Anda di halaman 1dari 11

PATCH TEST

Skin patch test atau yang biasa disebut uji tempel adalah uji iritasi dan kepekaan kulit
yang dilakukan dengan mengoleskan sediaan atau bahan-bahan tertentu pada kulit manusia
dengan maksud untuk mengetahui apakah bahan tersebut dapat menimbulkan iritasi atau
kepekaan kulit atau tidak. Tes ini biasanya dilakukan di punggung. Untuk melakukan skin patch
test diperlukan antigen, biasanya antigen standart buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System
Kit dan T.R.U.E Test, keduanya buatan Amerika serikat. Terdapat juga antigen buatan pabrik
Eropa dan Negara lain. Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standart dapat berupa
bahan kimia murni atau lebih sering bahan campuran yang berasal dari rumah, lingkungan kerja
atau tempat rekreasi. Mungkin ada sebagian bahan yang bersifat sangat toksik terhadap kulit atau
walaupun jarang dapat memberikan efek toksik terhadap sistemik. Oleh karena itu bila
menggunakan bahan tidak standart, apalagi dengan bahan industry harus berhati-hati sekali.
Jangan melakukan skin patch test dengan bahan yang tidak diketahui.

Berbagai hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan skin patch test:

1. Dermatitis harus sudah sembuh. Bila masih dalam keadaan akut dan berat dapat terjadi
reaksi angry back atau excited skin, reaksi positif palsu dapat juga menyebabkan penyakit
yang sedang dideritanya semakin memburuk.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakain kortikosteroid sistemik
dihentikan, sebab dapat menghasilkan reaksi negatif palsu. Pemberian kortikosteroid
topikal dipunggung dihentikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum tes dilakukan.
Luka bakar sinar matahari yang terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan juga dapat
memberikan hasil negatif palsu. Sedangkan anti histamin sistemik tidak mempengaruhi
hasil tes kecuali diduga karna urtikaria kontak.
3. Skin patch test dibuka setelah dua hari kemudian dibaca, pembacaan kedua dilakukan
pada hari ketiga sampai hari ketujuh setelah aplikasi.
4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan skin patch test menjadi
longgar (tidak menempel dengan baik) karna memberikan hasil negatif palsu. Penderita
juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam dan menjaga agar punggung
selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai.
5. Skin patch test dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita yang
mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan (immediate uticarial type) karena dapat
menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam
ini dilakukan tes prosedur khusus.
Ekstrak allergen
Ekstrak allergen yang digunakan dalam uji tempel standar terdiri dari 24 jenis yaitu :
1. Nickel
2. Wool alcohols
3. Neomycin sulfate
4. Potassium dichromate
5. Cain mix
6. Fragnance mix
7. Colophony
8. Epoxy resin
9. Quinoline mix
10. Balsam of peru
11. Ethylenediamine dihydrocloride
12. Cobalt chloride
13. P-tert-butylhenolformaldehyde
14. Paraben mix
15. Carba mix
16. Black rubber mix
17. Kathon CG
18. Quaternium
19. Mercaptobenzothiazole
20. Phenylenediamine
21. Formaldehyde
22. Mercapto mix
23. Thiomersal
24. Tiurammix
Ekstrak allergen dari bahan yang harus dicurigai harus memenuhi persyaratan
tertentu:
1. Kapasitas penetrasi intrinsic, termasuk tidak toksik
2. Konsentrasi
3. Vehikulum
4. Oklusivitas uji tempel
5. Waktu paparan.

Pada Suatu Jurnal dituliskan anak-anak dengan dermatitis kontak di Inggris di uji
dengan skin patch test. Alergen yang diberikan pada paunggung penderita kemudian
ditutup dengan Finn aluminium Chambers dibiarkan selama 48 jam. dan pembacaan
dilakukan pada 48 jam dan 96 jam. Reaksi diberi skor sesuai dengan criteria Penelitian
Contact Dermatitis Internasional Group.

Pada suatu penelitian dari 500 anak yang dirujuk ke Departemen Dermatology, Leeds
General Infirmary untuk patch tes memberikan kesimpulan bahwa pasien yang lebih tua
lebih mungkin untuk memiliki reaksi positif terhadap skin patch test.
Beberapa anggota tubuh yang telah dilakukan skin patch test, didapatkan hasil sebagai berikut :
Indikasi dilakukannya skin patch test biasanya jika tampak adanya kontak reaksi alergi dari kulit
atau selaput lendir berdekatan yang dicurigai. Untuk mengetahui dugaan alergi, dicari terlebih
dahulu etiologinya. Bisa dengan makanan, terpapar zat-zat kimia, bahan-bahan yang bias
menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan iritasi. Patch test tidak bias dilakukan pada seseorang
yang masih menggunakan obat kortikosteroid, imunosupresif atau imunomodulasi obat, seperti
glukokortikoid, serta paparan sinar matahari, karna bisa memberikan hasil yang tidak sesuai.
Patch test juga tidak boleh dilakukan pada orang hamil. Penetrasi dari alergen yang diberikan
bias memberikan efek teratogenik tidak bias dikesampingkan. Serta adanya efek lain yang tidak
diinginkan , misalnya iatrogenic. Jika hasil tes ragu-ragu, maka tes bisa diulang.
Sumber : ICDRG (International Contact Dermatitis Research Group)
Indikasi uji tempel

