Negara = Pendidikan
Berada di perpustakaan sekolah selama beberapa waktu, saya mengamati banyak hal yang
terjadi. Mulai dari anak-anak sampai dengan guru yang datang untuk meminjam /
mengembalikan buku. Perpustakaan sekolah ini berfungsi tidak hanya untuk membaca buku,
koran ataupun majalah yang dapat menambah wawasan pengetahuan, akan tetapi juga
dijadikan tempat untuk konsultasi dengan orang tua siswa, atau sharing antar guru jika ada
suatu masalah. Selain itu, perpustakaan juga tempat yang ideal untuk merenung sambil
membuat soal untuk persiapan siswa-siswa tingkat akhir sebelum ujian sekolah maupun ujian
nasional (seperti yang sedang saya lakukan). Antusiasme siswa yang datang untuk meminjam
buku di sekolah tempatku bekerja ini cukup tinggi. Bahkan beberapa anak sempat
menunjukkan wajah kekecewaannya karena tidak diperbolehkan meminjam buku disebabkan
minggu depan mereka akan try out ujian nasional (karena ada peraturan dari sekolah, agar
siswa fokus dan konsentrasi belajar). Akan tetapi mereka akhirnya menurut dan bertanya
apakah setelah mereka selesai try out boleh kembali meminjam buku ? Langsung dijawab
oleh petugas perpustakaan tentu saja boleh. Tingginya minat baca siswa ini tentu saja
membuat saya bersyukur, apalagi di tengah arus informasi / internet yang makin tinggi dan
instan dapat menyebabkan minat baca generasi muda menjadi tergerus. Saya jadi teringat ada
pepatah yang mengatakan bahwa jantung dari sebuah sekolah adalah perpustakaan.
Sehingga apabila tidak ada perpustakaan dalam sebuah sekolah ibaratnya tidak ada kehidupan
di dalamnya, karena tentu saja pengetahuan siswa akan menjadi terbatas. Meski sekarang
banyak generasi muda yang berkata kepada temannya jika ingin cari sesuatu gogling aja
artinya buka saja mesin pencari ilmu tersebut. Secara pribadi, saya berharap meski arus
teknologi makin cepat dan instan, akan tetapi membaca buku tetaplah merupakan kebutuhan
wajib bagi seseorang untuk menambah wawasan pengetahuannya.
Jika perpustakaan merupakan jantung dari sebuah sekolah, maka sebenarnya pendidikan
merupakan jantung dari sebuah negara. Sehingga jika suatu negara tidak mengutamakan
pendidikan bagi warga negaranya, maka sebenarnya negara tersebut akan menjadi stagnan
alias tidak ada perubahan karena pendidikan sebagai jantung negara tidak mendapatkan
tempat seharusnya. Contoh yang pernah terjadi di negara Jepang ketika negaranya porakporanda akibat bom atom beberapa puluh tahun lalu, yang dicari oleh pemimpinnya ialah
berapa jumlah guru yang tersisa dan bukan profesi lainnya. Hal ini dikarenakan mereka
menyadari bahwa inti dari sebuah negara adalah pendidikan, seperti juga inti dari sebuah
sekolah seharusnya adalah perpustakaannya.
Konon ketika menyebut kata Perpustakaan atau Library , pemikiran orang merujuk
pada suatu medium peradaban manusia yaitu buku. Untuk waktu yang sangat lama, buku
menjadi sumber daya pengetahuan yang utama, yang dihimpun oleh perpustakaan. Hal ini
terjadi karena posisi perpustakaan di anggap hannya sebagai tempat penyimpanan saja, dan
ternyata hingga abad modern anggapan yang demikian pun masih belum bisa dihilangkan.
Fenomena semacam ini pernah diteliti oleh Kornelize Pert tahun 2002 dengan
mempertanyakan sebagian warga masyarakat Kroasia menyangkut profesi yang diminatinya
untuk dijadikan sebagai mata pencaharian. Ternyata hasil yang didapat, pustakawan berada
diurutan ke-6 dari tuju profesi yang paling diminati setelah dokter, guru, konstruktor, ekonom
dan pengacara. Sedangkan yang terakhir ditempati adalah system engineer atau programmer.
Bahkan menurut Hovart (1995 : 18), profesi pustakawan sering dianggap hanya sebagai batu
loncat atau alternatif pekerjaan sebelum mendapatkan profesi yang sesungguhnya diinginkan.
