Anda di halaman 1dari 96

1

GELOMBANG TALI

A. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Gelombang merupakan salah satu materi asbtrak dalam dunia
fisika

dan

akan

menjadi

sebuah

masalah

tersendiri

dalam

mempelajarinya. Seringkali hanya diketahui keberadaan gelombang dari


referensi-referensi yang ada tanpa mengetahui bagaimanakah sebenarnya
bentuk dari gelombang itu sendiri. Proses penjelasan gelombang
hanyalah terpaku pada sebuah konsep yang telah ada tanpa diimbangi
oleh sebuah proses.
Gerak gelombang dapat dipandang sebagai perpindahan energi dan
momentum dari satu titik ke dalam ruang ke titik lain tanpa perpindahan
materi (Tipler, 1998). Gelombang juga dapat didefenisikan sebagai
getaran (osilasi) yang merambat melalui suatu medium dengan tidak
disertai bagian-bagian medium itu sendiri. Sumber gelombang adalah
getaran (Giancoli, 2001). Gelombang adalah getaran yang merambat
setiap benda yang berjalan dicirikan mempunyai kecepatan. Kecepatan
gelombang bergantung pada sifat medium dimana ia merambat
(Kanginan, 2008). Kecepatan gelombang pada tali yang terentang
maupun gelombang pada dawai. Untuk mempermudah memahami
faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi dawai dapat dijelaskan pada
sebuah eksperimen, salah satunya eksperimen gelombang tali yang
menggunakan prinsip kerja Melde.
Berdasarkan permasalahan diatas maka tujuan percobaan ini yaitu
mempelajari hubungan antara cepat rambat gelombang dengan tegangan
tali dan mengetahui hubungan antara frekuensi gelombang dengan
panjang gelombang.

2. Tujuan Praktium
Tujuan praktikum pada percobaan Gelombang Tali yaitu:
a) Untuk mempelajari hubungan antara cepat rambat gelombang dengan
tegangan tali.
b) Untuk mengetahui hubungan antara frekuensi gelombang dengan
panjang gelombang.

B. LANDASAN TEORI
Bila gelombang terbatas didalam ruang seperti gelombang pada tali
dalam percobaan Melde, maka akan ada pantulan atau refleksi pada kedua
ujung dan karenanya ada gelombang yang bergerak pada kedua arah.
Gelombang-gelombang ini bergabung menurut prinsip superposisi. Untuk
suatu tali yang ditinjau pada frekuensi tertentu yang superposisinya
menghasilkan suatu pola getaran stasioner yang disebut gelombang berdiri.
Gelombang ini dapat dikatakan sebagai transversal karena arah rambatannya
tegak lurus dengan arah medium perambatannya (Halliday, 2010).
Telah terlihat bahwa walaupun

gelombang bisa menempuh jarak

yang jauh, partikel-partikel pada medium hanya bergetar dalam ruang lingkup
yang terbatas. Ketika sebuah gelombang merambat sepanjang sebuah tali,
katakanlah dari kiri ke kanan, partikel-partikel tali ini bergetar ke atas dan ke
bawah dalam arah transversal terhadap gelombang itu sendiri. Gelombang
seperti ini disebut gelombang transversal. Jika ditinjau dari sisi lain ada pula
jenis gelombag lain yang disebut gelombang leongitudinal yang mana getaran
partikel pada mediumnya adalah sepenjang arah yang sama dengan gerak
gelombang (Giancoli, 2001).
Apabila vibrator dihidupkan maka tali akan bergetar sehingga pada
tali akan merambat gelombang transversal, kemudian vibrator digeser
menjauhi atau mendekati katrol secara perlahan-lahan sehingga pada tali
timbul gelombang stasioner. Setelah terbentuk gelombang stasioner dapat

diukur panjang gelombang yang terjadi () dan jika frekuensi vibrator sama
dengan f maka cepat rambat gelombang dapat di cari

(Sri, 2015).

C. METODE PRAKTIKUM
1. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada percobaan Gelombang Tali
dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut.
Tabel 1.1 Alat dan Bahan Percobaan Gelombang Tali
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Alat dan Bahan


Catu daya
Tali pada roda
Katrol berpenjepit
Beban bercelah
Kabel penghubung
Ticker timer
Neraca digital
Meteran

Kegunaan
Sumber untuk mengatur tegangan
Objek pengamatan
Alat untuk mempermudah jalannya tali
Pemberat pada tali
Penghubung antara catu daya dan ticker timer
Penggetar
Mengukur massa tali
Mengukur panjang tali

2. Prosedur Kerja
Prosedur kerja pada percobaan Gelombang Tali adalah sebagai
berikut.
a. Mempersiapkan peralatan atau komponen seperti pada Gambar 1.1
berikut.

Gambar 1.1 Rangkaian Alat dan Bahan Percoaabaan Gelombang Tali


b. Menghubungkan catu daya (On) ke ticker timer

c. Menggeser-geser ticker timer mendekati atau menjauhi katrol sehingga


papa tali berbentuk gelombang diam dengan titik simpul yang tajam
(jelas).
d. Mengukur panjang gelombang yang terbentuk dan mencatat hasilnya.
e. Dengan tidak mengubah panjang tali (ticker timer tidak bergeser)
menambah bebannya yang mula-mula 0,05 kg menjadi 0,1 kg.
Selanjutnya, mengamati gelombang pada tali dan mengukur panjang
gelombangnya serta mencatatnya pada tabel pengamatan.
f. Mengulangi langkah (e) dengan menambahkan beban menjadi 0,15 kg
dan 0,2 kg serta mencatat hasilnya pada tabel pengamatan.
g. Mengulangi langkah (c) s/d (f), tetapi massa tali dijadikan dua kali
semula dan mengukur panjang gelombang dan mencatat hasilnya.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Pengamatan
a. Data Pengamatan
Data pengamatan percobaan Gelombang Tali ditampilkan pada
Tabel 1.2 dan Tabel 1.3 sebagai berikut.
1) Tali Tunggal
Tabel 1.2 Data Pengamatan pada Tali Tunggal
No.
1.
2.
3.
4.

Mb (Kg)
0,05
0,1
0,15
0,2

Mt (Kg)
0,00167
0,00167
0,00167
0,00167

Ln
1,60
1,80
1,66
1,77

(kali)
5
4
3
3

(m)
1,98
1,98
1,98
1,98

g (m/s)
9,8
9,8
9,8
9,8

(m)
3,18
3,18
3,18
3,18

g (m/s)
9,8
9,8
9,8
9,8

2) Tali Ganda
Tabel 1.3 Data Pengamatan pada Tali Ganda
No.
1.
2.
3.
4.

(Kg)
0,05
0,1
0,15
0,2

(Kg)
0,001
0,001
0,001
0,001

1,26
1,16
1,00
0,7

(kali)
6
4
3
2

b. Analisis Data
1) Tali Tunggal
a) Menentukan Panjang Gelombang ()

Ln1 1,60

0,16m
2n 2.5

b) Menentukan Cepat Rambat Gelombang (v)

mb1 .g
0,05.9,8

580,95832 24,10307m / s
mt / L1
0,00167 / 1,98

c) Menentukan Frekuensi ()
f

v1

24,10307
150,6442 Hz
0,16

Dengan cara yang sama untuk data yang lain dapat dilihat pada
Tabel 1.4 berikut.
Tabel 1.4 Menentukan Panjang Gelombang, Cepat Rambat Gelombang
dan Frekuensi Gelombang pada Tali Tunggal
No.
1.
2.
3.
4.

Mb
(Kg)
0,05
0,1
0,15
0,2

Mt (Kg)

Ln

0,00167
0,00167
0,00167
0,00167

1,60
1,80
1,66
1,77

n
(kali)
5
4
3
3

L
(m)
1,98
1,98
1,98
1,98

g
(m/s)
9,8
9,8
9,8
9,8

(m)
0,16
0,22
0,27
0,29

V
(m/s)
24,103
34,086
41,747
48,206

f
(Hz)
150,64
151,49
150,89
163,41

2) Tali Ganda
a) Menentukan Panjang Gelombang ()

Ln1 1,26

0,1058m
2n 2 * 6

b) Menentukan Cepat Rambat Gelombang (v)

mb1 * g
0,05 * 9,8
0,49

1558,2268 39,47404m / s
mt / L1
0,00 / 3,18
0,00031446

c) Menentukan Frekuensi Gelombang ()


f

v1

39,47404
372,9831Hz
0,1058

Dengan cara yang sama untuk data yang lain dapat dilihat pada
Tabel 1.5 berikut.
Tabel 1.5 Menentukan Panjang Gelombang, Cepat Rambat Gelombang
dan Frekuensi Gelombang pada Tali Ganda
No.
1.
2.
3.
4.

(Kg)
0,05
0,1
0,15
0,2

(Kg)
0,001
0,001
0,001
0,001

1,27
1,16
1
0,7

(kali)
6
4
3
2

(m)
3,18
3,18
3,18
3,18

g
(m/s)
9,8
9,8
9,8
9,8

(m)
0,105
0,145
0,167
0,175

V
(m/s)
39,4740
55,8247
68,3710
78,9480

(Hz)
372,983
384,998
410,226
451,131

2. Pembahasan
Percobaan

Gelombang

Tali

yang

telah

dilakukan,

dapat

menentukan hubungan antara cepat rambat gelombang dengan tegangan


tali dan hubungan antara frekuensi gelombang dengan panjang gelombang.
Percobaan Gelombang Tali menggunakan satu bahan yang sama yaitu
benang yang di bentuk seperti tali tunggal dan tali ganda.
Untuk tali tunggal massa benda yang divariasikan antara 0,05 kg,
0,1 kg, 0,15 kg dan 0,2 kg serta massa tali sebesar 0,00167 kg diperoleh
banyak gelombang tali (n) secara berturut-turut adalah 5, 4, 3, 3 dengan
nilai

diperoleh sebesar 1,6 m, 1,8 m, 1,66 m dan 1,77 m secara

berturut-turut dengan panjang tali yang konstan (L) sebesar 1,98m dan
gravitasi(g) adalah 9,8 m/s. Panjang gelombang yang dihasilkan dari
massa benda 0,05 kg, 0,1 kg, 0,15 kg dan 0,2 kg yaitu 0,16 m, 0,225 m,
0,276 m dan 0,295 m. Cepat rambat gelombang yang dihasilkan sebesar
24,10 m/s, 34,086 m/s, 41,74 m/s dan 48,20 m/s dengan frekuensi keluaran
sebesar 150,64 Hz, 151,49 Hz, 150,89 Hz dan 163,41 Hz pada tali tunggal.
Jika ditinjau hubungan antara cepat rambat gelombang dengan tegangan
tali (Giancoli, 2001) menyatakan bahwa semakin besar massa persatuan
panjang tali, makin besar inersia yang dimiliki tali dan makin lambat

gelombang akan merambat. Hal ini terbukti karena semakin besar massa
yang diberikan semakin sedikit gelombang yang dihasilkan. Namun pada
percobaan Gelombang Tali untuk tali tunggal nilai frekuensi keluaran
yang dihasilkan haruslah konstan sehingga dapat menghasilkan kurva
berbentuk linear (Sri, 2015) atau nilai frekuensi berbanding lurus dengan
cepat rambat gelombang. Kesalahan ini kemungkinan besar dipengaruhi
oleh nilai panjang gelombang yang dihasilkan setelah gelombang
terbentuk (

atau kesalahan pengukuran ketika mengukur nilai

sehingga mempengaruhi nilai frekuensi keluaran yang dihasilkan.


Percobaan

kedua

yaitu

menggunakan

tali

ganda

dengan

menggunakan massa benda yang sama seperti pada tali tunggal yaitu 0,05
kg, 0,1 kg, 0,15 kg dan 0,2 kg dengan massa tali sebesar 0,001 kg . Nilai
diperoleh sebesar 1,27 m, 1,16 m, 1 m dan 0,7 m. Banyaknya
gelombang yang dibentuk gelombang yang dihasilkan secara berturut-turut
adalah 6, 4, 3, 2 dengan panjang gelombang (), cepat rambat gelombang
(

dan frekuensi gelombang ( ) dapat dilihat pada Tabel 1.5. Tabel 1.5

meperlihatkan bahwa besarnya frekuensi bergantung pada nilai panjang


gelombang dan cepat rambat gelombang. Sama halnya pada tali tunggal
nilai frekuensi yang dihasilkan tidak jauh antara frekuensi masukan dan
frekuensi keluaran (Young, 2003). Hal ini dipengaruhi oleh proses
pengukuran dalam menentukan nilai

Berdasarkan uraian analisis data diperoleh bahwa semakin besar


massa benda yang diberikan semakin bertambah panjang gelombang,
cepat rambat gelombang dan frekuensi gelombang serta nilai banyak
gelombang yang dihasilkan pun bervariasi.

TABUNG RESONANSI

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Gelombang adalah getaran yang merambat. Gelombang dapat
merambat baik memiliki medium atau tanpa medium. Pada gelombang
terjadi perambatan energigetaran. Secara umum gelombang dapat dibedakan
menjadi beberapa jenis, salah satunya adalah gelombang transversal dan
gelombang longitudinal. Gelombang transversal adalah gelombang yang
arah rambatnya tegak lurus pada arah getarnya. Gelombang longitudinal
adalah gelombang yang arah rambat dan arah getarnya sejajar. Salah satu
contohnya adalah gelombang bunyi pada tabung resonansi.
Ketika sistem yang bergetar mulai bergerak, sistem tersebut
bergetar dengan frekuensi alaminya. Bagaimanapun sistem bisa memiliki
gaya eksternal yang bekerja padanya yang mempunyai frekuensi sendiri
sehingga memperoleh sebuah getaran resonansi. Untuk getaran yang
dipaksakan, amplitudo ternyata bergantung pada perbedaan antara

dan

dan merupakan maksimum ketika frekuensi gaya eksternal sama dengan


frekuensi alami sistem (Giancoli, 2001). Resonansi juga dapat terjadi bila
sebuah gaya berubah secara periodik diberikan kesuatu sistem dengan
banyak mode normal (Hugh, 2003).
Secara alami proses resonansi banyak terjadi dilingkungan kita atau
dalam kehidupan sehari-hari, baik berupa gelombang bunyi ataupun lainya.
Proses resonansi yang sering dijumpai tidak dapat diketahui seberapa besar
frekuensi yang dihasilkan oleh sebuah sistem yang bekerja. Sistem yang
dapat menghasilkan sebuah resonansi seperti resonansi pada sebuah dawai
yang teregang dan dipaksa untuk berosilasi.
Dari ulasan pemikiran diatas sehingga praktikum tabung resonansi
sangatlah penting untuk dilakukan. Melalui praktikum ini juga kita dapat

10

memperoleh manfaat seperti dapat menentukan frekuensi resonansi, panjang


gelombang dalam tabung dan cepat rambat gelombang dalam sebuah
tabung, serta dapat menentukan hubungan antara frekuensi resonansi dan
panjang tabung.
2. Tujuan Praktikum
Tujuan yang akan dicapai pada percobaan Tabung Resonansi yaitu :
a. Untuk menentukan hubungan frekuensi resonansi dan panjang tabung.
b. Untuk menentukan frekuensi resonansi dan sebuah perbedaan panjang
tabung.
c. Untuk menentukan syarat terbentuknya gelombang berdiri.
d. Untuk menginvestigasi gelombang berdiri pada sebuah tabung.
e. Untuk menentukan cara resonansi pada perbedaan panjang dan
perbedaan frekuensi dari sebuah tabung resonansi.
B. LANDASAN TEORI
Jika anda menggoyang salah satu ujung tali dan ujung satunya tetap,
suatu gelombang yang kontinu akan merambat keujung yang tetap dan
dipantulkan kembali dengan terbalik. Tetapi, jika kita menggetarkan tali
dengan frekuensi yang tepat, kedua gelombang akan terbentuk sedemikian
sehingga akan dihasilkan gelombang berdiri dengan amplitudo besar.
Gelombang ini disebut gelombang berdiri lampaknya tidak merambat. Tali
hanya berosilasi ke atas dan ke bawah dengan pola yang tetap. Titik
interferensi kontruksi dimana tali berosilasi dengan amplitudo maksimum
disebut perut (Person, 2009).
Resonansi merupakan fenomena yang penting diberbagai situasi. Hal ini
terutama penting pada bangunan, walaupun efeknya tidak selalu terlihat
sebelumnya. Contoh sederhana dari resonansi adalah mendorong seorang anak
diayunan, seperti pendulum lainya mempunyai frekuensi osilasi alami. Jika kita

11

mendorong dengan frekuensi yang acak, ayunan terlambung kemana-mana dan


tidak mencapai amplitudo yang besar (Giancoli, 2001).
Resonansi terjadi bila sebuah gaya yang berubah secara periodik
diberikan kesuatu sistem dengan banyak mode normal. Misalnya sebuah
sebuah pipa organ terbuka ditempatkan berdekatan dengan sebuah pengeras
suara yang dijalankan oleh penguat dan memancarkan gelombang bunyi murni
(senusoidal murni) yang frekuensinya f , yang dapat diubah dengan mengantar
penguat itu. Udara dalam pipa dipaksa bergetar dengan frekuensi f yang sama
seperti gaya penggerak yang disediakan oleh pengeras suara (Hugh, 2003).
C. METODE PRAKTIKUM
1. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada percobaan Tabung Resonansi
dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Alat dan Bahan Percobaan Tabung Resonansi
No.
Alat dan Bahan
1. Catu Daya
2. 1 set tabung resonansi
Kabel penghubung
3.
4.

