Anda di halaman 1dari 35

1

BAB I
PENDAHULUAN

Pengetahuan dalam terapi kanker semakin berkembang pesat sejalan dengan


perkembangan ilmu serta dukungan teknologi yang semakin canggih. Keilmuan dan
temuan-temuan biomolekuler semakin memberi kontribusi yang bermakna khususnya
dalam mengetahui dengan lebih jelas mengenai proses terjadinya kanker. Terapi yang
sudah ada atau yang akan dikembangkan sangat dipengaruhi oleh hal ini (National
Cancer Institute, 2014; Carter, 2011).
Salah satu modalitas terapi yang sedang berkembang yang berkaitan dengan hal
tersebut adalah Targeted Cancer Therapies (TCT) atau terapi kanker yang tertarget
khusus pada peristiwa spesifik yang terjadi pada proses timbulnya kanker. Selama ini,
kemoterapi tradisional atau konvensional sulit membedakan sel sehat dan kanker dan
bekerja menyerang setiap sel yang membelah, namun berbeda dengan TCT, TCT
dikatakan mampu secara spesifik memilih tempat kerjanya dalam proses tumorigenesis.
TCT secara spesifik disebutkan dapat digunakan untuk menghambat sinyal
pertumbuhan sel, menghambat angiogenesis sel kanker, memicu apoptosis hingga
menstimulasi sistem imun untuk bekerja menyerang sel kanker. TCT umumnya berupa
small-compound molecules atau monoclonal antibody (antibodi monoklonal) (National
Cancer Institute, 2014).
Antibodi monoklonal telah berkembang menjadi salah satu modalitas terapi
yang digunakan pada pelbagai macam penyakit pada manusia, termasuk kanker sejak
pertama kali diperkenalkan sekitar 25 tahun yang lalu. Dalam terapi kanker, walaupun

belum sepenuhnya dianggap sebagai jawaban dalam menyembuhkan kanker, antibodi


monoklonal telah mengalami banyak inovasi dan perbaikan efikasi dalam posisinya
sebagai modalitas terapi berbasis antibodi dan TCT pada kanker (Carter, 2011).
Rekayasa genetika terhadap antibodi terus berlangsung dalam upaya
memaksimalkan potensinya dalam terapi kanker. Teknologi untuk mengkondisikan
antibodi monoklonal agar sesuai dan dapat diterapkan pada manusia (chimeric,
humanizing) telah banyak berperan dalam meningkatkan efikasinya dalam terapi kanker
sampai saat ini. Beberapa macam obat berbasis antibodi monoklonal telah
diperkenalkan antara lain Rituximab untuk Limfoma sel B dan Trastuzumab untuk
kanker payudara. Salah satu jenis antibodi monoklonal lainnya yang dianggap
berpotensi dalam terapi kanker akhir-akhir ini adalah Nimotuzumab (Carter, 2011;
Achiwa et al, 2002).
Nimotuzumab adalah salah satu jenis terapi farmaka golongan antibodi
monoklonal yang bekerja dengan menghambat salah satu komponen yang berperan
dalam proses timbulnya kanker. Nimotuzumab bekerja dengan menghambat EGFR
(Epidermal Growth Factor Receptor). Kemampuan sel tumor untuk berkembang terusmenerus dipengaruhi oleh berbagai proses, salah satunya adalah kerja dari growth
factors yang tidak terkendali. Akibat dari proses ini adalah terjadinya proliferasi dari sel
tumor yang tidak terbatas, induksi angiogenesis dan berujung dengan terjadinya
metastasis. Nimotuzumab bekerja dengan menghambat EGFR yang selanjutnya akan
mengganggu rangkaian proses transmisi sinyal ke dalam sel. Nimotuzumab mengenali
reseptor EGFR, memblok ikatan EGF dan TGF-, sehingga jalur signaling tidak aktif

dan terjadi perubahan pada siklus sel tumor yakni regresi tumor (Boland et al, 2009;
Ramakhrisnan et al, 2009; Strumberg et al, 2006).
Selanjutnya referat ini akan membahas Nimotuzumab secara lebih detail
mengenai susunan kimia, farmakokinetik, farmakokinetik, indikasi serta hal-hal yang
berkaitan lainnya khususnya mengenai peranan obat ini serta efikasinya terhadap kasus
tertentu.

BAB II
NIMOTUZUMAB

2.1 Targeted Cancer Therapies (TCT)


Targeted Cancer Therapies (TCT) adalah obat atau substansi yang menghambat
pertumbuhan dan perkembangan kanker dengan mengintervensi molekul-molekul
spesifik (molekul target) yang berperan dalam proses tersebut. Berbeda dengan
kemoterapi standar, TCT bersifat lebih spesifik dan memiliki target yang jelas.
Perbedaan antara kemoterapi standard an TCT antara lain (National Institute of Cancer,
2014):
a.

Kemoterapi standar/konvensional menyerang setiap sel yang membelah

termasuk sel sehat, sedangkan TCT terfokus pada target molekul tertentu yang
berhubungan dengan sel kanker.
b.
Kemoterapi standar lebih bertujuan untuk membunuh sel, sedangkan
TCT dirancang khusus untuk berinteraksi dengan target tertentu yang berperan dalam
tahapan terjadinya kanker.

c.

Kemoterapi pada umumnya bersifat sitotoksik yang bersifat membunuh

sel sedangkan TCT kadang hanya bersifat sitostatik yang menghambat proliferasi sel
menjadi sel kanker.
Untuk mengetahui molekul target yang akan dijadikan sasaran, maka umumnya
dilakukan pemeriksaan terhadap sel kanker yang diperoleh. Dari sel kanker ini akan
dianalisis komposisinya terutama protein-protein yang terkandung di dalamnya. Temuan
dari hasil analisis ini akan dibandingkan dengan komposisi sel normal. Abnormalitas
atau ketidaksesuaian yang ada dapat memberi petunjuk tentang letak atau proses
abnormal yang terjadi pada sel kanker tersebut (National Institute of Cancer, 2014).
Beberapa macam TCT telah dikembangkan dalam terapi kanker. Terapi-terapi ini
meliputi terapi hormon, signal transduction inhibitors, gene expression modulator,
apoptosis inducer, angiogenesis inhibitors, immunotherapies dan toxin-delivery
molecules. Secara ringkas akan dijelaskan sebagai berikut (National Institute of Cancer,
2014):
a.