Hal ini tentu memberikan gambaran bahwa anggapan pustakawan sebagai profesi
yang diminorkan tidak hanya melekat pada masyarakat Indonesia, tetapi juga di Negara
lain. Posisi Pustakawan yang seperti ini sering diperparah dengan tidak adanya perhatian
institusi terkait (pemerintahan) terhadap gerak majunya perpustakaan. Maka, menjadi tidak
aneh ketika menengok pada kasus seperti ini, yang kemudian disimpulkan menjadi bagian
dari kendala bagi pustakawan untuk loyal dan berfikir untuk kemajuan perpustakaan
tempatnya bekerja.
Selanjutnya dengan perkembangan beberapa tahun terakhir sejak dikeluarkannya UU
nomor 43 tahun 2007, perpustakaan seperti memperoleh angin segar. Perpustakaan mulai
mendapat perhatian dari pemerintah terkait dengan eksistensinyamaupun perkembangannya.
Perpustakaan mulai diberikan ruang untuk melakukan berbagai kegiatan, terutama untuk
kepentingan pendidikan. Bahkan, dikatakan bahwa setiap lembaga pendidikan, diwajibkan
untuk menyelenggarakan perpustakaan.
Tidak hanya itu saja, akan tetapi pemerintah juga mengeluarkan Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 132/KEP/M.PAN/12/2002 tentang Jabatan
Fungsional Pustakawan dan Angka kreditnya.
Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun
2005;
Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I
Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2005;
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/60/M.PAN/6/2005 tentang
Perubahan atas Ketentuan Lampiran I dan Lampiran II Keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 132/KEP/M.PAN/12/2002 tentang Jabatan Fungsional dan Angka
Kreditnya;
Keputusan Bersama Kepala Perpustakaan Nasional dan Kepala Badan Kepegawaian Negara
Nomor 23 Tahun 2003 dan Nomor 21 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan
Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya;
Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional Nomor 3 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Perpustakaan Nasional RI.
Oleh karena itu, perpustakaan sekolah bukan hanya sekedar tempat penyimpanan
bahan pustaka (buku dan non buku), tetapi terdapat upaya untuk mendayagunakan agar
koleksi-koleksi yang ada dimanfaatkan oleh pemakainya secara maksimal. Hal ini dipertegas
dalam SK Mendiknas No. 053/U/2001 tanggal 19 April 2001 tentang Penyusunan Pedoman
Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan pada Tingkat TK, Dasar sampai
dengan SMU/SMK, bahwa keberadaan perpustakaan sekolah merupakan syarat dalam
standar pelayanan minimal (SPM) tersebut. Sehubungan hal itu agar bahan pustaka, dapat
didaya gunakan secara maksimal sesuai dengan tujuan dan fungsi perpustakaan sekolah,
maka tentunya diperlukan suatu manajemen perpustakaan sekolah yang memadai.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka pokok
permasalahan dipersempit. Perumusan masalah diperlukan guna mempermudah pelaksanaan
dan supaya sasaran makalah menjadi jelas, tegas, terarah dan mencapai hasil yang
dikehendaki. Selain itu, diharapkan dapat memberikan arah pembatasan yang jelas sehingga
terbentuk hubungan dengan masalah yang dibahas. Maka masalah dalam tulisan ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana upaya pemerintahan menciptakan perpustakaan yang berbasis ISO ?
2. Bagaimana peran pustakawan sekolah ?
3. Bagaimana upaya meningkatkan minat baca ?
4. Bagaimana menciptakan perpustaakaan yang aman dan nyaman ?
C. Tujuan Penulisan
Jurnal ini disusun untuk tujuan sebagai berikut :
1. Agar para Siswa/ Mahasiswa mengerti dan paham peran perpustaaan dalam pendidikan.
2. Agar para Siswa/ Mahasiswa dapat menggunakan Informasi yang diperoleh di perpustakaan.
3. Untuk meningkatkan minat baca di masyarakat dan Siswa/ Mahasiswa pada umumnya.
4. Untuk menghilangkan anggapan bahwa pustakawan itu tidak hannya menjaga buku saja.
5. Untuk mengubah pola pikir masyarakat Indonesia.
6. Untuk mengubah kebiasaan masyarakat budaya nonton ke budaya baca.
7. Sebagai sarana informasi.
D. Manfaat
Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dalam tulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh kualitas Sumber Daya Manusia terhadap
pelayanan pengguna perpustakaan.