Oscilloscope

Kegunaan
Sumber pengarah tegangan
Alat untuk mengukur frekuensi gelombang
Menghubungkan catu daya, tabung resonansi dan
Oscilloscope
Menampilkan frekuensi gelombang

2. Prosedur Kerja
Prosedur kerja pada percobaan Tabung Resonansi yaitu:
a. Menyiapkan dan menyusun alat dan bahan percobaan Tabung Resonansi
seperti pada Gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1 Rangkaian Alat dan Bahan Percobaan Tabung Resonansi


12

b. Mengecek dan mengisi kembali alat yang telah dirangkai.


c. Menempatkan piston pada jarak 4 cm dari ujung terbuka sebuah tabung
resonansi.
d. Mengaktifkan oscilloscope sebagai alat untuk melihat gelombang berdiri
yang terbentuk dan frekuensi gelombang yang dihasilkan, serta
mengaktifkan catu daya dengan tegangan masukan sebesar 3 volt.
e. Mengamati gelombang berdiri yang terbentuk dari frekuensi gelombang
yang dihasilkan, kemudian mencatat hasilnya pada tabel pengamatan
serta memotret hasil gelombang yang terbentuk pada Oscilloscope.
f. Mengulangi langkah (a) s/d (d) untuk piston pada jarak 6 cm, 8 cm, 10
cm, 12 cm, 14 cm, 16 cm, 18 cm, 20 cm, 22 cm, 24 cm 26 cm, 28 cm
dan 30 cm.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Pengamatan
a. Data Pengamatan
Data pengamatan percobaan Tabung Resonansi dapat dilihat pada
Tabel 2.2 dan Gambar 2.2 sampai Gambar 2.15 berikut.
Tabel 2.2 Data Pengamatan Percobaan Tabung Resonansi
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Panjang Tabung (m)


0,04
0,06
0,08
0,1
0,12
0,14
0,16
0,18
0,2
0,22
0,24
0,26
0,28
0,3

frekunsi (Hz)
100,2
100,9
101,7
101,3
101,1
100,9
99,9
100,5
100,4
100,3
100,4
99,9
100,3
99,7

13

Gambar pengamatan panjang tabung 0,04 m dan frekuensi 100,2

Gambar 2.2 Panjang Tabung 0,04 m dan Frekuensi 100,2


Gambar pengamatan panjang tabung 0,06 m dan frekuensi 100,9

Gambar 2.3 Panjang Tabung 0,06 m dan Frekuensi 100,9


Gambar pengamatan panjang tabung 0,08 m dan frekuensi 100,1

Gambar 2.4 Panjang Tabung 0,08 m dan Frekuensi 100,1


Gambar pengamatan panjang 0,1 m dan frekuensi 101,3

Gambar 2.5 Panjang Tabung 0,1 m dan Frekuensi 101,3

14

Gambar pengamatan panjang tabung 0,12 dan frekuensi 101,1

Gambar 2.6 Panjang Tabung 0,12 dan Frekuensi 101,1


Gambar pengamatan panjang tabung 0,14 m dan frekuensi 100,4

Gambar 2.7 Panjang Tabung 0,14 m dan Frekuensi 100,4


Gambar pengamatan panjang tabung 0,16 m dan frekuensi 99,90

Gambar 2.8 Panjang Tabung 0,16 m dan Frekuensi 99,90


Gambar pengamatan panjang tabung 0,18 m dan frekuensi 100,5

Gambar 2.9 Panjang Tabung 0,18 m dan Frekuensi 100,5

15

Gambar pengamatan panjang tabung 0,2 m dan frekuensi 100,4

Gambar 2.10 Panjang Tabung 0,2 m dan Frekuensi 100,4


Gambar pengamatan panjang tabung 0,22 m dan frekuensi 100,3

Gambar 2.11 Panjang Tabung 0,22 m dan Frekuensi 100,3


Gambar pengamatan panjang tabung 0,24 m dan frekuensi 100,4

Gambar 2.12 Panjang Tabung 0,24 m dan Frekuensi 10,4


Gambar pengamatan panjang tabung 0,20 m dan frekuensi 99,9

Gambar 2.13 Panjang Tabung 0,20 m dan Frekuensi 99,9

16

Gambar pengamatan panjang tabung 0,28 m dan frekuensi 100,3

Gambar 2.14 Panjang Tabung 0,28 m dan Frekuensi 100,3


Gambar pengamatan panjang tabung 0,3 m dan frekuensi 99,7

Gambar 2.15 Panjang Tabung 0,3 m dan Frekuensi 99,7


b. Analisis Data
1) Menentukan panjang gelombang (
= 4L
= 4. 0,04
= 0,16 m
Dengan cara yang sama, untuk data yang lain dapat dilihat pada
Tabel 2.3 berikut.
Tabel 2.3 Analisis Penentuan Panjang Gelombang
No. Panjang tabung (m) f (Hz)
Panjang gelombang (m)
1.
0,04
100,2
0,16
2.
0,06
100,9
0,24
3.
0,08
100,1
0,32
4.
0,1
101,3
0,4
5.
0,12
101,1
0,48
6.
0,14
100,9
0,56
7.
0,16
99,90
0,64

17

8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

0,18
0,2
0,22
0,24
0,26
0,28
0,3

100,5
100,4
100,3
100,4
99,90
100,3
99,70

0,72
0,8
0,88
0,96
1,04
1,12
1,2

2) Menentukan cepat rambat gelombang (V)


V=

xf

V = 0,16 x 100,2
V = 16,32 m/s
Dengan cara yang sama, untuk data yang lain dapat dilihat pada
Tabel 2.4 berikut.
Tabel 2.4 Analisis Penentuan Cepat Rambat Gelombang
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Panjang Tabung (m)


0,04
0,06
0,08
0,1
0,12
0,14
0,16
0,18
0,2
0,22
0,24
0,26
0,28
0,3

18

100,2
100,9
100,1
101,3
101,1
100,9
99,90
100,5
100,4
100,3
100,4
99,90
100,3
99,70

(m)
0,16
0,24
0,32
0,4
0,48
0,56
0,64
0,72
0,8
0,88
0,96
1,04
1,12
1,2

V (m/s)
16,32
24,216
32,352
40,52
48,528
56,504
63,436
72,36
80,32
88,264
96,384
103,896
112,336
114,64

3) Grafik hubungan antara frekuensi (f) dan panjang tabung (L)


Grafik hubungan antara frekuensi (f) dan panjang tabung (L)
dapat dilihat pada Gambar 2.16 berikut.

Frekwensi ( )

Grafik Hubungan antara dan L


101,3
101,1
101,1
100,9 100,9

101,4
101,2
101
100,8
100,6
100,4
100,2
100
99,8
99,6

100,5
100,4
100,4
100,3 100,3

100,2

99,9

0,1

Series1

99,9
y = -3,8571x + 101,15Linear (Series1)
99,7 R = 0,4192
0,2

0,3

0,4

Panjang Tabung (L)

Gambar 2.16 Grafik Hubungan antara f dan L


4) Grafik hubungan antara panjang tabung (L) dan panjang gelombang
()
Grafik hubungan antara panjang tabung (m) dan panjang
gelombang () dapat dilihat pada Gambar 2.17 berikut.

Grafik Hubungan antara L dan


1,4

1,2
1,12
1,04
0,96
0,88
0,8
0,72
0,64
0,56
0,48
0,4
0,32
0,24
0,16

Panjang Gelombang ( )

1,2
1
0,8
0,6
0,4

y = 4x
R = 1

Series1
Linear (Series1)

0,2
0
0

0,1

0,2

0,3

Panjang Tabung(L)

Gambar 2.17 Grafik Hubungan antara L dan

19

0,4

2. Pembahasan
Jika sebuah pipa organ terbuka diletakan berdekatan sebuah
speaker (pengeras suara) sehingga memancarkan gelombang bunyi
sensasional murni yang frekuensinya sebesar f. Udara dalam pipa tersebut
dipaksa bergetar relatif kecil dan gerak udara dalam pipa/tabung tidak
sama seperti pola mode normal untuk frekuensi tersebut dan amplitudo
menjadi cukup besar.
Percobaan Tabung Resonansi menjelaskan bagaimana hubungan
antara panjang tabung dengan frekuensi yang dihasilkan

yang dapat

dihubungkan dengan panjang gelombang dan cepat rambat gelombang.


Pada percobaan ini panjang tabung divariasikan mulai dari 4 cm, 6 cm, 8
cm, 10 cm, 12 cm, 14 cm, 18 cm 20 cm, 22 cm, 24 cm, 26 cm, 28 cm dan
30 cm diperoleh frekuensi Secara berurutan ialah 100,2
101,1
100,3

, 101,3
, 100,4

, 101,1

, 100,9

, 99,90

, 99,90

, 100,3

, 100,5
dan 99,70

, 100,9
, 100,4

,
,

. Hal ini

menunjukan bahwa panjang tabung tidak mempunyai frekuensi yang


dihasilkan. Pada penentuan panjang diperoleh besar panjang gelombang
0,16 m, 0,24m, 0,32m dan yang lain dapat dilihat pada Tabel 3.3. Dari
penentuan panjang gelombang maka cepat rambat gelombang dapat
diketahui. Cepat rambat gelombang pada tabung resonansi diketahui
sebesar 16,32 m/s, 24,216 m/s dan data yang lain ditampilkan pada Tabel
3.4.
Secara teori panjang gelombang ( ) dipengaruhi oleh panjang
tabung (L). Semakin panjang tabung (L) nilai panjang gelombang yang
dihasilkan semakin besar (Serway, 2008). Jika dihubungkan secara
eksperimen sesuai sesuai dengan eksperimen sebelumnya, dimana pada
praktik tabung resonansi nilai panjang gelombang yang dihasilkan
semakin besar dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Hubungan antara cepat rambat gelombang dengan panjang
gelombang dan frekuensi yaitu berbanding lurus. Semakin besar panjang

20

gelombang maka cepat rambat gelombang yang dihasilkan semakin besar


(Tipler, 2008). Pada percobaan kali ini cepat rambat gelombang yang
dihasilkan semakin besar seiring pertambahan panjang tabung dan panjang
gelombang serta frekuensi yang dihasilkan. Hal ini menunjukan
kesesuaian antara praktik dan teori.
Gambar 2.16 menunjukan hubungan antara frekuensi (f) dan
panjang gelombang ( ) dan kurva yang dihasilkan tidak linear. Dalam
literatur sebelumnya (Hugh, 2003) mengatakan bahwa jika frekuensi sama
pada pola mode normal, maka udara dalam pipa akan bergerak dalam pola
mode normal untuk frekuensi tersebut. Pada Gambar 20-20 b (Hugh,
2003) memperlihatkan amplitudo osilasi dari udara dalam pipa sebagai
fungsi dari frekuensi penggerak, Jika dihubungkan pada Gambar 2.16
amplitudo yang dihasilkan tidaklah sama begitupun frekuensinya.
Frekuensi terbesar yaitu 101,3

dan frekuensi terendah sebesar 99,7

pada panjang tabung 30 cm. Seandainya tidak ada gesekan pendisipasi


energi yang lain, maka sebuah gaya penggerak pada frekuensi mode
normal akan terus bertambah. Dalam berbagai kasus yang diidealkan
puncak-puncak dalam kurva resonansi akan sangat tinggi sekali. Tetapi
dalam sebarang sistem real selalu ada disipasi energi atau redaman
sehingga amplitudo osilasi dalam resonansi dapat mungkin besar, tetapi
amplitudo itu tidak bisa menjadi tak berhingga.
Grafik hubungan antara panjang tabung (L) dan panjang
gelombang ( ) yaitu semakin besar panjang tabung, panjang gelombang
yang dihasilkan semakin tinggi, seperti yang terlihat pada Gambar 2.16.
Dan dari uraian analisis diperoleh bahwa panjang gelombang ( )
bergantung pada panjang tabung (L) dan cepat rambat gelombang
bergantung pada nilai panjang gelombang dan frekuensi yang dihasilkan.

21

22

CERMIN CEKUNG, CERMIN CEMBUNG DAN CERMIN DATAR

A. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Cermin merupakan suatu benda yang sangat halus dan mampu
memantulkan cahaya. Ada dua macam cermin yaitu cermin datar dan
cermin lengkung, cermin lengkung meliputi cermin cekung dan cermin
cembung. Ciri lensa cekung adalah begian tengah lebih tipis daripada
bagian tepinya sedangkan lensa cembung bagian tengah lebih tebal
daripada bagian tepinya.
Pada pemantulan cermin datar yang diam, sudut pantul cahaya sama
dengan sudut datang sesuai dengan Hukum Snellius. Cermin cekung
bersifat mengumpulkan sinar pantul atau konvergen, ketika sinar sejajar
dikenakan pada cermin cekung, sinar pantulnya akan berpotongan pada
sumbu titik atau titik fokus (f). Cermin cembung memiliki sifat
menyebarkan sinar (divergen). Jika sinar-sinar pantul pada cermin
cembung diperpanjang pangkalnya, sinar akan berpotongan pada titik
fokus dibelakang cermin. Pada perhitungan titik fokus cermin cembung
bernilai negatif karena bersifat semu.
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan praktikum ini untuk
kita mengidentifikasi lebih jauh tentang cermin datar, cermin cekung dan
cermin cembung baik dari segi sifatnya atau yang lainnya sehingga
bermanfaat bagi kita untuk menerapkan konsepkonsep cermin dalam
kehidupan sehari-hari dan lebih memahami akan pemanfaatan cermin.

23

2. Tujuan Praktikum
Tujuan percobaan Cermin Cekung, Cermin Cembung dan Cermin
Datar yaitu sebagai berikut.
a. Untuk mengamati dan menggambarkan dengan tepat sifat-sifat
pemantulan cahaya pada cermin cekung dan cermin cembung.
b. Untuk memperoleh hubungan antara jarak benda, jarak bayangan dan
jarak fokus cermin cekung atau cermin cembung melalui analisis
grafik dengan metode least square (simpangan kuadrat kecil).
c. Untuk mendapat hubungan antara sudut yang di bentuk dua cermin
datar dengan jumlah bayangan yang terbentuk.

B. LANDASAN TEORI
Cermin adalah permukaan yang memantulkan cahaya dalam arah dan
tidak menyebarkannya secara luas ke banyak arah maupun menyerapnya.
Permukaan logam yang berkilau dapat bertindak sebagai cermin. Sebuah titik
sumber cahaya O, yang akan kita sebut objek, pada jarak tegak lurus P di depan
sebuah cermin datar. Cahaya yang mengenai cermin direpresentasikan dengan
pancaran cahaya yang menyebar dari O. Pantulan cahaya itu direpresentasikan
dengan pancaran yang memantul yang menyebar dari cermin (Halliday, 2010).
Salah satu sifat cahaya adalah cahaya dapat dipantulkan melalui cermin
cekung dan cemin cembung. Cermin cekung adalah cermin yang memiliki
bagian pemantul cahaya berupa cekungan. Cermin cekung biasa digunakan
sebagai reflektor (benda yang memantulkan cahaya) misalnya pada senter,
lampu sepeda lampu mobil dan alat kerja dokter. Sifat pemantulan pada cermin
cekung yaitu pada bayangan-bayangan yang dihasilkan adalah nyata atau maya
dan memantulkan berkas cahaya (Aris, 2008).
Cermin cembung bersifat divergen, yaitu bersifat memancarkan sinar
pantul, sinar sejajar dengan sumbu utama dipantulkan seakan-akan berasal dari
suatu titik di belakang cermin yang dinamakan titik fokus (f). Karena titik
fokus f di belakang cermin maka disebut titik maya (semu). Titik pusat
24

kelengkungan (m) juga berada di belakang cermin cembung. Pada cermin


cembung juga berlaku hukum pemantulan (Supardiono, 2004).
Cahaya adalah gelombang elektromagnetik, maka cahaya dapat
merambat di dalam ruang hampa cermin membentuk bayangan melalui proses
pemantulan bayangan yang di bentuk dapat berupa bayangan nyata dan
ataupun maya kedua bayangan tersebut dapat dilihat oleh mata tetapi hanya
bayangan nyata yang dapat di fokuskan di layar, bayangan nyata adalah
bayangan yang terjadi
bayangan

maya

karena perpotongan sinar-sinar pantul, sedangkan

adalah

bayangan

yang

terjadi

karena

perpotongan

perpanjangan sinar pantul (Pearson, 2009).