Terapi hormon.

Terapi hormone menghentikan atau memperlambat tumor-tumor yang besifat


tergantung pada hormon. Tumor yang dimaksud adalah tumor-tumor yang kecepatan
tumbuhnya sangat diperngaruhi oleh konsentrasi hormon tertentu. Contohnya pada
kanker prostat atau payudara.
b.

Signal transduction inhibitors.

Kerja dari TCT tipe ini adalah dengan menghambat proses transduksi sinyal
yang dibutuhkan oleh sel untuk berkembang menjadi sel kanker. Dengan menghambat
sinyal ini, diharapkan lanjutan proses yang berakhir menjadi sel kanker dapat dicegah.

c.

Gene expression modulators.

Tujuan dari TCT jenis ini adalah untuk memodifikasi fungsi protein yang
berperan dalam mengatur ekspresi gen.
d.

Apoptosis Inducers.

Membuat sel untuk melalui proses kematian sel yang terprogram atau apoptosis.
Pada keadaan normal, saat sel menjadi rusak atau sudah tidak diperlukan, sel akan
mengalami apoptosis. Sedangkan pada sel kanker, proses ini terlewati sehingga
proliferasi sel kanker menjadi tidak terkendali.
e.

Angiogenesis Inhibitor

Menghambat proses angiogenesis sel kanker. Proses angiogenesis sangat


diperlukan oleh sel kanker untuk tumbuh dan berkembang. Dengan memutus rantai ini,
diharapkan sel kanker tidak mendapat pasokan darah dan nutrisi yang cukup untuk
tumbuh dan berkembang hingga selanjutnya mati.

f.

Immunotherapies

Imunoterapi ditujukan untuk merangsang sistem imun untuk lebih agresif dalam
melawan sel kanker.
g.

Toxic-delivery Molecules

Molekul ini bekerja dengan berikatan secara spesifik dengan sel kanker,
kemudian melepaskan materi toxic yang diperlukan untuk menghancurkan sel kanker
tersebut. Umumnya materi yang dilepaskan bersifat radioaktif atau bahan kimia
beracun.

Untuk dapat memenuhi cara kerja berdasarkan pembagian jenis TCT tersebut
umumnya digunakan agen berupa small-compound molecules atau monoclonal antibody
(antibodi monoklonal) (National Cancer Institute, 2014).

2.2 Antibodi Monoklonal


Agen yang digunakan dalam TCT adalah molekul kecil atau antibodi
monoklonal. Molekul kecil umumnya digunakan untuk target yang berada di dalam sel
yang memungkinkan molekul kecil ini dapat masuk dengan mudah tanpa halangan oleh
karena ukurannya yang kecil. Sementara, antibodi monoklonal relatif lebih besar dari
segi ukuran. Oleh karenanya, umumnya digunakan untuk target yang ada di luar sel,
seperti di membrane atau dinding sel (National Cancer Institute, 2014).
Antibodi monoklonal dibuat dengan menginjeksi binatang (umumnya
digunakan tikus) dengan protein target yang telah dimurnikan. Dengan proses ini
diharapkan binatang yang diinjeksi akan secara alamiah membentuk antibodi terhadap
protein sel kanker yang diinjeksikan. Seringkali binatang yang diinjeksikan protein ini
akan membuat beberapa macam antibodi. Antibodi-antibodi yang dibentuk ini akan
dianalisis kembali untuk mencari antibodi mana yang memiliki ikatan baik dengan
target tanpa harus berikatan dengan yang bukan target terapi (National Cancer Institute,
2014).
Sebelum digunakan untuk manusia, antibodi yang sudah diseleksi
selanjutnya masih harus melalui proses humanizing yaitu proses mengganti molekul
antibodi binatang sebanyak mungkin dengan porsi khusus dari protein manusia yang
memiliki korespondensi dengan antibodi tersebut. Proses ini sangat penting agar tubuh

manusia yang menerima tidak menganggap antibodi ini adalah sebuah benda asing yang
harus dilawan dengan sistem imun yang ada (National Cancer Institute, 2014).
2.3 Karsinogenesis
Karsinogenesis atau runutan peristiwa dalam terbentuknya sel kanker tidak
terjadi dengan mudah begitu saja. Secara alamiah, sel normal memiliki tahapan-tahapan
penting dalam menjaga kelangsungan hidupnya termasuk apabila terjadi gangguan yang
dianggap akan mengganggu siklus hidup sel itu sendiri. Proses-proses yang terlibat di
dalamnya antara lain usaha sel dalam memperbaiki diri jika terjadi ancaman kerusakan.
Dalam karsinogenesis, proses-proses pemeliharaan siklus hidup sel yang normal
terganggu. Terganggunya siklus hidup sel yang normal ini tentu tidak hanya pada satu
titik saja. Sel sehat sendiri memiliki beberapa mekanisme pertahanan diri yang harus
dirusak untuk akhirnya bisa menjadi sel kanker (Copola, 2010; Hanahan et al, 2000).
Secara fisiologis, siklus hidup sel terdiri dari dua proses yang berkelanjutan,
ditandai dengan replikasi DNA dan pemisahan kromosom yang bereplikasi menjadi dua
sel yang terpisah. Dua tahapan yang dimaksud adalah tahapan mitosis (M) adalah proses
terbaginya inti dan interfase yaitu fase jeda diantara dua fase mitosis. Tahap mitosis
dibagi atas profase, metaphase, anaphase dan telofase. Tahap interfase terdiri dari G1, S
dan G2. Replikasi DNA terjadi pada fase sintesis (S). Fase S didahului oleh suatu fase
jeda yang disebut G1, masa ipada fase ini sel mempersiapkan dirinya untuk melakukan
sintesis DNA dan diikuti dengan fase jeda yang disebut G2, yaitu sel siap untuk mitosis.
Sel pada G1, akan melalui proses istirahat yang disebut G0. Hal ini adalah sebelum sel
memutuskan untuk merepllikasi DNA. Sel pada G0 berada pada keadaan tidak tumbuh
atau sel tidak berproliferasi. Pada tahapan ini sel dapat melalui 3 jenis kondisi yaitu

