Anda di halaman 1dari 14

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Macam-Macam Imunoterapi
Imunoterapi adalah pemanfaatan komponen-komponen sistem imun untuk melawan
penyakit tertentu. Komponen sistem imun akan mengalami modifikasi di dalam
laboratorium untuk meningkatkan kemampuan melawan penyakit tertentu. Komponen
respon imun yang digunakan berasal dari tubuh pasien itu sendiri, sehingga akan lebih
aman jika dibandingkan dengan komponen respon imun yang berasal dari luar. Komponen
sistem imun yang diambil kemudian dikembalikan ke tubuh pasien sebagai bahan terapi.
Imunoterapi saat ini banyak digunakan salah satunya untuk terapi penyakit kanker.
2.1.1 Imunoterapi Kanker
Imunoterapi kanker bertujuan untuk memberikan efektor antitumor (antibodi
dan sel T) kepada pasien, memberi imunisasi aktif pasien untuk melawan tumor,
dan merangsang respons antitumor pasien terseebut. Sampai sekarang, sebagian
besar pengobatan untuk kanker yang telah menyebar, dan tidak dapat disembuhkan
dengan operasi, hanya mengandalkan kemoterapi dan radiasi, padahal kedua jenis
pengobatan ini juga merusak jaringan normal nontumor dan berhubungan dengan
toksisitas yang serius. Oleh karena respons imun sangat spesifik, telah lama
diharapkan bahwa imunitas pesifik-tumor dapat digunakan untuk mengeradikasi
tumor secara spesifik tanpa mencederai pasien. Imunoterapi tetap merupakan tujuan
utama para ahli imunologi, dan berbagai cara telah dicoba pada hewan dan manusia.
Sejarah imunoterapi kanker menggambarkan bagaimana pendekatan awal dahulu,
seringkali empirik, sekarang sebagian besar telah diganti dengan strategi rasional
yang berdasarkan perkembangan pemahaman kita mengenai respons imun normal.
2.1.2 Imunoterapi Pasif
Salah satu strategi imunoterapi tumor bergantung pada berbagai jenis
imunisasi pasif, di mana efektor imun diinjeksikan kepada pasien kanker.
1. Terapi Antibodi

Gambar 2.1 Gambaran Antibodi Monoklonal dapat mengenali Epitop


Permukaan Sel Kanker

Antibodi monoklonal adalah sejenis atibodi yang mengalami modifikasi


di laboratorium sehingga dapat mengenai satu epitope pada patogen. Pembuatan
antibodi monoklonal dilakukan dengan mencampur sel limfosit B dengan sel
myeloma. Hasil dari pencampuran ini berupa sel-sel hibrida yang kemudian
dikultur di laboratorium untuk menghasilkan antibodi monoklonal.
Antibodi monoklonal dalam berbagai antigen tumor telah digunakan
untuk mengobati banyak kanker. Antibodi akan mengikat antigen tumor lalu
mengaktifkan mekanisme efektor inang, misalnya fagosit atau sistem
komplemen, yang akan menghancurkan sel tumor. Sebagai contoh, antara lain:
a. Antibodi yang spesifik untuk CD20, yang diekspresikan oleh sel B,
digunakan untuk mengobati tumor sel B, biasanya dalam kombinasi dengan
kemoterapi. Karena CD20 tidak diekspresikan oleh sel pun ca
hematopoietik, maka sel B normal akan muncul kembali setelah pengobatan
dengan antibodi tersebut dihentikan.
b. Antibodi monoklonal lainnya yang digunakan dalam terapi kanker bekerja
dengan menghambat persinyalan faktor pertumbuhan (rnisalnya
anti-Her2/Neu untuk kanker payudara dan antibodi reseptor- anti-EGF untuk
berbagai tumor) atau dengan menghambat angiogenesis (yaitu, antibodi
terhadap faktor pertumbuhan endothelial vaskular/ vascular endothelial
growth factor untuk pengobatan kanker kolon dan tumor lainnya) (Abbas,
2016).
2. Terapi Seluler Adoptif Limfosit T