C. METODE PRAKTIKUM
1. Alat dan Bahan
Alat dan bahan pada percobaan Cermin Cekung, Cermin Cembung
dan Cermin Datar dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1 Alat dan Bahan pada Percobaan Cermin Cekung, Cermin
Cembung dan Cermin Datar
No.
1.
2.

8.
9.

Alat dan Bahan


Rel Presisi
Pemegang
slide/diafragama
Cermin datar
Cermin cekung
Cermin cembung
Tumpakan berpenjepit
Penggaris logam 50
cm
Lilin
Busur derajat

10.

Meja optik

3.
4.
5.
6.
7.

Fungsi
Sebagai tempat meletak optik
Untuk meletakan cermin cembung dan cemin
cekung
Sebagai bahan pengamatan
Sebagai bahan pengamatan
Sebagai bahan pengamatan
Untuk meletakan pemegang slide
Untuk mengukur jarak benda dn jarak bayangan
Sebagai sumber cahaya
Untuk mengukur besarnya sudut pada cermin
datar
Untuk menangkap bayangan cahaya yang
dipantulkan

2. Prosedur Kerja
Langkah kerja pada percobaan Cemin Cekung, Cermin Cembung
dan Cermin Datar yaitu:

25

a. Cermin Datar
1) Merangkai alat dan bahan seperti Gambar 3.1 berikut.

Gambar 3.1 Rangkaian pada Cermin Datar


2) Meletakan cermin pada sudut 30 .
3) Meletakan penutup polpen di depan cermin.
4) Mengamati jumlah bayangan yang terbentuk.
5) Memasukan pada tabel pengamatan.
6) Mengulangi langkah 2 s/d 6 dengan sudut 60 , 90 dan 120 .
b. Cermin Cekung
1) Merangkai alat dan bahan seperti Gambar 3.2 berikut.

Gambar 3.2 Rangkaian pada Cermin Cekung


2) Meletakan cermin cekung pada jarak 0,1m.
3) Mengamati bayangan yang terbentuk oleh cermin cekung.
4) Mengukur jarak bayangan yang di bentuk dan mengamati sifat
bayangan yang di bentuk oleh cermin cekung.
5) Memasukan pada tabel pengamatan.
6) Mengulangi langkah 2 sampai 5 dengan jarak 0,15 m; 0,2 m; 0,25
m.

26

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Hasil Pengamatan
a. Data Pengamatan
1) Cermin Datar
Tabel 3.2 Nilai Data Pengamatan pada Cermin Datar
No.
1.
2.
3.
4.

30
60
90
120

Jumlah bayangan
9
5
3
2

Sifat Bayangan
Tegak,sama besar
Tegak,sama besar
Tegak,sama besar
Tegak,sama besar

2) Cermin Cekung
Tabel 3.3 Nilai Data Pengamatan pada Cermin Cekung
No.
1.
2.
3.
4.

S (m)
0,1
0,15
0,2
0,25

Sifat Bayangan
Maya, tegak, diperbesar
Maya, tegak, di perbesar
Maya, tegak, di perbesar
Maya, tegak, di perbesar

(m)
0,037
0,043
0,045
0,026

Ket: NST mistar : 0,001 m


b. Analisis Data
1) Menentukan Jumlah Bayangan pada Cermin Datar
s * s'
s s'
0,1 * 0,037
f
0,1 0,037
f 0,0270073m
f

Dengan cara yang sama untuk data yang lain dapat dilihat pada
Tabel 3.4 berikut.
Tabel 3.4 Analisis Data Penentuan Jarak Fokus (m)
No.
1.
2.
3.
4.

S(m)
0,1
0,15
0,2
0,25

S(m)
0,037
0,043
0,045
0,026

f (m)
0,0270
0,0334
0,0367
0,022

27

2) Menentukan Jarak Fokus Benda (f) dan Kesalahan Relatif (KSR)


a) Jarak Fokus Benda (f)
(s' ) 2
(s) 2

f
* s
* s '
2
2
( s s' )
( s s' )

(0,037) 2

(0,1) 2
f
*
0
,
0005

* 0,0005

2
2
(0,1 0,037)
(0,1 0,037)

f 0,0003029

Ket :s=s=1/2 * NST Mistar


b) Menentukan KSR ( Kesalahan Relatif)
f
* 100%
f
0,00030
KSR
* 100%
0,027
KSR 1,21 3 AB
KSR

Dengan cara yang sama untuk Penentuan Jarak Fokus (f)


dan KSR dapat dilihat pada Tabel 3.5 berikut.
Tabel 3.5 Analisis Data Penentuan Jarak Fokus Benda (f) dan
Kesalahan Relatif (KSR)
No.
1.
2.
3.
4.

S(m)
0,1
0,15
0,2
0,25

S(m)
0,037
0,043
0,045
0,026

f (m)
0,0270
0,0334
0,0367
0,022

f(m)
0,00030
0,00032
0,00035
0,00041

KSR(%)
1,121
0,977
0,952
0,837

3) Menentukan Jarak Fokus Sebenarnya

f seb f f
f seb f f

f seb f f

f seb 0,0270 0,00030

f seb 0,0270 0,00030

f seb 0,0267m

f seb 0,0273m

f seb f f
f seb 0,026s / d 0,027m

28

AB
3
4
4
4

Dengan cara yang sama data yang lain dapat dilihat pada Tabel 3.6
berikut ini.
Tabel 3.6 Analisis Data Penentuan Jarak Fokus Benda Sebenarnya
( f seb f f )
No.
1.
2.
3.
4.

S(m)
0,1
0,15
0,2
0,25

S(m)
0,037
0,043
0,045
0,026

f (m)
0,0270
0,0334
0,0367
0,022

f(m)

KSR(%)

AB

f seb f f (m)

0,00030
0,00032
0,00035
0,00041

1,121
0,977
0,952
0,837

3
4
4
4

0,026 s/d 0,027


0,0330 s/d 0,0337
0,0363 s/d 0,0370
0,022 s/d 0,023

4) Menentukan Perbesaran M dan M


a) Menentukan Perbesaran M
M

s'
s

0,037
0,1

M 0,37 kali

b) Menentukan Perbesaran M
M

s s '

*M
s
s'

0,0005 0,0005

* 0,37
0,1
0,037

M 0,00665kali

Dengan cara yang sama untuk penentuan perbesaran M dan M


dapat dilihat pada Tabel 3.7 berikut.
Tabel 3.7 Analisis Data Penentuan Perbsaran M dan M
No. S(m)
1.
0,1
2. 0,15
3.
0,2
4. 0,25

S(m)
0,037
0,043
0,045
0,026

f (m)
0,0270
0,0334
0,0367
0,022

M (kali)
0,37
0,28
0,225
0,1

29

M (kali)
0,0068
0,428
0,0030
0,0022

5) Menentukan Kesalahan Relatif (KSR) dan Perbesaran Sebenarnya


a) Menentukan Kesalahan Relatif (KSR)
M
*100%
M
0,0068
KSR
*100%
0,37
KSR 1,851 3 AB
KSR

b) Menentukan Perbesaran Sebenarnya


( M seb M M )

M seb M M

M seb M M

M seb M M

M seb M M

M seb 0,37 0,0068

M seb 0,37 0,0068

M seb 0,363kali

M seb 0,376kali

M seb M M
M seb 0,363kalis / d 0,376kali
Dengan cara yang sama untuk data yang lain dapat dilihat pada
Tabel 3.8 berikut.
Tabel 3.8 Analisis Data Penentuan Perbesaran Sebenarnya
( M seb M M )
No.

S(m)

S(m)

f (m)

1.
2.
3.
4.

0,1
0,15
0,2
0,25

0,037
0,043
0,045
0,026

0,0270
0,0334
0,0367
0,022

M
(kali)
0,37
0,28
0,225
0,1

M
(kali)
0,0068
0,428
0,0030
0,0022

KSR
(%)
1,851
1,496
1,361
2,2

AB
3
3
3
3

M seb M M
(kali)
0,363 s/d 0,376
0,283 s/d 0,290
0,221 s/d 0,228
0,097 s/d 0,102

2. Pembahasan
Salah satu sifat cahaya adalah dapat di pantulkan melalui cermin
cekung dan cembung. Cermin cekung adalah cermin yang memiliki bagian
pemantulan cahaya berupa cekungan yang biasanya di gunakan sebagai
refleksi benda yang memantulkan cahaya pada bayangan-bayangan yang di
hasilkan adalah maya dan memantulkan berkas cahaya.

30

Pada percobaan kali ini, cahaya kita tinjau sebagai gelombang.


Pemantulan cahaya dapat dilakukan dengan menggunakan cermin.
Berdasarkan data pengamatan pada cermin datar dengan sudut 120 , 90 ,
60 dan 30 menghasilkan jumlah bayangan secara berturut turut yaitu 2
bayangan, 3 bayangan, 2 bayangan, 3 bayangan, 5 bayangan dan 9
bayangan. Dan pada hasil analisis data yang diperoleh menunjukan nilai
yang sama yaitu antara jumlah bayangan secara praktek dan secara teori,
jadi berdasarkan data pengamatan dan hasil analisis, dapat dikatakan bahwa
semakin kecil sudut yang digunakan maka semakin besar jumlah bayangan
yang dihasilkan, dimana jumlah bayangan yang dihasilkan dua buah cermin
datar yang berbentuk sudut tertentu berbanding terbalik dengan jumlah
bayangan yang dibentuk. Hasil ini sesuai dengan teori yang dikemukakan
oleh (Shadan, 2011) bahwa semakin besar kecepatan cermin bergerak
menjauhi

cahaya datang, maka semakin besar sudut pantul cahayanya,

sedangkan frekuensi pantulnya akan semakin kecil seiring dengan


membesarnya kecepatan cermin, begitu pula sebaliknya.
Pengamatan selanjutnya menggunakan cermin cekung, berdasarkan
data yang diperoleh untuk jarak 0,1 m, jarak bayangan yang dihasilkan yaitu
0,037 m, dimana sifat bayangannya maya tegak di perbesar, untuk jarak
0,25 m sementara untuk jarak 0,15 m, 0,2 m dan 0,25 m diperoleh jarak
bayangan secara berturu turut sebesar 0,043 m, 0,045 m dan 0,26 m serta
sifat bayangan yang dihasilkannya sama yaitu maya, tegak dan diperbesar.
Berdasarkan analisis data yang diperoleh pada jarak fokus cermin secara
berturut-turut sebesar 0,027 m, 0,0334 m, 0,0367 m dan 0,227 m. dan nilai
pembesaran yang dihasilkan yaitu semakin kecil serta kesalahan relatif yang
dihasilkan juga kecil. Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin besar jarak
benda maka semakin kecil jarak bayangan dan kesalahan relatifnya juga
semakin kecil. Jika sebuah benda diletakan diruang II, maka sifat bayangan
yang dihasilkan nyata, terbalik diperkecil dan diperbesar, hal ini sesuai
dengan percobaan yang kami lakukan dan sesuai denga teori yang
dikemukakan oleh (Halliday, 2010) dalam bukunya menyatakan bahwa

31

ketika melatakan sebuah benda jarak yang lebih besar dari titik cermin
cekung, bayangan yang dihasilkan selalu nyata karena melalui perpotongan
langsung dari sinar-sinar pantulnya dan bernilai negatif.

32

33

34

PEMBIASAN CAHAYA

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ketika cahaya melintas dari suatu medium kemedium lainnya
sebagian cahaya datang dipantulkan pada perbatasan. Sisanya melewati
medium yang baru. Jika seberkas cahaya datang dan membentuk sudut
terhadap permukaan (bukan hanya tegak lurus) berkas tersebut dibelokkan
pada waktu memasuki medium yang baru. Pembelokan ini disebut dengan
pembiasan. Jika cahaya merambat dari satu medium kemedium kedua
dimana lajunya lebih besar berkas dibelokkan menjauhi garis normal.
Pembiasan cahaya adalah pembelokkan cahaya ketika berkas
cahaya melewati bidang batas dua medium yang berbeda indeks biasnya.
Indeks bias mutlak suatu bahan adalah perbandingan kecepatan cahaya
diruang hampa dengan kecepatan cahaya dibahan tersebut. Indeks bias
relatif merupakan perbandingan indeks bias dua medium berbeda. Indeks
bias relatif medium kedua terhadap medium pertama adalah perbandingan
indeks bias antara medium kedua dengan indeks bias medium pertama.
Pembiasan cahaya dapat menyebabkan kedalaman semu dan pemantulan
sempurna.
Dengan adanya praktikum mengenai Pembiasaan Cahaya ini, kita
dapat mengetahui sifat-sifat pembiasan pada cahaya, dapat mengetahui
sifat bayangan yang dibentuk maupun dalam penentuan titik fokusnya,
dapat membuktikan adanya pergeseran berkas cahaya, dapat membuktikan
Hukum Snellius tentang pembiasan cahaya, serta dapat mengetahui gejalagejala fisis yang dialami oleh cahaya seperti refleksi (proses pemantulan
cahaya), refraksi (proses pembiasan cahaya), dispersi (proses penguraian
cahaya), difraksi (proses pelenturan cahaya) dan lain sebagainya.

35

2. Tujuan Praktikum
Adapun tujuan melakukan percobaan Pembiasan Cahaya ini adalah
sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui hubungan antara sinar datang, sinar bias dan garis

normal pada pembiasan dari udara kekaca atau dari kaca keudara.
b. Untuk mengetahui sifat cahaya yang mengalami pemantulan sempurna.
c. Untuk mengetahui Hukum Brewster melalui eksperimen.
d. Untuk mengetahui sifat pembiasan cahaya pada prisma siku-siku.

B. LANDASAN TEORI
Sebagai gelombang elektromagnetik, cahaya akan dipantulkan atau
dibiaskan saat melewati bidang batas antara dua medium. Saat cahaya dari
udara melewati bidang batas antara air dan udara maka sebagian kecil dari
cahaya akan dipantulkan dan sisanya akan diteruskan. Karena terdapat
perbedaan kerapatan optik antara udara dan air, maka arah berkas cahaya yang
datang dari udara tidak akan sama dengan arah berkas cahaya didalam air.
Karena hal tersebut, maka cahaya akan dibelokkan. Peristiwa ini disebut
dengan pebiasan. Sedangkan rapat optik adalah sifat dari medium tembus
cahaya (zat optik) dalam melewatkan cahaya.
Kerapatan optik yang berbeda pada dua medium menyebabkan cepat
rambat cahaya pada kedua medium tersebut. Perbandingan antara cepat
rambat cahaya pada medium 1 dan medium 2 disebut dengan indeks bias. Jika
medium 1 adalah ruang hampa, maka perbandingan antara cepat rambat
cahaya diruang hampa dan disebuah medium disebut dengan indeks bias
mutlak medium tersebut (Kanginan, 2010).
Selain pemantulan, Willeboard Snellius juga melakukan eksperimen.
Eksperimen tentang pembiasan cahaya, ia menemukan hubungan antara sinar
datang dan sinar bias yang kemudian dikenal dengan Hukum Snellius yaitu :
1. Sinar datang, garis normal dan sinar bias terletak pada satu bidang datar.
2. a. Jika sinar datang dari medium lebih rapat menuju medium yang kurang
36

rapat, maka sinar akan dibiaskan menjauhi garis normal.


b. Jika sinar datang dari medium kurang rapat menuju medium yang lebih
rapat, maka sinar akan dibiaskan mendekati garis normal.
3. Perbandingan sudut datang (i) dengan sudut bias (r) merupakan suatu

bilangan tetap. Bilangan tetap inilah yang sebenarnya menunjukkan indeks


bias.
(Giancoli, 2001).
Pembiasan cahaya adalah sebuah gejala terjadinya perubahan
kecepatan cahaya ketika melewati dua medium yang berbeda sifat fisisnya
seperti perbedaan indeks bias (n), perbedaan permitivitas (TM), permeabilitas
() atau konduktivitas (). Besar perubahan tersebut bergantung pada
frekuensi atau panjang gelombang dari cahaya yang melewatinya. Gejala
tersebut juga bisa diamati dengan mengamati peristiwa perubahan arah rambat
cahaya ketika melewati medium yang berbeda sifat fisisnya seperti berkas
cahaya yang datang dari udara ke kaca. Dari perubahan arah tersebut kita
dapat menentukan indeks bias kaca atau kecepatan cahaya yang masuk ke
dalam kaca. Dalam penelaan yang lebih dalam terhadap jalannya sinar datang,
sinar pantul dan sinar bias ditemukan istilah sudut kritis dan sudut Brewster
serta dispersi yang merupakan peristiwa penguraian warna oleh karena
perbedaan panjang gelombang dari masing-masing cahaya monokromatik
dalam cahaya polikromatik. Berikut ini akan dijelaskan sedikit mengenai
sudut kritis, sudut Brewster dan pembiasan cahaya pada prisma siku-siku.
1. Sudut kritis dan sudut Brewster
Jika sinar masuk dari kaca menuju ke udara dengan sudut yang bervariasi
mulai dari sudut terkecil sampai sudut 900, maka akan kita temui keadaan
dimana sudut sinar yang dipantulkan dan sinar yang dibiaskan membentuk
sudut 900. Sudut datang yang menghasilkan keadaan ini disebut dengan
sudut Brewster yang ditemukan pada tahun 1813 oleh David Brewster
seperti terlihat pada Gambar 4.1 berikut.

