Anda di halaman 1dari 18

HIPERTROFI ADENOID

Nikita Frinadya, T. Sofia Hanum


PENDAHULUAN
Adenoid ( Faringeal Tonsil ) adalah jaringan limfoid yang merupakan
bagian dari cincin waldeyer. Terletak di dinding postero superior dari
nasofaring, secara fisiologi akan mengalami hipertropi pada anak di rentang
usia 6 10 tahun, lalu kemudian akan mengalami atropi di usia 16 tahun.
(Yildirim N, Sahan M & Karslioglu Y, 2008)
Hipertrofi dari adenoid dan tonsil palatina adalah penyebab utama dari
sumbatan hidung pada anak-anak. Ketika terjadi infeksi saluran nafas
berulang, Sleep Apnea ataupun otitis media supuratif kronis dikarenakan
sumbatan hidung hidung tersebut, maka menjadi indikasi untuk dilakukannya
adenoidektomi. Adenoid mengalami hipertrofi pada masa anak anak, lalu
kemudian mengalami atrofi pada pubertas, namun keadaan dimana adenoid
tetap persisten sampai dewasa pun tidak jarang ditemukan. Saat ini
dikatakan bahwa hipertrofi adenoid disebabkan karena infeksi akut yang
berulang, namun alergi juga dicurigai sebagai salah satu penyebab hipertrofi
adenoid.

Hipertrofi

adenoid

ini

sendiri

seringnya

terlupakan

dalam

mendiagnosa pasien dewasa dengan keluhan sumbatan hidung. Maka


sebaiknya pasien yang dating dengan keluhan sumbatan hidung menjadi
indikasi untuk dilakukannya nasal endoskopi untuk menegakkan diagnosa
yang tepat. (Al- Juboori, 2014)
Pasien dengan adenoid hipertrofi biasanya datang dengan keluhan,
sumbatan

hidung

yang

membuat

pasien

bernafas

melalui

mulut,

mendengkur, kualitas suara yang berkurang (hyponasal voice), dapat terjadi


gangguan tidur (Obstructive Sleep Apnea), tuli konduktif yang merupakan

penyakit sekunder dari otitis media berulang atau efusi telinga tengah yang
menetap, dan muka adenoid. (Rusmarjono, Efiaty, 2009)
ANATOMI
Faring merupakan tabung yang berbentuk seperti kerucut terbalik yang
dibungkus oleh lapisan fibromuskular yang membentuk bagian atas dari
saluran pernafasan dan saluran makanan dengan panjang 12-14 cm dan
lebar 3,5 cm yang terletak mulai dari dasar tengkorak sampai bagian bawah
dari kartilago krikoidea. Faring terbagi atas 3 bagian yakni (Dhingra, 2010) :
1. Nasofaring (Epifaring)
Merupakan bagian paling atas dari faring, dengan batas batasnya yakni
bagian atas dibatasi oleh basis kranii, bagian bawah dibatasi oleh permukaan
atas palatum mole, bagian depan dibatasi oleh koana dan septum nasi, dan
bagian belakang dibatasi oleh vertebra servikalis. Pada daerah nasofaring
terdapat adenoid, fossa Rossenmuller, dan orifisium tuba eustakhius.
2. Orofaring (Mesofaring)
Orofaring meluas kearah rongga mulut pada pilar anterior faring, palatum
mole (velum palatina) terdiri dari serat otot yang ditunjang oleh jaringan
fibrosa dan diluarnya dilapisi oleh mukosa. Batas nya yakni bagian atas
dibatasi oleh pinggir bawah palatum mole, bagian bawah dibatasi oleh pinggir
atas dari epiglotis, bagian depan dibatasi oleh faucium dan pangkal lidah, dan
bagian belakang dibatasi oleh vertebra servikalis.
Pada faucium ini sendiri terdapat palatum mole, uvula, plika anterior yang
dibentuk

M.Palatoglossus

dan

plika

posterior

yang

dibentuk

M.Palatofaringeus.
3. Laringofaring (Hipofaring)
Merupakan bagian terendah dari faring yang dimulai dari pinggir atas
epiglotis dan berakhir pada pinggir bawah kartilago krikoidea.