Gambar 2.2 Proses CAR-T Therapy dengan anti-CD19


(Labiotech,-)
Terapi limfosit T biasa dihubungkan dengan terapi gen. Terapi ini dikenal
dengan nama CAR-T Therapy. Limfosit T dapat diisolasi dari darah atau infiltrat
tumor pasien, diperbanyak melalui kultur dengan faktor pertumbuhan dengan
tujuan untuk menghasilkan limfosit T yang dapat mengenali reseptor dalam sel
kanker. Sel sel Limfosit T kemudian disuntikkan kembali ke pasien yang sama.
Sel-sel T tersebut diduga mengandung CTL-spesifik tumor tertentu, yang dapat
mengenali tumor lalu menghancurkannya. Pendekatan m1, dinamakan
imunoterapi seluler adaptif, telah diujikan dalam pengobatan untuk beberapa
jenis kanker metastatik, tapi hasilnya bervariasi diantara pasien dan tumor yang
berbeda (Abbas, 2016).
Beberapa penelitian mengenai terapi Car T banyak dilakukan untuk
pengobatan kanker. Terapi Car T menargetkan pada CD19 yang disebut terapi
anti-CD19 Car-T. Sel T akan mengalami modifikasi di laboratorium sehingga
akan mengekspresikan molekul anti-CD19 di permukaan selnya. Molekul CD19
banyak ditemui pada sel sel limfosit saat fase awal pembentukan dan proses
maturasi. Molekul CD19 juga diekspresikan pada sel sel B kanker, yang
terdapat pada sumsum tulang dan pada organ organ limfoid sekunder (Maus and
June, 2016).
Proses rekayasa genetika yang dilakukan pada terapi CAR T dilakukan
dengan memasukkan gen Car ke dalam sel Limfosit T dengan vektor virus
kemudian dengan proses transkripsi dan translasi gen Car ini akan diekspresikan
pada permukaan sel limfosit T. Ketika sel limfosit dapat mengenali sel kanker,
maka respon imun dari sel limfosit T juga diproduksi beberapa sitokin yang
berperan dalam kematian sel terinfeksi meningkat, sehingga akan membunuh
sel kanker.
3. Reseptor Antigen Kimerik.
Dalam modifikasi terapi sel T yang lebih baru, reseptor antigen kimerik
yang mengenali antigen tumor dan digabungkan pada domain sinyal
intraseluler, secara genetik di masukkan ke sel T pasien, dan sel-sel ini
diperbanyak banyak secara ex vivo lalu ditransfer kembali ke pasien tersebut.
Terapi tersebut telah menunjukkan keberhasilan yang luar biasa pada beberapa
jenis leukemia.
4. Imunoterapi Sel Dendritik

Gambaran 2.3 Proses Imunoterapi dengan Sel Dendritik


Sumber (Commos,-)
Sel dendritik merupakan salah satu komponen sistem imun non spesifik.
Terdapat dua cara imunoterapi dengan sel dendritik. Pertama sel-sel dendritik
pasien diambil kemudian dilakukan stimulasi di laboratorium sehingga sel-sel
dendritik dapat merepresentasikan protein sel kanker pada sel limfosit T. Cara
kedua yaitu dengan memasukkan protein sel kanker (vaksinasi) ke tubuh pasien.
Vaksinasi tersebut bertujuan untuk menstimulasi sel dendritik sehingga dapat
mengenali protein sel kanker dan mempresentasikan ke sel limfosit T.
5. Imunoterai Checkpoint Inhibitor

Gambar 2.4 Protein checkpoint menghambat kemampuan sel limfosit T untuk


membunuh sel kanker(kiri), jika terdapat anti-PD-1 maka sel limfosit T kembali
dapat mengenali sel kanker dan membunuhnya(kanan).

Pada metode ini yang dilakukan penghambatan adalah protein


checkpoint. Protein ini berfungsi menghambat kemampuan sel sel imun dalam
mengenali sel kanker. Contoh protein checkpoint adalah CTLA-4, PD-1, dan
PDL-1. Protein checkpoint PD-1 dan PDL-1 contohnya dapat menghambat sel
limfosit T untuk membunuh sel kanker, sehingga untuk menghambatnya
diperlukan anti-PD-1 atau anti-PDL-1. Setelah diberikan anti-PD-1 atau anti-
PDL-1diharapkan sel-sel limfosit T dapat mematikan sel kanker.
6. Metode Virus Onkolitik

Gambar 2.5 Mekanisme terapi dengan virus onkolitik

Terapi ini menggunakan virus untuk dapat menghancurkan sel-sel kanker.