37

Gambar 4.1 Sudut Brewster dan Sudut Kritis


Dari hukum Snellius diperoleh bahwa :
.....................................................................................(4.1)
Karena sudut pantul dan sudut bias membentuk sudut 900, maka Y2 = 90-Y1,
sehinga :
..................................................................................................(4.2)
Y1 = Sudut Brewster
n1 = indeks bias lapisan pertama
n2 = indeks bias lapisan kedua
Jika sudut bias sinar 900 maka sudut datang sinar tersebut disebut
dengan sudut kritis seperti pada gambar 1b. Karena tepat melewati sudut ini
semua

gelombang

dipantulkan.

Keadaan

dimana

semua

gelombang

dipantulkan disebut pemantulan total. Dari hukum Snellius dengan


memasukan sudut Y2 = 900 maka hubungan antara sudut kritis dengan indeks
bias medium adalah sebagai berikut.
............................................................................................(4.3)
Karena nilai sinus sudut paling besar bernilai satu, maka persamaan ini
memberikan batasan bahwa sudut kritis bisa diamati hanya pada kasus jika
sinar masuk dari medium yang lebih rapat ke medium yang kurang rapat.

38

2. Pembiasan cahaya pada prisma siku-siku

Gambar 4.2 Pembiasaan cahaya pada prisma siku-siku


Sudut yang dibentuk oleh sinar datang (sinar 1) dengan sudut bias sinar yang
keluar dari prisma (sinar 3) seperti pada Gambar 4.2 disebut dengan sudut
deviasi prisma (). Dengan meninjau geometri pada Gambar 4.2 secara
matematik dapat ditarik persamaan matematik sebagai berikut.
= Y + 3 ..............................................................................................(4.4)
Pada keadaan deviasi minimum sudut datang sianr 1 pada prisma sama dengan
sudut bias sinar 3 yang keluar dari prisma. Oleh karenanya dengan
menggunakan persamaan dari hukum Snellius diperoleh hubungan antara
indeks bias prisma dengan sudut deviasi minimum, yaitu:
................................................................................(4.5)
Dimana

= Sudut deviasi minimum


n = Indeks bias prisma
= Sudut bias prisma

(Anonim, 2015).
Sebelumnya sudah diuraikan bahwa saat cahaya merambat dari
medium optik lebihrapat ke medium optik kurang rapat dengan sudut datang
tertentu, cahaya akan dibiaskan menjauhi garis normal. Artinya sudut bias
akan selalu lebih besar dibandingkan sudut datang. Bila sudut datang cukup
besar, maka sudut bias akan lebih besar lagi. Cahaya dibiaskan menjauhi garis
normal, semakin besar sudut datang semakin besar sudut bias.

39

Pada umumnya saat cahaya merambat dari medium 1 ke medium 2,


tidak semua berkas cahaya dibiaskan sebagian ada yang dipantulkan. Artinya
di samping terjadi pembiasan terjadi juga pemantulan dengan besar sudut
pantul yang selalu sama dengan sudut datang sesuai dengan hukum
pemantulan. Kali ini fokus perhatian kita pada peristiwa pembiasannya. Nah,
bila sudut datang terus diperbesar, maka suatu saat sinar bias akan sejajar
dengan bidang yang berarti besar sudut biasnya 90. Sekali lagi apabila sudut
datang diperbesar, maka tidak ada lagi cahaya yang dibiaskan, sebab
seluruhnya akan dipantulkan. Sudut datang pada saat sudut biasnya mencapai
90 ini disebut sudut kritis atau sudut batas dan pemantulan yang terjadi
disebut pemantulan total atau pemantulan sempurna (Anonim, 2011).
Pembiasan cahaya adalah pembelokan cahaya ketika berkas cahaya
melewati bidang batas dua medium yang berbeda indeks biasnya. Indeks bias
mutlak suatu bahan adalah perbandingan kecepatan cahaya di ruang hampa
dengan kecepatan cahaya di bahan tersebut. Indeks bias relatif merupakan
perbandingan indeks bias dua medium berbeda. Indeks bias relatif medium
kedua terhadap medium pertama adalah perbandingan indeks bias antara
medium kedua dengan indeks bias medium pertama. Pembiasan cahaya
menyebabkan kedalaman semu dan pemantulan sempurna.
Persamaan indeks bias mutlak Hukum Pembiasan Cahaya
...........................................................................................................(4.6)
.......................................................................................................(4.7)
(Swastikayana, 2009).

40

C. METODE PRAKTIKUM
1. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada percobaan ini dapat dilihat
pada Tabel 4.1 berikut :
Tabel 4.1 Alat dan Bahan Percobaan Pembiasan Cahaya
No.

Nama Alat dan Bahan


Catu Daya

Fungsi
Sebagai sumber tegangan

Lampu
Diafragma 1 celah

Sebagai sumber cahaya


Membuat cahaya membentuk garis lurus

4.
5.

Balok kaca lingkaran


Prisma siku-siku

Membiaskan cahaya
Membiaskan cahaya

6.

Kabel penghubung

7.

Penggaris logam

8.
9.

Busur derajat
Kertas A4

Menghubungkan catu daya dengan lampu


bertangkai
Menggambar sinar datang, sinar bias, dan
sinar pantul
Mengukur sudut bias dan sudut pantul
Sebagai tempat untuk menggambarkan hasil
pengamatan (sinar datang, sinar bias, dan
sinar pantul).

1.
2.
3.

2. Prosedur kerja
Adapun langkah-langkah dalam melakukan percobaan ini adalah
sebagai berikut :
a. Menyelidiki Hubungan antara Sinar Datang, Sinar Bias dan Garis
Normal pada Bidang Batas antara Dua Permukaan
1) Meletakkan balok kaca setengah lingkaran diatas kertas A4 yang
telah digaris sesuai koordinat Cartesian seperti pada Gambar 4.3
dan mengusahakan agar pusat lingkaran berimpit dengan titik O
pada kertas.

41

Gambar 4.3 Perlakuan Penyelidikan Hubungan antara Sinar


Datang, Sinar Bias dan Garis Normal pada Bidang
Batas antara Dua Permukaan
2) Mengarahkan cahaya melewati celah tunggal sedemikian sehingga
tampak sebuah berkas cahaya yang membentuk garis.
3) Mengarahkan berkas cahaya tersebut pada permukaan lengkung
dari balok kaca pada titik nomor 1, kemudian mengamati dan
menuliskan jalannya sinar yang masuk dan keluar balok kaca pada
kertas yang telah disediakan.
4) Menggambarkan sinar-sinar bias untuk sinar datang tersebut dan
menggambarkan pula garis normal yang keluar dari balok kaca
tersebut.
5) Menentukan indeks bias balok kaca.
b. Menyelidiki Sifat Cahaya yang Mengalami Pemantulan Sempurna
pada Balok Kaca Lingkaran
1) Meletakkan balok kaca lingkaran dengan sisi datarnya berimpit
dengan garis dan menghadap ke sumbu cahaya seperti pada
Gambar 4.4. Mengusahakan agar pusat lingkungan berimpit
dengan titik O pada kertas seperti pada Gambar 4.4 berikut.

Gambar 4.4 Penyelidikan Sifat Cahaya yang Mengalami


Pemantulan Sempurna pada Balok Kaca
Lingkaran
2) Mengaktifkan catu daya sehingga sumber cahaya (lampu) menyala.

42

3) Memutar kertas bersama balok kaca lingkaran perlahan-lahan


berlawanan arah jarum jam. Mengusahakan agar sinar dari sumber
selalu meuju titik O.
4) Sambil memutar dan menngamati dengan teliti sinar yang keluar
dari titik O, terutama ketika sudut datang mendekati 40o dan
seterusnya sampai melampaui 40o.
5) Menguraikan secara singkat hal-hal yang teramati dari percobaan
kita.
6) Mengira-ngira pada sudut berapakah sinar yang dibiaskan dengan
sudut 90o.
c. Menyelidiki Hukum Brewster
1) Melakukan langkah-langkah seperti pada kegiatan sebelumnya
sampai pada langkah ketiga.
2) Ketika pemutaran kertas bersama balok kaca telah mencapai
keadaan dimana sudut 90o, mencatat sudut datangnya sinar tersebut
dengan cara menandai jalannya sinar masuk, sinar bias dan sinar
pantul serta kemudian melepaskan balok kaca.
d. Menyelidiki Sifat-Sifat Pembiasan Cahaya pada Prisma Siku-Siku
1) Meletakkan prisma siku-siku diatas kertas dengan kedudukan
seperti pada Gambar 4.5, tetapi sebelum berkas sinar dilewatkan
menggambarkan sisi-sisi prisma.

Gambar 4.5 Penyelidikan Sifat-Sifat Pembiasan Cahaya pada


Prisma Siku-Siku

43

2) Mengatur letak kertas agar sinar datang berimpit dengan garis PO


(garis normal). Menandai jalannya sinar yang masuk dan sinar
yang keluar dari prisma agar dapat menggambarkannya nantinya.
3) Menyingkirkan prisma kemudian membuat garis yang menyatakan
sinar masuk keprisma dan sinar keluar dari prisma. Mengukur
besar sudut deviasi tersebut.
4) Mengulangi langkah (3) dengan sudut datang sinar pada prisma
mulai dari yang kecil sampai dengan sudut datang yang dianggap
sudut cukup besar dengan kertas yang baru.
5) Mengukur masing-masing sudut datang dan sudut deviasinya.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Hasil Pengamatan
a. Data Pengamatan
Percobaan Pembiasan Cahaya yang telah dilakukan
menghasilkan data sebagai berikut.
1) Hubungan antara Sinar Bias, Sinar Datang dan Garis Normal pada
Bidang Batas antara Dua Permukaan.

Gambar 4.6 Data Penyelidikan Hubungan antara Sinar Datang,


Sinar Bias dan Garis Normal pada Bidang Batas
antara Dua Permukaan

44

2) Menyelidiki Sifat Cahaya yang Mengalami Pemantulan Sempurna


pada Balok Kaca Lingkaran.

Gambar 4.7 Data Penyelidikan Sifat Cahaya yang Mengalami


Pemantulan Sempurna pada Balok Kaca Lingkaran
3) Menyelidiki Hukum Brewster

Gambar 4.8 Data Penyelidikan Hukum Brewster


4) Menyelidiki Sifat-Sifat Pembiasan Cahaya pada Prisma Siku-Siku

Pada Sudut 30o

Gambar 4.9 Data Penyelidiki Sifat-Sifat Pembiasan Cahaya


pada Prisma Siku-Siku untuk Sudut 30o

45

Pada Sudut 60o

Gambar 4.10 Data Penyelidiki Sifat-Sifat Pembiasan Cahaya


pada Prisma Siku-Siku untuk Sudut 30o
b. Analisis Data
1) Menentukan Sudut Datang pada Hukum Brewster secara Teori
Y=
Dimana n = indeks bias udara
n = indeks bias kaca
jadi, y =
=
=
= 54,37
Menentukan Sudut Deviasi pada Prisma Siku-Siku secara Teori
;n=
Dik = 450 dan

= 30 0dan 600

n =
= 1/sin 450
=

= 1,41

46

Untuk Sudut 300

1,41 sin 300


= 0,705

= 89,560

+ 45

Sin = 44,56

Untuk Sudut 600

1,41 sin 600

= 93,180

+ 45

Sin = 48,18
2) Menentukan Sudut Deviasi pada Prisma Siku-Siku secara Praktek
Untuk Sudut 300
=(

)-

= (300 + 300) - 450


= 600 - 450
= 150

Untuk Sudut 600


=(

)-

= (600 + 500) - 450


= 1100 - 450
= 650

47

2. Pembahasan
Pembiasan cahaya adalah pembelokkan arah rambat cahaya yang
terjadi karena cahaya melewati batas medium yang berbeda indeks
biasnya. Hukum Snellius untuk pembiasan cahaya mempunyai sifat untuk
dibiaskan, yaitu pembelokkan cahaya berhubungan dengan perubahan
kelajuan cahaya rambat dari satu medium kemedium yang lain.
Percobaan kali ini mengenai pembiasan cahaya bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara sinar datang, sinar bias dan garis normal
pada pembiasan dari udara ke kaca atau dari kaca ke udara dengan
menggunakan balok kaca setengah lingkaran menunjukkan bahwa sinar
datang dari udara ke kaca dibiaskan mendekati garis normalnya dan untuk
sinar dari kaca ke udara dibiaskan menjauhi garis normal. Hal ini sesuai
dengan hukum pembiasan yang menyatakan bahwa sinar datang dari
medium yang kurang rapat akan dibiaskan mendekati garis normal
sedangkan sinar datang dari medium yang lebih rapat ke medium yang
kurang rapat akan dibiaskan menjauhi garis normal.
Selanjutnya untuk mengetahui sifat cahaya yang mengalami
pemantulan sempurna menggunakan kotak cahaya dengan cara menggeser
posisi cahaya yang dihasilkan kotak cahaya lampu sebagai sumber cahaya
yang dilewatkan melalui balok kaca setengah lingkaran sehingga diperoleh
sinar yang tidak dibiaskan, tetapi dipantulkan seluruhnya oleh permukaan
balok kaca setengah lingkaran.
Pengamatan terhadap sudut Brewster dan sudut kritis juga menjadi
salah satu tujuan dari percobaan ini dimana dari percobaan dan
pengamatan yang dilakukan dapat dipahami bahwa sudut Brewster
merupakan sudut sinar datang yang menghasilkan sinar pantul dan sinar
bias membentuk sudut 900. Sedangkan sudut kritis merupakan sudut sinar
datang yang menghasilkan sudut sinar bias sebesar 900. Pada pengamatan
terhadap sudut Brewster dimana melalui pengukuran diperoleh besarnya
sudut Breswter untuk n = indeks bias udara 1,00923 dan n = indeks

48

bias kaca 1,408. Secara teori diperoleh nilai sudut Brewster adalah 54,370 .
Hal ini menunjukkan hasil yang berlainan antara hasil pengukuran sudut
dengan hasil perhitungan secara teori karena kurang telitinya pengukuran
sudut yang dilakukan dengan menggunakan busur derajat sehingga
memberikan hasil yang berbeda.
Pembiasan cahaya dalam percobaan ini juga diamati dengan
menggunakan prisma siku-siku dimana dalam prisma siku-siku, cahaya
sinar yang datang dibiaskan mendekati garis normal. Sedangkan setelah
cahaya keluar dari medium prisma, tampak bahwa sinar yang menuju ke
udara menjauhi garis normal.
Pada prisma siku-siku nilai sudut deviasi yang diperoleh secara
praktek adalah sebesar 1,410. Sudut yang digunakan pada prisma siku-siku
ini adalah sudut 300 dan sudut 600. Berdasarkan anlisis data secara praktek
pada sudut 300 diperoleh nilai sudut deviasinya sebesar 44,560, sedangkan
pada sudut 600 nilai sudut deviasinya

sebesar

48,180. Sedangkan

berdasarkan analisis data secara praktek nilai sudut deviasi yang diperoleh
untuk sudut sinar datang 300 sebesar 150 dan pada sudut sinar datang 600
sebesar 650. Semakin besar sudut yang dibentuk maka semakin besar sudut
yang dihasilkan antara sudut bias dan garis normal. Sudut bias bergantung
pada laju cahaya kedua media dan pada sudut datang.

