Disusun oleh
Herkuliana Puspita Sari
11 2015 340
Pembimbing
dr. Iwan Hertantyo, Sp. THT
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
RUMAH SAKIT BHAKTI YUDHA DEPOK 2016
BAB I
Pendahuluan
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak di jumpai diantara
tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsionoma nasofaring termasuk dalam sepuluh besar
tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki
tempat pertama.
Insiden karsinoma nasofaring tertinggi di dunia dijumpai pada penduduk daratan cina
bagian selatan, khususnya suku kanton di propinsi Guang dong dan daerah Guangxi dengan
angka mencapai lebih dari 50 per 100.000 penduduk per tahun. Indonesia termasuk salah satu
negara dengan prevalensi penderita karsinoma nasofaring yang tinggi di luar cina.
Karsinoma nasofarimg lebih sering terjadi pada laki-laki dibandimgkan erempuan dan
dapat mengenai semua umur, dengan insiden meningkat pada usia 30 tahun dan mencapai
puncak pada umur 40-60 tahun. Tumor ganas ini tidak mempunyai gejala yang spesifik,
seringkali tanpa gejala, sehingga hal ini menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis dan
terapi. Bahkan gejala pertama berupa lymphadenopathy cervical, yang merupakan metastatis
karsinoma nasofaring.
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu
problem, hal ini karena etiologi yang belu pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak
nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat. Pada stadium dini,
radoterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat di berikan secara tunggal dan
memberikan angka kesembuhan yang cukup tingi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi
tambahan kemoterapi yang dikombinasikan dengan radioterapi.
BAB II
Tinjauan Pustaka
Definisi karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring ( KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring
dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.1
Anatomi Nasofaring
Sebelum membahas struktur anatomi dari nasofaring, terlebih dahulu kita membahas
mengenai faring. Faring adalah tenggorokan, ruang muskulo-membranosa di belakang rongga
hidung, mulut, dan laring, berhubungan dengan rongga rongga tersebut dan dengan
esofagus. Atau secara lebih jelas, faring merupakan bangunan tabung fibromuskuler yang
berbentuk corong ( membesar di bagian atas dan mengecil di bagian bawah ) yang ke arah
inferior akan berlanjut menjadi esofagus. Bangunan ini terbentang mulai dari basis kranii
hingga menyambung ke esofagus setinggi vertebra servical VI, dengan panjang kurang lebih
5 inci ( 13 cm ).1
Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermacam-macam, yaitu
epitel kolumnar simpleks bersilia, epitel kolumnar berlapis, epitel kolumnar berlapis bersilia,
dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Yang terpenting di sini adalah pendapat umum
bahwa asal tumor ganas tumor nasofaring itu adalah tempat-tempat peralihan atau celah-celah
epitel yang masuk ke jaringan limfe di bawahnya. Walaupun fosa rossenmulleri atau dinding
lateral nasofaring merupakan lokasi keganasan tersering, tetapi kenyataannya keganasan
dapat juga terjadi di tempat tempat lain di nasofaring. Keganasan nasofaring dapat juga
terjadi pada :
1. Dinding atas nasofaring atau basis kranii dan tempat dimana terdapat adenoid
2. Di bagian depan nasofaring yaitu terdapat di pinggir atau di luar koana
3. Dinding lateral nasofaring mulai dari fossa rossenmulleri sampai dinding faring dan
palatum molle.
Etiologi
Terjadinya karsinoma nasofaring mungkin multifaktoral, proses karsinogenesisnya
mungkin mencakup banyak tahap.1 Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya karsinoma
nasofaring adalah :
1. Kerentanan genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif
lebih menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukan gen
HLA ( Human leukocyte antigen ) dan gen pengkode enzim sitokrom p450 2E1
(CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring.
Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait
nitrosamine dan karsinogen.
2. Infeksi virus Epstein-Barr (EBV)
Virus Epstein-Barr ( EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid
icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi
dengan beberapa penyakit seperti limfoma burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan
karsinoma nasofaring ( KNF). Virus EBV bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi
laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu
sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B
dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d
( CD21 atau CR2). Glikoprotein ( gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan
protein CD21 di permukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang
berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya
menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini,
mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan
dengan pasti. Namun demikian diduga ada 2 reseptor yang berperan dalam masuknya
virus EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR ( Polimeric
Immunoglobulin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh EBV dapat menimbulkan
beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila sel terinfeksi virus epstein barr
dan virus mengadakan replikasi, virus epstein barr yang menginfeksi sel dapat
mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi
transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga terjadinya perubahan
sifat sel menjadi ganas dan terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang di ekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten yaitu
EBERs EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam
mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B
menghambat sinyal tirosin kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus.
Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah
LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20
asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran ( 166 asam amino) dan
200 asam amino pada ujung karboksi (C).
Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF ( tumor nekrosis
faktor ) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan
menghambat dan menghambat respon imun lokal.
3. Jenis kelamian
Tumor ganas ini sering ditemukan pada laki-laki dan sebabnya belum dapat
diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor genetik,
hormonal, kebiasaan hidup, pekerjaan. Hormon testosteron yang dominan pada lakilaki dicurigai mengakibatkan penurunan respon imun dan surviellance tumor sehingga
laki-laki lebih rentan terhadap infeksi EBV dan kanker.
4. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan dapat menjadi mediator yang di anggap berpengaruh untuk
timbulnya karsinoma nasofaring. Dimana mediator dapat mengaktifkan EBV yang
telah tinggal lama dalam sel tubuh dalam jangka waktu yang lama daan tidak
menyebabkan suatu kelainan. Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi
kronik atau radang kronis di daerah nasofaring oleh bahan kimia, asap industri, asap
kayu, benzopyrene, benzoathracene ( sejenis hidrokarbon dalan rang batu bara),
kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, makanan terlalu panas,
dan beberapa ekstrak tumbuhan sehingga rentan terhadap karsinogen lingkungan.
Penelitian menemukan zat nitrosamin yang terdapat dalam ikan asin ternyata
merupakan mediator penting yang dapat mengaktifkan EBV. Nitrosamin juga
ditemukan dalam ikan / makanan yang diawetkan di Greenland. Juga pada Quadid
yaitu daging kambing yang dikeringkan di tunisia, dan sayuran yang difermentasi
(asinan) serta taoco di Cina. Sebagian besar penderita adalah golongan sosial ekonomi
yang rendah dan hal ini pula menyangkut pula dengan keadaan lingkungan dan
kebiasaan hidup.
Histologi
Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena di bawah epitel terdapat banyak
jaringan limfosit, sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel
dengan jaringan limfosit ini sangat erat, sehingga sering di sebut Limfoepitel. Bloom dan
Fawcett ( 1965) membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel :
1.
2.
3.
4.
60 % dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng, dan 80 % dari dinding
posterior nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi
oleh epitel transisional, yang merupakan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan
thorax bersilia. Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi keratin, kecuali pada kripta yang
dalam. Dipandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan 2 macam epitel
adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya karsinoma.
Bila memakai pedoman yang berpatokan pada tumor leher ini maka kita sudah
mendapatkan stadium lanjut, sebab tumor leher merupakan metastasis tumor induk.
II.
III.
Pemeriksaan nasofaring
Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharingoscop
Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan
diagnosis histogik atau sitologik.
Diagnosis histologik dapat di tegakkan bila dikirim suatu material hasil biopsi cucian,
aspirasi atau brush, biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dari hidung atau mulut. Biopsi
tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan anastesi topikal dengan silokain 10 %.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya atau blind
biopsi. Cunam biopsi di masukkan melalui hidung menyelusuri konka media
ke nasofaring kemudia cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.
IV.
Biopsi melalui mulut dengan memakai kateter nelato yang di masukan melalui
hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem
bersama-sama ujung kateter yang dihidung. Demikian juga kateter yang dari
hidung di sebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian
dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat
tumor melalui kaca tersebut atau memaki nasofaringoskop yang dimasukan
melalui mulut, masa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila dengan cara ini masih
belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengn
kuretdaerha lateral nasofaring dalam narcosis.
Pemeriksaan radiologi
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada
daerah nasofaring
Menentukan lokasi yang lebuh tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menentukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.
a. Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkina
adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu :
Posisi lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue technique)
Posisi basis cranii atau submentoverteks
Tomogram lateral daerah nasofaring
Tomogram antero-posterior daerah nasofaring
b. CT Scan
Pada umumnya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos adalah
jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin tidak akan
terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor dalah submukosa, maka hal ini akan sukar
dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran ke jaringan
sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi hal
tersebut. Keunggulan C.T, Scan di bandingkan dengan foto polos ialah kemampuannya
untuk membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada
jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang, dengan kriteria tertentu dapat
di nilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat di
nilai apakah sudah ada perluasan tumor ke jaringan sekitarnya, menilaiada tidaknya
destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intracranial.
VI.
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue technique)
Posisi basis cranii atau submentoverteks
Tomogram lateral daerah nasofaring
Tomogram antero-posterior daerah nasofaring
Pemeriksaan Neuro-oftalmologi
Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (Early Antigen) dan IgA anti VCA (capsid antigen)
untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma
nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma
nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) sensitivitas IgA VCA adalah 97,5% dan
spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160.
IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30%, sehingga pemeriksaan
ini hanya di gunakan untuk menentukan prognosis pengobatan, titer yang didapat berkisar
antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.
Penatalaksanaan
1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
karsinoma nasofaring. Penatalaksaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah
radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.7
Definisi Terapi Radiasi :
Terapi radiasi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang dapat menembus
jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma.
Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya sebelum kemoterapi di
berikan. Pada limfonodi yang tak teraba di berikan radiasi sebesar 5000 cGy dan bila
lebih dari 4 cm di berikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi selama 5,5 minggu.
Alat yang biasa di pakai ialah cobalt 60, megavoltage, orthovoltage.
Sifat Terapi Medis
Terapi radiasi sendiri sifatnya adalah:
Pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar getah bening
Pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah bening
Terapi yang di kombinasi dengan kemoterapi
Terapi adjuvan di berikan pre operatifatau post operasi pada neck dissection
Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk menghindari terlalu
banyak jaringan sehat yang terkena radiasi.
Sebagai booster bila masih di temukan residu tumor
Pengobatan kasus sembuh.
2. Kemoterapi
Komplikasi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis dari
leher, trismus, kelainan gigi, hipoplasia struktur otot dan tulang, retardasi pertumbuhan,
kehilangan pendengaran, osteonekrosis dari mandibula. Penggunaan cisplatin menyebabkan
toksisitas pada ginjal dan bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis paru.9
Pencegahan
1. Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus epstein- barr
yang dimurnikan pada penduduk yang bertempatbtinggal di daerah beresiko tinggi
2. Memindahkan penduduk dari daerah beresiko tinggi ke tempat lainnya
3. Mengubah cara masak yang salah untuk mencegah akibat yang timbul dari bahanbahan yang berbahaya
4. Penyuluhan tentang lingkungan hidup yang sehat
5. Melakukan tes serologi IgS anti VCA dan IgA anti EA yang bermanfaat dalam
menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini
BAB III
Kesimpulan
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas nomor satu yang mematikan dan
menempati urutan ke 10 dari seluruh tumor ganas di tubuh. Banyak faktor yang diduga
berhubungan dengan karsinoma nasofaring diantaranya : adanya infeksi EBV, faktor
lingkungan dan genetik. Karsinoma nasofaring juga banyak ditemukan di Indonesia.
Penatalaksanaan pada stadium dini yang diberikan adalah radioterapi dan hasilnya baik.
Oleh karena itu diagnosis dini perlu diperhatikan pada pasien dewasa yang sering
mimisan, hidung tersumbat, keluhan kurang memdengar, sakit kepala dan penglihatan dobel.
Sebagai gejala lanjutan ialah pembesaran kelenjar limfe leher dan kelumpuhan saraf otak.
Bila dijumpai gejala seperti yang disebutkan di atas, maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan
lengkap sampai karsinoma faing dapat disingkirkan, selain itu, bagi para penduduk yang
bertempat tinggal di daerah dengan resiko tiggi diharapkan melakukan vaksinasi virus EBV.
Daftar pustaka
1. Roezin, Averdi dan syafril, Anida. 2006. Karsinoma nasofaring. Disunting oleh
Efiaty Arsyad Soepardi dan Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala & Leher, Edisi Keenam. Jakarta : FKUI.
2. www.image.google.com/anatomi.nasofaring
3. Susworo. Dalam : Kanker Nasofaring Epidemiologi dan Pengobatan Mutakhir.
Cermin Dunia Kedokteran. 2004 : 16-20
4. Ramsi Lutan, Nasution YU. Karsinoma nasofaring. Dalam : Program & abstrak
PITIAPI. Medan : FK USU, 2001.h. 9-25.
5. Jeyakumar, Anita et al. 2006. Review of Nasopharyengal Carcinoma. ENT-Ear, Nose
& Throat Journal March 2006.
6. Davidson Neck Masses : Differential Diagnosis and Evaluation. San Diego :
Unoversity
of
California.
Available
at
:
http://drdavidson.ucsd.edu/portals/0/CMO/CMO_05.htm. Accessed January 29, 2016.
7. Asroel, Harry A.2002. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring.
USU digital library : Bagian Tenggorokan Hidung dan Telinga Universitas Sumatera
Utara.
8. Widjoseno-gardjito.2005. Tindakan Bedah Organ dan sistem Organ, Kepala dan
Leher. Disunting oleh R Sjamsuhidajat dan Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed.
2. Jakarta : EGC
9. Wei, William I. 2001. Nasopharyngeal cancer : Current Status of Management. Arch
Otolaryngeal Head Neck Surg. 2001 ; 127 : 766-769