quiescence atau tidak terdapatnya sinyal mitosis, senescence dan apoptosis jika
diperlukan, atau melakukan diferensiasi. Pada tahapan-tahapan sering ditemukan atau
terjadi proses yang mengakibatkan proliferasi ganas atau berkembang menjadi kanker
(Enders, 2010; Hanahan et al, 2000).

Gambar 1. Siklus hidup sel (Enders, 2010)


Hingga saat ini, setidaknya disimpulkan ada enam tahapan gangguan yang
terjadi pada fisiologi sel normal sebelum akhirnya terbentuk sel kanker. Enam tahapan
ini diperkirakan cukup untuk mendikte pertumbuhan sel normal menjadi sel kanker.
Adapun keenam tahapan ini meliputi (Copola, 2010; Hanahan et al, 2000):

1.

Self-Sufficiency in growth signals.

Pada tahapan ini, sel yang akan berproliferasi membutuhkan sinyal tumbuh dari
faktor pertumbuhan (growth factors). Umumnya sinyal tumbuh ini sangat diatur oleh
keadaan lingkungan sel itu sendiri. Sel sangat tergantung terhadap sinyal ini untuk
tumbuh. Pada keadaan normal, sel tidak dapat menentukan sendiri sinyal tumbuh ini,
sedangkan pada sel kanker, sinyal tumbuh ini diproduksi sendiri oleh sel kanker
tersebut. Sel ini tidak lagi membutuhkan sinyal tumbuh dari lingkungannya karena telah
mempunyai sinyal tumbuh sendiri yang beragam. Hal ini akhirnya berakibat pada
pertumbuhan sel yang tidak terkendali.
2.

Insensitivity to anti-growth signals.

Sel normal secara fisiologis akan berusaha untuk menghentikan proses sinyal
tumbuh yang berlebihan. Mekanisme ini berupa sinyal yang menghambat sinyal tumbuh
yang ada. Dalam keadaan normal, hal ini akan membuat sel kembali ke siklus
fisiologisnya dan terhambatnya sinyal tumbuh berlebihan yang tidak diperlukan. Pada
sel kanker, hal ini tidak terjadi. Sel kanker memiliki mekanisme yang mampu
menghambat proses ini. Selanjutnya, sinyal tumbuh yang sudah diproduksi sendiri oleh
sel kanker secara berlebihan tidak mendapat hambatan yang berarti dan berlanjut
dengan proliferasi sel yang tidak terbatas.
3.

Evasion of apoptosis

Saat sel mengalami kerusakan atau cedera, seringkali sel akan memprogram
dirinya sendiri untuk melalui proses bunuh diri yang dilakukan dalam upaya untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut atau mencegah terjadinya proliferasi sel yang tidak
diinginkan. Pada proses terbentuknya sel kanker, hal ini terlewati. Terlewatinya proses

10

ini akan membuat sel tidak mampu lagi menghambat proliferasi sel cedera atau rusak
yang seharusnya tidak terjadi.

4.

Limitless replicative potential

Kemampuan sel kanker untuk dapat bereplikasi tanpa batas dengan tidak
menghiraukan sinyal tumbuh, atau sinyal anti-tumbuh atau proses lainnya.
5.

Sustained angiogenesis

Peranan faktor tumbuh yang bertanggung jawab terhadap terbentuknya sirkulasi


pendarahan sel diambil alih oleh sel kanker. Sel kanker akan selalu mempunyai suplai
nutrisi dari pendarahan yang dimiliki sendiri.
6.

Tissue invasion and metastasis

Tahap ini menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok antara sel normal dan
sel kanker. Sel kanker akan menginvasi sel normal lainnya untuk bereplikasi dan
berproliferasi lebih jauh lagi.
Masing-masing dari tahapan ini merupakan penanda keberhasilan sel kanker
dalam menghadang mekanisme antikanker dari sel normal (Hanahan et al, 2000).

11

Gambar 2. Hallmarks of cancer. Menunjukkan tahapan dalam proses


terbentuknya kanker (Hanahan et al 2000).
Secara khusus dalam tahapan tersebut yaitu mengenai peranan dari growth
factors (GF) atau faktor tumbuh. GF sangat diperlukan dalam proses proliferasi sel
termasuk sel kanker. GF akan berikatan dengan reseptor yang selanjutnya meneruskan
sinyal tumbuh yang dibawa GF ke dalam sel. Sinyal inilah yang selanjutnya akan diolah
dan dipergunakan oleh sel sebagai informasi untuk rencana proliferasi sel selanjutnya.
Untuk menyeimbangkan kondisi sel, selain GF, juga terdapat anti-growth factors yang
berfungsi menghentikan sinyal tumbuh yang berlebihan (Hanahan et al, 2000)

12

Gambar 3. Peran GF dalam sirkuit terintergrasi dari sel (Hanahan et al, 2000)

13

Dalam meneruskan sinyal tumbuh yang dibawa oleh GF, disini peran penting
dari reseptor GF sangat diperlukan. Reseptor ini ada bermacam-macam, salah satunya
adalah EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor). Reseptor ini berfungsi mengatur
sinyal tumbuh yang masuk ke sel. EGFR tidak bekerja sendiri, namun melibatkan
pelbagai mekanisme lain yang kompleks (Hanahan et al, 2000)

