Anda di halaman 1dari 19

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kanker


Kanker adalah pertumbuhan jaringan yang baru sebagai akibat dari proliferasi
(pertumbuhan berlebihan) sel abnormal secara terus menerus yang memiliki
kemampuan untuk menyerang dan merusak jaringan lainnya. Kanker dapat tumbuh
dari jenis sel apapun dan di dalam jaringan tubuh manapun, dan bukanlah suatu
penyakit tunggal tetapi merupakan sejumlah besar penyakit yang digolongkan
berdasarkan jaringan dan jenis sel asal. Kanker adalah istilah umum untuk semua
tumor ganas. Karena perkataan tumor biasanya dipakai untuk pembengkakan yang
disebabkan oleh proses inflamasi (peradangan), maka untuk pembengkakan yang
tidak disebabkan karena proses radang dipakai istilah neoplasma.
2.2 Ciri Khas Kanker
Salah satu ciri khas dari kanker adalah tumbuhnya sel-sel abnormal dengan
cepat sehingga melampaui batas biasanya, kemudian dapat menyerang bagian tubuh
yang berdekatan dan menyebar ke organ lain, dan proses terakhir disebut sebagai
metastasis yang merupakan penyebab utama kematian.
Sel kanker memiliki keadaan fisiologis yang berbeda dibanding sel normal,
karena sel telah mengalami perubahan genetik. Secara umum sel kanker mempunyai
ciri-ciri :
1. Memiliki kemampuan untuk memenuhi sinyal pertumbuhan sendiri
Sel normal membutuhkan mitogenic growth sinyal (GS), yaitu sinyal
pertumbuhan mitogenik sebelum dapat beraktivitas setelah fase istirahat untuk
memasuki fase proliferasi. Sinyal tersebut ditransmisikan ke dalam sel melalui
reseptor transmembran yang mampu berikatan dengan molekul sinyal tertentu
(sel normal tidak berproliferasi sebelum distimulasi oleh sinyal tersebut).
Sedangkan pada sel kanker menghasilkan beberapa sinyal pertumbuhan sendiri
dengan mengurangi ketergantungan pada stimulasi dari jaringan normal
sekitarnya. Hilangnya ketergantungan sinyal secara eksogen merusak
mekanisme homeostatis penting yang secara normal berfungsi menjaga
keseimbangan bermacam-macam sel dalam jaringan.
2. Hilangnya sensitivitas sel terhadap sinyal antiproliferatif
Dalam sel normal, antiproliferatif bekerja untuk menjaga keteraturan sel
dan homeostatis jaringan. Sinyal anti pertumbuhan dapat memblok proliferasi
dengan dua mekanisme yang berbeda, yaitu sel dipaksa keluar dari fase
proliferasi yang aktif menuju fase istirahat Go atau sel diinduksi untuk
melepaskan potensi proliferasi secara permanen dengan diinduksi untuk
memasuki fase post mitotic. Sel kanker mampu menghindar dari sinyal anti
pertumbuhan yang berhubungan dengan daur sel, salah satu mekanismenya
adalah dengan rusaknya gen pRb.
3. Kehilangan kemampuan apoptosis (kemampuan untuk membunuh sel itu
sendiri)
Resistensi kanker terhadap mekanisme apoptosis didapat dengan
berbagai macam cara, yang secara umum melibatkan p53 (tumor suppressor
gene). Protein ini mencegah replikasi dari DNA yang rusak pada sel normal
dan mendorong penghancuran sendiri dari sel yang memiliki DNA yang tidak
normal, peristiwa ini disebut apoptosis (Sofyan, 2000). Mutasi dari gen p53 ini
menyebabkan proliferasi dan transformasi sel menjadi tidak terkendali.
4. Memiliki potensi replikasi yang tidak terbatas
Adanya kemampuan sel untuk memenuhi kebutuhan sinyal
pertumbuhan dan kemampuan untuk menghindar dari mekanisme apoptosis,
maka sel kanker memiliki kemampuan untuk bereplikasi tak terbatas.
Kemampuan bereplikasi tidak terbatas ini berkaitan dengan enzim telomerase
yang menjaga integritas dari telomer pada kromosom dimana pada sel normal
telomer akan mengalami degradasi (pemotongan) pada saat sel mengalami
replikasi (Weinberg, 1996). Sehingga sebagian besar sel kanker yang
ditumbuhkan dalam kultur tampak kehilangan kontak dan sel kanker menjadi
immortal karena pertumbuhan tak terbatas.
5. Kemampuan sel melakukan metastasis dan invasi
Sel kanker dapat melakukan invasi ke jaringan lain masuk peredaran
darah sehingga dapat mengalami metastasis. Sel kanker dapat terlepas dan
menempel pada jaringan lain, hal ini mengakibatkan sel kanker dapat
membentuk koloni di jaringan yang lain.
