Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

Gangguan Pendengaran

Pembimbing:
dr. Arroyan Wardhana, Sp.THT-KL

Disusun Oleh:
Nur Hayani Binti Mohd Sukri
112018206

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok


Rumah Sakit Umum Daerah Koja
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Periode 23 September 2019– 26 Oktober 2019

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan
karunia-Nya yang memberikan kesehatan, keselamatan, dan membimbing penulis
sehingga dapat menyelesaikan referat ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Arroyan
Wardhana, Sp.THT-KL selaku pembimbing. Tujuan pembuatan referat ini merupakan
salah satu syarat dari kepaniteraan klinik Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida
Wacana bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok (THT).

Penulis menyadari bahwa pembuatan referat ini masih banyak kekurangan dan masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis akan sangat terbuka dan dengan senang hati
menerima segala bentuk kritik dan saran yang bersifat membangun, sehingga referat ini
bisa berguna bagi semua pihak. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih.

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...........................................................................................................1


Daftar Isi ....................................................................................................................2
BAB I : Pendahuluan ..........................................................................................4
1.1 Latar Belakang ................................................................................4
BAB II : Anatomi dan Fisiologi...........................................................................5
2.1 Anatomi Telinga .............................................................................5
2.2 Fisiologi Pendengaran .....................................................................8
BAB III : Pembahasan Gangguan Pendengaran ...................................................9
3.1 Definisi ............................................................................................9
3.2 Tipe Gangguan Pendengaran ..........................................................9
3.3 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran .............................................10
3.4 Derajat Ketulian ..............................................................................13
3.5 Pembahasan Penyakit......................................................................14
1. Gangguan Pendengaran pada Telinga Luar ..............................14
a. Atresia Liang Telinga & Mikrotia ......................................14
b. Fistula Preaurikular .............................................................15
c. Hematoma Aurikular ..........................................................16
d. Perikondritis ........................................................................17
e. Pseudokista .........................................................................17
f. Cerumen Plug .....................................................................18
g. Otitis Eksterna.....................................................................19
h. Otomikosis ..........................................................................22
i. Keratosis Obliterans & Kolesteatoma Eksterna ..................22
2. Gangguan Pendengaran pada Telinga Tengah ..........................24
a. Barotrauma ..........................................................................24
b. Otosklerosis.........................................................................24
c. Otitis Media Akut ...............................................................25
d. Otitis Media Supuratif Kronis .............................................26
3. Gangguan Pendengaran pada Telinga Dalam ...........................28
a. Noise Induced Hearing Loss (NIHL) ..................................28

2
b. Tuli Akibat Obat Ototoksik ................................................30
c. Meniere’s Disease ...............................................................31
d. Presbikusis ..........................................................................32
e. Speech Delay ......................................................................33
f. Sudden Deafness .................................................................34

BAB IV : Penutup .................................................................................................36


A. Kesimpulan .....................................................................................36
Daftar Pustaka ............................................................................................................37

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kelainan telinga dapat menyebabkan tuli konduktif dan tuli sensorineural. Dari semua
kasus kehilangan pendengaran, 90% merupakan tuli sensorineural. Tuli sensorineural
adalah tuli yang terjadi karena adanya gangguan pada telinga dalam atau pada jalur saraf
dari telinga dalam ke otak. Tuli sensorineural merupakan masalah bagi jutaan orang.
Kehilangan pendengaran ini dibagi dalam beberapa derajat, yaitu ringan, sedang dan berat.
Tuli ini dapat mengenai segala usia dengan etiologi yang berbeda-beda. Sekitar 50% kasus
merupakan faktor genetik dan 50% lagi didapat (acquired).

Tuli sensorineural dibagi dalam tuli sensorineural koklea dan retrokoklea. Tuli
sensorineural koklea disebabkan oleh kelainan kongenital, labirintitis (oleh bakteri/virus),
intoksikasi obat, selain itu juga dapat disebabkan oleh tuli mendadak, trauma kapitis, trauma
akustik dan pajanan bising. Sedangkan tuli sensorineural retrokoklea disebabkan oleh
neuroma akustik, tumor sudut pons serebelum, mieloma multipel, cedera otak, perdarahan
otak dan kelainan otak lainnya.

Tuli akibat bising merupakan tuli sensorineural yang paling sering dijumpai. Lebih
dari 28 juta orang Amerika mengalami ketulian dengan berbagai macam derajat, dimana 10
juta orang diantaranya mengalami ketulian. Oetomo, A dkk (Semarang, 1993) dalam
penelitiannya terhadap 105 karyawan pabrik dengan intensitas bising antara 79 s/d 100 dB
didapati bahwa sebanyak 74 telinga belum terjadi pergeseran nilai ambang, sedangkan
sebanyak 136 telinga telah mengalami pergeseran nilai ambang dengar, derajat ringan
sebanyak 116 telinga (55,3%), derajat sedang 17 (8%) dan derajat berat 3 (1,4%).

4
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI

2.1 Anatomi Telinga

Telinga terdiri atas tiga bagian dasar, yaitu telinga bagian luar, telinga bagian tengah
dan telinga bagian dalam. Setiap bagian telinga bekerja dengan tugas khusus untuk
mendeteksi dan menginterpretasikan bunyi.

Gambar 2.1 Struktur anatomi telinga1


1. Telinga Bagian Luar2
Telinga luar berfungsi menangkap rangsang getaran bunyi atau bunyi dari luar. Telinga
luar terdiri dari daun telinga (pinna auricularis), saluran telinga (canalis auditorius
externus) yang mengandung rambut-rambut halus dan kelenjar sebasea sampai di
membran timpani.
 Daun telinga terdiri atas tulang rawan elastin dan kulit. Bagian-bagian daun telinga
lobula, heliks, anti heliks, tragus, dan antitragus.
 Liang telinga atau saluran telinga merupakan saluran yang berbentuk seperti huruf S.
Pada 1/3 proksimal memiliki kerangka tulang rawan dan 2/3 distal memiliki kerangka
tulang sejati. Saluran telinga mengandung rambut-rambut halus dan kelenjar lilin.
Rambut-rambut alus berfungsi untuk melindungi lorong telinga dari kotoran, debu dan
serangga, sementara kelenjar sebasea berfungsi menghasilkan serumen. Serumen
adalah hasil produksi kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel kulit yang terlepas
dan partikel debu. Kelenjar sebasea terdapat pada kulit liang telinga.

5
2. Telinga Bagian Tengah2
Telinga tengah atau cavum tympani. Telinga bagian tengah berfungsi menghantarkan
bunyi atau bunyi dari telinga luar ke telinga dalam. Bagian depan ruang telinga
dibatasi oleh membran timpani, sedangkan bagian dalam dibatasi oleh foramen ovale
dan foramen rotundum. Pada ruang tengah telinga terdapat bagian-bagian sebagai
berikut :
 Membran timpani
Membran timpani berfungsi sebagai penerima gelombang bunyi. Setiap ada gelombang
bunyi yang memasuki lorong telinga akan mengenai membran timpani, selanjutnya
membran timpani akan menggelembung ke arah dalam menuju ke telinga tengah dan
akan menyentuh tulang-tulang pendengaran yaitu maleus, inkus dan stapes. Tulang-
tulang pendengaran akan meneruskan gelombang bunyi tersebut ke telinga bagian
dalam.
 Tulang-tulang pendengaran
Tulang-tulang pendengaran yang terdiri atas maleus (tulang martil), incus (tulang
landasan) dan stapes (tulang sanggurdi). Ketiga tulang tersebut membentuk rangkaian
tulang yang melintang pada telinga tengah dan menyatu dengan membran timpani.
 Tuba eustachius
Tuba eustachius adalah saluran penghubung antara ruang telinga tengah dengan rongga
faring. Adanya saluran eustachius, memungkinkan keseimbangan tekanan udara
rongga telinga telinga tengah dengan udara luar.