Adenoid adalah kelompok jaringan limfoid yang terletak pada atap dan
dinding posterior nasofaring. Nasofaring berada di belakang bawah dari
palatum mole dan palatum durum. Bagian atas dari palatum durum
merupakan atap dari nasofaring. Anterior nasofaring merupakan perluasan
rongga hidung posterior. Menggantung dari aspek posterior palatum molle
adalah uvula. Pada atap dan dinding posterior nasofaring, diantara lubang
tuba auditori, mukosa berisi masa jaringan limfoid yang disebut pharyngeal
tonsil (adenoid). Nasofaring merupakan suatu ruangan yang terletak di
belakang rongga hidung di atas tepi bebas palatum molle. Berhubungan
dengan rongga hidung dan ruang telinga tengah masing-masing melalui
choanae dan tuba eustachius (Ballenger).

Gambar 1.Anatomi Adenoid

Gambar 2 : anatomi Faring


Tonsil faringeal atau adenoid termasuk dalam rangkaian cincin
waldeyer yang merupakan massa limfoid berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan jaringan limfoid pada tonsil palatine. Lobus atau
segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen yang ada pada buah
jeruk, dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun
mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai
bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus dan terdiri atas rangka
jaringan ikat fibrosa yang menunjang massa limfoid. Jaringan ini terisi
pembuluh darah dan pembuluh limfe, sedangkan di beberapa tempat
terdapat kelompok-kelompok kelenjar mukosa di dalam septa yang bermuara
4

ke arah permukaan. Kelenjar mukosa sering terdapat di dalam adenoid pada


permukaan dasarnya. Ditengah-tengah jaringan ikat halus terdapat kumpulan
sel-sel leukosit atau sel-sel limfoid dan bergabung menjadi jaringan limfoid
yang membentuk adenoid . (Ballenger)

Gambar 3 : Anatomi Cincin Waldeyer


Vaskularisasi adenoid diperoleh melalui cabang faringeal a. carotis
eksternal, beberapa cabang minor berasal dari a. maxilaris interna dan a.
fasialis. persarafannya merupakan cabang dari n. gloso faringeus dan n.
vagus. Anatomi mikro dan makroskopik dari adenoid menggambarkan
fungsinya dan perbedaannya dengan tonsil palatina. Adenoid adalah organ
limfoid yang mengalami invaginasi dalam bentuk lipatan yang dalam, hanya
terdiri beberapa kripte berbeda dengan tonsil palatina yang memiliki jumlah
kripte lebih (Moore, 2002)
Jaringan limfoid normalnya tidak ada pada masa awal kehidupan,
adanya tanda tanda perkembangan adenoid biasanya baru terlihat di masa
anak anak usia 2 12 tahun. Pada masa remaja pengecilan ukuran adenoid
terlihat seiring dengan petumbuhan dari nasofaring. Ketidakseimbangan

antara pertumbuhan nasofaring dan pertumbuhan dari adenoid dapat


mengakibatkan kurangnya patent jalan nafas dan memperparah sumbatan di
nasofaring (William, 2010)
FISIOLOGI
Adenoid bersama tonsil dan lingual tonsil membentuk cincin jaringan
limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan yang dikenal
sebagai cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini pada pintu masuk saluran
nafas dan saluran pencernaan. Seperti halnya jaringan-jaringan limfe yang
lain, jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi pada masa kanakkanak dan menjadi atrofi pada masa pubertas. Karena kumpulan jaringan ini
berfungsi sebagai suatu kesatuan, maka pada fase aktifnya, pengangkatan
suatu bagian jaringan tersebut menyebabkan hipertrofi sisa Ukuran adenoid
kecil pada waktu lahir. Selama masa kanak-kanak akan mengalami hipertrofi
fisiologis, terjadi pada umur 3 tahun. karena adenoid membesar, terbentuk
pernafasan melalui mulut. Pada umur 5 tahun, anak mulai sekolah dan lebih
terbuka kesempatan untuk mendapatkan infeksi dari anak yang lain. Hal ini
menyebabkan pembesaran adenoid dan akan menciut setelah usia 5 tahun.
Adenoid akan mengalami atrofi dan menghilang keseluruhannya pada usia
pubertas (Parcy, 1989).
HIPERTROFI ADENOID
DEFENISI
Adenoid merupakan jaringan limfoid yang terletak pada dinding
posterior