6. Mampu memacu terjadinya angiogenesis
Sel kanker mempunyai substansi yang dapat memacu terbentuknya
pembuluh darah baru, proses ini dinamakan angiogenesis. Pembuluh darah
tersebut berfungsi untuk mensuplai kebutuhan nutrisi dan pembuangan zat-zat
yang tidak bermanfaat sehingga sel kanker dapat terus bertahan hidup. Untuk
berkembang menjadi masa yang besar, maka kanker harus memiliki
kemampuan angiogenesis.
2.3 Antigen Tumor
Tumor ganas mengekspresikan berbagai jenis molekul yang mungkin dapat
dikenali oleh sistem imun sebagai antigen asing. Jika sistem imun mampu bereaksi
terhadap tumor pada seorang individu, tumor tersebut pasti mengekspresikan
antigen yang dilihat sebagai antigen asing (nonself) oleh sistem imun individu Respons
lmun Terhadap Tumor tersebut.
Antigen tumor umum dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok:
a) Produk berbagai gen yang bermutasi. Pengurutan (sequencing) gen tumor yang
terbaru mengungkapkan bahwa pada tumor manusia yang sering dijumpai terdapat
banyak sekali mutasi berbagai gen yang tidak berperan pada perkembangan tumor
dan dinamakan "mutasi penumpang" (passenger mutations). Produk gen yang
berubah ini dapat merangsang respons imun adaptif terhadap tumor pasien tersebut.
Pada tumor eksperimental yang diinduksi oleh karsinogen kimiawi atau radiasi,
antigen tumor juga merupakan mutan protein seluler normal. Pada hakikatnya setiap
gen dapat bermutasi secara acak pada tumor yang berbeda.
b) Produk onkogen atau gen penekan tumor (tumor suppressor genes) yang bermutasi.
Beberapa antigen tumor adalah hasil mutasi atau translokasi onkogen atau gen
penekan tumor (tumor suppresor genes) dan diperkirakan terlibat dalam transformasi
keganasan, dinamakan sebagai mutasi pengemudi (driver mutations). Jenis mutasi ini
dapat menyandi protein yang dilihat sebagai antigen asing. Protein baru yang
dihasilkan melalui translokasi titik belah (breakpoints) juga dapat berperan sebagai
antigen tumor.
c) Protein yang diekspresikan secara tidak lazim. Pada beberapa tumor manusia,
antigen yang dapat menirnbulkan respons imun tampaknya merupakan protein
normal (tidak bermutasi) yang ekspresinya mengalami disregulasi pada tumor.
Autoantigen yang secara struktural normal tersebut tidak akan menimbulkan
respons imun, namun karena ekspresi yang tidak lazim, membuat mereka menjadi
imunogenik. Misalnya protein diri (self protein) yang hanya diekspresikan pada
embrio tidak akan memicu toleransi pada orang dewasa; dengan demikian, bila
protein yang sama diekspresikan pada tumor maka kemungkinan dapat dikenali
sebagai antigen asing oleh sistem imun.
d) Antigen viral. Pada tumor yang disebabkan oleh virus onkogenik, antigen tumor
mungkin merupakan produk virus.

2.4 Pengenalan Dan Reaksi Imun Terhadap Tumor


Respon imun bawaan dan adaptif terhadap tumor dapat dideteksi pada pasien
dan hewan percobaan, dan berbagai mekanisme imun dapat membunuh sel tumor
secara in vitro. Kemajuan dalam mengkarakterisasi respon imun spesifik antigen tumor
dan data dari penelitian pasien kanker yang diobati dengan obat yang menstimulasi sel
T telah menunjukkan bahwa CTL adalah kontributor paling penting dalam pertahanan
kekebalan tubuh terhadap tumor (Purba, dkk., 2023).
1. Imunitas Humoral
Imunitas humoral tidak begitu berperan penting dalam respon imun terhadap
tumor. Namun, pada respon imun terhadap humoral, humoral tetap akan
membentuk antibodi yang akan mengeliminasi sel tumor secara langsung, dengan
aktivasi dari komplemen maupun sel ADCC. selain itu, molekul Fc pada NK dan
makrofag dapat mengopsonisasi sel tumor dan mencegah adhesi dari sel tumor
dengan membentuk kompleks antigen antibodi (Purba, dkk., 2023).