Sifat virus yang menginfeksi dimanfaatkan untuk dapat msuk ke dalam sel-sel
kanker. Hasil dari infeksi ini adalah sel kanker menjadi rusak (Onkolisis).
Mekanisme onkolisis ini diharapkan dapat terus terjadi sehingga dapat terjadi
proses penyembuhan. Proses Onkolisis juga diharapkan dapat memicu respon
imun sehingga akan banyak sel-sel kanker yang dapat di bunuh.
Terapi dengan virus onkolitik harus memperhatikan faktor keamanan
sehingga virus tidak mengninfeksi sel yang sehat dan merusaknya. Selain itu
kemampuan virus diperlukan untuk mengenali protein sel kanker.
7. Terapi Vaksin
Terapi vaksin juga diterapkan dalam imunoterapi. Pada proses vaksinasi,
protein atau DNA kanker akan dimasukkan ke dalam tubuh penderita, sehingga
dapat menstimulasi sel-sel imun untuk menyerang sel-sel kanker. Contohnya
adalah vaksin DNA, vaksin protein, vaksin sel kanker, vaksin sel dendritic, dan
vaksin isiotipe untuk membentuk antibody melawan sel sel kanker.
2.2 Vaksin Anti Kanker Serviks
2.2.1 Definisi Kanker Serviks dan Virus HPV
Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel
skuamosa yang terjadi pada serviks atau leher rahim yaitu suatu daerah pada organ
reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim. Penyakit kanker
serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks uterus, suatu daerah pada organ
reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara
rahim dengan liang senggama (Endang, 2015).
Perjalanan penyakit kanker serviks mulai terjangkitnya infeksi oleh HPV
sampai terjadinya kanker selain penyebab utama berupa virus HPV, dipengaruhi
peran dari kofaktor lain. Faktor-faktor tersebut antara lain meliputi faktor
lingkungan, host dan virus (Rasjidi, 2007).
HPV termasuk golongan pavovavirus yang merupakan virus DNA yang
dapat bersifat memicu terjadinya perubahan genetik. HPV berbentuk ikosahedral
dengan ukuran 50-55 nm, 72 kapsomer, dan 2 protein kapsid. HPV merupakan
suatu virus yang bersifat “non enveloped” yang mengandung “double stranded
DNA”. Virus ini juga bersifat epiteliotropik yang dominan menginfeksi kulit dan
selaput lendir dengan karakteristik proliferasi epitel pada tempat infeksi. Infeksi
virus HPV telah dibuktikan menjadi penyebab lesi prekanker, kondiloma
akuminata, dan kanker. Meskipun HPV menyerang wanita, virus ini juga
mempunyai peran dalam timbulnya kanker anus, vulva, vagina, penis, dan beberapa
kanker orofaring.