nasofaring,

termasuk

dalam

rangkaian

cincin

waldeyer.

Pembesaran adenoid adalah membesarnya ukuran adenoid pada nasofaring


yang dapat diketahui dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan klinik THT
dan pemeriksaan foto polos lateral (Rusmarjono, Efiaty, 2009)

ETIOLOGI
Etiologi pembesaran adenoid dapat dibagi menjadi dua yaitu secara fisiologis
dan faktor infeksi. Adenoid akan mengalami hipertrofi pada masa puncaknya
yaitu 3-7 tahun. Biasanya asimptomatik, namun jika cukup membesar akan
menimbulkan gejala. Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak yang
mengalami infeksi kronik atau rekuren pada saluran pernapasan atas
ataupun anak dengan rinithis alergi. ( Brambia I et all, 2014)
GEJALA KLINIS
Akibat dari hipertrofi adenoid akan menimbulkan sumbatan koana dan
sumbatan eustachius.
a. Sumbatan koana
Akibat dari sumbatan koana pasien akan bernafas melalui mulut
sehingga akan terjadi :
1. Fasies adenoid, yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan,
arkus faring tinggi yang menyebabkan wajah pasien seperti orang
bodoh. (Rusmarjono, Efiaty, 2009)

Gambar 4: Fasies adenoid (http://www.intelligentdental.com/2011/10/13/top-5children-habits-you-need-to-know-about-part-1/)

2. Faringitis dan bronkitis


Infeksi berulang pada adenoid akan menyebangkan penyebaran
infeksi ke daerah di sekitarnya
3. Gangguan ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga
menimbulkan sinusitis kronis. (Rusmarjono, Efiaty, 2009)

b. Sumbatan tuba eustachius


terbatasnya gerakan torus tubarius ke arah posterior sehingga
pembukaan muara tuba eustachius tidak adekuat. Perubahan patensi
tuba auditiva oleh hipertofi adenoid disebabkan karena obstruks
mekanis pada lumen tuba dan penekanan pada pembuluh limfati
sekitar lumen tuba. Hal tersebut dapat berujung pada efusi di dalam
telinga tengah (Amar MA, 2013)
Hipertropi

adenoid

yang

tidak

diberikan

penanganan

akan

mengakibatkan gangguan tidur ( Obstructive Sleep Apnea ), masalah pada


telinga, gagal tumbuh dan kembang pada anak, hipertensi pulmonal, dan
kelainan struktur kraniofasial. (Somayaji G, Rajeshwari A, Mahaveera J,
2012)
DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
1.
2.

Tanda dan gejala klinik.


Pemeriksaan rinoskopi

3.
4.
5.

gerakan velum palatum mole pada waktu fonasi.


Pemeriksaan rinoskopi posterior (pada anak biasanya sulit).
Palpasi Adenoid
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat membantu untuk melihat ukuran

6.

adenoid secara langsung.