49

50

LENSA CEKUNG DAN LENSA CEMBUNG

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pembiasan dapat terjadi pada benda bening seperti air, kaca, lensa
dan sejenisnya. Pembiasan yang sering dijumpai sehari-hari adalah lensa.
Lensa dibedakan jadi dua yaitu lensa cembung dan lensa cekung. Lensa
cembung

merupakan

lensa

yang

bagian

tengahnya

lebih

tebal

dibandingkan bagian tepinya (Giancoli, 2001). Lensa cekung merupakan


lensa yang bagian tengahnya lebih tipis dibandingkan bagian tepinya
(Hugh, 2003). Ada tiga jenis lensa cembung maupun lensa cekung. Lensa
cembung ganda, lensa cembung datar, lensa cembung-cekung, lensa
cekung ganda, lensa cekung datar dan lensa cekung-cembung (Pearson,
2009). Masing-masing lensa mempunyai jarak fokus yang berbeda
begitupun pada daya dan perbesaran lensa.
Secara umum lensa banyak dimanfaatkan dalam kehidupan seharihari. Lensa banyak ditemukan di lingkungan kita diantaranya pada kaca
mata, hanya persoalan paling inti yaitu bagaimana kita dapat menghitung
jarak fokus, jarak bayangan, daya dan perbesaran pada lensa. Sehingga
mempersulit dalam memilih ukuran lensa baik lensa cembung maupun
lensa cekung.
`Dari uraian diatas, sehingga percobaan Lensa Cembung dan Lensa
Cekung sangatlah penting untuk dilakukan. Melalui percobaan ini dapat
mengetahui sifat pembiasan cahaya pada lensa gabungan mengamati dan
menggambarkan sifat-sifat bayangan sehingga diperoleh hubungan antara
jarak bayangan, jarak benda, jarak fokus lensa cembung dan lensa cekung
serta daya suatu lensa.

2. Tujuan Percobaan

51

Tujuan yang ingin dicapai pada praktikum Lensa Cekung Dan


Lensa Cembung adalah sebagai berikut.
a. Untuk menyelidiki sifat pembiasan cahaya pada lensa cembung, lensa
cekung dan lensa gabungan.
b. Untuk mengamati dan menggambarkan dengan tepat sifat-sifat
bayangan pada lensa cekung dan lensa cembung.
c. Untuk memperoleh hubungan antara jarak benda, jarak bayangan dan
jarak fokus lensa cekung atau lensa cembung.

B. LANDASAN TEORI
Lensa adalah sebuah benda bening yang tembus cahaya dan dibatasi
oleh dua bidang permukaan yang lengkung. Dua bidang lengkung yang
membentuk lensa dapat berbentuk silindris atau bola. Lensa silindris
memusatkan cahaya dari sumber titik yang jauh pada suatu garis, sedangkan
permukaan bola yang melengkung ke segala arah memusatkan cahaya dari
sumber yang jauh pada suatu titik. Berdasarkan bidang batasnya lensa dibagi
menjadi lensa cembung (konveks) dan lensa cekung (konkaf). Lensa cembung
adalah lensa konvergen yang bersifat mengumpulkan sinar. Lensa cembung
juga merupakan lensa (+) karena dapat mengumpulkan bayangan yang bisa
ditangkap layar dan nyata. Lensa cekung merupakan lensa divergen yang
bersifat menyebarkan sinar. Lensa ini juga disebut lensa () karena tidak dapat
membentuk bayangan yang bisa ditangkap layar dan memiliki harga fokus
negatif (Giancoli, 2001).
Lensa merupakan benda bening yang dibatasi oleh dua buah bidang
bias dengan minimal satu permukaan tersebut merupakan bidang lengkung.
Dalam lensa dikenal titik fokus pertama (

) dan titik fokus kedua (

). Titik

fokus pertama merupakan titik benda pada sumbu utama yang bayangannya
berada ditempat yang sangat jauh, sedangkan titik fokus kedua adalah titik
bayangan pada sumbu utama dari benda yang letaknya sangat jauh. Pada

52

dasarnya pembiasan dapat terjadi pada beberapa benda bening seperti air,
kaca, prisma, lensa dan sejenisnya (Hugh, 2003).
Semua bayangan yang dibentuk oleh lensa cekung dari benda sejati
yang berada di depan lensa selalu bersifat maya, tegak dan diperkecil.
Letaknya di antara f2 dan O. Bayangan tersebut tidak dapat ditangkap oleh
layar, melainkan dapat dilihat oleh mata yang berada di belakang lensa. Benda
maya di antara O dan f1. Bayangan benda bersifat nyata, tegak dan diperbesar
(Pearson, 2009).

C. METODE PRAKTIKUM
1. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam percobaan ini dapat dilihat
pada Tabel 5.1 berikut.
Tabel 5.1 Alat dan Bahan Percobaan Lensa Cekung dan Lensa Cembung
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Alat dan Bahan


Meja optik
Rel presisi
Lensa cekung
Tumpakan berpenjepit
Lensa cembung
Penggaris logam
Kertas gambar
Lilin

Fungsi
Sebagai layar
Sebagai tempat layar dan lampu
Sebagai objek pengamatan
Sebagai penyangga
Sebagai objek pengamatan
Untuk mengukur jarak
Untuk menggambar atau melihat pergeseran
yang terbentuk pada layar
Sebagai sumber cahaya

53

2. Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan dalam menyelidiki sifat bayangan
yang dibentuk oleh lensa cembung, lensa cekung dan hubungan antara
jarak benda, jarak bayangan dan jarak fokus lensa adalah sebagai berikut:
a. Menyusun alat dan bahan seperti pada Gambar 5.1 berikut.

Gambar 5.1 Rangkaian Alat dan Bahan pada Percobaan Lensa Cekung
dan Lensa Cembung
b. Memasang lensa cembung yang berjarak 0,2 m dari lilin sebagai
sumber cahaya.
c. Menyalakan lilin kemudian menggeser-geser meja optik menjauhi atau
mendekati lensa sehingga pada meja optik terbentuk bayangan lilin
yang tajam.
d. Mengukur jarak meja optik ke lensa sebagai jarak bayangan (S) dan
mencatat hasilnya (mengamati hasil bayangan).
e. Melakukan percobaan selanjutnya dengan mengganti jarak benda
(jarak lensa kelilin), S2 = 0,35 m dan S3 = 0,5 m.
f. Mengulangi langkah (b) sampai (e) untuk lensa cekung.

54

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Hasil Pengamatan
a. Data Pengamatan
Data pengamatan pada percobaan Lensa Cekung dan Lensa
Cembung dapat dilihat pada Tabel 5.2 dan Tabel 5.3 berikut.
Tabel 5.2 Data Pengamatan untuk Lensa Cembung
No.
1.
2.
3.

S (m)
0,2
0,35
0,5

S (m)
0,396
0,48
0,617

Sifat
Nyata, terbalik, diperkecil
Nyata, terbalik, diperkecil
Nyata, terbalik, diperkecil

Tabel 5.3 Data Pengamatan untuk Lensa Cekung


No.
1.
2.
3.

S (m)
0,2
0,35
0,5

S (m)
-0,11
-0,29
-0,445

Sifat
Maya, terbalik, diperkecil
Maya, terbalik, diperkecil
Maya, terbalik, diperkecil

b. Analisis Data
1) Menentukan Jarak Fokus untuk Lensa Cekung dan Lensa Cembung
Untuk Lensa Cekung

55

s/d

Dengan cara yang sama, untuk data yang selanjutnya dapat dilihat
pada Tabel 5.4 berikut.
Tabel 5.4 Data Penentukan Jarak Fokus untuk Lensa Cekung dan Lensa
Cembung

2.

Cekung

1.

Jenis
Lensa

Cembung

No.

S(m)

S(m)

s (m)

f (m)

f (m)

KSR
(%)

0,2

0,396

0,0005

0,1328

0,00028

0,21

0,35

0,48

0,0005

0,2024

0,00026

0,13

0,5

0,617

0,0005

0,2761

0,00025

0,09

0,2

-0,11

0,0005

0,24

0,0032

1,361

0,35

-0,29

0,0005

1,6916

0,0286

1,696

0,5

-0,45

0,0005

4,0454

0,0741

1,831

56

fseb (m)
0,1326 s/d
0,1331
0,2022 s/d
0,2026
0,2759 s/d
0,2764
0,241 s/d
0,247
1,662 s/d
1,72
3,971 s/d
4,119

2) Menentukan Perbesaran Bayangan pada Lensa Cembung dan Lensa


Cekung
Untuk Lensa Cekung

57

Dengan cara yang sama, untuk data yang selanjutnya dapat dilihat pada
Tabel 5.5 berikut.
Tabel 5.5 Data Penentukan Perbesaran Bayangan untuk Lensa Cekung dan
Lensa Cembung

2.

Cekung

1.

Jenis
Lensa

Cembung

No.

S (m)

S (m)

s (m)

M (kali)

M (kali)

KSR
(%)

0,2

0,396

0,0005

1,98

0,00745

0,376

0,35

0,48

0,0005

1,37

0,0034

0,247

0,5

0,617

0,0005

1,234

0,0022

0,181

0,2

-0,11

0,0005

0,55

0,00387

0,704

0,35

-0,29

0,0005

0,83

0,00261

0,315

0,5

0,45

0,0005

0,89

0,00189

0,212

3) Menentukan Daya Lensa pada Lensa Cembung dan Lensa Cekung


Untuk Lensa Cekung

dioptri

58

Mseb
(kali)
1,9875 s/d
1,9875
1,368 s/d
1,3748
1,2317 s/d
1,2362
0,5461 s/d
0,5538
0,8259 s/d
0,8311
0,8881 s/d
0,8918

Dengan cara yang sama, untuk data yang selanjutnya dapat dilihat
pada Tabel 5.6 berikut.
Tabel 5.6 Data Penentukan Daya Lensa untuk Lensa Cekung dan Lensa
Cembung

2.

Cekung

1.

Jenis
Lensa

Cembung

No.

P
P
(Dioptri) (Dioptri)

KSR
(%)

f (m)

f (m)

0,1328

0,000277

7,5252

0,0156

0,2084

0,2024

0,000256

4,9404

0,0062

0,1265

0,2761

0,000253

3,6207

0,0033

0,0915

0,244

0,0032

4,091

0,054

1,316

1,691

0,0286

0,591

0,01

1,696

4,045

0,0741

0,247

0,005

1,831

Pseb
(Dioptri)
7,5095 s/d
7,5409
4,9342 s/d
4,9467
3,6174 s/d
3,6241
4,037 s/d
4,145
0,581 s/d
0,601
0,242 s/d
0,251

2. Pembahasan
Cahaya mempunyai sifat dapat dibiaskan, yaitu pembelokkan cahaya
dari satu medium ke medium yang lain. Pembiasan cahaya dapat terjadi
pada lensa. Lensa adalah benda bening yang dibatasi oleh dua bidang
lengkung atau oleh satu bidang lengkung dan satu bidang datar. Lensa
dibedakan menjadi dua yaitu lensa cekung dan lensa cembung. Bayangan
yang dihasilkan lensa cekung yaitu maya, tegak dan diperkecil. Sedangkan
bayangan yang dihasilkan dari lensa cembung adalah nyata, terbalik dan
diperbesar.
Pada praktikum ini dilakukan percobaan dengan menggunakan dua
lensa yaitu lensa cekung dan lensa cembung. Dalam percobaan ini yang
yang dilakukan adalah mengamati jarak bayangan dan sifat bayangan yang
terbentuk baik pada lensa cembung maupun lensa cekung. Perlakuan yang
diberikan adalah memvariasikan jarak benda yaitu 0,2 m, 0,35 m dan 0,5 m.
Dari jarak tersebut maka diperoleh jarak bayangan untuk lensa cembung
secara berurutan adalah 0,396 m, 0,48 m dan 0,617 m dengan sifat bayangan
nyata, terbalik dan diperkecil, sementara jarak bayangan untuk lensa cekung

59

secara berurutan adalah -0,11 m, -0,29 m dan -0,445 m dengan sifat


bayangan yang dibentuk adalah nyata, terbalik dan diperkecil. Dari data
yang diperoleh maka dapat dilihat bahwa semakin jauh jarak benda maka
semakin besar pula jarak bayangan yang dibentuk pada kedua lensa yang
digunakan. Kemudian untuk sifat bayangan pada lensa cekung yang
dibentuk sesuai dengan teori, sedangkan pada lensa cembung tidak sesuai
teori, dimana dari percobaan diperoleh bahwa bayangan diperkecil
sementara seharusnya bayangan yang dibentuk diperbesar.
Berdasarkan data hasil pengamatan yang diperoleh maka dapat
ditentukan jarak fokus, perbesaran bayangan dan daya lensa baik lensa
cekung maupun lensa cembung. Pertama yaitu menentukan jarak fokus pada
lensa cembung dan diperoleh hasil berturut-turut yaitu 0,1328 m, 0,2024 m
dan 0,2761 m. Serta jarak fokus untuk lensa cekung diperoleh masingmasing secara berurutan yaitu 0,244 m, 1,6916 m dan 4,0452 m. Hasil ini
bisa dianggap berhasil karena memiliki kesalahan relatif kecil dan angka
berarti 4 dan 3. Kemudian yang kedua adalah menentukan perbesaran
bayangan pada lensa cembung yang diperoleh hasil secara berurutan yaitu
1,98 kali, 1,37 kali dan 1,234 kali dengan kesalahan yang relatif kecil
sehingga memiliki angka berarti 4. Serta perbesaran bayangan untuk lensa
lensa cekung diperoleh secara berurutan yaitu 0,55 kali, 0,8285 kali dan
0,89 kali dengan kesalahan yang relatif kecil pula. Dan terakhir,
menentukan daya lensa untuk lensa cembung diperoleh hasil berurutan yaitu
7,5252 dioptri, 4,9404 dioptri dan 3,6207 dioptri dengan kesalahan relatif
kecil. Sementara untuk lensa cekung diperolh hasil yaitu 4,0909 dioptri,
0,5911 dioptri dan 0,2471 dioptri dengan kesalahan relatif kecil.
Dari semua hasil penentuan yang diperoleh maka dapat disimpulkan
bahwa jarak fokus dari lensa cembung dan lensa cekung dipengaruhi oleh
jarak benda dan jarak bayangan, dimana semakin besar jarak benda dan
jarak bayangan maka semakin besar pula jarak fokus dari kedua lensa
tersebut. Namun, jika dibandingkan maka jarak bayangan pada lensa
cembung lebih besar dari pada jarak bayangan pada lensa cekung. Tetapi

60

meski demikian, jarak fokus pada lensa cekung lebih besar dari pada jarak
fokus pada lensa cembung (dengan catatan bahwa jarak benda antara lensa
cembung dan lensa cekung sama).
Kemudian perbesaran bayangan dipengaruhi oleh jarak benda dan
jarak bayangan dimana perbesaran bayangan berbanding lurus dengan jarak
bayangan dan berbanding terbalik dengan jarak benda sehingga pada lensa
cembung perbesaran bayangan semakin kecil jika jarak bayangan dan jarak
benda semakin besar sedangkan pada lensa cekung perbesaran bayangannya
semakin besar jika jarak benda dan bayangan semakin besar. Selanjutnya,
penentuan daya pada lensa cembung ditentukan oleh jarak fokus dimana
semakin besar jarak fokus maka semakin kecil daya pada lensa dan begitu
pula dengan daya pada lensa cekung. Jika dibandingkan maka diperoleh
bahwa daya lensa cembung lebih besar daripada daya lensa cekung. Begitu
pula pada perbesaran bayangan pada lensa cembung lebih besar daripada
lensa cekung.
Berdasarakan data hasil pengukuran dan pemaparan diatas diperoleh
nilai atau besarnya jarak bayangan yang bernilai negatif. Tanda negatif
bukan menandakan nilai jarak bayangan yang bernilai mines tetapi berarti
bahwa sesuai dengan teori, dimana lensa cekung disebut lensa (-) karena
tidak dapat membentuk bayangan yang bisa ditangkap layar sehingga
bersifat maya (bayangan hanya bisa dilihat oleh mata) dan memiliki harga
fokus negatif. Berbeda dengan lensa cembung yang memiliki sifat bayangan
nyata artinya dapat membentuk bayangan yang bisa ditangkap oleh layar
sehingga lensa ini sering pula disebut lensa (+).