2. Untuk mengetahui daya rangsang masyarakat dalam menggunakan perpustakaan
3. Untuk meningkatkan minat baca
Manfaat Praktis
Manfaat Praktis dalam tulisan ini adalah :
Perpustakaan sekolah harus dapat memainkan peran, khususnya dalam pencapaian tujuan
pendidikan di sekolah. Untuk tujuan tersebut maka perpustakaan harus menjalankan misi
serta kebijakannya dalam mencapai tujuan yang telah di tetapkan sebelumnya sehinnga
masyarakat sekolah dapat mempersiapkan tenaga pustakawan yang handal, koleksi yang
lengkap serta berkualitas, sarana prasarana yang mendukung proses belajar mengajar di
sekolah.
Perpustakaan sebagai pusat sumber daya informasi yang merupakan tulang punggung
suatu perpustakaan itu hidup atau tidak, berkembang atau tidak, maka di perlukannya
kerjasaama antara antara anggota sekolahan dan pustakawan. Perpustakaan harus menyiapkan
informasi yang up to date serta akurat dan perpustakaan harus pula berpikir untuk berupaya
mengembangkan diri guna memenuhi kebutuhan pengguna (user).
Beberapa dasawarsa terakhir ini, dunia teks mendapat tantangan dari temuan
teknologi baru. Seiring dengan kemajuan IPTEK perpustakaan pun dituntut untuk mampu
beradaptasi dengan hal tersebut. Perpustakaan dalam era ini harus dapat menjadi salah satu
pelaku perubahan (agen of change). Dikatakan demikian karena perpustakaan merupakan
tempat berbagi informasi tersimpan di dalamnya dan disini pula sesungguhnya embrio
intelektual diciptakan.
Perpustakaan sekolah sekarang ini juga harus bersifat nyata dan maya atau
perpustakaan digital untuk memenuhu kebutuhan masyarakat yang semakin maju dan
tuntunan zaman yang harus menggunakan teknologi informasi yang semakin canggih agar
nilai tawarl perpustakaan tidak berkurang. Oleh karena itu perpustakaan perlahan, tapi pasti
telah mulai beranjak dari sistem konvensional menuju sistem digital.ngny
Oleh karena itu perpustakan memiliki peran penting di dunia pendidikan.Jika
jantungnya lemah, tubuh lainnya juga akan menjadi lemah. Ini artinya jika perpustakaan
lemah, akan berpengaruhpula terhadap institusi tempat perpustakaan bernaung. Sebaliknya,
jika jantungnya baik, akan membuat baik pula tubuhnya. Dengan demikian, jika perpustakaan
baik, akan baik pula lembaga/institusinya. Pemisalan lain, perpustakaan dan lembaga
pendidikan selama ini seperti dua sisi mata uang.
Keduanya akan menjadi bernilai jika keduanya ada, demikian pada informasinya.
Perpustakaan dengan informasi juga tidak boleh dipisahkan sebab kekuatan perpustakaan ada
pada informasi yang disajikanya.
Hubungan antara kedua hal tersebut dapat dilihat pada bagan berikut :
Dari bagan diatas dapat dilihat bahwa perpustakaan memiliki kaitan dengan lembaga
pendidikan. Hubungan ini secara kasat mata dapat dilihat dari pendekatan kelembagaan.
Sedangkan, baik perpustakaan dan lembaga pendidikan, keduanya memiliki tugas yang sama,
yaitu menyebarkan informasi. Perbedaannya lembaga pendidikan memberikan informasi
kepada para siswa melalui proses pembelajaran dengan informasi yang mengacu kepada
kurikulumnya, sedangkan perpustakaan menyebarkan informasi secara langsung kepada
pemustaka tanpa terikat langsung oleh kurikulum.
Namun demikian, perpustakaan yang bernaung dibawah institusi pendidikan bergerak
maju mengikuti pola perkembangan kurikulum. Hal ini dapat dimaklumi karena
perpustakaan disini berperan sebagai pendukung program lembaga induknya. Pergeseran
pradigma lembaga pendidikan menandakan gerak dinamisnya pendidikan sekaligus sebagai
jawaban dari konsekuensi logis sebagai upaya beradaptasi dengan tuntunan zaman yang
semakin berkembang.
b. Hakikat perpustakaan sebagai jantung sekolah
Perpustakaan menurut fungsinya memosisikan diri sebagai tempat menyediakan
berbagai informasi, baik yang berkaitan dengan sosial, politik, maupun ekonomi dan
informasi lainnya. Perpustakaaan dikatakan sebagai jantung sekolah karena perpustakaan
memiliki peranan penting di dunia pendidikan. Telah diakui sejarah pendidikan manapun
bahwa perpustakaan merupakan pusat pendidikan dan peningkatan kualitas diri (selfimprovement). Perpustakaan juga memiliki kekuatan sebagai penggerak untuk pembelajaran
yang lebih efektif dan dinamis, baik untuk individu maupun kelompok.