Gambar 4. Peranan GF reseptor dalam Signal transduction (Hanahan et al,


2000)

2.4 Aspek Kimia Nimotuzumab


Nimotuzumab termasuk dalam golongan humanized monoclonal antibody.
Nimotuzumab adalah antibody monoklonal rekombinan terhadap reseptor EGF, dibuat

14

dan diproduksi di Centre for Molecular Immunologi di Havana, Kuba dengan ukuran
151.000 Dalton (Boland, 2009; Frappaz, 2008).
Susunan kimia dari nimotuzumab (WHO, 2005):

C6566H10082N1746O2056S40
Nimotuzumab termasuk immunoglobulin G1 (isotop G1). Dikembangkan secara
genetik dari grafting antibodi monoklonal murine ke kerangka manusia dengan model
komputerisasi. Nimotuzumab mempunyai kemampuan yg sama dalam menghambat
ikatan EGFR seperti antibodi asli. Nimotuzumab diketahui memblok dimerisasi
reseptor, fosforilasi tirosin kinase, dan transduksi sinyal (WHO, 2005).
Nimotuzumab mengenali EGFR manusia, memblok ikatan EGFR pada ligand
dan menghambat proliferasi sel dan sinyal pro-apoptotik. Ikatan nimotuzumab
bergantung pada densitas EGFR, dimana nimotuzumab hanya berikatan pada keadaan
dimana densitas EGFR tinggi, dan cara kerja nimotuzumab pada EGFR dengan
intensitas tinggi mirip dengan cetuximab dan panituxumab, tetapi pada obat cetuximab
dan panitumumab berikatan tidak selektif (Boland, 2009; Frappaz, 2008).
2.5 Farmakodinamik
2.5.1 Mekanisme dan Sasaran kerja (Targeting therapy)
EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor) merupakan glikoprotein yang
mengikat EGF (dan ligand lain) pada domain ekstraselular. Menyebabkan dimerisasi
reseptor yang berlanjut dengan aktivasi tirosin kinase. Hal ini akan mempengaruhi

15

perilaku sel, ikut serta dalam tumorigenesis sehingga terjadi proliferasi berlebihan,
angiogenesis hingga metastasis (Massimino et al, 2011; Hilger et al, 2008).
.

Gambar 5. EGFR sebagai protein transmembran (Huang , 2000).


Ekspresi berlebihan dari EGFR dikatakan sebagai sebuah prognosis
buruk. Beberapa penelitian menghimpun ekspresi dari EGFR pada beberapa penyakit
dan akibat yang diduga ditimbulkannya. Dari penelitian-penelitian tersebut, diduga
ekspresi dari EGFR yang berlebihan atau tinggi mengakibatkan penurunan respon terapi
dan peningkatan resistensi terhadap kemoterapi. Selain itu, ditemukan bahwa ekspresi
EGFR yang tinggi dapat meningkatkan sifat invasif dari sel tumor, mengubah regulasi
siklus sel, meningkatkan proliferasi, memblok apoptosis, meningkatkan motilitas dan
adhesi, serta Meningkatkan angiogenesis (Enders, 2010; Copola, 2010, Hanahan et ali,
2000).

16

Gambar 6. EGFR dalam tumorigenesis (Jakobovits et al, 2007)


Beberapa jenis kanker secara signifikan menunjukkan ekspresi
EGFR yang tinggi. Penelitian menemukan bahwa kisaran ekspresi (dalam %) EGFR
berdasarkan jenis kanker adalah sebagai berikut (Harvian, 2013):

17

NSCLC 40-80%
Prostat 40-80%
Glioma 40-50%
Gastrik 33-74%
Payudara 14-91%
kolorektal 25-77%
Pankreas 30-50%
Ovarium 35-70%
Head/Neck 90 %

Tabel 1. Ekspresi EGFR terhadap Prognosis (Harvian, 2013)


Terapi dengan sasaran target EGFR dimaksudkan untuk menghambat
proses transmisi sinyal yang dimediasi oleh EGFR. Beberapa obat golongan antibodi
monoklonal

diperkenalkan

dengan

fungsi

menghambat

proses

ini

dengan

mengintervensi bagian ekstraseluler dari EGFR. Jalur lain yang sering dipergunakan
adalah dengan menghambat kerja tyrosine kinase dari dalam sel (Harvian, 2013).

18

Gambar 7. Mekanisme terapi anti-EGFR (Harvian, 2013)

Gambar 8. Anti-EGFR (Zhonka et al, 2010)


Nimotuzumab mengenali reseptor EGFR, memblok ikatan EGF dan TGF-,
sehingga jalur signaling tidak aktif dan terjadi perubahan pada sirklus sel tumor yakni

19

regresi tumor. Nimotuzumab mengenali EGFR pada sejumlah jaringan epitel tumor,
mampu menghambat proliferasi sel, dan bekerja sebagai sitostatik agen. Ketika
digabungkan dengan radioterapi, nimotuzumab menghambat pertumbuhan sel tumor,
menghambat angiogenesis, menurunkan indek proliferasi tumor, meningkatkan jumlah
sel yang mengalami apoptosis, serta menurunkan aktivitas fosforilasi EGFR.
Nimotuzumab mampu berdifusi ke jaringan tumor karena peningkatan permeabilitas
pembuluh darah kecil pada sel tumor yang ganas dan terdapat ikatan terhadap target
spesifik yang dinamakan region ekstraseluler EGFR (Boland, 2009).
Nimotuzumab memiliki afinitas ikatan intermediate yaitu tinggi di jaringan
tumor, rendah di jaringan sehat. Nimotuzumab berikatan secara bivalen (tidak berikatan
monovalen pada jaringan rendah EGFR / jaringan sehat). Nimotuzumab hanya bekerja
pada sel yang menunjukkan ekpresi EGFR yang tinggi, sehingga nimotuzumab mampu
berikatan pada tumor dengan ekskpresi EGFR berlebih namun tidak berikatan dengan
jaringan normal yang ekspresi EGFR lebih rendah, sehingga toksisitas pun dapat
dihindari. Berbeda halnya pada obat cetuximab dan panitumumab, dimana obat tersebut
berikatan pada jaringan tumor dan jaringan normal, sehingga sering menimbulkan efek
samping meskipun respon terapi mirip dengan nimotuzumab (Donaldson, 2006;
Frappaz, 2008).