3. Telinga bagian dalam2


Telinga dalam berfungsi menerima getaran bunyi yang dihantarkan oleh telinga tengah.
Telinga dalam atau labirin terdiri atas dua bagian yaitu labirin tulang dan labirin selaput.
Dalam labirin tulang terdapat vestibulum, kanalis semisirkularis dan koklea. Di dalam
koklea inilah terdapat organ Corti yang berfungsi untuk mengubah getaran mekanik
gelombang bunyi menjadi impuls listrik yang akan dihantarkan ke pusat
pendengaran.Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semi-sirkularis. Ujung atau
puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan skala timpani dengan skala
vestibuli.Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Koklea atau rumah siput merupakan saluran

6
spiral dua setengah lingkaran yang menyerupai rumah siput. Koklea terbagi atas tiga
bagian yaitu:
a. Skala vestibuli terletak di bagian dorsal
b. Skala media terletak di bagian tengah
c. Skala timpani terletak di bagian ventral

Gambar 2.2 Struktur koklea di telinga dalam2

Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfe, sedangkan skala media berisi
endolimfe. Ion dan garam yang terdapat di perilimfe berbeda dengan endolimfe. Hal
ini penting untuk proses pendengaran.Antara skala satu dengan skala yang lain
dipisahkan oleh suatu membran. Ada tiga membran yaitu:
a. Membran vestibuli, memisahkan skala vestibuli dan skala media.
b. Membran tektoria, memisahkan skala media dan skala timpani.
c. Membran basilaris, memisahkan skala timpani dan skala vestibuli.Pada membran
membran basalis ini terletak organ Corti dan pada membran basal melekat sel rambut
yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk
organ Corti.

7
2.2 Fisiologi pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam
bentuk gelombang yang dihantarkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membran timpani dan diteruskan ke telinga tengah melalui
rangkaian tulang pendengaran yang akan memperkuat getaran melalui daya ungkit
tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan foramen
ovale. Energi getar yang telah diperkuat ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan foramen ovale sehingga cairan perilimfe pada skala vestibuli bergerak.
Getaran akibat getaran perilimfe diteruskan melalui membran Reissner yang akan
mendorong endolimfe, sehingga akan terjadi gerak relatif antara membran basilaris dan
membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan
terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang
akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus
auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39 - 40) di lobus temporalis.3

Gambar 2.3 Gerakan cairan perilimfe dan endolimfe di koklea4

8
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Definisi
Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total medengarkan suara
pada salah satu atau kedua telinga. Pembagian gangguan pendengaran berdasarkan tingkatan
beratnya gangguan pendengaran, yaitu mulai dari gangguan pendengaran ringan (20 – 39 dB),
gangguan pendengaran sedang (40 – 69 dB), dan gangguan pendengaran berat (70 – 89 dB).
Gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan sebagai: 3

3.2 Tipe Gangguan Pendengaran


1. Tuli Konduktif
Disebabkan oleh kondisi patologis kanal telinga eksterna, membran timpani, atau
telinga tengah. Gangguan pendengaran konduktif tidak melebihi 60 dB karena
dihantarkan menuju koklea melalui tulang (hantaran tulang) bila intesitasnya tinggi.
Penyebab tersering gangguan pendengaran jenis ini adalah otitis media dan disfungsi
tuba eustachius akibat otitis media stadium dupurasi (pada anak) dan sumbatan seruman
(pada dewasa).

2. Tuli Sensorineural
Disebabkan oleh kerusakan atau malfungsi koklea, saraf pendengaran, dan batang otak
sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana mestinya. Bila kerusakan terbatas
pada rambut di sel koklea, maka sel anglion dapat bertahan dan mengalami degenerasi
transneural. Bila sel ganglion rusak, maka maka nervus VIII akan mengalami
degenerasi Wallerian. Penyebabnya antara lain adalah: kelainan bawaan, genetik,
penyakit/kelainan pada saat ana dalam kandungan, proses kelahiran, infeksi virus,
pemakaian obat yang merusak koklea (kina, antibiotik seperti golongan makrolida),
radang selaput otak, dan hiperbilirubinemia.

3. Tuli Campuran
Bila gangguan pendengaran atau tuli kondutif dan sensorineural terjadi bersamaan.

9
3.3 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran3
A. Audiologi
Audiologi Dasar
Audiologi Dasar ialah Pengetahuan mengenai nada murni, bising, gangguan
pendengaran serta cara pemeriksaannya. Pemeriksaan pendengaran yang dilakukan
dengan beberapa cara yaitu Tes Penala, Tes Berbisik dan Audiometri Nada murni.2

1. Tes Penala
Tes Rinne
Tes Rinne ialah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui
tulang pada telinga yang diperiksa.
Cara pemeriksaan :
1. Penala digetarkan
2. Tangkai di letakkan di processus mastoideus
3. Setelah tidak terdengar oleh pasien penala diletakkan di depan telinga kira-kira
2,5cm
4. Bila masih terdengar : rinne positif (+), bila tidak terdengar : rinne negatif (-)
Tes Weber
Tes Weber ialah tes untuk membandingkan hantaran tulang telinga yang sakit dengan
yang sehat
Cara pemeriksaan :
1. Penala digetarkan
2. Tangkai penala disimpan di garis tengah kepala.
3. Tanyakan terdengar lebih keras pada telinga mana.
4. Bila tidak dapat membedakan ke arah telinga mana yang lebih keras atau dijawab
sama keras artinya tidak ada lateralisasi
5. Bila terdapat penjalaran lebih ke salah satu telinga : terdapat lateralisasi
Tes Schwabach
Tes Schwabach ialah tes untuk membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa
dengan pemeriksa yang pendengarannya normal.
Cara pemeriksaan:
1. Penala digetarkan
2. Tangkai penala diletakkan pada processus mastoideus pasien sampai tidak
terdengar bunyi
3. Tangkai penala segera pindahkan pada processus mastoideus telinga pemeriksa
yang pendengarannya normal
4. Bila pemeriksa masih dapat mendengar : schwabach memendek
5. Bila pemeriksa tidak mendengar : pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya

10
6. Penala digetarkan
7. Diletakkan pada processus mastoideus pemeriksa lebih dulu sampai tidak
terdengar bunyi
8. Tangkai penala segera pindahkan pada processus mastoideus telinga pasien
9. Bila pasien masih dapat mendengar bunyi, maka schwabach pasien memanjang
10. Bila pasien dan pemeriksa sama-sama pendengarannya, schwabach pasien sama
dengan pemeriksa.