61

62

PENENTUAN INDEKS BIAS PRISMA DENGAN MENGGUNAKAN SIFAT


PEMANTULAN TOTAL DAN SUDUT BREWSTER

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indeks bias merupakan salah satu sifat optik yang banyak digunakan
untuk mencirikan keadaan suatu material transparan. Refraksi indeks suatu
material pada suatu panjang gelombang tertentu akan mengalami suatu
perubahan. Beberapa di antaranya adalah metode interverometri dan sudut
Brewster. Metode-metode ini merupakan metode yang sangat akurat untuk
mengukur indeks bias, di bandingkan dengan metode refraktometer di lakukan
dengan cara lebih cepat dengan mudah.
Indeks bias dari suatu media optik merupakan angka yang tidak
berdimensi yang menggambarkan bagaimana cahaya atau radiasi lainnya,
menyebar melalui media itu. Indeks bias adalah nilai yang di hitung dari resiko
kecepatan cahaya dalam media kedua kepadatan yang lebih besar. Indeks bias ini
sering di lambangkan dengan huruf n.
Proses pembiasaan cahaya sering kita jumpai dalam kehidupan seharihari, contohnya seperti kaca dinding rumah yang di kenai sinar matahari,
biasanya pada pagi hari sinar matahari akan mengenai dan menembus kaca
dinding rumah, maka di situlah terjadi proses pembiasaan. Dengan adanya hal ini
maka sangat penting untuk melaksanakan percobaan tersebut untuk indeks bias
pada benda transparan lainnya seperti pada prisma dan balok kaca.

63

2. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai pada pecobaan Penentuan Indeks Bias Prisma
dengan Menggunakan Sifat Pemantulan Total dan Sudut Brewster adalah untuk
memperoleh indeks bias prisma, balok kaca dan balok kaca lingkaran.
B. LANDASAN TEORI
Ketika cahaya melintas dari suatu medium ke medium lainnya, sebagian
cahaya dipantulkan pada perbatasan. Sisanya lewat ke medium yang baru. Jika
seberkas cahaya datang dan membentuk sudut terhadap permukaan (bukan hanya
tegak lurus), berkas tersebut dibelokkan pada waktu memasuki medium yang baru.
Pembelokan ini disebut pembiasan (Giancoli, 2001).
Gelombang yang ditransmisikan pada pembiasan adalah hasil interferensi
dari gelombang yang datang dengan gelombang yang dihasilkan oleh penyerapan
dan radiasi ulang energi cahaya oleh atom-atom dalam medium tersebut. Untuk
cahaya yang memasuki cahaya dari udara, ada sebuah ketertinggalan fase antara
gelombang yang diradiasikan kembali dengan gelombang datang. Demikian juga ada
ketertinggalan

fase

antara

gelombang

hasil

dengan

gelombang

datang.

Ketertinggalan fase ini berarti bahwa posisi puncak gelombang dari gelombang yang
dilewatkan diperlambat relatif terhadap posisi puncak gelombang dari gelombang
datang di dalam medium tersebut. Jadi pada waktunya, gelombang yang dilewatkan
tidak berjalan didalam medium sejauh gelombang datang aslinya; jadi kecepatan
gelombang yang dilewatkan lebih kecil dari kecepatan gelombang datang. Indeks
bias yaitu perbandingan laju cahaya di ruang hampa terhadap laju cahaya di dalam
medium, selalu lebih besar dari 1. Sebagai contoh, laju cahaya di dalam kaca kirakira dua per tiga dari laju cahaya di ruang bebas. Jadi indeks bias kaca kira-kira

n c / v 2 / 3 (Tipler, 2001).
Refraktometer adalah alat untuk mengukur indeks bias suatu zat dimana yang
dimaksud dengan indeks bias cahaya merupakan kecepatan cahaya di dalam ruang
hampa dibagi dengan kecepatan cahaya dalam zat tersebut. Setiap zat mempunyai
indeks bias tertentu (spesifik). Selain untuk mengukur zat cair, refraktometer juga
dapat digunakan untuk menentukan indeks bias zat padat yang transparan, film dan
serbuk. Karena obyek memantulkan sinar maka objek dapat dilihat. Umumnya
cahaya memantul ke segala arah yang disebut pantulan baur.

64

Prinsip kerja refraktometer adalah didasarkan pada pengukuran sudut kritis.


Sudut kritis yang memisahkan dua media optik didefinisikan sebagai sudut terkecil
dari luas bidang dengan garis normal (Qc) dalam medium yang indeks biasnya
terbesar dimana sinar dipantulkan seluruhnya. Prinsip pengukuran dapat dibedakan
oleh cahaya, penggandaan kejadian, total refleksi (pembiasan atau reflaksi total
cahaya yang digunakan). Cahaya merambat dalam transisi antara pengukuran prisma
dan media sampel (n cairan) dengan kecepatan yang berbeda, indeks biasnya dapat
diketahui dari media sampel yang diukur dengan defleksi cahaya. Pembiasan cahaya
adalah peristiwa penyimpangan atau pembelokan cahaya karena melalui dua medium
yang berbeda kerapatan optiknya. Arah pembiasan cahaya dibedakan menjadi dua
macam yaitu, mendekati garis normal. Cahaya dibiaskan mendekati garis normal jika
cahaya merambat dari medium optik kurang rapat kemedium optik lebih rapat,
contohnya cahaya merambat dari udara kedalam air dan menjauhi garis normal.
Cahaya dibiaskan mendekati garis normal jika cahaya merambat dari medium optik
lebih rapat kedalam optik kurang rapat, contoh cahaya merambat dari dalam air ke
udara (Anonim, 2011).

65

C. METODE PRAKTIKUM
1.

Alat Dan Bahan


Percobaan Penentuan Indeks Bias Prisma dengan Menggunakan Sifat
Pemantulan Total dan Sudut Brewster ini dilakukan dengan menggunakan
alat dan bahan yang dapat dilihat pada Tabel 6.1 berikut.
Tabel 6.1 Alat dan Bahan Percobaan Penentuan Indeks Bias Prisma dengan
Menggunakan Sifat Pemantulan Total dan Sudut Brewster
No.
Alat dan bahan
Fungsi
1.
Catu daya
Sebagai sumber tegangan
Meletakkan pemegang slide
2.
Rel presesi
diagfragma
3.
Prisma siku-siku
Sebagai obyek pengamatan
4.
Balok kaca
Sebagai obyek pengamatan
5.
Balok kaca lingkaran
Sebagai obyek pengamatan
Untuk membuat garis gambar
6.
Penggaris 50 cm
pengamatan
7.
Busur derajat
Untuk mengukur besar derajat
Sebagai tempat menulis hasil
8.
Kertas A4
pengamatan
9.
Lampu
Sebagai sumber cahaya
10.
Diafragma 1 celah
Sebagai objek pengamatan
11.
Kabel penghubung
Sebagai penghubung rangkaian

66

2.

Prosedur Kerja
Prosedur percobaan untuk menentukan indeks bias prisma, balok kaca
dan balok kaca lingkaran adalah sebagai berikut.
a. Merangkai alat seperti pada Gambar 6.1 berikut.

Gambar 6.1 Rangkaian Percobaan Penentuan Indeks Bias Prisma dengan


Menggunakan Sifat Pemantulan Total dan Sudut Brewster
b. Membuat garis tegak lurus pada sehelai kertas A4. Menandai titik
pertemuan antara kedua garis.
c. Menempatkan prisma dengan sudut siku-sikunya menghadap pengamat.
d. Memutar prisma berlawanan dengan arah jarum jam hingga sisi gelap
dari pemantulan total yang terlihat pada sisi terkecil prisma.
e. Menandai dengan dengan pensil hasil pemantulan sinar datang dari kotak
cahaya, sinar pantul, sinar bias dan garis normal pada kertas.
f. Mengukur sudut antara sinar datang dan garis normal ( 1 ) dan sudut
antara sinar bias dan garis normal ( 2 ) dan sudut Brewster dengan
menggunakan busur derajat.
g. Mencatat hasil pengamatan pada lembar data pengamatan.
h. Melakukan hal yang sama dari langkah (a) s/d (e) untuk obyek
pengamatan balok kaca dan balok kaca lingkaran.

67

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Hasil Pengamatan
a. Data pengamatan
1)

Pengamatan pada Balok Kaca Lingkaran

Gambar 6.2 Pemantulan Indeks Bias dengan Menggunakan Sifat


Pemantulan Total dan Sudut Brewster pada Balok Kaca
Lingkaran
2)

Prisma Siku-Siku

Gambar 6.3 Penentuan Indeks Bias Prisma dengan Menggunakan


Sifat Pemantulan Total dan Sudut Brewster pada Prisma
Siku-Siku

68

3) Balok Kaca

Gambar 6.4 Pemantulan Indeks Bias dengan Menggunakan Sifat


Pemantulan Total dan Sudut Brewster pada Balok Kaca
b.

Analisis Data
Menentukan Indeks Bias
1) Indeks bias balok kaca lingkaran
n1 sin 1 = n2 sin 2
n2 =

n2 =
n2 =
n2 = 1,475
2) Indeks bias prisma siku-siku
n1 sin 1 = n2 sin 2
n2 =

n2 =
n2 =
n2 = 1,28

69

3) Indeks bias balok kaca


n1 sin 1 = n2 sin 2
n2 =

n2 =
n2 =
n2 =
n2 = 1,55
2. Pembahasan
Percobaan ini, kita akan membahas masalah penentuan indeks bias
prisma dan indeks bias cairan dengan menggunakan sifat pemantulan total dan
sudut Brewster, yang bertujuan untuk memperoleh indeks bias prisma, balok kaca
dan balok kaca setengah lingkaran. Prisma merupakan alat optik yang
mempunyai dua bidang pembias yang

prisma, arah rambat cahayanya akan

diubah oleh prisma. Oleh karena itu, pada prisma terjadi adanya pembiasan dan
pemantulan cahaya akibat adanya cahaya yang datang pada prisma dan cahaya
yang keluar dari prisma.
Praktikum kali ini kami akan melakukan percobaan penentuan indeks
bias prisma menggunakan sifat pemantulan total dan sudut brewter yang
bertujuan untuk memperoleh indeks bias prisma siku-siku balok kaca lingkaran
dan balok kaca.
Praktikum ini kami melakukan pembiasaan pada balok kaca lingkaran,
balok kaca lingkaran di letakan di atas meja kertas A4 lalu di sinari dengan
sinar (lampu). Kemudian kami menentukan sinar datang, garis normal dan sinar
bias, juga sinar pantulnya. Pada saat balok kaca lingkaran diberi cahaya atau di
sinari maka terlihatlah sinar pantul, sinar datang dan sinar biasnya, setelah itu
kami tarik garis untuk menentukan sinar-sinar tersebut. Berdasarkan hasil
praktikum di ketahui besar indeks bias udara adalah 1,0003 dengan sudut datang
pada balok kaca lingkaran adalah 900, sehingga di peroleh besar sudut bias ()

70

350. Ketika sudut sinar datang dan sudut sinar bias di ketahui maka nilai indeks
bias pada medium dapat di ketahui yaitu 1,745.
Praktikum kedua yaitu pada pembiasaan prisma siku-siku, dengan cara
yang sama pada pembiasaan balok kaca lingkaran, setelah di lakukan
pengukuran dengan busur derajat maka di peroleh sudut datang pada prisma sikusiku (1) 650 dan sudut sinar biasnya (2) 450, dengan indeks besar bias udara
adalah 1,0003, maka di peroleh nilai indeks bias kedua yaitu 1,28. Dimana proses
untuk mencari indeks bias balok kaca 1/2 lingkaran sama dengan mencari indeks
bias pada prisma siku-siku.
Praktikum selanjutnya pembiasan pada balok kaca, dengan menggunakan
cara yang sama pada pembiasan sebelumnya. Berdasarkan hasil praktikum di
ketahui besar indeks bias udara adalah 1,0003 dengan sudut datang pada balok
kaca adalah (1) 850, sehingga di peroleh besar sudut bias (2) 400. Ketika sudut
sinar datang dan sudut sinar bias di ketahui maka nilai indeks pada sudut sinar
bias di ketahui maka nilai indeks mediumnya dapat di ketahui yaitu 1,55.
Hal ini di sebabkan karena sudut sinar datang selalu lebih besar dari pada
sudut sinar bias, hal ini di sebabkan karena sinar datang masuk dari medium
kurang rapat ke medium yang lebih rapat, sehingga sinar bias di biaskan
mendekati garis normal, maka sudut sinar datang lebih besar dari pada sudut sinar
bias.

71

72

PENENTUAN KETEBALAN RAMBUT DENGAN MENGGUNAKAN


DIFRAKSI SINAR LASER

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Cahaya merupakan suatu bentuk energi yang sangat penting yang di
butuhkan oleh seluruh makhluk hidup yang ada pada tempat adanya
cahaya kehidupan di bumi pun di pastikan untuk dapat berjalan sempurna.
Semua makhluk hidup menggantugkan supaya baik secara langsung
maupun tidak secara langsung terhadap keberadaan cahaya.
Berkas cahaya melalui sebuah celah sempit, maka cahaya akan
tersebar dan berkas-berkas yang terdifraksi akan saling berinterferensi
akan membentuk suatu pola bayangan pada layar, fenomena ini adalah
fenomena sederhana menjadi difraksi. Fenomena difraksi tidak pernah
lepas dengan fenomena interferensi, karena pola-pola yang terbentuk pada
layar adalah pola yang terjadi akibat interferensi destruktif maupun
kostruktif, sehingga menghasilkan benda yang gelap dan daerah yang
terang. Dalam kehidupan sehari-hari belum pernah ada orang yang secara
teliti mengukur ketebalan rambutnya. Dan sesungguhnya ketebalan rambut
dapat diukur menggunakan difraksi sinar laser. Difraksi dapat membentuk
atau menciptakan pola yang terdiri dari titik gelap dan terang pada layar.
Dengan demikian, maka ketebalan rambut seseorang dapat diukur.
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan praktikum ini
dengan percobaan Pengukuran Ketebalan Rambut dengan Difraksi Sinar
Laser untuk mengetahui cara pengukuran ketebalan rambut dengan
menggunakan sinar laser.

73

2. Tujuan
Percobaan Penentuan Ketebalan Rambut dengan Menggunakan
Difraksi Sinar Laser dilakukan dengan tujuan sebagai berikut.
a. Untuk menentukan ketebalan rambut dengan menggunakan sinar laser
yang di tembakan ke rambut.
b. Untuk mengetahui cara pengukuran ketebalan rambut menggunakan
sinar laser.

B. LANDASAN TEORI
Laser (Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation)
merupakan mekanisme suatu alat yang memancarkan radiasi elektromagnetik,
biasanya dalam bentuk cahaya yang tidak dapat dilihat maupun dapat lihat
dengan mata normal, melalui proses pancaran terstimulasi. Pancaran laser
biasanya tunggal, memancarkan foton dalam pancaran koheren. Laser juga
dapat dikatakan efek dari mekanika kuantum.
Laser memiliki keunggulan sebagai sumber cahaya karena berkas cahaya
yang dihasilkan bersifat monokromatis, koheren dan berintensitas tinggi.
Berkas cahaya laser bila dilewatkan bukaan yang sangat kecil atau celah
sempit maka berkas cahaya tersebut akan mengalami peristiwa difraksi.
Peristiwa difraksi dapat dimanfaatkan sebagai dasar metode suatu pengukuran,
salah satunya untuk menentukan diameter lubang lingkaran celah sempit atau
diameter kawat.

Gambar 7.1 Ilustrasi Difraksi Celah Tunggal

74

Berkas cahaya yang melewati celah yang lebarnya d akan mengalami


pembelokan berkas dengan masing-masing titik di celah tersebut sebagai
sumber pembelokan cahaya. Dengan jarak celah dengan layar atau detektor
optis fotosel L akan didapatkan pola gelap terang pada layar. Perbandingan
kuat penerangan maksimum (E0) dengan penerangan maksimum orde ke-n
(En) adalah
......................................................................................(7.1)
Dalam pengukuran pola difraksi digunakan fotosel maka variabel E0 dan
En masing-masing dapat diganti dengan tegangan maksimum pusat (V0) dan
tegangan maksimum orde ke-n (Vn).
Untuk posisi titik-titik berintensitas minimum yang berdekatan berlaku
(Adzkiyak, 2010).
..................................................................................................... (7.2)

Maka untuk mengukur diameter celah d,


.................................................................................................................... (7.3)
..