20

Gambar 9. Mekanisme kerja Nimotuzumab (Massimino et al, 2011)


2.5.2 Indikasi
Berdasarkan penelitian uji klinis, nimotuzumab diindikasikan terutama untuk
kasus-kasus squamos cell carcinoma kepala dan leher termasuk kanker nasofaring.
Nimotuzumab juga menunjukkan hasil yang baik pada uji klinis terhadap kasus glioma
untuk dewasa maupun pediatri (Rojo et al, 2010; Boland, 2009; Frappaz, 2008). Berikut
dibahas secara ringkas tentang penggunaan pada glioma dan squamos cell carcinoma.

21

a. Glioma
Glioma khususnya high grade glioma (HGG) adalah salah satu tumor primer
yang sering terjadi di susunan saraf pusat pada orang dewasa. Walaupun dengan
berkembangnya berbagai teknologi dalam segi radioterapi dan kemoterapi, sampai saat
ini HGG masih sulit disembuhkan dan umumnya memiliki prognosis yang buruk. HGG
biasanya ditangani dengan operasi kemudian dilanjutkan dengan radioterapi dan
kemoterapi. Penelitian Randomized Controlled Trial dengan melibatkan 70 pasien
dengan HGG yang diterapi dengan radioterapi dan nimotuzumab atau placebo
menunjukkan hasil bahwa dalam rentang 5 tahun (2005-2010), pasien yang menerima
radiasi dan nimotuzumab menunjukkan survival yang lebih baik. Kelompok yang
mendapat nimotuzumab menunjukkan survival hingga rentang 30-40 bulan jika
dibandingkan dengan kontrol yang berkisar 18-21 bulan. Efek samping yang timbul
selama terapi lebih diduga terjadi karena perjalanan penyakit dari HGG sendiri dan
bukan nimotuzumab (Solomon et al, 2013).

22

Gambar 10. Survival rate dengan nimotuzumab (Solomon et al, 2013)


EGFR diekspresikan dengan sangat kuat pada HGG. Hal ini mendukung dugaan
bahwa gangguan pada EGFR merupakan gangguan yang paling sering ditemui pada
HGG. EGFR dikatakan berperan penting dalam Gliomagenesis. Ekspresi dari EGFR
yang berlebihan ditemukan pada fenotip HGG yang paling malignan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa EGFR bertindak sebagai kontributor primer dalam inisiasi dan
progresifitas dari HGG. Selain itu, nimotuzumab juga telah dievaluasi dalam setting non
klinis terhapad sel glioma U87MG dan menunjukkan hasil bahwa administrasi antibodi

23

ini dengan radioterapi akan meningkatkan tingkat radiosenstivitas yang berujung


dengan terhambatnya kecepatan tumbuh dari sel glioma, termasuk mengurangi
angiogenesis serta jumlah sel yang radioresisten (Solomon et al, 2013)
Nimotuzumab pada HGG tidak menunjukkan toksisitas yang signifikan.
Nimotuzumab dilaporkan dapat ditoleransi dengan baik bahkan hingga melebihi dosis
yang dianjurkan. Penelitian klinis yang memberikan terapi dengan dosis kumulatif
hingga 3300 mg dan pemberian berulang sebanyak 16 dosis tidak menunjukkan gejala
toksisitas yang berarti. Dosis yang disarankan tidak melebihi 1200 mg (Solomon et al,
2013; Bolland, 2009).
b. Squamos Cell Carcinoma of the Head and Neck.
Penggunaan Nimotuzumab pada Squamos Cell Carcinoma of the Head and
Neck (SCCHN) sudah mulai digunakan dalam menambah modalitas terapi selain dengan
kemoradioterapi yang umum dikerjakan (Rojo et al, 2010; Boland, 2009; Frappaz,
2008).
Penelitian dilakukan terhadap 10 pasien dengan SCCHN yang tidak mendukung
untuk dilakukan kemoradioterapi diberikan injeksi nimotuzumab selama 8 kali dengan
periode masing-masing selama seminggu. Nimotuzumab pertama diberikan tidak
bersamaan dengan radioterapi sedangkan dosis selanjutnya diberikan bersamaan dengan
pemberian radioterapi. Selanjutnya dinilai peranan nimotuzumab dalam fosforilasi
EGFR. Dari hasil didapatkan nimotuzumab ditoleransi dengan baik oleh 9 dari 10
pasien. Pemeriksaan farmakodinamik menunjukkan kerja nimotuzumab dalam
menghambat fosforilasi EGFR baik pada tumor maupun kulit. Tidak didapatkan adanya
infiltrasi limfosit, folikulitis, atau perifolikulitis. Temuan ini mengkonfirmasi