Gambar 2.6 Human Papilloma Virus


Virus ini menginfeksi membrana basalis pada daerah metaplasia dan zona
transformasi serviks. Setelah menginfeksi sel epitel serviks sebagai upaya untuk
berkembang biak, virus ini akan meninggalkan sekuensi genomnya pada sel inang.
Genom HPV berupa episomal (bentuk lingkaran dan tidak terintegrasi dengan DNA
inang) dijumpai pada Carcinoma Insitu (CIN) dan berintegrasi dengan DNA inang
pada kanker invasif. Pada percobaan invitro HPV terbukti mampu mengubah sel
menjadi immortal.
Kebanyakan infeksi HPV bersifat jinak. Tigapuluh diantaranya ditularkan
melalui hubungan seksual dengan masing-masing kemampuan mengubah sel epital
serviks. Tipe virus resiko tinggi biasanya menimbulkan lesi rata dan tak terlihat jika
dibandingkan dengan tipe tipe resiko rendah yang menimbulkan pertumbuhan
seperti jengger ayam pada tipe 6 dan 11 atau dikenal sebagai kondiloma akuminata.
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa lebih dari 90 % kanker serviks
disebabkan oleh HPV dan 70 % diantaranya disebabkan oleh tipe 16 dan 18, Dari
kedua tipe ini HPV 16 menyebabkan lebih dari 50 % kanker serviks. Apabila
seseorang yang sudah terkena infeksi HPV 16 memiliki kemungkinan terkena
kanker serviks sebesar 5 %. Kanker serviks yang di sebabkan HPV umumnya
berjenis keganasan sel gepeng.
Tempat infeksi pertama adalah pada sel basal atau sel basal dari epitel
gepeng yang belum matur. Infeksi HPV yang terjadi pada sel basal tersebut dibagi
menjadi 2 jenis yaitu:
1. Infeksi Virus laten, yakni infeksi virus yang tidak menghasilkan virus yang
infeksius. Pada saat ini yang terjadi adalah virus tidak berhasil melekat pada
permukaan sel tetapi gagal melakukan perkembangbiakan dan tidak terjadi
pematangan dari partikel – partikel virus. Pada fase ini kelainan struktur sel
tidak ditemukan dan HPV hanya bias dideteksi dengan metode biomolekuler.
2. Fase produktif, yakni terjadinya pembentukan DNA virus dan membentuk
DNA yang infeksiosus yang disebut virion. Pembentukan DNA virus ini
terjadi di sel intermediet dan permukaan epitel sel gepeng. Virion kemudian
menjadi banyak jumlahnya dan membentuk efek merusak sel yang bias
dideteksi dengan cara sitologi dan histopatologi.
2.2.2 Vaksinasi HPV
Vaksin HPV atau vaksin untuk kanker serviks adalah vaksin yang
dikembangkan untuk melindungi terhadap tipe Human Papilloma Virus (HPV)
tertentu. Vaksinasi HPV merupakan salah satu upaya pencegahan primer untuk
melindungi wanita dari kanker serviks. Vaksin tersebut dikeluarkan oleh U.S. Food
and drugs Administration (FDA) pada Tahun 2006. Vaksin ini sudah dinyatakan
aman dan efektif untuk wanita berusia 9-26 tahun yang belum menikah atau belum
aktif secara seksual. Pada hasil penelitian yang telah dilakukan vaksin HPV akan
mencegah sekitar 75% kanker serviks secara keseluruhan dan 100% dari kanker
serviks, kutil di daerah kelamin, dan perubahan prakanker dari leher rahim (Wijaya,
2010)
Vaksinasi dilakukan dengan memasukkan serum antibodi ke dalam tubuh.
Pada vaksin kanker serviks, yang dimasukan adalah bagian dari virus HPV yaitu
kulit/cangkang yang telah dipurifikasi dan dilarutkan dalam cairan tertentu sehingga
bisa merangsang tubuh untuk memproduksi antibodi/zat kekebalan tubuh terhadap
HPV. Tingginya tingkat serum antibodi ini berkolerasi dengan tingkat paparan
(daerah) yang terinfeksi sehingga membuat antibodi bekerja menetralisir virus dan
mencegah masuknya virus ke dalam sel.
Hasil maksimal dari vaksin ini akan diperoleh pada wanita yang belum
melakukan hubungan seksual sehingga lebih baik diberikan pada remaja karena
remaja putri muda (usia 10 tahun) cenderung belum melakukan melakukan
hubungan seksual atau belum melakukan hubungan seksual secara aktif. Remaja
putri diharapkan memiliki pengetahuan yang baik tentang vaksinasi HPV sehingga
mampu bersikap protektif terhadap paparan kanker serviks melalui vaksinasi HPV.
Pemberian Vaksinasi HPV dapat dilakukan dalam waktu dan cara pemberian
secara intramuscular di lengan atas pertengahan mulculus deltoideus dengan dosis
0,5 ml. Interval waktu penyuntikan vaksin pada siswi SD dilakukan sebanyak 2 kali
penyuntikan yaitu bulan ke-0 dan bulan ke-12 (interval vaksinasi pertama dan
kedua dalam 1 tahun). Efek samping vaksinasi HPV yaitu paling sering dikeluhkan
adalah nyeri, bengkak serta kemerahan di tempat penyuntikan dan kadang disertai
demam.