Tabel 3.1 Kesimpulan tes penala


Tes Tes Weber Tes Schwabach Interpretasi
Rinne
+ Lateralisasi tidak ada Sama dengan Normal
pemeriksa
- Lateralisasi ke telinga yang Memanjang Tuli konduktif
sakit
+ Lateralisasi ke telinga yang Memendek Tuli sensorineural
sehat

2. Tes Berbisik
Pemeriksaan ini bersifat semi kuantitatif menentukan derajat ketulian secara kasar. Hal
ini dilakukan pada ruangan yang tenang dengan panjang minimal 6 meter. Pada nilai
normal tes berbisik 5/6 - 6/6.

3. Audiometri Nada Murni


Pemeriksaan audiometri nada murni perlu dipahami hal-hal seperti ini: nada murni,
bising NB (narrow Band) dan WN (white noise), frekuensi, intensitas bunyi, ambang
dengar, nilai nol audiometrik, standar ISO dan ASA, notasi pada audiogram, jenis dan
derajat ketulian serta gap dan masking.
Untuk membuat audiogram diperlukan alat audiometer
Bagian dari audiometer : Tombol pengatur intensitas bunyi, tombol pengatur frekuensi,
headphone untuk memeriksa AC ( hantaran udara), bone conductor untuk memeriksa
BC (hantaran tulang).

Nada murni (pure tone) merupakan bunyi yang hanya mempunyai satu fekuensi,
dinyatakan dalam jumlah getaran per detik.

Bising merupakan bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri dari narrow band
: spektrum terbatas dan white noise : spektrum luas.

11
Frekuensi ialah nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda yang sifatnya
harmonis sederhana (simple harmonic motion). Jumlah getaran per detik dinyatakan
dalam Hertz. Bunyi (suara) yang dapat didengar oleh telinga manusia mempunyai
frekwensi antara 20-18.000 Hertz.

Intensitas bunyi dinyatakan dalam dB (decibel), dikenal dB HL (hearing level), dB SL


(sensation level), dB SPL (sound pressure level)
Pada audiometer yang digunakan dB HL dan dB SL ( dasarnya subjektif) sedangkan
dB SPL digunakan apabila ingin mengetahui intensitas bunyi yang sesungguhnya secar
fisika (ilmu alam)

Ambang dengar ialah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi tertentu yang
masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat ambang dengar menurut
konduksi udara (AC) dan menurut konduksi tulang (BC). Bila ambang dengar ini
dihubungkan dengan garis , baik AC maupun BC maka akan didapatkan audiogram.
Dari audiogram dapat diketahui jenis dan derajat ketulian.

Nilai nol Audiometrik (audiometric zero) dalam dB HL dan dB SL, yaitu intensitas
nada murni yang terkecil pada suatu frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh
telinga rata-rata orang dewasa muda yang normal (18-30 tahun)
0 dB ISO = -10 dB ASA, atau
10 dB ISO = 0 dB ASA
Pada audiogram angka-angka intensitas dalam dB bukan menyatakan kenaikan linier,
tetapi merupakan kenaikan logaritma secar perbandingan, contoh 20 dB bukan 2 kali
lebih keras dari pada 10 dB, tetapi 20/10=2, jadi 10 kuadrat = 100 kali lebih keras.

Notasi pada audiogram


Grafik AC, yaitu dibuat garis lurus penuh (Intensitas yang diperiksa antara 125-8000
Hz) Grafik BC dibuat dengan garis terputus-putus (Intensitas yang diperiksa 125-
4000Hz), untuk telinga kiri dipakai warna biru sedangkan telinga kanan warna merah.
Dari audiogram :
1. Dihitung ambang dengar hantaran udara (AC) dan hantaran tulang (BC)
Cara hitung :
Ambang dengar (AD) =

12
AD 500Hz + AD 1000Hz + AD 2000 Hz + 4000 Hz
4

2. Menentukan jenis ketulian berdasarkan ambang dengar dan ada/tidak gap pada
graf audiometri.

3. Menentukan derajat ketulian berdasarkan ISO (lihat dari AC)

3.4 Derajat Ketulian


Berdasarkan ISO derajat tuli terbagi atas:3
 0-25 dB : normal
 26-40 dB : tuli ringan
 41-55 dB : tuli sedang
 56-70 dB : tuli sedang berat

13
 71-90 dB : tuli berat
 >90 dB : tuli sangat berat (profound)

Kesimpulannya, interpretasi audiogram harus ditulis a)telinga yang mana, b)jenis


ketulian dan c)derajat ketulian

3.5 Pembahasan penyakit


3.5.1 Gangguan pendengaran pada telinga luar
a. Atresia Liang Telinga & Mikrotia5
Selain dari liang telinga yang tidak terbentuk juga biasanya disertai dengan kelainan daun
telinga dan tulang pendengaran. Kelainan ini jarang disertai kelainan telinga dalam karena
perkembangan embriologik yang berbeda antara telinga dalam dengan telinga luar dan
telinga tengah. Etiologi kelainan ini belum diketahui dengan jelas, diduga oleh faktor
genetik seperti infeksi virus atau intoksikasi bahan kimia pada kehamilan muda, misalnya
talidomida.

Gambar 3.1 Mikrotia Daun Telinga6

Diagnosis hanya dengan melihat daun telinga yang tidak tumbuh dan liang telinga yang
atresia saja, keadaan liang telinganya tidak mudah dievaluasi. Sebagai indikator untuk
meramalkan keadaan telinga tengah adalah dengan melihat keadaan daun telinganya.
Makin buruk keadaan daun telinga makin buruk pula keadaan telinga tengah.

14
Gambar 3.2 Atresia canalis auditorius externus7

Tatalaksana : Dilakukan operasi rekonstruksi ialah selain memperbaiki fungsi


pendengaran juga untuk kosmetik. Pada atresia liang telinga bilateral, sebaiknya pada
pasien dipasang alat bantu dengar untuk mencegah keterlambatan perkembangan
berbahasa, kemudian setelah berumur 5-7 tahun dilakukan operasi pada sebelah telinga.
Pada atresia liang telinga unilateral operasi sebaiknya dilakukan setelah pasien dewasa,
yaitu pada umur 15-17 tahun.

b. Fistula Preaurikular 5
Fistula preaurikular terjadi bila terdapat kegagalan penggabungan tuberkel ke satu dan
tuberkel ke dua ketika pembentukan daun telinga dalam masa embrio. Kelainan kelainan
herediter yang dominan. Fistula dapat ditemukan di depan tragus atau disekitarnya, dan
sering terinfeksi. Pada keadaan tenang tampak muara fistula berbentuk bulat atau lonjong,
berukuran seujung pensil. Dari muara fistula sering keluar sekret yang berasal dari kelenjar
sebasea.

15
Gambar 3.4 Fistula preaurikular (preauricular skin pit)8

Biasanya pasien berobat karena terdapat obstruksi dan infeksi fistula, sehingga terjadi
pioderma atau selulitis fasial.
Tatalaksana : Bila tidak ada keluhan operasi tidak perlu dilakukan. Jika terdapat abses
berulang dan pembentukan sekret kronik, maka perlu dilakukan operasi untuk mengangkat
fistula itu seluruhnya, karena jika tidak bersih akan menyebabkan kekambuhan.

c. Hematoma5
Hematoma daun telinga disebabkan oleh trauma, sehingga terdapat penumpukan bekuan
darah diantara perikondrium dan tulang rawan. Bila bekuan darah ini tidak dikeluarkan
dapat terjadi organisasi dari hematoma, sehingga tonjolan menjadi padat dan permanen.

