BAB I
PENDAHULUAN
dan terjadi perubahan pada siklus sel tumor yakni regresi tumor (Boland et al, 2009;
Ramakhrisnan et al, 2009; Strumberg et al, 2006).
Selanjutnya referat ini akan membahas Nimotuzumab secara lebih detail
mengenai susunan kimia, farmakokinetik, farmakokinetik, indikasi serta hal-hal yang
berkaitan lainnya khususnya mengenai peranan obat ini serta efikasinya terhadap kasus
tertentu.
BAB II
NIMOTUZUMAB
termasuk sel sehat, sedangkan TCT terfokus pada target molekul tertentu yang
berhubungan dengan sel kanker.
b.
Kemoterapi standar lebih bertujuan untuk membunuh sel, sedangkan
TCT dirancang khusus untuk berinteraksi dengan target tertentu yang berperan dalam
tahapan terjadinya kanker.
c.
sel sedangkan TCT kadang hanya bersifat sitostatik yang menghambat proliferasi sel
menjadi sel kanker.
Untuk mengetahui molekul target yang akan dijadikan sasaran, maka umumnya
dilakukan pemeriksaan terhadap sel kanker yang diperoleh. Dari sel kanker ini akan
dianalisis komposisinya terutama protein-protein yang terkandung di dalamnya. Temuan
dari hasil analisis ini akan dibandingkan dengan komposisi sel normal. Abnormalitas
atau ketidaksesuaian yang ada dapat memberi petunjuk tentang letak atau proses
abnormal yang terjadi pada sel kanker tersebut (National Institute of Cancer, 2014).
Beberapa macam TCT telah dikembangkan dalam terapi kanker. Terapi-terapi ini
meliputi terapi hormon, signal transduction inhibitors, gene expression modulator,
apoptosis inducer, angiogenesis inhibitors, immunotherapies dan toxin-delivery
molecules. Secara ringkas akan dijelaskan sebagai berikut (National Institute of Cancer,
2014):
a.
Terapi hormon.
Kerja dari TCT tipe ini adalah dengan menghambat proses transduksi sinyal
yang dibutuhkan oleh sel untuk berkembang menjadi sel kanker. Dengan menghambat
sinyal ini, diharapkan lanjutan proses yang berakhir menjadi sel kanker dapat dicegah.
c.
Tujuan dari TCT jenis ini adalah untuk memodifikasi fungsi protein yang
berperan dalam mengatur ekspresi gen.
d.
Apoptosis Inducers.
Membuat sel untuk melalui proses kematian sel yang terprogram atau apoptosis.
Pada keadaan normal, saat sel menjadi rusak atau sudah tidak diperlukan, sel akan
mengalami apoptosis. Sedangkan pada sel kanker, proses ini terlewati sehingga
proliferasi sel kanker menjadi tidak terkendali.
e.
Angiogenesis Inhibitor
f.
Immunotherapies
Imunoterapi ditujukan untuk merangsang sistem imun untuk lebih agresif dalam
melawan sel kanker.
g.
Toxic-delivery Molecules
Molekul ini bekerja dengan berikatan secara spesifik dengan sel kanker,
kemudian melepaskan materi toxic yang diperlukan untuk menghancurkan sel kanker
tersebut. Umumnya materi yang dilepaskan bersifat radioaktif atau bahan kimia
beracun.
Untuk dapat memenuhi cara kerja berdasarkan pembagian jenis TCT tersebut
umumnya digunakan agen berupa small-compound molecules atau monoclonal antibody
(antibodi monoklonal) (National Cancer Institute, 2014).
manusia yang menerima tidak menganggap antibodi ini adalah sebuah benda asing yang
harus dilawan dengan sistem imun yang ada (National Cancer Institute, 2014).
2.3 Karsinogenesis
Karsinogenesis atau runutan peristiwa dalam terbentuknya sel kanker tidak
terjadi dengan mudah begitu saja. Secara alamiah, sel normal memiliki tahapan-tahapan
penting dalam menjaga kelangsungan hidupnya termasuk apabila terjadi gangguan yang
dianggap akan mengganggu siklus hidup sel itu sendiri. Proses-proses yang terlibat di
dalamnya antara lain usaha sel dalam memperbaiki diri jika terjadi ancaman kerusakan.
Dalam karsinogenesis, proses-proses pemeliharaan siklus hidup sel yang normal
terganggu. Terganggunya siklus hidup sel yang normal ini tentu tidak hanya pada satu
titik saja. Sel sehat sendiri memiliki beberapa mekanisme pertahanan diri yang harus
dirusak untuk akhirnya bisa menjadi sel kanker (Copola, 2010; Hanahan et al, 2000).