Disekolah maupun di perguruan tinggi, perpustakaan mempunyai peran yang sanggat
vital sebagai sumber daya material untuk penelitian dan membaca atau sebagai tempat belajar
yang kondusif. Program dan kegiatan yang dilakukan oleh perpustakaan haruslah yang baik
maksutnya kalaupun perpustakaan diibaratkan sebagai jantung, program adalah nyawanya.
Jantung tidak akan berdenyut apabila nyawa tidak ada. Program atau kegiatan yang dibuat
hendaknya diproiritaskan untuk menarik minat siswa pada bahan bacaan serta meningkatkan
minat baca siswa.indikator keberhasilan sebuah program perpustakaan adalah meningkatnya
dinamika minat baca dan kebiasaan membaca (reading habbit) para siswa.
Menawarkan perpustakaan beserta program-programnya kepada siwa harus seperti
mempromosikan sebuah produk dalam dunia bisnis. Prinsip-prinsip yang dipakai dalam
praktik pemasaran dapat diterapkan untuk perpustakaan. Pendek kata, kalu perpustakaan
ingin mengubah citra, menjalankan perpustakaan harus seperti mengelola sebuah bisnis, dan
peran kepala perpustakaan layaknya seorang chief eksekutive officer (CEO). Dengan
kode etik dapat dikaitkan dengan keberadaan organisasi dan organisasi ini merupakan syarat
tambahan, berbeda dengan syarat mutlak yang dicantumkan dalam ketiga butir persyaratan
sebuah profesi.
Pengembangan suatu profesi dipengaruhi oleh faktor-faktor social, budaya, ilmu dan
teknologi yang dapat dibagi dalam 10 indikator :
1. Tingkat kebutuhan masyarakat
2. Standar keahlian
3. Selektivitas keanggotaan
4. Kemauan untuk berkembang
5. Hubungan profesi dan ilmu pengetahuan
6. Institusi
7. Tingkat pendidikan
8. Kode etik
9. Pengamalan ilmu pengatahuan
10.Organisasi profesi
e.
hidup. Nilai-nilai ini yang kemudian menentukan benar, slah,baik, atau buruk. Personal yang
perlu digali adalah persoalan nilai-nilai yang terkandung dalam kode etik itu.
b. Usaha/Tindak Implementasi
Usaha adalah suatu kegiatan yang dilakukan berdasarkan sesuatu yang telah
direncanakan. Menurut Searchcrm (2009) implementasi adalah pelaksanaan, menindaklanjuti
suatu rencana, suatu metode,atau desain ke dalam suatu tindakan
F. Pembahasan
1. Upaya Peningkatan Minat baca
Perpustakaan memiliki peran yang sangat signifikan dalam meningkatkan upaya
membaca meningkatkan literasi informasi , juga dapat mengembangkan siswa supaya dapat
belajar secara independen. Memang tidak mudah menjadikan seseorang atau masyarakat
untuk gemar membaca karena mereka sudah terbiasa oleh budaya nonton dari pada membaca.
Usaha paling baik untuk meningkatkan budaya baca adalah yang bersifat edukatif atau
prefentif yang tentu saja konsekuensinya sangat melelahkan. Usaha ini dilakukan secara
berkesinambungan dari waktu kewaktu atau dari generasi kegenerasii. Inilah jalan satusatunya, walaupun melelahkan akan tetapi harus dilakukan karena tidak ada jalan lain lagi.
Untuk mengubah keadaan individu maupun bangsa, hal pertama yang harus diubah
adalah pikirannya. Dengan kaidah seperti ini kita dapat menjelaskan berbagai macam
fenomena kehidupan, seperti fenomena kehidupan, kegagalan, kemajuan, kebodohan, dan
termasuk kemiskinan.
Tentu saja, seseorang dapat memiliki pikiran, ide dan gagsan apabila banyak informasi yang
masuk kedalam benaknya. Semakin banyak informasi yang masuk, semakin besar pikiranpikirannya, semakin cemerlang gagasan-gagasanya, semakin kreatif, dan semakin berharga
pula ide-idenya. Dan instrumen utama untuk menyerap informasi adalah membaca.
kalu kita menganggap bahwa kemiskinan, pengangguran, dan pendidikan adalah sebuah
lingkaran setan maka usaha untuk memotong lingkaran setan tersebut adalah dengan
membaca.