2.2.3 Jenis Vaksin


Terdapat dua jenis vaksin HPV yang diproduksi yaitu vaksin HPV Bivalen
dan Ambivalen. Vaksin tersebut ditunjukan terutama terhadap HPV tipe 16 dan 18
yang selama ini merupakan penyebab terbesar terjadinya kanker serviks. Vaksin
Ambivalen memberikan sistem proteksi pada tubuh dari ancaman virus HPV tipe 6,
11, 16 dan 18. Salah satu jenis vaksin HPV ambivalen adalah Gardasil yang sangat
efektif untuk mencegah penyakit rahim dan kelamin terkait virus HPV.
Vaksin HPV sebaiknya diberikan sebelum kontak seksual pertama kali
atau sebelum wanita terpapar HPV. Vaksin HPV bermanfaat untuk mencegah
penyakit pada wanita yang belum terinfeksi oleh virus HPV. Meskipun demikian
wanita yang aktif secara seksual juga dapat melakukan vaksinasi HPV, tetapi
dengan keuntungan yang lebih sedikit dibandingkan dengan wanita yang belum
aktif secara seksual (Carter, 2007).

2.3 Sistem Imun pada Pasien Covid 19


Corona virus atau Virus corona adalah virus yang termasuk kelompok virus
ribonukleat acid (RNA) yang menjangkit mamalia dan burung. Virus ini dapat menginfeksi
manusia sehingga yang terinfeksi virus akan terjangkit penyakit mulai dari penyakit ringan
seperti batuk kering, deman dan lain-lain. Jika bertambah parah, infeksi covid-19 dapat
berkembang menjadi gagal napas yang terkait dengan kerusakan alveolar difus dan sindrom
gangguan pernapasan akut (Moderbacher dkk., 2020).
Media infeksi Covid-19 adalah melalui cairan mulut, mata, dan hidung (droplet).
Pada saat infeksi, masa inkubasi rata-rata adalah sekitar 4–5 hari sebelum timbulnya gejala,
dengan 97,5% dari pasien bergejala mengalami peningkatan gejala dalam 11 hari. Pada saat
masuk rumah sakit, pasien covid-19 biasanya menunjukkan demam dan batuk kering,
kesulitan bernapas, nyeri otot dan atau sendi, sakit kepala, diare, mual dan batuk darah.
Dalam 5–6 hari setelah timbulnya gejala, virus Covid-19 mencapai puncaknya secara
signifikan, di mana virus mencapai puncaknya sekitar 10 hari setelah gejala. Dan lebih
parahnya sekitar 8–9 hari setelah timbul gejala, covid-19 dapat berkembang menjadi
sindrom gangguan pernapasan akut.(Tay dkk., 2020).
Tubuh manusia memiliki sistem kekebalan untuk melawan benda asing (patogen)
yang masuk ke dalam tubuh, disebut imunitas tubuh. Imunitas tubuh adalah pertahanan
tubuh manusia dalam menghalau patogen seperti bakteri, virus, dan patogen lainnya. Pada
pasien Covid-19 imunitas tubuh akan mengirimkan sinyal bahaya atas masuknya sel asing
ke dalam tubuh. Gejala demam atau tidak enak badan yang dirasakan umumnya adalah
respons imunitas tubuh atas infeksi. Seringkali, demam adalah sebuah kondisi lingkungan
tidak ideal yang diciptakan tubuh untuk menghentikan serangan virus. Reaksi perlawanan
sistem imun tubuh ini terjadi karena pelepasan kimia sitokin, sejenis protein yang
dihasilkan sistem kekebalan tubuh, untuk melakukan berbagai fungsi dan penanda sinyal
sel. Jika Covid-19 membuat batuk kering dan sulit memproduksi dahak, sitokin akan
berusaha memproduksi lendir dalam bentuk batuk berdahak atau ingus. Dengan terpicunya
produksi lendir dari saluran pernapasan, penderita akan merasa lebih lega dan pernapasan
berangsur-angsur menjadi lancar. Lendir atau dahak yang keluar akan berisi sel paru-paru
yang mati karena Covid-19.
Penderita Covid-19 dengan gejala batuk dan demam akibat virus bisa diatasi dengan
banyak beristirahat, konsumsi air putih dan pereda panas (paracetamol), tanpa harus
mendapatkan perawatan di rumah sakit. Umumnya, penderita akan bisa perlahan pulih
dalam kurun sekitar 7 hari. Dengan demikian, sistem imun tubuh berhasil menang dari
