Anda di halaman 1dari 8

XIV. TERAPI E.

2 IMUNOTERAPI
Imun sistem merupakan suatu kompleks pertahanan melawan zat asing tetapi
sering gagal mengenali sel kanker. Meskipun demikian, perihal ide untuk
menstimulasi imun sistem untuk menginvasi sel kanker lebih hebat lagi sudah
sejak lama dilakukan. Imunoterapi merupakan salah satu caranya yaitu dengan
meningkatkan spesifisitas dalam melawan sel tumor dengan respon tahan lama
(disebabkan adanya memori imunologis) (Cancer Immunotherapies, 2014).

Gambar. Karakteristik terapi tradisional (biru) dan imunoterapi (hijau).


Imunoterapi menunjukkan survival kinetics yang hampir sama dibanding terapi
tradisional , namun imunoterapi memberikan keuntungan yaitu masa bertahan
hidup lebih lama pada subset patients (kurva hijau berekor panjang). Kombinasi
terapi tradisional dan imunoterapi mampu bertempur melawan initial drop dalam
kemampuan bertahan hidup sembari memberikan efek jangka panjang (kurva
merah) (Cancer Immunotherapies, 2014).

Terapi yang memodulasi imun sistem sudah dilakukan terlebih dahulu di bidang
lain misalnya kelainan autoimun. Imunoterapi untuk kanker sudah tersedia selama
puluhan tahun yaitu imunomodulator secara umum (misalnya sitokin) dan antibodi
yang ditargetkan (targeted antibody) yang dapat menghambat jalur onkogen
spesifik tetapi juga menstimulasi respon imun terhadap sel tumor target. Tentu saja
hampir semua terapi akan mengakibatkan lisisnya sel tumor yang kemudian
menstimulasi respon imun terhadap antigen spesifik tumor yang dilepaskan dan
dianggap sebagai mekanisme sekunder (Lee dan Margolin, 2011; Cancer
Immunotherapies, 2014).

Programmed Death (PD-1) Inhibitor


Salah satu kelas imunoterapi yang paling dikenal adalah Programmed Death
(PD-1) checkpoint inhibitor, atau lebih dikenal dengan anti PD-1 inhibitor.
Programmed Death merupakan satu dari beberapa checkpoint yang dipelajari
secara luas untuk pengembangan terapi (contoh lainnya CTLA-4, TIM3 dan
LAG3). Setiap checkpoint memiliki peran endogenous yang berbeda-beda,
berhubungan dengan jalur sinyal dan kadar ekspresi pada berbagai tumor. Dengan
demikian inhibisi pada tiap checkpoint dapat memberikan hasil efikasi yang
berbeda pada tiap tipe tumor. Saat ini ada 4 tipe obat PD-1 yang berkembang
secara klinis (Cancer Immunotherapies, 2014):
1.
2.
3.
4.

Nivolumab (BMY)
Lambrolizumab (MRK)
Pidilizumab (CureTech)
RG7446 (Roche)

Gambar Terapi PD-1 dengan target ligan PD-L1/L2 atau reseptor PD-1 (Cancer
Immunotherapies, 2014)

Terapi Sel Dendritik


Sel dendritik merupakan sel imun yang memediasi imunitas bawaan (innate) dan
didapat (adaptive). Secara umum mereka adalah antigen-presenting cells yang
memproses kepingan dari zat asing (antigen) dan menstimulasi sel T untuk
menginisiasi respon imun terhadap elemen-elemen spesifik.

Gambar Terapi Sel Dendritik dari DC-Vax Untuk Terapi Kanker Kepala dan Leher
sudah memasuki fase 2 (Cancer Immunotherapies, 2014).
DC-Vax dikembangkan oleh Northwest Biotherapeutics, DC-Vax ini memakai
spektrum antigen yang unik yang diambil dari lysate tumor yang sudah direseksi
dari pasien, antigen ini lebih dipilih dibandingkan sel dendritik primer dengan
antigen tunggal (misalnya buatan Provenge). Secara teoritis, hal ini punya
kelebihan dalam menargetkan beberapa antigen dan menciptakan terapi yang lebih
personal yang diharapkan akan sesuai/cocok dengan profil ekspresi tumor yang
spesifik untuk tiap pasien. Bagaimanapun teknologi ini juga mampu kekurangan
yaitu dijumpainya respon variabel yang lebih banyak, yang pada beberapa pasien
akan meningkatkan ekspresi antigen yang akan menstimulasi respon imun yang
lebih kuat (Cancer Immunotherapies, 2014).