2. Imunitas Seluler
Imunitas seluler berperan signifikan dalam respon imun terhadap tumor
dibandingkan dengan humoral. Sel limfosit akan mengenali antigen TAA yang
akan mengaktivasi proses apoptosis pada sel tumor. Berikut merupakan sel-sel dan
peranannya dalam respon imun seluler pada tumor (Purba, dkk., 2023):
a. CTL
CTL (Sitotoksik T Limfosit) akan teraktivasi oleh TSA yang diikat oleh MHC-
a dan memusnahkan sel tumor, walaupun respon CTL ini selalu tidak efektif
pada kebanyakan tumor (Purba, dkk., 2023).
b. Sel NK
Sel NK dengan ekspresi FcR akan mengikat sel tumor yang dilapisi
antibodi dan aktivasi ADCC dengan mediator protease, perforin dan granzim
(Purba, dkk., 2023).
c. Makrofag
Dalam peranannya di respon imun terhadap sel tumor, makrofag dengan
fungsi sitotoksik akan melepas mediator-mediator seperti superoksida dan
oksida nitrit. Pengenalan makrofag dan sel tumor dimediasi oleh IgG-R
sehingga sel tumor akan dipresentasikan ke sel CD4+. Kemudian makrofag
juga akan menimbulkan sitotoksisitas dengan pelepasan TNF-ɑ. Selain itu,
makrofag, bersama sel Tc yang diaktivasi, beserta sel NK akan memproduksi
TNF-□ yang mencegah pertumbuhan tumor (Purba, dkk., 2023).
2.5 Mekanisme Sel Tumor untuk Menghindari Respon Imun
Ada beberapa cara yang dilakukan oleh sel tumor untuk menghindari respon
imun, yakni:
1. Sifat dari antigen Tumor yang sangat mirip dengan atau protein pada sel normal
pada tubuh manusia, sehingga respon imun menganggap bahwa sel tumor adalah
sel normal dan tidak dapat mengenalinya sebagai sel antigen atau sel tumor harus
dilawan.
2. Limfosit T pada sistem imun tidak dapat mengenali sel tumor sebagai antigen
karena sel tumor tidak menghasilkan molekul MHC (Major Histocompatibility
Complex) di permukaan selnya sehingga tidak akan terjadi interaksi antara sel
interaksi antara sel tumor dengan sel limfosit T karena proses dari presentasi
antigen tidak terjadi.
3. Mayoritas sel tumor dapat menghasilkan protein seperti Transforming Growth
Factor-□, protein yang dihasilkan ini dapat menghambat respon imun yang
bersifat imunosupresi sitokin sehingga menginhibisi aktivasi dari sel limfosit T.

2.6 Imunoterapi Kanker


Strategi utama imunoterapi kanker bertujuan untuk memberikan efektor
antitumor (antibodi dan sel T) kepada pasien, memberi imunisasi aktif pasien untuk
melawan tumor, dan merangsang respons antitumor pasien itu sendiri. Sampai
sekarang, sebagian besar pengobatan untuk kanker yang telah menyebar, dan tidak
dapat disembuhkan dengan operasi, hanya mengandalkan kemoterapi dan radiasi,
padahal kedua jenis pengobatan ini juga merusak jaringan normal non tumor dan
berhubungan dengan toksisitas yang serius. Oleh karena respons imun sangat
spesifik, telah lama diharapkan bahwa imunitas spesifik-tumor dapat digunakan untuk
mengeradikasi tumor secara spesifik tanpa mencederai pasien.
Imunoterapi untuk kanker dapat dibagi menjadi imunoterapi pasif dan
aktif. Imunoterapi pasif adalah berdasarkan transfer adoptif imunomodulator,
antibodi spesifik tumor, atau sel-sel imun yang bertujuan untuk memulai kerja
anti-tumor. Yang termasuk imunoterapi pasif antara lain terapi sel T adoptif,
menggunakan virus onkolotik, Bi- and multispecific antibody, antibodi
monoklonal dengan target tumor. Sedangkan imunoterapi aktif akan merangsang
sistem imun pasien dengan menggunakan efek anti-tumor spesifik antigen.
Selain itu, imunoterapi aktif menghasilkan respons anti-tumor yang berlangsung
lama, yang memberikan perlindungan terhadap penyakit residual dan rekurensi
tumor. Yang termasuk imunoterapi aktif antara lain vaksin kanker, sitokin, antibodi
monoklonal imunomodulator
2.6.1 Terapi Seluler Adopsi Dengan Sel T Antitumor
Transfer sel adoptif merupakan imunoterapi dengan aktivitas anti-tumor
limfosit untuk eradikasi sel tumor primer dan metastatik. Pertama-tama limfosit
diisolasi dari darah perifer pasien, kelenjar getah bening dengan tumor, atau
jaringan tumor, kemudian diekspansi ex vivo dan diinfuskan kembali pada
pasien. Strategi ini akan memutuskan toleransi terhadap antigen tumor dan
menghasilkan sejumlah besar sel T efektor yang kuat.