Membangun budaya baca, bukan sekedar menyediakan buku atau ruang bac,
melainkan juga membangun pemikiran, perilaku dan budaya dari generasi yang tidak suka
membaca menjadi generasi yang suka membaca. Dari generasi yang asing dengan buku
menjadi generasi pencinta buku. Dan dari sana kreativitas dan transfer pengetahuan bisa
berlangsung dan berkembang.
2. Sarana di Perpustakaan
Desain perpustakaan sekolah memainkan peran utama menyangkut bagaimana
perpustakaan melayani sekolah. Penampilan estetis perpustakaan sekolah memberikan rasa
nyaman dan merangsang komunitas sekolah untuk memanfaatkan waktunya di perpustakaan.
Desai yang dibuat hendaknya bersifat fleksibel terhadap berbagai macam
kemungkinan aktifitas serta adaktif terhadap perubahan teknologi dan perubahan kurikulum
padamasa yang akn datang. Desain dibuat untuk tujuan memudahkan melakukan pengawasan
dan alur lalu lintas lancar sehingga berbagai gangguan dapat dieliminasi. Tempat- tempat
khusus yang harus ada di dalam perpustakaan adalah sebagai berikut :
Ruang refernsi
Ruang bercerita
Ruang Komputer
Ruang kelas atau area diskusi
Ruang santai
Ruang produksi
Ruang pengelolaan bahan pustaka
2.1 Lokasi dan Ruang
Agar setiap perpustakaan yang baru didesain memenuhi kebutuhan sekolah
dengan cara paling efektif. Pertimbangan berikut ini perlu disertakan dalam proses
perencanaan.
Lokasi terpusat dan usahakan berada di lantai dasar
Dekat dengan kawasan pengajaran
Pengawasan dan keamanan yang baik
Terbebas dari faktor kebisingan dari luar
Pencahayaan yang baik dan cukup, baik lewat jendela maupun lampu penerangan. Dengan
catatan, cahaya tidak membuat silau dan sinar matahari tidak mengarah langsung
Dekorasi cat yang menyejukkan dan tidak membuat silau
Suhu ruang yang tepat (misalnya, pengatur suhu ruangan atupun ventilasi yang mencukupi,
dianjurkan suhu ruangan sekitar 220 C dan kelembaban 45-50 ) untuk menjamin kondisi
bekerja yang baik sepanjang tahun disamping preservasi koleksi.
Desai yang sesuai guna memenuhi kebutuhan penderita cacat fisik
Ukuran ruang yang cukup untuk penempatan koleksi buku fisik , surat kabar dan majalah,
buku sampul tebal maupun tipis, sumber non-cetak sera penyimpanannya, ruang belajar,ruang
baca, ruang komputer, ruang pameran, ruang kerja tenaga, dan meja perpustakaan.
Fleksibel untuk memungkinkan keberagaman kegiatan serta perubahan kurikulum dan
teknologi pada masa mendatang
Ruang baca mampu menampung 10 dari jumlah siswa
Luas ruang diskusi 2/3 x 10 x jumlah siswa x 1 m2
Ruang membaca santai 1/9 x 10 x jumlah siswa x 1 m2
Ruang koleksi buku. Luas ruangan: jumlah eksemplar buku/ 400 x 1 m (sudah termasuk jarak
antar rak)
Ruang penerbitan berkala. Luas ruangan : jumlah eksemplar / 76 x 1 m2
2.2 Perabot dan Peralatan
Penampilan estetis perpustakaan sekolah memberikan rasa nyaman dan merangsang
komunitas sekolah untuk memanfaatkan waktunya di perpustakaan. Perpustakaan yang baik
hendaknya memilki karakteristik sebagai berikut :
Didesai untuk mengakomodasi perabotan yang kokoh,tahan lama, dan fungsional, serta
memenuhi persyaratan ruang, aktivitas dan pengguna perpustakaan.
Didesain untuk menampung persyaratan khusus populasi sekolah dalam arti cara paling
restriktif
Sesuai dengan pengajaran serta perkembangan teknologi audio, video, dan data yang
muncul.
Dirancang dan dikelola untuk menyediakan akses internet yang cepat dan tepat waktu
keseluruh koleksi sumber daya yang terorganisir.
Dirancang dan dikelola secara estetis sehingga pengguna tertarik dan kondusif dalam
hiburan serta pembelajaran, dengan panduan dan tanda-tanda yang jelas dan menarik.
2.3 Peralatan Elektronik
Perpustakaan sekolah mempunyai peran penting sebagai pintu gerbang masyarakat dalam
mencari informasi yang sekarang ini berbasis informasi. Oleh karena itu perpustakaan
sekolah harus menyediakan akses ke semua peralatan elektronik seperti :
Katalog online (OPAC) yang disesuaikan dengan usia tingkat murid yang berbeda
Tape- recorder
Perangkat CD-ROM
a.