Pemeriksaan radiologi dengan membuat foto polos lateral dapat

anterior

dengan

melihat

tertahannya

melihat pembesaran adenoid. (Rusmarjono, Efiaty, 2009)


Saat ini endoskopi rigid dianggap sebagai gold standard untuk
pemeriksaan hidung pada dewasa karena menghasilkan gambar dengan

kualitas yang baik, namun hal ini sulit diterapkan pada pasien anak tanpa
dilakukan sedasi terlebih dahulu. (Brambilia I et al, 2014)
Berbagai metode dalam mengklasifikasi grade dari hipertropi adenoid
telah dilaporkan, salah satunya adalah klasifikasi menurut Parikh et al
(2006).Klasifikasi ini sangat efektif dalam mengevaluasi derajat obstruksi dari
adenoid.
1. Grade 1 : adenoid tidak bersentuhan dengan struktur struktur lain di
sekitarnya
2. Grade 2 : adenoid bersentuhan dengan torus tubarius
3. Grade 3 : adenoid menutup sampai ke os vomer
4. Grade 4 : adenoid sampai ke palatum molle ( Brambillia I, 2014)

Gambar 5 : x-ray hipertropi adenoid (http://www.drtbalu.com/adenoid.html

PENATALAKSANAAN
Terapinya terdiri atas adenoidektomi untuk adenoid hipertrofi yang
menyebabkan obstruksi hidung, obstruksi tuba Eustachius, atau yang
menimbulkan penyulit lain.
Indikasi adenoidektomi:
1. Sinusitis kronis atau rinorea purulent berulang yang terjadi 4 kali
atau lebih dalam setiap 12 bulan, pada anak dibawah usia 12 tahun

2. Adanya gejala adenoiditis menetap setelah pemberian dua kali


terapi antibiotic, dimana salah satunya telah diberkan antibiotic
golongan beta lactam selama 2 minggu.
3. Gangguan tidur dengan obstruksi saluran nafas yang menetap
4.
5.
6.
7.
8.

selama 3 bulan
Hyponasal speech
Otitis media dengan efusi lebih dari 3 bulan
Kelainan bentuk wajah atau pertumbuhan gigi.
Kecurigaan neoplasma jinak / ganas
Adanya komplikasi kardio-pulmonal (AAO-HNS, 2012)

Kontraindikasi adenoidektomi :
1.

Gangguan perdarahan yang parah, yang tidak dapat diatasi dengan

2.

obat-obatan koagulasi, praoperasi, intraoperatif, dan pasca operasi.


Anak anak dengan palatoskizis, dengan kelemahan otot atau
penyakit saraf lainnya. (Mc Clay J, 2013)
Adenoidektomi biasanya dilakukan bersamaan dengan tonsilektomi

sebagai penatalaksanaan obstructive sleep apnea pada anak. Adenoidektomi


sendiri dilakukan pada kasus dimana adenoid terlihat membesar pada
gambaran x-ray yang tidak disertai dengan pembesaran tonsil palatine.
Namun, sebuah penelitian retrospectif pada anak yang menjalani operasi
adenoidectomi, didapati bahwa 38% anak yang menjalani aoperasi tersebut ,
harus menjalani operasi berikutnya. (Ishman S, Smith D, &Shott S, 2014)
Metode adenoidektomi termasuk di dalamnya metode kuretase,
elektrokauter, microdebrider, dan coblation. Namun sama halnya dengan
tonsilektomi, tidak ada satu metode yang dipergunakan secara universal.
Perdarahan pasca operasi yang memerlukan intervensi bedah jarang terjadi
dan umumnya hanya terjadi apabila adenoidektomi disertai dengan
tonsilektomi. Rasa sakit yang pasca operasi adenoidektomi pun

secara

10

signifikan lebih ringan dibandingkan dengan tonsilektomi. (Ishman S, Smith


D, &Shott S, 2014)
Persiapan pra operasi adenoidectomy
1. Pemeriksaan keseluruhan untuk menyingkirkan kelainan medis lainnya
2. Pemeriksaan THT lengkap.
3. Foto x-ray nasofaring posisi lateral
4. Timpanometri untuk kasus-kasus yang diduga efusi telinga tengah (ElBadrawy, Aziz, 2009)
Teknik Operasi
1. Teknik Kuretase
Operasi

dilakukan

dibawah

general

anastesi

dengan

intubasi

endotrakeal, digunakan Boyle-Davis untuk membuka mulut. Palatum molle


ditraksikan dengan menggunakan kateter karet yang melewati mulut dan
hidung lalu kedua ujungnya di jepit menggunakan klem arteri. Lalu endoskopi
hidung 70o dimasukkan melalui mulut, sampai terlihat massa adenoid.
Kuretasi massa adenoid dilakukan dengan menggunakan forsep ST. Claire
Thomson. Perdarahan yang terjadi biasanya sedikit terutama setelah
keseluruhan adenoid di keluarkan. (El-Badrawy, Aziz, 2009)