Transfer sel adoptif dengan limfosit yang menginfiltrasi tumor (TIL)
merupakan pendekatan gabungan sel T CD8+ dan CD4+ dihasilkan dari deposit
tumor metastatik, diekspansi ex vivo sebelum transfer adoptif. Pendekatan ini
mengembalikan fungsi sel T spesifik tumor dalam tumor. Memasukkan regimen
yang mengkondisikan terjadinya lymphodepleting pada pasien sebelum infus
TIL telah menghasilkan regresi komplit melanoma. Lymphodepletion karena
kemoterapi atau iradiasi tubuh diduga memperbaiki fungsi TIL dengan
mengeliminasi sel-sel imunosupresif seperti sel Treg dan sel supresor dari
mieloid, dan meningkatkan kadar IL-7 dan IL-15.
Dalam serangkaian uji klinik pasien melanoma metastatik refrakter terapi
standar, TIL diinfuskan bersama IL-2 setelah lymphodepleting. Regresi tumor
komplit dicapai pada 22% pasien dan berlangsung selama 37-82 bulan pada 95%
pasien tersebut.
Walaupun hasil transfer sel adoptif dengan TIL terlihat menjanjikan,
beberapa limitasinya antara lain lymphodepletion yang meningkatkan efikasi
transfer sel adoptif dapat mengancam nyawa pasien, kebutuhan biaya dan waktu
untuk mengembangkan populasi sel yang dibutuhkan, dan terapi ini hanya
terbatas pada melanoma.
Usaha lain sedang dikembangkan untuk memperbaiki TIL seperti metode
kultur dan rekayasa genetik sel T untuk memastikan jumlah sel T spesifik tumor
dapat dihasilkan dan sesuai. Strategi yang digunakan melibatkan reseptor sel T
(TCR) dan chimeric antigen receptor (CAR). Sampai saat ini, belum ada transfer
sel adoptif yang telah disetujui oleh US FDA.
2.6.2 Blokade Immune Checkpoint
Walaupun produk mutasi genetik pada kanker manusia dikenal sebagai
antigen, respons imun endogen terhadap kanker yang terpantau pada model pra-
klinik dan pasien tidak efisien karena tumor menginduksi toleransi terhadap sel T
spesifik tumor dan mengekspresikan ligan yang mengikat reseptor penghambat
dan menurunkan fungsi sel T dalam lingkungan mikro tumor.
Salah satu pendekatan untuk memicu respons imun anti-tumor dikenal
dengan istilah blokade checkpoint, yaitu blokade jalur penghambatan imun yang
diaktivasi oleh sel kanker. Terdapat 2 reseptor immune checkpoint yang telah
banyak diteliti dalam konteks imunoterapi untuk kanker, yaitu cytotoxic T-
lymphocyte-associated antigen 4 (CTLA4) dan programmed cell death protein 1
(PD-1).
CTLA-4, reseptor penghambat yang down-regulate tahapan awal aktivasi
sel T, merupakan target pertama untuk antibodi checkpoint. 8 Aktivasi sel T
memerlukan pengenalan antigen oleh reseptor sel T dan stimulasi CD28 oleh B7.
Interaksi antara reseptor CTLA-4 dan B7 yang diekspresikan pada sel T dan
APC mencegah sel T teraktivasi dengan menghambat sinyal imunologi. CD28
dan CTLA-4 memiliki ligan yang sama, yaitu B7 tetapi CTLA-4 memiliki
afinitas lebih kuat terhadap B7.
Ipilimumab, antibodi monoklonal fully human, mengikat CTLA-4 dan
menghambat interaksi CTLA-4 dengan ligannya. Blokade ini meningkatkan
aktivasi dan proliferasi sel T.20 Penghambatan signaling CTLA-4 juga
menurunkan fungsi sel T regulatory yang akhirnya akan meningkatkan respons
imun anti-tumor.
Ipilimumab telah disetujui oleh US FDA untuk melanoma metastatik atau
yang tidak dapat direseksi dan terapi adjuvan melanoma kutaneus. Dalam
informasi produknya, disampaikan bahwa ipilimumab dapat mengakibatkan efek
samping terkait imun yang berat dan fatal, yang melibatkan banyak sistem organ,
paling sering adalah enterokolitis, hepatitis, dermatitis, neuropati, dan
endokrinopati.
Pada uji klinik fase III pasien melanoma stadium lanjut (n= 676),
ipilimumab (3 mg/kg setiap 3 minggu, sampai 4 terapi) dengan atau tanpa vaksin
gp100 memperpanjang overall survival (OS) selama 3,6 dan 3,7 bulan (p < 0,001
dan p= 0,003) dibandingkan vaksin gp100 saja. Efek samping terkait terapi
ipilimumab yang sering dijumpai adalah efek samping terkait imun, dengan
derajat 3-4 dijumpai sebesar 10-15%. Efek samping terkait imun yang paling
sering dengan ipilimumab dengan derajat berapapun adalah diare (27-31%).