Gambar 3.4 Hematoma aurikula9

16
Tatalaksana : Mengeluarkan bekuan darah dengan melakukan insisi secara steril. Bila
tindakan tidak steril, komplikasi yang bisa terjadi ialah perikondritis.

d. Perikondritis5
Perikondritis (radang pada tulang rawan daun telinga) terjadi karena trauma, pasca operasi
daun telinga yang terinfeksi dan sebagai komplikasi pseudokista.
Bila pengobatan dengan antibiotika gagal, tulang rawan hancur dan mengecil serta keriput,
sehingga terjadi telinga kisut (cauliflower ear).

Gambar 3.5 Perikondritis10 Gambar 3.6 Cauliflower ear11

e. Pseudokista5
Pada kelainan ini terdapat cairan kekuningan diantara tulang rawan daun telinga dan
perikondrium. Pasien datang ke dokter karena ada benjolan yang tidak nyeri di daun
telinga dan penyebabnya tidak diketahui.

17
Gambar 3.7 Pseudokista aurikular12

Tatalaksana : Dilakukan pungsi secara steril, kemudian dilakukan balut tekan atau dengan
gips selama seminggu supaya perikondrium melekat pada tulang rawan. Apabila
perlekatan tidak sempurna dapat timbul kekambuhan, dan bila pungsi tidak steril, dapat
terjadi perikondritis dan berlanjut menjadi telinga kisut (cauliflower ear).

f. Cerumen Plug 5
Serumen merupakan hasil produksi kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel kulit yang
terlepas dan partikel debu. Dalam keadaan normal, serumen terdapat pada 1/3 luar liang
telinga, karena kelenjar sebasea dan seruminosa hanya terdapat pada daerah ini.
Konsistensi serumen biasanya lunak, tetapi kadang-kadang kering. Serumen yang
menyumbat canalis auricula disebut impacted cerumen prop yang dapat mengganggu
mengganggu pendengaran.
Gejala yang timbul dapat berupa telinga terasa penuh, tinnitus, otofoni (seperti mendengar
kata-kata sendiri/bergema), tidak sakit, batuk (terangsangnya nervus vagus).

Gambar 3.8 Serumen plug13


Tatalaksana
Pengangkatan serumen:
 Serumen yang lunak dibersihkan dengan kapas yang dililit pada aplikator.

18
 Serumen yang keras dikeluarkan dengan pengait atau kuret. Jika serumen tidak
dapat dikeluarkan, maka serumen harus dilunakkan terlebih dahulu dengan tetes
karbogliserin selama 3 hari.
 Serumen yang terlalu jauh terdorong ke dalam telinga dikeluarkan dengan cara
irigasi dengan air hangat yang suhunya sesuai dengan suhu tubuh. Air dialirkan kea
rah posterosuperior agar dapat lewat diantara massa serumen dan dinding belakang
liang telinga sehingga massa serumen terdorong keluar.

g. Otitis Eksterna5
Pendahuluan
Otitis eksterna adalah radang liang telinga akut maupun kronis disebabkan oleh infeksi
bakteri, jamur dan virus. Faktor timbulnya otitis eksterna ini ialah perubahan pH di liang
telinga, yang biasanya normal atau asam. Bila pH menjadi basa, proteksi terhadap infeksi
menurun. Selain itu, udara yang lembab dan hangat menyebabkan bakteri dan jamur
mudah tumbuh. Trauma ringan karena berenang dan membersihkan telinga secara
berlebihan juga boleh menyebabkan otitis eksterna.
Terdapat 2 jenis Otitis eksterna disebabkan infeksi bakteri ada tiga yaitu otitis eksterna
sirkumskripta, otitis eksterna difus dan otitis eksterna maligna.

 Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkel = bisul)


Etiologi
Staphylococcus aureus, Staphylococcus albus

Patofisiologi
Infeksi oleh kuman pada kulit di sepertiga luar liang telinga yang mengandung adneksa
kulit, seperti folikel rambut, kelenjar sebasea, dan kelenjar serumen sehingga membentuk
furunkel.

Manifestasi
Rasa nyeri yang hebat, tidak sesuai dengan ukuran bisul karena kulit liang telinga tidak
mengandung jaringan longgar di bawahnya. Nyeri timbul apabila daun telinga disentuh
atau dipegang (helix sign), saat tragus ditekan (tragus sign) dan sewaktu mandibula
bergerak untuk membuka mulut (sendi temporomandibula). Tuli konduktif terjadi apabila

19
furunkel besar dan menyumbat liang telinga. Liang telinga tampak bengkak pada tempat
tertentu.

Gambar 3.9 Otitis eksterna sirkumskripta telinga kiri, terlihat tonjolan pada MAE
superior berupa furunkel14

Tatalaksana
1. Jika terjadi abses, dilakukan aspirasi secara steril untuk mengeluarkan nanah. Jika
dinding furunkel tebal, dilakukan insisi, kemudian dipasang drain untuk mengeluarkan
nanah.
2. Lokal : salep polimixin B atau bacitracin (antibiotik), asam asetat 2-5% dalam alcohol
(antiseptik)
3. Terapi simptomatik : analgetik dan obat penenang

 Otitis Eksterna Difus


Etiologi
Pseudomonas sp, Staphylococcus albus, E.coli, dan Enterobacter aerogenes

Patofisiologi
Infeksi oleh kuman pada kulit liang telinga 2/3 dalam sehingga menimbulkan peradangan.
Dapat terjadi sekunder pada OMSK atau OMA.

Manifestasi klinik
Gejala sama denga otitis media sirkumskripta. Tampak 2/3 dalam liang telinga sempit,
hiperemis, dan edema tanpa batas yang jelas, serta tidak ditemukan furunkel. Kadang

20
terdapat sekret berbau tidak mengandung lendir (musin). Dapat disertai demam dan
pembesaran kelenjar getah bening regional.

Tatalaksana
Masukkan tampon yang mengandung antibiotik ke liang telinga supaya terjadi kontak yang
baik antara obat dengan kulit yang meradang. Dapat diberikan kompres rivanol 1/1000
selama 2 hari. Dapat digunakan obat tetes telinga yang mengandung:
 Polimiksin B, Neomisin (otopraf [fludrokortison asetat 1 mg, polimiksin B Sulfat
10000 IU, neomisin sulfat 5 mg, lidokain HCl 40 mg]), dewasa 4 x 4 – 5 tetes/hari;
anak-anak 4 x 2 – 3 tetes/hari.
 Kloramfenikol 1% (10 mL), 3 x 2 – 3 gtt.
Bila kasus berat, diperlukan antibiotik sistemik atau oral. Bila terjadi akibat infeksi telinga
tengah maka penyebabnya yang harus diobati

 Otitis Eksterna Maligna


Etiologi
Pseudomonas sp.