Secara fisiologis, siklus hidup sel terdiri dari dua proses yang berkelanjutan,
ditandai dengan replikasi DNA dan pemisahan kromosom yang bereplikasi menjadi dua
sel yang terpisah. Dua tahapan yang dimaksud adalah tahapan mitosis (M) adalah proses
terbaginya inti dan interfase yaitu fase jeda diantara dua fase mitosis. Tahap mitosis
dibagi atas profase, metaphase, anaphase dan telofase. Tahap interfase terdiri dari G1, S
dan G2. Replikasi DNA terjadi pada fase sintesis (S). Fase S didahului oleh suatu fase
jeda yang disebut G1, masa ipada fase ini sel mempersiapkan dirinya untuk melakukan
sintesis DNA dan diikuti dengan fase jeda yang disebut G2, yaitu sel siap untuk mitosis.
Sel pada G1, akan melalui proses istirahat yang disebut G0. Hal ini adalah sebelum sel
memutuskan untuk merepllikasi DNA. Sel pada G0 berada pada keadaan tidak tumbuh
atau sel tidak berproliferasi. Pada tahapan ini sel dapat melalui 3 jenis kondisi yaitu
quiescence atau tidak terdapatnya sinyal mitosis, senescence dan apoptosis jika
diperlukan, atau melakukan diferensiasi. Pada tahapan-tahapan sering ditemukan atau
terjadi proses yang mengakibatkan proliferasi ganas atau berkembang menjadi kanker
(Enders, 2010; Hanahan et al, 2000).
1.
Pada tahapan ini, sel yang akan berproliferasi membutuhkan sinyal tumbuh dari
faktor pertumbuhan (growth factors). Umumnya sinyal tumbuh ini sangat diatur oleh
keadaan lingkungan sel itu sendiri. Sel sangat tergantung terhadap sinyal ini untuk
tumbuh. Pada keadaan normal, sel tidak dapat menentukan sendiri sinyal tumbuh ini,
sedangkan pada sel kanker, sinyal tumbuh ini diproduksi sendiri oleh sel kanker
tersebut. Sel ini tidak lagi membutuhkan sinyal tumbuh dari lingkungannya karena telah
mempunyai sinyal tumbuh sendiri yang beragam. Hal ini akhirnya berakibat pada
pertumbuhan sel yang tidak terkendali.
2.
Sel normal secara fisiologis akan berusaha untuk menghentikan proses sinyal
tumbuh yang berlebihan. Mekanisme ini berupa sinyal yang menghambat sinyal tumbuh
yang ada. Dalam keadaan normal, hal ini akan membuat sel kembali ke siklus
fisiologisnya dan terhambatnya sinyal tumbuh berlebihan yang tidak diperlukan. Pada
sel kanker, hal ini tidak terjadi. Sel kanker memiliki mekanisme yang mampu
menghambat proses ini. Selanjutnya, sinyal tumbuh yang sudah diproduksi sendiri oleh
sel kanker secara berlebihan tidak mendapat hambatan yang berarti dan berlanjut
dengan proliferasi sel yang tidak terbatas.
3.
Evasion of apoptosis
Saat sel mengalami kerusakan atau cedera, seringkali sel akan memprogram
dirinya sendiri untuk melalui proses bunuh diri yang dilakukan dalam upaya untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut atau mencegah terjadinya proliferasi sel yang tidak
diinginkan. Pada proses terbentuknya sel kanker, hal ini terlewati. Terlewatinya proses
10
ini akan membuat sel tidak mampu lagi menghambat proliferasi sel cedera atau rusak
yang seharusnya tidak terjadi.
4.
Kemampuan sel kanker untuk dapat bereplikasi tanpa batas dengan tidak
menghiraukan sinyal tumbuh, atau sinyal anti-tumbuh atau proses lainnya.
5.
Sustained angiogenesis
Tahap ini menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok antara sel normal dan
sel kanker. Sel kanker akan menginvasi sel normal lainnya untuk bereplikasi dan
berproliferasi lebih jauh lagi.
Masing-masing dari tahapan ini merupakan penanda keberhasilan sel kanker
dalam menghadang mekanisme antikanker dari sel normal (Hanahan et al, 2000).