PD-1 memiliki peran membatasi aktivitas sel T dalam jaringan perifer
saat adanya respons inflamasi terhadap infeksi dan membatasi autoimunitas. PD-
1 memiliki 2 ligan, yaitu PD-L1 dan PD-L2.8,19 Saat berikatan dengan salah satu
ligannya, PD-1 menghambat kinase yang berperan dalam aktivasi sel T dan
menghambat respons imun anti-tumor.19 PD-L1 banyak diekspresikan dalam
tumor. Penghambatan interaksi antara PD-1 dan PD-L1 meningkatkan respons
sel T dan memperantarai aktivitas anti-tumor.
2.6.3 Vaksin
Pendekatan primer vaksin untuk kanker adalah dengan mengaktifkan sel T
spesifik terhadap antigen tumor. Dalam pendekatan ini, sel dendritik, sebagai
APC yang berperan penting dalam respon imun alamiah dan adaptif, akan
diisolasi dari sel mononuklear darah perifer pasien, lalu dimuati dengan
antigen tumor secara ex-vivo, diaktifkan, dan kemudian diinfuskan kembali
pada pasien (Lawrenti, 2018).
Salah satu vaksin untuk kanker yang telah disetujui oleh US FDA adalah
sipuleucel-T yang diindikasikan untuk terapi kanker prostat metastatik resisten
kastrasi asimptomatik atau asimptomatik minimal. Terdapat beberapa langkah
yang perlu dilakukan untuk menghasilkan vaksin yang memerlukan waktu
sekitar 1 minggu. Beberapa langkah tersebut, yaitu (Lawrenti, 2018):
1. Antigen presenting cell (APC) dan sel mononuklear darah perifer
dikeluarkan melalui proses leukapheresis darah perifer pasien.
2. APC kemudian dimuati dengan protein fusi rekombinan yang terdiri
dari prostatic acid phosphatase (PAP), enzim phosphatase yang
diekspresikan pada lebih dari 95% dari kanker prostat dan sangat
spesifik terhadap jaringan prostat, dan granulocyte macrophage colony
stimulating factor (GM-CSF) sebagai aktivator sel imun.
3. Protein fusi rekombinan tersebut disebut PAP-GM-CSF atau PA2024.
Protein ini diinkubasi dengan APC pasien selama 36-48 jam; selama
itu APC mencerna dan menunjukkan antigen pada permukaan sel.
Proses ini dilakukan di luar tubuh pasien untuk menghindari
lingkungan imunosupresif yang dihasilkan sel kanker prostat dalam
tubuh.
4. APC yang mengalami maturasi atau APC8015 kemudian
dilarutkan dalam larutan ringer laktat (sampai 18 jam) dan
diberikan kepada pasien dengan diinfuskan.

Gambar 1. Vaksin untuk kanker.


Mekanisme kerja sipuleucel-T belum diketahui pasti, tetapi didesain
untuk menginduksi respons imun sistemik terhadap sel kanker prostat
pasien. Sel T mengikat antigen rekombinan pada permukaan APC dan setelah
terikat, sel T mengaktivasi destruksi sel tumor (Lawrenti, 2018).
Pasien mendapat sipuleucel-T sebanyak 3 siklus setiap 2 minggu. Tiga
puluh menit sebelum terapi, pasien diberi premedikasi parasetamol dan
difenhidramin oral untuk meminimalkan reaksi infus akut. Infus sipuleucel-T
diberikan selama 30 menit. Efek samping dari sipuleucel-T derajat 3 - 4 yang
sering dijumpai adalah nyeri punggung (3,6%), antralgia (2,1%), anemia (1,5%),
menggigil (1,2%), fatigue (1,2%) (Lawrenti, 2018).
2.6.4 Pendekatan Lain untuk Merangsang Imunitas Antitumor
Beberapa pendekatan tambahan telah digunakan untuk meningkatkan
kekebalan tubuh terhadap tumor, dengan keberhasilan yang bervariasi.
1. Terapi Sitokin
Pasien kanker dapat diobati dengan sitokin yang merangsang
proliferasi dan diferensiasi limfosit T dan sel NK. Sitokin ini dapat
meningkatkan aktivasi DC dan sel T spesifik tumor, khususnya CD8+
CTL. Banyak sitokin juga berpotensi menginduksi respons inflamasi
nonspesifik, yang mungkin memiliki aktivitas antitumor. Pengalaman
klinis terbesar adalah pemberian IL-2 dosis tinggi secara intravena,
yang efektif dalam menginduksi regresi tumor terukur pada sekitar 10%
pasien dengan melanoma stadium lanjut dan karsinoma sel ginjal dan
saat ini merupakan terapi yang disetujui untuk kanker ini. Namun
penggunaan IL-2 dosis tinggi terbatas karena merangsang produksi
sitokin proinflamasi dalam jumlah toksik seperti TNF dan IFN-γ, yang
bekerja pada endotel vaskular dan sel lain dan menyebabkan sindrom
kebocoran vaskular yang serius.