24

kemampuan dari nimotuzumab dalam menurunkan fosforilasi EGFR. Efek hanya


ditemukan pada tumor namun tidak pada kulit. Hal ini semakin mendukung bahwa
sampai saat ini tidak ditemukan pasien yang mengalami ganguan kulit (skin rash)
selama mendapat terapi nimotuzumab (Rojo et al, 2010).
Penelitian klinis skala besar di seluruh dunia dengan melibatkan lebih dari 4000
pasien, telah menunjukkan efektifitas nimotuzumab dalam tatalaksana pasien dengan
tumor epithelial dengan hasil toksisitas rendah dan tidak memicu timbulnya skin rash
baik dengan penggunaan bersama radioterapi atau tidak (Rojo et al, 2010;
Ramakhrisnan, 2009).
2.6 Farmakokinetik
2.6.1 Absorbsi, Distribusi, Metabolisme dan Eliminasi
Kemampuan nimotuzumab dalam melewati sawar darah otak diteliti pada tikus
di Berlin, Jerman dan menemukan bahwa absorbsi oleh sel tumor bersifat timedependent increase yang menunjukkan bahwa uptake justru meningkat seiring waktu.
Hal ini berbeda pada organ lain yang justru menunjukkan time-dependent decrease
yang berarti sebaliknya. Nimotuzumab mampu berdifusi ke dalam jaringan tumor
karena peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah kecil yang melayani tumor
tersebut. Setelah diabsorbsi, nimotuzumab secara spesifik akan berikatan dengan bagian
ekstraseluler dari EGFR (Boland, 2009).
Beberapa penelitian dilakukan untuk menilai Area Under Curve (AUC),
elimination half life (t1/2) dan Cmax. Secara tidak langsung juga diteliti mengenai
kadar serum nimotuzumab dan fenomena akumulasinya. Pada penelitian yang
melibatkan 25 penderita kanker pancreas, dan 30 pasien dengan high grade glioma,

25

dilakukan administarasi nimotuzumab. Dilakukan penilaian terhadap sampel darah pada


saat 30-60 menit setelah administrasi nimotuzumab, setelah 3, 6 dan 48 jam, dilanjutkan
dengan 168 jam setelah awal pemberian (total 0-168 jam). Kadar nimotuzumab
diperiksa dengan ELISA dan hasil dinilai dengan program khusus untuk menghitung
farmakokinetik obat. Sampel darah yang diambil dari 6 pasien yang sebelumnya telah
diberikan kombinasi antara 400 mg nimotuzumab dengan 1000 mg gemcitabine/m2
dibandingkan dengan farmakokinetik grup yang diberikan terapi monoterapi (25 pasien
dengan masing-masing dosis 200, 400, 600 dan 800 mg). Untuk dosis 200 mg
didapatkan rerata Cmax 132 54 g/ml (mean SEM), t didapatkan 87 8 jam, dan
volume distribusi 2.0 0.3l, untuk total clearance didapatkan 16 1 ml/jam. Untuk
nilai setelah 168 jam administrasi didapatkan sebesar 27.9 12 g/ml (n = 28). Nilai ini
meningkat dengan dosis yang semakin besar (800 mg) Oleh karena itu, terminal half
life meningkat secara signifikan menjadi 124 14 h (rentangan: 90 -- 174 jam, n = 5),
sementara total clearance dan volume distribusi berkurang (Massimino et al, 2011;
Hilger et al, 2008).
Parameter farmakokinetik dari grup pada umur lebih muda/anak-anak
(dosis 50 mg/m2) menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan orang dewasa
yang diberikan dosis tetap 200 mg. Mengenai perbedaan AUC antara monoterapi
dibandingkan dengan kombinasi (dengan gemcitabine) didapatkan hasil 46.845
17.350 g/ml jam untuk monoterapi dibandingkan dengan 41.214 23904 g/ml jam
dalam kombinasi dengan gemcitabine. Sementara t didapatkan 95 44 dibandingkan
dengan 98 52 jam. Total clearance didapatkan 10 4 jam dibandingkan dengan 14
9 ml/h dianggap tidak signifikan. Hal ini menyokong bahwa tidak ada interaksi

26

farmakokinetik diantara nimotuzumab dan gemcitabine (Massimino et al, 2011; Hilger


et al, 2008).
Berdasarkan penelitian-penelitian lainnya, secara garis besar disebutkan
bahwa sampai saat ini nimotuzumab diadministrasikan hanya melalui injeksi intravena,
dan half life sangat ditentukan oleh dosis pemberian. Dosis 50-100mg dikatakan
mencapai 2 sampai 3 hari sedangkan dosis lebih besar yaitu 200-400 mg dikatakan
mencapai 10-14 hari. Namun rata-rata half life dari nimotuzumab dikatakan berkisar
antara 60-300 jam (tabel 2) (Martinez, 2014).
Biodistribusi dari nimotuzumab diteliti dengan menggunakan mTc99,
didapatkan lebih banyak didistribusikan di daerah liver. Organ lain yang menjadi area
distribusi meliputi limpa, ginjal, jantung dan kandung kencing, namun dalam
konsentrasi yang lebih sedikit. Metabolisme dari nomtuzumab diduga lebih banyak
terjadi di liver (Martinez, 2014)

Tabel 2. Farmakokinetik Nimotuzumab (Martinez, 2014)

27

Gambar 11. Biodistribusi dari Nimotuzumab (Martinez, 2014)


2.7 Sediaan, Dosis dan Cara Pemberian
Nimotuzumab di Indonesia beredar dengan merk dagang TheraCIM. Sediaan
TheraCIM mengandung > 95% IgG monomer dan dimer. Sediaan berupa vial 13,5 mL
(50 mg nimotuzumab dengan konsentrasi 5 mg/mL) cairan jernih (Harvian, 2013).
Gambar 12. Sediaan vial TheraCIM (Harvian, 2013)