11
12
Gambar 3. Peran GF dalam sirkuit terintergrasi dari sel (Hanahan et al, 2000)
13
Dalam meneruskan sinyal tumbuh yang dibawa oleh GF, disini peran penting
dari reseptor GF sangat diperlukan. Reseptor ini ada bermacam-macam, salah satunya
adalah EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor). Reseptor ini berfungsi mengatur
sinyal tumbuh yang masuk ke sel. EGFR tidak bekerja sendiri, namun melibatkan
pelbagai mekanisme lain yang kompleks (Hanahan et al, 2000)
14
dan diproduksi di Centre for Molecular Immunologi di Havana, Kuba dengan ukuran
151.000 Dalton (Boland, 2009; Frappaz, 2008).
Susunan kimia dari nimotuzumab (WHO, 2005):
C6566H10082N1746O2056S40
Nimotuzumab termasuk immunoglobulin G1 (isotop G1). Dikembangkan secara
genetik dari grafting antibodi monoklonal murine ke kerangka manusia dengan model
komputerisasi. Nimotuzumab mempunyai kemampuan yg sama dalam menghambat
ikatan EGFR seperti antibodi asli. Nimotuzumab diketahui memblok dimerisasi
reseptor, fosforilasi tirosin kinase, dan transduksi sinyal (WHO, 2005).
Nimotuzumab mengenali EGFR manusia, memblok ikatan EGFR pada ligand
dan menghambat proliferasi sel dan sinyal pro-apoptotik. Ikatan nimotuzumab
bergantung pada densitas EGFR, dimana nimotuzumab hanya berikatan pada keadaan
dimana densitas EGFR tinggi, dan cara kerja nimotuzumab pada EGFR dengan
intensitas tinggi mirip dengan cetuximab dan panituxumab, tetapi pada obat cetuximab
dan panitumumab berikatan tidak selektif (Boland, 2009; Frappaz, 2008).
2.5 Farmakodinamik
2.5.1 Mekanisme dan Sasaran kerja (Targeting therapy)
EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor) merupakan glikoprotein yang
mengikat EGF (dan ligand lain) pada domain ekstraselular. Menyebabkan dimerisasi
reseptor yang berlanjut dengan aktivasi tirosin kinase. Hal ini akan mempengaruhi
15
perilaku sel, ikut serta dalam tumorigenesis sehingga terjadi proliferasi berlebihan,
angiogenesis hingga metastasis (Massimino et al, 2011; Hilger et al, 2008).
.
16
17
NSCLC 40-80%
Prostat 40-80%
Glioma 40-50%
Gastrik 33-74%
Payudara 14-91%
kolorektal 25-77%
Pankreas 30-50%
Ovarium 35-70%
Head/Neck 90 %
diperkenalkan
dengan
fungsi
menghambat
proses
ini
dengan
mengintervensi bagian ekstraseluler dari EGFR. Jalur lain yang sering dipergunakan
adalah dengan menghambat kerja tyrosine kinase dari dalam sel (Harvian, 2013).
18
19
regresi tumor. Nimotuzumab mengenali EGFR pada sejumlah jaringan epitel tumor,
mampu menghambat proliferasi sel, dan bekerja sebagai sitostatik agen. Ketika
digabungkan dengan radioterapi, nimotuzumab menghambat pertumbuhan sel tumor,
menghambat angiogenesis, menurunkan indek proliferasi tumor, meningkatkan jumlah
sel yang mengalami apoptosis, serta menurunkan aktivitas fosforilasi EGFR.
Nimotuzumab mampu berdifusi ke jaringan tumor karena peningkatan permeabilitas
pembuluh darah kecil pada sel tumor yang ganas dan terdapat ikatan terhadap target
spesifik yang dinamakan region ekstraseluler EGFR (Boland, 2009).
Nimotuzumab memiliki afinitas ikatan intermediate yaitu tinggi di jaringan
tumor, rendah di jaringan sehat. Nimotuzumab berikatan secara bivalen (tidak berikatan
monovalen pada jaringan rendah EGFR / jaringan sehat). Nimotuzumab hanya bekerja
pada sel yang menunjukkan ekpresi EGFR yang tinggi, sehingga nimotuzumab mampu
berikatan pada tumor dengan ekskpresi EGFR berlebih namun tidak berikatan dengan
jaringan normal yang ekspresi EGFR lebih rendah, sehingga toksisitas pun dapat
dihindari. Berbeda halnya pada obat cetuximab dan panitumumab, dimana obat tersebut
berikatan pada jaringan tumor dan jaringan normal, sehingga sering menimbulkan efek
samping meskipun respon terapi mirip dengan nimotuzumab (Donaldson, 2006;
Frappaz, 2008).