Difraksi fraunhofer adalah fenomena difraksi, pada yang terjadi berasal


dari sinarsinar sejajar. Hasil interferensi dari sinarsinar sejajar dapat
diamati pada jarak yang jauh dari sumber keluarnya sinar. Jarak pengamatan
dapat di perpendek dengan melewatkan sinar-sinar sejajar tersebut pada lensa
positif, sehingga perpotongan sinar-sinar tersebut akan berada pada titik fokus
lensa.
Fenomena difraksi tidak lepas dangan fenomena interferensi, karena
pola-pola yang terbentuk pada layar adalah pola yang terjadi akibat
interferensi desktruktif maupun konstruktif, sehingga menghasilkan daerah
yang sikap dan daerah yang terang. Dalam dunia spektroskopi, difraksi sangat
baik banyak di aplikasikan. Secara sederhana adalah difraksi dengan cahaya
tampak untuk mengetahui panjang gelombang cahaya tampak. Contoh lain
adalah difraksi sinar-x, atau yang lebih dikenal dengan difraksi Bragg,

75

digunakan untuk spektroskopi suatu unsur yang terkandung dalam suatu


material atau dapat juga untuk menentukan jarak kisi serta orientasi suatu
kristal (Kittal, 2005).
Difraksi adalah peristiwa dimana gelombang dilenturkan atau melebar
di tepi celah dan pinggiran penghalang cahaya. Cahaya tidak lagi merambat
menurut garis lurus, dan hal ini menyebabkan terjadinya interferensi hingga
tepi-tepi bayangan menjadi tidak tajam melainkan kabur. Peristiwa difraksi
juga membatasi kecilnya benda yang dapat dilihat serta membatasi ketepatan
hasil pengukuran (Bueche, 2000).

C. METODE PRAKTIKUM
1. Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam percobaan ini dapat
dilihat pada Tabel 7.1 berikut.
Tabel 7.1 Alat dan Bahan beserta Fungsinya pada Percobaan Penentuan
Ketebalan Rambut dengan Menggunakan Difraksi Sinar Laser
No.
1.
2.
3.
4.

Alat dan Bahan


Meja optik
Rel presisi
Sumber sinar laser
Penggaris logam 50 cm

5.
6.
7.
8.

Tumpukan berpenjepit
1 set statif
Rambut 1 helai
Diafragma

Fungsi
Menampilkan hasil difraksi
Sebagai dasar penyangga
Sebagai sumber cahaya
Untuk mengukur jarak layar
diafragma
Sebagai penyangga
Sebagai alat pelengkapi
Sebagai objek pengamatan
Sebagai tempat melekatnya rambut

76

dengan

2. Prosedur kerja
Adapun prosedur kerja pada percobaan Percobaan Penentuan
Ketebalan Rambut dengan Menggunakan Difraksi Sinar Laser yaitu
sebagai berikut.
a. Merangkai alat seperti pada Gambar 7.2 di bawah ini.

Gambar 7.2 Rangkaian Alat pada Percobaan Penentuan Ketebalan


Rambut dengan Menggunakan Difraksi Sinar Laser
b. Mengusahakan agar sinar laser yang keluar dari sumber tepat jatuh
menyentuh rambut seperti pada Gambar 7.2.
c. Mengukur jarak antara posisi layar dengan rambut sejauh 50 cm.
d. Mengukur jarak antara pola terang pertama (titik pusat) dengan orde n
= 5.
e. Mencatat hasil pengamatan.
f. Mengulangi langkah (c) sampai (e) untuk jarak 50 cm dan 70 cm.

77

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Hasil Pengamatan
a. Data Pengamatan
Percobaan Penentuan Ketebalan Rambut dengan Menggunakan
Difraksi Sinar Laser yang telah dilakukan menghasilkan data yang
dapat dilihat pada Tabel 7.2 berikut.
Tabel 7.2 Hasil Data Pengamatan pada Percobaan Percobaan
Penentuan Ketebalan Rambut dengan Menggunakan
Difraksi Sinar Laser
No.
1.
2.
3.

X (m)
0,5
0,6
0,7

Y (m)
0,015
0,018
0,02

Keterangan : X = jarak dari rambut ke layar


Y = jarak dari titik pusat ke orde 5
= 523 x 10-9 m
n =5
b. Analisis Data
1) Mengukur Sudut Difraksi
Untuk x = 0,5 m dan y = 0,015 m
tan =
=

y
0 015
05

= 0,03
= arc tan (0,03)
= 0,029991o
2) Menentukan Interferensi Maksimum
n

d = sin
=

5 5 23 10 7
0 02

= 8,72059 x 10-5
78

3) Menentukan Interferensi Minimum


d=
=

1
2

sin
5

1
2

5 5 23 10 7
0 02

= 9,59625 x10-5 m
4) Mengukur Ketebalan Rambut
d = d(minimum) d(maksimum)
= 9,59625 x10-5 8,72059 x 10-5
= 8,72059 x 10-6 m
Dengan cara yang sama untuk data yang lain dapat di lihat pada
Tabel 7.3 berikut.
Tabel 7.3 Nilai Sudut Difraksi, Interferensi Minimum, Interferensi
Maksimum dan Tebal Rambut pada Percobaan Penentuan
Ketebalan Rambut dengan menggunakan Difraksi Sinar
Laser
No.
1.
2.
3.

X
(m)
0,5
0,6
0,7

Y
(m)
0,015
0,018
0,02

( )
0,0299
0,0299
0,0285

dmax (m)

dmin (m)

8,72 x 10-5
8,72 x 10-5
9,15 x 10-5

9,59 x 10-5
9,59 x 10-5
0,01 x 10-5

Ketebalan
rambut (m)
8,720 x 10-6
8,720 x 10-6
9.157 x 10-6

2. Pembahasan
Laser merupakan mekanisme suatu alat yang memancarkan radiasi
elektromagnetik, dalam bentuk cahaya maupun bukan cahaya. Difraksi
adalah peristiwa hamburan cahaya yang terjadi karena adanya gangguan
atau sifat permukaan yang terjadi jika sudut datang dan sudut hambur sama.
Jika lebar celah diperbesar, sudut nol dimana intensitas menjadi nol akan
menurun dan memberikan difraksi tengah yang lebih sempit. Sebaliknya,
jika lebar celah diperkecil, maka sudut nol pertama akan meningkat dan
memberikan nilai maksimum difraksi tengah yang lebih lebar. Apabila
lebar celah sangat kecil, maka tidak terdapat titik berintensitas nol dalam
polanya dan pola tersebut bertindak sebagai sumber garis yang meradiasikan
energi cahaya yang pada dasarnya sama ke seluruh arah.

79

Pada praktikum kali ini, kami akan mencapai tujuan laser dapat di
gunakan untuk mengetahui ketebalan rambut. Hal ini di lakukan dengan
menggunakan difraksi sinar laser yang di tembakkan pada rambut, sehingga
terbentuk garis atau pola terang dan gelap dan tujuan kedua cara mengukur
ketebalan rambut menggunakan sinar laser yaitu dengan menghitung selisih
dari interferensi minimum dengan interferensi maksimum.
Pada praktikum ini di ambil data untuk mengetahui ketebalan rambut
dengan menggunakan sinar laser. Adapun hasil praktikum yang dilakukan
adalah diperoleh ketebalan rambut masing-masing dengan besar sudut
0,0299o, 0,02990 dan 0,028560 berturut-turut adalah 8,720 x 10-6 m , 8,720 x
10-6 m dan 9,157 x 10-6 m. Berdasarkan hasil yang di peroleh nilai ketebalan
rambut memiliki perbedaan. Hal ini tidak sejalan dengan kenyataan yang
ada. Nilai ketebalan rambut seharusnya memiliki nilai yang sama karena
rambut yang digunakan dalam tiga data adalah sama. Hal ini disebabkan
karena ketidakefektifan praktikan dalam melakukan praktikum. Salah satu
kendalanya

adalah perbedaan kemampuan praktikan dalam mengamati

sinar laser.
Dari uraian diatas dapat diberikan kesimpulan bahwa penentuan
ketebalan rambut dapat di ukur menggunakan difraksi sinar laser dengan
tingkat ketelitian yang cukup baik meskipun masih terdapat beberapa
kesalahan dalam pengukuran.

80

81

ABSORPSI CAHAYA

A. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Spektrum adalah spektrum yang terjadi karena penyerapan panjang
gelombang tertentu dari suatu cahaya. Spektrum absorpsi terdiri atas
sederetan garis-garis hitam pada spektrum kontinu. Penyerapan terhadap
panjang gelombang tertentu terjadi pada foton yang memiliki energi tepat
sama dengan selisih energi antara tingkat eksitansi dengan tingkat dasar,
misalnya spektrum matahari. Secara sepintas matahari seperti spektrum
kontinu, akan tetapi jika dicermati akan tampak garis-garis fraunhoter yang
disebabkan oleh cahaya putih dari bagian inti matahari yang diserap oleh
atom-atom dan molekul gas dalam atmosfir matahari.
Intensitas cahaya akan berkurang bila cahaya telah melewati suatu
bahan. Sebab energi cahaya yang berisi foton-foton yang dihamburkan
keseluruh bagian material sehingga arahnya tidak lagi seperti semula.
Berkurangnya intensitas cahaya disebabkan oleh adanya efek foton listrik,
efek Compton dan efek produksi pasangan.
Berdasarkan uraian diatas, pentingnya untuk melakukan percobaan
absorpsi cahaya untuk menentukan intensitas cahaya, daya pantul
(Refleksivitas), daya tembus (Transmisivitas), daya serap (Absorpsivitas)
dan menentukan koefisien penyerapan suatu bahan guna membuktikan
apakah teori yang telah ada bersesuaian dengan percobaan yang dilakukan
atau tidak.

82

2. Tujuan Praktikum
Adapun tujuan pada percobaan Absorpsi Cahaya

adalah sebagai

berikut:
a. Menentukan intensitas cahaya secara langsung.
b. Menentukan daya pantul (Refleksivitas).
c. Menentukan daya tembus (Transmisivitas) suatu bahan,
d. Menentukan daya serap (Absorpsivitas) suatu bahan.
e. Menentukan koefisien penyerapan suatu bahan.
B. LANDASAN TEORI
Formalisme untuk penyerapan cahaya dalam kasus yang paling
sederhana dimulai dengan seberkas cahaya intensitas foton yang baru saja
menambah kebahan, dengan kosentrasi kebahan seragam pigmen menyerap.
Dengan mengabaikan refleksi dan refraksi, foton menembus ke dalam bahan
dan diserap dalam kedalaman yang berbeda.
Mekanisme untuk penyerapan foton adalah bahwa semua transfer energi
untuk sebuah elektron dalam bahan menyerap. Foton ini hilang dari sinar
seperti yang diserap dalam satu acara. Elektron dengan keuntungan energi
bergerak kedalam atau kekeadaan energi yang lebih tinggi dalam konfigurasi
elektron disekitar atom. Penurunan intensitas fluks cahaya atau foton seperti
balok menembus kedalam bahan dapat dilihat jika kita memisahkan bahan
penyerap menjadi satu set tipis (Ulfa, 2010).
Penyerapan radiasi elektomagnetik membutuhkan generasi dari bidang
yang berlawanan. Jika sebuah bahan atau materi menyerap cahaya dari panjang
gelombang tertentu dari suatu spektrum, seorang pengamat tidak akan melihat
warna-warna dalam cahaya yang dipantulkan. Di sisi lain jika panjang
gelombang tertentu warna yang dipantulkan dari materi maka pengamat akan
melihat materi dalam warna tersebut (Mulyaningsih, 2004).
Polarisasi cahaya dapat disebabkan karena adanya absorpsi cahaya atau
penyerapan. Polarisasi jenis ini dapat terjadi dengan bantuan kristal pada

83

polaroid. Bahan polaroid bersifat meneruskan cahaya dengan arah getar yang
lain. Cahaya yang diteruskan adalah cahaya yang arah getarnya sejajar dengan
sumbu Polaroid. Absorpsi cahaya oleh suatu molekul merupakan suatu bentuk
interaksi antara gelombang cahaya dan atom. Energi cahaya diserap oleh atom
dan digunakan oleh elektron dalam atau tersebut untuk bertransisi ke tingkat
energi elektronik yang lebih tinggi.
Refleksivitas atau daya pantul adalah nilai yang menyatakan kemampuan
suatu permukaan bahan untuk memantulkan energi cahaya. Transmisivitas atau
daya tembus adalah nilai yang menyatakan kemampuan suatu permukaan
bahan untuk meneruskan energi cahaya. Absorpsivitas atau daya serap adalah
nilai yang menyatakan kemampuan suatu permukaan bahan untuk menyerap
energi cahaya (Agustinus, 2011).
C. METODE PRAKTIKUM
1. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada percobaan Absorpsi Cahaya
dapat dilihat pada Tabel 8.1 berikut.
Tabel 8.1 Alat dan Bahan Percobaan Absorpsi Cahaya
No
1.
2.
3.
4.
5.

Alat dan Bahan


Catu daya
Rel presisi
Lampu bertangkai 12v, 18 w
Material plastik 3 jenis
Tumpukan berpenjepit

6.
7.

Lensa Cembung
Kabel penghubung

8.
9.
10

Lux meter
Mikrometer sekrup
Pemegang material

84

Funsi
Sebagai sumber tegangan
Sebagai tempat pemegang material
Sebagai sumber cahaya
Sebagai bahan yang diamati
Sebagai penjepit lampu dan lensa pada
rel presisi
Untuk menfokuskan sinar
Untuk menghubungkan pembangkit
cahaya dengan catu daya
Untuk mengukur intensitas cahaya
Untuk mengukur ketebalan bahan
Sebagai tempat material

2. Prosedur Kerja
Prosedur kerja pada percobaan ini adalah sebagai berikut.
a. Merangkai peralatan seperti pada Gambar 8.1 berikut.

Gambar 8.1 Rangkaian Alat Percobaan Absorpsi Cahaya


b. Memasang material pertama pada tempat material.
c. Memastikan posisi power supply 6 volt DC, kemudian ON-kan power
supply.
d. Mengatur posisi lensa cembung sehingga cahaya lampu terfokuskan pada
material.
e. Dengan menggunakan Lux Meter, mengukur intensitas awal (Io),
intensitas pantul (Ip), dan intensitas diteruskan (It). Melakukan
pengukuran ini untuk setiap perubahan tegangan lampu.
f. Menganti material pertama dengan material kedua pada tempat material
dan mengulangi langkah (e).
g. Mengganti material kedua dengan material ketiga pada tempat material
dan mengulangi langkah (e).

85

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Hasil Pengamatan
a. Data Pengamatan
Hasil pengamatan percobaan Absorpsi Cahaya dapat dilahat pada
Tabel 8.2 berikut.
Tabel 8.2 Hasil Pengamatan Percobaan Absorpsi Cahaya
No

Warna Bahan

1.

Biru

2.

Hijau

3.

Merah

V (volt)
6
9
6
9
6
9

Io (lux)
38,7
187,8
38,7
187,8
38,7
187,8

Ip (lux)
18,43
25,81
18,95
25,97
6,68
12,7

It (lux)
4,46
12,75
5,26
8,68
12,26
24,48

X (m)
0,51
0,58
0,55

b. Analisis Data
1) Menentukan Intensitas Cahaya secara Langsung
Untuk Material Biru
Untuk bahan biru dengan tegangan tali 6 volt
= 38,7 (4,46 +18,43)
= 15,81 lux
Dengan cara yang sama, untuk data yang lain dapat lihat pada
Tabel 8.3 berikut.
Tabel 8.3 Menentukan Intensitas Cahaya secara Langsung
No.

Warna Bahan

1.

Biru

2.

Hijau

3.

Merah

V
(volt)
6
9
6
9
6
9

86

Io
(lux)
38,7
187,8
38,7
187,8
38,7
187,8

It
(lux)
4,46
12,75
5,26
8,68
12,26
24,48

Ip
(lux)
18,43
25,81
18,95
25,97
6,68
12,7

Ia
(lux)
15,81
149,24
14,49
153,15
19,76
150,62

2) Menentukan Daya Pantul (Refleksivitas)


Untuk Material Biru
Untuk material biru dengan tegangan tali 6 volt

Dengan cara yang sama, untuk data yang lain dapat dilihat pada
Tabel 8.4 berikut.
Tabel 8.4 Menentukan Daya Pantul (Refleksivitas)
No.

Warna Bahan

1.

Biru

2.

Hijau

3.

Merah

V (volt)
6
9
6
9
6
9

Ip (lux)
18,43
25,81
18,95
25,97
6,68
12,7

Io (lux)
38,7
187,8
38,7
187,8
38,7
187,8

r (%)
47,63
13,75
48,96
13,83
17,3
6,76

3) Menentukan Daya Tembus (Transmisivitas) suatu Bahan


Untuk Material Biru
Untuk material biru dengan tegangan tali 6 volt

Dengan cara yang sama, untuk data yang lain dapat dilihat pada
Tabel 8.5 berikut.
Tabel 8.5 Menentukan Daya Tembus ( Transmisivitas)
No.