11

Gambar 6 : st. clair Thomson Adenoid Curette (http://www.saharantrading.co.uk/store/ear-nosethroat/st-clair-thomson-adenoid-curette-w/cage-10mm-sz-1-9-25-grade-a-instruments/prod_5431.html_

2. Teknik Microdebrider
operasi dilakukan dibawah general anastesi. Pasien diposisikan
supine dengan posisi leher ekstensi. Lalu posisikan mcIvor agar mulut pasien
terbuka, kemudian pasang dua kateter untuk mertraksikan palatum molle.
Lalu gunakan endoskopi 70o dengan video untuk melihat kavum nasofaring.
Kemudian masukkan microdebrider dengan pisau 40 o yang sudah terkoneksi
dengan aspiraor dan di program dengan kecepatan rotasi 1200 rpm.
(Costantini et al, 2008)

Gambar 7 : mcIvor mouth gag (http://store.surgipro.com/spai-018.html)

12

3. Teknik menggunakan adenotom


Dilakukan dibawah general anastesi, dimana mulut pasien dibuka
dengan McIvor mouth gag. Kateter digunakan untuk mentraksikan palatum
molle. Lalu digunakan endoskopi atau kaca laring sampai terlihat massa
adenoid di nasofaring. Lalu adenotom ditekan ke dinding nasofaring sampai
adenoid masuk ke dalam adenotom. Kemudian pisau adenotom ditutup
sehingga sebagian besar dari adenoid akan tereseksi. (Golla S, 2009)
4. Teknik Coblation
Dengan menggunakan nasal endoskopi 0 , ukuran adenoid
diidentifikasi terlebih dahulu. Setelah itu digunakan alat coblation yang
mampu menjangkau seluruh wilayah nasofaring. Alat kontrol coblation di kaki
harus diaktifkan setiap kali coblation berada pada tepi adenoid. Coblation
harus digunakan secara hati hati agar tidak mencederai uvula dan palatum
molle. Kemudian dilakukan lagi endoskopi untuk memastikan seluruh massa
adenoid telah terangkat. (Businco et al, 2012)

Komplikasi adenoidektomi:
Komplikasi tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila pengerokan
adenoid kurang bersih. Bila terlalu dalam menguretnya akan terjadi
kerusakan dinding belakang faring. Bila kuretase terlalu ke lateral maka torus
tubarius akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba Eustachius dan
akan timbul tuli konduktif.
PROGNOSIS
Adenoidektomi

merupakan

suatu

tindakan

yang

kuratif

pada

kebanyakan individu. Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat

13

sembuh sempurna, kerusakan akibat cor pulmonal tidak menetap dan sleep
apnea dan obstruksi jalan nafas dapat diatas

KESIMPULAN
1. Adenoid ( Faringeal Tonsil ) adalah jaringan limfoid yang merupakan
bagian dari cincin waldeyer.
2. Adenoid terletak di dinding posterosuperior dari nasofaring, secara
fisiologi akan mengalami hipertropi pada anak di rentangusia 6 10
tahun, laluk emudianakan mengalami atropi di usia 16 tahun.
3. Gejala klinis adenoid hipertrofi adalah pasien bernafas melalui mulut,
mendengkur, gangguan tidur (Obstructive Sleep Apnea), hyponasal
voice, otitis media berulang atau efusi telinga tengah yang menetap,
rinosinusitis kronis dan muka adenoid.

14

4. Diagnosis ditegakkan berdasarkan (1)Tanda dan gejala klinik. (2)


Rinoskopi anterior. (3) rinoskopi posterior. (4) palpasi adenoid (5)
Pemeriksaan nasoendoskopi. (6) Pemeriksaan radiologi
5. Penatalaksanaan hipertrofi adenoid adalah adenoidektomi dengan
metode kuretase, adenotom, microdebrider dan cobalation.