20
21
a. Glioma
Glioma khususnya high grade glioma (HGG) adalah salah satu tumor primer
yang sering terjadi di susunan saraf pusat pada orang dewasa. Walaupun dengan
berkembangnya berbagai teknologi dalam segi radioterapi dan kemoterapi, sampai saat
ini HGG masih sulit disembuhkan dan umumnya memiliki prognosis yang buruk. HGG
biasanya ditangani dengan operasi kemudian dilanjutkan dengan radioterapi dan
kemoterapi. Penelitian Randomized Controlled Trial dengan melibatkan 70 pasien
dengan HGG yang diterapi dengan radioterapi dan nimotuzumab atau placebo
menunjukkan hasil bahwa dalam rentang 5 tahun (2005-2010), pasien yang menerima
radiasi dan nimotuzumab menunjukkan survival yang lebih baik. Kelompok yang
mendapat nimotuzumab menunjukkan survival hingga rentang 30-40 bulan jika
dibandingkan dengan kontrol yang berkisar 18-21 bulan. Efek samping yang timbul
selama terapi lebih diduga terjadi karena perjalanan penyakit dari HGG sendiri dan
bukan nimotuzumab (Solomon et al, 2013).
22
23
24
25
26
27
28
29
30
2.10 Overdosis
Berdasarkan dari laporan penelitian dan penggunaan dari nimotuzumab serta
laporan dari produsen sediaan, dikatakan hingga saat ini efek overdosis belum
diketahui. Penelitian belum banyak melaporkan efek yang ditimbulkan dalam keadaan
overdosis. Penelitian yang spesifik melaporkan tentang overdosis dari terapi
nimotuzumab belum ada yang dilaporkan. Dari beberapa laporan penelitian, hanya
menyertakan bahwa dosis terbesar yang sampai saat ini digunakan dalam uji klinis
adalah sebesar 800 mg (Martinez, 2014; Harvian, 2013)
BAB III
SIMPULAN
Antibodi monoklonal telah berkembang menjadi salah satu modalitas terapi
yang digunakan pada pelbagai macam penyakit pada manusia, termasuk kanker sejak
pertama kali diperkenalkan sekitar 25 tahun yang lalu. Nimotuzumab adalah salah satu
jenis terapi farmaka golongan antibodi monoklonal yang bekerja dengan menghambat
salah satu komponen yang berperan dalam proses timbulnya kanker. Nimotuzumab
bekerja
dengan
menghambat
EGFR
(Epidermal
Growth
Factor
Receptor).
31
32
Sementara untuk Glioma pediatrik diberikan dengan dosis 150 mg/m2/minggu sebanyak
8 siklus maintenance 3 minggu sekali
Hingga saat ini belum ada penelitian yang melaporkan mengenai efek samping
serius dari nimotuzumab. Penelitian yang spesifik melaporkan tentang overdosis dari
terapi nimotuzumab belum ada yang dilaporkan. Dari beberapa laporan penelitian,
hanya menyertakan bahwa dosis terbesar yang sampai saat ini digunakan dalam uji
klinis adalah sebesar 800 mg
DAFTAR PUSTAKA
33
34
nimotuzumab in infant and adult patients. 99th AACR Annual Meeting-- Apr 12-16,
2008; San Diego, CA
Huang SM, Harari PM. 2000. Modulation of molecular targets to enhance
radiation. Clin Cancer Res 6:323-325.
Jakobovits, Aya., Amado, Rafael G, Yang, Xiaodong., Lorin, Roskos., Gisela
Schwab. 2007. XenoMouse technology to panitumumab, the first fully human antibody
product from transgenic mice. Nature Biotechnology 25, 1134 1143.2007 Published
online: 5 October 2007
Lam C, Bouffet E, Bartels U. Nimotuzumab in pediatric glioma. Future Oncol
2009;5:1349-61
Louis DN, Ohgaki H, Wiestler OD, et al. 2007. The 2007 WHO classification of
tumours of the central nervous system. Acta Neuropathol.;114:97109
Martnez, Giselle Saurez., Anamary Bencomo-Yanes. 2014.
Nimotuzumab,
35
Rojo, Federico., Elas Gracias, Nadia Villena, et al. 2010. Foundation study:
Squamous Cell Carcinoma of the Head and Neck: A SENDO Pharmacodynamic Clin
Cancer Res 2010;16:2474-2482. American Association of Cancer Research.
Shonka, Nicole A., Gilbert Mark R. 2010. Molecularly Targeted Therapy for
Malignant Brain Tumors. Department of Neuro-Oncology, the University of Texas
Solomn, Maria Teresa., Julio Csar Selva. 2013. Radiotherapy plus
nimotuzumab or placebo in the treatment of high grade glioma patients: results from a
randomized, double blind trial. Available at: http://www.biomedcentral.com/14712407/13/299