Warna Bahan

1.

Biru

2.

Hijau

3.

Merah

V (volt)
6
9
6
9
6
9

87

It (lux)
4,46
12,75
5,26
8,68
12,26
24,48

Io (lux)
38,7
187,8
38,7
187,8
38,7
187,8

t (%)
3,77
6,79
13,60
4,63
31,67
13,03

4) Menentukan Daya Serap (Absorpsivitas)


Untuk Material Biru
Untuk material biru dengan tegangan tali 6 volt

Dengan cara yang sama, untuk data yang lain dapat dilihat pada
Tabel 8.6 berikut.
Tabel 8.6 Menentukan Daya Serap ( Absorpsivitas)
No.

Warna Bahan

1.

Biru

2.

Hijau

3.

Merah

V (volt)
6
9
6
9
6
9

Ia (lux)
15,81
149,24
14,49
153,15
19,76
150,62

Io (lux)
38,7
187,8
38,7
187,8
38,7
187,8

a (%)
40,85
79,46
37,44
81,55
51,06
80,20

5) Menentukan Koefisien Penyerapan suatu Bahan


Untuk Material Biru
Untuk material biru dengan tegangan tali 6 volt

Dengan cara yang sama, untuk data yang lain dapat dilihat pada
Tabel 8.7 berikut.
Tabel 8.7 Menentukan Koefisien Penyerapan suatu Bahan
No.

Warna Bahan

1.

Biru

2.

Hijau

3.

Merah

V (volt)
6
9
6
9
6
9

88

X (m)
0,51
0,58
0,55

It (lux)
4,46
12,75
5,26
8,68
12,26
24,48

Io (lux)
38,7
187,8
38,7
187,8
38,7
187,8

4,2366
5,2742
3,4408
5,3006
2,0899
3,7045

2. Pembahasan
Jumlah energi radiasi yang dipancarkan sebagai cahaya kesuatu arah
tertentu disebut intensitas cahaya dan dinyatakan dengan satuan candela
dengan lambang (I). Intensitas cahaya akan berkurang bila cahaya tersebut
telah melewati suatu bahan, sebab energi cahaya yang berisi foton-foton
dihamburkan keseluruh bagian material sehingga tidak lagi seperti semula.
Percobaan ini, kita lakukan dengan menggunakan lampu sebagai
sumber cahaya dan menggunakan tiga material yaitu material biru, hijau dan
merah. Dimana ketiga material ini merupakan bahan yang akan diamati dan
selanjutnya material inilah kita dapat menentukan besar intensitas. Dalam
percobaan ini besar intensitas yang diukur adalah intensitas langsung
intensitas pantul

dan intensitas yang diteruskan

Berdasarkan hasil

penggukuran setiap material mempunyai besar intensitas yang berbeda-beda


dan ketebalan yang berbeda pula dengan variasi tegangan lampu yang berbeda
yaitu 6 dan 9 volt.
Setelah semua data terkumpul, untuk langkah yang pertama adalah
menentukan intensitas cahaya secara langsung dengan digunakan tiga material
(biru, hijau dan merah). Untuk material biru dengan tegangan antara 6 volt dan
9 volt diperoleh intensitas cahaya secara langsung berturut-turut yaitu 15,81
lux dan 149,24 lux. Untuk material hijau mempunyai tegangan yang sama
diperoleh nilai berturut-turut yaitu 14,49 lux dan 153,15 lux dan untuk material
merah dengan tegangan yang sama pula diperoleh nilai berturut-turut yaitu
19,76 lux dan 150,62 lux. Berdasarkan hasil analisis dapat dilihat bahwa
semakin besar tegangan yang digunakan, maka semakin besar intensitas cahaya
yang diperoleh untuk setiap material dan sebaliknya.
Selanjutnya, untuk langkah yang kedua adalah menentukan daya pantul
dengan material yang sama dan tegangan yang sama diperoleh nilai untuk
material biru berturut-turut yaitu 47,63% dan 13,75%, untuk material hijau
yaitu 48,96% dan 13,83% dan untuk material merah yaitu 17,3% dan 6,67%.
Maka semakin besar tegangan yang digunakan, maka semakin besar daya

89

pantul yang diperoleh untuk setiap material dan sebaliknya. Besar kecilnya
daya pantul suatu material dipengaruhi oleh intensitas awal dan intensitas
pantul dari material itu sendiri.
Untuk langkah yang ketiga yaitu menentukan daya tembus suatu bahan.
Material yang digunakan sama dan mempunyai tegangan yang sama pula
diperolah nilai berturut-turut yaitu 3,77% dan 6,79%, 13,60% dan 4,63% dan
31,67% dan 13,03%. Dalam penentuan daya tembus, dari hasil analisis
menunjukan bahwa semakin besar tegangan yang diberikan, maka semakin
besar daya tembus yang diperoleh untuk setiap material.
Untuk langkah yang keempat yaitu menentukan daya serap suatu bahan.
Sebelum menentukan terlebih dahulu kita akan mencari nilai intensitas cahaya
Setelah itu nilai

yang diperoleh maka kita dapat menentukan daya

serap suatu bahan. Material yang digunakan yaitu sama dan mempunyai
tagangan yang sama pula sehingga diperoleh nilai berturut-turut yaitu 40,85%
dan 79,46%, 37,44% dan 81,55% dan 51,06% dan 80,20%. Besar kecilnya
daya serap yang diperoleh pada setiap material dipengaruhi oleh intensitas
penyerapan dari material itu sendiri.
Kemudian untuk langkah yang kelima yaitu kita menentukan koefisien
penyerapan suatu bahan. Berdasarkan hasil analisis dapat dilihat bahwa besar
koefisien yang berbeda pada setiap jenis material. Dimana bahan berwarna biru
lebih besar nilai koefisiennya dibandingkan material lainnya. Hal ini
disebabkan besar nilai koefisien penyerapan suatu bahan bergantung pada
struktur material yang digunakan dan panjang gelombang radiasi yang
dipanaskan.

90

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Praktikum Getaran dan Gelombang yang telah dilakukan menghasilkan
kesimpulan sebagai berikut.
1.

Hubungan antara cepat rambat gelombang dengan tegangan tali tali yaitu
semakin berat beban yang diberikan semakin besar cepat rembat
gelombang yang dihasilkan.

2.

Hubungan antara frekuensi gelombang dengan panjang gelombang yaitu


semakin besar frekuensi gelombang maka panjang gelombang yang
dihasilkan semakin kecil.

3.

Jika perbedaam panjang tabung dimana panjang tabung yang semakin


besar, maka frekuensi resonansinya akan semakin kecil. Namun pada hasil
percobaan tidak demikian, dimana frekuensi resonansi yang diperoleh
tidak stabil terkadang frekuensi mengecil terkadang pula membesar.

4.

Hubungan antara frekuensi resonansi dan panjang tabung yaitu berbanding


terbalik dimana panjang tabung yang semakin besar maka frekuensinya
semakin kecil.

5.

Syarat terjadinya gelombang berdiri pada sebuah tabung yaitu apabila


terjadi perbedaan frekuensi resonansi pada tabung.

6.

Gelombang berdiri pada sebuah tabung terjadi ketika frekuensi alamiah


dan frekuensi sumber berbeda frekuensinya.

7.

Resonansi pada perbedaan panjang dan perbedaan frekuensi Dari sebuah


tabung resonasi akan berbeda karena frekunsi keduanya berbeda.

8.

Sifat-sifat bayangan pada cermin cekung yaitu jika benda yang ada di
ruang III yaitu nyata, terbalik dan diperkecil, jika benda berada diruang II
yaitu nyata, terbalik dan diperbesar dan jika benda berada diruang I yaitu
maya, tegak dan diperbesar, sedangkan sifat bayangan pada cermin
cembung yaitu maya, tegak dan diperkecil di belakang cermin.

91

9.

Semakin jauh jarak benda baik cermin cekung dan cerrmin cembung maka
jarak bayangan semakin juah juga dan jarak fokusnya akan semakin besar.

10. Semakin kecil sudut yang di bentuk maka jumlah bayangan yang terbentuk
pada cermin datar akan semakin besar.
11. Sinar datang akan dibiaskan mendekati garis ormal jika pembiasannya dari
udara kekaca. Sebaliknya sinar datang akan dibiaskan menjauhi garis
normal jika berasal dari medium kaca keudara.
12. Sifat cahaya yang mengalami pemantulan sempurna yaitu ketika seberkas
cahaya mengenai suatu medium yang pada posisi tertentu, maka cahaya
tidak dibiaskan sedikitpun dan akan dipantulkan seluruhnya.
13. Hukum Brewster secara sederhana dapat dikatakan sebagai sinar datang
akan menghasilkan sinar bias dan sinar pantul yang membentuk sudut 90
derajat serta sinar bias dan sinar pantul akan saling tegak lurus.
14. Sifat pembiasan cahaya pada prisma siku-siku yaitu mengalami dispersi
atau penguraian cahaya.
15. Sifat pembiasan pada lensa gabungan adalah pada lensa gabungan dengan
urutan lensa bikonkaf dan lensa bikonveks diperoleh sifat bayangan nyata,
tegak dan diperbesar. Dan untuk urutan lensa bikonveks dan lensa
bikonkaf diperoleh sifat bayangan nyata, tegak dan diperkecil
16. Sifat bayangan lensa cembung adalah nyata, terbalik dan diperkecil. Sifat
bayangan lensa cekung adalah nyata jika benda di depan lensa dan terbalik
jika di belakang lensa serta tegak dan diperbesar.
17. Hubungan antara jarak benda, jarak bayangan dan jarak fokus lensa
cekung dan lensa cembung yaitu semakin besar jarak benda maka semakin
besar pula jarak bayangan dan jarak fokusnya.
18. Untuk memperoleh indeks bias prisma siku-siku balok kaca dan balok
kaca 12 lingkaran yaitu indeks bias suatu medium dapat di peroleh dengan
membandingkan antar sudut sinar datang dengan sudut sinar bias yang
dikaitkan dengan indeks bias udara.
19. Laser dapat di gunakan untuk mengetahui ketebalan rambut. Hal ini di
lakukan dengan menggunakan difraksi sinar laser yang di tembakkan pada

92

rambut. Sehingga terbentuk garis atau pola terang gelap. Dari hasil analisis
di peroleh ketebalan rambut untuk masing- masing data 8,720 x 10-6 m,
8,720 x 10-6 m dan 9,157 x 10-6 m.
20. Cara mengukur ketebalan rambut menggunakan sinar laser yaitu dengan
menghitung selisih dari interferensi minimum dan interferensi maksimum.
21. Semakin besar tegangan yang diberikan, maka semakin besar intensitas
cahaya yang diperoleh untuk setiap material dan sebaliknya.
22. Semakin besar tegangan yang diberikan, maka semakin besar daya pantul
yang diperoleh untuk setiap material dan begitupun sebaliknya.
23. Semakin besar tegangan yang diberikan, maka semakin besar daya tembus
yang diperoleh untuk setiap material.
24. Semakin kecil tegangan yang diberikan, maka semakin kecil daya serap
yang diperoleh untuk setiap material.
25. Besar nilai koefisien penyerapan suatu bahan bergantung pada sruktur
material yang digunakan dan panjang gelombang radiasi dipancarkan.
B. Saran
Melalui praktikum Getaran dan Gelombang yang dilakukan ini, kami
ingin menyampaikan saran sebagai berikut.
1. Untuk laboratorium, alat yang telah rusak diganti dengan alat baru dan alat
yang kurang lengkap agar dilengkapi demi kelancaran berlangsungnya
proses praktikum. Sangat sia-sia jika praktikum yang dilakukan tidak
maksimal. Apalagi jika alat yang akan digunakan rusak maka praktikan
diarahkan untuk mngambil data yang telah ada sebelumnya, itu bukan
praktikum tapi menyalin ulang data sehingga membuat praktikum itu hanya
formalitas semata.
2. Untuk asisten, penjelasan yang diberikan sudah cukup baik. Kemudian
terkhusus untuk asisten yang hanya mengarahkan praktikan untuk
mengambil data jadi yang telah ada sebelumnya, sebaiknya waktu yang
seharusnya digunakan untuk praktikum dialihkan untuk saling bertukar
pikiran antara asisten dengan praktikan terkait dengan materi yang sesuai
93

dengan judul percobaan yang seharusnya dipraktikumkan. (Agar praktikan


tidak tersesat saat membuat laporan, akhirnya menjadi korban ACC/ asisten
coret-coret).
3. Untuk praktikan, lebih fokus dalam pelaksanaan praktikum agar data yang
dihasilkan dari tiap percobaan dapat akurat karena tidak terjadi kesalahan
akibat salah fokus. Dan hal mendasar namun sangat penting yaitu antar
praktikan sebaiknya tetap dan selalu menjaga keakraban agar kelompoknya
tetap solid dan laporan dapat terselesaikan tepat waktu tetapi tetap harus
berkualitas tinggi.

94

DAFTAR PUSTAKA

Adzkiyak, Hikam. 2010. Difraksi Sinar Laser. http://adzkyak.ac.id //files. Diakses


pada tanggal 24 Desember 2015 Pukul 20.00 WITA.
Agustinus.
2011.
Absorpsi
Cahaya
pada
Suatu
Material.
http://fisikamemangasyik.wordpress.com/absorpsi_cahaya_pada_suatu_
material. Diakses pada 24 Desember 2015.
Anonim. 2011. Indeks bias. http://www.indeks-bias.com. Diakses tanggal 14
Januari 2016.
----------. 2011. Pematulan Total. http://www.scribd.com/doc/21782786/
Pemantulan-Total. Diakses tanggal 16 Desember 2015.
----------. 2015. Penuntun Praktikum Gelombang dan Optik. Universitas
Oleo. Kendari.

Halu

Aris, Kristanta. 2008. Fisika Dasar. FMIPA UPI. Bandung.


Bueche J., Frederick. 2000. Fisika Edisi Kedelapan. ITB. Bandung.
Giancoli, D.C. 2001. Fisika Edisi Kelima Jilid 1 . Erlangga. Jakarta.
-----------------.-------. Fisika Edisi Kelima Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Halliday, D., Robert Resnik. 2007. Fisika Edisi 3 Jilid 1. Erlangga. Jakarta.
----------------------------------. 1985. Fisika. Erlangga. Jakarta.
----------------------------------. 2010. Fisika Dasar Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Hugh. D.Y., dkk. 2003. Fisika Universitas Edisi Kesepuluh Jilid 2. Erlangga.
Jakarta.
Sri, Jumini. 2015. Pengaruh Cepat Rambat Gelombang terhadap Frekuensi pada
Tali. Jurnal PPKM III(2015) 151-158.ISSN:2354-869x/.
Kanginan, Marthen. 2010. Physic 1B For Senior High School Grade XI Semester.
Erlangga. Jakarta.
Kittal. 2005. Laser pada Gelombang. http://id.wikipedia.org/wiki/Laser. Diakses
pada tanggal 14 Januari 2016 .
Mulyaningsih, Sry. 2004. Getaran dan Gelombang. Erlangga. Jakarta.

95

Fauziah, Nenden. dkk. 2009. Perambatan dan Pemantulan Cahaya pada Cermin.
Jakarta.
Pearson. 2009. Physics. Pearson Edulation Canada. Canada.
Serway, R.A., Joku W. Jcwctt. Jr. 2008. Physics For Scieutist and Euginears With
Modern Physics Sevent Edition. All Right Reservad. USA.
Supardiono, 2004. Lensa dan Cermin. DPN. Jakarta.
Swastikayana. 2009. Pembiasan Cahaya. http://swastikayana.wordpress.com
/2009/04/08/pembiasan-cahaya/. Diakses Tanggal 24 Desember 2015.
Tipler, P, A,. 1998. Fisika untuk Sains dan Teknik Edisi 3 Jilid 1. Erlangga.
Jakarta.
-----------------. 2001. Fisika untuk Sains dan Teknik. Erlangga. Jakarta.
-----------------. 2008. Physics for scientiss and Eugineers with Modern Physics.
W.H. Freeman and Lolupang. New York.
Ulfa. 2010. Intensitas Cahaya. http://ulfawati.wordpress.com/Intensitas-cahaya.
Diakses pada 24 Desember 2015.
Young, H, D,. 2003. Fisika Universitas Edisi Kesepuluh Jilid 1. Erlangga. Jakarta.

96

Anda mungkin juga menyukai