Faktor Predisposisi
Riwayat diabetes mellitus dalam keluarga khususnya orang tua

Patofisiologi
Pada penderita diabetes, pH serumen lebih tinggi dibanding pH serumen non diabetes.
Kondisi ini menyebabkan pada penderita diabetes lebih mudah terjadi otitis eksterna.
Akibat adanya faktor immunocompromize dan mikroangiopati, otitis eksterna berlanjut
menjadi otitis eksterna maligna. Peradangan meluas secara progresif ke lapisan subkutis,
tulang rawan dan ke tulang sekitarnya, sehingga timbul kondritis, osteitis, dan
osteomielitis yang menghancurkan tulang temporal.

Manifestasi klinis
Rasa gatal di liang telinga, diikuti nyeri hebat dan sekret yang banyak serta pembengkakan
liang telinga. Nyeri akan menghebat dan liang telinga tertutup jaringan granulasi yang

21
cepat tumbuhnya. Jika terkena saraf facialis, dapat menimbulkan parese atau paralisis
fasial.

Tatalaksana
Antibiotik dosis tinggi terhadap Pseudomonas selama 6 minggu, bila perlu dilakukan
debridemen pada jaringan nekrotik di liang telinga dan cavum timpani. Yang terpenting
gula darah harus dikontrol.

h. Otomikosis
Etiologi
Jamur di liang telinga yang dipermudah dengan kelembaban yang tinggi di daerah tersebut.
Yang tersering jamur Aspergillus niger. Dapat juga Pityrosporum, Aktinomises, atau
Candida albicans.

Manifestasi Klinis
Rasa gatal dan tersumbat di liang telinga. Pada pemeriksaan tampak liang telinga terisi
oleh filamen jamur berwarna keputihan. Seringkali juga terjadi infeksi oleh bakteri akibat
trauma mengorek liang telinga

Penatalaksanaan
Liang telinga dibersihkan secara teratur. Larutan asam asetat 2-5% dalam alkohol yang
diteteskan ke liang telinga biasanya dapat menyembuhkan. Kadang diperlukan obat anti
jamur (topikal) seperti ketokonazol 1 x 1 – 3 mL selama 1 minggu.

i. Keratosis Obliterans dan Kolesteatoma Eksterna


Keratosis obliterans terjadi akibat gumpalan epidermis di liang telinga yang disebabkan
oleh terbentuknya sel epitel yang berlebihan yang tidak bermigrasi kearah telinga luar.
Sering dikaitkan dengan sinusitis dan bronkiektasi.

Manifestasi Klinis
Keratosis obliterans biasanya bilateral dan sering ditemukan pada usia muda. Terdapat tuli
konduktif akut, nyeri yang hebat, liang telinga lebih lebar, membran timpani lebih utuh
tapi lebih tebal dan jarang terdapat sekret. Erosi tulang menyeluruh pada keratosis

22
obliterans menyebabkan liang telinga tampak lebih luas berbanding erosi akibat
kolesteatoma eksterna yang hanya terjadi di daerah posteroinferior.

Kolesteatoma eksterna biasanya unilateral dan sering ditemukan pada usia tua. Otore dan
nyeri tumpul menahun terjadi karena invasi kolesteatoma ke tulang yang menimbulkan
periosteitis. Pendengaran dan membran timpani tampak normal.

Gambar 3.11 Kolesteatoma eksterna15 Gambar 3.12 Obturans keratosis16

Tabel 3.2 Perbedaan keratosis obturans dan kolesteatoma eksterna5

Keratosis Obturans Kolesteatom Eksterna


Umur Dewasa muda Tua
Penyakit terkait Sinusitis, bronkiektasis Tidak ada
Nyeri Akut/berat Kronis/nyeri tumpul
Gangguan pendengaran Konduktif/sedang Tidak ada/ringan
Sisi telinga Bilateral Unilateral
Erosi tulang Sirkumferensial Terlokalisasi
Kulit telinga Utuh Ulserasi
Osteonekrosis Tidak ada Bisa ada
Otorea Jarang Sering

Tatalaksana
Penyakit ini biasanya dapat dikontrol dengan melakukan pembersihan liang telinga secara
periodik, misalnya setiap 3 bulan. Pemberian obat tetes telinga dari campuran alkohol atau
gliserin dalam peroksid 3 %, 3 kali seminggu sering kali dapat menolong. Pada pasien

23
yang telah mengalami erosi tulang liang telinga, sering kali diperlukan tindakan bedah
dengan melakukan tandur jaringan ke bawah kulit untuk menghilangkan gaung di dinding
liang telinga. Yang penting adalah membuat agar liang telinga berbentuk seperti corong,
sehingga pembersihan liang telinga secara spontan lebih terjamin.

3.5.1 Gangguan Pendengaran pada Telinga Tengah


a. Barotrauma17
Definisi
Perubahan tekanan secara tiba-tiba di luar telinga tengah sewaktu menyelam atau di
pesawat terbang menyebabkan tuba eustachius gagal membuka.

Manifestasi klinis
Penurunan pendengaran (tuli konduktif), nyeri pada telinga, autofoni, rasa penuh pada
telinga.
Pada pemeriksaan otoskop, pada fase awal, akan tampak membran timpani retraksi.
Retraksi menyebabkan membran timpani meregang dan pembuluh darah kecil pecah
sehingga membran timpani tampak mengalami injeksi disertai pembentukan bleb
hemoragik atau adanya darah di belakang membran timpani. Kadang-kadang membrane
timpani dapat mengalami perforasi.

Tatalaksana
Dekongestan lokal atau melakukan perasat Valsava selama tidak terdapat ISPA. Apabila
cairan atau cairan bercampur darah menetap sampai beberapa minggu, dianjurkan untuk
tindakan miringotomi dan bila perlu dilakukan pemasangan pipa ventilasi (Grommet).

b. Otosklerosis17
Definisi
Otosklerosis merupakan penyakit pada kapsul tulang labirin yang mengalami spongiosis
di daerah kaki stapes, sehingga stapes menjadi kaku dan tidak dapat menghantarkan
getaran suara ke labirin dengan baik.

24
Penyebab
Otosklerosis merupakan suatu penyakit keturunan dan merupakan penyebab tersering dari
tuli konduktif progresif pada dewasa yang gendang telinganya normal. Jika pertumbuhan
berlebih ini menjepit dan menyebabkan kerusakan pada saraf-saraf yang menghubungkan
telinga dalam dengan otak, maka bisa terjadi tuli sensorineural.

Gejala
Tuli dan telinga berdenging (tinnitus).

Diagnosis
Untuk mengetahui beratnya ketulian bisa dilakukan pemeriksaan audiometri/audiologi.
CT scan atau rontgen kepala dilakukan untuk membedakan otosklerosis dengan
penyebab ketulian lainnya.

Pengobatan
Pengangkatan tulang stapes dan menggantinya dengan tulang buatan bisa mengembalikan
pendengaran penderita. Ada 2 pilihan prosedur, yaitu:
 Stapedektomi (pengangkatan tulang stapes dan penggantian dengan protese)
 Stapedotomi (pembuatan lubang pada tulang stapes untuk memasukkan
protease)
Jika penderita enggan menjalani pembedahan, bisa digunakan alat bantu dengar.

c. Otitis Media Akut (OMA)17


Definisi
Inflamasi akut telinga tengah akibat bakteri piogenik.

Etiologi
Sumbatan pada tuba eustachius merupakan penyebab utama dari otitis media. Pertahanan
tubuh pada silia mukosa tuba Eustachius terganggu, sehingga pencegahan invasi kuman
ke dalam telinga tengah terganggu juga. Selain itu, ISPA juga merupakan salah satu faktor
penyebab yang paling sering.