Proses penyimpanan
c.
Otentikasi sistem
Menu utama
Mungkinkah lewat membaca, kita bisa menguasai peradaban dunia? Pertanyaan ini, terasa
menghentak kita yang belum merasakan nikmatnya membaca buku. Ini karena, bagi orang
yang belum terbiasa dengan buku, maka ia pun akan merasa terasingkan dan seolah-olah
bukan dunia yang mereka inginkan. Hanya kalangan tertentu saja yang merasakan betapa
nikmatnya membaca buku bila dihayati dengan sepenuh hati. Andaikan buku seperti sepotong
pizza, maka akan saya makan setiap hari hingga mencapai titik kejenuhan yang tiada tara.
Akan tetapi, bukan pizza yang kita andaikan, ia hanyalah motivasi bagi kita guna
membiasakan diri dengan memnbaca apa saja yang ada dihadapan kita.
Patutlah kiranya, kita belajar dari bangsa Jepang yang menjadikan membaca sebagai motivasi
spiritual untuk membuka cakrawala intelektualitas manusia. Jepang pulalah yang
mendengungkan kalau membaca jendala dunia guna menguasai peradaban yang gemilang.
Tidak heran, bila Jepang begitu kuat melejitkan anak-anak muda mereka agar memanfaatkan
waktu sedikitpun untuk sekedar membaca yang dapat dilihat. Tidak heran, bila muncul
adagium yang begitu populer di tengah-tengah kita, yakni kalau orang Jepang membaca
sambil tidur, kalau orang Indonesia tidur sambil membaca.
Adagium itu begitu menggugah hati kita sebagai bangsa yang lagi terpuruk akibat tidak
mampu meningkatkan budaya baca masyarakatnya. Bagi orang Jepang, membaca bukan
sekedar membolak-balikkan buku yang ada di tangan, melainkan harus dilandasi dengan
ketulusan dan kesetian dalam membacanya. Sementara orang Indonesia, hanya sekedar
membaca tanpa ada keikhlasan untuk tetap menjadikan buku sebagai lompatan utama dalam
memaknai hidup dengan penuh ketulusan.
Kekuatan membaca bukan sekedar terletak pada kecepatan dalam menghabiskan halaman
buku, melainkan yang lebih penting lagi adalah kemampuan menghayati dan menerapkan apa
yang tersirat dalam isi dan pesan buku. Dengan begitu, membaca akan mencapai titik
kulminasinya hingga pada tingkatan yang lebih sempurna.
Bangsa Jepang menganggap bahwa membaca adalah salah satu cara cepat untuk menguasai
dunia. Pernyataan ini bukanlah sebuah ungkapan main-main, melainkan telah dibuktikan
dengan kecanggihan yang dimiliki bangsa Jepang. Ini juga bukan sekedar asumsi maupun
pandangan tanpa alasan yang terletak pada wacana belaka, tetapi juga sebagai pelecut
semangat yang paling ampuh dah dahsyat menelusuri lubuk hati manusia yang dianugrahi
otak untuk berpikir dan berkarya demi kemajuan peradaban dunia. Bukti nyata dari
kebenaran pernyataan ini adalaah pengalaman yang sudah dilalui oleh masyarakat Jepang
sejak sekitar 60 tahun yang lalu. Ketika itu, Jepang benar-benar berkomitmen untuk terus
menerus menjadikan buku sebagai motivasi utama mereka agar bisa bangkit mengejar
ketertinggalan dan keterpurukan.
Demi menguasai dunia, Jepang begitu semangat memproduksi karya-karya terjemahan
penulis luar negeri yang sudah lama berkembang pesat. Bahkan, ribuan buku dari luar negeri
didatangkan ke Jepang untuk diterjemahkan oleh para ahli bahasa dan sastra agar pada
gilirannya disebarkan ke masyarakat umum sebagai khalayak pembaca. Masyarakat pun
sangat antusias mencermati terobosan baru yang diterapkan di lingkungan masyarakat bawah,
sehingga minat dan hasrat membaca anak-anak muda mereka pun tumbuh berkembang secara
bertahap. Minat dan hasrat membaca ini, dimanfaatkan betul oleh Jepang guna memuluskan
cita-cita mereka yang menghendaki peningkatan budaya baca, terutama pemberantasan buta
huruf.