28

Nimotuzumab dapat diberikan selama 30 sampai 60 menit sekali seminggu


dengan infus intravena. Untuk orang dewasa dengan dosis 200-400 mg dan 150 mg/m2
pada anak-anak. Untuk anak-anak sebaiknya diberikan setelah anak tersebut berusia
lebih dari 3 tahun. Secara lebih detail dan berdasarkan jenis penyakitnya, dosis yang
dianjurkan 200 atau 400 mg sekali seminggu selama 6-8 minggu. Selama periode
tersebut pasien tetap mendapat radioterapi standar. Untuk kanker Nasofaring dan head
and neck diberikan 200 mg/minggu sebanyak 8 siklus. Pada Glioma dewasa dosis yang
dianjurkan 200 mg 6 siklus dengan dosis maintenance 3 minggu sekali selama 6 bulan.
Sementara untuk Glioma pediatrik diberikan dengan dosis 150 mg/m2/minggu sebanyak
8 siklus maintenance 3 minggu sekali (harvian, 2013; Lam, 2009).
Cara pemberian berdasarkan manufactures instruction meliputi (Harvian, 2013):
1.
Vial jangan dikocok denaturasi protein dan mempengaruhi efek terapi
2.
Disimpan pada suhu 2-8 C.
3.
Nilai kejernihan / perubahan warna sediaan (warna jernih)
4.
Buka tutup vial dan bersihkan dengan antiseptik, kemudian ambil dengan
spuit
5.
6.

Larutkan dalam 250 mL NaCl 0,9%


Berikan secara infus iv cepat (30-60 menit)

2.8 Efek Samping dan Kontraindikasi


Hingga saat ini belum ada penelitian yang melaporkan mengenai efek samping
serius dari nimotuzumab. Penelitian penggunaan nimotuzumab pada glioma
menunjukkan bahwa efek samping yang timbul selama penelitian adalah berkaitan
dengan progresifitas dari glioma sndiri, sehingga secara konsolidasi tidak dikatakan
sebagai efek samping terapi. Hingga saat ini, tidak ada kontraindikasi pada penggunaan
nimotuzumab (Harvian, 2013).

29

Sumber lainnya menyebutkan dari penelitian klinis skala besar dengan


desain observasional, prospektif dan multisenter dengan melibatkan 577 pasien dengan
tumor epitel, didapatkan paling tidak satu kali terjadi efek samping selama periode
terapi. Sama dengan penelitian lainnya, efek samping yang terjadi masih dikategorikan
ringan. Namun demikian, belum terbukti hubungan temporal antara pemberian antibodi
dengan munculnya efek samping pada pasien-pasien tersebut. Tidak ditemukan gejala
efek samping berat seperti thrombosis vena, anafilaksis ataupun sindrom tumos lisis
(Martinez, 2014)

Tabel 3. Efek samping penggunaan nimotuzumab (Martinez, 2014)

2.9 Peringatan dan Perhatian


Beberapa peringatan dan perhatian selama penggunaan dari nimotuzumab
meliputi (Harvian, 2013):

Pasien yang pernah diterapi mAb murine

Hipersensitif terhadap mAb murine / komponen produk

Pasien penyakit kronis dekompensasi (misal,gangguan jantung, DM)

30

Kehamilan dan menyusui tidak dianjurkan menggunakan obat ini

2.10 Overdosis
Berdasarkan dari laporan penelitian dan penggunaan dari nimotuzumab serta
laporan dari produsen sediaan, dikatakan hingga saat ini efek overdosis belum
diketahui. Penelitian belum banyak melaporkan efek yang ditimbulkan dalam keadaan
overdosis. Penelitian yang spesifik melaporkan tentang overdosis dari terapi
nimotuzumab belum ada yang dilaporkan. Dari beberapa laporan penelitian, hanya
menyertakan bahwa dosis terbesar yang sampai saat ini digunakan dalam uji klinis
adalah sebesar 800 mg (Martinez, 2014; Harvian, 2013)

BAB III
SIMPULAN
Antibodi monoklonal telah berkembang menjadi salah satu modalitas terapi
yang digunakan pada pelbagai macam penyakit pada manusia, termasuk kanker sejak
pertama kali diperkenalkan sekitar 25 tahun yang lalu. Nimotuzumab adalah salah satu
jenis terapi farmaka golongan antibodi monoklonal yang bekerja dengan menghambat
salah satu komponen yang berperan dalam proses timbulnya kanker. Nimotuzumab
bekerja

dengan

menghambat

EGFR

(Epidermal

Growth

Factor

Receptor).

31

Nimotuzumab bekerja dengan menghambat EGFR yang selanjutnya akan mengganggu


rangkaian proses transmisi sinyal ke dalam sel. Nimotuzumab mengenali reseptor
EGFR, memblok ikatan EGF dan TGF-, sehingga jalur signaling tidak aktif dan terjadi
perubahan pada siklus sel tumor yakni regresi tumor
Nimotuzumab memiliki afinitas ikatan intermediate yaitu tinggi di jaringan
tumor, rendah di jaringan sehat. Nimotuzumab berikatan secara bivalen (tidak berikatan
monovalen pada jaringan rendah EGFR / jaringan sehat). Nimotuzumab hanya bekerja
pada selang menunjukkan ekpresi EGFR yang tinggi, sehingga nimotuzumab mampu
berikatan pada tumor dengan ekskpresi EGFR berlebih namun tidak berikatan dengan
jaringan normal yang ekspresi EGFR lebih rendah, sehingga toksisitas pun dapat
dihindari.
Berdasarkan penelitian uji klinis, nimotuzumab diindikasikan terutama untuk
kasus-kasus squamos cell carcinoma kepala dan leher termasuk kanker nasofaring.
Nimotuzumab juga menunjukkan hasil yang baik pada uji klinis terhadap kasus glioma
untuk dewasa maupun pediatrik.
Nimotuzumab dapat diberikan selama 30 sampai 60 menit sekali seminggu
dengan infus intravena. Untuk orang dewasa dengan dosis 200-400 mg dan 150 mg
pada anak-anak. Untuk anak-anak sebaiknya diberikan setelah anak tersebut berusia
lebih dari 3 tahun. Secara lebih detail dan berdasarkan jenis penyakitnya, dosis yang
dianjurkan 200 atau 400 mg sekali seminggu selama 6-8 minggu. Selama periode
tersebut pasien tetap mendapat radioterapi standar. Untuk kanker Nasofaring dan head
and neck diberikan 200 mg/minggu sebanyak 8 siklus. Pada Glioma dewasa dosis yang
dianjurkan 200 mg 6 siklus dengan dosis maintenance 3 minggu sekali selama 6 bulan.