25
Kuman penyebab OMA adalah bakteri piogenik, seperti Streptococcus hemoliticus,
Haemophilus Influenzae (27%), Staphylococcus aureus (2%), Streptococcus Pneumoniae
(38%), Pneumococcus.
Pada anak-anak, makin sering terserang ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya otitis
media akut (OMA). Pada bayi, OMA dipermudah karena tuba Eustachius-nya pendek,
lebar, dan letaknya agak horisontal.

Tabel 3.3: Gambaran membran timpani, telinga tengah, sekret, gejala dan tatalaksana sesuai
stadium OMA.17,18
Stadium Membran Sekret/kondisi Gejala Tatalaksana
timpani telinga tengah
Oklusi -Retraksi Efusi mungkin -Telinga terasa penuh -Dekongestan
tuba -Warna terjadi, tetapi Efedrin HCL
normal/keruh tidak terdeteksi -Otalgia 0,5% dalam
pucat -Pendengaran menurun larutan
fisiologik
-Antibiotik
Hiperemis -Hiperemis Sekret berupa -Telinga terasa penuh -Antibiotik
sebagian/total eksudat serosa
-Edema (sukar terlihat) -Otalgia -Dekongestan
-Pendengaran menurun -Analgesik
Supurasi -Menonjol ke -Mukosa -Otalgia berat -Antibiotik
luar (bulging), edema hebat
motilitas -Demam (hingga 39.5ºC) -Dekongestan
menurun -Eksudat
purulent -Muntah,gelisah,diare,kejang, -Analgesik
vertigo, paralisis saraf fasialis
-Antipiretik
-Area postaurikular bengkak
-Miringotomi

Perforasi -Perforasi Sekret -Otorea (akibat perforasi) -Obat cuci


(ada/tida0k mengalir telinga H2O2
keluar -Demam turun 3% selama 3-5
-Keadaan umum tenang hari
-Antibiotik
Resolusi Jika membran Sekret Keadaan membaik Resolusi dapat
timpani utuh berkurang terjadi tanpa
akan perlahan- hingga kering pengobatan
lahan kembali
normal

26
a. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)17
Definisi
Radang telinga tengah menahun atau otitis media supuratif kronik (OMSK), yang biasa
disebut “congek” adalah radang kronis telinga tengah dengan adanya lubang (perforasi)
pada gendang telinga (membran timpani) dan riwayat keluarnya cairan (sekret) dari telinga
(otorea) lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin serous,
mukous atau purulen. Penyakit ini biasanya diikuti oleh penurunan pendengaran dalam
beberapa tingkatan.

Etiologi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan otitis media akut menjadi otitis media kronis
yaitu terapi yang terlambat diberikan, terapi tidak adekuat, virulensi kuman yang tinggi,
daya tahan tubuh yang rendah (gizi buruk) atau hygiene buruk. Kuman penyebab yang
sering dijumpai pada OMSK ialah Pseudomonas aeruginosa sekitar 50%, Proteus sp. 20%
dan Staphylococcus aureus 25%.

Berdasarkan aktivitas sekret yang keluar terbagi dua. OMSK aktif ialah OMSK dengan
sekret yang keluar dari kavum nasi secara aktif, sedangkan OMSK tenang ialah yang
kavum timpaninya terlihat basah atau kering.

Letak Perforasi
Perforasi sentral : perforasi terdapat di pars tensa, sedangkan di seluruh tepi perforasi
masih ada sisa membrane timpani
Perforasi marginal : sebagian tepi perforasi langsung berhubungan dengan anulus atau
sulkus timpanikum
Perforasi atik : perforasi yang terletak pada pars flaksida

OMSK dibagi menjadi tipe aman (benigna) dan tipe bahaya (maligna)
OMSK benigna
-peradangan terbatas di mukosa
-perforasi di sentral
-kolesteatoma (-)

27
OMSK maligna
-Peradangan sampai ke tulang
-perforasi atik atau marginal
-kolesteatoma (+)

Terapi
Prinsip terapi OMSK tipe benigna : KONSERVATIF & MEDIKAMENTOSA
-Bila sekret keluar terus menerus : beri obat pencuci telinga berupa larutan H2O2 3-5%
selama 3-5 hari
-Bila sekret berkurang : Beri obat tetes telingayang mengandung antibiotik dan
kortikosteroid.
-Terapi oral : Antibiotik golongan ampisilin atau eritromisin sebelum hasil tes resistensi
diterima. Pada infeksi yang dicurigai karena penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin
dapat diberikan kombinasi ampisilin-asam klavulanat.
-Bila sekret kering tetapi perforasi menetap setelah observasi 2 bulan, lakukan
miringoplasti atau timpanoplasti.
-Bila ada sumber infeksi yang menyebabkan sekret tetap ada, obati sumber infeksi yang
ada sebelumnya.
Prinsip terapi OMSK tipe maligna : OPERATIF
-Terapi konservatif diberikan untuk sementara sebelum pembedahan.
-Pembedahan :
 Mastoidektomi sederhana
 Mastoidektomi radikal
 Mastoidektomi radikal dengan modifikasi
 Miringoplasti
 Timpanoplasti
 Pendekatan ganda timpanoplasti

3.5.3 Gangguan pendengaran pada telinga dalam


a. Noise Induced Hearing Loss (NIHL)19
Noise Induced Hearing Loss (NIHL) adalah tuli sensorineural yang terjadi akibat terpapar
oleh bising yang cukup keras dan dalam jangka waktu yang cukup lama.

28
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan yaitu intensitas kebisingan,
frekwensi kebisingan dan lamanya waktu pemaparan bising.

Patogenesis
Tuli akibat bising mempengaruhi organ of Corti di koklea terutama sel-sel rambut. Daerah
yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan adanya degenerasi
yang meningkat sesuai dengan intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada sel-sel rambut
luar menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan
bertambahnya intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti
hilangnya stereosilia. Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan
hilangnya stereosilia, sel-sel rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin
tinggi intensitas paparan bunyi, sel-sel rambut dalam dan sel-sel penunjang juga rusak.
Dengan semakin luasnya kerusakan pada sel-sel rambut, dapat timbul degenerasi pada
saraf yang juga dapat dijumpai di nukleus pendengaran pada batang otak.

Gejala Klinis
Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara (speech
discrimination). Gangguan pada frekwensi tinggi dapat menyebabkan kesulitan dalam
menerima dan membedakan bunyi konsonan. Bunyi dengan nada tinggi, seperti suara bayi
menangis atau deringan telepon dapat tidak didengar sama sekali. Ketulian biasanya
bilateral. Selain itu tinitus merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan akhirnya dapat
mengganggu ketajaman pendengaran dan konsentrasi.
Orang yang menderita tuli sensorineural sangat terganggu oleh bising latar belakang
(background noise), sehingga bila berkomunikasi di tempat yang ramai akan mendapat
kesulitan mendengar dan mengerti pembicaraan (cocktail party).

Pemeriksaan
Tes Garpu Tala
Rinne (+), Weber – lateralisasi ke telinga sehat/lebih baik, Schwabach memendek = Tuli
sensorineural
Audiometri Nada Murni
Didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi 3000-6000 Hz. Pada frekuensi 4000 Hz
terdapat takik (notch).