Kalau kita cermati, ternyata dampak dari kebijakan ini tidak main-main. Mulai dari elite
pemerintahan, kelas atas, kelas menengah sampai masyarakat bawah turut serta memberikan
dukungan terhadap kebijakan ini dengan membiasakan diri membaca dan menjadikan
kegiatan membaca menyenangkan dan pada akhirnya ia melekat sebagai bagian dari
kebudayaan masyarakat. Hasilnya? Kurang dari 30 tahun Jepang mampu bangkit dan
menjelma menjadi sebuah negara maju yang sejajar dengan AS sebagai negara yang dulu
menjatuhkan bom atom yang melumpuhkan Jepang sebagai sebuah negara. Bahkan, boleh
dibilang Amerika merasa kewalahan menghadapi cepatnya kemajuan Jepang yang tidak
butuh waktu yang lama guna mengejar ketertinggalan mereka.
Sampai kinipun, Jepang masih terdepan dalam penguasaan berbagai teknologi mutakhir dan
unggul dalam sumber daya manusia. Tidak heran, berbagai produk teknologi informasi,
elektronik dan produk kendaraan di seluruh dunia selain dikuasi oleh beberapa negara Eropa
juga dikuasai oleh Jepang sebagai pemain besar dari Asia. Bahkan, boleh dibilang Amerika
merasa kewalahan menghadapi cepatnya kemajuan yang diperoleh Jepang sehingga dunia
pun banyak yang merasa berhutang budi pada Jepang sebagai penghasil kendaraan
berkualitas dan menjanjikan.
ABUTMUSOY
.......menulis yang terlupakan dan yang sengaja dilupakan .... (nulis yang lepanan maya yang
sengaja nelepanan -dagun ulun pagun)
Setelah porak poranda akibat bom atom Amerika dan kekalahan besar dalam Perang Dunia II
pada tahun 40-an, Jepang bersusah payah bangkit dan berusaha membangun kembali
negaranya dari titik nol dengan membaca.
Ribuan buku dari luar negeri didatangkan ke Jepang kemudian diterjemahkan oleh para ahli
bahasa dan sastra untuk selanjutnya disebarkan ke masyarakat umum sebagai khalayak
pembaca. Dampak dari kebijakan ini tidak main-main. Mulai dari elite pemerintahan, kelas
atas, kelas menengah sampai masyarakat bawah mendukung penuh kebijakan ini dengan
membiasakan diri membaca dan menjadikan kegiatan membaca menyenangkan dan pada
akhirnya ia melekat sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat. Hasilnya? Kurang dari 30
tahun Jepang mampu bangkit dan menjelma menjadi sebuah negara maju yang sejajar dengan
AS sebagai negara yang dulu menjatuhkan bom atom yang melumpuhkan Jepang sebagai
sebuah negara. Sampai kinipun, Jepang masih terdepan dalam penguasaan berbagai teknologi
mutakhir dan unggul dalam sumber daya manusia. Tidak heran, berbagai produk teknologi
informasi, elektronik dan produk kendaraan di seluruh dunia selain dikuasi oleh beberapa
negara Eropa juga dikuasai oleh Jepang sebagai pemain besar dari Asia.
Starting Point yang Sama
Pada kenyataannya, Jepang dan Indonesia adalah dua negara yang pada tahun 1940-an secara
bersamaan mulai membangun negaranya dari titik nol. Bedanya, Jepang membangun kembali
negaranya bukan sebagai bekas negara terjajah tapi sebagai negara penjajah yang kalah
perang sedangkan Indonesia benar-benar baru membangun setelah Negara Kesatuan Republik
Indonesia diproklamirkan pasca dijajah ratusan tahun oleh Belanda dan Jepang sendiri.
Pada titik memulai ini, sebenarnya Indonesia memiliki modal lebih jika dibandingkan Jepang.
Nilai lebih yang dimaksud adalah kerusakan fisik di Indonesia tidak separah di Jepang
(bayangkan Nagasaki dan Hiroshima benar-benar rata tanah setelah dijatuhi bom atom
Amerika). Selain itu, bumi Indonesia juga mengandung kekayaan alam yang melimpah ruah
jika dibandingkan dengan Jepang yang miskin sumber daya alam. Indonesia memiliki sumber
minyak, batu bara, gas, emas yang hampir sama sekali tidak dimiliki Jepang. Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah mengapa memulai hampir pada saat yang bersamaan tapi kini
Jepang sudah melesat jauh meninggalkan Indonesia?