IFN-α disetujui untuk pengobatan beberapa jenis kanker,
termasuk melanoma maligna, limfoma dan leukemia tertentu, serta
sarkoma Kaposi terkait AIDS. Mekanisme efek antineoplastik IFN-α
mungkin mencakup penghambatan proliferasi sel tumor, peningkatan
aktivitas sitotoksik sel NK, dan peningkatan ekspresi MHC kelas I pada
sel tumor, yang membuatnya lebih rentan terhadap pembunuhan oleh
CTL.
Sitokin lain, seperti TNF dan IFN-γ, merupakan agen antitumor
yang efektif pada model hewan, namun penggunaannya pada pasien
dibatasi oleh efek samping toksiknya. Faktor pertumbuhan
hematopoietik, termasuk GM-CSF dan G CSF, digunakan dalam
protokol pengobatan kanker untuk mempersingkat periode neutropenia
dan trombositopenia setelah kemoterapi atau transplantasi sumsum
tulang autologus.
2. Virus Onkolitik
Terapi virus onkolitik telah dikenal sebagai pendekatan terapi
yang menjanjikan. Virus onkolitik didefinisikan sebagai virus
direkayasa genetik, yang dapat bereplikasi secara selektif dan
membunuh sel kanker tanpa membahayakan jaringan normal.
Banyak virus telah diteliti untuk vektor imunoterapi antara lain
paramyxovirus, reovirus, picornavirus, herpes simplex virus.
Agen yang telah dikembangkan secara klinis adalah
talimogene laherparepvec (T-VEC). Agen ini juga telah disetujui oleh
US FDA untuk terapi lokal (lesi kutaneus, subkutaneus, dan nodul
yang tidak dapat dibedah) pada pasien melanoma rekuren setelah
pembedahan pertama. T-VEC merupakan terapi virus onkolitik
(herpes simpleks) yang telah dimodifikasi gen ICP345 mengalami
delesi untuk mencegah keterlibatan neuronal. Gen tersebut diganti
dengan coding sequence untuk GM-CSF. Peningkatan ekspresi lokal
dan sekresi GM-CSF menyebabkan APC dipanggil ke lingkungan
mikro tumor, sehingga menginduksi imunitas anti-tumor. Selain itu,
delesi ICP47 pada T-VEC menginduksi replikasi virus, meningkatkan
presentasi antigen, dan meningkatkan aktivitas terapeutik
onkolitik.
Walaupun menjanjikan, terapi virus onkolitik dikaitkan
dengan keterbatasan seperti pasien immunocompromise bukan
kandidat yang baik dan terbatasnya efektivitas pada pasien dengan
penyakit lebih lanjut.

Gambar 2. Virus onkolitik.


3. Stimulus Peradangan Nonspesifik
Respon imun terhadap tumor dapat dirangsang oleh pemberian
zat inflamasi lokal atau dengan pengobatan sistemik dengan agen yang
berfungsi sebagai aktivator poliklonal limfosit. Salah satu contoh
imunoterapi tumor tertua dipraktikkan oleh dokter abad ke-19 William
Coley, yang merawat pasien kankernya dengan ekstrak bakteri mati,
yang disebut toksin Coley. Pendekatan ini mungkin berhasil sesekali
karena induksi respons bawaan yang kuat yang mengarah pada produksi
TNF dan sitokin lain yang menyebabkan peradangan akut yang
membunuh sel tumor. Stimulasi imun nonspesifik pada pasien dengan
tumor melalui suntikan zat inflamasi seperti basil Calmette-Guerin
(BCG) yang dimatikan pada lokasi pertumbuhan tumor telah digunakan
selama bertahun-tahun. mikobakteri BCG mengaktifkan makrofag dan
dengan demikian mendorong pembunuhan sel tumor yang dimediasi
makrofag. selain itu, bakteri berfungsi sebagai bahan pembantu dan
dapat merangsang respons sel T terhadap antigen tumor. BCG
intravesikular saat ini digunakan untuk mengobati kanker kandung
kemih. terapi sitokin, yang dibahas sebelumnya, merupakan metode lain
untuk meningkatkan respon imun dengan cara yang tidak spesifik.
4. Efek Graft-Versus-Leukemia
Pada pasien leukemia yang diobati dengan transplantasi sel
induk hematopoietik alogenik (HSC), keberadaan sel T dan sel NK
dalam inokulum HSC dapat berkontribusi dalam menghancurkan tumor.
Efek graft-versus-leukemia yang dimediasi sel T diarahkan pada
molekul yang ada pada sel hematopoietik penerima, termasuk sel
leukemia, yang dikenali sebagai benda asing oleh sel T yang diberikan.
