksaan kultur darah untuk menentukan jenis kuman penyebabnya. Kalau
terdapat eosinofilia, kemungkinan penyebabnya adalah alergi obat. Di samping itu, juga
ditemukan adanya peningkatan enzim transaminase serum, albuminuria dan gangguan
elektrolit serta adanya gambaaran gangguan fungsi organ tubuh yng terkena.2
Histopatologi
Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan
dermal yang ringan sampai nekrosis epidermal yang menyeluruh berupa :
Diagnosis
Diagnosis Sindrom Stevens johnson 90% berdasarkan klinis. Jika disebabkan oleh obat, ada
korelasi antara pemberian obat dengan timbulnya gejala. Diagnosis ditujukan terhadap
manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa dan mata serta hubungannya
dengan faktor penyebab. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain
pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologis, biakan kuman serta uji resistensi dari darah
dan tempat lesi, dan pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada
kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat
peningkatan eosinofil. Kadat IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit
menurun dan dapat dideteksi adanya circulating immune complex. Biopsi kulit direncanakan
bila lesi klasik tak ada. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung
ditegakkan diagnosis.4
Diagnosis SSJ tidak sulit karena gambaran klinisnya khas. Sebagai diagnosis banding dari
SSJ adalah Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) karena NET dianggap sebagai bentuk parah
SSJ, maka hendaknya dicari apakah terdapat epidermolisis. Umumnya pasien berbaring, jadi
diperiksa punggungnya. Apabila terdapat epidermolisis, maka diagnosisnya menjadi NET.
Pada NET keadaan umumnya lebih buruk daripada SSJ. Pada stadium dini NET tampak
vakuolisasi dan nekrosis sel-sel basal sepanjang perbatasan dermal-epidermal. Sel radang di
dermis hanya sedikit terdiri atas limfohistiosit. Pada lesi yang telah lanjut terdapat nekrosis
eosinofilik sel epidermis dengan pembentukan lepuh sub-epidermal. Epidermolisis yaitu
epidermis terlepas dari dasarnya yang kemudian menyeluruh. Gambaran klinisnya
menyerupai kombustio. Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolskiy positif pada
kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser, maka kulit kan terkelupas.
Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan. Pada sebagian pasien
kelainan kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura, tanpa disertai erosi, vesikel dan bula.
Kuku dapat terlepas (onikolisis). Kadang-kadang dapat terjadi perdarahan di traktus
gstrointestinalis.
Eksantema fikstum multipel generalisata juga dianggap sebagai diagnosis banding. Pada
penyakit ini lesi timbul pada tempat yang sama dan biasanya tidak menyeluruh. Jika sembuh
5
Manifestasi Klinis
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, lesu, batuk, pilek, nyeri menelan,
nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan
kombinasi gejala tersebut. Setelah itu akan timbul lesi di :
Kulit; berupa eritema, papel, vesikel atau bula secara simetris pada hampir seluruh
tubuh. Bila bula kurang dari 10% disebut Sindrom Stevens Johnson, 10-30% disebut
Sindrom Stevens Johnson-Nekrolisis Epidermal Toksik (SSJ-NET), lebih dari 30%
Epidemiologi
Insidens SSJ dan NET diperkirakan 2-3% per juta populasi setiap tahun di Eropa dan
Amerika Serikat. Umumnya terdapat pada dewasa. Hal tersebut berhubungan dengan kausa
SSJ yang biasanya disebabkan oleh alergi obat. Pada dewasa imunitas telah berkembang dan
belum menurun seperti pada usia lanjut.
Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Ada pendapat mengatakan, SSJ merupakan
eritema multiforme derajat berat dan disebut sebagai eritema multiforme mayor. Penyebab
utama adalah alergi obat, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi, penyakit
graft-versus-host, neoplasma dan radiasi. Pada penelitian Adhi Djuanda selama 5 taun (19982002) SSJ yang diduga alergi obat tersering adalah analgesik/antipiretik (45%), disusul
karbamazepin (20%) dan jamu (13,3%). Sebagian besar jamu dibubuhi obat. Kausa yang lain
amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, seftriakson dan adiktif.
Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat
akan terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin
yang lain. CD4 terutama terdapat di dermis sedangkat CD8 pda epidermis. Keratinosit
epidermal mengekspresikan ICAM-1, ICAM-2 dan MHC II. Sel Langerhans tidak ada atau
sedikit. TNF di epidermis meningkat.2
Alergi Obat Sulfa
Sulfonamid adalah kemoterapeutik yang pertama digunakan secara sistemik untuk
pengobatan dan pencegahan penyakit infeksi pada manusia. Penggunaan sulfonamid
kemudian terdesak oleh antibiotik. Sulfonamida bersifat mikrobiostatik untuk sejumlah besar
bakteri gram positif dan gram negatif, dan berbagai protozoa (seperticoccidia, Plasmodium
spp). Sulfonamida digunakan biasanya dengan kombinasi agen kemoterapi lainnya untuk
merawat infeksi saluran kencing, malaria, coccidiosis dll. Sulfonamida bertindak sebagai
analog struktural dari asam p-aminobenzoik (PABA), yang menghambat PABA saat
pembentukan asam dihidropteroik dalam sintesis asam folat. Organisme yang membuat
sendiri asam folatnya dan tidak dapat memakai pasokan eksogen dari vitamin menjadi sensitif
terhadap sulfonamida, karena selnya dapat menyerap obat ini, sementara organisme yang
memerlukan asam folat eksogen untuk pertumbuhannya tidak sensitif. Penundaan periode
beberapa generasi terjadi antara paparan sel yang sensitif pada sulfonamida dan
penghambatan pertumbuhan; pada saat ini sel menghabiskan pasokan asam folat endogen
7
yang telah dibuat sebelumnya. Efek penundaan ini memungkinkan sulfonamida dipakai
bersama dengan antibiotik (misalnya penisilin) yang hanya aktif terhadap organisme yang
tumbuh.
Efek samping penggunaan sulfonamid sering timbul (sekitar 5%) pada pasien. Reaksi ini
dapat hebat dan kadang-kadang bersifat fatal. Karena itu pemakaiannya harus hati-hati. Bila
mulai terlihat adanya gejala reaksi toksik atau sensititasi, pemkaiannya secepat mungkin
dihentikan. Mereka yang pernah menunjukkan reaksi tersebut, untuk seterusnya tidak boleh
diberi sulfonamid. Efek samping penggunaan sulfonamid adalah :
Gangguan sistem hematopoetik. Anemia hemolitik akut dapat disebabkan oleh reaksi
alergi atau karena defisiensi aktivitas G6PD. Kebanyakan pasien sembuh kembali
dalam beberapa minggu atau bulan setelah pemberian sulfonamid dihentikan. Anemia
aplastik, sangat jarang terjadi dan dapat bersifat fatal. Hal ini diduga berdasarkan
efek mielotoksik langsung. Trombositopenia berat jarang terjadi, jarang terjadi pada
pemakaian sulfonamid. Trombositopenia ringan selintas lebih sering terjadi.
Mekanisme terjadinya tidak diketahui. Eosinofilia dapat terjadi dan bersifat
reversibel. Kadang-kadang disertai dengan gejala hipersensitivitas terhadaap
sulfonamid. Pada pasien dengan gangguan sumsum tulang pasien AIDS atau
mendapatkan kemoterapi dengan mielosupresan sering menimbulkan hambatan
Patogenesis
Patogenesis kelainan ini belum diketahui dengan jelas. Diduga terjadinya kelainan ini diperan
oleh reaksi alergi tipe III dan tipe IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks
antigen-antibody yang membentuk mikro-presipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem
komplemen akibat adanya akumulasi sel neutrofil yang melepaskan lisozim yang
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ target. Reaksi tipe IV terjadi akibat sel limfosit
T yang telah tersensititasi terkontak ulang dengan antigen yang sama lalu sel T tersebut
melepaskan
limfokin
dan
menimbulkan
reaksi
peradangan.
Oleh
karena
proses
hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi : 1) kegagalan fungsi kulit
yang menyebabkan kehilangan cairan; 2) stres hormonal diikuti peningkatan tsistensi
terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria; 3) kegagalan termoregulasi; 4) kegagalan
fungsi imun; 5) infeksi.
Penatalaksanaan
Obat yang disangka sebagai kausanya segera dihentikan, termasuk obat sulfa, jamu atau zat
adiktif. Jika keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednison 30-40 mg sehari. Kalau keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus
diobati secara tepat dan cepat dan pasien harus dirawat inap. Penggunanaan obat
kortikosteroid merupakan tidakan life-saving, dapat digunakan deksametason secara
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Pada umumnya masa kritis dapat diatasi
dalam beberapa hari. Seorang pasien SSJ yang berat harus segera dirawat inap dan diberikan
deksametason 6 x 5 mg iv. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari) masa kritis telah teratasi,
keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami
involusi. Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg, setelah dosis
telah mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid misalnya prednison yang
diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari; sehari kemudian obat tersebut
ditutunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan
kira-kira 10 hari.