Ada beberapa analisis yang mungkin bisa diangkat sebagai jawaban yang terbuka untuk
masalah ini. Pertama, kembali ke masalah budaya baca tadi. Para pembuat kebijakan di
Jepang sedari awal menyadari bahwa mereka memiliki modal yang sangat minim pada saat
memulai, dimana kekayaan negara habis untuk biaya perang dan SDM banyak yang gugur di
medan perang. Selain juga nihil sumber daya alam. Pilihan yang masuk akal, mau tidak mau
adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang tersisa. Maka diambillah
kebijakan mewajibkan warga sampai tingkat terendah untuk membaca, membaca dan
membaca. Gayung bersambut, kebijakan ini berhasil maksimal dan didukung penuh oleh
masyarakat Jepang sendiri dalam segala lapisan.
Kedua, masyarakat Jepang sudah selesai dengan permasalah perbedaan suku, golongan,
agama, perbedaan pusat daerah dan berbagai masalah identitas lainnya, sehingga mereka
benar-benar bersatu untuk memecahkan permasalah bersama yang lebih besar : Jepang
sebagai sebuah negara harus bangkit dari keterpurukan.
Ketiga, budaya disiplin dan kerja keras. Dua hal ini adalah modal pendukung lainnya yang
Bagaimanapun, peningkatan minat baca dan penggalakan budaya baca adalah penting bagi
pengembangan SDM siswa dan mahasiswa di Universitas dan sekolah-sekolah yang ada di
Tarakan bahkan hingga masyarakat umum di luar lingkup pendidikan formal. Jika berkaca
dari negara maju seperti Jepang atau Singapura ketika memulai, yang pertama mereka
bangun bukanlah bangunan fisik tapi terlebih dahulu membangun SDM yang handal dan
menggalakkan keterlibatan semua lini masyarakat dalam pengembangan konsep self learning
alias proses pembelajaran yang dilakukan individu dengan kesadaran sendiri. Jika Tarakan
serius ingin menjadi the New Singapore, fakta yang tidak boleh diabaikan adalah : Singapura
bisa menjadi negara pulau yang sangat maju berangkat dari pengembangan SDM secara
masif dan tentunya tidak lepas dari budaya membaca.
Isu lainnya yang menarik untuk di bahas dan ada kaitannya dengan budaya baca adalah
masalah predikat Kota Pendidikan. Sebagai perbandingan bisa mengambil contoh apa yang
terjadi di Yogyakarta. Kota Yogyakarta mendapatkan predikat sebagai Kota Pendidikan
karena pendidikan seolah hidup dalam setiap lini kehidupan masyarakatnya. Pendidikan di
sini bukan hanya pendidikan dalam artian formal saja tapi juga berhubungan dengan
kesadaran masyarakat untuk turut serta menciptakan situasi kondusif proses belajar sehingga
kota ini menjadi pilihan ribuan pelajar dan mahasiswa dari seluruh propinsi yang ada di
Indonesia untuk menuntut ilmu. Dan sebagai konsekuensinya kota inipun mendapatkan
julukan (dari pihak luar) sebagai Kota Pendidikan. Di kota ini juga terdapat puluhan
perpustakaan besar milik Universitas-Universitas dan dua perpustakaan milik pemerintah
daerah yang kesemuanya bisa diakses bebas oleh masyarakat umum.
Saat ini, kendala yang dialami di Tarakan terkait dengan budaya baca adalah mahalnya buku
dan kurang familiarnya masyarakat dengan fasilitas baca untuk publik yang sebenarnya sudah
ada. Keberadaan Kantor Perpustakaan dan Kearsipan, kurang diketahui masyarakat umum.
Padahal letaknya sangat strategis. Mungkin, papan nama yang terpampang : Kantor
Perpustakaan dan Kearsipan itu terkesan formal dan berjarak dengan masyarakat sehingga
banyak yang menyangka ia hanya sebagai kantor pemerintahan dan masyarakat umum tidak
bisa berkunjung ke sana. Sebagai usul, bagaimana kalau misalnya papan namanya diganti
menjadi Perpustakaan Kota Tarakan saja. Dengan penamaan ini mungkin masyarakat akan
lebih familiar dengan perpustakaan tersebut sehingga bisa memanfaatkannya secara
maksimal demi meningkatkan SDM mereka yang nantinya juga akan berdampak baik pada
cita-cita besar Tarakan untuk menjadi the New Singapore dan Kota Pendidikan itu.
Mengenai Saya
ABUTMUSOY
Saya adalah seseorang yang memiliki banyak kegelisahan dan menjadikan kegiatan
menulis sebagai terapi psikologis. (Dako tu ulunpagun. Dako termasuk ulun yang
rajin gelisah gilong de keadaan dan nasib ulun pagun, apalagi de Tarakan)
Lihat profil lengkapku