Sel NK donor merespons sel tumor karena tumor mungkin
mengekspresikan molekul MHC kelas I tingkat rendah atau mereka
mengekspresikan alel MHC kelas I yang tidak dikenali oleh sel NK
donor. Ingatlah bahwa pengenalan MHC kelas I sendiri biasanya
menghambat aktivasi sel NK. Tantangan dalam penggunaan pengobatan
ini untuk meningkatkan hasil klinis adalah meminimalkan penyakit
berbahaya graft-versus-host yang mungkin dimediasi oleh sel T donor
yang sama.
Kemajuan luar biasa baru-baru ini dalam imunoterapi kanker
menjanjikan perubahan dramatis dalam perawatan pasien dengan
penyakit kanker. Keberhasilan blokade pos pemeriksaan untuk banyak
tumor padat dan infus sel CAR-T untuk keganasan hematologi telah
merevitalisasi bidang imunologi tumor. Meskipun keterbatasan dan
permasalahan masih ada, upaya besar yang dilakukan dalam bidang ini
memungkinkan kemajuan lebih lanjut akan terjadi dengan cepat.
2.7 Antibodi Monoklonal
Antibodi merupakan campuran protein di dalam darah dan disekresi mukosa
menghasilkan sistem imun bertujuan untuk melawan antigen asing yang masuk ke
dalam sirkulasi darah. Antibodi dibentuk oleh sel darah putih yang disebut limfosit B.
Limfosit B akan mengeluarkan antibodi yang kemudian diletakkan pada
permukaannya. Setiap antibodi yang berbeda akan mengenali dan mengikat hanya satu
antigen spesifik. Antigen merupakan suatu protein yang terdapat pada permukaan
bakteri, virus dan sel kanker. Pengikatan antigen akan memicu multiplikasi sel B dan
penglepasan antibodi. Ikatan antigen antibodi mengaktivasi sistem respons imun yang
akan menetralkan dan mengeliminasinya.
Antibodi monoklonal menggunakan mekanisme kombinasi untuk
meningkatkan efek sitotoksik sel tumor. Mekanisme komponen sistem imun adalah
antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC), complement dependent cytotoxicity
(CDC), mengubah sinyal transduksi sel tumor atau menghilangkan sel permukaan
antigen. Antibodi dapat digunakan sebagai target muatan (radioisotop, obat atau
toksin) untuk membunuh sel tumor atau mengaktivasi prodrug di tumor, antibody
directed enzyme prodrug therapy (ADEPT). Antibodi monoklonal digunakan secara
sinergis melengkapi mekanisme kerja kemoterapi untuk melawan tumor.
Antibodi memiliki berbagai macam bentuk dan ukuran walaupun struktur
dasarnya berbentuk `Y` Antibodi tersebut mempunyai 2 fragmen, fragmen antigen
binding Fab dan fragmen cristallizable Fc. Fragmen antigen binding Fab digunakan
untuk mengenal dan mengikat antigen spesifik, tempat melekatnya antigen antibodi
yang tepat sesuai regio yang bervariasi disebut complementary determining region
(CDR) dan Fc berfungsi sebagai efektor yang dapat berinteraksi dengan sel imun atau
protein serum.
Antibodi monoklonal adalah antibodi buatan identifik karena diproduksi oleh
salah satu jenis sel imun saja dan semua klonnya merupakan sel single parent.
Antibodi monoklonal mempunyai sifat khusus yang unik yaitu dapat mengenal suatu
molekul, memberikan informasi tentang molekul spesifik dan sebagai terapi target
tanpa merusak sel sehat sekitarnya. Antibodi monoklonal murni dapat diproduksi
dalam jumlah besar dan bebas kontaminasi. Antibodi monoklonal dapat diperoleh dari
sel yang dikembangkan di laboratorium, reagen tersebut sangat berguna untuk
penelitian terapi dan diagnostik laboratorium. Antibodi monoklonal dapat diciptakan
untuk mengikat antigen tertentu kemudian dapat mendeteksi atau memurnikannya.
Manusia dan tikus mempunyai kemampuan untuk membentuk antibodi yang dapat
mengenali antigen. Antibodi monoklonal tidak hanya mempertahankan tubuh untuk
melawan organisme penyakit tetapi juga dapat menarik molekul target lainnya di
dalam tubuh seperti reseptor protein yang ada pada permukaan sel normal atau
molekul yang khas terdapat pada permukaan sel kanker. Spesifisiti antibodi yang luar
biasa menjadikan zat ini dapat digunakan sebagai terapi. Antibodi mengikat sel kanker
dan berpasangan dengan zat sitotoksik sehingga membentuk suatu kompleks yang
dapat mencari dan menghancurkan sel kanker.
Antibodi monoklonal mempunyai 4 jenis (gambar 2) yaitu:
1. Murine, murni didapat dari tikus dapat menyebabkan human anti mouse
antibodies (HAMA) nama akhirannya ″momab″ (ibritumomab)
2. Chimeric, gabungan Fc antibodi human dan Fab antibodi monoklonal
tikus nama akhirannya ″ximab″ (rituximab).