Selain deksametason dapat digunakan pula metilprednisolon dengan dosis setara. Kelebihan
metilprednisolon ialah efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan dengan deksametason
karena termasuk dalam golongan kerja sedang, sedangkan deksametason termasuk golongan
kerja lama, namun harganya lebih mahal. Karena pengobatan dengan kortikosteroid dalam
waktu singkat pemakaian kedua obat tersebut tidak banyak perbedaan mengenai efek
9
sampingnya. Tapering off hendaknya dilakukan cepat karena umumnya penyebab SSJ ialah
eksogen (alergi), jadi berbeda dengan penyakit autoimun (endogen) misalnya pemfigus.
Bila tapering off tidak lancar hendaknya dipikirkan faktor lain. Mungkin antibiotik yang
sekarang diberikan menyebabkan alergi sehingga masih timbul lesi baru. Kalau demikian
harus diganti dengan antibiotik lain. Kemungkinan lain kausanya bukan alergi obat, tetpi
infeksi (pada sebagian kecil kasus). Jadi kultur darah hendaknya dikerjakan. Cara
pengambilan sampel yng terbaik ialah kulit tempat akan diambil darah dikompres dengan
spirtus dilutus dengan kasa steril selma jam untuk menghindari kontaminasi.
Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul milaria kristalia yang sering
disangka sebagai lesi baru dan dosis kortikosteroid dinaikkan lagi, yang seharusnya tetap
diturunkan.
Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasein akan berkurang, karena itu
harus diberikan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi, misalnya bronkopnemonia
yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotik yang dipilih, hendaknya yang jarang
menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak atau sedikit
nefrotoksik. Hendaknya antibiotik yang akan diberikan jangan yang segolongan atau yang
rumusnya mirip dengan antibiotik yang diduga menyebabkan alergi atau obat sulfa. Hal ini
untuk mencegah sensititasi silang. Obat yang memenuhi syart tersebut misalnya
siprofloksasin 2 x 400 mg iv. Klindamisin meskipun tidak berspektrum luas juga cukup
efektif bagi kuman anaerob, dosisnya 2 x 600 mg iv sehari. Obat lain juga dapat digunakan
misalnya seftriakson dengan dosis 2 gram iv sehari 1 x 1. Untuk mengurangi efek samping
kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein, karena kortikosteroid
bersifat katabolik. Setelah seminggu diperiksa pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat
penurunan k dapat diberikan KCL 3 x 500 mg per os.
Hal yang perlu diperhatikan ialah mengatur keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi,
terlebih-lebih karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan
tenggorokan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya
dekstrose 5%, NaCl 0,9% dan laktat Ringer berbanding 1 : 1 : 1 dalam 1 labu yang diberikan
8 jam sekali.
Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan selama 2 hari, maka dapat diberikan
transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek transfusi darah (whole
10
blood) ialah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia prognosisnya menjadi buruk,
setelah diberi transfusi leukosit cepat menjadi normal.
Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi meninggikan daya tahan.
Jadi indikasi pemberian transfusi darah SSJ dan NET adalah :
Bila terlah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum
ada perbaikan. Dosisi adekuat untuk SSJ 30 mg deksametason sehari dan NET 40 mg
sehari.
Bila terdapat purpura generalisata.
Jika terdapat leukopenia.
Prognosis
Jika dilakukan tindakan tepat dan cepat, maka prognosis cukup memuaskan. Bila terdapat
purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Kematian berkisar antara 5-15%
pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai.
Kematian biasanya terjadi disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
bronkopneumonia serta sepsis.
Pencegahan
11
Obat yang disangka sebagai kausanya segera dihentikan, termasuk obat sulfa, jamu atau zat
adiktif lainnya.
Kesimpulan
Diagnosis Sindrom Stevens Johnson terutama dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada
umumnya disebabkan reaksi terhadap obat terutama sulfa, -lactam, imidazol dan NSAID,
kemungkinan infeksi juga harus dipikirkan. Lesi kulit terutama vesikel dan bula.
Penatalaksanaan lebih bersifat simtomatik dan konservatif, kecuali lesi terbuka perlu
kooardinasi dengan unti luka bakar.
Prognosis cukup baik dengan kemungkinan timbulnya simblefaron dan angk akematian
kurang dari 0,5%.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna
Publishing; 2009. h.2861-8.
2. Hamzah M, Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5th Ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. h.163-7.
3. Darmstadt GL, Sidbury R. Stevens johnson syndrome. In: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB: Textbook of pediatrics. 17 th Ed. Philadelphia: WB Saunders; 2004.
h.2191-4.
4. Burns BT, Graham R. Lecture notes on dermatology. 8 th Ed. Jakarta: Erlangga
Medical Series; 2005. h.152-4.
5. Mariana Y, Setiabudy R. Farmakologi dan terapi. 5th Ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2012. h.599-604.
6. Volcheck GW. Clinical evaluation and management of drug hypersensitivity. Immunol
Allergy Clin N Am. 2004. h.357-71.
12