serangan virus dalam tubuh.
Pada beberapa kasus penderita Covid-19, terutama lansia atau pasien yang dengan
masalah kesehatan lainnya, sistem imun tubuh bisa menciptakan apa yang dinamakan
dengan badai sitokin. Sindrom badai sitokin terjadi ketika protein sitokin keluar dalam
jumlah berlebihan. Akibatnya, terjadi kapasitas tinggi sitokin yang turut membunuh sel
sehat dan membuat kondisi paru-paru menjadi padat dan kaku. Saat inilah, pasien akan
merasa sangat sesak napas, mengalami radang paru-paru (pneumonia) dan akhirnya
mengalami gagal pernapasan yang berujung kematian.
Kunci untuk mempertahankan imunitas yang efektif adalah dengan menghindari
kekurangan gizi yang berperan penting dalam fungsi imunitas tubuh (Naja dan Hamadeh,
2020). Ketika terinfeksi penyakit, zat gizi akan banyak dibutuhkan imunitas tubuh untuk
melawan patogen sehingga zat gizi dalam tubuh akan berkurang (Wintergerst dkk., 2007).
Dan oleh karena itu pada penderita Covid 19 kebutuhan zat gizi harus terpenuhi setiap
harinya. Selain itu pada pasien COVID-19, suplemen vitamin C telah terbukti menurunkan
peningkatan sitokin proinflamasi, dan pada saat yang sama, merangsang produksi sitokin
anti inflamasi seperti interleukin (Scudiero dkk., 2021).
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S. (2016). Imunologi Dasar Abbas. Singapore: Elsevier.
Carter, B., Erlich, L. (2007). Adherence kesehatan lain. Jakarta: EGC.
Chunseng Kang. (2011). Gene Therapy. Development and Future Perspectives. In Tech.
Gondo, H.K. (2011). Vaksin Human Papiloma Virus (Hpv) Untuk Pencegahan Kanker Serviks
Uteri. Jurnal Ilmiah Kedokteran, 11, 30-44.
Li, D et al. (2019). Genetically Engineered T Cell for Cancer Immunotherapy. Signal Transduct
Target, 4(35).
Li, J. et al. (2018). Chimeric Antigen Receptor T Cell (CAR T) Immunotherapy for Solids
Tumor. Journal of Hematology and Oncology, 11(22).
Maus, M.V. dan C.H. June. (2016). Making better Chimeric Antigen Receptors for Adoptive T.
Cell Therapy. ClinCancer Res, 22(8), 1875-1884.
Moderbacher, C. R., Ramirez, S. I., Dan, J. M., Smith, D. M., Sette, A., & Crotty, S. (2020).
AntigenSpecific Adaptive Immunity to SARS-CoV-2 in Acute COVID-19 and Associations
with Age and Disease Severity. Cell, 183(4), 996- 1012.e19.
Naja, F., & Hamadeh, R. (2020). Nutrition amid the COVID-19 pandemic: a multi-level
framework for action. European Journal of Clinical Nutrition, 74(8), 1117–1121.
Purwoastuti, Endang dan Walyani. (2015). Perilaku dan Soft Skills Kesehatan. Yogyakarta :
Pustaka Baru Press
Rasjidi, Imam. (2007). Kemoterapi Kanker Ginekologi Dalam Praktek Sehari hari. Jakarta:CV.
Sagungseto.
Scudiero, O., Lombardo, B., Brancaccio, M., Mennitti, C., Cesaro, A., Fimiani, F., Gentile, L.,
Moscarella, E., Amodio, F., Ranieri, A., Gragnano, F., Laneri, S., Mazzaccara, C., Di
Micco, P., Caiazza, M., D’alicandro, G., Limongelli, G., Calabrò, P., Pero, R., & Frisso, G.
(2021). Exercise, immune system, nutrition, respiratory and cardiovascular diseases during
COVID-19: A complex combination. International Journal of Environmental Research and
Public Health, 18(3), 1–20.
Tay, M. Z., Poh, C. M., Rénia, L., MacAry, P. A., & Ng, L. F. P. (2020). The trinity of COVID-
19: immunity, inflammation and intervention. Nature Reviews Immunology, 20(6), 363–
374.
Wijaya, D. (2010). Pembunuh Ganas Itu Bernama Kanker Serviks. Yogyakarta : Sinar Kejora.
Wintergerst, E. S., Maggini, S., & Hornig, D. H. (2007). Contribution of selected vitamins and
trace elements to immune function. Annals of Nutrition and Metabolism, 51(4), 301–323.

Anda mungkin juga menyukai