Terapi Chimeric Antigen Reseptor T-Cell (CAR-T)


Terapi ini merupakan tambahan dari menipulasi sel dendritik, pendekatannya
adalah melalui aplikasi teknologi terapi genetik dalam modifikasi sel T itu sendiri
untuk secara langsung mengenai antigen tumor. Pendekatan adoptive cell therapy
(ACT) memodifikasi sel T untuk mengekspresikan reseptor permukaan yang
dinamakan chimeric antigen receptors (CARs) yang akan mengenali antigen pada
sel tumor. CARs ini memiliki ciri khas yaitu terdiri atas fragmen antibodi
monoklonal, disebut dengan single-chain variable fragment (scFv) yang
mengekspresikan di sisi luar membran sel T, dan berfusi dengan molekul
stimulatori intraselular. Fragmen scFV ini mampu mengenali target tumor. Selama
proses perlengketan, bagian stimulatori intraselular menginisiasi sinyal untuk
mengaktifkan sel T (Cancer Immunotherapies, 2014).

Gambar Mekanisme CARs (Cancer Immunotherapies, 2014)

Vaksin Kanker
Sebagaimana pada vaksin tradisional, vaksin kanker akan menginduksi respon
imun dengan mengeluarkan antigen spesifik pada sel tumor. Karena banyak terapi
imun secara umum dapat menstimulasi respon imun yang serupa (secara sederhana
ini disebabkan lisisnya sel), vaksin kanker ini tergolong cukup teliti dan spesifik.

Gambar Perkembangan pada vaksin kanker (Vaksin kanker kepala dan leher oleh
pabrikan ADXS-HPV dan AlloVax sudah memasuki penelitian fase 1) (Cancer
Immunotherapies, 2014).

Advaxis
Advaxis merupakan vaksin kanker berbasis bakteri Listeria yang bekerja
mengekspresikan fusi dari beberapa protein dengan sekuens LLO (Listeriolysin O)
yang menyebabkan proteolisis yang cepat dari protein yang mengalami fusi untuk
menimbulkan respon imun. Vaksin andalannya adalah ADXS-HPV untuk kanker
kepala dan leher diman vaksin ini pilihan baik untuk pasien yang tidak toleransi

terhadap terapi cisplatin atau resisten terhadap platinum (Cancer Immunotherapies,


2014).
Penelitian imunoterapi khusus untuk karsinoma nasofaring dilakukan di
Malaysia pada 2015 oleh Chai et al dimana mereka meneliti tumor antigen fourjointed box 1 (FJX1) yang overekspresi pada karsinoma nasofaring. Mereka
menginvestigasi 9-20 peptida spesifik sekuens asam amino yang cocok dengan
FJX1 membutuhkan imunisasi intramuskular untuk melatih sistem imun host
merupakan pilihan terapi untuk karsinoma nasofaring. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa peptida tersebut imunogenik dan peptida yang distimulasi sel
T mampu menginduksi aktivitas sitolitik yang spesifik terhadap peptida khususnya
terhadap sel kanker yang diekspresikan FJX1. Hal ini menandakan bahwa peptida
ini mampu menginduksi sekresi sitokin sitotoksik spesifik terhadap sel kanker
yang diekspresikan FJX1 dan berperan sebagai terapi potensial berbasis vaksin
untuk pasien karsinoma nasofaring (Chai et al, 2015).
Penelitian Li et al (2015) di China dimana mereka menginvestigasi efikasi
regimen imunoterapi cytokine-induced killer cell (CIK) dengan cisplatin (GC) pada
pasien karsinoma nasofaring dengan metastase. Dari penelitian ini didapati bahwa
terapi CIK efektif dalam meningkatkan efikasi terapi kemoterapi GC untuk
karsinoma nasofaring dengan metastase. Hasil penelitian ini memberikan dasar
untuk strategi terapi alternatif untuk metastase karsinoma nasofaring.

DAFTAR PUSTAKA
Lee, S.dan Margolin, K. 2011. Cytokines in Cancer Immunotherapy. Cancers. 3.
3856-3893.

Anderson MD. 2014. Cancer Immunotherapies.

Diunduh dari:

www.biomedtracker.com pada 7 Juni 2016.


Chai, S.J.,Yap, Y.Y., Foo, Y.V., Yap, L.F., Ponniah S., Teo, S.H., Cheong, S.C.,
Patel, V., Lim, K.P. 2015. Identification of Four-Jointed Box 1 (FJX1)-Specific
Peptides for Immunotherapy of Nasopharyngeal Carcinoma. PloS ONE. 10(11).
Li, Y., Pan, K., Liu, L., Li, Y., Gu, M., Zhang, H., Shen, W., Xia, J., dan Li, J. 2015.
Sequential Cytokine-Induced Killer Cell Immunotherapy Enhances the Efficacy of
the Gemcitabine Plus Cisplatin Chemotherapy Regimen for Metastatic
Nasopharyngeal Carcinoma. PloS ONE. 10(6).

Anda mungkin juga menyukai