3. Humanized, hanya sebagian kecil Fab antibodi tikus yang digabungkan
dengan antibodi human (95-98%) nama akhirannya ″zumab″
(trastuzumab).
4. Fully human, keseluruhan antibodi human nama akhirannya ″mumab″
(adalimumab).
PEMBUATAN ANTIBODI MONOKLONAL
Kőhler dan Milstein menjelaskan bagaimana caranya mengisolasi dan
mengembangkan antibodi monoklonal murni spesifik dalam jumlah banyak yang didapat dari
campuran antibodi hasil respons imun. Tikus yang telah diimunisasi dengan antigen khusus ke
dalam sumsum tulang akan menghasilkan sel limfosit B yang memiliki masa waktu hidup
terbatas dalam kultur, hal ini dapat diatasi dengan cara menggabungkan dengan sel limfosit B
tumor (myeloma) yang abadi. Hasil campuran heterogen sel hybridomas dipilih hybridoma
yang memiliki 2 kemampuan yaitu dapat menghasilkan antibodi khusus dan dapat tumbuh di
dalam kultur. Hybridoma ini diperbanyak sesuai klon individualnya dan setiap klon hanya
menghasilkan satu jenis antibodi monoklonal yang permanen dan stabil. Hybridoma yang
berasal dari satu limfosit akan menghasilkan antibodi yang akan mengenali satu jenis antigen.
Antibodi inilah yang dikenal sebagai antibodi monoklonal (gambar 3)
Proses pembuatan antibodi monoklonal melalui 5 tahapan yaitu :
1. Imunisasi tikus dan seleksi tikus donor untuk pengembangan sel hybridoma.
Tikus diimunisasi dengan antigen tertentu untuk menghasilkan antibodi yang
diinginkan. Tikus dimatikan jika titer antibodinya sudah cukup tercapai dalam
serum kemudian limpanya digunakan sebagai sumber sel yang akan
digabungkan dengan sel myeloma
2. Penyaringan produksi antibodi tikus. Serum antibodi pada darah tikus itu
dinilai setelah beberapa minggu imunisasi. Titer serum antibodi ditentukan
dengan berbagai macam teknik seperti enzyme link immunosorbent assay
(ELISA) dan flow cytometry. Fusi sel dapat dilakukan bila titer antibodi sudah
tinggi jika titer masih rendah maka harus dilakukan booster sampai respons
yang adekuat tercapai. Pembuatan sel hybridoma secara in vitro diambil dari
limpa tikus yang dimatikan.
3. Persiapan sel myeloma Sel myeloma yang didapat dari tumor limfosit abadi
tidak dapat tumbuh jika kekurangan hypoxantine guanine phosphoribosyl
transferase (HGPRT) dan sel limpa normal masa hidupnya terbatas. Antibodi
dari sel limpa yang memiliki masa hidup terbatas menyediakan HGPRT lalu
digabungkan dengan sel myeloma yang hidupnya abadi sehingga dihasilkan
suatu hybridoma yang dapat tumbuh tidak terbatas. Sel myeloma merupakan
sel abadi yang dikultur dengan 8 azaguanine sensitif terhadap medium seleksi
hypoxanthine aminopterin thymidine (HAT). Satu minggu sebelum fusi sel, sel
myeloma dikultur dalam 8 azaguanine. Sel harus mempunyai kemampuan
hidup tinggi dan dapat tumbuh cepat. Fusi sel menggunakan medium HAT
untuk dapat bertahan hidup dalam kultur.

4. Fusi sel myeloma dengan sel imun limpa Satu sel limpa digabungkan dengan
sel myeloma yang telah dipersiapkan. Fusi ini diselesaikan melalui sentrifugasi
sel limpa dan sel myeloma dalam polyethylene glycol suatu zat yang dapat
menggabungkan membran sel. Sel yang berhasil mengalami fusi dapat tumbuh
pada medium khusus. Sel itu kemudian didistribusikan ke dalam tempat yang
berisi makanan, didapat dari cairan peritoneal tikus. Sumber makanan sel itu
menyediakan growth factor untuk pertumbuhan sel hybridoma.
5. Pengembangan lebih lanjut kloning sel hybridoma Kelompok kecil sel
hybridoma dapat dikembangkan pada kultur jaringan dengan cara seleksi ikatan
antigen atau dikembangkan melalui metode asites tikus. Kloning secara
limiting dilution akan memastikan suatu klon itu berhasil. Kultur hybridoma
dapat dipertahankan secara in vitro dalam tabung kultur (10-60 ug/ml) dan in
vivo pada tikus, hidup tumbuh di dalam suatu asites tikus. Konsentrasi antibodi
dalam serum dan cairan tubuh lain 1-10 ug/ml.

Anda mungkin juga menyukai