Daftar Pustaka
Al-Juboori, AN. Adenoid Hypertrophy in Adults, a rare cause of nasal
Obstruction : an evaluation of 12 cases, American Association fot
Science

and

Technology,

Retrieved

june

11,2014

from

http://www.aascit.org/journal/ijcmr
Amar, MA., Djamin, R., Punagi, AQ. Rasio Adenoid Nasofaring dan
Gangguan

telinga

tengah

pada

Hipertrofi

Adenoid,

Fakultas

15

Kedokteran

Universitas

Hasanuddin

Rumah

Sakit

Wahidin

Sudirohusodo, Makassar,2013.
American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery. Clinical
Indicators

Adenoidectomy,

Retrieved

June

13,

2014

from

https://www.entnet.org/Practice/upload/Adenoidectomy-CI_Final-May2012.pdf
Ballenger, JJ. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, ed. 13,
VolI,Binarupa aksara, Jakarta, 1994. p. 346-353
Brambilla, I., Pusateri, A., Pagela, F., et al. Adenoids in Children : Advances in
Immunology, Diagnosis, and Surgery, retrieved june 10, 2014 from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24535951
Businco, LR., Angelone, AM, Mattei, A.m et al. Pediatric Adenoidectomy :
Endoscopic Coblation Technique Compared to Cold Curretage,
retrieved

June

27,

2014

from

file:///C:/Users/Windows/Documents/hipertropi%20adenoid/Paediatric
%20adenoidectomy%20%20endoscopic%20coblation%20technique
%20compared%20to%20cold%20curettage.htm
Constantini, F., Salamanca, F., Amaina, T., Zibordi, F.

videoendoscopic

adenoidectomy wth microdebrider : Acta otorhinolaryngologyca Italica.


Retrieved

june

23,

2014

from

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2640063/
Dhingra, P. (2010). Diseases of Ear, Nose and Throat 5th Ed.(pp. 253-257)
India: Elsevier

Company
16

El-Badrawy, Amr., Aziz, Mosaad Abdel. Transoral Endoscopic Adenoidectomy,


International journal of Otolaryngology; retrieved june 22, 2014 from
http://www.hindawi.com/journals/ijoto/2009/949315/
Goman, S., Adenoidectomy, Elsevier, 2009
Ishman,SL., Smith, DF., Shott, SR. Baileys Head and Neck Surgery
Otolaryngology. 5th ed. Vol I. Lippincot Wilkins, Philadelphia, 2014. p.
2225 2226
McClay, JE., Adenoidectomy, Medscape Reference, Retrieved June 17, 2014
from http://emedicine.medscape.com/article/872216-overview#a0101
Moore KL, Anne MR. Neck in : Essential Clinical Anatomy. USA : Lippincot
Williams and Wilkins. 2002 : p. 439 445
Rusmarjono., Soepardy, EA. Faringitis, Tonsilitis dan hipertrofi Adenoid, Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, ed. 6.
Balai penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
2009. P.224 225,
Somayaji,

G.,

Rajeshwari,

A.,

Jain,

M.

Significance

of

Adenoid

Nasopharyngeal Ratio in the Assessment of Adenoid Hypertrophy in


Children, Research in Otolaryngology 2012, Retrieved June 11, 2014
from http://journal.sapub.org/otolaryn

17

Williams, K. The Effects of Enlarged Adenouds on a Developing


Malocclusion,

Retrieved

june

10,

2014

from

http://www.ortodoncia.ws/publicaciones/2010/art24.asp
Yildirim, N., Sahan, M., Karslioglu, Y. Adenoid hypetrophy in adults : Clinical
and Morphological characteristics, Jurnal of International Medical
Research,

Retrieved

June

10,2014

from

http://imr.sagepub.com/content/36/1/157

18

Anda mungkin juga menyukai