1. DKA yang sudah tenang


2. Dermatitis kontak iritan (DKI) dengan diagnosis banding DKA
3. Dermatitis kronik dengan penyebab belum diketahui.

Kontra indikasi Uji Tempel

1. Dermatitis yang diderita masih dalam fase akut.


2. Menggunakan obat-obatan yang dapat mempengaruhi reaksi kulit, misalnya steroid,
anti histamine dan imunomodulator.

Efek samping Uji Tempel .

1. Sensitisasi
2. Reaksi iritan
3. Kambuhnya dermatitis yang diderita sebelumnya
4. Fenomena kobner
5. Reaksi positif yang resisten
6. Reaksi anafilaksis
7. Lesi hiperpigmentasi atau hipopigmentasi pada lokasi dengan reaksi positif
8. Reaksi pustular
9. Efek karena tekanan
10. Infeksi virus dan bakteri
11. Nekrosis, terbentuknya scar dan keloid

Persiapan :

1. Lesi kulit dalam keadaan tenang


2. Tidak mengkunsumsi imunosupresan atau kortikosteroid sistemik (prednison > 1
mg/hari) minimal 3 hari sebelum tes.
Alat dan bahan untuk uji tempel :
Alerger standar dan non standar, aluminium (finn) chamber dengan plester scanpor

Prosedur Uji tempel


1. Bahan alergen yang diujikan diiskan pada unit uji tempel dan diberi tanda.
2. Uji tempal dapat dilaksanakan dengan posisi pasien duduk atau telungkup
3. Dilakukan pembersihan pada kulit punggung bagian atas dengan kapas alkohol
4. Jika hanya satu atau dua jenis yang digunakan, bahan dapat dioles pada daerah lengan
atas bagian luar.
5. Unit uji tempel ditempelkan dipunggung dan diberi perekat tambahan berupa plester
hipoalergenik.
6. Pasien di ijinkan pulang dengan pesan agar lokasi uji tidak basah kena air, selama
dilakukan uji kult pasien di beritahu untuk tidak mandi, tidak melakukan aktivitas
yang menimbulkan keringat berlebihan.
7. Pada deretan bahan yang dibawa pasien, apabila terasa sangatperih/nyeri (reaksi
iritan) dapat dibuka sendiri
8. Pembacaan dilakukan pada jam ke 48-72 jam atau dilepas lebih awal jikatimbul
keluhan yang sangat gatal.
9. Hasil tes tempel yang positif bermakna dinilai relevansinya dengan anamnesis dan
gambaran klinis. Hasil relevansi positif dianggap sebagai penyebab (pembacaan
dilakukan 15 menit setelah plaster dilepaskan.

Pembacaan dan interpretasi hasil uji tempel

? : meragukan, hanya makula eritematous

+ : lemah, eritema, infiltrasi, dan papul

++ : kuat, eritema, infiltrasi, papul, dan vesikel

+++ : sangan kuat, reaksi dengan bulla

- : reaksi negatif

IR : reaksi iritan

NT : not tested

Faktor faktor yang mempengaruhi hasil uji tempel :

1. Lokasi : punggung lebih reaktif dibandingkan lengan


2. Obat-obatan : beberapa obat obatan akan menurunkan reaksi dari uji tempel seperti
anti histamin, kortikosteroid, anti depresan trisiklik, dopamine dan clonidin.
3. Usia : reaktivitas menurun saat bayi tapi kemudia meningkat paa usia anak-anak dan
semakin meningkat pada usia yang lebih tua.
4. Imunoterapi : dapat menghambat reaksi kulit terhadap alergen yang spesifik
Gambar Patch tes 48 jam awal setelah membaca patch dihapus

Gambar : Positive Patch test 120 jam setelag dibaca


DAFTAR PUSTAKA

1) Clayton, Wilklinson. 2005. Allergic contact dermatitis in children: should pattern of


dermatitis determine referral A retrospective study of 500 children tested between 1995 and
2004 in one U.K. centre. Inggris : British Association of Dermatologists.
2) Diepgen, Thomas. 2008. Future Perspectives in Diagnostic Testing of Allergic Contact
Dermatitis. Europan Dermatology
3) Djuanda, Adhi. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keliima. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
4) Aida suriadiredj, Theresia L toruan, Sandra widaty, M Yulianto Lystiawan , Agnes Sri
Siswati. Panduan layanan klinis dokter spesialis dermatologi dan venerologi, perdoski,
2014.p. 321-325

Anda mungkin juga menyukai