29
Tatalaksana
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari
lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung
telinga terhadap bising, seperti sumbat telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff) dan
pelindung kepala (helmet).
Bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan
volume percakapan biasa, dapat dicoba pemasangan hearing aid/alat bantu dengar
(ABD).Selain itu, perlu dilakukan psikoterapi dan latihan pendengaran (auditory training).
Pada pasien yang telah mengalami tuli total bilateral dapat dipertimbangkan untuk
pemasangan implan koklea (cochlear implant). (34)

b. Tuli Akibat Obat Ototoksik20


Definisi
Kerusakan karena efek toksik obat di telinga dalam, koklea, dan/atau vestibuler.

Etiologi
Agen-agen ototoksik, antibiotik (aminoglikosida, streptomisin, dihidrostreptomisin,
neomisin, gentamisin), diuretik (furosemid, asam etakrinat, bumetamid, manitol),
analgetik dan antipiretik (salisilat, kinin, klorokuin), antineoplastik (bleomisin, nitrogen
mustard, cis-platinum), lain-lain (pentobarbital, keksadin, mandelamin, praktolol), zat
kimia (karbon monoksida, minak chenopodium, nikotin, alkohol, kalium bromat), logam
berat (air raksa, emas, timbale, arsenik).

Gejala Klinis
Tinnitus, ketulian, dan vertigo

Tatalaksana
Tuli yang diakibatkan obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila pada waktu pemberian
obat-obat ototoksik terjadi pada gangguan telinga dalam (dapat diketahui secara
audiometrik), maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus segera dihentikan.
Apabila ketulian sudah terjadi dilakukan rehabilitasi antara lain dengan alat bantu dengar
(ABD), psikoterapi, auditory training, termasuk cara menggunakan sisa pendengaran
dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan belajar membaca bahasa isyarat.
Pada tuli total bilateral, dipertimbangkan pemasangan implan koklea(cochlear implant).

30
c. Meniere’s Disease21
Definisi
Adalah kelainan telinga dalam yang mempunyai gejala pusing, vertigo, tinnitus, telinga
yang berdengung, dan sensasi seperti di tekan. Biasanya terjadi pada telinga unilateral.
Penyakit ini disebut juga hidrops endolimfatik. (35)

Patogenesis
Gejala klinis penyakit Meniere disebabkan oleh adanya hidrops endolimfe pada koklea
dan vestibulum. Hidrops yang terjadi mendadak dan hilang timbul diduga disebabkan oleh:

a. Meningkatnya tekanan hidrostatik pada ujung arteri.


b. Berkurangnya tekanan osmotik di dalam kapiler.
c. Meningkatnya tekanan osmotik ruang ekstrakapiler.
d. Jalan keluar sakus endolimfatikus tersumbat, sehingga terjadi penimbunan cairan
endolimfa.

Gambar 3.12 Perbedaan vestibulum normal dan vestibulum penderita penyakit


Meniere

31
Gejala Klinis
Sindrom Meniere terdiri dari tinnitus dan vertigo.

d. Presbikusis22
Definisi
Presbikusis adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi, umumnya pada usia 65 tahun,
simetris pada telinga kiri dan kanan, terjadi pada frekuensi 1000 Hz atau lebih.

Etiologi
Presbikusis merupakan akibat proses degenerasi yang memiliki hubungan dengan faktor-
faktor herediter, pola makanan, arterioskerosis, infeksi, bising, gaya hidup atau bersifat
multifaktor. Progresifitas penurunan pendengaran dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin,
laki-laki lebih cepat dibandingkan perempuan.

Patologi
Proses degenerasi menyebabkan perubahan struktur koklea dan N.VIII. Pada koklea
perubahan yang mencolok ialah atrofi dan degenerasi sel-sel rambut penunjang pada organ
Corti. Proses atrofi disertai dengan perubahan vaskular juga terjadi pada stria vaskularis.
Ukuran sel-sel ganglion, saraf, dan myelin akson saraf juga mengalami penurunan jumlah.

Gejala Klinik
Keluhan utama presbikusis berupa berkurangnya pendengaran secara perlahan-lahan dan
progresif, simetris pada kedua telinga. Kapan berkurangnya pendengaran tidak diketahui
pasti.
Keluhan lainnya adalah telinga berdenging (tinitus nada tinggi). Pasien dapat mendengar
suara percakapan, tapi sulit untuk memahaminya, terutama bila diucapkan dengan cepat di
tempat dengan latar belakang bising (cocktail party deafness). Bila intensitas suara
ditinggikan akan timbul rasa nyeri di telinga, hal ini disebabkan oleh faktor kelelahan saraf
(recruitment).

Diagnosis
Dengan pemeriksaan otoskopik, tampak membran timpani suram, mobilitasnya berkurang.
Pada tes penala didapatkan tuli sensorineural. Pemeriksaan audiometrik nada murni
menunjukkan suatu tuli saraf nada tinggi, bilateral, dan simetris.

32
Pada tahap awal terdapat penurunan tajam (sloping) setelah frekuensi 2000 Hz. Ini khas
pada presbikusis jenis sensorik dan neural.
Garis ambang dengar pada audiogram jenis metabolik dan mekanik lebih mendatar,
kemudian pada tahap berikutnya berangsur-angsur terjadi penurunan. Pada tahap lanjut
terjadi penurunan pada frekuensi yang lebih rendah.
Pemeriksaan audiometrik tutur menunjukkan adanya gangguan diskriminasi wicara
(speech discrimination). Tampak pada presbikusis neural dan koklear.

Tatalaksana
Rehabilitasi untuk mengembalikan fungsi pendengaran dilakukan dengan pemasangan alat
bantu dengar (hearing aid). Perlu dikombinasikan dengan latihan membaca ujaran (speech
reading) dan latihan mendengar (audiotory training).

e. Speech Delay23
Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan mendengar, oleh
karenanya dengan memahami tahap perkembangan bicara dapat diperkirakan adanya
gangguan pendengaran.
Tabel 3.3 : Perkiraan adanya gangguan pendengaran pada bayi dan anak23
Usia Kemampuan bicara
12 bulan Belum dapat mengocah (babbling) atau
bunyi
18 bulan Tidak dapat menyebutkan 1 kata yang
mempunyai arti
24 bulan Perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
30 bulan Belum dapat merangkai 2 kata

Etiologi
Masa prenatal
-kelainan genetik
-kelainan non genetik : Infeksi bakteri atau virus seperti Toksoplasmosis, Rubela,
cytomegalovirus, Herpes dan Siflis (TORCH), obat ototoksik atau teratogenik seperti
salisilat, kina, neomisin, dihidro streptomisin, gentamisin, barbiturate, thalidomide dll.