32

Sementara untuk Glioma pediatrik diberikan dengan dosis 150 mg/m2/minggu sebanyak
8 siklus maintenance 3 minggu sekali
Hingga saat ini belum ada penelitian yang melaporkan mengenai efek samping
serius dari nimotuzumab. Penelitian yang spesifik melaporkan tentang overdosis dari
terapi nimotuzumab belum ada yang dilaporkan. Dari beberapa laporan penelitian,
hanya menyertakan bahwa dosis terbesar yang sampai saat ini digunakan dalam uji
klinis adalah sebesar 800 mg

DAFTAR PUSTAKA

33

Achiwa H, Sato S, Ueda R . 2002. Monoclonal antibody for cancer treatment.


Gan to Kagaku Ryoho. Cancer & Chemotherapy, 29(4):495-501.
Boland WK, Bebb G. 2009. Nimotuzumab: a novel anti-EGFR monoclonal
antibody that retains anti-EGFR activity while minimizing skin toxicity. Expert Opin
Bio Ther; 9:1199-206
Carter, Paul. 2001. Improving the efficacy of antibody-based cancer therapies.
Nature Reviews. Nature Reviews Cancer 1, 118-129
Copola, Domenico. 2010. Mechanism of Oncogenesis. An Update on
Tumorigenesis. Springer Dordrecht Heidelberg London New York
Donaldson SS, Laningham F, Fisher PG. Advances toward an understanding of
brainstem gliomas. J Clin Oncol 2006;24:1266-72
Enders, Greg. 2010. Cell Cycle Deregulation in Cancer. Springer New York
Dordrecht Heidelberg London
Frappaz D, Schell M, Thiesse P, et al. 2008. Preradiation chemotherapy may
improve survival in pediatric diffuse intrinsic brainstem gliomas: final results of BSG
98 prospective trial. Neuro Oncol;10:599-607
Hanahan, Douglas., Robert A. Weinberg. 2000. The Hallmarks of Cancer.Cell,
Vol. 100, 5770, January 7. Cell Press
Harvian, Satya. 2013. The humanized anti-monoclonal antibody: Nimotuzumab
(hR3). TheraCIM. Kalbe medical department.
Hilger, Ralf., Ferdinand Bach., Dirk Strumberg, Gudrun Fleischhack. 2008.
Pharmacokinetic study of the humanized anti-EGF-receptor monoclonal antibody

34

nimotuzumab in infant and adult patients. 99th AACR Annual Meeting-- Apr 12-16,
2008; San Diego, CA
Huang SM, Harari PM. 2000. Modulation of molecular targets to enhance
radiation. Clin Cancer Res 6:323-325.
Jakobovits, Aya., Amado, Rafael G, Yang, Xiaodong., Lorin, Roskos., Gisela
Schwab. 2007. XenoMouse technology to panitumumab, the first fully human antibody
product from transgenic mice. Nature Biotechnology 25, 1134 1143.2007 Published
online: 5 October 2007
Lam C, Bouffet E, Bartels U. Nimotuzumab in pediatric glioma. Future Oncol
2009;5:1349-61
Louis DN, Ohgaki H, Wiestler OD, et al. 2007. The 2007 WHO classification of
tumours of the central nervous system. Acta Neuropathol.;114:97109
Martnez, Giselle Saurez., Anamary Bencomo-Yanes. 2014.

Nimotuzumab,

effective immunotherapy for the treatment of malignant epithelial tumors. Biotecnologa


Aplicada 2014;31:159-167

Massimino, Maura, Udo Bode, Veronica Biassoni. 2011. Nimotuzumab for


pediatric diffuse intrinsic pontine gliomas. Expert Opin Bio Ther
National institute of cancer 2014. Targeted Cancer Therapies. Available at:
http://www.cancer.gov/cancertopics/factsheet/Therapy/targeted
Ramakrishnan, Melarkode S., Anand Eswaraiah, Tania Crombet, Patricia Piedra,
Giselle Saurez, Harish Lyer, A.S. Arvind. 2009. Nimotuzumab, a promising therapeutic
monoclonal for treatment of tumors of epithelial origin. Landes Bioscience.

35

Rojo, Federico., Elas Gracias, Nadia Villena, et al. 2010. Foundation study:
Squamous Cell Carcinoma of the Head and Neck: A SENDO Pharmacodynamic Clin
Cancer Res 2010;16:2474-2482. American Association of Cancer Research.
Shonka, Nicole A., Gilbert Mark R. 2010. Molecularly Targeted Therapy for
Malignant Brain Tumors. Department of Neuro-Oncology, the University of Texas
Solomn, Maria Teresa., Julio Csar Selva. 2013. Radiotherapy plus
nimotuzumab or placebo in the treatment of high grade glioma patients: results from a
randomized, double blind trial. Available at: http://www.biomedcentral.com/14712407/13/299

Strumberg, D., M. E. Scheulen, R. A. Hilger, J. Krauss, N. Marschner, F.


Lordick, F. Bach, D. Reuter, L. Edler K. Mross. 2006. Safety, efficacy and
pharmacokinetics of Nimotuzumab, a humanized monoclonal anti-epidermal growth
factor receptor (EGFR) antibody, as monotherapy in patients with locally advanced or
metastatic pancreatic cancer (PC). Journal of Clinical Oncolog. ASCO Annual Meeting
Proceedings (Post-Meeting Edition). Vol 24, No 18S (June 20 Supplement): 12504
WHO Drug Information, Vol. 19, No. 4, 2005 Proposed INN: List 94 315.
International Nonproprietary Names for Pharmaceutical Substances (INN)

Anda mungkin juga menyukai