33
Masa perinatal
Prematur, berat badan lahir rendah (<2500 gram), hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak
menangis)
Masa postnatal
-Infeksi bakteri atau virus seperti rubella, campak, parotis, infeksi otak (meningitis,
ensefalitis)
-perdarahan telinga tengah, trauma temporal

Pemeriksaan Pendengaran pada Bayi dan Anak


Otoacoustic Emission (OAE)
Otoacoustic emission digunakan untuk menilai fungsi koklea. Suara dari dunia luar
diproses oleh koklea menjadi stimulus listrik, selanjutnya dikirim ke batang otak melalui
saraf pendengaran. Sebagian energi bunyi tidak dikirim ke saraf pendengaran tetapi
kembali menuju ke liang telinga. Proses ini mirip dengan peristiwa echo (Kemp echo).
Produk sampingan koklea ini disebut otoacoustic emission. Selain menerima dan
memproses bunyi, koklea juga dapat memproduksi energi bunyi dengan intensitas rendah
yang berasal dari sel rambut luar koklea (outer hair cells).

Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)


BERA dapat dilakukan tanpa pasien perlu melakukan apapun. Pasien hanya perlu
berbaring dan sebaiknya dalam sikap tenang atau tidur. Untuk anak, pemeriksaan ini dapat
dilakukan dalam keadaan bangun, tidur, atau dalam bius (meskipun jarang). Elektroda
akan dipasang di bagian kepala pasien dan pada belakang telinga pada saat prosedur uji
BERA. Saat pemeriksaan dilakukan, pasien akan diperdengarkan berbagai suara
melalui headphone. Pemeriksaan ini mengukur perubahan aktivitas elektrik otak (EEG)
dalam pemberian stimuli akustik. Kelainan yang terjadi pada transmisi sinyal saat suara
diperdengarkan mengindikasikan adanya gangguan pendengaran.

f. Tuli Mendadak24
Definisi
Penurunan pendengaran sensorineural 30 dB atau lebih, paling sedikit tiga frekuensi
berturut-turut pada pemeriksaan audiometri dan berlangsung dalam waktu kurang dari 3
hari. Terjadi secara tiba-tiba, biasanya unilateral.

34
Etiologi
Iskemia koklea, infeksi virus, trauma bising yang keras, perubahan tekanan atmosfir,
autoimun, obat ototoksik, penyakit Meniere dan neuroma akustik.

Diagnosis
Tes penala
Rinne (+), Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, Schwabach memendek. Kesan : tuli
sensorineural

Audiometri
Tuli sensorineural ringan sampai berat.

Tatalaksana
-Bed rest total selama kurang lebih 2 minggu
-Oral methylprednisolone 1mg/kgBB/hr, tapering off tiap 3-5 hari
-Jika penurunan berat >70dB, methylprednison intra vena dosis 250mg-500mg/hari
-Vitamin C 500mg 1x1 tablet/hari, Vitamin E 1x1 tablet
-Neurobion 3x1 tablet/hari
-Diet rendah garam, rendah kolesterol
-Hiperbarik Oksigen Terapi
-Antivirus sesuai penyebab
-Obat-obat lambung untuk mencegah gangguan di lambung

35
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total
medengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Gangguan pendengaran dapat
diklasifikasikan sebagai tuli konduktif (kelainan pada telinga luar dan tengah), tuli
sensorineural (kelainan pada telinga dalam), dan tuli campur (gangguan pada telinga
luar atau telinga tengah dan telinga dalam). Faktor penyebabnya bisa dari faktor genetik
dan faktor didapat. Derajat ketulian menurut ISO terbagi atas: normal (0-25 dB), tuli
ringan (26 – 40 dB), tuli sedang (41-55 dB), tuli sedang berat (56-70 dB), tuli berat (71-
90 dB), tuli sangat berat (> 90 dB).
Gangguan pada telinga luar dapat berupa atresia liang telinga & mikrotia, fistula
preaurikular, hematoma aurikular, perikondritis, pseudokista, cerumen plug, otitis
eksterna, otomikosis, keratosis obliterans & kolesteatoma eksterna.
Gangguan pada telinga tengah berupa barotrauma, otosklerosis, otitis media
akut, dan otitis media supuratif kronis.
Gangguan pada telinga dalam berupa NIHL, akibat penggunaan ototoksik,
penyakit Meniere, dan presbikusis, Speech Delay pada anak dan Sudden Deafness.

36
DAFTAR PUSTAKA
1. Anatomi Telinga. Diunduh dari https://www.fairview.org/patient-education. Diunduh
pada 26 September 2019.
2. Ear Anatomy. Diunduh dari https://emedicine.medscape.com. Diunduh pada 26
September 2019.
3. Hendarmin H, Bahiruddin J, Alwiandi W. Gangguan Pendengaran (Tuli). Dalam: Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi VII. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
4. Struktur Koklear di Telinga Dalam. Diunduh dari
https://www.onlinebiologynotes.com/physiology-of-hearing/fisiology of hearing.
Diunduh pada 26 September 2019.
5. Hafil AF, Sosialisman, Helmi. Kelainan Telinga Luar. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi VII. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
6. Atresia Pada Canalis Auditorius Externus. Diunduh dari :
https://emedicine.medscape.com. Diunduh pada 25 September 2019.
7. Microtia. Diunduh dari : https://earcommunity.org/microtiaatresia/ Diunduh pada : 25
September 2019.
8. Medical Findings Based on Ear Anatomy (Preauricular Skin Pit). Diunduh dari
https://medlineplus.gov Diunduh pada : 25 September 2019
9. Hematoma of The Auricle. Diunduh dari :
https://www.ghorayeb.com/AuricleHematoma.html Diunduh pada 25 September 2019.
10. Pericondritis of The Ear. Diunduh dari : https://www.msdmanuals.com Diunduh pada
25 September 2019.
11. Cauliflower Ear. Diunduh dari : https://www.webmd.com/skin-problems-and-
treatments/cauliflower-ear-symptoms-causes-treatments Diunduh pada 25 September
2019
12. C.J Salgado, J.E Hardy, S. Mardini, J.M Dockery, Matthews M.S. Treatment of
auricular pseudocyst with aspiration and local pressure. Journal of Plastic,
Reconstructive & Aesthetic Surgery. 2006:59(12);1450-2.
13. Serumen Plug. Diunduh dari : https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/14428-
ear-wax-buildup--blockage Diunduh pada 25 september 2019.
14. Otitis Eksterna Sirkumskripta. Diunduh dari :
https://www.londonentclinic.com/ear/ear-infections Diunduh pada : 25 September
2019
15. Cholesteatoma. Diunduh dari : https://en.wikipedia.org/wiki/Cholesteatoma Diunduh
pada 25 September 2019
16. Romdhoni AC. Keratosis obturans management. Biomolecular and Health Science
Journal. 2018 April:01(01);77.
17. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan telinga tengah. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi VII. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
18. Marcelena R, Farid A. Otitis media akut. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-
4. Jakarta : Media Aesculapius;2014.h.1015-8.
19. Bashiruddin J, Alviandi W. Gangguan pendengaran akibat bising. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi VII. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.

37
20. Bashiruddin J, Alviandi W, Bramantyo B. Gangguan pendengaran akibat obat
ototoksik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher Edisi VII. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
21. Hadjar E, Bashiruddin J, Bramantyo B. Penyakit meniere. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi VII. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
22. Suwento R, Hendarmin H. Gangguan pendengaran pada geriatri. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi VII. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
23. Suwento R, Zizlavsky S, Herdarmin H. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak.
Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher
Edisi VII. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
24. Bashiruddin J, Bramantyo B. Tuli mendadak. . Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi VII. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

38

Anda mungkin juga menyukai